Anda di halaman 1dari 23

TUGAS MATA KULIAH

HUKUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK

MAKALAH
Tinjauan Yuridis Kebijakan Pendaftaran Tanah Pada Sistem
Hukum Pertanahan di Indonesia

Dosen Pengampu:

Dr. Arrie Budhiartie, S.H., M.Hum.

Oleh
:
S. JATI WIDYATMOJO
NIM P2B120003

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


PASCASARJA N A
UNIVERSITAS JAMBI

JAMBI
2021
DAFTAR ISI

BAB I.................................................................................................................................6
PENDAHULUAN............................................................................................................7
1. Latar Belakang......................................................................................................7
BAB II.............................................................................................................................11
PEMBAHASAN...............................................................................................................12
A. Sistem Hukum Pertanahan Di Indonesia.......................................................12
1. Sejarah Sistem Hukum Pertanahan Di Indonesia..........................................12

2. Teori Pendafaran Tanah..................................................................................15

BAB III............................................................................................................................26
KESIMPULAN................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................27

6
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Pada masa penjajahan, Indonesia menjadi Negara hukum yang dapat

dikatakan “dipaksakan” hukum oleh Belanda, proses dilakukan tanpa

melalui musyawarah ataupun menunggu keambrukan suatu sistem sosial

Indonesia. Proses lompatan sistem sosial dari tradisonal dan feodal

langsung ke negara hukum. Substansi negara hukum pada masa penjajahan

menjadi sangat kompleks. karena terjadi dualisme hukum (hukum barat

dan hukum adat) khususnya hukum agraria. Lebih kompleks lagi karena

hukum adat sendiri bersifat kedaerahan sehingga terdapat pluralisme

hukum di lndonesia pada waktu itu.

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber dari

motivasi dan aspirasi perjuangan serta tekad bangsa Indonesia, yang juga

merupakan sumber cita-cita hukum dan cita-cita moral yang ingin

ditegakkan, baik dalam lingkungan nasional maupun dalam hubungan

pergaulan bangsa-bangsa di dunia. Dengan kata lain, hukum nasional

harus disusun dalam semangat menjaga kedaulatan hukum atas negeri

sendiri. Maka arah pembangunan hukum agraria nasional yang dilandasi

oleh cita hukum dan cetak biru masyarakat di dalam UUD NRI 1945, tidak

sepenuhnya sama dengan cita-cita kapitalisme global.1

UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) merupakan landasan konstitusional bagi


1
Satjipto Rahardjo. 2009, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, Kaitannya dengan
profesi hukum dan Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta, Genta Publishing, hlm. 115.

7
pembentukan politik dan Hukum Agraria nasional, yang berisi perintah

kepada negara agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya yang diletakkan dalam penguasaan negara itu digunakan untuk

mewujudkan sebesar besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Adapun dasar pertimbangan diundang-kannya UUPA tersebut adalah:

pertama; bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan

kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama bercorak

agraris, bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha

Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat

adil dan makmur, kedua; bahwa hukum agraria yang berlaku sebelum

UUPA sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari

pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, sehingga

bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam

menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta,

ketiga; bahwa sebelum diberlakukannya UUPA hukum agraria bersifat

dualisme, dengan berlakunya hukum adat disamping diberlukannya juga

hukum barat, dan keempat; bahwa bagi rakyat asli Indonesia hukum

agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum.

Dengan diundangkannya UUPA, bangsa Indonesia telah mempunyai

hukum agraria yang sifatnya nasional. Hukum agraria nasional harus

memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air, ruang angkasa,

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat Indonesia, harus sesuai dengan kepentingan rakyat

8
dan negara, dan memenuhi keperluannya menurut permintaan jaman

dalam segala soal agraria.

