DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 7:
DEPARTEMEN AKUNTANSI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan permohonan Surat
Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi kriteria, dan tax planner yang baik akan
selalu memanfaatkan momentum kapan permohonan SKB PPh Pasal 22 tersebut diajukan agar
tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan. Secara garis besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat 3
kelompok, yaitu:
Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas imbalannya
semata-mata dikenakan PPh final, tidak dikenai PPh Pasal 22 impor.
WP dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang yang bersangkutan.
Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidka digunakan untuk kegiatan
yang tidak dikenakan PPh fibal, maka PPh Pasal 22 yang terutang akan ditagih beserta
dengan sanksi bunganya.
b. PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD
Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan ke APBN/D,
besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah sebesar 1,5 % dari harga beli yang dipungut
pada saat pembayaran. Pemungutan dilakukan oelh Ditjen Anggaran, Kantor Perbendaharaan
dan Kas Negara (KPKN), atau BUMN/D yang dananya berasal dari APBN/D.
PPh Pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi wajib pajak penjual dan harus disetor
oleh pemungut dengan menggunakan SSP atas nama Wajib Pajak yang dipungut (penjual).
c. PPh Pasal 22 atas Kegiatan Usaha Lain Rincian besarnya PPh Pasal 22 untuk kegiatan usaha
lain akan diperlihatkan dalam Tabel dibawah ini:
Tidak jarang terjadi dispute dalam bisnis tentang kewajiban memungut PPh Pasal 23, di mana perusahaan
pemilik proyek atau penerima jasa mengharuskan adanya pemungutan atau pemotongan PPh Pasal 23 dari
pihak ketiga, sedangkan pihak memberi jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong pajaknya karena tidak ada
pasal pemotongannya dalam kontrak perjanjian. Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh
Pasal 23, dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, maka perusahaan
pemilik proyek akan dikenai kewajiban untuk membayar PPh Pasal 23 (withholding tax) yang terutang
ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.
Solusinya:
Agar biaya sewa bangunan dapat dibiayakan, termasuk pajaknya (deductible), maka kontrak
perjanjian tersebut harus diuabh dulu, termasuk mengubah invoice, faktur pajak, dan dokumen lain yang
mengakomidir pemotongan pajak PPh Pasal 23 atas transaksi pembayaran sewa bangunan tersebut, agar
terdapat kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa. Jadi kontrak perjanjian harus direvisi dengan
mencantumkan nilai sewa bangunan setelah di groos up sebesar Rp 80 juta, dan setelah itu pemilik gedung
memotong PPh Pasal 4 (2) final 10% x Rp 80 juta = Rp 8 juta, dan menyetorkannya ke kas Negara atau
bank persepsi.
Akhirnya Pemerintah merivisi pasal 4 ayat 3 (f), dengan menambahkan, Perseroan harus
mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham sebagaimana disebut di dalam UU PPh No. 17 Tahun
2000. Terakhir, dalam UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang muali berlaku awal 2009, dijelaskan bahwa, untuk
syarat memiliki usaha aktif bagi WP yang menerima inter-corporate dividend, dihapus. Dengan demikian
tax planning mesti diubah kembali.
Apabila kepemilikan saham kurang 25%, merger merupakan cara untuk mencukupi kekurangan
dana yang harus di investasikan ke operating company.
UU PPh yang baru No. 36 Tahun 2008 telah menurunkan Tarif PPh Pasal 23 yang semula 15%
menjadi:
1. 15% dari peredaran bruto atas deviden, bunga, royalty, hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya
2. 2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lainnya.
Seperti pengajuan SKB PPh Pasal 22 yang telah dibahas di atas, ketentuan yang sama berlaku juga
pada PPh Pasal 23. Tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan momentum pengajuan permohonan
SKB PPh Pasal 23 tersebut agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.
PPh Pasal 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak dalam
negeri dan BUT (bentuk usaha tetap) yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan
kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Penggunaan Metode Groos Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 26/21/23 Yang Ditanggung Oleh Pemberi
Penghasilan/Pemberi Kerja
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan
Kena Pajak wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap termasuk Pajak Penghasilan yang ditanggung
oleh pemberi penghasilan, kecuali:
a. Pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPh tetapi tidak
termasuk deviden.
b. Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan
pajak.
Pajak penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 dapat ditanggung oleh
pemberi penghasilan atau pemberi kerja, dengan perlakuan perpajakan sebagai berikut:
Dalam hal PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemberi penghasilan, sesuai dengan ketentuan perpajakan,
pajak tersebut diperlakukan sama seperti kenikmatan, yaitu sebagai bukan biaya pemberi kerja dan
bukan penghasilan pegawai yang menerimanya.
Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
kecuali deviden yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, dapat dibebankan sebagai biaya
sepanjang pajak tersebut ditambahkan (groos up) pada penghasilan yang dipakai sebagai dasar
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut.
