Anda di halaman 1dari 18

BAB
13

KEBUDAYAAN ISLAM

Aktualisasi Ajaran Islam

A. Kemampuan Akhir yang Diharapkan


Menganalisis, menerima, dan mengaktualisasikan ajaran Islam dalam
kehidupan.

B. Tugas untuk Mahasiswa


(Materi Tugas dapat berbeda tetapi diberikan sebelum pembelajaran)
Intruksikan kepada Mahasiswa (kelompok penyaji) untuk membuat blog
dengan tampilan menarik untuk memasukkan kajian-kajian Keislaman yang
mencakup: aqidah, syari’ah, dan akhlak, serta aktualisasi Islam dan isu-isu
kontemporer. Hasil pembuatan blog dipresentasikan. Buat pula laporan
berbentuk makalah yang terlebih dahulu membahas kajian teori tentang
IPTEKS persfektif Islam dan implementasinya bagi kehidupan. Untuk bahan
analisis pelajari materi ajarnya.

C. Proses Pembelajaran

206
1. Membimbing Mahasiswa untuk Tadarus

      


       
  

“Hai (sekalian) jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus


(melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak
dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”.

(Quran Surat Ar-rahman Ayat 33)

2. Presentasi:
a. Kegiatan Mahasiswa:
1) Moderator memimpin jalannya presentasi.
2) Kelompok penyaji memaparkan laporan makalah hasil temuannya.
3) Sesi diskusi antara audien dengan penyaji (beberapa sesi diskusi
dilakukan).
b. Kegiatan Dosen menjadi fasilitator jalannya presentasi.

3. Penguatan/internalisasi dengan targhib yakni menjelaskan secara singkat


kandungan/makna Quran Surat Ar-rahman Ayat 30:

“Hai (sekalian) jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi)
penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya
kecuali dengan kekuatan”.

(cara penguatan/internalisasi serta konteksnya bebas dikembangkan


Dosen. Sebagai contoh targhib Quran Surat Ar-rahman Ayat 30 adalah
keharusan mengembangkan IPTEKS ke arah lebih maju dan manfaat).

D. Materi Ajar

206
1. Pengertian Kebudayaan, Kebudayaan Islam, dan Ruanglingkupnya
Kroeber dan Kluckhohn, telah mengumpulkan kurang lebih 161 definisi
tentang kebudayaan (Asy'arie, 1992). Secara garis besarnya, definisi kebudayaan
sebanyak itu dikelompokkan ke dalam enam kelompok sesuai dengan tinjauan
dan sudut pandang masing-masing pembuat definisi.
Kelompok pertama menggunakan pendekatan deskriptif dengan
menekankan pada sejumlah isi yang terkandung di dalamnya. Seperti definisi
yang dipakai oleh Taylor bahwa kebudayaan itu adalah keseluruhan yang sangat
kompleks meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat-
istiadat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima manusia
sebagai anggota masyarakat.
Kelompok kedua, menggunakan pendekatan historis dengan menekankan
pada warisan sosial dan tradisi kebudayaan. Seperti definisi yang dipakai oleh
Park dan Burgess yang menyatakan bahwa kebudayaan suatu masyarakat adalah
sejumlah totalitas dari organisasi dan warisan sosial yang diterima sebagai
sesuatu yang bermakna yang dipengaruhi oleh watak dan sejarah hidup suatu
bangsa.
Kelompok ketiga, menggunakan pendekatan normanif. Seperti definisi yang
dipakai oleh Linton (1945) yang menegaskan bahwa kebudayaan suatu
masyarakat adalah suatu pandangan hidup dari sekumpulan ide-ide dan
kebiasaan-kebiasaan yang mereka pelajari, mereka miliki kemudian diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kelompok keempat, menggunakan pendekatan psikologi yang di antaranya
menekankan pada aspek penyesuaian diri (adjustment) dan proses belajar
seperti definisi yang dipakai oleh Kluckhohn yang menegaskan bahwa
kebudayaan terdiri dari semua kelangsungan proses belajar suatu masyarakat.
Kelompok kelima, menggunakan pendekatan struktural dengan menekankan
pada aspek pola dan organisasi kebudayaan. Seperti definisi yang dipakai oleh
Turney yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah pekerjaan dan kesatuan

