Anda di halaman 1dari 12

1.

Indonesia adalah sebuah negara yang lahir dari sebuah perjuangan.


Banyak faktor-faktor penting yang mendorong terciptanya sebuah
negara kesatuan yang utuh di tengah berbagai perbedaan dan
keberagaman yang terkandung dalam sebuah nama Indonesia. Tak
dapat dipungkiri lagi bahwa segala daya upaya seperti peperangan,
negosiasi, diplomasi, dan strategi merupakan usaha-usaha yang
dikerahkan oleh pendiri bangsa ini untuk meraih sebuah kata
merdeka. Usaha mereka kemudian membuahkan hasil berupa
sebuah negara yang berdiri megah di sudut tenggara benua Asia.
Berdirinya Indonesia sebagai sebuah negara tercetak jelas dalam bab
pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 mengenai bentuk dan kedaulatan. Pada pasal 1 ayat 1 tertulis
“Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”
yang kemudian dipertegas oleh pasal 37 ayat 5 yang menyebutkan
“Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak
dapat dilakukan perubahan”. Kehadiran dua pasal dalam sumber
hukum di Indonesia ini memperjelas peran penting bentuk negara
dalam kelangsungan negara yang bersangkutan. UUD 1945 telah
mengalami empat kali amandemen dan hingga saat ini belum ada
pihak yang mempermasalahkan kedua pasal tersebut. Ditetapkannya
dua pasal tersebut dalam UUD 1945 menandakan bahwa bentuk
kesatuan dan republik merupakan bentuk negara yang paling ideal
dan dirasa paling cocok untuk mempersatukan keberagaman suku,
ras, budaya, dan bahasa yang ada di Indonesia.
Sebelum Indonesia menyatakan diri sebagai sebuah negara yang
berbentuk republik, telah terjadi berbagai peristiwa besar yang
kemudian memantapkan keputusan Indonesia sebagai sebuah
negara kesatuan yang berbentuk republik. Pada masa kolonial di
abad ke-19 dan ke-20, Indonesia terdiri dari vorstenlanden atau
dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai wilayah raja-raja (Siraishi,
1990 : 1). Munculnya pemikiran bentuk negara pada saat itu ditandai
dengan kehadiran politik etis. Adalah seorang van Deventer yang
kemudian mendapat julukan sebagai “Bapak Pergerakan Etis” pada
masa itu (Anon, 1900-1914: 57). Van Deventer menempatkan
kesejahteraan penduduk asli di atas segala-galanya dan merupakan
seorang penentang kemiskinan di Jawa yang paling gigih dalam
menyerang praktik-praktik pemerasan yang saat itu dilakukan oleh
Cultuur Stelsel (Anon, 1900-1914: 57). Kebijakan etis didasari oleh
suatu pemikiran bahwa Belanda berhutang kehormatan pada
Indonesia sebab Belanda telah mengeruk kekayaan rakyat Indonesia
untuk memakmurkan negaranya sendiri sehingga timbul pemikiran
bahwa Indonesia harus diperintah, bukan demi Belanda, tapi demi
penduduk aslinya (Vlekke, 1961: 382). Dalam politik etis ini, sektor
yang dititikberatkan adalah pendidikan sehingga muncul pelajar-
pelajar Indonesia yang mendapat kesempatan untuk mengenyam
pendidikan di benua Barat. Berkat adanya kesepakatan ini, para
pelajar Indonesia yang memiliki rasa nasionalisme tinggi tersebut
terdorong untuk membentuk organisasi-organisasi pemuda seperti
Budi Utomo yang mewadahi aspirasi dan keinginan masyarakat
Indonesia saat itu (Anon, 1900-1914: 90). Berkat pembentukan
organisasi-organisasi nasional ini, rasa patriotisme masyarakat
Indonesia semakin membara dan berujung pada merebaknya
pergerakan nasional demi kemerdekaan Indonesia.
Sebelum proklamasi kemerdekaan, para pendiri bangsa telah
memikirkan bagaimana seharusnya bentuk negara dan
pemerintahan Indonesia untuk seterusnya. Perundingan ini
dilangsungkan melalui sidang BPUPKI yang dilaksanakan pada tanggal
29 Mei hingga 1 Juni 1945. Dua orang tokoh bangsa yaitu
Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin menyumbangkan
pemikiran mereka mengenai tiga pilihan bentuk negara bagi
Indonesia yaitu negara kesatuan atau uni (eenheidstaat), negara
serikat atau federal (bondstaat), dan serikat negara-negara
(statenbond) yang kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Susanto
Tirtoprodjo (Republika, 1999). Pada negara kesatuan, yang berhak
berhubungan dengan luar negeri hanya pemerintah pusat dan pada
negara federal, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
berhak berhubungan dengan luar negeri (Republika, 1999).
Pemerintah pusat berhak mengadakan aturan langsung untuk semua
penduduk sedangkan pada serikat negara-negara, pemerintah pusat
tidak berhak langsung membuat aturan untuk penduduk melainkan
hanya dengan perantara pemerintah daerah (Republika, 1999). Di
dalam sidang-sidang yang dilakukan, nampaknya usul mengenai
pengkehendakan bentuk negara yang berupa kesatuan mendominasi
perdebatan pada saat itu. Seorang Soepomo sendiri beranggapan
bentuk kesatuan sejalan dengan pemikirannya mengenai negara
integralistik yang melihat bangsa sebagai suatu organisme namun
kemudian dirangkum kembali oleh Muhammad Yamin melalui lima
alasan bentuk kesatuan (Republik, 1999). Pertama adalah unitarisme
sudah menjadi cita-cita gerakan kemerdekaan selama masa
perjuangan. Hal ini menggambarkan bagaimana kekuatan unitarisme
dalam pergerakan perjuangan pada saat itu. Kedua adalah agar tidak
memberi kesempatan bagi provinsionalisme yang mengklasifikasikan
daerah mereka lebih superior dan berkuasa dari daerah lain. Ketiga
adalah fakta bahwa tenaga-tenaga terpelajar kebanyakan berada di
Jawa sehingga menyulitkan tenaga di daerah-daerah untuk
membentuk negara federal mengingat luasnya Indonesia sebagai
salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Keempat adalah
wilayah-wilayah di indonesia yang tidak memiliki potensi dan
kekayaan yang sama sehingga semakin menyulitkan pembentukan
negara federal. Kelima, dari sudut geopolitik, dunia internasional
akan melihat Indonesia sebagai negara yang kuat apabila berbentuk
sebagai negara kesatuan (Republika, 1999).