Dalam kaitannya dengan Sumber Hukum Agraria Nasional atau

Hukum Tanah Nasional, Budi Harsono (1999:256) membaginya menjadi

dua macam yaitu: sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis:

1. Sumber-sumber hukum tertulis yaitu:


a. Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33 ayat 3.
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
c. Peraturan Pelaksana dari UUPA
d. Peraturan-peraturan yang bukan Peraturan Pelaksana dari
UUPA yang dikeluarkan setelah tanggal 24 September 1960
karena sesuatu masalah perlu diatur (misalnya: UU Nomor
51/Prp/1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang
berhak atau kuasanya, LN 1960- 158,TLN 2160.
e. Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku
berdasarkan ketentuan pasal-pasal peralihan, yang merupakan
bagian hukum tanah yang positif, bukan bagian dari hukum
tanah nasional.
2. Sumber-sumber hukum tidak tertulis:

a. Norma-norma hukum adat yang sudah di-saneer menurut


ketentuan pasal 5, 56 dan 58 UUPA
b. Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi dan praktik
administrasi yang berkaitan dengan tanah.
Dalam UUPA dimuat beberapa asas yang menjadi dasar dari hukum

agraria nasional Asas-asas karena sebagai dasar, dengan sendirinya harus

menjiwai pelaksanaan UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya.

Dengan berlakunya UUPA, terjadi perombakan secara mendasar dalam

bidang hukum agraria di Indonesia, yaitu tidak berlakunya lagi hukum

agraria kolonial dan membangun hukum agraria nasional, yang


9
menghapuskan dualisme hukum, yang mewujudkan unifikasi hukum dan

kesederhanaan hukum agraria, dan memberikan jaminan kepastian hukum

terhadap hak-hak atas tanah.

Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum dan kesederhanaan

hukum agraria, dan memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-

hak atas tanah Negara Indonesia telah mengaturnya melalui lembaga

pendaftaran tanah. Perbuatan hukum pendaftaran tanah adalah merupakan

suatu peristiwa yang sangat penting, karena menyangkut hak keperdataan

seseorang. Hak keperdataan adalah merupakan hak asasi seseorang

manusia yang harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh sesama manusia

lainnya yang bertujuan untuk adanya kedamaian dalam masyarakat.

Pendaftaran tanah bukan hanya masalah administratif semata,

melainkan didalamnya sarat dengan tarik-menarik kepentingan ideologi-

hukum. Pergeseran konfigurasi pendaftaran tanah ditentukan basis

ideologi-hukumnya. Dari sisi pemerintah, ada kewajiban untuk

menyelenggarakan pendaftaran tanah secara terus menerus dalam rangka

menginventarisasikan data berkenaan dengan hak-hak atas tanah menurut

ketentuan yang berlaku, sedangkan dari sisi pemegang hak, ada kewajiban

untuk mendaftarkan hak atas tanah yang dikuasainya secara terus menerus

setiap kali terjadi peralihan hak atas tanah tersebut dalam rangka

menginventarisasikan data berkenaan dengan peralihan hak atas tanah

yang dilaksanakan menurut ketentuan yang berlaku.

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut

10
keterlibatan seluruh komponen di lingkungan birokrasi maupun

lingkungan masyarakat. Pemerintahan yang baik merupakan pemerintahan

yang dekat dengan masyarakat sehingga dalam melaksanakan tugas harus

sesuai dengan kebijakan dalam suatu negara. Implementasi kebijakan

sangat strategis dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang baik,

dengan demikian Implementasi kebijakan memiliki prioritas untuk

dilaksanakan. Implementasi kebijakan sudah dilaksanakan pada seluruh

instansi pemerintahan termasuk di Kantor Pertanahan Nasional.

Kantor Pertanahan Nasional diberi wewenang oleh Negara sebagai

organisasi kekuasaan yang “mengatur” pendaftaran tanah melalui

Peraturan Presiden (Pepres) No. 63 Tahun 2013 Tentang Badan

Pertanahan Nasional, sebagai lembaga negara yang ditugaskan untuk

melaksanakan kebijakan di bidang pertanahan. Implemetasi kebijakan

pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 Tentang Pendaftaran Tanah Jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar

Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan.