206
aktivitas sadar manusia yang berfungsi membentuk pola umum dan
melangsungkan penemuan-penemuan, baik yang material maupun non-material.
Kelompok keenam, menggunakan pendekatan genetik yang memandang
kebudayaan sebagai suatu produk, alat-alat, benda-benda ataupun ide dan
simbol. Termasuk dalam kelompok ini adalah definisi yang dibuat oleh Bidney
yang menyatakan bahwa kebudayaan dapat dipahami sebagai proses dinamis
dan produk dari pengolahan diri manusia dan lingkungannya untuk pencapaian
akhir individu dan masyarakat.
Dari berbagai tujuan dan sudut pandang tentang definisi kebudayaan
tersebut, menunjukkan bahwa kebudayaan itu merupakan sesuatu persoalan
yang sangat luas. Namun esensinya adalah bahwa kebudayaan itu melekat
dengan diri manusia. Artinya bahwa manusialah sebagai pencipta kebudayaan
itu. Kebudayaan itu lahir bersamaan dengan kelahiran manusia itu sendiri. Dari
penjelasan itu, kebudayaan dapat dilihat dari dua sisi; kebudayaan sebagai suatu
proses dan kebudayaan sebagai suatu produk.
Al-quran memandang kebudayaan itu merupakan suatu proses, dan
meletakkan kebudayaan sebagai eksistensi hidup manusia. Kebudayaan
merupakan suatu totalitas kegiatan manusia yang meliputi kegiatan akal, hati,
dan tubuh yang menyatu dalam suatu perbuatan. Karena itu, secara umum
kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil olah akal, budi, cipta, rasa, karsa, dan
karya manusia. Ia tidak mungkin terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan, namun
bisa jadi lepas dari nilai-nilai ketuhanan. Sedangkan dalam Islam, kebudayaan
adalah hasil olah akal, budi, cipta rasa, karsa, dan karya manusia yang
berlandaskan pada nilai-nilai Tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia
untuk berkiprah dan berkembang. Hasil olah akal, budi, rasa, dan karsa yang
telah terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berkembang
menjadi sebuah peradaban.
Dalam perkembangannya perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan
yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber dari nafsu

206
hewani, sehingga akan merugikan dirinya sendiri. Di sini agama berfungsi untuk
membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga
menghasilkan kebudayaan yang beradab atau peradaban Islam.
Sehubungan dengan hasil perkembangan kebudayaan yang dilandasi nilai-
nilai ketuhanan atau disebut sebagai peradaban Islam, maka fungsi agama di sini
akan semakin jelas. Ketika perkembangan dan dinamika kehidupan umat
manusia itu sendiri mengalami kebekuan karena keterbatasan dalam
memecahkan persoalan kehidupannya sendiri, di sini sangat terasa akan
perlunya suatu bimbingan wahyu.
Kebudayaan itu akan terus berkembang, tidak akan pernah berhenti selama
masih ada kehidupan manusia. Segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas
dan kreativitas manusia, baik dalam konteks hubungan dengan sesamanya,
maupun dengan alam lingkungannya, akan selalu terkait dengan kebudayaan
orang lain. Di sini menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk budaya dan
makhluk sosial yang tidak akan pernah berhenti dari aktivitasnya dan tidak akan
pernah bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Kebudayaan baru akan berhenti
apabila manusia sudah tidak sanggup lagi menggunakan akal budinya.
Allah mengutus para Rasul dari jenis manusia dan dari kaumnya sendiri
karena yang akan menjadi sasaran dakwahnya adalah umat manusia. Oleh sebab
itu, misi utama kerasulan Muhamad SAW. adalah untuk memberikan bimbingan
pada umat manusia agar dalam mengembangkan kebudayaannya tidak
melepaskan diri dari nilai-nilai ketuhanan, sebagaimana sabdanya:
“Sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak”. Artinya Nabi
Muhamad SAW. mempunyai tugas pokok untuk membimbing manusia agar
mengembangkan kebudayaannya sesuai dengan petunjuk Allah. Sebelum Nabi di
utus, bangsa Arab sudah cukup berbudaya tetapi budaya yang dikembangkannya
terlepas dari nilai-nilai ketauhidan yang bersifat universal. Landasan
pengembangan kebudayaan mereka adalah hawa nafsu.

