Dosen Pengampu
Drg. Zahroh Shaluhiyah MPH PhD
Oleh :
Triana Widati
0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak pertengahan tahun 1950-an berkembang penelitian mengenai perubahan sikap
dengan kerangka teoritis manusia sebagai pencari konsistensi kognitif ( The Person
as Consistency Seeker ). Di sini manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu
berusaha menjaga keajegan dalam sistem kepercayaannya, dan di antara sistem
kepercayaan dengan perilaku.
Teori kognitif konsistensi memulai fokusnya pada keberadaan sikap dan
mencoba menjelaskan bagaimana komponen-komponen sikap sesuai satu sama lain
dan atau dengan sikap-sikap yang lain. Teori ini memandang manusia sebagai
pemroses yang aktif yang mencoba memahami seluruhnya atas apa yang mereka
rasakan, pikirkan dan berbuat di mana mereka secara aktif menyusun dan
menafsirkan dunia tersebut untuk membuat kecocokan terhadap inkonsistensi yang
biasa terjadi di antara dan dalam sikap-sikap. Latar belakang dari teori ini berasumsi
bahwa manusia mencari konsistensi diantara kognisi mereka. Individu yang memiliki
keyakinan atau nilai yang tidak konsisten satu sama lain berusaha untuk membuat
keyakinan atau nilai itu menjadi lebih konsisten. Demikian pula jika kognisinya
konsisten dan dia dihadapkan pada kognisi baru yang akan menimbulkan
ketidakkonsistenan, dia akan berusaha untuk mempertahankan atau memperbaiki
konsistensi kognitif.
Karakteristik yang ada pada pikiran manusia adalah kecenderungan untuk
konsisten (Secord & Backman, 1964). Sebagai contoh kita menilai pelacur adalah
pekerjaan yang hina dan nista maka kita cenderung untuk menilai jelek pada diri
pelacur tersebut dan mengabaikan hal-hal yang mengarah adanya sisi positif dari
pelacur tersebut, misalnya dia menjadi pelacur untuk membiayai sekolah anaknya, dia
sebenarnya adalah orang berhati baik dan sebagainya. Sebaliknya apabila dalam diri
kita terdapat kebiasaan berprasangka baik terhadap seseorang maka kita akan selalu
menilai baik pada orang tersebut padahal belum tentu itu benar contohnya seorang
1
pemuka agama biasanya adalah orang baik, begitu terlihat ada kesalahan dari orang
tersebut kita akan menjadi terkejut dan tidak percaya bahwa hal tersebut adalah benar.
Pertentangan antara kecenderungan kita dalam bersikap dengan realitas sesaat
akan mendatangkan ketidakseimbangan dalam diri kita. Agar keseimbangan itu
terjaga, terasa adanya kebutuhan untuk berlaku konsisten. Prinsip konsisten inilah
yang banyak menjadi landasan dalam menerangkan organisasi sikap manusia.
Pemahaman mengenai organisasi sikap sangat penting dalam mepelajari
masalah perubahan dan pengubahan sikap, tidak saja dalam mencoba mengerti sebab-
sebab berubahnya sikap seseorang terhadap suatu obyek tetapi juga dalam memahami
mengapa orang berperilaku tidak sesuai dengan sikapnya. Pemahaman ini juga
bermanfaat dalam strategi manipulasi situasi untuk mengarahkan sikap individu atau
kelompok ke arah yang kita kehendaki.
B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Teori Keseimbangan Heider
2. Mengetahui Teori Kognitif Konsistensi Fistinger
3. Mengetahui penerapan teori tersebut dalam aplikasi kehidupan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dengan memberi tanda ’+’ untuk efek positif (possitive affect) dan tanda ’-’ untuk
efek negatif(negative affect) maka suatu keseimbangan akan dicapai bila hubungan
diantara ketiga unsur tersebut ditunjukkan oleh tanda +++ atau ditunjukkan oleh tanda
--, yaitu bila ketiga-tiganya positif atau dua diantara ketiganya adalah negatif.
Sebagai contoh, bila ada WPS(P) dan pelanggan(O) sama-sama setuju untuk
memakai kondom atau setuju untuk tidak memakai kondom( karakter dinamis P dan
X sama dengan karakter O dan X, yaitu sama-sama + atau sama-sama -), maka
diperoleh keseimbangan dalam bentuk +++ atau +--. Bila salah satu diantaranya
3
kemudian berubah sikap maka terjadi ketidaksamaan tanda hubungan antara P dan X
dengan O dan X sehingga diperoleh tanda ++- atau +-+ yang memperlihatkan
ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan ini menimbulkan ketegangan yang
mendorong terjadinya perubahan arah keseimbangan hubungan antara ketiga unsur
tersebut. Perubahan yang mungkin terjadi adalah WPS tidak jadi berhubungan dengan
pelanggan (tanda -+- atau --+) atau pelanggan mau memakai kondom atau WPS
setuju tidak memakai kondom. Mereka akan saling berusaha mempengaruhi agar
mitranya berubah sikap atau salah satu di antara mereka akan menyesuaikan sikapnya
sehingga terjadi keseimbangan seperti semula.