2. Rumusan Masalah

Bagaimana fungsi Pendaftaran Tanah sebagai kebijakan dalam sistem

hukum Nasional di Indonesia?

BAB II
11
PEMBAHASAN
A. Sistem Hukum Pertanahan Di Indonesia
1. Sejarah Sistem Hukum Pertanahan Di Indonesia

Setelah Indonesia merdeka, maka pada tahun 1960 diundangkan

UUPA yang mengatur kembali masalah agraria, termasuk masalah hak-

hak hukum atas tanah. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (Undang–

Undang Pokok Agraria/ UUPA) terbit 50 tahun lampau, pada tanggal 24

September 1960. Tujuan UUPA mewujudkan amanat Ps 33 ayat (3) UUD

1945, untuk tercapainya keadilan dalam akses terhadap perolehan dan

pemanfaatan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya (sumberdaya agraria /SDA).

Secara empiris-sosiologis, UUPA sudah berlaku efektif sejak tanggal

24 September 1960 sampai sekarang. Hal itu berarti setelah lima belas

tahun merdeka dan sesudah berusaha selama kurang lebih dua belas tahun,

Bangsa Indonesia untuk pertama kalinya mempunyai dasar perundang-

undangan untuk menyusun lebih lanjut Hukum Agraria/Hukum Tanah

Nasional sebagai perwujudan Pancasila serta berdasarkan Undang Undang

Dasar 1 Proklamasi, UUD 1945.2

Keberadaan UUPA memiliki asas-asas yang penting antara lain asas

sosial, asas penguasaan negara, asas kepastian hukum. Adapun yang

menjadi Grundnorm UUPA tersebut berpijak pada Pasal 33 ayat (3) UUD

NRI Tahun1945. 3Tujuan Hukum Agraria sejalan dengan tujuan dari UUD
22
Prof. Boedi Harsono. 1999, “Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya” Jilid I, Jakarta, Djambatan,. hal 132
3
https://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena/article/viewFile/327/269
12
RI 1945 sebagai dasar hukum pembentukan UUPA, yakni “melindungi

segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Sejak awal kemerdekaan upaya mewujudkan sistem hukum nasional

sudah mulai dikerjakan, antara Iain dengan melakukan unifikasi hukum di

bidang agraria. Hukum agraria sengaja digarap paling awal, mengingat

dari persoalan agraria inilah bangsa Indonesia terlibat dalam berbagai

pergulatan sosial, politik maupun hukum. Agraria dan suberdaya di

dalamnya merupakan aspek yang sangat strategis sehingga sering menjadi

perebutan, baik antar sesama warga kelompok, masyarakat adat, kerajaan,

bahkan negara. Pada satu sisi dengan keberadaan hukum agraria nasional

diharapkan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia segera dapat ditingkatan

sedangkan pada sisi Iain keberadaan hukum agraria nasional merupakan

sarana mengantispasi munculnya berbagai konflik kepemilikan dalam

penguasaan tanah.

Bila dilihat dari pengertian sistem hukum sebagai susunan/tatanan

yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang

berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana/pola, hasil suatu

pemikiran untuk mencapai suatu tujuan,4 maka dapat dikatakan bahwa

sistem hukum pertanahan adalah sebagai suatu susunan/tatanan hukum

pertanahan yang teratur, yang merupakan keseluruhan bagian-bagian


4
Subekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang, Makalah
untuk Seminar Hukum Nasional IV, Jakarta, 1979.
13
hukum pertanahan yang saling berkaitan, tersusun menurut suatu

rencana/pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan

pengaturan yang baik dan tertib atas hak-hak penguasaan atas tanah.5

Untuk penegakan UUPA dibutuhkan peraturan perundang-undangan

yang memenuhi asas-asas umum peraturan perundang-undangan yang

baik; aparat pelaksana dan penegak hukum yang profesional, berintegritas

tinggi, dan mempunyai keberanian moral untuk mengambil keputusan

dalam melaksanakan dan menegakkan UUPA dan kesadaran yang tinggi

pada masyarakat, khususnya pemegang hak atas tanah, akan arti penting

hak dan kewajiban terhadap hak atas tanahnya dan menjunjung tinggi hak

dan kewajibannya dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam

UUPA.

