Anda di halaman 1dari 24

1.

Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) merupakan kelainan endokrin yang banyak dijumpai di


Indonesia dengan prevalensi sebesar 1,5-2,3%. Diabetes melitus (istilah melitus dalam
bahasa Latin, diartikan “madu manis”, merujuk pada rasa urin penderita diabetes) ialah
sindrom kronik yang ditandai oleh peningkatan glukosa darah (hiperglikemia) dan sekresi
glukosa dalam urin akibat kekurangan jumlah insulin, efek kerja atau keduanya.(1)
Di antara penyakit degenerative, diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak
menular yang akan meningkat jumlahnya di masa datang. Diabetes sudah merupakan
salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. WHO membuat
perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun
berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025,
jumlah itu membengkak menjadi 300 juta orang. (2)
Berbagai komplikasi dapat diakibatkan oleh rendahnya kontrol diabetes.
Komplikasi tersebut antara lain berupa penyakit vaskular sistemik (percepatan
aterosklerosis), penyakit jantung, penyakit mikrovaskular pada mata sebagai penyebab
kebutaan dan degenerasi retina (retinopati diabetik), katarak, kerusakan ginjal sebagai
penyebab gagal ginjal serta kerusakan saraf tepi (neuropati diabetik).(1)
Luasnya komplikasi pada diabetes tampaknya berkorelasi dengan konsentrasi
glukosa darah sehingga glukosa berlebih diduga menjadi penyebab utama kerusakan
jaringan. Fenomena ini dapat disebabkan oleh kemampuan hiperglikemia secara in vivo
dalam modifikasi oksidatif berbagai substrat. Selain itu, hiperglikemia juga terlibat dalam
proses pembentukan radikal bebas.(1)
Modifikasi molekuler yang terjadi di berbagai jaringan pada diabetes
mengakibatkan ketidakseimbangan antara antioksidan protektif (pertahanan antioksidan)
dan peningkatan produksi radikal bebas. Hal itu merupakan awal kerusakan oksidatif
yang dikenal sebagai stres oksidatif. Untuk meredam kerusakan oksidatif tersebut
diperlukan antioksidan. Peningkatan suplai antioksidan yang cukup akan membantu
pencegahan komplikasi klinis diabetes melitus.(1)

1
2. Diabetes Melitus
a. Definisi

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO)
sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat
dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari
sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan ganggguan
fungsi insulin.(2)
Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset
atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis yang tidak terdeteksi
ini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes
tipe 2 akan meningkat 5 – 10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural –
tradisional menjadi urban. Faktor resiko yang berubah secara epidemiologi
diperkirakan adalah: bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas,
distribusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua
faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan
terjadinya DM tipe 2.(2)
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan,
gatal, mata kabur dan difungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada pasien
wanita. Jika keuhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. untuk kelompok
tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja
abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. diperlukan pemastian

2
lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah
puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain,
atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah
pasca pembebanan ≥ 200 mg/dl.(2)
Berdasarkan American Diabetes Association (ADA) Recommendation 2010,
kriteria diagnosis diabetes mellitus, yaitu:
a) A1C ≥ 6,5%. Tes ini dilaksanakan pada laboratorium yang menggunakan metode
bersertifikat National Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) dan
berstandaridisasi Diabetes Control and Complications Trial (DCCT)
b) Glukosa puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/l). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada
intake kalori selama minimal 8 jam.
c) Glukosa plasma 2 jam ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/l) selama tes toleransi glukosa
oral (TTGO). Tes ini dilakukan sesuai protocol WHO menggunakan glukosa yang
setara dengan 75 gr glukosa dilarutkan dalam air.
d) Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia: glukosa
plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/l).
Walaupun secara klinis terdapat 2 macam diabetes tapi sebenarnya ada yang
berpendapat diabetes hanya merupaka suatu spektrum defisiensi insulin. Individu
yang kekurangan insulin secara total dikatakan sebagai diabetes juvenile onset atau
insulin dependent atau ketosis prone, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian
dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Pada ekstrem yang lain terdapat
individu yang stable atau maturity onset atau non-insulin dependent. Orang-orang ini
hanya menunjukkan defisiensi yang relatif dan walaupun banyak diantara mereka
mungkin memerlukan suplementasi insulin (insulin requiring) tidak akan terjadi
kematian karena ketoasidosis walaupun insulin eksogen dihentikan. Bahkan diantara
mereka mungkin terdapat kenaikan jumlah insulin secara absolut bila dibandingkan
dengan orang normal, tetapi ini biasanya berhubungan dengan obesitas dan/atau
inaktivitas fisik.(2)
Kedua kelompok besar diabetes dapat dibagi lagi atas kelompok kecil. Pada
satu kelompok IDDM atau Diabetes tipe I, terdapat hubungan antara HLA tertentu
pada kromosom 6 dan beberapa auto-imunitas serologik dan cell-mediated. Infeksi

3
virus pada atau dekat sebelum onset juga disebut-sebut berhubungan dengan
patogenesis diabetes. Pada percobaan inatang, virus dan toksin disuga berpengaruh
pada kerentanan proses auto-imunitas ini.(2)
Kelompok besar lainnya (NIDDM atau Diabetes tipe 2) tidak mempunyai
hubungan dengan HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya mempunyai sel beta
yang masih berfungsi, sering memerlukan insulin tetapi tidak bergantung kepada
insulin seumur hidup.(2)
Dalam terminologi juga terdapat perubahan diamana pada klasifikasi WHO
1985 tidak lagi terdapat istilah tipe 1 dan tipe 2. Tetapi karena istilah ini sudah
dikenal umum, maka untuk tidak membingungkan maka kedua istilah ini masih dapat
dipakai tetepi tanpa mempunyai arti khusus seperti implikasi etiopatogenik. Istilah
inipun kemudian kembali digunakan oleh ADA pada tahun 1997 sampai 2005,
sehingga DM tipe 1 dan tipe 2 merupakan istilah yang saat ini dipakai, daripada
NIIDDM (DMTTI) dan IDDM (DMT1).(2)
b. Patofisiologi

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asama amino,


dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada
rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian diekskresikan ke dalam
darah sesuai kebutuhan tubuh untuk regulasi glukosa darah. Insulin berperan penting
pada berbagai proses biologis dalam tubuh terutama menyangkut metabolisme
karbohidrat. Hormon ini berfungsi dalam proses utilisasi glukosa pada hampir seluruh
jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak, dan hepar.(2)
Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan
sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel.
Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam signal yang berguna
pada proses regulasi atau metabolisme glukosa di dalam sel otot dan lemak, dengan
mekanisme kerja yang belum begitu jelas. Beberapa hal telah diketahui, diantaranya
meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) pada membran sel, karena
proses translokasi GLUT-4 dari dalam sel diaktivasi oleh adanya transduksi signal.
Regulasi glukosa tidak hanya ditentukan oleh metabolisme glukosa di jaringan
perifer, tapi juga di jaringan hepar.(2)

