Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

PCP ( PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA )

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5

1. YASHI VERDANI AKBAR ( 088STYC19 )


2. YOGI PRAKUSYA PRATAMA ( 089STYC19 )
3. NURAMALIA ( 055STYC19 )
4. NURLAILI RIZKI AMALIA ( 058STYC19 )
5. RIZAL WATONI ( 0STYC19 )
6. RIZKIKA NURIA ISTARI ( 071STYC19 )

S1 KEPERAWATAN
YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM
2021

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena telah memberikan
kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-
Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “PNEUMOCYSTIS
PNEUMONIA” tepat waktu.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah HIV/AIDS, Penulis
mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada dosen mata kuliah HIV/AIDS. Penulis
juga mengucapkan terimakasih pada semua pihak dan sumber yang telah membantu proses
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembacanya.

Mataram,23 Maret 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................i

DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................3

1.1 LATARBELAKANG ................................................................................3-4


1.2 RUMUSANMASALAH ...............................................................................4
1.3 TUJUAN ........................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................6

2.1 DEFINISI ......................................................................................................6


2.2 ETIOLOGI ................................................................................................7-8
2.3 ANATOMI FISIOLOGI ........................................................................8-10
2.4 TANDA DAN GEJALA .............................................................................10
2.5 PATOFISIOLOGI.................................................................................10-11
2.6 PENATALAKSANAAN........................................................................11-12
2.7 KOMPLIKASI.......................................................................................12-13
2.8 PENCEGAHAN..........................................................................................13
2.9 PEMERIKSAAN FISIK........................................................................13-15
2.10 PEMERIKSAAN PENUNJANG...............................................................15
2.11 ASKEP PADA KLIEN PCP.................................................................16-19

BAB III PENUTUP.............................................................................................20

3.1 KESIMPULAN ..............................................................................................20


3.2 SARAN ...........................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Infeksi saluran nafas bawah masih menjadi masalah utama dalam bidang
kesehatan. World Health Organization (WHO) melaporkan infeksi saluran nafas
bawah sebagai infeksi penyebab kematian paling sering di dunia dengan hampir
3,5 juta kematian per tahun. Pneumonia dan influenza didapatkan sebagai
penyebab kematian sekitar 50.000 estimasi kematian pada tahun 2010. Pneumonia
didefinisikan sebagai peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Pneumonia berdasarkan tempat didapatkannya dibagi dalam dua kelompok utama
yakni, pneumonia komunitas (community aqquired pneumonia, CAP) yang
didapat di masyarakat dan pneumonia nosokomial (hospital aqquired pneumonia,
HAP). Pneumonia komunitas (PK) atau community-acquired pneumonia (CAP)
masih menjadi suatu masalah kesehatan utama tidak hanya di negara yang sedang
berkembang, tetapi juga di seluruh dunia. PK merupakan salah satu penyebab
utama kematian di dunia dan merupakan penyebab kematian terbesar ke-6 di
Amerika Serikat. Di Indonesia, Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001 mencatat kematian akibat pneumonia dan infeksi saluran nafas sebanyak 34
per 100.000 penduduk pada pria dan 28 per 100.000 penduduk pada wanita.
Sementara itu, menurut Riskesdas 2013, pneumonia menduduki urutan ke-9 dari
10 penyebab kematian utama di Indonesia, yaitu sebesar 2,1%.5,6,7 Pneumonia
tentunya perlu mendapat perhatian dan penanganan yang tepat, mengingat
penyakit ini masih menjadi permasalahan kesehatan utama di Indonesia. Untuk
itu, diagnosis yang tepat, pemberian terapi antibiotika yang efektif, perawatan
yang baik, serta usaha preventif yang bermakna terhadap penyakit ini perlu
dilakukan agar berkurangnya morbiditas dan mortalitas pada pneumonia.

3
Pneumocystis pneumonia (PCP) merupakan jenis infeksi oportunistik yang
disebabkan oleh Pneumocystis carinii, terjadi pada kasus yang mendapat terapi
imunosupresi kronik atau yang mengalami gangguan sistem imun. Pada individu
dengan status imun baik, tidak tampak gejala (asimtomatik). Pneumonia
pnemosistis merupakan kejadian umum pada penderita AIDS di negara-negara
maju. Di negara berkembang insidennya tidak diketahui dengan pasti karena data
belum tersedia. Sebelum penggunaan obat-obat profilaksis, hampir 80% kasus
AIDS menderita PNP. Pada saat awal epidemi HIV, kejadian PNP pada anak HIV
adalah 1,3 kasus per 100 anak-tahun dari bayi sampai remaja dan meningkat
menjadi 9,3 kasus per 100 anak-tahun pada tahun pertama kehidupan. Namun
terjadi penurunan insiden PCP dari tahun 1992-1997, khususnya setelah
penggunaan terapi anti retrovirus aktif. Hallett Dkk melaporkan PCP dijumpai
pada kasus leukemia limfoblastik akut, transplantasi ginjal, penyakit lupus, dan
neuroblastoma.
Pneumocystis pneumonia (PCP) merupakan patogen jamur oportunistik
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada individu dengan
imunokompromis dan merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada pasien
acquired immune deficiency syndrome (AIDS) di dunia. 1,2 World Health
Organization (WHO) memperkirakan 42 juta orang menderita human
immunodeficiency virus (HIV) pada akhir tahun 2002 dan sebanyak 95% hidup di
negara berkembang. Beberapa penelitian di Thailand menunjukkan prevalens
pasien HIV yang mendapat terapi di rumah sakit pendidikan sebesar 27% hingga
40%. Sebuah penelitian di Brazil menemukan bahwa 55% pasien (HIV) dengan
keluhan respirasi didiagnosis dengan PCP. Penelitian lainnya melaporkan
prevalens PCP sebesar 24% hingga 29%. Terdapat kesulitan dalam menegakkan
diagnosis PCP karena organisme penyebabnya tidak dapat dibiakkan.
Pneumocystis pneumonia (PCP) adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada individu dengan imunokompromis yang disebabkan oleh
Pneumocystis jirovecii. Diagnosis PCP mengalami kesulitan karena organisme