Sementara ini ada pihak-pihak yang menyatakan bahwa UUPA sudah

tidak relevan lagi karena tidak mampu mengikuti dinamika pembangunan

nasional, sehingga perlu ditinjau kembali. Namun demikian, belumlah

jelas benar ketentuan-ketentuan mana dalam UUP A yang sudah tidak

relevan lagi sehingga perlu ditinjau kembali. Wacana revisi UUPA diawali

dengan usulan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 1998, yang

cenderung memilih revisi UUPA sebagai UU yang berfungsi sebagai

payung/ induk pengaturan sumber–sumber agraria ( lex generalis). Tahun

2000 BPN menyusun RUU Pertanahan (lex specialis), dan September

2004 BPN menyusun RUU Sumberdaya Agraria (lex generalis). Revisi


5
Elza Syarief.2014, “Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan” Jilid
IV,Jakarta,Kepustakaan Populer Gramedia, hlm 115
14
UUPA sebagai lex specialis dimaksudkan untuk mempertegas rumusan

ketentuan UUPA seraya menyatukan ketentuan dasar tentang pertanahan

yang tersebar dalam berbagai peraturan. Pilihan ini relatif meminimalkan

resistensi sektor lain, tetapi tidak mengubah peta sektoralisme dengan

segala dampaknya.

Bahwa berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan dalam pasal 7 ayat (1), tidak lagi

tercantum bahwa UUPA adalah payung hukum dalam hierarki peraturan

Perundang-undangan di Indonesia, sehingga tidak terlihat adanya

perbedaan antara UU sebagai payung dan UU yang bersifat organik,

sehingga dengan demikian kedudukan UUPA sebagai UU payung seakan-

akan tidak lebih tinggi dengan UU organik lainnya. Kondisi tersebut

membawa konsekuensi hukum : pembuatan suatu UU yang bersifat

organik tidak lagi harus mengacu atau bertindak berdasarkan UUPA,

padahal UUPA dimaksudkan sebagai UU payung yang mengandung

amanat pembuatan beberapa UU (ada sebanyak 44 UU) sebagai pedoman

pelaksanaan UUPA. Berdasarkan hal tersebut sudah waktunya dilakukan


6
perubahan dan penyempurnaan UUPA.

2. Teori Pendafaran Tanah

Sebagai implementasi dari pasal 19 UUPA tersebut maka oleh

pemerintah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961

tentang pendaftaran tanah, yang kemudian telah diganti dengan Peraturan

6
Ibid, Halaman 122
15
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, yang dalam pasal 1 ayat 1 menyatakan:

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh


Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang
tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun
serta hak-hak tertentu yang membebaninya

Pendaftaran berasal dari kata “Cadastre” dalam bahasa Belanda

merupakan istilah teknis untuk suatu yang menunjukkan pada luas, nilai

dan kepemilikan (atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah.

Kata “Cadastre” berasal dari bahasa latin “Capitastrum” yang berarti suatu

register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah romawi

(Capotatio Terrens).7

Berdasarkan penjelasan umum IV UUPA menibulkan penafsiran

bahwa pendaftaran itu bersifat wajib. Namun dalam pendaftaran tanah di

Indonesia ada yang wajib adapula yang tidak wajib dilakukan.