ANALISIS EKUALISASI OBJEK PPH PASAL 23 PADA SPT TAHUNAN PPH BADAN DENGAN
SPT MASA PPH PASAL 23
Ekualisasi pajak adalah mencocokan data di SPT (pencocokannya disajikan terperinci per
transaksi) dengan pos-pos yang terdapat di buku-buku pengeluaran/pembelian/penjualan yang memiliki
hubungan dalam pembukuan dan atau laporan jenis pajak yang lain (baik sebagian maupun keseluruhan).
Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 23 yang
ditentukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil
pemeriksaan tersebut. Hal ini disebabkan karena:
1. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek Pasal 23 yang belum dilakukan pemotongan oleh
wajib pajak pemberi kerja.
2. Jumlah PPh Pasal 23 yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok atau lebih rendah dari jumlah yang
dipotong oleh wajib pajak.
3. Jumlah PPh Pasal 23 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak cocok dengan
SPT PPh Masa PPh Pasal 23.
PPh Pasal 26 mirip dengan PPh Pasal 23, bedanya, PPh Pasal 26 untuk dibayarkan kepada wajib
pajak luar negeri. Kalau PPh 26 ini rate nya 20%, ada tax treaty. Kalau tax treaty nilai efektifnya 10%, tapi
bisa juga 5% dan bisa juga 0%.
3. Penggunaan Metode Groos Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang
Ditanggung oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk Pajak
Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali:
a. Pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPh tetapi termasuk
deviden.
b. Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk
pemotongan pajak.
4. Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 26 pada SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa PPh
Pasal 26
dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 26, jumlah penghasilan bruto dalam SPT
Masa PPh pasal 26 dicocokan (pencocokannya disajikan terperinci per transaksi) dengan pos
pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 26.
Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 26 yang
ditentukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil
pemeriksaan tersebut. Hal ini disebabkan karena:
1. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek Pasal 26 yang belum dilakukan pemotongan
oleh wajib pajak pemberi kerja.
2. Jumlah PPh Pasal 26 yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok atau lebih rendah dari jumlah
yang dipotong oleh wajib pajak.
3. Jumlah PPh Pasal 26 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak cocok dengan
SPT PPh Masa PPh Pasal 26.
Penjualan saham di bursa efek dikenai PPh final dengan tariff 0,1%. Final ini secara prinsip selalu
meringankan. Bunga obligasi dan Surat Utang Negara dikenai PPh Final tetapi tarif pajak bunganya tetap
sebesar 15% bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan BUT, dan tarif 15% diberlakukan bagi bunga/diskonto
obligasi dengan kupon dan diskonto obligasi tanpa bunga.
1. Pokok Perubahan UU PPh No. 36 Tahun 2008 Atas Objek Pasal 4 Ayat (2)
Menegaskan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang baru, yang selama ini tidak secara eksplisit
diatur dalam ketentuan, seperti bunga obligasi dan Surat Utang Negara. Berbeda dengan Reksadana
yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, sehingga pasar obligasi
Reksadana bergairah; bunga dan atau diskonto dari obligasi yang diterima atau diperoleh wajib
pajak secara gradual dikenai PPh Pasal 4 (2) Final sebagai berikut:
a. 0% untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010.
b. 5% untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.
c. 15% untuk tahun 2014 dan seterusnya.
Tax planner bisa membandingkan dan menarik keuntungan dari perbedaan tariff bunga di atas,
dengan segala kelebihan dan kekurangan dari reksadana dibanding dengan obligasi yang
dipasarkan di bursa efek.
3. Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final) pada SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT
Masa PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final)
Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 4 Ayat (2), jumlah penghasilan bruto
dalam SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2) dicocokan (pencocokannya disajikan terperinci per
transaksi) dengan pos pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 4 Ayat (2).
Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2
(Final) yang ditentukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya SKP Kurang
Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. Hal ini disebabkan karena:
a) Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek Pasal 4 ayat 2 (Final) yang belum dilakukan
pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.
b) Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok atau lebih rendah
dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak.
c) Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak
cocok dengan SPT PPh Masa PPh Pasal 4 ayat 2 (Final).
PPH PASAL 15
Merupakan PPh yang dikenakan berdasarkan Norma Penghitungan Khusus (NPK) atau deem
profit, yang meliputi:
1. PPh atas sewa pesawat udara dalam negeri, tarif pajaknya 1,8% dari peredaran bruto dan bersifat
tidak final.
2. PPh Final Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, tarif pajaknya 1,2% dari peredaran bruto bersifat
final.
3. PPh Final Perusahaan Pelayaran/Penerbangan Luar Negeri, tarif pajaknya 2,64% dari peredaran
bruto bersifat final.
4. PPh Final atas Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia,
tarif pajaknya 0,44% dari nilai ekspor bruto bersifat final.
5. Penghasilan neto Wajib Pajak BUT dari kegiatan usaha pengeboran minyak dan gas bumi, tarifnya
15% dari peredaran bruto, bersifat tidak final.
Beberapa hal kruasial dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final:
Sesuai Per-Menkeu No. 255/PMK.03/2008, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk
wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah wajib
pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, ditetapkan sebesar 0,75%
dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut. Sedangkan untuk wajib
pajak masuk bursa dan wajib pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan
keuangan berkala, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
laba-rugi fiscal menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan
pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau
terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12.