Anda di halaman 1dari 2

W A C A N A P E M B A R U A N

Pluralisme
Makna
mā awḥā
Sukidi

D
alam tafsīr yang populer di dunia revelation). Produksi makna ini terefleksikan dalam
Islam, Tafsīr al-Jalālayn,(Kairo: Dār sejumlah karya tafsir modern, antara lain, Tafsir al-
al-Ḥadīth, 2001, 701), al-Suyūṭī dan Azhar karya Hamka, seorang ‘alim, pembaharu, dan
al-Maḥallī berpendapat bahwa “apa penafsir al-Qur’ān yang legendaris dalam sejarah
yang Dia wahyukan” (mā awha) Muhammadiyah. Dalam menafsirkan al-Najm/53:10,
dalam al-Najm/53:10 tidak disebutkan secara eksplisit. Hamka berpendapat bahwa “pada ayat inilah baru
Karena itu, Tuhan tidak berbicara sedikit pun tentang dijelaskan bahwa wahyu itu datang dari Allah Ta‘alla
apa yang sebenarnya diwahyukan dalam proses sendiri dan Jibril hanyalah sebagai pembawa wahyu
pewahyuan. Makna mā awha menjadi teks wahyu belaka” (Hamka, Tafsir al-Azhar, Singapura: Pustaka
yang sulit dipahami “sesuai istilah Qur’ān sendiri” Nasional PTE LTD, 1989, vol. 9, h. 6986). Makna
(on its own Qur’ānic terms) dan perlu ditafsirkan mā awḥā ditafsirkan dalam tafsir modern ini sebagai
melalui kerangka tradisi tafsīr. Dalam karya-karya “wahyu” yang telah diwahyukan kepada Muhammad
tafsir, komunitas penafsir menafsirkan mā awḥā secara hanya melalui perantara Jibril. Pemaknaan mā awḥā
beragam dan memproduksi maknanya secara plural dan sebagai wahyu juga terelaborasi secara sedikit lebih
bahkan kontradiktif. Pluralisme dan kontradiksi makna detail dalam tafsir kontemporer Tafsir al-Mishbāḥ karya
atas frase mā awḥā, “apa yang sebenarnya telah Dia M. Quraish Shihab, sebagai berikut: “Firman-nya, mā
wahyukan,” meneguhkan kembali tesis utama dalam awḥā, mengisyaratkan bahwa wahyu yang disampaikan
risalah berseri ini bahwa makna Al-Qur’an/53:10 yang itu adalah sesuatu yang sangat agung yang dampaknya
plural dan kontradiktif itu merupakan produk pemikiran terhadap umat manusia bahkan alam semesta amatlah
manusia, yakni komunitas penafsir. Adalah komunitas besar” (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāḥ, Jakarta:
penafsir yang berperan signifikan dalam memproduksi Lentera Hati, 2002, h. 177). Shihab bukan sekadar
makna mā awḥā. menafsirkan mā awḥā sebagai wahyu, tetapi juga
Pada umumnya, sejumlah penafsir memproduksi memprediksi pengaruh luar biasa wahyu dalam Islam
makna mā awḥā sebagai rujukan pada wahyu (waḥy). itu pada kehidupan umat manusia dan bahkan alam
Maka, “apa yang telah Tuhan komunikasikan” kepada semesta raya. Berhubung makna wahyu dalam tradisi
Muhammad, baik secara langsung maupun melalui Islam itu sangat luas dan variatif, maka seorang otoritas
perantara Jibrīl, adalah wahyu itu sendiri (waḥy, tafsir di awal Islam, Sa‘īd, berargumen bahwa apa yang