Pendaftaran tanah yang wajib dilakukan dalam pemberian hak atas tanah

yang baru. Bila kewajiban yang dimuat dalam Surat Keputusan Pemberian

Hak (SKPH) mengenai kewajiban mendaftarkan, tidak dilakukan maka

hak yang diperoleh pemohon tidak akan lahir secara konstitutif, begitu

juga dalam pendaftaran hak tanggungan, bila tidak dilakukan pendaftaran

Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) kreditor tidak akan

7
Prof. Dr. A.P. Parlindungan, S.H.,2009, “Pendaftaran Tanah Di Indonesia”Jilid
IV,Bandung,Mandar Maju,Hlm.18

16
berkedudukan sebagai kreditor preference.8 Sedangkan pendaftaran yang

tidak wajib misalnya dalam hal jual beli tanah, tanpa pendaftaran akta jual

belinya tetap sah dan hak telah beralih kepada pembeli (levering) saat

aktanya ditandatangani dihadapan PPAT wilayah tanah bersangkutan.9

Bidang pertanahan berkaitan erat dengan perekonomian nasional,

banyak kegiatan perekonomian yang berhubungan dengan bidang

pertanahan seperti jual – beli dan tanah sebagai jaminan kredit di bank.

Sedemikian pentingnya tanah bagi masyarakat sehingga dapat memicu

konflik pada masyarakat yang bersengketa masalah pertanahan. Untuk

mengurangi konflik tersebut diperlukan kepastian hukum. Untuk

memperoleh jaminan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, maka

masyarakat perlu mendaftarkan tanah guna memperoleh sertifikat hak atas

tanah.

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Tentang Pendaftaran Tanah, asas Pendaftaran tanah dilaksanakan

berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Asas

sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan

pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-

pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.

Sedangkan asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan, bahwa

pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga

8
Prof. Dr. Ketut Oka Setiawan, S.h., M.H., Sp.N, 2020, “Hukum Agraria”, Bandung, Pustaka
Reka Cipta, Hlm. 166
9
Ibid. Hlm. 167.
17
hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan

pendaftaran tanah itu sendiri. Asas terjangkau dimaksudkan

keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan

memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah.

Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran

tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan. Asas

mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya

dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus

menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban

mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian

hari. Asas mutakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara

terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di

Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan

masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar

setiap saat. Untuk itulah diberlakukan pula asas terbuka.

B. Implementasi Kebijakan Publik Pertanahan di Indonesia

Kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang harus

dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap aparatur

pemerintah sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai


10
tujuan tertentu. kebijakan dapat bersifat intern dan ekstern, tertulis

(peraturan perundangan, pidato, surat-surat) dan dapat juga tidak tertulis.11

10
Rusmadi Murad, S.H.,M.H., 2013,”Administrasi Pertanahan”, Cetakan I, Bandung, Mandar
Maju, hlm 8
11
Ibid.
18
Kebijakan pemerintah di bidang pertanahan yaitu dikeluarkannya

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Dalam rangka mempercepat pelaksanaan pendaftaran tanah berdasarkan

PP 24/1997, pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional

membuat perencanaan untuk menyelesaikan pembuatan sertipikat tanah di

seluruh wilayah Republik Indonesia melalui Proyek Administrasi

Pertanahan dengan pendekatan sistematis, yang dikenal dengan Proyek

Ajudikasi. Proyek ini akan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat,

termasuk lapisan masyarakat golongan ekonomi lemah yang melakukan

pendaftaran tanah.

Menurut ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28

Tahun 1957 (LN 1957-163) Tentang Perubahan RI No. 24 Tahun 1954 dan

Undang-Undang RI No. 28 Tahun 1956, ditegaskan bahwa soal pemberian

hak atas tanah, pemberian izin untuk serah pakai, memindahkan hak-hak

atas tanah dan barang tetap lainnya serta pengawasannya yang semula ada

pada Menteri Kehakiman, terhitung mulai tanggal 13 Desember 1957

menjadi termasuk kedalam lingkungan Kekuasaan Menteri Agraria yaitu

Kementerian Agraria yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI

No. 55 Tahun 1955 tanggal 29 Maret 1955.

Pendaftaran tanah yang diembankan oleh pemerintah kepada

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN)

melalui Kantor Pertanahan Nasional se-Kabupaten/Kota di seluruh

19
Indonesia, melalui ketentuan yang sangat teliti dan terarah sehingga bukan

sekedar bertujuan diterbitkannya bukti pendaftaran tanah/sertipikat hak

atas tanah saja.

