Anda di halaman 1dari 3

NLP 4 Teacher / Trainer : Menggunakan NLP untuk Pembelajaran

Jika kita cermati secara umum, di sejumlah sekolah dan perguruan tinggi sistem pendidikan
masih terlalu memfokuskan pada 3 hal saja :
1. Kurikulum (TIU, TIK, Mata Kuliah, SKS, Urutan Semester / pre-req, laboratorium, dll).
2. Metode / sistem pendidikan (ceramah, role play, game, in basket, case study, discussion, on
venue, modelling, dll)
3. Lingkungan dan alat bantu pendidikan (alat-alat presentasi, susunan kursi, cat kelas, model
papan tulis, flipchart, background musik, dll)
Sepanjang pengamatan saya di dunia pendidikan, baik SD, SMP, SMA dan perkuliahan, hanya
sedikit dari pendidik yang menggunakan metode / sistem pendidikan (delivery method) yang
cukup psikologis. Sebagian besar hanya lecture saja (ceramah) dan cenderung hanya
komunikasi searah saja. Untuk penggunaan lingkungan dan alat bantu pendidikan juga secara
jelas masih mewarisi gaya ceramah klasik, ini terindikasi dari bentuk kelas yang hampir selalu
memanjang, dengan meja/kursi dosen di depan tengah lebih tinggi letaknya.
Saat ini dorongan untuk memajukan dunia pendidikan demikian kuatnya, dan mulai terlihat geliat
perubahan yang signifikan pada metode pembelajaran yang ada. Dunia psikologi modern
menyumbang sangat besar pada perubahan ini dengan dikumandangkannya konsep seperti
multiple intelligence, accelerated learning, dan lain-lain.
Tulisan ini dimaksud menyumbang efektivitas proses belajar mengajar di kelas dari sudut
pandang NLP. Utamanya yang akan dibahas disini adalah mengenai faktor ke empat yang
menurut NLP sangat penting dalam proses belajar, yaitu "learning state of the student".
NLP meyakini bahwa sebagus apapun kurikulumnya, kalau state of mind dari siswa tidak efektif,
maka yang kita ajarkan akan relatif sia-sia saja. Semua dari guru/dosen/trainer pasti pernah
mengalami saat mengajar dan mahasiswa nampak acuh tak acuh, tidak interes, membolak-balik
buku lain, ngobrol dll.

Aplikasi NLP di ruang kelas.


1. Menyelaraskan kondisi pikiran (Pace the state).
Biasanya dalam memulai kelas, trainer sering menggunaan "ice breaker", atau pemecah
kebekuan. Sebenarnya itu belum terlalu efektif, itu baru menempatkan state siswa menjadi lebih
santai saja / tidak tegang. Paling bagus setelah ice breaker, maka ikuti dengan 'pace the ongoing
reality', maksudnya adalah kita meng-apresiasi secara verbal dan non verbal kondisi realitas riil
mereka dengan kalimat biasa saja, namun berdampak secara unconsious.
Misalkan begini :
"Sambil anda duduk dan memperhatikan apa yang akan saya sampaikan ....."
Kalimat diatas, secara unconsious akan diterima oleh trainee / mhs sebagai "wah dosen ini
mengerti saya....”
Ingat ! Ini terjadi secara unconsious. Silahkan dicoba, anda akan temui berkurangnya jumlah
resistensi dari siswa. Kalau anda sudah canggih, anda bisa mengunakan "stacking ongoing
reality", maksudnya adalah anda menggunakan banyak kalimat-kalimat seperti ini dan
bersambung menyambung, pada awal pembicaraaan anda. Jika ingin mempelajari lebih jauh hal
ini silahkan pelajari hypnosis gaya Milton H. Erikson.