4
penyebabnya tidak dapat dibiakkan sehingga penegakan diagnosis didasarkan
pada kecurigaan klinis dan penilaian antara pengecatan Gomori methenamine
silver dengan nilai laktat dehidrogenase (LDH) serum.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1.2.1 Definisi?
1.2.2 Etiologi?
1.2.3 Anatomi Fisiologi?
1.2.4 Tanda dan Gejala?
1.2.5 Patofisiologi?
1.2.6 Penatalaksanaan?
1.2.7 Komplikasi?
1.2.8 Pencegahan?
1.2.9 Pemeriksaan Fisik?
1.2.10 Pemeriksaan Penunjang?
1.2.11 Askep Pada klien dengan Infeksi Oportunistik PCP?

1.3 TUJUAN
Tujuan pembentukan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah KMB II dan
menjelaskan apa yang menjadi isi pembahassan pada BAB II.

5
6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim
paru distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan
alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat.8 Pnemunonia dibedakan menjadi dua yaitu pneumonia kominiti dan
pneumonia nosokomial. Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang terjadi
akibat infeksi di luar rumah sakit, sedangkan pneumonia nosokomial adalah
pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam atau lebih setelah dirawat di rumah
sakit. Pneumonia dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, klasifikasi paling
sering ialah menggunakan klasifikasi berdasarkan tempat didapatkannya
pneumonia (pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial), tetapi pneumonia
juga dapat diklasifikasikan berdasarkan area paru yang terinfeksi (lobar
pneumonia, multilobar pneumonia, bronchial pneumonia, dan intertisial
pneumonia) atau agen kausatif. Pneumonia juga sering diklasifikasikan
berdasarkan kondisi yang mendasari pasien, seperti pneumonia rekurens
(pneumonia yang terjadi berulang kali, berdasarkan penyakit paru kronik),
pneumonia aspirasi (alkoholik, usia tua), dan pneumonia pada gangguan imun
(pneumonia pada pasien tranplantasi organ, onkologi, dan AIDS).
Pneumonia pnemosistis merupakan penyebab kesakitan yang serius dan
kematian pada kasus gangguan sistem imun. Pneumonia pnemosistis merupakan
infeksi oportunistik tersering pada kasus yang terinfeksi HIV, leukemia dan anak
yang menerima transplantasi organ. Organisme penyebab adalah Pneumocystis
carinii. Manifestasi klinis berupa gangguan pernapasan disertai penyakit
dasarnya. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya organisme dalam
pemeriksaan mikroskopis. Pengobatan secara umum terdiri dari tata laksana
suportif dan spesifik. Trimetoprim-sulfametoksasol masih merupakan pilihan

7
pertama baik untuk terapi maupun profilaksis. Angka kematian masih tinggi,
terutama yang terlambat mendapat terapi. (Sari Pediatri 2008; 9(5):328-34).

2.2 ETIOLOGI
Pneumonia pnemosistis adalah pneumonia yang disebabkan oleh jamur
Pneumocystis carinii. Beberapa kepustakaan menyebutkan penyebab PCP adalah
Pneumocystis jiroveci. Pneumocystis jiroveci merupakan varian dari
Pneumocystis carinii yang ditemukan pada manusia. Analisis terhadap ribosom
RNA pada tahun 1988 dilaporkan dari pneumocystis menunjukkan tentang Siklus
hidup Pneumocystis carinii. Dikutip dari Collier L, 1998 adanya phylogenetic-
linkage terhadap kelompok fungi dan berdasarkan informasi genomik organisme
ini dikelompokan dalam famili jamur ascomycetous. Organisme pneumosistis
telah teridentifikasi dari semua mamalia. P. carinii yang menginfeksi manusia,
diberi nama P. jiroveci. Organisme P. carinii mempunyai sifat khas yaitu
pneumosistis yang menginfeksi hewan tidak dapat menginfeksi manusia, namun
jika ditularkan pada hewan yang sejenis akan meningkatkan virulensi. Secara
morfologi ini terdiri dari dua bentuk yaitu tropozoit dengan dinding tipis dan
bentuk kista yang mempunyai dinding tebal. Bentuk tropozoit (trofik) berukuran
1-4 μm, sedangkan bentuk kista mempunyai dinding tebal dengan ukuran 5-8 μm,
mengandung 4-8 inti. Siklus hidup P. carinii terdiri dari 2 siklus yaitu siklus
aseksual dan seksual. Siklus aseksual melibatkan bentuk trofik (tropozoit) dan
siklus seksual melibatkan bentuk kista, akhir dari siklus adalah terbentuknya
kista-kista yang baru.
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri,
virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh masyarakat
luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan pneumonia rumah sakit
banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan beberapa kota di Indonesia
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita komunitas adalah bakteri gram
negatif.