Ada dua model pendaftaran tanah menurut UU dan Peraturan

Pemerintah di Negara RI selama ini. Yakni pertama, pendaftaran tanah

(sertifikasi atas inisiatif Pemerintah yang menanggung biaya pendaftaran

tanah dan memilih daerah-daerah untuk sertifikasi tanah). BPN

membentuk panitia untuk datang ke desa, mengumpulkan dan

memberitahukan warga desa tentang rencana sertifikasi tanah di daerah

tersebut. Selanjutnya mereka menyepakati hari dan tanggal pendaftaran. 

Tanah-tanah yang sudah didaftar, diberikan sertifikat. Kedua, pendaftaran

tanah atas inisiatif pemilik tanah. Biaya ditanggung oleh pemilih tanah.

Mekanismenya, pemilik tanah datang ke kantor BPN setempat.

Selanjutnya Juru Ukur datang ke lokasi untuk mengukur tanahnya. Saat

mengukur tanahnya, pihak-pihak yang tanahnya berbatasan langsung

dengan tanah yang hendak disertifikasi, diundang untuk memastikan batas-

batas kepemilikan tanah.

Negara Indonesia menganut sistem pendaftaran tanah bersifat

publikasi negatif/stelsel negatif yang bertendensi positip. Dalam sistem

pendaftaran hak pun setiap penciptaan hak baru dan perbuatan hukum

yang menimbulkan perubahan hak, juga harus dibuktikan dengan akta

(deeds), tetapi penyelenggaraan pendaftarannya, bukan aktanya yang

didaftarkan, melaikan haknya yang didaftarkan. Akta merupakan sumber

20
datanya, maka pada sistem ini disediakan suatu daftar isian (register),

untuk mencatat setiap peralihan dalam ruang mutasi pada daftar isian yang

dibuat. Sebagai tanda bukti hak diterbitkanlah sertipikat yang merupakan

salinan register (certificate of title), hal ini diatur dalam pasal 29 PP. No 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Sebagai implikasi dari sistem publikasi stelsel negatif yang dianut

oleh Indonesia maka dibentuk lembaga examiner of tile (panitia pemeriksa

tanah), sehingga orang yang merasa merasa haknya lebih kuat/benar dari

yang terdapat pada sertipikat dapat mengklaim hal ini dengan mengajukan

hal ini pada Pengadilan Negeri setempat, dengan adagium siapa yang

merasa lebih berhak harus mengajukan bukti-buktinya.12

Dalam sistem stelsel negatif ini ada pengaruh asas nemo plus yuris,

selengkapnya berbunyi “nemo plus yuris in alium transperrepotest quam

ipse habet” yang artinya “orang tidak dapat menyerahkan atau

memindahkan hak melebihi apa yang ia sendiri punyai”. Berdasarkan asas

itu maka data yang diajikan dalam pendaftaran dengan sistem publikasi

negatif ini tidak boleh begitu saja dipercaya kebenarannya, artinya negara

tidak menjamin kebenaran data yang disajikan.13 Maka ada juga cara untuk

meningkatkan stelsel negatif itu menjadi positif dengan mengajukan ke

sidang Pengadilan Negeri, sehingga memancing orang untuk


14
membantahnya kalaupun ada. Putusan pengadilan merupakan hukum

12
Prof. Dr. A.P. Parlindungan, Op.Cit. Hlm. 36
13
Prof. Boedi Harsono, Op.Cit. Hlm.80
14
Prof. Dr. A.P. Parlindungan, Op.Cit. Hlm. 37
21
atau kebijakan publik bagi para pihak yang berperkara, sehingga putusan

pengadilan itu hanya mengikat dan harus dilaksanakan para pihak yang

berperkara. Dalam ilmu hukum, putusan pengadilan ini disebut

yurisprudensi.