4
Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan
produksi glukosa endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan
glikogenolisis di jaringan hepar. Dalam hal ini, insulin berperan melalui efek inhibisi
hormon tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan.
Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya
terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat
produksi glukosa dari hepar.(2)
Apabila ada gangguan pada mekanisme kerja insulin, menimbulkan hambatan
dalam utilisasi glukosa serta peningkatan kadar glukosa darah. Secara klinis,
gangguan tersebut dikenal dengan diabetes mellitus. Khusus pada diabetes mellitus
tipe 2 (DMT2), gangguan metabolism glukosa disebabkan oleh dua faktor: tidak
adekuatnya sekresi insulin secara kuantitatif (defisiensi insulin) dan kurang
sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin). Sedangkan pada
diabetes mellitus tipe 1 (DMT1), gangguan tersebut mutlak hanya disebabkan
defisiensi insulin.(2)
Pada DMT2, gangguan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin adalah
dua faktor etiologi yang bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, muncul peningkatan
kadar glukosa darah oleh karena utilisasi glukosa tidak berlangsung sempurna. Proses
utilisasi glukosa yang normal membutuhkan insulin dalam jumlah yang cukup dan
jaringan tubuh yang sensitif terhadap insulin agar dapat bekerja efektif.(2)
Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, pada mulanya disebabkan oleh
kelainan pada dinamika sekresi insulin. Kelainan tersebut berupa gangguan pada fase
1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan (inadekuat). Defisiensi insulin yang
terjadi, menimbulkan dampak buruk terhadap homeostasis glukosa darah. Yang
pertama terjadi adalah hiperglikemia akut pascaprandial (HAP) yakni peningkatan
kadar glukosa darah segera (10 – 30 menit) setelah beban glukosa (makan atau
minum), atau disebut juga dengan lonjakan glukosa darah setelah makan (post-
prandial spike).(2)
HAP yang muncul akibat tidak normalnya fase 1, member dampak terhadap
kinerja fase 2 sekresi insulin. Secara klinis, dampak yang ditimbulkan oleh gangguan
fase 1 sekresi insulin, dapat terdeteksi pada tes toleransi glukosa oral (TTGO).

5
Dalam hal ini TTGO mulai memperlihatkan kecenderungan peningkatan kadar
glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Hal ini merupakan cerminan dari
ketidakberhasilan sekresi insulin fase 1 dalam meredam HAP. Meskipun pada
mulanya ada upaya berupa peningkatan sekresi fase 2, namun secara lambat laun
keadaan normoglikemia tidak dapat dipertahankan. Pada satu waktu akan muncul
kembali keadaan atau fase yang dinamakan toleransi glukosa terganggu (TGT).
Dalam perjalanan penyakit, tahap ini sering disebut prediabetes (kadar glukosa darah
2 jam setelah beban glukosa: 140-200 mg/dl). HAP pada gangguan metabolisme
glukosa juga dapat disebabkan jaringan tubuh subjek yang bersangkutan yang secara
genetik kurang sensitif (resisten) terhadap insulin.(2)
Secara fisiologis, dampak peningkatan kadar glukosa darah yang diakibatkan
gangguan fase 1, diusahakan mengatasinya oleh fase 2 sekresi insulin. Pada mulanya
melalui mekanisme kompensasi, bahkan sering overkompensasi, insulin disekresi
secara berlebihan untuk tujuan normalisasi kadar glukosa darah. Dapat dipahami
bahwa lambat laun usaha ini akan berakhir pada tahap kelelahan sel beta (exhaustion)
yang disebut tahap dekompensasi sehingga terjadi defisiensi insulin secara absolut.
Dengan berlanjutnya penyakit, tingkat atau derajat resistensi tubuh terhadap insulin
akan semakin tinggi.(2)

3. Radikal Bebas

Radikal bebas adalah molekul yang tidak stabil karena memiliki elektron yang
tidak berpasangan dan mencari pasangan elektron dalam makromolekul biologi. Protein
lipida dan DNA dari sel manusia yang sehat merupakan sumber pasangan elektron yang
baik. Kondisi oksidasi dapat menyebabkan kerusakan protein dan DNA, kanker, penuaan,
dan penyakit lainnya. Komponen kimia yang berperan sebagai antioksidan adalah
senyawa golongan fenolik dan polifenolik. Senyawa-senyawa golongan tersebut banyak
terdapat dialam, terutama pada tumbuh-tumbuhan, dan memiliki kemampuan untuk
menangkap radikal bebas. Antioksidan yang banyak ditemukan pada bahan pangan,
antara lain vitamin E, vitamin C, dan karotenoid.(3)
Contoh umum dari radikal bebas adalah hydroxyl radical (.0H), super oxide
anion (02-), Logam transisi, seperti besi (Fe), tembaga (Cu), nitric oxide (NO) dan

6
peroxynitrite (.OONO). Radikal bebas dan reaktif non-radikal merupakan derivat dari sel
biologis dan jaringan yang terdapat pada tubuh dalam konsentrasi yang sangat rendah.(4)
Radikal bebas merupakan bagian dari proses penuaan itu sendiri. Sebagian besar
radikal bebas diproduksi oleh mitokondria, dan sebagian besar kerusakan akibat radikal
bebas adalah pada membran mitokondria dan DNA mitokondria. Antara satu sampai lima
persen dari oksigen yang digunakan mitokondria untuk menghasilkan energi
mengakibatkan pembentukan radikal superoksida. Sebagian besar radikal bebas pada
sistem biologis merupakan derivate dari oksigen (Reactive Oxygen Species, ROS), tetapi
ada juga yang merupakan derivat dari nitrogen. Kondisi dari aktivitas tinggi prooksidan
menjadi radikal bebas sering disebut sebagai stes oksidatif. Radikal bebas yang paling
reaktif dan merusak adalah hydroxyl radical dan peroxynitrite radical.(3)

Gambar 1. Pembentukan Radikal Bebas

Meskipun mitokondria merupakan sumber utama dari radikal bebas, terdapat


berbagai macam sumber lainnya. Sitokin inflamasi Tumor Necrosis Factor-Alpha
(TNF−α) menstimulasi produksi radikal bebas oleh mitokondria. Sinar ultraviolet (UV)
juga memproduksi radikal bebas. Radikal bebas dilepaskan dari sel darah putih (neutrofil)

7
yang berhubungan dengan inflamasi. Neutrofil menggunakan radikal bebas oksidatif
(superoxide, hydrogen peroxide, hydroxyl) untuk membunuh bakteri. Enzim lisosom
myeloperoxidase mengkatalis produksi bakteriosidal hipoklorida dari hydrogen peroksida
dan ion klorida. Radikal bebas dihasilkan oleh eicosanoid dari asam arakidonat selama
injury iskemia – reperfusi. Selama reperfusi, enzim endothelial xantin oksidase
mengubah oksigen menjadi superoksida, dimana dapat bereaksi dengan nitrit oksida
menghasilkan peroksinitrit. Radikal bebas dari asap rokok dan polusi udara dapat
menyebabkan kerusakan oksidatif pada paru, pembuluh darah dan jaringan tubuh lainnya.
(3)