206
Mengawali tugas kerasulannya, Nabi meletakkan dasar-dasar kebudayaan
Islam yang kemudian berkembang menjadi peradaban Isam. Ketika dakwah Islam
ke luar dari jazirah Arab, kemudian tersebar ke seluruh dunia, maka terjadilah
suatu proses penjang dan rumit yaitu asimilasi budaya-budaya setempat dengan
nilai-nilai Islam yang kemudian menghasilkan kebudayaan Islam. Sehingga
kemudian berkembang menjadi suatu peradaban yang diakui kebenarannya
secara universal.
Dalam pandangan Islam kebudayaan merupakan produk akal manusia.
Sedangkan ajaran Islam diturunkan sesuai dengan kebutuhan manusia akan
bimbingan dalam mengembangkan kebudayaannya.
Menurut Natsir ada enam sumber kekuatan ajaran Islam untuk mencapai
suatu kebuadayaan bersifat lokal menjadi suatu peradaban manusia yang
universal:
a. Menghormati akal. Manusia muslim disuruh
menggunakan akalnya untuk mengamati dan memikirkan keadaan alam.
Banyak ayat Al-quran yang menyatakan betapa pentingnya pengembangan
akal bagi kehidupan manusia. Dalam kaitan dengan ini proses ijtihad menjadi
penting bagi peningkatan kesejahteraan hidup.
b. Kewajiban menuntut ilmu. Setiap pemeluk Islam, baik laki-laki maupun
perempuan diwajibkan menuntut ilmu. Nabi menyuruh umatnya menuntut
ilmu walaupun ke negeri Cina.
c. Larangan taklid. Setiap orang dilarang mengikuti sesuatu perkara yang ia tidak
mempunyai pengetahuan tentang itu sekalipun datang dari para leluhurnya.
d. Mengambil inisiatif. Setiap muslim dikerahkan untuk mengambil inisiatif
keduniaan yang dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat umum
sekalipun bagi mereka yang tidak seagama. Seperti mengadakan barang yang
tidak ada sebelumnya.

206
e. Menggunakan hak-hak keduniaan. Kaum muslimin disuruh mencari ridha
Allah atas nikmat yang diterimanya di dunia ini dan menggunakannya hak-hak
itu sesuai dengan aturan agama.
f. Aktualisasi nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan nyata. Kaum muslimin
dianjurkan untuk berhubungan dengan dunia luar, berinteraksi dengan bangsa
atau golongan lain untuk saling berukar ilmu dan pengetahuan.

2. Sejarah Peradaban Islam


Dalam pembahasannya, penyusun tidak menguraikan puncak kemajuan
peradaban Islam dalam bentuk karya-karya muslim secara keseluruhan. Karya-
karya peradaban Islam sangatlah banyak dan luas. Dibutuhkan buku yang secara
khusus membahas sejarah peradaban Islam; dan kini sudah banyak buku yang
secara khusus membahas tentang itu. Namun, yang dibahas di sini adalah
membahas pada faktor mengapanya. Mengapa adalah pertanyaan untuk
menganalisis faktor-faktor penyebab. Menguraikan faktor mengapa, tentu
banyak berkaitan dengan filsafat. Namun ini penting dalam mengidentifikasi
faktor-faktor yang dapat mendorong kemajuan peradaban Islam.
Mengungkap sejarah berarti mengungkap realitas masa lalu. Realitas yang
tidak berulang untuk kedua kalinya. Ada pandangan bahwa sejarah itu masa lalu,
buat apa diungkit lagi, toh tidak akan terulang lagi. Pandangan itu sangat
subjektif dan cenderung apriori.
Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari sejarah: Pertama,
menjadi tahu peristiwa peristiwa masa lalu. Kedua, menjadi tahu faktor
penyebab peristiwa masa lalu itu. Ketiga, yang lebih penting, peristiwa masa lalu
itu menjadi “cermin” bagi masa sekarang dan masa mendatang.
Zinn, dikutip Khaerul Wahidin dalam Jaih Mubarok (2004) mengemukakan
pentingnya sejarah, bahwa penulisan sejarah memiliki tujuan utama untuk
menyatakan kebenaran historis. Sedangkan segi praktisnya dapat digunakan
sebagai media untuk membangun masa depan yang lebih baik.

