Anda di halaman 1dari 13

RESUME

Nama : Sigit Prastowo


NIM : P2B220022
Dosen Pengampu : Dr. Dwi Suryahartati, S.H., M.Kn
Mata Kuliah : Cyber Notary

UNIVERSITAS JAMBI
MAGISTES KENOTARIATAN
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

‫يم‬
ِ ‫الر ِح‬
َّ ‫من‬
ِ ‫الر ْح‬
َّ ِ‫س ِم هللا‬
ْ ‫ِب‬
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat-Nya dan kesempatan
yang telah Ia berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas dalam bentuk penulisan
Resume.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu yang memberikan sumbangan ilmu


dan wawasan kepada Penulis, kepada bapak yang penulis Hormati :
1. Ibu Dr. Surya Hartati, S.H., M.Kn selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Cyber Notary
Universitas Jambi yang telah memberikan materi kepada Penulis.

Dalam penyusunan Resume ini penulis menyadari keterbatasan ilmu dan


kemampuan yang penulis miliki, maka penulis dengan senang hati menerima kritik dan
saran, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pihak lain yang
membutuhkan umumnya.

Jambi, 25 September 2021


Penulis

Sigit Prastowo

ii
RESUME

“Menurut Teguh Samudera, bahwa masalah pembuktian penting sekali diketahui

oleh seluruh masyarakat masyarakat dan oleh karena itu perlu pula untuk disebar luaskan

agar masyarakat lebih jelas memahahi masalah pembuktian dengan alasan pertimbangan

sebagai berikut :”

a) Pada dasarnya pembuktian adalah merupakan bagian yang penting dalam hukum

acara.

b) Baik dalam mengadili perkara hakim selalu memerlukan pembuktian

c) Dengan diselesaikannnya suatu perkara melalui Pengadilan maka akan dicapai

suatu penyelesaian yang pasti berdaarkan alat-alat pembuktian.

d) Karena dengan pembuktian dimaksudkan akan dapat dicapai suatu kebenaran

yang sesungguhnya yaitu kebenaran dari hubungan hukumapihak-pihak yang

berperkara.

e) Dan dengan jalan pembuktian maka akan dapat diketahui siapa sebenarnya yang

benar.

f) Dan dengan adanya pembuktian maka akan dapat dijamin adanya perlindungan

terhadap hak-hak asasi para pihak yang berperkara secara seimbang.

g) Oleh karena dengan pembuktian dapat memberikan gambaran bahwa

pemeriksaan suatu perkara adalah pemeriksaan yang benar menurut hukum.

h) Adanya alat alat pembuktian itu dapat menjamin bahwa hakim dalam melakukan

pembuktian tidak mengada-ada karena telah ditentukan dalam undang-undang.

i) Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada sarjana

hukum yang belum tahu bagaimana cara membuktikan suatu hal yang didalilkan

1
“Menurut Pasal 24 UUD 1945 yang di amandemen, berarti di Indonesia kekuasaan

yudicatif terdiri dari :”

1. Lingkungan Peradilan Umum

2. Lingkungan Peradilan Agama

3. Lingkungan Peradilan Militer

4. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara

5. Makamah Konstitusi

“Di mana dalam pelaksanaan operasionalnya dan hukum acaranya bahwa lembaga

ini diatur menurut undang-undang tersendiri. Manusia dikodratkan untuk selalu hidup

bersama demi hidupnya, menimbulkan satu jenis hukum yang ketentuannya mengatur

tentang kehidupan itu dan dinamakan hukum perdata (private recht). Perkataan hukum

perdata dalam arti luas meliputi ketentuan-ketentuan dalam hukum perdata materiil yang

mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Hukum perdata materiil ini sering juga

disebut “hukum sipil”, tetapi karena kata “sipil” lazim digunakan sebagai lawan dari kata

“militer”, sebaiknya terhadap pemakaian istilah kita gunakan “hukum perdata” saja.

Perkataan hukum perdata ada juga yang memberikan dalam arti sempit yaitu lawan dari

hukum dagang. Sebenarnya kalau dilihat dari skematik lama yang dimaksud hukum perdata

itu terdiri dari hukum sipil dan hukum dagang kurang dapat memberikan suatu kesatuan

sistem keperdataan, karena pembagian itu hanya berdasar kepada pembagian undang-

undang hukum perdata Belanda sebagai akibat dari sejarah pengkodifikasian sampai ada dua

kitab undang-undang hukum dalam satu sistem kaidah hukum perdata.”