8
Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan
nosokomial: a. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia,
Mycoplasma pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila,
chlamydia pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B.
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella
pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob oral.10

2.3 ANATOMI FISIOLOGI


2.3.1 Anatomi Pneumonia

Gambar : 2.1 Anatomi Pneumonia


Sumber : Kusuma (2016)

9
Gambar : 2.2 Anatomi pernafasan
Sumber : Kusuma (2016)

2.3.2 Anatomi Sistem Pernafasan


1. Hidung
Merupakan saluran udara pertama yang mempunyai 2 lubang,
dipisahkan oleh sekat hidung. Di dalamnya terdapat bulu-bulu
yang berfungsi untuk menyaring dan menghangatkan udara
(Muttaqin, 2009).
2. Faring
Merupakan persimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan,
terdapat di dasar tengkorak, di belakang rongga hidung dan mulut
setelah dapat ruas tulang leher. Terdapat epiglotis yang berfugsi
menutup laring pada waktu menelan makanan (Muttaqin 2009).
3. Laring (pangkal tenggorokan)

10
Merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentuk suara
terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra
servikalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya (Muttaqin,
2009)
4. Trakea (batang tenggorokan)
Merupakan lanjutan dari laring yang di bentuk oleh 16-20 cincin
yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku
kuda (huruf C). Sebelah dala diliputi oleh sel bersilia yang
berfungsi untk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk
bersama-sama dengan udara pernafasan. Percabangan trakea
menjadi bronkus kiri dan kanan disebut karina (Muttaqin, 2009)
5. Bronkus (cabang tenggorokan)
Merupakan lanjutan dari trakea yang terdiri dari 2 buah pada
ketinggian vertebra torakalis IV dan V (Muttaqin, 2009)
6. Paru-paru
Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari
gelembung-gelembung hawa (alveoli). Alveoli ini terdiri dari sel-
sel epitel dan endotel. Jika dibentangan luas permukaannnya
kurang lebih 90 meter persegi, ada lapisan inilah terjadi pertukaran
udara (Muttaqin, 2009).

2.4 TANDA DAN GEJALA


Gejala klinis PCP meliputi triad klasik demam yang tidak terlalu tinggi,
dispone terutama saat beraktifitas, dan batuk non produktif. Progresivi tasgejala
biasanya perlahan, dapat berminggu–minggu bahkan sampai berbulan-bulan
semakin lama akan bertambah hebat, disertai takipneo frekuensi pernafasan
meningkat 80-120x/ menit, sampai terjadi sianosi pada pemeriksaan fiisik
diagnosa tidak dijumpai tanda spesifik saat skultasi dapat dijumpai roonki kering
atau bahkan tidak jumpai kelainaan apapun. pada 2-6 kasus CPC dapat muncul

11
dengan pneumothorax spontan. Pada pemeriksaan radiologi baru terlihat
gambaran yang kas berupa infiltratbilateralsimtris, mulai dari hilus kepirifer, bisa
meliputi seluruh lapangan paru daerah dengan kolopas, diselingi dengan daerah
yang eemfisemota menimbulkan gambaran seperti sarang tawon. Pada darah
dijumpai kadar LDH yang tinggi 60u/l-atau Pa o2 (tekanaan darah parial artei )
75mmhg. Lesi ekstra pulmenor jarang terjadi namun dapat melibatkan limpa, hati,
kelenjar, getah bening dan um-um tulang. Pada penderita anak-anak ehubungan
dengan malnutrisi , onset penyakit berjalan perlahan dijumpai kegagalan tumbuh
kembang.

2.5 PATOFISIOLOGI
Resiko pnemonioa pneumocystis jinoveci meningkat ketika tingkat sel
positif CD4 kurang dari 200 sel/ul. Pada indifudu immunosuppresi gejala infeksi
berfariasi tinggi. Penyakit ini meyerang pencernaan ,jaringan fibrosa pari-paru
dengan tanda penebalan alvolar septa dan alveoli dan mengarah ke hypoxsia
ignifikan yang akan menjadi fatal jika ditangani secara agresif .Oleh karena itu,
LHD meningkat dan pertukaran gas sulit. Oksigen kurang mampu berfungsi
kedalam darah, mengarah ke hypxsia , bersamaan tngginya tingkat aterial carbon
dioksida (CO2) levels merangsang perdaraan , dengan demikian menyebabkan
dyspnea (kesulitan bernafas).