Tampak bahwa dalam teori ini, presepsi orang terhadap bentuk hubungan diantara
unsur-unsur yang terlibat memegang peranan penting dalam menentukan keadaan
keseimbangan yang terjadi. Hubungan diantara unsur-unsur tersebut dapat dinyatakan
dalam bentuk suka (L) dan tidak suka (DL) serta bentuk kausal atau sebab-akibat (U)
dan bukan sebab-akibat (U).
4
unsur tapi dia tidak berbicara mengenai tingkat keseimbangann yang dapat terjadi
dalam konfigurasi yang kompleks seperti itu (Fishbein & Ajzen, 1975).
Contoh dua orang wanita (P) dan (O) sama-sama mencintai satu pria (X) maka tidak
dapat diharapkan terjadi keseimbangan sebagaimana dikatakan teori ini karena kedua
orang tersebut sangat mungkin akan saling menyukai.
Balance Triads
P P
+ + - -
O X O X
+ +
Peter appreciates opera Peter dislike soccer
Olivia appreciates opera Olivia enjoys soccer
Peter likes Olivia Peter dislike Olivia
P P
- + + -
O X O X
- -
Peter enjoys exams Peter dislike poetry
Olivia appreciates opera Olivia thinks poets are pathetic
Peter dislike Olivia Peter likes Olivia
5
Unbalanced Triads
P P
+ - + +
O X O X
+ -
Peter likes Olivia Peter playes the classics
He loathes dancing Olivia attracts him
Olivia loves it Bethoven bores her
P P
- + - -
O X O X
+ -
Peter says she’s a snob Peter is anti-hunting
He votes Labour He says she’s selfish
Olivia votes Labour He sees her at a hunt saboteur meeting
6
Diantara banyak teori mengenai organisasi sikap yang didasarkan pada prinsip
konsistensi, teori disonansi kognitif (cognitive dissonance) yang dikemukakan oleh
Leon Fistinger (1957) banyak mendapat perhatian dari para ahli Psikologi Sosial.
Ahli Psikologi Sosial umumnya berpendapat bahwa manusia pada dasarnya bersifat
konsisten dan orang akan berbuat sesuatu sesuai dengan sikapnya, sedangkan
berbagai tindakannya pun akan berkesesuaian satu dengan yang lain. Ada
kecenderungan untuk menghindari tindakan yang tidak sesuai dengan sikapnya.
Apabila seseorang tahu bahwa HIV-Aids merupakan penyakit yang berbahaya , dia
tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan dirinya terkena
penyakit tersebut. Dia akan melakukan tindakan2 yang memproteksi dirinya dari
kemungkinan terkena penyakit tersebut, misalnya tidak melakukan seks di luar
perkawinan, memakai kondom dll.
Namun menurut Fistinger, asumsi bahwa manusia selalu logis dan termotivasi untuk
menjaga konsistensi kognitif itu ternyata harus berhadapan dengan kenyataan bahwa
perilaku manusia seringkali irasional. Motif yang terlalu kuat untuk mempertahankan
kosistensi kognitif dapat menimbulkan perilaku yang irasional bahkan menyimpang.
Rumusan teori disonansi kognitif lebih terpusat pada apa yang akan terjadi bila
terdapat ketidaksesuaian siantara sikap atau antara sikap dan kenyataan.
Untuk menjelaskan teori ini Fistinger mengatkan bahwa apa yang dimaksud dengan
unsur kognitif adalah setiap pengetahuan, opini atau apa yang dipercayai orang
mengenai diri sendiri, lingkungan datau mengenai perilakunya. Kita memiliki banyak
kognisi mengenai diri kita sendiri dan lingkungan si sekitar kita.a Kognisi-kognisi ini
meliputi segala sesuatu yang kita ketahui mengenai kepercayaan, sikap, perilaku kita.
Unsur kognitif atau kognisi-kognisi ini umumnya dapat hadir secara damai
(konsisten) tapi kadang-kadang terjadi konflik diantara mereka (inkonsisten).