“Kalau dilihat dari kenyataan yang ada, maka sebenarnya hukum perdata di

Indonesia terdiri dari: Pertama, hukum perdata adat yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang

mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat adat yang berkaitan dengan

kepentingan perseorangan. Masyarakat yang dimaksud di sini adalah kelompok sosial

2
bangsa Indonesia. Ketentuan-ketentuan hukum perdata adat ini pada umumnya tidak tertulis

dan berlaku secara turun menurun dalam kehidupan masyarakat adat. Kedua, hukum perdata

Eropa yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum yang menyangkut

mengenai kepentingan orangorang Eropa dan orang-orang yang diberlakukan ketentuan itu.

Ketiga, bagian hukum perdata yang bersifat nasional yaitu bidangbidang hukum perdata

sebagai hasil produk nasional. Bagian hukum perdata nasional yang dibuat itu misalnya

hukum perkawinan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum

Agraria yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.”

“Yang akan dibahas dalam makalah ini adalah hukum Perdata Eropa atau disebut

dengan Burgelijk Wetboek (BW) yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia

lazim disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH

Perdata).”

“Dengan diundangkannya KUH Perdata dan Kitab Undangundang Hukum Dagang

pada tahun 1847 untuk golongan Eropa di Hindia Belanda, maka tugas-tugas kerja yang

bersangkut paut dengan upaya kodifikasi yang diprakarsai dan ditata oleh eksponeneksponen

bewuste rechtspolitiek untuk mengukuhkan supremasi hukum di Hindia Belanda. Alasan

diterapkannya KUH Perdata di Hindia Belanda antara lain di sebutkan oleh Cowan yaitu:

Pertama, hukum adat yang tak tertulis akan menimbulkan ketidakpastian hokum, dan apabila

orang cuman bersandar pada hukum adat maka sulit untuk memperkirakan apa yang boleh

dijangka akan diputus oleh hakim. Kedua, penerapan berbagai hukum untuk berbagai ragam

golongan-golongan penduduk akan melahirkan situasi yang membingungkan dan kritis.”

“Sudah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum perdata adalah rangkaian

peraturan yang mengatur hubungan antara warga negara perseorangan dengan warga negara

perseorangan yang lain. Sedangkan hukum perdata tertulis yang dimaksud dalam makalah

ini adalah hukum perdata yang diatur di dalam KUH Perdata (Burgelijk Wetboek).”

3
“Hukum perdata semula berasal dari bangsa Romawi yaitu lebih kurang 50 SM pada

masa pemerintahan Yulius Caesar berkuasa di Eropah Barat yang sejak waktu itu hukum

Romawi diberlakukan di Perancis walaupun bercampur dengan hukum asli yang sudah ada

sebelum orang Romawi menguasai Galis (Perancis). Keadaan seperti ini terus berlangsung

sampai pada masa pemerintahan Louis XV yaitu dengan diawalinya usaha kearah adanya

kesatuan hukum yang kemudian menghasilkan suatu kodifikasi yang” diberi nama “Code

Civil Des Francois” pada 21 Maret 1804 yang kemudian pada 1807 diundangkan kembali

menjadi “Code Napoleon”.

“Berlakunya hukum perdata Belanda tersebut di Indonesia bertalian erat dengan

politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi

3 golongan yaitu:”

1. Golongan Eropa yaitu semua orang Belanda, orang yang berasal dari Eropa,

orang Jepang, orang yang hukum keluarganya berdasarkan azas-azas yang sama

dengan hukum Belanda beserta anak keturunan mereka;

2. Golongan Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing bukan Tionghoa misalnya

orang Arab, India dan Pakistan;

3. Mereka yang telah meleburkan diri dan menyesuaikan hidupnya dengan

golongan Bumi Putera.