2.6 PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan
antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian
antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap kuman penyebab
infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan antibiotik empiris dan
terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien.3 Terapi antibiotika
empiris menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada klasifikasi pneumonia
dan kemungkinan organisme, karena hasil mikrobiologis umumnya tidak tersedia

12
selama 12-72 jam. Maka dari itu membedakan jenis pneumonia (CAP atau HAP)
dan tingkat keparahan berdasarkan kondisi klinis pasien dan faktor predisposisi
sangatlah penting, karena akan menentukan pilihan antibiotika empirik yang akan
diberikan kepada pasien.16 Tindakan suportif meliputi oksigen untuk
mempertahankan PaO2 > 8 kPa (SaO2 > 92%) dan resusitasi cairan intravena
untuk memastikan stabilitas hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non
invasif (misalnya tekanan jalan napas positif kontinu (continous positive airway
pressure), atau ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Bila
demam atau 9 nyeri pleuritik dapat diberikan antipiretik analgesik serta dapat
diberika mukolitik atau ekspektoran untuk mengurangi dahak.3,17
2.6.1 Pilihan Antibiotika
Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor
sensitivitas bakteri terhadap antibiotika, keadaan tubuh pasien, dan faktor biaya
pengobatan.18 Pada infeksi pneumonia (CAP dan HAP) seringkali harus segera
diberikan antibiotika sementara sebelum diperoleh hasil pemeriksaan
mikrobiologik. Pemilihan ini harus didasarkan pada pengalaman empiris yang
rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling mungkin serta antibiotika
terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih antibiotika yang didasarkan pada luas
spektrum kerjanya tidak dibenarkan karena hasil terapi tidaklebih unggul daripada
hasil terapi dengan antibiotika berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih
sering terjadi dengan antibiotika berspektrum luas.
2.6.2 Kegagalan Terapi
Kepekaan kuman terhadap antibiotika tertentu tidak dapat menjamin
efektivitas klinis. Faktor berikut dapat menjadi penyebab kegagalan terapi:
1. Dosis kurang Dosis suatu antibiotika seringkali bergantung dari tempat
infeksi, walaupun kuman penyebanya sama. Sebagai contoh dosis penisilin G
yang diperlukan untuk mengobati meningitis oleh Pneumococcus jauh lebih
tinggi daripada dosis yang diperlukan untuk pengobatan infeksi saluran napas
bawah yang disebabkan oleh kuman yang sama.

13
2. Masa terapi yang kurang Konsep lama yang menyatakan bahwa untuk setiap
jenis infeksi perlu diberikan antimikroba tertentu selama jangka waktu
tertentu kini telah ditinggalkan. Pada umunya para ahli cenderung melakukan
individualisasi masa terapi, yang sesuai dengan tercapai respon klinik yang
memuaskan. Namun untuk penyakit tertentu seperti tuberkulosis paru tetap
dipertahankan masa terapi yang cukup walaupun perbaikan klinis cepat
terlihat.
3. Kesalahan dalam menetapkan etiologi Demam tidak selalu disebabkan oleh
kuman, virus, jamur, parasit, reaksi obat, dan lain-lain dapat meningkatkan
suhu badan. Pemberian antibiotika yang lazim diberikan dalam keadaan ini
tidak bermanfaat.
4. Pilihan antibotika yang kurang tepat Suatu daftar antibiotika yang dinyatakan
efektif dalam uji sensitivitas tidak dengan sendirinya menyatakan bahwa
setiap antibiotika akan memberikan aktivitas klinik yang sama. Disini dokter
harus dapat mengenali dan memilih antibiotika yang secara klinis merupakan
obat terpilih untuk suatu kuman tertentu. Sebagai contoh obat terpilih untuk
infeksi S. faecalis adalah ampisilin, walaupun secara in vitro kuman tersebut
juga dinyatakan sensitif terhadap sefamandol atau gentamisin.
5. Faktor pasien Keadaan umum yang buruk dan gangguan mekanisme
pertahanan tubuh (selular dan humoral) merupakan faktor penting yang
menyebabkan gagalnya terapi antibotika. Sebagai contoh obat imunosupresan,
12 AIDS.

2.7 KOMPLIKASI
Pneumonia umumnya bisa diterapi dengan baik tanpa menimbulkan
komplikasi. Akan tetapi, beberapa pasien, khususnya kelompok pasien risiko
tinggi, mungkin mengalami beberapa komplikasi seperti bakteremia 8 (sepsis),
abses paru, efusi pleura, dan kesulitan bernapas. Bakteremia dapat terjadi pada
pasien jika bakteri yang menginfeksi paru masuk ke dalam aliran darah dan

14
menyebarkan infeksi ke organ lain, yang berpotensi menyebabkan kegagalan
organ. Pada 10% pneumonia pneumokokkus dengan bakteremia dijumpai terdapat
komplikasi ektrapulmoner berupa meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis,
peritonitis, dan empiema. Pneumonia juga dapat menyebabkan akumulasi cairan
pada rongga pleura atau biasa disebut dengan efusi pleura. Efusi pleura pada
pneumonia umumnya bersifat eksudatif. Pada klinis sekitar 5% kasus efusi pleura
yang disebabkan oleh P. pneumoniae dengan jumlah cairan yang sedikit dan
sifatnya sesaat (efusi parapneumonik). Efusi pleura eksudatif yang mengandung
mikroorganisme dalam jumlah banyak beserta dengan nanah disebut empiema.
Jika sudah terjadi empiema maka cairan perlu di drainage menggunakan chest
tube atau dengan pembedahan.