4. Antioksidan

Antioksidan merupakan zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses


oksidasi. Zat ini secara nyata mampu memperlambat atau menghambat oksidasi zat yang
mudah teroksidasi meskipun dalam konsentrasi rendah. Antioksidan juga sesuai
didefinisikan sebagai senyawa-senyawa yang melindungi sel dari efek berbahaya radikal
bebas oksigen reaktif jika berkaitan dengan penyakit, radikal bebas ini dapat berasal dari
metabolisme tubuh maupun faktor eksternal lainnya. (3)
Antioksidan merupakan substansi yang tersedia dalam konsentrasi yang relatif
rendah, yang dapat berkompetisi dengan substrat oksidasi dan secara signifikan menunda
atau menghambat oksidasi dari sunstrat-substrat ini. Contoh dari antioksidan adalah
enzim SOD, glutathione peroxidase (GPx) dan catalase, sama baiknya seperti komponen
non-enzimatik seperti tocopherol (vitamin E), b-carotene, asam askorbat (vitamin C), dan
glutathione. (4)
Antioksidan adalah molekul yang dapat menetralisasi radikal bebas dengan
menerima atau menyumbang elektron untuk menghilangkan keadaan elektron tidak
berpasangan. Molekul antioksidan menjadi radikal bebas dalam proses menetralisasi
molekul radikal bebas menjadi molekul non-radikal bebas. Tetapi molekul antioksidan
biasanya akan menjadi radikal bebas yang kurang aktif dibandingkan dengan radikal
bebas netral. Molekul antioksidan dapat sangat besar, hal ini dapat dinetralisir langsung
oleh antioksidan lainnya atau mungkin melalui mekanisme lain untuk menghentikan
kondisi radikal bebas tersebut.(3)

8
Asam askorbat (Vitamin C) merupakan mikronutrien penting yang diperlukan
bagi metabolisme normal dalam tubuh. Manusia dan primata lain kehilangan kemampuan
dalam sintesis asam askorbat akibat mutasi gen pengkode Lgulonolakton oksidase, enzim
yang diperlukan dalam sintesis asam askorbat melalui jalur asam glukoronat. Oleh sebab
itu, asam askorbat harus diperoleh dalam diet dengan sumber utama meliputi buah segar,
sebagian buah jeruk, dan sayuran. (1)
Vitamin C (askorbat, AscH-) sebagai contohnya dapat menyumbangkan atom
hydrogen kepada molekul radikal bebas (R) menetralisir radikal bebas menjadi radikal
askorbat itu sendiri (Asc-, or Asc.-, dalam notasi yang berbeda). Radikal bebas Asc- sangat
stabil pada strukturnya. Vitamin C tidak hanya dapat menetralisir radikal hydroxyl (.OH),
alkoxyl (.OL) and peroxyl (LOO.) dengan menyumbankan hidrogen, askorbat juga dapat
menetralisir radikal dalam bentuk dari antioksidan lainnya, seperti glutation (GS) dan
vitamin E (tocopherol) (Toc):(3)

AscH- + .Toc  —> Toc + .Asc-

Thiols (molekul dengan grup –SH) seperti thioredoxin (disulfide kecil yang
mengandung protein), sistein dan reduced glutathione (GSH) adalah contoh dari molekul
yang dapat menurunkan radikal bebas dengan menyumbangkan hidrogen.
Metallothioneins adalah sistei kecil kaya protein yang dapat menurunkan stress oksidatif
dengan mengikat besi sama baiknya dengan donasi hidrogen. Donasi hidrogen reduced
glutathione dapat menetralisir radikal hidroksil atau radikal vitamin C:(3)

GSH + .OH  —> .GS + H2O    OR    GSH + .Asc-  —> .GS + AscH-

Dan kemudian radikal glutation teroksidasi dapat menetralisir satu sama lainnya:(3)
.
GH + .GH —> GSSG

Enzim glutation peroksidase menggunakan reduced glutathione untuk mengeliminasi


hidrogen peroksida: (3)

9
2 GSH + H2O2  —> GSSG + 2 H2O

Glutation reductase kemudian menambahkan hidrogen ke oxidized glutathione


(GSSG) untuk menghasilkan reduced glutathione (GSH). Tingginya rasio GSH/GSSG
mengindikasikan tingginya level dari reduced glutathione yang tersedia untuk aktivitas
antioksidan.(3)
Glutation (GSH) merupakan antioksidan pemecah rantai. Peran utama GSH
adalah menjaga keseimbangan redoks seluler. Senyawa ini berperan sebagai substrat
enzim glutation peroksidase, enzim antioksidan terhadap berbagai senyawa peroksida.
GSH mampu mengurangi derajat komplikasi nefropati dan neuropati pada hewan coba
terinduksi streptozotocin.(1)
Antioksidan tercatat dapat meningkatkan sistem imunitas karena sel sistem
imunitas pada aliran darah mudah diakses oleh radikal bebas sama baiknya seperti
antioksidan. Sel sistem imuntas seperti sel-T, sel-B, dan makrofag mempunyai membran
yang secara khusus kaya akan asam lemak rantai panjang tak tersaturasi seperti asam
arakidonat atau EPA. Karena alasan ini (dan juga karena mobilitasnya dan fungsinya)
sistem sel imunitas lebih mudah untuk membebaskan oksidasi radikal dibandingkan sel
lainnya. Nutrisi yang paling dalam untuk meningkatkan fungsi sistem imunitas adalah
Vitamin C, Vitamin E, selenium, glutation, dan zinc.(3)
Semua nutrisi ini merupakan antioksidan, walaupun efek zinc lebih kepada aksi
langsung terhadap fungsi sel imun daripada sebagai property antioksidan. Vitamin E
dapat diihat pada suplemen asam lemak essensial. Diluar dari efek antioksidannya,
Vitamin E dapat meningkatkan sistem imunitas dengan menurunkan sintesis PGE 2.
Vitamin E secara langsung melawan pembentukan PGE2 seperti yang terlihat pada proses
penuaan. PGE2 seperti yang diketahui dapat menekan proliferasi limfosit, menekan
sintesis faktor kimia (limfokin) mempengaruhi sistem imunitas dan berkontribusi kepada
penyakit autoimun yang dapat meningkat seiring dengan usia.(3)
Enzim antioksidan alami yang dihasilkan di dalam tubuh mempunyai peranan
penting dalam melawan radikal bebas. Glutathione peroxidase, glutathione reductase,
catalase, thioredoxin reductase, superoxide dismutase, heme oxygenase dan biliverdin
reductase merupakan enzim antioksidan yang penting. Enzim superoxide dismutase