Bentuk negara republik sesungguhnya tidak langsung dapat


diimplementasikan sesaat setelah diputuskannya bentuk negara
Indonesia pada sidang BPUPKI maupun setelah proklamasi
kemerdekaan dinyatakan. Indonesia mengalami berbagai macam
peristiwa besar yang sempat mengubah bentuk negara Indonesia
pada saat itu. Salah satunya adalah Perundingan Linggarjati pada
tanggal 10 November 1946 yang saat itu diadakan oleh Indonesia
dan Belanda untuk menyepakati pembentukan negara federasi yaitu
Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat
(Badrika, 2006: 163). Republik Indonesia Serikat selanjutnya terikat
dengan Kerajaan Belanda di bawah naungan Uni Indonesia-Belanda
yang diketuai oleh Ratu Belanda (Badrika, 2006: 163). Secara tidak
langsung, Perundingan Linggarjati ini membuat Indonesia berubah
secara struktur dasarnya akibat keinginan agar Indonesia diakui oleh
Belanda. Namun, harapan Belanda untuk membentuk negara serikat
ternyata tidak berjalan lancar. Terjadi berbagai ketimpangan di
bidang ekonomi yang membuat Indonesia kembali lagi menuju
republik. Hal ini merupakan salah satu bentuk nyata ketidakcocokan
Indonesia terhadap bentuk negara lain selain republik. Pada tahun
1950, Republik Indonesia Serikat kemudian kembali lagi menuju
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdampak pada
digantikannya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 sehingga
negara-negara bagian kembali bergabung pada Indonesia yang
memutuskan untuk menjadi negara kesatuan yang berbentuk
republik (Badrika, 2006: 164).