2.8 PENCEGAHAN
Cara terbaik untuk mencegah PCP adalah dengan memakai ART. Orang
dengan jumlah CD4 dibawah 200 dapat mencegah PCP dengan memakai obat
yang dipakai juga untuk mengobati PCP. Untuk informasi lebih lanjut, lihat LI
950 dan L1 951. Cara yang lain untuk mengurangi resiko PCP dalah dengan tidak
merokok. Satu penelitian menemukan bahwa perokok yang sudah berhenti
setidaknya selama satu tahun tidak mengembangkan PCP lebih cepat
dibandingkan non-perokok. Pada pasien immunokompresi, prophylaxis dengan
co-trimoxazole atau inhaler pentamidine biasa bisa mencegah PCP. ART dapat
meningkatkan jumlah CD4 kita. Jika jumlah ini melebihi 200 dan bertahan begitu
selama tiga bulan, mungkin kita dapat berhenti memakai obat pencegah PCP
tanpa resiko. Namun, karena pengobatan PCP adalah murah dan mempunyai efek
samping yang ringan, beberapa peneliti mengusulkan pengobatan sebaiknya
diteruskan hingga jumlah CD4 diatas 300. Kita harus berbicara dengan dokter kita
sebelum kita berhenti memakai obat papun yang diresepkan.

2.9 PEMERIKSAAN FISIK

15
1. Kesadaran: E4V5M6 2. Tekanan darah/nadi: Tidur: 120/70 mmHg
Nadi: 88 x/menit 3. Laju respirasi: 24 x/menit 4. Suhu Axilla: 37,60C 5.
Antropometri Berat badan: 38 kg Tinggi badan: 160 cm BMI: 14,7 kg/m2
Lingkar lengan atas: 16,5 cm (kanan dan kiri) Tinggi lutut: 45 cm 6. Kulit
Kekeringan: Tidak ada Bercak kemerahan: Tidak ada Lesi kulit lain: Tidak
ada Curiga keganasan: Tidak ada Dekubitus: Tidak ada 28 7. Pendengaran
Dengar suara nomal: Normal Pakai alat bantu dengar: Tidak ada 8.
Penglihatan Membaca huruf koran dengan kacamata: Tidak bisa di evaluasi
Jarak penglihatan: Memendek Jarak baca: Tidak bisa di evaluasi Katarak:
Tidak Ada Temuan funduskopi: Tidak bisa di evaluasi Anemis: Tidak ada
Ikterus: Tidak ada Refleks pupil: +/+ Isokor Edema palpebra: Tidak ada 9.
Mulut Hygiene mulut: Kurang Gigi palsu: Tidak ada Gigi palsu terpasang
baik: Tidak ada Lesi di bawah gigi palsu: Tidak ada Kelainan yang lain: Tidak
ada 10. Leher Derajat gerak: Normal Kelenjar tiroid: Normal Bekas luka pada
tiroid: Tidak ada Massa lain: Tidak ada Kelenjar limfa membesar: Tidak ada
JVP: PR + 0 cmH2O 11. Thorax Massa teraba: Tidak ada Kelainan lain:
Tidak ada 12. Paru Inspeksi: Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (+),
barrel chest (-) Palpasi: Pelebaran sela iga, 29 VP N / N Perkusi: Sonor /
Sonor Auskultasi suara dasar: Bronkial Auskultasi suara tambahan: Rhonki
Wheezing 13. Jantung dan pembuluh darah Irama : Reguler Inspeksi : Iktus
kordis tak tampak Palpasi : Iktus kordis tak teraba Perkusi : batas atas: ICS II
batas kiri: 2 cm lateral MCL S ICS V batas kanan : PSL D Bising : Tidak ada
Gallop : Tidak ada Bising A. Karotis : Tidak ada Bising A. Femoralis : Tidak
ada Denyut A. Dorsalis pedis : Teraba Edema pedis : Tidak ada Edema tibia :
Tidak ada Edema sacrum : Tidak ada 14. Abdomen Bising : Normal Hati
membesar : Tidak ada Massa perut : Tidak ada Limpa membesar : Tidak ada
15. Otot dan kerangka Deformitas : Tidak ada Gerak terbatas : Tidak ada
Nyeri : Tidak ada Benjol/ radang : Tidak ada 16. Saraf Penghidu : Kesan
normal Ketajaman penglihatan : Kesan menurun -/- +/- +/- -/- -/- -/- +/+ +/+ +/