10
mengubah dua radikal superoksida menjadi satu hidrogen peroksida dan satu oksigen.
Untuk menghilangkan hydrogen peroksida sebelum reaksi Fenton dapat menghasilkan
radikal hydroxyl, organism menggunakan katalase dan/atau glutathione peroxidase. Pada
otak, dimana merupakan organ yang paling rentan terjadi kerusakan akibat radikal bebas
(karena metabolisme tinggi, kandungan lemak tak tersaturasi tinggi pada neuron)
mempunyai aktivitas glutathione peroxidase tujuh kali lebih tinggi daripada aktivitas
katalase. Glutathione peroxidase dapat melewati sel, simana katalase sering dihambat
oleh peroxisomes.(3)
Molekul Superoxide dismutase (SOD) di sitoplasma mengandung tembaga dan
atom zinc (Cu/Zn-SOD), dimana SOD pada mitokondria mengandung Mangan (Mn-
SOD). Tidak seperti antioksidan eksogen, dimana secara umum akan habis akibat aksi
dari antioksidan, enzim antioksidan tidak akan habis karena enzim antioksidan bekerja
secara katalisasi. Antioksidan eksogen oral, bentuk efektif SOD sudah menunjukkan
dapat melindungi melawan oksidasi hiperbarik yang dapat merusak DNA yang tidak
dapat dicegah oleh Vitamin E atau N-acetyl Cysteine.(3)
Sistem glutation (glutathione, glutathione peroxidase and glutathione reductase)
adalah kunci perlawanan dalam melawan hydrogen peroksida dan peroksida lainnya.
Terdapat empat bentuk dari enzim glutation peroksidase (GPx), yaitu: (1) cystolic
Glutathione Peroxidase (cGPx, didistribusi di banyak tempat), (2) Phospholipid
Hydroperoxidase Glutathione Peroxidase (PHGPx, pada membran plasma untuk
mengurangi hidroperoksida dari kompleks lemak), (3) plasma Glutathione
Peroxidase (pGPx, pada plasma darah) and (4) Gastro-Intestinal Glutathione
Peroxidase (GIGPx, hanya pada hepar dan traktus gastrointestinal). Ginjal menciptakan
sebagian besar pGPX, kedua pGPX dan PHGPx dapat melawan peroksidasi LDL di
plasma dan sel endothelial. PIGPx dapat melindungi dari konsumsi hidroperoksida.(3)
Sama seperti sistem glutation, sistem thioredoxin (thioredoxin/thioredoxin
reductase) berfungsi menjaga lingkungan seluler dalam keadaan rendah (menurunkan
cross-link disulfide) dan melindungi dari radikal bebas. Seperti glutathione peroxidase,
thioredoxin reductase adalah enzim yang mengandung selenium yang aktivitasnya dapat
dipengaruhi oleh konsumsi selenium. Ada dua bentuk dari thioredoxin, TRX1 (104 asam
amino, ditemukan di sitoplasma) and TRX2 (ditemukan di mitokondria). Dalam aktivitas

11
antioksidannya secara langsung, TRX1 dapat menginduksi peningkatan transkripsi dari
superoxide dismutase.(3)
Enzim heme oxygenase megkatalisis pemecahan heme (heme dari hemoglobin)
menjadi produk dari karbon dioksida, besi, dan biliverdin. Biliverdin secara cepat diubah
menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reductase. Walaupun produksi dari besi (Fe 2+)
dapat berpotensial menghasilkan produksi radikal bebas, aktivitas heme oxygenase secara
ketat berpasangan kepada sintesis protein ferritin, dimana menghasilkan ikatan dari besi.
(3)

Bilirubin adalah antioksidan lipofilik yang kuat dalam melindungi membran dari
peroksidasi dan melindungi membran dari oksidasi. Sebagian besar kekuatan bilirubin
sebagai antioksidan datang dari peningkatan secara cepat dari biliverdin (bilirubin
teroksidasi) diubah menjadi bilirubin oleh biliverdin reduktase. Konsentrasi kecil dari
bilirubin dapat melindungi terhadap 10000 konsentrasi dari hidrogen peroksida pada aksi
cepat biliverdin reduktase pada semua jaringan. Daur ulang bilirubin lebih cepat daripada
daur ulang glutation, karena daur ulang glutation membutuhkan dua enzim, yaitu
glutathione peroxidase and glutathione reductase.(3)

5. Komplikasi Diabetes Melitus

Berbagai penelitian telah dilakukan dalam memahami patogenesis diabetes.


Beberapa peneliti mempelajari lebih lanjut bagaimana diabetes dapat mempengaruhi
sistem kardiovaskular, ginjal, syaraf, dan oftalmologi. Beberapa komplikasi dari diabetes,
antara lain: (5)
a) Peripheral Vascular Disease (PVD)
Aterosklerosis merupakan kejadian yang paling sering terjadi pada pasien
dengan diabetes, dan hal tersebut mengakibatkan peningkatan insidensi
mikroangiopati dan makroangiopati. Makroangiopati dapat mengakibatkan
peningkatan bentuk dari aterosklerosis yang dapat mempengaruhi pembuluh darah
yang penting, seperti pembuluh darah koroner, karotis, aorta, iliaka, femoral,
popliteal, dan tibial.(5)
Endotelium pembuluh darah mempunyai peranan penting dalam hemostasis
vaskular dan fungsi ginjal. Endotelium memproduksi beberapa mediator regulasi,