206
Sejarah mencatat, Islam pernah mencapai puncak keemasan peradaban.
Puncak, dimana popularitas Islam terkenal karena kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Pada masa itu, dunia Islam menjadi kiblat dan “perburuan” ilmu
bagi bangsa-bangsa lain terutama Barat.
Namun kemajuan itu tidak bertahan dan berkembang sampai sekarang.
Samsul Nizar (2002) mengemukakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan
filsafat di dunia Islam berlangsung selama kurang lebih enam abad, yakni dari
abad ke-7 sampai dengan abad ke-12 Masehi. Herman Soewardi (2002)
menyebutnya dengan tujuh abad benar (dari abad 7-13 M.) dan tujuh abad salah
(dari abad 14-20 M.). Tujuh abad kedua ia namakan de-modernisasi dunia Islam
dan Barat mengalami modernisasi, lebih tepatnya, Westernisasi.
Kunci kemajuan peradaban Islam kala itu terletak pada teladan Nabi
Muhammad SAW., para khalifah al-Rasyidin, dan para khalifah setelahnya
(terutama pada Dinasti Muawiyah dan Dinasti Abbasyiah) mengenai pentingnya
ilmu pengetahuan. Peradaban adalah hasil dari pemikiran. Pemikiran inovatif
yang sesuai dengan “rel” pesan moral Islam menghasilkan peradaban tinggi dan
bermoral. Paradigma seperti itulah yang memacu para khalifah untuk mendirikan
lembaga-lembaga ilmu dan pendidikan. Lembaga ilmu dan pendidikan memiliki
kontribusi besar bagi kemajuan peradaban.
Salah satu lembaga ilmu dan pendidikan yang terkenal adalah Bayt al-
Hikmah. Cikal bakal lembaga ini adalah Khizanat al-Hikmat, didirikan oleh
Khalifah Harun al-Rasyid sebagai lanjutan dari tradisi Jundishapur Academy –
lembaga yang menjadi tempat menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja
pada zaman Sasania, Persia-. Khizanat al-Hikmat berfungsi sebagai perpustakaan,
tempat penerjemahan dan penelitian. Pada tahun 815 M. khlaifah al-Ma’mun
mengubahnya menjadi Bayt al-Hikmah. Selain berfungsi seperti Khizanat al-
Hikmat, Bayt al-Hikmat juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku-buku
kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, Etiopia, dan India. Sejak abad ke-9 M.,
Bayt al-Hikmat dijadikan tempat penerjemahan karya-karya filosof klasik di

206
bawah bimbingan Hunayn Ibn Ishaq. Buku-buku filsafat karya Galen, Aristoteles,
dan Plato banyak diterjemahkan di lembaga ini. Observatorium astronomi untuk
meneliti perbintangan juga terdapat di lembaga ini (Jaih Mubarok, 2004).
Dalam konteks kemajuan peradaban Islam sebagaimana disebutkan di atas,
dapatlah dikemukakan beberapa sebab kemajuan tersebut:
a. Teladan Nabi Muhammad SAW.
Teladan Nabi Muhammad SAW. merupakan embrio lahirnya peradaban.
Arab sebelum Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan
ekonomi. Mekah adalah pusat perdagangan (trading centre), menguasai jalur
perdagangan Barat dan Timur (Herman Soewardi, 2002). Secara rinci Madjid
(1995) menggambarkan ciri-ciri Arab sebelum Islam: (1) menganut paham
kesukuan, (2) memiliki tata sosial tertutup dengan partisipasi warga yang
terbatas, faktor keturunan lebih penting daripada kemampuan, (3) mengenal
hirarki sosial yang kuat, dan (4) kedudukan perempuan cenderung direndahkan.
Dari uraian di atas, dapat digambarkan di satu sisi aspek ekonomi Arab pra
Islam maju, namun di lain sisi moralitas rendah. Kemajuan-kemajuan yang
dialami menjadi tiada bermakna bagi masyarakat Arab secara umum, yang pada
akhirnya melahirkan karakteristik “barbar”. Inilah sebab diturunkannya Nabi
Muhammad SAW. yakni menyempurnakan akhlak; dan itu terbukti.
Semangat Nabi Muhammad SAW. telah mampu merubah tatanan jahiliyah
dengan karakter yang dimiliki Nabi Muhammad SAW. yakni jujur (siddiq), dapat
dipercaya (amanah), cerdas (fathanah), komunikatif (tabligh), serta berani
(syaja’ah). Dengan karakter tersebut tak heran jika Nabi Muhammad SAW.,
mendapat gelar “orang yang dapat dipercaya” (al-Amin).
Wahyu pertama dengan tema utamanya “iqra” atau study atau telaah, yang
menurut Herman Soewardi (2002), merupakan landasan kemajuan manusia atau
biasa disebut modernisasi. Misi ini kemudian oleh Muhammad SAW.
diempirisasikan dengan ketekunan, penderitaan, kesabaran, dan ketabahan
sehingga mencapai prestasi gemilang.