16
+ 30 Lapangan penglihatan : Kesan normal Fundus : Tidak dievaluasi Pupil :
Normal Ptosis : Tidak ada Nistagmus : Tidak ada Gerakan bola mata : Kesan
normal Sensasi kulit occuli : Kesan normal Sensasi kulit mandibularis : Kesan
normal Sensasi kulit maksilaris : Kesan normal Otot mengunyah : Kesan
normal Refleks kornea : Normal Jerk jaw : Tidak ada Saraf muka simetris :
Normal Kekuatan otot wajah : Normal Pendengaran : Normal Uvula : Normal
Refleks trapesius : Kesan normal Otot trapesius : Normal
Sternokleidomastoideus : Normal Lidah : Normal 17. Motorik Anggota tubuh
atas Kekuatan Tonus Refleks Bahu (5)/(5) (N)/(N) (+)/(+) Siku (5)/(5) (N)/(N)
(+)/(+) Pergelangan tangan (5)/(5) (N)/(N) (+)/(+) Anggota tubuh bawah Paha
(5)/(5) (N)/(N) (+)/(+) Lutut (5)/(5) (N)/(N) (+)/(+) Pergelangan kaki (5)/(5)
(N)/(N) (+)/(+) 18. Sensorik Anggota tubuh atas Anggota tubuh bawah Tajam
(Nyeri) kanan (+) kiri (+) kanan (+) kiri (+) Raba kanan (+) kiri (+) kanan (+)
kiri (+) 31 Getar kanan (+) kiri (+) kanan (+) kiri (+) Suhu kanan (+) kiri (+)
kanan (+) kiri (+) 19. Koordinasi Jari ke hidung : Normal Tumit ke lutut :
Normal

2.10 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan diagnostic akan didapatkan hasil sebagai berikut:
a. Pada pemeriksaan fisik diagnostik tidak dijumpai tanda yang spesifik. Saat
auskultasi dapat dijumpai ronki kering atau bahkan tidak dijumpai
kelainan apapun. Pada 2-6% kasus, PCP dapat muncul dengan
pneumothorax spontan. Pada pemeriksaan radiologi paru terlihat
gambaran yang khas berupa infiltrate bilateral simetris, mulai dari hilus ke
pelifer, bisa meliputi seluruh lapangan paru. Daerah dengan kolaps,
diselingi dengan daerah yang emfisematosa menimblkan gambaran seperti
sarang tawon. Pada arah dijumpai kadar LDH (Lactate Dehidrogenase)
yang tinggi -> 460 U/L – atau Pa O2 (tekanan oksigen parsial arteri) <75
mmHg. Lesi ekstra pulmoner jarang terjadi-<3%-, namun dapat

17
melibatkan limpa, hati, kelenjar getah bening dan sum-sum tulang pada
penderita anak-anak sehubungan dengan malnutrisi, onset penyakit
berjalan perlahan, dijumpai kegaglan tumbuh kembang (failuretothrive),
yang akhirnya diikuti takipnoe dan sianosis. Sedang pada penderita yang
imunosupresif –anak maupun dewasa-, onset penyakit berjalan cepat.
b. Analisa gas darah arteri menunjukkan hipoksemia (PaO2 kurag dari 35
mmHg).

2.11 ASKEP PADA KLIEN PCP


2.11.1 Pengkajian
1. Anamnesis
a. Keluhan:
1) Batuk tidak berdahak.
2) Sesak nafas
3) Pernafasan cepat
4) Lemah
5) Demam
b. Riwayat penyakit saat ini
1) Sejak kapan terdiagnosis HIV.
2) Kapan menggunakan terapi ARV atau tidak, mulai
kapan batuk-batuk, jumlah CD4
3) Tindakan apa yang sudah dilakukan untuk mengatasi
masalah kesehatan yang di alami sebelum dibawah ke
rumah sakit.
4) Obat-obatan yang dikinsumsi saat ini.
c. Riwayat penyakit yang pernah di derita.
1) Kenali faktor seperti praktik yang beresiko.
2) Pengguna narkoba dan obat-obatan terlarang dengan
cara intravena secara bergantian.

18
3) Riwayat penerima donor darah.
d. Riwayat penyakit keluarga
1) Adakah anggota keluarga lainnya yang berresiko tinggi
terkena seperti praktek seksual yang beresiko, pengguna
narkoba dan obat-obatan terlarang dengan cara intravena
secara bergantian.
e. Psiko-sosial-spiritual.
1) Faktor stress yang berhubungan dengan kehilangan
dukungan keluarga. Hubungan dengan orang lain,
penghasilan, gaya hidup tentunya dan distress spiritual.
2) Mengkhawatirkan penampilan: lesi, cacat, penurunan
berat badan.
3) Cemas, depresi, kesepian, teman terdekat meninggal
karena AIDS.
Perubahan pada interaksi keluarga.
2. Pemeriksaan fisik
a. B1 (Breath): pernafasan.
Batuk kering/non produktif, nyeri dada sesak dada terjadi
takipnea, distress pernafasan.
b. B2 (Blood): kardiovaskuler.
Terjadi takikardi menurunnya volume nadi periver, akral
dingin, pucat dan sianosis yang berkepanjangan, TD
rendah.
c. B3 (Brain): persyarafan
1) Pusing
2) Sakit kepala
3) Terjadi perubaha status mental
4) Tidak mampu mengingat berkonsentrasi dan pada
tahap yng berat terjadi perubahan sensori persepsi