12
seperti nitric oxide dan prostacyclin yang merupakan vasodilator, dan endothelin
yang merupakan vasokonstriktor. Dalam keadaan normal, endotelium secara aktif
menurunkan tonus pembuluh darah, meregulasi permeabilitas pembuluh darah
terhadap nutrisi, hormon, dan makromolekul lainnya; meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah terhadap leukosit; menghambat adhesi dan agregasi platelet;
membatasi aktivasi dari koagulasi; dan meregulasi fibrinolisis.(5)
Nitric oxide, suatu vasodilator fisiologis utama, menghasilkan vasodilatasi
lokal dan menghambat adhesi dan agregasi platelet. Nitric oxide juga menghambat
proliferasi dari otot polos, menurunkan adhesi leukosit, dan meregulasi permeabilitas
endothelial terhadap lipoprotein dan zat lainnya.(5)
Terdapat bukti bahwa resistensi insulin menurunkan sintesis dari nitric oxide.
Saat nitric oxide berkurang atau tidak adekuat, endotelium menjadi prokoagulan
daripada antikoagulan, dan molekul vasoaktif seperti sitokin, dan growth factor
terbentuk. Endotelium menjadi lebih permeabel dimana dapat terjadi peningkatan
lipoprotein, monosit, dan makrofag. Substansi ini meningkatkan migrasi sel otot
polos, mempercepat pembentukan dan proliferasi plak aterosklerosis, mengubah
fungsi dan struktur pembuluh darah.(5)
b) Diabetic Neuropathy
Lima puluh persen dari semua pasien diabetes akan mengalami diabetic
neuropathy saat mereka sudah menderita diabetes selama 25 tahun atau lebih.
Beberapa pasien diabetes tipe 2 mempunyai tanda-tanda adanya diabetic neuropathy
segera setelah terdiagnosis. Diabetic neuropathy dapat mengakibatkan gangguan
visual, gastrointestinal, seksual, dan pembuluh darah perifer.(5)
Jalur polyol menggunakan enzim aldose reductase untuk mengubah glukosa
menjadi sorbitol. Sorbitol, diubah menjadi fruktosa oleh sorbitol dehydrogenase. Saat
level glukosa meningkat, produksi fruktosa akan lebih ditingkatkan, mendorong
terjadinya stress oksidatif glikosilasi non-enzimatik. Selama glikosilasi non-enzimatik
berlangsung, glukosa, fruktosa, galaktosa, dan gula lainnya berinteraksi dengan sel
darah merah dan protein lainnya, melawan pembentukan kimia dan pembentukan
produk glikosilasi lebih lanjut. Glycochelate (protein glikosilasi berat)
mengakumulasikan zat logam, terutama tembaga, menyebabkan destruksi katalis dari

13
nitric oxide-endothelium-derived-relaxing factor dan mengakibatkan vasokonstriksi
kronis. Walaupun glycochelates terbentuk alami secara perlahan selama proses
penuaan normal, pada pasien diabetes substansi ini terakumulasi lebih cepat pada
lensa mata, retina, ginjal, syaraf perifer, dan jaringan lainnya. Diabetic neuropathy
juga mempengaruhi sistem syaraf sensorik, motorik, atau autonom, atau kombinasi
dari ketiganya.(5)
c) Foot Diabetic
Baik PVD dan diabetic neuropathy merupakan penyebab tidak langsung dari
berbagai macam permasalahan kaki diabetik. Hampir 20% dari seluruh rumah sakit
terdaftar pasien diabetes menderita kaki diabetik, seperti ulkus, infeksi, deformitas,
Charcot neuroarthropathy, osteoarthritis, dan amputasi.(5)
Sensory neuropathy merupakan penyebab dari sebagian besar kaki diabetik.
Gejala awalnya muncul dengan parastesia dan disestesia dan hilangnya sensasi.
Adanya neuropathy autonom menyebabkan penurunan regulasi suhu tubuh dan
hilangnya proses berkeringat normal pada kaki sehingga kulit menjadi kering dan
bersisik. Sebagai kompensasinya, terbentuk adanya fisura pada kaki, rusaknya
pertahanan kulit, dan resiko terjadinya infeksi meningkat.(5)
Infeksi minor tidak melibatkan tulang atau sendi dan biasanya disebabkan
oleh staphylococcus aureus. Infeksi mayor biasanya melibatkan polymicrobial dan
melibatkan bakteri gram positif, gram negative, anaerob dan enterokokus. Hampir 30
– 60% pasien diabetes dengan infeksi pada kaki akan berkembang menjadi
osteomyelitis.(5)
d) Diabetic Retinopathy
Diabetic retinopathy menyebabkan kebutaan pada orang usia <75 tahun di
Amerika Serikat. Resiko retinopathy berhubungan secara langsung dengan derajat
dan kurangnya kontrol dari hiperglikemia. Hal ini muncul pada pasien diabetes yang
telah menderita diabetes selama 20 tahun atau lebih. Diabetic retinopathy muncul
dalam berbagai kondisi, seperti adanya mikroaneurisma dari kapiler retina,
permeabilitas vaskular meningkat, oklusi pembuluh darah, neovaskularisasi, fibrosis
jaringan retina dan diskus optikus, dan kontraksi dari badan vitreus, pembuluh darah,
dan jaringan fibrosus.(5)

14
e) Nephropathy
Nefropati diabetik merupakan manifetasi mikroangiopati pada ginjal yang
ditandai dengan adanya proteinuria (mula-mula intermiten kemudian persisten),
penurunan GFR (glomerular filtration rate) peningkatan tekanan darah yang
perjalanannya progresif menuju stadium akhir berupa gagal ginjal terminal.(6)
Berbagai teori tentang patogenesis nefropati diabetik adalah peningkatan
produk glikosilasi dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs (Advanced
Glicosylation End Products), Peningkatan reaksi jalur poliol (polyol pathway),
glukotoksisitas (oto-oksidasi), dan protein kinase C memberikan kontribusi pada
kerusakan ginjal.(6)
Patogenesis dari diabetic nephropathy merupakan sesuatu yang kompleks dan
melibatkan efek langsung dari konsentrasi tinggi glukosa pada vaskular, glomerulus,
tubulus, dan fungsi seluler interstisial. Hiperglikemia dan pembentukan glikosilasi
dan produk protein kinase C isoform merupakan implikasi dalam perkembangan
diabetic nephropathy. Para ahli berpendapat bahwa diabetic nephropathy berkembang
pada adanya sistem renin-angiotensis yang mensekresi angiotensin II. Angiotensin II
meningkatkan tekanan kapiler glomerulus, menstimulasi hipertrofi seluler, dan
menyebabkan akumulasi dari matriks ekstraseluler. Hal ini, dikombinasikan dengan
berbagai perubahan mikrovaskular mengakibatkan terjadinya diabetic nephropathy.(5)
Tabel 1. Types of vascular complications among type 2 DM patients. (6)
Type of compications n (%)
Microvascular complications 841 (78.0)
Nephropathy 273 (25.3%)
Neuropathy, nephropathy 221 (20.5%)
Retinopathy, neuropathy and nephropathy 212 (19.6%)
Microvascular and macrovascular complications 188 (17.5%)
Retinopathy, nephropathy 87 (8.1%)
Neuropathy 19 (1.8%)
Retinopathy 15 (1.4%)
Retinopathy, neuropathy 14 (1.3%)
No complications 48 (4.5)
Total 1077 (100%)
6. Reaksi Oksidatif pada Diabetes Melitus

15
Luasnya komplikasi pada diabetes berkorelasi dengan konsentrasi glukosa darah
sehingga glukosa berlebih diduga menjadi penyebab utama kerusakan jaringan.
Fenomena ini dapat disebabkan oleh kemampuan hiperglikemia secara in vivo dalam
modifikasi oksidatif berbagai substrat. Selain itu, hiperglikemia juga terlibat dalam proses
pembentukan radikal bebas. Hiperglikemia menyebabkan autooksidasi glukosa,
glikosilasi protein, dan aktivasi jalur metabolisme poliol yang selanjutnya mempercepat
pembentukan senyawa oksigen reaktif. Pembentukan senyawa oksigen reaktif tersebut
dapat meningkatkan modifikasi lipid, DNA, dan protein pada berbagai jaringan.
Modifikasi molekuler pada berbagai jaringan tersebut mengakibatkan ketidakseimbangan
antara antioksidan protektif (pertahanan antioksidan) dan peningkatan produksi radikal
bebas. Hal itu merupakan awal kerusakan oksidatif yang dikenal sebagai stres oksidatif. (1)

