1. Definisi
yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan
pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan
mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi
dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja
aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan
dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu jenis efek.
terletak di atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom
P450.
Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek seperti
hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup penting. Deksametason dan
2. Penggunaan Klinis
Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia
pengobatan nyeri sendi, arteritis temporal, dermatitis, reaksi alergi, asma, hepatitis,
sediaan oral, terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit, mata,
dan juga inflammatory bowel disease. Kortikosteroid juga digunakan sebagai terapi
ondansetron)2.
pengobatan kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis lebih
insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut maupun kronis (penyakit Addison) yang
ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan menurun, hipotensi, dan
tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula darah selama puasa. Untuk keadaan
chusing. Dengan tes supresi deksametason, obat ini diberikan sejumlah 1 mg per oral
pada jam 11 malam, dan sampel plasma diambil pada pagi hari. Pada individu normal,
konsentrasi kortisol biasanya kurang dari 5 µg/dl, sedangkan pada sindrom chusing
kadarnya biasanya lebih besar daripada 10 µg/dl. Namun hasil ini tidak dapat dipercaya
pada keadaan depresi, ansietas, penyakit, dan kondisi stress yang lain.
Selain itu, maturasi paru-paru pada janin diatur oleh sekresi kortisol janin. Ibu
dengan pengobatan glukokortikoid dalam dosis besar akan dapat menurunkan insiden
peradangan dan respon imun. Pada keadaan yang respons peradangan atau respon
mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan yang tak
dapat diperbaiki akibat respon peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik
3. Farmakodinamik kortikosteroid
menembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid
heat-shock protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks
hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur
respon glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang
atau menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor
dihambat dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor
pada DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi
oleh protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan
yang terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin
dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadap banyaknya efek pada
setiap bagian organism ini. Efek utama yang tidak diinginkan dari glukokortikoidnya dan
limfoma, dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen
anti inflamasi.
atau steroid lain seperti megesterol yang mengikat reseptor glukokortikoid, dibedakan
oleh penemuan fisik dari hiperfungsi adrenokortikal endogen. Perbedaan dapat dibuat,
bagaimanapun, dengan mengukur kadar kortisol urine dalam keadaan basal; pada
sindrom iatrogenik pada kadar ini merupakan rendah secara sekunder akibat penekanan
dari aksis adrenal pituari. Keparahan dari iatrogenic Cushing’s syndrome terkait dengan
dosis steroid total, steroid paruh hidup biologis, dan lama terapi.
dalam sel melewati membran s?l dan selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks
kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk aktif, dan akan mengikat
DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA (mRNA). Messenger RNA ini akan
menimbulkan sintesis protein yang baru. Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel
Sehubungan dengan pengaruh kortikosteroid ini kita kenal dua golongan spesies
yaitu golongan yang resisten dan sensitif terhadap kortikosteroid. Spesies yang resisten
terhadap kortikosteroid adalah manusia dan kera sedangkan yang sensitif adalah tikus
dan kelinci.
limfoid lainnya terutama sumsum tulang. Redistribusi ini lebih banyak mempengaruhi
limfosit belum diketahui secara pasti. Secara teoritis limfositopeni dapat terjadi melalui
dua mekanisme yaitu: migrasi hebat keluar dari pembuluh darah dan blok perifer.
Mekanisme blok perifer ini ditunjang oleh penemuan bahwa aktifitas fisik pada orang
normal menyebabkan limfositosis akibat mobilisasi cadangan perifer, tetapi hal ini tidak
6 jam setelah pemberian 20 mg prednison intravena dan kembali ke nilai normal setelah
24 jam. Berat dan lamanya limfositopeni tidak berbeda apabila dosis prednison
akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu kortikosteroid juga
menyebabkan berkurangnya aktifitas makrofag baik yang beredar dalam darah (monosit)
maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan
akibat penghambatan kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif
kortikosteroid mengurangi daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah,
bukan akibat penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid
Leonard melaporkan bahwa pemberian 10 mg prednison per oral pada orang sehat
sudah cukup untuk meningkatkan netrofil dan menurunkan jumlah limfosit, monosit dan
eosinofil dalam darah, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Saavedra-Delgado dkk yang
Di samping itu kortikosteroid juga meningkatkan masa paruh netrofil dalam sirkulasi.
migrasi dan akumulasi netrofil pada daerah radang. Mungkin pengaruh kortikosteroid
pada makrofag dan netrofil inilah yang menyebabkan peningkatan kejadian infeksi pada
netrofil pada hari bebas pemberian obat, tetapi akumulasi makrofag pada hari tersebut
masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa makrofag lebih sensitif daripada netrofil
Pengaruh tersebut berupa penghambatan fiksasi C3b terhadap reseptornya pada fagosit
mononuklear, dan penghambatan pengaruh C3a, C5a dan C567 pada lekosit PMN.
Pengaruh non-spesifik ini hanya terjadi pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Hal
ini telah dibuktikan secara invitro dengan pemberian metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb.
Intravena atau secara invivo dengan hidrokortison dosis 120 mg/kgbb intravena.
terhadap sistem imun. Pengaruh tersebut berupa atrofi kulit sehingga kulit tampak tipis,
mengkilat dan keriput seperti kertas sigaret. Hal ini dapat memperberat dan
kulit. Beberapa efek samping lain yang mungkin terjadi adalah diabetes melitus,
Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus peptikum dan
komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain, terutama infeksi bakteri
dan jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan penderita harus diawasi dengan
teliti untuk menghindari kecelakaan serius bila digunakan dosis tinggi. Beberapa
miopati lebih besar pada penderita yang diobati dengan triamnisolon. Penggunaan obat
subkapsular posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp periodik pada
penderita ini. Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan mungkin menyebabkan
glaukoma. Juga terjadi hipertensi intrakranial jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih,
Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid seperti
glukokortikoid, dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan serta hilangnya kalium.
Pada penderita dengan fungsi kardiovaskular dan ginjal normal, hal ini dapat
darah. Pada penderita hiponatremia, penyakit ginjal, atau penyakit hati, dapat terjadi
edema. Pada penderita penyakit jantung, tingkat retensi natrium yang sedikit saja dapat
Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang mendapatkan efek
kortikosteroid secara perlahan-lahan (tapering off). Jika timbul diabetes, diobati dengan
diet dan insulin. Sering penderita yang resisten dengan insulin, namun jarang
kortikosteroid seharusnya diberi diet protein tinggi, dan peningkatan pemberian kalium
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. EGC, Jakarta.
2. Katzung, B.G. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC, Jakarta.
3. Goodman & Gilman. (2006) The Pharmacological Basis Of Therapeutics 11th ed.
McGraw-Hill, New York.
4. Werner, R. (2005). A massage therapist’s guide to Pathology. 3rd edition. Lippincott
Williams & Wilkins, Pennsylvania, USA.
5. Schwaz, M. W. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. EGC, Jakarta.