19
5) Perubahan ketajaman penglihatan dan kesemutan
pada ekstrimitas.
d. B4 (Bladder): perkemihan.
1) Tidak ada perubahan dalam jumlah, warna dn
karakteristik urin.
e. B5 (Bowel): pencernaan
1) Penurunan BB yang cepat, mual, muntah, anoreksia.
f. B6 (Bowel): musculoskeletal.
1) Adakah kelemahan, turgor kulit yang buruk, akal
dingin, sianosis.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostic akan di dapatkan hasil sebagai berikut:
a. Pada pemeriksaan fisik diagnostik tidak di jumapai tanda
yang spesifik. Saat auskultasi dapat di jumpai ronki kering
atau bahkan tidak di jumpai kelainan apapun. Pada 2-6%
kasus, PCP dapat muncul dengan pneumothorax spontan.
Pada pemeriksaan radiologi paru terlihat gambaran yang
khas berupa infiltrate bilateral simetris, mulai dari hilus ke
perifer, bisa meliputi seluruh lapangan paru. Daerah dengan
kolaps, diselingi dengan daerah yang emfisematosa
menimbulkan gambaran seperti sarang tawon. Pada darah
dijumpai kadar LDH (lactate dehidrogenase) yang tinggi- >
460 U / L – atau Pa O2 (tekanan oksigen persial arteri) <
75 mmHg. Lesi ekstra pulmoner jarang terjadi - <3%-,
namun dapat melibatkan limpa, hati, kelenjar getah bening
dan sum-sum tulang pada penderita anak-anak sehubungan
dengan malnutrisi, onset penyakit berjalan perlahan,
dijumpai kegaglan tumbuh kembang (failuretothrive), yang
akhirnya diikuti takipnoe dan sianosis. Sedang pada

20
penderita yang imunosupresif –anak maupun dewasa-,
onset penyakit berjalan cepat.
b. Analisa gas darah arteri menunjukkan hipoksemia (PaO2
kurag dari 35 mmHg).
4. Diagnosa keperawatan
a. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
dengan perubahan pada membran kapiler-alveolar.
b. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan
suplai O2 ke jaringan perifer.
c. Resiko perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme
tubuh dan demam.
5. Intervensi
a. Kerusakan pertukaran gas b, d, perubahan pada membrane kapiler
alveolar
1) Kolaborasi pemberin O2 sesuai indikasi
2) Auskultasi bunyi nafas, panta kecepatan/kedalaman
pernafasan, sianosis, penggunaan otot bantu peranfasan.
3) Kolaborasi pemeriksaan gas darah sebelum dan sesudah di
berikan intrvensi.
4) Kolaborasi program pengobatan: anibiotik, obat batuk.
b. Perubahan perfusi jaringan b, d penurunan suplai O2 ke jaringna
perifer.
1) Kolaborasi pemberian O2 sesui indikasi.
2) Berikan diet TKTP
3) Pertahankan suhu lingkungan agar suhu tubuh tetap hangat.
4) Ubah posisi sedikitnya tiap jam.
5) Observasi TTV dan tanda-tanda gangguan perfusi jaringan
perifer (akral dingin, CRT>3detik.

21
6) Kolaborasi pemeriksaan Hb dan gas darah.
c. Resiko perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme tubuh
dan demam.
1) Pantau: persentase jumlah makanan yang di konsumsi setiap
kaali makan, timbang berat badan setiap hari, hasil
pemeriksaan: protein total, albmin, dan osmolalitas.
2) Rujuk kepada ahli diet untuk membantu memilih makanan
yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi selama demam.
3) Dorong pasien untuk mengkonsumsi makan tinggi protein.
4) Berikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering yang mudah
di kunyah (roti panggang, krekers).

BAB III

PENUTUP

c.1 KESIMPULAN
PCP merupakan infeksi pada paru yang disebabkan oleh jamur
Pneumocystis jiroveci.
Infeksi ini sering terjadi pada penderita dengan immunodefisiensi,
mis : pada penderita