Gambar 2. Interaksi antara DM dengan keseimbangan antioksidan

Untuk meredam kerusakan oksidatif tersebut diperlukan antioksidan. Peningkatan


suplai antioksidan yang cukup akan membantu pencegahan komplikasi klinis diabetes
melitus. Penelitian pada hewan percobaan membuktikan bahwa antioksidan dapat

16
menghambat tahap awal retinopati, nefropati, dan neuropati. Demikian juga pada
penelitian manusia, antioksidan dapat menghambat komplikasi mikrovaskular, penurunan
insidens penyakit jantung koroner, perbaikan sistem saraf otonom jantung, dan perbaikan
vasodilatasi.(1)
Pada diabetes melitus, pertahanan antioksidan dan sistem perbaikan seluler akan
terangsang sebagai respons tantangan oksidatif. Sumber stres oksidatif yang terjadi
berasal dari peningkatan produksi radikal bebas akibat autooksidasi glukosa, penurunan
konsentrasi antioksidan berat molekul rendah di jaringan, dan gangguan aktivitas
pertahanan antioksidan enzimatik. Kemaknaan stres oksidatif pada patologi penyakit
sering tidak tentu. Di samping itu, stres oksidatif juga memiliki kontribusi pada
perburukan dan perkembangan kejadian komplikasi.(1)
Peningkatan konsentrasi dari radikal bebas berhubungan dengan patogenesis
komplikasi vaskular pada diabetes. Anion superoksida dapat memblokir relaksasi
endotelium derivat nitric oxide mediated dengan menonaktifkan eNOS. Dalam keadaan
hiperglikemia, produksi superoksida terstimulasi dan enzim superoxide dismutase
dihambat oleh glikosilasi non-enzimatik, yang dikenal sebagai reaksi Mailard. Glikosilasi
dapat mempengaruhi C-terminal end dari enzim, sehingga menurunkan afinitas ikatan
heparin. Dengan demikian, perlindungan melawan radikal ekstra seluler oleh permukaan
sel dengan SOD dapat terganggu, sehingga sel endotel rentan terjadi kerusakan oleh
anion superoksida. Pada keadaan diabetes, level enzim antioksidan normal dapat
berkurang ataupun fungsinya terganggu, sehingga respon fisiologis dapat terganggu.(4)
Berbagai studi secara konsisten menunjukkan defisiensi status pertahanan
antioksidan total pada penderita diabetes. Status pertahanan tersebut meliputi glutation,
vitamin C, antioksidan enzim superoksida dismutase (SOD), dan katalase. Beberapa
peneliti mengungkapkan adanya penurunan vitamin E pada penderita diabetes. Selain
vitamin E, glutation juga ditemukan menurun pada penderita diabetes. Glutation dalam
bentuk tereduksi (GSH) terdapat dalam plasma manusia, intraseluler, dengan kemampuan
sebagai antioksidan untuk menghambat radikal bebas dengan fungsi secara umum
sebagai buffer redoks, dan kofaktor enzim GPX. Bukti terbaru mengungkapkan bahwa
GSH berperan penting pada diabetes melitus. Perubahan terhadap rasio GSH

17
tereduksi/teroksidasi (GSH/GSSG) mempengaruhi respons sel beta terhadap glukosa dan
perbaikan aksi insulin, serta menurunkan aktivitas enzim GPX.(1)
Hiperglikemia menjadi “hallmark” penyakit kronik serta kematian sel. Studi oleh
Armstrong menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara peningkatan lipid hidroperoksida
serum dengan prevalensi retinopati pada penderita diabetes dengan komplikasi. Penanda
lain, yaitu isoporostan F2, juga ditemukan meningkat pada kedua tipe diabetes melitus.
Kerusakan oksidatif pada DNA yang berkorelasi dengan peroksidasi asam lemak
membran dan status antioksidan yang rendah juga ditemukan pada diabetes mellitus.(1)
Pada keadaan hiperglikemia, produksi berbagai gula pereduksi antara lain
glukosa, glukosa-6-fosfat, dan fruktosa, akan meningkat melalui proses glikolisis dan
jalur poliol. Glukosa sebagai gula pereduksi dapat menjadi agen yang bersifat toksik.
Sifat toksik tersebut disebabkan oleh kemampuan kimiawi gugus karbonil aldehid yang
dimilikinya. Meskipun sebagian besar keberadaan gula pereduksi dalam larutan sebagai
struktur cincin nonaldehid, glukosa dalam bentuk rantai lurusnya merupakan aldehid.
Aldehid merupakan senyawa yang mampu berikatan secara kovalen sehingga terjadi
modifikasi protein. Modifikasi tersebut dapat dibangkitkan dalam tubuh melalui berbagai
mekanisme enzimatik dan nonenzimatik. Selain glukosa, semua jenis gula pereduksi juga
mampu menyelenggarakan reaksi glikasi pada bermacam protein. Selain protein, target
kerusakan lain adalah lipid-amino seperti fosfatidiletanolamin, dan DNA.(1)
Reaksi pengikatan aldehid pada protein dikenal sebagai reaksi glikosilasi. Reaksi
ini memiliki kemaknaan patologis yang besar. Berbagai contoh reaksi glikosilasi protein
antara lain hemoglobin glikosilat, albumin, dan kristal lensa mata. Reaksi secara
nonenzimatik glukosa darah dengan protein di dalam tubuh akan berlanjut sebagai reaksi
browning dan oksidasi. Reaksi tersebut selanjutnya dapat menyebabkan akumulasi
modifikasi kimia protein jaringan. Pada binatang dengan diabetes, proses glikasi dapat
teramati secara luas pada berbagai organ dan jaringan termasuk ginjal, hati, otak, paru,
dan saraf. Secara keseluruhan, perubahan kimia ini dikenal sebagai reaksi Maillard.(7)
Reaksi Maillard dapat terjadi pada kondisi penuaan fisiologis in vivo sebaik
kondisi in vitro serta meningkat pada keadaan hiperglikemia. Selain itu, reaksi Maillard
juga berkaitan dengan komplikasi kronik diabetes mellitus. Reaksi ini secara umum
terdiri atas empat tahap, yaitu:

18
1) Kondensasi nonenzimatik gula pereduksi, aldehid atau ketosa, dengan gugus amino
bebas dari protein atau asam nukleat membentuk glikosilamin. Reaksi ini dikenal
sebagai fase 1 serta secara alamiah bersifat reversibel dan terjadi dalam beberapa jam
(kurang dari 24 jam).
2) Pada fase 2 akan terjadi penataan ulang glikosilamin menjadi produk Amadori.
Reaksi ini terjadi akibat kadar glukosa yang masih tinggi dalam waktu lebih dari 24
jam. Produk Amadori tersebut bersifat toksik bagi jaringan namun masih reversibel.
Kadar produk Amadori pada sejumlah protein meningkat sebanding dengan derajat
hiperglikemia pada diabetes melitus.
3) Penataan ulang dan dehidrasi berganda produk Amadori menjadi amino atau senyawa
karbonil reaktivitas tinggi seperti 3-deoxyglucosane.
4) Reaksi antara senyawa karbonil dengan gugus amino lain dilanjutkan proses penataan
ulang membentuk beragam advance glycosylation end products (AGE-
products/AGEs) sebagai petunjuk cross linking dan browning pada protein.(1)
AGEs merupakan salah satu produk sebagai penanda modifikasi protein sebagai
akibat reaksi gula pereduksi terhadap asam amino. Akumulasi AGEs di berbagai jaringan
merupakan sumber utama radikal bebas sehingga mampu berperan dalam peningkatan
stres oksidatif, serta terkait dengan patogenesis komplikasi diabetes mirip pada penuaan
yang normatif. Pada diabetes, akumulasi AGEs secara umum mempercepat terjadinya
aterosklerosis, nefropati, neuropati, retinopati, serta katarak. Pengikatan AGEs terhadap
reseptor makrofag spesifik (RAGE) mengakibatkan sintesis sitokin dan faktor
pertumbuhan serta peningkatan stres oksidatif.(1)
Pada normoglikemia, sebagian besar glukosa seluler mengalami fosforilsasi
menjadi glukosa-6-fosfat oleh enzim heksokinase. Bagian kecil dari glukosa yang tidak
mengalami fosforilasi memasuki jalur poliol, yakni jalur alternatif metabolisme glukosa.
Melalui jalur ini, glukosa dalam sel dapat diubah menjadi sorbitol dengan bantuan enzim
aldose reduktase (AR). Enzim aldose reduktase dapat ditemukan pada sejumlah jaringan
mamalia termasuk lensa dan retina. Enzim tersebut mengkonversi glukosa menjadi
polialkohol sorbitol melalui reduksi gugus aldehid glukosa.(1)
Dalam keadaan normal, konsentrasi sorbitol di dalam sel rendah. Akan tetapi,
apabila terjadi keadaan hiperglikemia, konsentrasi sorbitol meningkat. Sorbitol, dengan

19
bantuan enzim sorbitol dehidrogenase (SDH), akan diubah menjadi fruktosa. Degradasi
sorbitol ini berjalan lambat sehingga sorbitol menumpuk dalam sel, sehingga dapat
menyebabkan peningkatan tekanan osmotik dan selanjutnya dapat merusak sel.(1)
Masuknya substrat (substrat flux) melalui jalur poliol, selain dapat meningkatkan
kadar sorbitol dan fruktosa intraseluler, juga menurunkan rasio NADPH terhadap
NADP+. Selain itu, rasio NADH terhadap NAD+ sitosolik juga menurun. Berkurangnya
NADPH di dalam sel akibat meningkatnya AR dapat menghambat aktivitas enzim lain
yang membutuhkan NADPH.(1)
Proses autooksidasi glukosa dikatalisis oleh senyawa logam dalam jumlah kecil
seperti besi dan seng. Hasil katalisis tersebut adalah senyawa oksigen reaktif.
Autooksidasi glukosa terjadi pada fase I proses glikasi nonenzimatik pada protein yang
secara alamiah masih bersifat reversibel. Fase ini merupakan sumber hidrogen peroksida
yang mampu menghambat Cu/ZnSOD. Selain hidrogen peroksida, radikal superoksida
juga dihasilkan oleh proses autooksidasi glukosa tersebut serta terkait dengan
pembentukan protein glikasi dalam plasma penderita diabetes. Akibat yang ditimbulkan
berupa peningkatan aktivitas radikal superoksida serta kerusakan enzim superoksida
dismutase.(1)

Hyperglicemia
Gambar 3. Patofisiologi komplikasi diabetes melitus

7. Peranan Antioksidan Dalam Penanganan Diabetes Melitus

Definisi antioksidan menurut Panel on Dietary Antioxidant and Related


Compounds of The Food and Nutrition Board adalah bahan makanan yang secara
bermakna mampu mengurangi dampak buruk senyawa oksigen reaktif, senyawa nitrogen
reaktif atau keduanya dalam kondisi fungsi fisiologis normal pada manusia. Penderita
diabetes memerlukan asupan antioksidan dalam jumlah besar karena peningkatan radikal
bebas akibat hiperglikemia.(8)
Asam askorbat (Vitamin C) merupakan mikronutrien penting yang diperlukan
bagi metabolisme normal dalam tubuh. Manusia dan primata lain kehilangan kemampuan
dalam sintesis asam askorbat akibat mutasi gen pengkode Lgulonolakton oksidase, enzim
yang diperlukan dalam sintesis asam askorbat melalui jalur asam glukoronat. Oleh sebab

20
itu, asam askorbat harus diperoleh dalam diet dengan sumber utama meliputi buah segar,
sebagian buah jeruk, dan sayuran.(1)
Peran asam askorbat pada perjalanan diabetes adalah sebagai inhibitor enzim
aldose reduktase, sehingga penggunaan ekuivalen pereduksi berkurang. Kesediaan
ekuivalen pereduksi berguna untuk konversi glutation teroksidasi (GSSG) menjadi
glutation tereduksi (GSH). Hal tersebut selanjutnya dapat mencegah penumpukan sorbitol
pada jaringan.(1)
GSH adalah kunci dari antioksidan endogen, yang mengatur penurunan
lingkungan seluler baik secara langsung mengatasi zat reaktif, maupun secara tidak
langsung dengan mengatur antioksidan lainnya. Dehydroascorbate, α-tocopheroxy
radicals dan α-lipoic acid dapat diperbaharui oleh sistem GSH, dimana melibatkan
proses resintesis dan regenerasi. Pada lingkungan diabetik, supply dari kekuatan yang
menurun penting untuk menjaga GSH secara konstan tidak berpindah oleh karena
aktivasi jalur polyol dan berkurang karena gangguan glikosilasi mediated dari produksi
NADPH dan NADH.(9)
Manfaat lain penggunaan antioksidan adalah minimalisasi pembentukan AGEs.
Kondisi itu analog dengan penggunaan vitamin C dalam meminimalisasi proses
“browning” pada makanan. Mekanisme minimalisasi pembentukan AGEs tidak terlepas
dari peran vitamin C pada jalur poliol sorbitol (aldose reduktase). Pengurangan
penumpukan sorbitol di jaringan akan menekan fruktosa sehingga proses glikasi
nonenzimatik juga ditekan.(1)
Pada pembuluh darah, asam askorbat akan bekerja secara ekstraselular di bawah 1
jam setelah infus, selebihnya akan memasuki sel endotel dan bekerja intraselular. Secara
ekstraseluler, antioksidan ini meredam radikal superoksida yang dihasilkan pada proses
autooksidasi glukosa dan sintesis nitrit oksida. Apabila radikal superoksida berlebih,
maka akan terjadi reaksi dengan nitrit oksida menghasilkan radikal peroksinitrit yang
bersifat sitotoksik. Penghambatan pembentukan radikal peroksinitrit akan menjaga fungsi
vasodilatasi pembuluh darah yang diperankan oleh nitrit oksida. Di dalam sel endotel,
asam askorbat mempengaruhi enzim nitrit oksida sintase sehingga radikal superoksida
sebagai produk samping pembentukan nitrit oksida dapat ditekan.(10)