48 SUARA MUHAMMADIYAH 16 / 106 | 7 - 22 MUHARAM 1443 H


W A C A N A P E M B A R U A N

sesungguhnya diwahyukan kepada Muhammad adalah dapat diakses oleh orang luar, maka seorang mistik
wahyu Al-Qur’ān itu sendiri, yakni sūrat al-Dhuḥā/93:6 awal di Baghdād, al-Nūrī, menegaskan bahwa “apa
sampai sūrat al-Sharh/94:4. Inilah yang diwahyukan yang diwahyukan” kepada Muhammad adalah rahasia
secara spesifik di balik frase mā awḥā. Riwayat yang itu sendiri (sirr). Dan rahasia-rahasia antara kekasih,
diatributkan kepada otoritas Sa‘īd ini terekam dalam yakni Tuhan dan Muḥammad, adalah mustahil diketahui
penafsir otoritatif abad pertengahn al-Tha‘labī, Kashf dan disingkap entah melalui gosip atau melalui pena.
wa al-Bayān al-ma‘ruf Tafsīr al- Tha‘labī, ed. Abī Rahasia itu hanya diketahui oleh Tuhan dan Muhammad.
Muḥammad b. ‘Āshūr. 10 vols. (Beirut: Dār Iḥyā’ al- Riwayat yang diatributkan kepada sufi awal al-Nūrī
Turāth al-‘Arabī, 2002, v.9, h.139). ini tersimpan dalam al-Tha‘labī melalui tafsirnya yang
Penafsiran makna mā awḥā sebagai wahyu hanyalah belum lama ini ditemukan, Kashf wa al-Bayān al-ma‘ruf
salah satu dari kemungkinan makna-makna lain Tafsīr al- Tha‘labī, 2002, v.9, h.139). Menariknya adalah
yang diproduksi oleh komunitas penafsir. Salah satu al-Tha‘labī sendiri menarasikan makna lain yang sama
kemungkinan makna mā awḥā itu terefleksikan pada sekali berbeda dengan makna-makna yang selama
tradisi penafsiran Shi’ah melalui Imam dan penafsir tersimpan dalam tradisi penafsiran Al-Qur’ān. Makna
utamanya Ja‘far al-Ṣādiq (w. 148/765). Ja‘far al-Ṣādiq mā awḥā itu terkait dengan pesan keselamatan yang
memproduksi makna mā awḥā dalam al-Najm/53:10 diprioritaskan kepada umat Muhammad. Menurut al-
secara mistik-spiritual: “Dia menceritakan kepadanya Tha‘labī, “telah dilaporkan bahwa Tuhan mewahyukan
apa yang dikatakan oleh Kekasih kepada kekasih-Nya. kepadanya [Muḥammad] bahwa Surga diharamkan
Keduanya menyembunyikan (rahasia mereka) dan tidak bagi para nabi sampai anda memasukinya, dan juga
mengungkapkan rahasia mereka kepada orang lain diharamkan bagi umat-umat non-Muslim sampai
selain diri mereka sendiri. Itulah sebabnya Dia [Tuhan] umatmu memasukinya terlebih dahulu” (al-Tha‘labī,
berfirman: Lalu, Dia mewahyukan kepada hamba-Nya Kashf wa al-Bayān al-ma‘ruf Tafsīr al- Tha‘labī, 2002,
apa yang telah Dia turunkan. Tidak ada yang mengetahui v.9, h.139). Apa yang diwahyukan dalam frase mā awḥā
wahyu itu kecuali Dia [Tuhan] yang menurunkan bukanlah wahyu secara umum, bukan pula al-Qur’ān,
dan dia [Muḥammad] yang kepadanya wahyu itu bukan pula rahasia, melainkan visi keselamatan. Dan
diturunkan” (Ja‘far al-Ṣādiq, Kāmil al-Tafsīr al-Ṣūfī al-Tha‘labī memproduksi makna mā awḥā sebagai
al-‘Irfānī li al-Qur’ān, 2002, 159-160). Penafsiran jalan keselamatan yang diprioritaskan kepada umat
ini memberikan suatu bukti penting bahwa “apa yang Muhammad terlebih dahulu ketimbang umat non-
sebenarnya diwahyukan” kepada Muhammad memang Muslim dari bangsa-bangsa lain yang akan masuk surga
tidak disebutkan secara eksplisit tetapi dengan suatu setelahnya. Dalam konteks inilah, saya berani menarik
alasan spesifik yang tidak pernah diungkapkan oleh kesimpulan bahwa visi teologis al-Tha‘labī cukup
al-Suyūṭī dan al-Maḥallī pada pembukaaan risalah ini. inklusif, dengan memberikan jalan keselamatan kepada
Yakni, alasan itu terkait dengan karakteristik apa yang umat-umat lain, yang bukan menjadi bagian dari umat
diwahyukan itu sendiri bersifat rahasia antara kedua Muhammad, untuk memperoleh jaminan keselamatan di
belah pihak yang terlibat dalam proses pewahyuan, Surga, setelah umat Muhammad masuk Surga terlebih
yakni Tuhan dan Muhammad, tanpa perantara Jibril dahulu.
sama sekali. Konsekuensinya, tak seorang pun tahu Akhirnya, pembentukan makna mā awḥā, “apa yang
dan bisa mengakses apa yang diwahyukan kepada diwahyukan” kepada Muhammad telah mengalami
Muhammad kecuali keduanya. Inilah sebabnya momen perbedaan penafsiran dari satu penafsir ke penafsir
kenabian dan pewahyuan bersifat personal dan spiritual, lain. Konsekuensinya, pluralisme dan kontradiksi
yang secara fenomenologis mustahil diakses secara makna mā awḥā dalam tradisi Islam menjadi bukti
langsung oleh kita, umat Islam, yang hidup jauh, baik kuat bahwa makna atas teks Al-Qur’ān memang berasal
dari segi jarak maupun waktu, dari peristiwa di masa bukan dari Tuhan dalam proses pewahyuan, melainkan
silam yang jauh itu. Kita hanya mungkin mengetahui dari komunitas penafsir dalam proses penafsiran.
momen suci di masa silam yang jauh itu dari penuturan Keragaman penafsiran dan produksi makna yang plural
dan laporan dari orang-orang yang hidup semasa dan dan kontradiktif itu adalah bagian intrinsik dari tradisi
setidaknya berdekatan dengan zaman pewahyuan (the Islam yang multivokal.•
age of revelation). ________
Jika apa yang diwahyukan bersifat rahasia, tak SUKIDI, Pemikir Islam.

SUARA MUHAMMADIYAH 16 / 106 | 16 - 31 AGUSTUS 2021 49

Anda mungkin juga menyukai