206
b. Peran Khalifah al-Rasyidin dan Khalifah-khalifah Setelahnya
Semangat perjuangan Muhammad SAW. dilanjutkan oleh para khalifah al-
Rasyidin (Abu Bakar al-Shidiq, Umar Ibn al-Khaththab, Utsman Ibn Affan, dan Ali
Ibn Abi Thalib) dan khalifah-khalifah setelahnya (terutama pada dua dinasti:
Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasyiah). Apabila ditinjau dapat dilihat dari
beberapa aspek: Pertama, Ekspansi sebagai kebijakan politik untuk memperluas
kekuasaan Islam, bukan mengenalkan Islam –karena tidak ada paksaan untuk
memeluk Islam-. Tapi, dengan luasnya wilayah kekuasaan Islam, mempengaruhi
pula pada pengenalan Islam. Luasnya wilayah kekuasaan Islam menimbulkan
akulturasi budaya, termasuk ilmu pengetahuan di dalamnya. Perluasan sampai
Barat, merupakan gerbang awal masuknya peradaban Yunani kepada dunia
Islam. Perlu diingat pula, sebelum perluasan wilayah, negara-negara yang
dikuasai Islam sebelumnya berada pada kekuasaan Romawi dan Persia, yang
memiliki peradaban tinggi kala itu. Transfer of knowledge pun kemudian
dikembangkan para pemikir muslim sehingga menghasilkan “peradaban baru”
yakni peradaban Islam. Kedua, kebijakan ekonomi dan kebijakan lainnya, oleh
para khalifah banyak diperuntukkan untuk membangun infrastruktur, terutama
lembaga-lembaga ilmu dan pendidikan (sekolah).

c. Pendangan: Pentingnya Ilmu


Prinsip yang lebih penting adalah adanya pemikiran pentingnya ilmu.
Pemikiran ini kemudian dikristalisasikan dalam bentuk paradigma pentingnya
membangun dan mendirikan lembaga-lembaga ilmu dan pendidikan. Ricard
Munch, dikutip Wahidin dalam Mubarok (2004) menjelaskan bahwa
perkembangan kebudayaan dalam masyarakat yang menandakan adanya tingkat
peradaban diawali dengan kemahiran literacy dan meratanya kesempatan

206
memperoleh pendidikan serta semangat para ilmuwan untuk mengembangkan
ilmu dan teknologi.
Tradisi cinta ilmu itu diwujudkan Harun al-Rasyid (khalifah Dinasti Abasyiah)
dengan mendirikan Kizanat al-Hikmah sebagai perpustakaan, tempat
penerjemahan, dan penelitian. Semakin membahana pada khalifah sesudahnya,
al-Ma’mun dengan mendirikan dan menyempurnakannya menjadi Bayt al-
Hikmah.
Mengenai pentingnya pendidikan, sejak masa Abbasyiah, pendidikan dasar
di dunia Islam berkembang pesat. Anak-anak muslim diberi keterampilan
berpikir, membaca, dan menulis. Seiring dengan tuntutan terhadap pendidikan
tinggi, pada Dinasti Fatimiyah, berdiri Universitas al-Azhar di Kairo pada Abad 11
Masehi. Di Baghdad pada saat berkuasanya Nizamiyah, berdiri Madrasah
Nizamiyah yang merupakan lembaga pendidikan tinggi dalam Islam. Melalui
lembaga-lembaga pendidikan tersebut, di samping dikembangkan Islam dalam
arti sebagai agama, juga dikembangkan Islam sebagai suatu peradaban
(Mubarok, 2004).
Itulah yang maksud faktor “mengapa” dalam prespektif historis. Karsa yang
kuat dengan moralitas tinggi adalah dasar bagi suatu peradaban. Pemikiran
pentingnya ilmu yang dikristalisasikan dalam paradigma melahirkan pendidikan
yang memiliki kontribusi besar bagi peradaban Islam.
Terkikisnya paradigma itu dengan perilaku eufhoria dan hedonis para
khalifah Islam, lambat laun menyebabkan kemunduran dan kehancuran
peradaban. Legitimasi pemerintah dari rakyatnya pun hilang. Imbasnya pada
hilangnya konsentrasi pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu peristiwa
mihnat merupakan “perang” kekuatan sekte, antara Salaf yang Jabariyah dengan
Mu’tazilah yang Rasionalis, pada akhirnya menimbulkan kejumudan pemikiran.
Parahnya lagi, kejumudan pemikiran dalam Islam bertahan lama. Terma
sesat berkembang panas hingga sekarang dan menimbulkan anti-rasionalis.
Hidup dan kehidupan umat Islam menjadi ukhrawi oriented. Suatu orientasi

