Kali ini sembari ditemani keripik goreng yang renyah, saya hampir tersedak
ketika membaca kesimpulan buku yang tengah saya baca : internet secara
masif telah menghancurkan kecakapan berpikir kita. Yes, internet has
destroyed our thinking skills.
Buku yang menjadi New York Time Best Seller itu bertajuk : What the
Internet is Doing to Our Brains. Judulnya menarik dan mengundang rasa
ingin tahu. Begitulah, di akhir pekan yang teduh itu, sambil sesekali
mengunyah keripik goreng, saya menikmati halaman demi halaman buku ini
dengan sungguh-sungguh.
Dan di pagi ini saya ingin membagikan esensi isi dari buku itu kepada Anda
semua.
Tema sentral buku itu sejatinya sederhana namun powerful : internet dengan
segenap isinya (berita online selalu update, aliran status di FB dan Twitter
yang setiap saat datang, dll) yang sangat mengedepankan freshness telah
mendorong kita tenggelam dalam era ‘ketergesaan’, dan terjebak dalam
kedangkalan informasi tanpa substansi.
Tiap hari ribuan informasi datang ke screen online kita; dan sebagian besar
hadir dalam bentuk yang khas : ringkas, acap berisikan info yang trivial
(kosong tanpa makna; mirip ribuan status di twitter dan FB itu), dan kadang
menempelkan link di sejumlah bagiannya. Semua hadir dengan instan, dan
always updated.
Kita juga kemudian cepat bosan dengan tulisan/artikel di internet yang terlalu
panjang (makin pendek makin baik). Pertanyaan saya : pernahkan Anda
membaca artikel yang panjangnya lebih dari 15 halaman di media internet?
Jawabannya mungkin tidak pernah.
Pelan namun pasti, pola perilaku online semacam diatas mendidik otak kita
untuk berpikir dalam kerangka yang sama : serba ingin cepat (tergesa-gesa),
cepat bosan dengan kedalaman, dan berpikir dengan penuh distraksi (tanpa
fokus).
Dan persis seperti itu yang dituliskan dalam buku ini : kebiasaan menjelajah
internet telah membuat kita makin enggan untuk membaca buku-buku serius
yang tebal (sebab otak kita telah terbiasa dengan info online yang serba
ringkas) dan kita juga makin tidak terlatih untuk melakukan deep thinking yang
memerlukan konsentrasi dan ketekunan (sebab otak kita sudah terbiasa
dengan dunia online yang serba cepat, instan, dan trivial).
Dalam buku itu juga diungkapkan hasil studi yang menarik : kemampuan kita
untuk me-retain informasi yang kita baca melalui media online juga jauh lebih
buruk dibanding jika kita membaca informasi itu melalui buku konvensional.
Kemampuan menyerap itu akan jauh lebih buruk lagi jika informasi/artikel
yang kita baca di internet itu memuat banyak link (semakin banyak link dalam
sebuah artikel akan makin membuat daya tangkap pembaca akan isi artikel
itu makin menurun).
Kebiasaan kita untuk “berpikir a la internet” yakni suka menyerap informasi
pendek dengan instant, cepat dan penuh distraksi juga akan merembet ke
kehidupan nyata kita.
Pelan-pelan karena terbiasa dengan “gaya berpikir a la internet” ini, kita lalu
makin sulit untuk membangun konsentrasi dalam waktu lama untuk menekuni
sesuatu (pekerjaan misalnya). Kita juga makin cepat bosan dengan sesuatu
yang memerlukan ketekunan (kita selalu ingin seperti ketika berkelana di
dunia maya : bisa cepat berpindah-pindah secara seketika).
Dengan gadget mobile ini, kita jadi kian tenggelam dalam “gaya berpikir a la
Internet” : always online anytime anywhere. Dan dengan itu, pola pikir yang
mengedepankan “instant access”, update berita, update info dan update
status (seolah-olah semua ini penting) terus mengharu biru pikiran kita.
Dengan kata lain, kehadiran gadget modern semacam itu akan mendorong
kita untuk makin terjebak dalam “pola pikir serba ringkas, serba cepat, dan
serba penuh distraksi”. Ini semua diam-diam mungkin akan kian menggerus
kemampuan kita untuk melakukan “deep thinking” : menekuni sebuah
informasi (atau buku-buku serius) secara mendalam dengan tekun.
Isi setiap halaman dari buku bagus ini membuat saya berpikir keras. Ada
banyak hal yang mestinya masih ingin saya tuliskan disini. Namun saya takut
Anda sudah bosan dengan tulisan yang terlalu panjang ini (sebab mungkin
Anda semua juga sudah terkena sindrom “berpikir a la Internet”).
Karena itu, untuk sementara waktu, ijinkan saya menyudahi tulisan ini, dan
ijinkan pula saya menghabiskan keripik goreng yang tinggal separuh ini.
Keripik goreng ini rasanya benar-benar mak nyus. Anda mau?