“Penggolongan tersebut diatur dalam pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang

sampai sekarang masih tetap berlaku berdasarkan ketentuan pasal 2 Aturan Peralihan

Undang-undang Dasar 1945. Mengenai hukum apa yang berlaku bagi masing-masing

golongan diatur dalam pasal 131 IS yang menentukan, bahwa: Pertama, bagi golongan Eropa

berlaku hukum perdata dan hukum Dagang yang berlaku di Negara Belanda atas dasar azas

konkordansi. Kedua, bagi golongan Timur Asing Tiongha berlaku hukum perdata yang

diatur dalam BW dan Hukum Dagang yang diatur dalam KUHD (WvK ) dengan beberapa

4
pengecualian dan penambahan sebagaimana diatur dalam stablad tahun 1917 Nomor 129 jo

Stb. Tahun 1925 Nomor 557.”

“Sistematika Burgelijk Wetboek terdiri atas: Pertama, Perihal Orang (Van Personen),

yang mengatur tentang hukum badan pribadi dan hukum keluarga. Kedua Perihal Benda

(Van Zaken), yang mengatur tentang benda termasuk di dalamnya hukum waris. Ketiga,

Perihal Perikatan (Van Verbintenissen), yang mengatur tentang hukum kekayaan yang

mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-

pihak tertentu. Keempat, Perihal pembuktian dan Lewat Waktu (Van Bewijaeu Veryaring).

Sistimatika tersebut di atas sangat dipengaruhi oleh sistem institutiones Justiniasnse.”

“Jika kita bandingkan kedua sistematika tersebut di atas, terdapat perbedaan atau

ketidaktepatan-ketidaktepatan sebagai berikut, yaitu: Pertama, BW mengatur hukum

keluarga sebagai bagian dari buku I (hukum badan pribadi) dengan alasan bahwa di dalam

hukum keluarga terdapat hubungan-hubungan yang mempengaruhi kecakapan bertindak

dari subyek hak atau person. Kedua, BW mengatur hukum waris sebagai bagian dari buku

II (buku benda) dengan alasan karena pembentuk Undang-undang memandang hak waris itu

sebagai suatu hak kebendaan atas harta kekayaan dari orang yang meninggal dunia.

Pewarisan dianggap sebagai salah satu cara untuk memperoleh eigendom, sedangkan

eigendom adalah merupakan suatu hak kebendaan. Ketiga, dalam sistimatik ilmu

pengetahuan hukum benda dan hukum perikatan tidak diatur tersendiri sebab hukum harta

kekayaan sebagai aturan yang mengatur hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang

dapat ditimbulkan karena hak– hak kebendaan yang diatur dalam buku II BW maupun yang

ditimbulkan karena perikatan seperti diatur dalam buku III BW. Keempat, pengaturan alat

bukti dan lewat waktu dalam buku IV BW di pandang kurang tepat karena merupakan soal

hukum acara, sedang BW mengatur tentang hukum perdata pokok.”

5
“Dalam proses pembuktian ada kegiatan membuktikan. Membuktikan adalah

meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu

persengketaan, sehingga tampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam

persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan. Mengenai pengertian bukti dan

alat bukti dapat disimak pendapat dari Subekti yang menyatakan bahwa bukti adalah sesuatu

untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. Alat bukti, alat pembuktian,

upaya pembuktian adalah alat yang dipergunakan untuk membuktikan dalil-dalil suatu pihak

di pengadilan, misalnya: bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, sumpah dan lain-lain.”

“Pasal 164 HIR/ 284 RBg mengatur secara limitatif mengenai alat bukti dalam

perkara perdata, yaitu: alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-

persangkaan, pengakuan dan sumpah. Di luar itu, terdapat alat-alat bukti yang dapat

dipergunakan untuk memperoleh kepastian mengenai kebenaran suatu peristiwa yang

menjadi sengketa, yaitu pemeriksaan setempat (descente) yang diatur dalam Pasal 153

HIR/180 RBg. dan keterangan ahli/ saksi ahli (expertise) yang diatur dalam Pasal 154

HIR/181 RBg.”

1. Alat Bukti Tertulis (Surat)

“Surat (tulisan) merupakan alat bukti yang utama, karena dalam lalu lintas

keperdataan (seperti jual-beli, utang-piutang, sewa-menyewa, dan sebagainya), orang

memang dengan sengaja membuat alat-alat bukti yang akan digunakan (dipersiapkan) untuk

membuktikan perbuatan hukum yang ia lakukan di kemudian hari seandainya timbul

perselisihan, dan bukti yang disediakan tadi lazimnya berbentuk tulisan. Alat bukti surat

dibagi menjadi dua, yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan

akta (surat biasa), sedangkan akta juga dibagi dua, yaitu akta otentik dan akta di bawah

tangan. Akta ialah surat yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan,

6
yang sejak semula dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dan ditandatangani oleh

pembuatnya.”