206
mengenyahkan rasionalitas dan menimbulkan fatalisme duniawiyah. Hal itu
menyebabkan ikhtiar untuk keluar dari masalah –kejumudan pemikiran yang
menghambat peradaban- menjadi lemah.
Di lain sisi, keterpurukan Islam adalah renaissance Barat. Dunia Barat, kini,
memegang kendali ilmu pengetahuan. Barat yang menjunjung tinggi rasionalitas
berhasil mengembangkan peradabannya. Keberhasilannya itu, diawali dengan
membebaskan pemikiran dari kungkungan norma-norma agama, fahamnya
disebut sekuler1. Term “bebas nilai” adalah doktrin utama untuk menina-
bobokan dunia. Bisa jadi dunia Islam di dalamnya.
Kedok “bebas nilai” Barat itu akhirnya terbuka. Kebobrokan sains Barat yang
sekuler telah menimbulkan kerusakan-kerusakan. Thomas Khun dan Ricard
Tarnas berhasil mengidentifikasi dan membeberkan kebobrokan akibat salahnya
paradigma Barat itu. Paradigma yang memfokuskan pada kognisi semata, nihil
moralitas.
Kini, saatnya dunia Islam bangkit kembali dari keterpurukan. Membebaskan
dari kungkungan Rasionalisme Barat. Paradigma baru mengenai Islam rahmatan
lil ‘alamin dan kedudukan manusia sebagai ‘abdillah dan khalifah di muka bumi
ini perlu penelaahan dan pemahaman yang lurus. Penyiapan sumber daya

1
Sekuler adalah faham keduniawian yang melepaskan dari aturan dan nilai-nilai agama.
Sekuler ini kemudian menjadi jargon kemajuan sanis Barat. Kemajuan-kemajuan sains oleh
Negara Barat dijadikan alat untuk menunjukkan ke-adikuasaannya. Ronge (1993) menyebutkan
bahwa mereka mengubah fokusnya dari ”Tuhan yang ada disurga” kepada ”manusia yang ada di
bumi”. Maksudnya, Tuhan disingkirkan ke sudut, dan hanya mempercayai keunggulan otak
manusia, yang agar menghasilkan secara maksimal, harus bebas kungkungan, baik agamis
maupun kenegaraan (nilai-nilai). Inilah, yang dalam bahasa Herman Soewardi disebut ”freedom”
tanpa batas. Manusia adalah raja atas dirinya sendiri dan tak ada apa-apa di atasnya. Namun
pandangan ini ternyata menimbulkan”insecurity feeling” (resah), sehingga harus berkonflik
dengan sesamanya guna mencapai tujuan kekuasaan sebesar-besarnya. Herman Soewardi
mengatakan, Sains Barat Sekuler sudah tidak lagi bersandar pada ”rasionalitas murni”, akan
tetapi sudah terjadi penggiringan pada pemasukan ”rasionalitas Barat”. Rasionalitas yang
sebenarnya sudah dikungkung oleh budaya dan nilai-nilai Barat. Parahnya lagi, sebelum Ricard
Tarnas (dalam: The Passion of The Western Mind, 1993) mengungkapkan ”kebobrokan” Sains
Barat Sekuler: para ilmuwan seakan ”dinina-bobokan” dan merasa ”betah” berada di dalamnya.
Sebabnya, karena orang-orang Barat begitu pandai dalam menanamkan rasionalitas itu. (lebih
jelasnya dapat dibaca buku karya Herman Soewardi, Mempersiapkan Kelahiran Sains
Tauhidullah, Bandung: Bakti Mandiri, 2002.

206
manusia moralis dan memiliki karsa kuat dapat dibentuk oleh pendidikan. Alhasil,
pendidikan memiliki kontribusi besar dan penting dalam mewujudkan revolusi
peradaban Islam.

3. IPTEKS dalam Islam


Berbagai definisi tentang sains, teknologi, dan seni telah diberikan oleh para
filosof, ilmuwan dan budayawan seolah-olah mereka mempunyai definisi masing-
masing sesuai dengan apa yang mereka senangi. Sains diindonesiakan menjadi
ilmu pengetahuan. Secara etimologis kata ilmu berarti kejelasan, karena itu
segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Ilmu adalah
pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistimatisasi, dan
diinterpretasi sehingga menghasilkan kebenaran objektif, sudah diuji
kebenarannya, dan dapat diuji ulang secara ilmiah (Internasional Webster's
Dictionary).
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-quran. Kata
ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan
sehingga memperoleh kejelasan.
Dalam kajian filsafat, setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang
kajian. Sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu tertentu disebut sebagai
spesialis, sedangkan orang yang banyak tahu tetapi tidak mendalam disebut
generalis. Karena keterbatasan kemampuan manusia, maka sangat jarang
ditemukan orang yang menguasai beberapa ilmu secara mendalam.
Dari sudut pandang filsafat, ilmu lebih khusus dibandingkan dengan
pengetahuan. Suatu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai ilmu apabila
memenuhi tiga unsur pokok sebagai berikut:
1. Ontologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki objek studi
yang jelas. Objek studi harus dapat diidentifikasikan, dapat diberi batasan,
dapat diuraikan, sifat-sifatnya yang esensial. Objek studi sebuah ilmu ada dua
yaitu objek material dan objek formal.