21
Mekanisme lain adalah kemampuan asam askorbat bentuk tereduksi maupun
teroksidasi dalam menghambat masuknya glukosa melalui GLUT transporter ke dalam
sel sehingga mampu mengurangi gangguan vasodilatasi tergantung sel endotel. Menurut
rekomendasi RDA dosis yang diperlukan bagi pencegahan penyakit kronik adalah 120
mg/hari.(1)
Pada tikus wistar, pemberian kombinasi antioksidan vitamin E dan C dosis 1g/kg
dan 10 g/kg diet secara jangka panjang dapat menghambat tahap awal perkembangan
retinopati diabetik. Pada uji coba yang klinis melibatkan penderita diabetes dengan
asupan vitamin E, didapatkan efek dalam pencegahan diabetes, sensitivitas insulin,
kontrol glikemik, glikasi protein, komplikasi mikrovaskuler, penyakit kardiovaskuler
serta faktor risikonya. Vitamin E memperbaiki potensi sistem pertahanan radikal bebas
dan memiliki efek menguntungkan dalam perbaikan transpor glukosa dan sensitivitas
insulin. Selain itu, vitamin E dosis farmakologis (600mg/hari) selama 4 minggu dapat
meningkatkan level GSH sel darah merah dan rasio GSH/GSSG plasma. Vitamin E juga
dapat bereaksi dengan antioksidan larut air seperti glutation.(1)
Asupan kronik vitamin E (600mg/hari selama 4 bulan) berguna dalam
memperbaiki keseimbangan simpatovagal kardiak terhadap penurunan resiko penyakit
kardiovaskuler. Hal yang menarik, perubahan keseimbangan simpatovagal dan stres
oksidatif saling terkait. Senyawa α-tokoferol 800 mg/hari berperan sebesar 80% terhadap
kapasitas antioksidan pada LDL. Selain itu, juga dapat mengurangi glikosidasi
hemoglobin dan berbagai protein serum. Senyawa α-tokoferol juga mampu menurunkan
aktivitas protein kinase C, yaitu enzim yang terkait langsung dengan peningkatan
senyawa oksigen reaktif.(1)
Glutation (GSH) merupakan antioksidan pemecah rantai. Peran utama GSH
adalah menjaga keseimbangan redoks seluler. Senyawa ini berperan sebagai substrat
enzim glutation peroksidase, enzim antioksidan terhadap berbagai senyawa peroksida.
GSH mampu mengurangi derajat komplikasi nefropati dan neuropati pada hewan coba
terinduksi streptozotocin. Meskipun potensial, preparat glutation belum beredar secara
bebas di Indonesia.(1)
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, membuktikan bahwa diabetes type 2
secara berkelanjutan terjadi proses oksidatif stress, peningkatan glukosa dan asam lemak

22
bebas meningkatkan level reactive oxidant species (ROS). Penurunan pertahanan dari
enzim antioksidan dan obat-obatan antioksidan menyebabkan hiperglikemia dan
hiperlipidemia. Berdasarkan penelitian, terapi dengan CoQ10 secara signifikan
menurunkan kolesterol serum dan level trigliserida pada binatang percobaan yang diberi
makan fruktosa, mengindikasikan peningkatan metabolisme lemak. Telah dilaporkan
penurunan ukuran plak arteri koronaria, indeks arterosklerosis, kolesterol dan trigliserida
(11)
pada binatang percobaan yang diberikan terapi Coenzyme Q10.
Berdasarkan American Diabetes Assotiation, Standards of Medical Care in
Diabetes 2010, dianjurkan:
a) Pada pasien overweight dan obesitas, dianjurkan untuk menurunkan berat badan
menjadi normal karena dapat menurunkan resistensi insulin. Penurunan berat badan
dianjurkan kepada semua pasien overweight dan obesitas yang menderita ataupun
beresiko mempunyai diabetes.
b) Untuk menurunkan berat badan, baik diet rendah karbohidrat ataupun pembatasan
kalori rendah lemak merupakan diet efektif pada jangka waktu pendek (sampai satu
tahun)
c) Untuk pasien diet rendah karbohidrat, dianjurkan untuk memonitor profil lipid, fungsi
ginjal, dan pemasukan protein (pada pasien dengan nefropati) dan jika diperlukan
terapi hipoglikemia.
d) Aktifitas fisik dan modifikasi gaya hidup merupakan komponen penting pada
program penurunan berat badan dan paling berguna dalam menjaga penurunan berat
badan.
e) Gula alcohol dan pemanis non-nutritive aman digunakan selama dalam batas dosis
yang dapat diterima perharinya yang sudah diterbitkan oleh Food and Drug
Administration (FDA).
f) Pasien diabetes dewasa dibatasi dalam pengkonsumsian alcohol perharinya (satu
gelas atau kurang perharinya untuk wanita dewasa dan dua gelas atau kurang
perharinya untuk laki-laki dewasa)
g) Perencanaan makan individual harus mencakup pemilihan makanan secara optimal
agar mencapai recommended dietary allowances (RDAs) / dietary reference intakes
(DRIs) untuk semua mikronutrien.

23
h) Penderita diabetes dianjurkan untuk berolahraga minimal 150 menit perminggu yaitu
aktifitas aerobic intensitas sedang (50 – 70% dari denyut jantung maksimal).(12)

KESIMPULAN

1. Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi
atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.
2. Hiperglikemia menyebabkan autooksidasi glukosa, glikosilasi protein, dan aktivasi jalur
metabolisme poliol yang selanjutnya mempercepat pembentukan senyawa oksigen
reaktif.
3. Modifikasi molekuler yang terjadi di berbagai jaringan pada diabetes mengakibatkan
ketidakseimbangan antara antioksidan protektif (pertahanan antioksidan) dan peningkatan
produksi radikal bebas.
4. Peningkatan suplai antioksidan yang cukup akan membantu pencegahan komplikasi
klinis diabetes mellitus.

24

Anda mungkin juga menyukai