Pengadilan sendiri merupakan sebuah forum publik, resmi, di mana

kekuasaan publik ditetapkan oleh otoritas hukum untuk menyelesaikan

perselisihan dan pencarian keadilan dalam hal sipil, buruh, administratif,

dan kriminal di bawah hukum. Apabila terdapat pelanggaran terhadap

rugikan, baik perorangan, badan hukum maupun negara, maka orang yang

dirugikan tersebut berhak mengajukan tuntutan melalui pengadilan.

Setelah itu hakim berkewajiban memeriksa perkara tuntutan hak tersebut

dan akhirnya menjatuhkan putusan.

Salah satu faktor penyebab terjadinya konflik pertanahan di Indonesia

antara lain disebabkan adanya permasalahan regulasi dibidang pertanahan.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait bidang pertanahan

sering kali berbenturan satu sama lain. Sebagaimana dikemukakan oleh

Ruslan Burhani yang dikutip dari laman Antaranews. com Kepala BPN RI

Hendarman Supandji yang sebelumnya pernah mengemukakan

permasalahan regulasi di bidang pertanahan dan BPN akan bekerja sama

dengan lembaga perguruan tinggi, para praktisi dan lembagalembaga

terkait baik dari pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM)

untuk dapat memberikan masukan guna harmonisasi dan sinkronisasi

terhadap peraturan di bidang agraria yang berjumlah 632 peraturan.

22
Setelah dilakukan penelaahan hampir sebanyak 208 peraturan sudah tidak

berlaku lagi, sehingga jumlah peraturan pertanahan yang masih berlaku di


15
Indonesia sekitar 424 peraturan. Peraturan perundang-undangan

dimaksud terdiri dari berbagai tingkatan tata urutan peraturan perundang-

undangan dari tingkat Undang-undang sampai dengan surat edaran yang

dikeluarkan oleh kementerian. Akibat permasalahan regulasi tersebut

mengakibatkan pejabat pengambil kebijakan yang tidak memahami

struktur peraturan perundang-undangan terkait dapat berujung kepada

kesalahan administratif, kerugian keperdataan maupun perbuatan pidana.

Hal ini mengakibatkan pejabat pengambil kebijakan menjadi ragu bahkan

takut untuk mengambil kebijakan karena dapat berdampak hukum

baginya.

Kebijakan hukum pertanahan di Indonesia sudah lama diatur dalam

berbagai peraturan perundang-undangan yang berasal dari Belanda

berdasarkan asas konkordansi. Produk hukum dari Negara Belanda

tersebut antara lain Agrarische Wet, Agrariche Besluit, Burgerlijk

Wetboek, Koninklijk Besluit, Regering Reglement, Indische

Staatsregeling. Peraturan-peraturan tersebut sangat merugikan bangsa

Indonesia dan menguntungkan bangsa penjajah.

Kehadiran Omnibus dapat menjadi solusi dari adanya hiperregulasi

menuju sonkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang undangan di

15
Ruslan Burhani, “BPN Sederhanakan Aturan Pertanahan”,
http://www.antaranews.com/berita/376127/bpnsederhanakan-aturan-pertanahan, diakses 12
April 2017.

23
Indonesia. Omnibus Law sendiri berasal dari bahasa Latin yang artinya

“for everything”. Black Law Dictionary yang menjadi rujukan definisi

istilah hukum di Barat juga sudah menjelaskan apa itu omnibus law. Satu

regulasi baru dibentuk sekaligus menggantikan lebih dari satu regulasi lain

yang sudah berlaku. Konsep ini bisa saja hanya menggantikan beberapa

pasal di satu regulasi dan saat bersamaan mencabut seluruh isi regulasi

lain. Omnibus Law hanya sebagai metode dalam menyusun suatu undang-

undang. Implementasi konsep omnibus law dalam peraturan perundang-

undangan ini lebih mengarah pada tradisi Anglo-Saxon Common Law.