206
2. Epistimologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki metode
kerja yang jelas. Ada tiga metode kerja suatu bidang studi yaitu metode
deduksi, induksi, dan eduksi.
3. Aksiologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki nilai guna atau
kemanfaatannya. Bidang studi tersebut dapat menunjukkan nilai-nilai teoretis,
hukum-hukum, generalisasi, kecenderungan umum, konsep-konsep dan
kesimpulan-kesimpulan logis, sistimatis, dan koheren. Dalam teori dan konsep
tersebut tidak terdapat kerancuan atau kesemerawutan pikiran, atau
penentangan kontradiktif di antara satu sama lainnya (Sanusi, 1998).

Istilah Pengetahuan dan Ilmu dipahami oleh masyarakat luas menjadi satu
istilah baku yaitu Ilmu Pengetahuan atau sains. Secara singkat, istilah ini dapat
dirumuskan sebagai himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui
suatu proses pengkajian dan dapat diterima oleh ratio, artinya dapat dinalar. Jadi
ilmu pengetahuan dapat dikatakan sebagai himpunan rasionalisasi kolektif insani
(Baiquni, 1983). Secara singkat sains dapat diartikan sebagai pengetahuan yang
sistimatis (science is systematic knowledge) (Zen, 1981).
Istilah teknologi merupakan produk sains atau ilmu pengetahuan. Dalam
sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai
hasil penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Meskipun pada dasarnya
teknologi juga memiliki karakteristik objektif dan netral, dalam situasi tertentu
teknologi tidak netral lagi karena memiliki potensi untuk merusak dan potensi
kekuasaan. Di sinilah letak perbedaan sains dan teknologi.
Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan
kesejahteraan bagi manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif
berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya
yang berakibat kehancuran alam semesta. Netralitas teknologi dapat digunakan
untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan atau
digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri.

206
Seni adalah hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya.
Seni merupakan ekpresi jiwa seseorang. Hasil ekpresi jiwa tersebut berkembang
menjadi bagian dari budaya manusia. Seni identik dengan keindahan. Keindahan
yang hakiki identik dengan kebenaran. Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu
keabadian.
Benda-benda yang diolah secara kreatif oleh tangan-tangan halus sehingga
muncul sifat-sifat keindahan dalam pandangan manusia secara umum, itulah
sebagai karya seni. Seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi
karena ukurannya adalah hawa nafsu bukan akal dan budi. Seni mempunyai daya
tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yang kematangan jiwanya terus
bertambah.
Dalam pemikiran sekuler perenial knowledge yang bersumber dari wahyu
Allah tidak diakui sebagai ilmu, bahkan mereka mempertentangkan antara
wahyu dengan akal, agama dipertentangkan dengan ilmu. Sedangkan dalam
ajaran Islam wahyu dan akal, agama dan ilmu harus sejalan tidak boleh
dipertentangkan. Memang demikian adanya karena hakekat agama adalah
membimbing dan mengarahkan akal.
Dalam pemikiran Islam ada dua sumber ilmu yaitu wahyu dan akal.
Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Manusia diberi kebebasan dalam
mengembangkan akal budinya berdasarkan tuntunan Quran dan Sunnah Rasul.
Atas dasar itu ilmu dalam pemikiran Islam ada yang besifat abadi (perennial
knowledge) tingkat kebenarannya besifat mutlak (absolute), karena bersumber
dari wahyu Allah, dan ilmu yang bersifat perolehan (aquired knowledge) tingkat
kebenarannya besifat nisbi (relative) karena bersumber dari akal pikiran
manusia.
Dalam perspektif Islam; Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni merupakan
hasil pengembangan potensi manusia yang diberikan Allah berupa akal dan budi.
Prestasi yang gemilang dalam dalam pengembangan Ipteks, pada hakikatnya
tidak lebih dari sekedar menemukan bagaimana proses sunatullah itu terjadi di

206
alam semesta ini, bukan merancang atau menciptakan suatu hukum baru di luar
sunatullah.