Berdasarkan pernyataan-pernyataan pendiri bangsa mengenai


bentuk negara Indonesia yang paling pantas dan cocok untuk negara
ini, penulis berpendapat bahwa bentuk negara yang paling pantas
untuk Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik
sesuai dengan pasal 1 ayat 1 dalam UUD 1945. Indonesia telah
mencoba sistem negara lain seperti federal sebelumnya namun
sebagian besar orang Indonesia merasakan ketidakpuasan terhadap
sistem federal yang membebani bangsa terutama pada Perjanjian
Den Haag (Kahin, 1952: 450). Selain itu negara-negara bagian
mengalami kesulitan dalam mengimbangi perkembangan negara-
negara bagian lainnya sehingga terjadi ketimpangan di berbagai
bidang pada saat Indonesia berbentuk Serikat. Pernyataan Ferrazzi
(2000: 84) yang menyebutkan bahwa federalisme cocok dengan nilai-
nilai abadi dan penderitaan masyarakat Indonesia pada masa
penjajahan menurut penulis tidak mencerminkan semangat
persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagaimana yang disebutkan
Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945,
Indonesia haruslah menjadi negara persatuan yang tidak terpecah
belah, dibentuk ke dalam dan keluar badan bangsa Indonesia dengan
tidak terbagi-bagi dan terkotak-kotakkan. Negara federal apabila
dibandingkan dengan negara kesatuan akan sangat terlihat
perbedaannya sebab negara kesatuan secara otomatis akan
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Berbeda dengan
negara federal yang hanya akan melemahkan Indonesia. Selain itu,
bentuk negara federal ataupun serikat juga akan menghambat
perkembangan suatu daerah sebab suatu daerah tertentu tidak
memiliki sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang
sama dengan daerah lainnya sehingga hal ini akan mempersulit
peran pemerintah dalam pengawasan dan penyeimbangan peran
serta daerah-daerah tersebut di bawah negara federal ataupun
serikat. Membandingkan negara luas lainnya seperti Amerika Serikat
yang menerapkan sistem federal secara sukses dengan Indonesia
tidak dapat dilakukan sebab secara tidak sadar telah terlupakan satu
aspek penting bernama kesetaraan. Perbedaan mendasar antara
negara-negara barat yang menerapkan sistem federal dengan
Indonesia adalah suku dan ras yang ada di negara tersebut. Negara
barat kebanyakan homogen sehingga memudahkan penerapan
sistem tersebut. Berbeda dengan Indonesia yang heterogen dengan
ratusan suku, ras, dan latar belakang budaya sehingga pola pikir
mereka juga berbeda-beda. Inilah yang menjadi faktor
ketidakcocokan penerapan sistem federal di Indonesia. Dengan
berbagai pertimbangan dan penjabaran mengenai bentuk negara
dan pemerintahan yang tepat untuk Indonesia, penulis menyatakan
bahwa negara kesatuan yang berbentuk republik merupakan bentuk
yang paling cocok untuk Indonesia dan tidak akan dapat digantikan
dengan sistem-sistem lainnya. Indonesia membutuhkan sebuah
negara yang dibentuk berdasarkan persatuan dan kesatuan, bukan
dikotak-kotakkan dan diklasifikasikan. Federal dan serikat hanya akan
menimbulkan perpecahan di tengah indahnya perbedaan. Sangat
bertolak belakang dengan negara kesatuan yang menjunjung tinggi
keberagaman.

2.
pasang surut wibawa pancasila sebagai dasar negara tergantung
pada cara pandang masyarakat terhadap pancasila tersebut.
hal ini dikarenakan, terkadang cara pandang generasi kegenerasi
terhadap pancasila tidaklah sama.adapun penyebabnya bisa
dikarenakan berbagai macam hal.seperti, menurunnya jiwa
patriotisme masyarakat, munculnya ideologi2 yang tidak
berlandaskan ideologi pancasila, pengaruh budaya asing dsb.
Karena pancasila disini adalah sebagai ideologi nasional maka dapat
dilihat dari beberapa dimensi:
1. Dimensi idealitas yaitu mengandung cita-cita dan harapan dari
masyarakat.
2. Dimensi realitas yaitu sumber dari isi ideologi dilihat dari realitas
yang ada dilingkungan sekita kita.
3. Dimensi normalitas yang berisikan aturan yang harus dipatuhi oleh
setiap warga negara.
4. Dimensi fleksibilitas yang berisikan dapat berubah dengan
perubahan zaman dan teknologi dan bersifat demokratis dan
terbuka.
Poin ke 4 inilah yang menjadi faktor adanya dinamika pancasila
sebagai dasar negara, karena dilihat dari dimensi fleksibiltas maka
pancasila seharusnya berubah dengan seiring zaman yang ada dan
melihat relitas yang ada dimasyarakat yang semakin hari tidak
mencerminkan sifat-sifat yang terkandung pada pancasila.