Keunggulan metode omnibus law adalah kepraktisan mengoreksi banyak

regulasi bermasalah. Meningkatkan kecepatan dalam penyusunan undang-

undang, dengan menyusun sebuah omnibus law sekaligus mengoreksi

undang-undang bermasalah yang sedang berlaku. Pendekatan omnibus law

juga bisa menjadi solusi atas tumpang tindih regulasi di Indonesia baik

dalam hubungan hierarki sejajar horizontal maupun vertikal.

Mencermati sistem perundang-undangan di Indonesia, Undang-

Undang hasil konsep Omnibus Law bisa mengarah sebagai Undang-

Undang Payung karena mengatur secara menyeluruh dan kemudian

mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain. Akan tetapi di Indonesia

justru tidak menganut Undang-Undang Payung karena posisi seluruh

Undang-Undang adalah sama. Persoalan yang muncul bila dikaji dari

perspektif teori peraturan perundang-undangan mengenai kedudukannya,

sehingga kedudukannya harus diberikan legitimasi dalam Undang-undang

24
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan harus diamandemen, sebagaimana Norma Hukum yang lebih

tinggi itu sampai ke yang paling tinggi, yang disebut oleh Hans Kelsen

sebagai grundnorm itulah yang mempresuposisikan validitas setiap norma

hukum dalam teori dan praktik.16

BAB III
KESIMPULAN

Pendaftaran Tanah adalah bentuk kebijakan pemerintah dalam proses


16
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., 2020, “Omnibus Law Dan Penerapannya Di Indonesia”,
Jakarta, Konstitusi Perss, Hlm.109

25
pengakuan hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dilakukan

sebagai wujud dalam mengimplementasikan yaitu mewujudkan kepastian

hukum dan legalisasi hak atas tanah secara menyeluruh. Hal ini dilakukan

guna melerai potensi konflik dan sengketa serta praktek mafia tanah.

Namun perlu di lakukan evaluasi berupa harmonisasi dan singkronisasi

terhadap pengaturan perundangundangan khususnya pengaturan jangka

waktu pengumuman pembuktian pemilikan tanah, data yuridis dan data

fisik bidang tanah serta peta bidang-bidang tanah.

Kebutuhan reformasi regulasi di bidang pertanahan sangat mendesak

dilakukan karena dapat berimbas kepada turunnya iklim investasi di

Indonesia. Terjadinya konflik agraria salah satunya disebabkan konflik

regulasi. Untuk itu perlu dicarikan solusi atau terobosan untuk menata

kembali politik pertanahan. Lebih lanjut Muchtar berpendapat bahwa

masyarakat yang membangun selalu identik dengan perubahan, sehingga

dibutuhkan hukum untuk menjamin perubahan tersebut agar ketertiban dan

kepastian hukum tetap terwujud dengan mengatur serta membantu proses

perubahan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum yang ideal adalah

hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat dan

mencerminkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Harsono Boedi., “Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang


Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya”, Jakarta: Djambatan,
26
1999.
Rahardjo, Satjipto. Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, Kaitannya
dengan profesi hukum dan Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta:
Genta Publishing, 2009.
Parlindungan.A.P., S.H., “Pendaftaran Tanah Di Indonesia”,Bandung:Mandar
Maju, 2009
Murad, Rusmadi,”Administrasi Pertanahan”, Bandung :Mandar Maju, 2013.

Syarief ,Elza, “Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus


Pertanahan”,Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2014.

Setiawan, Ketut Oka, “Hukum Agraria”, Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2020

Asshiddiqie, Jimly, “Omnibus Law Dan Penerapannya Di Indonesia”, Jakarta :


Konstitusi Perss, 2020.

Jurnal:

1. Subekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang,

Makalah untuk Seminar Hukum Nasional IV, Jakarta, 1979.

2. https://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena/article/viewFile/327/269 .

3. Ruslan Burhani, “BPN Sederhanakan Aturan Pertanahan”,

http://www.antaranews.com/berita/376127/bpnsederhanakan-aturan-pertanahan,

diakses 12 April 2017.

27

Anda mungkin juga menyukai