4. Implementasi IPTEKS Islami dalam Kehidupan


Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Kesempurnaannya karena dibekali seperangkat potensi. Potensi yang paling
utama adalah akal. Akal berfungsi untuk berpikir. Hasil pemikirannya adalah ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.
Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada
Allah SWT. akan memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan umat
manusia termasuk bagi lingkungannya (Daim, 1984). Allah berjanji dalam firman-
Nya, “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu
……”(QS.Al-Mujadalah, Ayat 11).
Ada dua fungsi utama manusia di dunia yaitu sebagai 'Abdun (hamba Allah)
dan sebagai Khalifah (pemimpin di bumi) Allah di bumi. Esensi dari 'abdun adalah
ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah,
sedangkan esensi khalifah adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri dan alam
lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam.
Dalam konteks ‘abdun, manusia menempati posisi sebagai ciptaan Allah.
Posisi ini memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh
kepada pencipta-Nya. Keengganan manusia menghambakan diri kepada Allah
sebagai pencipta akan menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan
Sang Pencipta berupa potensi yang sempurna yang tidak diberikan kepada
makhluk lainnya yaitu potensi akal. Dengan hilangnya rasa syukur mengakibatkan
ia menghamba kepada selain Allah termasuk menghambakan diri kepada hawa
nafsunya. Keikhlasan manusia menghambakan dirinya kepada Allah akan
mencegah penghambaan manusia kepada sesama manusia termasuk pada
dirinya.

206
Manusia diciptakan Allah dengan dua kecenderungan yaitu kecenderungan
kepada ketakwaan dan kecenderungan kepada perbuatan fasik. Sebagaimana
firman Allah: fa alhamaha fujuuraha wa takwaha. (maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa manusia kefasikan dan ketakwaan). Dengan kedua kecenderungan
tersebut Allah berikan petunjuk berupa agama sebagai alat bagi manusia untuk
mengarahkan potensinya kepada keimanan dan ketakwaan bukan pada
kejahatan yang selalu didorong oleh nafsu amarah. Untuk itu Allah berfirman:
“Wahadainaahu najdaini” (Aku tunjukkan kamu dua jalan). Akal memiliki
kemampuan untuk memilih salah satu yang terbaik bagi dirinya.
Fungsi yang kedua sebagai khalifah/wakil Allah di muka bumi. Ia mempunyai
tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan lingkungannya tempat
mereka tinggal. Manusia diberikan kebebasan untuk mengekplorasi, menggali
sumber-sumber daya, serta memanfaatkannya dengan sebesar-besar manfaat.
Karena alam diciptakan untuk kehidupan manusia sendiri. Untuk menggali
potensi alam dan memanfaatkannya diperlukan ilmu pengetahuan yang
memadai. Hanya orang-orang yang memilki ilmu pengetahuan yang cukuplah
atau para ilmuwan dan para intelektual yang sanggup mengekplorasi sumber
alam ini. Akan tetapi para ilmuwan itu harus sadar bahwa potensi sumber daya
alam ini akan habis terkuras untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia
apabila tidak dijaga keseimbangannya. Oleh sebab itu tanggung jawab
kehalifahan banyak bertumpu pada para ilmuwan dan cendikiawan. Mereka
mempunyai tanggung jawab jauh lebih besar dibanding dengan manusia-
manusia yang tidak memiliki ilmu pengetahuan. Bagi mereka yang tidak memiliki
ilmu pengetahuan tidak mungkin mengekploitasi alam ini secara berlebihan.
Paling hanya sekedar kebutuhan primernya bukan untuk pemenuhan kepuasan
hawa nafsunya. Karena mereka tidak memiliki kemampuan dan kesanggupan
untuk mengekploitasi secara besar-besaran sumber alam ini. Demikian pula
mereka tidak akan sanggup menjaga keseimbangan dan kelestariannya secara
sistimatis.

206
Kerusakan bumi ini lebih banyak disebabkan karena ulah manusia sendiri.
Mereka banyak yang berhianat terhadap perjanjiannya sendiri kepada Allah
mereka tidak menjaga amanat Allah sebagai khalifah yang bertugas untuk
menjaga kelestarian alam ini. Sebagaimana firman Allah dalam Quran Surat Ar-
ruum Ayat 41:

“Telah nampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan karena perbuatan


tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka segera kembali ke jalan yang
benar”.

Dengan berdasar pada gambaran tersebut, maka implementasi IPTEKS


dalam kehidupan harus betul-betul dilandaskan pada aturan dan etika Islam.
Dengan demikian, bukan hanya bermanfaat serta maslahat juga bernilai ibadah
sehingga mendapat pahala dari Allah SWT. Terlebih perkembangan teknologi dan
seni sekarang ini kian cepat dan dinamis. Teknologi alat komunikasi dan
teknologi informatika mengantarkan manusia secara cepat dapat berkomunikasi
dan berhubungan walaupun tanpa bertemu secara fisik. Perubahan drastis pun
semakin pesat pada bidang seni. Oleh karena itu, akankah kita menjadi agen
perusak bumi dan moral umat, atau menjadi penyelamat bumi dan perubah
moral umat ke arah positif?



206

Anda mungkin juga menyukai