“Akta otentik yaitu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dan dibuat

oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum (pejabat umum) yang berkuasa untuk itu di

tempat di mana akta dibuatnya.12 Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

akta otentik dapat dibagi menjadi akta yang dibuat oleh pejabat (acte ambtelijk) yaitu:

pertama, akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu serta pejabat tersebut

menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya, jadi di sini inisiatif tidak berasal

dari orang yang namanya diterangkan dalam akta tersebut, misalnya berita acara di

kepolisian; kedua, akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan pejabat yang berwenang (acte

partij), yaitu akta yang dibuat di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu atas

permintaan pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya akta notaris tentang jual beli atau

sewa menyewa.”

“Selain akta otentik juga ada akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat

untuk pembuktian oleh para pihak yang berkepentingan tanpa bantuan dari pejabat yang

berwenang. Segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik disebut akta di bawah

tangan, atau dengan kata lain segala jenis akta yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat

umum termasuk rumpun akta di bawah tangan.”

2. Alat Bukti Keterangan Saksi

“Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang

peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh

orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.

Keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya

sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh melalui berpikir tidaklah

7
merupakan kesaksian. Demikian dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 171 ayat (2) HIR, 308

ayat (2) RBg, dan 1907 BW.”

“Selain itu, keterangan saksi harus disampaikan secara lisan dan pribadi di

persidangan, jadi harus diberitahukan sendiri oleh saksi dan tidak diwakilkan serta tidak

boleh dibuat secara tertulis. Pada asalnya setiap orang yang bukan merupakan salah satu

pihak yang berperkara, dapat didengar sebagai saksi, dan apabila ia telah dipanggil oleh

pengadilan untuk memberi kesaksian maka ia wajib memberi kesaksian. Kewajiban untuk

memberi kesaksian ini diatur dalam Pasal 139 HIR (165 RBg/1909 BW) yang juga

menjelaskan tentang sanksinya apabila mereka tidak memenuhinya. Terhadap kewajiban

memberi kesaksian ini ada pembatasannya, yaitu mereka yang oleh undang-undang

dianggap tidak mampu untuk bertindak sebagai saksi, baik tidak mampu secara mutlak

seperti keluarga sedarah dan semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak,

dan suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai; maupun yang tidak

mampu secara relatif yaitu mereka yang boleh didengar tetapi tidak sebagai saksi seperti

anak-anak yang belum mencapai umum 15 tahun dan orang gila meskipun kadang-kadang

ingatannya sehat. Keterangan mereka hanya boleh dianggap sebagai penjelasan saja.”

3. Alat Bukti Persangkaan-persangkaan

“Persangkaan pada hakikatnya merupakan alat bukti yang bersifat tidak langsung,

karena alat bukti persangkaan tidak dapat berdiri sendiri melainkan dengan perantaraan alat

bukti lain. Dengan persangkaan, suatu peristiwa dibuktikan secara tidak langsung, artinya

dengan melalui pembuktian peristiwa lain. Misalnya untuk membuktikan ketidakhadiran

seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu, dilakukan dengan cara membuktikan

kehadirannya pada waktu yang sama di tempat lain. HIR hanya mengatur tentang

persangkaan yang didasarkan pada kenyataan (feitelijke atau rechterlijke vermoedens) saja

yang diatur dalam Pasal 173 HIR yaitu bahwa persangkaan saja yang tidak didasarkan pada

8
ketentuan undang-undang hanya boleh diperhatikan oleh hakim pada waktu menjatuhkan

putusannya apabila persangkaan itu penting, seksama, tertentu dan ada hubungannya satu

sama lain.”

4. Alat Bukti Pengakuan

“Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan peristiwa, hak atau

hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan. Karenanya dengan adanya pengakuan

maka sengketa dianggap selesai sekalipun pengakuannya itu tidak sesuai dengan kebenaran,

dan hakim tidak perlu meneliti kebenaran pengakuan tersebut. Oleh karena itu, pada

hakikatnya pengakuan bukanlah merupakan pernyataan tentang kebenaran akan tetapi lebih

merupakan pernyataan kehendak untuk menyelesaikan perkara. Maka sekalipun dimasukkan

sebagai alat bukti dalam Pasal 164 HIR (284 RBg, 1866 BW), pada hakikatnya pengakuan

bukanlah merupakan alat bukti.”