3.
“Ketahanan ideologi Pancasila kembali diuji ketika dunia masuk pada
era globalisasi di mana banyaknya ideologi alternatif merasuki ke
dalam segenap sendi-sendi bangsa melalui media informasi yang
dapat dijangkau oleh seluruh anak bangsa,” kata Deputi Bidang
Pengkajian Strategik Prof. Dr. Ir. Reni Mayerni, M.P. membuka Focus
Group Discussion (FGD) tentang Mencari Bentuk Implementasi Nilai-
Nilai Pancasila dalam Era Globalisasi bertempat di Ruang Gatot Kaca,
Senin, 9 Maret 2020.
Pancasila sejatinya merupakan ideologi terbuka, yakni ideologi yang
terbuka dalam menyerap nilai-nilai baru yang dapat bermanfaat bagi
keberlangsungan hidup bangsa. Namun, di sisi lain diharuskan
adanya kewaspadaan nasional terhadap ideologi baru. Apabila
Indonesia tidak cermat, maka masyarakat akan cenderung ikut arus
ideologi luar tersebut, sedangkan ideologi asli bangsa Indonesia
sendiri yakni Pancasila malah terlupakan baik nilai-nilainya maupun
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Pancasila sejatinya merupakan ideologi terbuka, yakni ideologi yang
terbuka dalam menyerap nilai-nilai baru yang dapat bermanfaat bagi
keberlangsungan hidup bangsa. Namun, di sisi lain diharuskan
adanya kewaspadaan nasional terhadap ideologi baru. Apabila
Indonesia tidak cermat, maka masyarakat akan cenderung ikut arus
ideologi luar tersebut, sedangkan ideologi asli bangsa Indonesia
sendiri yakni Pancasila malah terlupakan baik nilai-nilainya maupun
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Anggota Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno Laksono, M.E.,
menjelaskan mengenai tantangan yang dihadapi saat ini. Tantangan
pertama adalah banyaknya ideologi alternatif melalui media
informasi yang mudah dijangkau oleh seluruh anak bangsa seperti
radikalisme, ekstremisme, konsumerisme. Hal tersebut juga
membuat masyarakat mengalami penurunan intensitas
pembelajaran Pancasila dan juga kurangnya efektivitas serta daya
tarik pembelajaran Pancasila.
Kemudian tantangan selanjutnya adalah eksklusivisme sosial yang
terkait derasnya arus globalisasi yang mengarah kepada menguatnya
kecenderungan politisasi identitas, gejala polarisasi dan fragmentasi
sosial yang berbasis SARA. Bonus demografi yang akan segera
dinikmati Bangsa Indonesia juga menjadi tantangan tersendiri untuk
menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda di tengah
arus globalisasi.
rekomendasi implementasi nilai-nilai Pancasila di era globalisasi.
Pertama, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang menarik
bagi generasi muda dan masyarakat.
Rekomendasi selanjutnya adalah membumikan nilai-nilai Pancasila
melalui pendidikan dan/atau pembelajaran berkesinambungan yang
berkelanjutan di semua lini dan wilayah. Oleh karena itu, Dave
menganggap perlu ada kurikulum di satuan pendidikan dan
perguruan tinggi yaitu Pendidikan Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan (P3KN).
Pancasila di masa mendatang akan mempertahankan otoritas negara
dan penegakan hukum serta menjadi pelindung hak-hak dasar warga
negara sebagai manusia. Oleh karena itu, sangat penting untuk
menanamkan kesadaran terhadap potensi bahaya gangguan dari luar
yang dapat merusak dan mengajak siswa untuk mempertahankan
identitas bangsa serta meningkatkan ketahanan mental dan ideologi
bangsa.
“Seharusnya representasi sosial tentang Pancasila yang diingat orang
adalah Pancasila ideologi toleransi, Pancasila ideologi pluralisme, dan
Pancasila ideologi multikulturalisme,” kata Pakar Psikologi Politik
Universitas Indonesia Prof. Dr. Hamdi Moeloek.
Representasi sosial tentang Pancasila yang dimaksud adalah
kerangka acuan nilai bernegara dan berbangsa yang menjadi
identitas Bangsa Indonesia. Hamdi menjelaskan bahwa jika Pancasila
menjadi acuan, maka implementasi nilai-nilai Pancasila akan lebih
mudah terlihat dalam praktik bernegara, misalnya saat pengambilan
kebijakan-kebijakan politik. Selanjutnya Hamdi menjelaskan bahwa
terlihat Pancasila bisa memberikan solusi di tengah adanya beragam
ideologi seperti sosialis dan liberal serta di tengah usaha politik
identitas oleh agama, etnik, dan kepentingan.