22
HIV / AIDS, ALL (Acute Lymphocytic Leucemia), maupun pada
pasien yang mendapat
terapi kortikosteroid. Transmisi orang ke orang diduga terjadi
melalui “respiratory
droplet infection” dan kontak langsung. Kebanyakan peneliti
menganggap transmisi
terjadi melalui inhalasi. Diduga mekanisme infeksinya karena
menjadi aktifnya infeksi
laten. Gejala klinis PCP meliputi triad klasik demam – yang tidak
terlalu tinggi-, dispnoe
– terutama saat beraktivitas-, dan batuk non produktif. Semakin
lama dispnoe akan
bertambah hebat, disertai takipnoe, sampai terjadi sianosis dan
gagal nafas.
Diagnosa pasti dilakukan dengan menemukan Pneumocystis
jiroveci pada sediaan paru
atau bahan yang berasal dari paru, yang diperoleh melalui induksi
sputum, BAL (
Broncho Alveolar Lavage) maupun biopsi paru. Pada pemeriksaan
radiologi paru dapat
terlihat gambaran infiltrate bilateral simetris dan “ honeycomb
appearance”. Pada darah
dijumpai kadar LDH yang meninggi, > 460 U/ L atau Pa O2 < 75
mmHg. Oleh karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita
dengan immunodefisiensi,
maka prognosis PCP kurang baik dan infeksinya dapat fatal
dengan terjadinya gagal
nafas. Untuk itu diperlukan diagnosa dini dan terapi yang adekuat
untuk mengurangi

23
persentase mortalitas penyakit ini. Pada pasien dengan
immunodefisiensi, mis :
penderita HIV / AIDS dengan CD4 count menurun hingga < 300,
dianjurkan untuk
mengkonsumsi regimen kemoprofilaksis kombinasi trimetoprim +
sulfametoksazol (
atau pentamidin inhaler sebagai alternatif lain ) untuk mencegah
infeksi PCP
c.2 SARAN
Saran yang dapat disampaikan yaitu pengembangan ide-ide
inventive principle yang belum dilakukan sebaiknya dilakukan
oleh pihak PCP. Hal itu untuk mengurangi atau mengatasi
permasalahan pada proses-proses yang menyebabkan kegagalan
layanan. Saran tersebut adalah sebagai berikut:
a. Memberikan pelatihan sebanyak 3 kali selama setahun. Pada
pelatihan
memberikan brosur dan mengganti materi setiap diadakannya
pelatihan.
b. Menerapkan desain resi usulan.
c. Mengubah penulisan pada resi yang tadinya manual dengan
diketik.
d. Menambah pekerja PCP, saat pengirim akan mencapai
puncaknya.
e. Mengganti keranjang dengan sekat kayu.
f. Memberikan waktu tambahan sebanyak 30 menit untuk memilah
barang.
g. Menerapkan proses kontrol.

24
DAFTAR PUSTAKA

Anwar A. and Dharmayanti I., 2014, Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia.

Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 8, 360.

Bartlett John G., Dowell Scott F., Mandell Lionel A., File Thomas M., Jr., Musher

Daniel M. and Fine Michael J., 2000, Practice Guidelines for the

Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults, Clinical

Infectious Diseases, 31, 347-382.

Brooks G.F., Butel J.S. and Morse S.A., 2005, Jawetz, Melnick, & Adelberg’s

Mikrobiologi Kedokteran, Edisi I, Diterjemahkan oleh Bagian Mikrobiologi

Fakultas Kedoktersan Universitas Airlangga, Salemba Medika, Jakarta, pp.

260-372.

Chung D.R., Song Jae-H., Kim So H., Thamlikitkul V., Huang Shao-G., Wang H.,

So Thomas Man-k., Yasin Rohani M.D., Hsueh Po-R., Carlos Celia C., Hsu

Li Y., Buntaran L., Lalitha M.K., Kim Min J., Choi Jun Y., Kim Sang II.,

Ko Kwan S., Kang Cheol-I. and Peck Kyong R., 2011, High Prevalence of

Multidrug-Resistant Nonfermenters in Hospital-acquired Pneumonia in

Asia, American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine, 184,

1409-1417.

CLSI., 2013, M100-S23 Performance Standards for Antimicrobial Susceptibility

25
Testing; Twenty-Third Informational Supplement, Clinical and Laboratory

Standard Institute, USA, 34 (1), 27-93.

Dairo M.T., 2014, Pola Kuman Berdasarkan Spesimen Dan Sensitivitas Terhadap

Antibiotik Pada Penderita Community-Acquired Pneumonia (CAP) Di

RSUP Dokter Kariadi Semarang, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas

Diponegoro, Semarang.

Depkes RI., 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran

Pernapasan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Dinkes Jawa Tengah, 2010, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2009, Dinas

kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang.

Elliot T., Worthington T., Osman H. and Gill M., 2013, Mikrobiologi Kedokteran

dan Infeksi, Edisi 4, EGC, Jakarta, pp. 217-220.

Faisal F., Burhan E., Aniwidyaningsih W. and Kekalih A., 2014, Penilaian

Respons Pengobatan Empiris pada Pasien Rawat Inap dengan Pneumonia

Komunitas, Jurnal Respirasi Indonesia, 34, 61-67.

Fatmah, 2006, Respon Imunitas yang Rendah pada Tubuh Manusia Usia Lanjut,

Wunderink RG, Watever GW. 2014. Community-acquired pneumonia. N Engl J

Med.2014;370:543-51. PDPI. 2003. Pneumonia komuniti-pedoman diagnosis dan


penatalaksaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu

26
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam Universitas Indonesia.

27

Anda mungkin juga menyukai