2. Lead to the desire state.


Pada tahap kedua ini, anda mulai mengarahkan mereka pada sebuah state terbaik mereka untuk
kondisi belajar (resourcesfull state). Setiap orang memiliki learning state yang unik (berbeda)
namun umumnya ada beberapa kesamaan antara lain :
□ suasana santai
□ fun (konsisi emosi puncak)
□ bergairah
□ ingin tahu
□ receptive, dll
Bimbing siswa anda menuju ke kondisi itu, upayakan hingga tercapai pada saat puncak. Tepat
sebelum puncak buatlah sebuah "anchor" (pengait emosi) yang tepat dan "subtle" (samar tapi
pasti).
Saat saya masih jadi dosen, pada hari pertama kuliah selalu saya putarkan satu potongan film
Dead Poet Society (Robbin William) yang bercerita mengenai sistem pendidikan. Potongan film
yang saya ambil berisi gambaran peristiwa yang menarik, lucu, menggairahkan, menimbulkan
rasa ingin tahu, santai, dll. Intinya mengarahkan orang pada kondisi "Carpe Diem / Seize The
Day!"
Pada saat saya melihat seluruh mahasiswa tengah pada state itu (kalibrasi – lihat artikel tentang
Poker), secara perlahan tapi pasti saya men-step jari saya shg berbunyi "ctek!", kemudian saya
ikuti dengan menuliskan tulisan di white board "Carpe Diem : Seize the Day!"
Ingat, anchor ini harus dilakukan pada saat yang tepat yaitu saat peak emotion. Lihat tulisan
mengenai phobia yang menjelaskan bahwa hanya pada emosi yang sangat tinggilah akan terjadi
phobia. Phobia adalah anchor visual yang memicu hadirnya respon kinestetik / psikomotor.

3. Fire the anchor


Pada saat dibutuhkan, semisal kelas sedang kurang efektif, agak kendor semangat, maka
piculah anchor itu, agar state siswa bangkit kembali. Di beberapa slide yang saya pakai mengajar
di hari-hari berikutnya, di kanan atas ada tulisan "Carpe Diem:Seize The Day!" Secara sadar
mahasiswa melihat itu sebagai sebuah simbol biasa saja, atau mungkin bahwa saya dianggap
senang pada istilah itu, namun secara unconscious mind, tulisan itu memicu mereka pada emosi
tertentu yang pernah mereka alami saat menonton film itu.
Kondisi ini mirip saat seorang yang phobia cacing melihat cacing, maka secara uncontrollable
dan unconscious akan muncul respon yang menandakan state tertentu (state takut). Learning
state ini lah yang kita picu dengan anchor. Anchor bisa saja visual, auditorial atau kinestetik.
Demikianlah, setiap kali dibutuhkan, piculah anchor itu sehingga mengembalikan state of mind
siswa kembali pada kondisi : fun, bergairah, santai, ingin tahu dan receptive.

4. Nested Loop
Sebelum menutup kuliah, anda perlu membuat suatu "nested loop" yaitu proses merangkaikan
berbagai bagian pelajaran menjadi suatu jejaring yang saling mengikat dan berhubungan. Baik
dengan kuliah yang lalu, bagian-bagian tertentu dari kuliah hari ini, maupun dg kuliah di masa
yang akan datang.
Nested loop ini dilakukan dengan menggunakan berbagai pilihan "kata kunci" yang jika diakses
akan mengarahkan pada ingatan terhadap hal-hal lain / mata pelajaran sebelumnya, dlsb.
Di NLP ini dilakukan dengan menggunakan metafora kisah yang menggunakan prinsip asosiasi.

5. Future pacing
Agar supaya ilmu yang kita bagikan bisa lebih melekat dan lebih aplikatif. Saat penutup selalu
lakukan future pacing. Yakni membawa pikiran siswa ke masa depan pada suatu situasi dimana
mereka akan membutuhkan ilmu tersebut. Kemudian tunjukkan bagaimana ilmu baru tersebut
dapat menjadi solusi yang jitu dalam menyelesaikan persoalan itu. Lakukan dengan bahasa yang
gamblang dan sensory base (menggunakan VAKOG yang jelas). Lantas, tutup dengan suatu
metafora (kisah), dan gabungkan dengan anchor sebagai pengaitnya.

BelajarNLP.com

Anda mungkin juga menyukai