4.
Esensi Pancasila sebagai Dasar Negara Kaidan penuntun dalam
pembuatan politik hukum atau kebijakan negrara lainnya.
Kemerosotan penghayatan nilai-nilai Pancasila dapat disaksikan di
semua bidang kehidupan, dari semua kelas sosial, dan di hampir
semua profesi. Fakta paling jelas adalah korupsi yang dilakukan di
semua lini, mulai dari pejabat pemerintah maupun institusi
pemerintah dan swasta.
Catatan Kementerian Dalam Negeri RI menyebutkan bahwa dalam
kurun waktu tahun 2005-2013 ada 277 gubernur, walikota, dan
bupati yang terlibat korupsi, dan 3.000 anggota DPRD terjerat hukum
Dalam kurun waktu yang sama terdapat 137 anggota DPRD provinsi
dan 1.050 anggota DPRD kabupaten/kota terlibat korupsi (Suara
Pembaruan, 9 Desember 2013).
Kasus terbaru yang “mengguncang” seluruh kehidupan bangsa
adalah tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil
Mochtar karena dugaan terlibat suap, merupakan fakta betapa nilai
Pancasila hanya menjadi hiasan bibir kala pejabat mengucapkan
sumpah jabatan. Pendidikan Pancasila bertujuan untuk memberikan
pemahaman benar akan Pancasila.
Tidak disadari, sering Pancasila yang diajarkan akan Pancasila yang
tidak benar, yang merupakan bentuk tersamar dari ideology yang
justru bertentangan dengan Pancasila. Oleh sebab itu Pancasila yang
diajarkan dalam Pendidikan Pancasila adalah Pancasila yang dapat
dipertanggungjawabkan secara juridis-konstitusional dan obyektif-
ilmiah.
UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
diejawantahkan dalam PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan menetapkan kurikulum tingkat Satuan
Perguruan Tinggi wajib memuat mata kuliah pendidikan agama,
pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia serta bahasa
Inggris. Pendidikan kewarganegaraan memuat pendidikan Pancasila
sebagai landasan pengenalan mahasiswa terhadap ideologi negara.
Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) kemudian, dalam SK
No.43/DIKTI/Kep/2006 memutuskan tentang rambu-rmbu
Pelaksanan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi, termasuk di dalamnya Pendidikan Pancasila.
Pertanyaannya: Pancasila yang mana? Pertanyaan ini masuk akal
karena Indonesia pernah memiliki tiga UUD, yaini UUD 1945,
Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950 yang memuat Pancasila pada
pembukaannya. Agar tidak terjadi kesalahpahaman, dikelurkan
Instruksi Presiden (Inpres) No.12 Tahun 1968.
Urgensi Pancasila sebagai Dasar Negara
Untuk memahami urgensi pancasila sebagai dasar negara, dapat
menggunakan 2 metode pendekatan, yaitu instittusional
(kelembagaan) dan human resourse (personal/ sumber daya
manusia).
Pendekatan institusional yaitu membentuk dan menyelenggarakan
negara yang bersumber pada nilai pancasila sehingga bangsa
Indonesia memenuhi unsur-unsur sebagai negara modern, yang
menjamin terwujudnya tujuan negara atau terpenuhinya
kepentingan nasional yang bermuara kepada terwujudnya
masyarakat adil dan makmur.
Sedangkan human resourse terletak pada 2 aspek, yaitu pada orang-
orang yang memegang jabatan pada pemerintahan yang
melaksanakan nilai-nilai pancasila secara murni dan kesekuen
didalam pemenuhan tugas dan tanggung jawabnya dan formulasi
kebijakan negara akan menghasilkan kebijakan yang
mengejawantahkan kepentingan rakyat.
Bagaimana Hubungan Pancasila dengan Proklamasi Kemerdekaan
RI ?
Didalam pembukaan UUD 1945 tepatnya pada alinea ke 3 terdapat
pernyataan kemerdekaan yang dinyatakan oleh rakyat Indonesia,
maka dapat ditentukan letak dan sifat hubungan antara Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus dengan Pembukaan UUD 1945, dengan
disebutkan kembali dalam pernyataan kemerdekaan dalam begian
ketiga Pembukaan menunjukkan bahwa antara Proklamasi dengan
Pembukaan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisah-
pisahkan.
Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD 1945
Notonegoro (1982:24-26) menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar
tidak merupakan peraturan hukum yang tertinggi. Di atasnya, masih
banyak dasar-dasar pokok bagi Undang-Undang Dasar, yang
dinamakan pokok kaidah negara yang fundamental.Hubungan
panacsila dengan pembukaan UUD 1945 Pembukaan UUD 1945
memenuhi syarat unsur mutlak sebagai staatsfundamentalnorm.
Oleh karena itu, kedudukan Pembukaan merupakan peraturan
hukum yang tertinggi diatas Undang-Undang Dasar. pancasila
merupakan asas kerohanian dari pembukaan UUD1945 sebagai
staatsfundamentalnorm. Secara ilmiah akademis, pembukaan UUD
1945 sebagai staatfundamentalorm mempunyai hakikat kedudukan
yang tetap, kuat, dan tak berubah bagi negara yang dibentuk, dengan
perkataan lain, jalan hukum tidak lagi dapat diubah.

5.

Anda mungkin juga menyukai