Sewaktu terjadi konflik diantara kognisi-kognisi, terjadilah dissonansi. Disonansi
kognitif sendiri mempunyai arti keadaan psikologis yang tidak menyenangkan yang
7
timbul ketika dalam diri manusia terjadi konflik diantara dua kognisi (Brehm &
Kassin, 1990).
Disonansi kognitif hanya dapat terjadi pada unsur-unsur kognitif yang relevan yang
ada hubungannya satu sama lain (Fistinger, 1957). Dua unsur kognitif yang relevan
tapi tidak konsisten satu sama lain akan menimbulkan disonansi kognitif, sedangkan
dua unsur kognitif yang tidak konsisten tapi juga tidak relevan tidak akan
menimbulkan disonansi.
Fistinger mengemukakan hipotesis dasar dalam teori ini yaitu : ’Adanya
disonansi, yang menimbulkan ketidakenakan psikologis akan memotivasi seseorang
untu mencoba mengurangi disonansi tersebut dan mencapai konsonansi...Kekuatan
tekanan untuk mengurani disonansi itu merupakan fungsi besarnya disonansi yang
dirasakan’ (Fistinger, 1957).
Usaha untuk mengurangi disonansi ini biasanya berupa pengubahan salah satu atau
kedua unsur kognitif yang terlibat atau berupa penambahan unsur kognitif ke tiga
sedemikian rupa sehingga konsonansi tercapai kembali. Berikut diuraikan tiga cara
pengurangan disonansi itu secara lebih spesifik.
1. Mengubah Unsur Kognitif yang Berupa Perilaku
Bila perbuatan ternyata disonan dengan apa yang diyakini, akan lebih mudah
untuk mengubah perbuatan daripada mengubah keyakinan.
2. Mengubah unsur kognitif dan Lingkungan
Kadang-kadang untuk mengurangi disonansi memang lebih mudah mengubah
unsur kognitif pada lingkungan yang relevan. Misalnya terjadi disonansi antara
pengetahuan mengenai penyakit HIV-Aids dapat ditularkan saat behubungan dengan
WPS dihubungkan dengan hobinya ”jajan” maka orang tersebut dapat mengubah
faktor lingkungan dengan tetap mendatangi WPS tetapi memakai kondom saat
berhubungan.
3. Menambahkan Unsur Kognitif yang Baru
Kadang-kadang sewaktu terjadi disonansi, mengubah salah satu unsur kognitif
yang telibat tidaklah udah atau tidak dimungkinkan. Dalam keadaan ini seringkali
8
penambahana unsur kognitif baru akan dapat mengurangi sisonansi yang ada. Contoh
seorang gay sadar bahwa ada sesuatu yang salah dengan perilakunya. Untuk
menghilangkan disonansi kognitif yang terjadi, dia menambahkan unsur baru berupa
keyakinan bahwa perilakunya tersebut bawaan sejak lahir yang dia tidak mampu
untuk menghindari, dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu takdir yang harus dia
hadapi. Contoh lain seorang WPS kemudian tahu bahwa tindakannya bekerja sebagai
WPS salah, dia akan menambahkan unsur kognitif baru dengan berkeyakinan bahwa
dia bekerja seperti itu untuk membiayai hidup dan menyekolahkan anaknya, bahwa
tidak pekerjaan lain yang bisa dia kerjakan dengan tingkat pendidikan yang dia
punyai.
9
Teori Kognitif Konsistensi Fistinger
Kognitif Perilaku
Kognitif baru
Berubah perilakunya
10
b. Prediksi WPS untuk memakai kondom dalam melayani klien
Apabila presepsi pria klien dari WPS positif terhadap WPS dan terhadap
pemakaian kondom
Bila presepsi WPS terhadap pria klien positif, pemakaian kondom positif maka
dapat diprediksi WPS akan melayani klien, apabila klien menolak memakai
kondom, supaya seimbang WPS tidak akan melayani klien
c. Bila persepsi WPS terhadap Nakes dan persepsi Nakes terhadap pemeriksaan
kesehatan positif, maka dapat diprediksi WPS tersebut akan memeriksakan
kesehatannya
11
BAB III
KESIMPULAN
12
DAFTAR PUSTAKA
Azwar Saifuddin.
1995 Sikap Manusia teori dan Pengukurannya, ed. 2. Pustaka Pelajar
Festinger, L.
1957 A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press: Stanford, CA.
1-31.
Heider, F
1958 The Psychology of Interpersonal Relations, New York : Jhon Wiley and Sons
Nelson, L.
1986 Cognitive consistency in beliefs about nuclear weapons. Paper presented at
Annual Meeting of the Western Psychological Association, Seattle, WA,
May, 1986. 15p.
13