“Terhadap pengakuan dengan tambahan sebagaimana telah diuraikan di atas, hakim

harus menerimanya secara bulat, tidak boleh dipisahkan atau dipecah antara pengakuan

dengan tambahannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 176 HIR (313 RBg) yang menyatakan

bahwa”: “Tiap pengakuan harus diterima keseluruhannya dan hakim tidak bebas untuk

menerima sebagian dan menolak selebihnya, sehingga merugikan yang memberi pengakuan,

hal demikian itu hanya boleh dilakukan kalau orang yang berutang, dengan maksud

membebaskan dirinya, menyebutkan peristiwa yang terbukti tidak benar.”

“Asas pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan (onsplitsbare aveu) ini berlaku

terhadap pengakuan dengan tambahan, baik pengakuan dengan kualifikasi maupun

pengakuan dengan klausula haruslah diterima bulat dan tidak boleh dipisahkan dari

keterangan tambahannya sehingga merugikan pihak yang memberi pengakuan. Maksud

pembentuk undang-undang tidak lain adalah agar jangan sampai hakim memisah-misahkan

pengakuan itu menjadi bagian yang berisikan pengakuan yang tidak perlu dibuktikan lebih

9
lanjut, dan bagian tambahannya dibebankan kepada pihak yang memberikan pengakuan

untuk membuktikan kebenarannya.”

5. Alat Bukti Sumpah

“Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat, diberikan atau

diucapkan pada waktu memberikan janji atau keterangan dengan mengingat sifat maha kuasa

dari Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji atau keterangan

yang tidak benar akan dihukum oleh Tuhan. Dari rumusan tersebut, dapat disimpulkan ada

dua macam sumpah, yaitu sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu

disebut sumpah promissoir, dan sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan

bahwa sesuatu itu benar atau tidak yang disebut sumpah assertoir. Sumpah yang diucapkan

oleh seorang saksi atau saksi ahli sebelum memberi kesaksian atau pendapatnya, termasuk

ke dalam sumpah promissoir karena diakhiri dengan janji akan memberikan keterangan yang

benar dan tidak lain dari yang sebenarnya; sedangkan sumpah sebagai alat bukti termasuk

ke dalam sumpah assertoir karena fungsinya untuk meneguhkan suatu peristiwa. HIR/RBg

menyebutkan ada tiga macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu sumpah pelengkap

(suppletoir eed), sumpah pemutus (decisoir eed) dan sumpah penaksir (aestimatoir eed),

yang diatur dalam Pasal 155–158, Pasal 177 HIR; dan Pasal 182–185, Pasal 314 RBg.”

“Hukum pembuktian di Indonesia, secara yuridis formal belum mengakomodasi

dokumen atau informasi elektronik sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa melalui

pengadilan. Namun demikian, melalui pembentukan hukum materiil sebenarnya di

Indonesia telah ada beberapa tindakan yang mengarah pada penggunaan dan pengakuan

terhadap dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, misalnya dengan dikenalnya

online trading dalam bursa efek dan pengaturan mikro film serta sarana elektronik sebagai

media penyimpan dokumen perusahaan yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun

1997 Tentang Dokumen Perusahaan.”

10
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN

A. DATA PRIBADI

Nama : Sigit Prastowo

Tempat/ Tanggal Lahir : Jambi, 13 Mei 1997

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status : Belum Kawin

Alamat : Jl. Dr. Purwadi Perum. Permata Kenali Blok B 14

RT 17 Kelurahan Kenali besar Kecamatan Alam Barajo

B. PENDIDIKAN FORMAL

1. SD Negeri 66 Kota Jambi, Lulus tahun 2009

2. SMP Negeri 7 Kota Jambi, Lulus Tahun 2012

3. SMA Negeri 2 Sukoharjo Solo Jawa Tengah, Lulus Tahun 2015

4. Universitas Batanghari S-1 Ilmu Hukum (Pidana) IPK 3,53, Lulus Tahun 2020

Demikian Daftar Riwayat Hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan
dapat di pertanggungjawabkan.

Jambi, 25 September 2021

Sigit Prastowo

11

Anda mungkin juga menyukai