Anda di halaman 1dari 9

Kortikosteroid dan Efek Sampingnya

1. Definisi

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian

korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH)

yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan

pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan

sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan

protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku1.

Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang

menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan

mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi

dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja

eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya

aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan

garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut

dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu jenis efek.

Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang

terletak di atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom

P450.

Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek seperti

hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup penting. Deksametason dan

turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan prednison dan turunannya memiliki

kerja mineralokortikoid disamping kerja glukokortikoid.

2. Penggunaan Klinis
Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia

kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid sintetik digunakan pada

pengobatan nyeri sendi, arteritis temporal, dermatitis, reaksi alergi, asma, hepatitis,

systemic lupus erythematosus, inflammatory bowel disease, serta sarcoidosis. Selain

sediaan oral, terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit, mata,

dan juga inflammatory bowel disease. Kortikosteroid juga digunakan sebagai terapi

penunjang untuk mengobati mual, dikombinasikan dengan antagonis 5-HT3 (misalnya

ondansetron)2.

Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan

pengobatan kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis lebih

besar untuk pengobatan berbagai kelainan peradangan dan imunologi.

Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal biasanya

diberikan pada keadaan insufisiensi atau hiperfungsi dari adrenokortikal. Keadaan

insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut maupun kronis (penyakit Addison) yang

ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan menurun, hipotensi, dan

tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula darah selama puasa. Untuk keadaan

hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi pada hiperplasia adrenal kongenital, sindrom

chusing, atau aldosteronisme.

Glukokortikoid dapat pula digunakan untuk tujuan diagnostik dari sindrom

chusing. Dengan tes supresi deksametason, obat ini diberikan sejumlah 1 mg per oral

pada jam 11 malam, dan sampel plasma diambil pada pagi hari. Pada individu normal,

konsentrasi kortisol biasanya kurang dari 5 µg/dl, sedangkan pada sindrom chusing

kadarnya biasanya lebih besar daripada 10 µg/dl. Namun hasil ini tidak dapat dipercaya

pada keadaan depresi, ansietas, penyakit, dan kondisi stress yang lain.
Selain itu, maturasi paru-paru pada janin diatur oleh sekresi kortisol janin. Ibu

dengan pengobatan glukokortikoid dalam dosis besar akan dapat menurunkan insiden

sindrom gawat nafas pada bayi yang dilahirkan secara prematur.

Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai kelompok

penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi adrenal. Kegunaan

kortikosteroid pada kelainan ini merupakan kemampuannya untuk menekan respon

peradangan dan respon imun. Pada keadaan yang respons peradangan atau respon

imunnya penting untuk mengendalikan proses patologi, terapi dengan kortikosteroid

mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan yang tak

dapat diperbaiki akibat respon peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik

untuk proses penyakitnya2.

3. Farmakodinamik kortikosteroid

Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor

menembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid

heat-shock protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks

hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur

respon glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang

atau menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor

dihambat dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor

pada DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi

oleh protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan

ekspresi unsur respons glukokortikoid utama.


Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik

yang terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin

diperantarai oleh mekanisme nontranskripsi3.

4. Efek Samping Kortikosteroid

Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus

dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadap banyaknya efek pada

setiap bagian organism ini. Efek utama yang tidak diinginkan dari glukokortikoidnya dan

menimbulkan gambaran klinik sindrom cushing iatrogenik.

Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka

panjang dalam dosis farmakologik untuk alasan yang bervariasi.

Sindrom Cushing iatrogenic dijumpai pada penderita arthritis rheumatoid, asma,

limfoma, dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen

anti inflamasi.

Iatrogenic Cushing’s syndrome, diinduksikan dengan pemberian glukokortikoid

atau steroid lain seperti megesterol yang mengikat reseptor glukokortikoid, dibedakan

oleh penemuan fisik dari hiperfungsi adrenokortikal endogen. Perbedaan dapat dibuat,

bagaimanapun, dengan mengukur kadar kortisol urine dalam keadaan basal; pada

sindrom iatrogenik pada kadar ini merupakan rendah secara sekunder akibat penekanan

dari aksis adrenal pituari. Keparahan dari iatrogenic Cushing’s syndrome terkait dengan

dosis steroid total, steroid paruh hidup biologis, dan lama terapi.

Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-reseptor

glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut: kortikosteroid berdifusi ke

dalam sel melewati membran s?l dan selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks
kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk aktif, dan akan mengikat

DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA (mRNA). Messenger RNA ini akan

menimbulkan sintesis protein yang baru. Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel

limfoid dengan penghambatan uptake glukosa3.

Sehubungan dengan pengaruh kortikosteroid ini kita kenal dua golongan spesies

yaitu golongan yang resisten dan sensitif terhadap kortikosteroid. Spesies yang resisten

terhadap kortikosteroid adalah manusia dan kera sedangkan yang sensitif adalah tikus

dan kelinci.

Apabila kortikosteroid diberikan kepada golongan resisten akan menyebabkan

limfositopeni akibat redistribusi limfosit ke luar sirkulasi darah menuju organ-organ

limfoid lainnya terutama sumsum tulang. Redistribusi ini lebih banyak mempengaruhi

limfosit-T daripada limfosit-B. Mekanisme yang mendasari terjadinya redistribusi

limfosit belum diketahui secara pasti. Secara teoritis limfositopeni dapat terjadi melalui

dua mekanisme yaitu: migrasi hebat keluar dari pembuluh darah dan blok perifer.

Mekanisme blok perifer ini ditunjang oleh penemuan bahwa aktifitas fisik pada orang

normal menyebabkan limfositosis akibat mobilisasi cadangan perifer, tetapi hal ini tidak

ditemukan setelah pemberian kortikosteroid. Limfositopeni akan mencapai puncaknya 4-

6 jam setelah pemberian 20 mg prednison intravena dan kembali ke nilai normal setelah

24 jam. Berat dan lamanya limfositopeni tidak berbeda apabila dosis prednison

ditingkatkan sampai 40 mg atau 80 mg.

Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah penghambatan

akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu kortikosteroid juga

menyebabkan berkurangnya aktifitas makrofag baik yang beredar dalam darah (monosit)

maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan
akibat penghambatan kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif

pada makrofag, karena tempat kerja kortikosteroid diperkirakan pada membran

makrofag. Penghambatan akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja

kortikosteroid mengurangi daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah,

bukan akibat penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid

pada kadar suprafarmakologik.

Leonard melaporkan bahwa pemberian 10 mg prednison per oral pada orang sehat

sudah cukup untuk meningkatkan netrofil dan menurunkan jumlah limfosit, monosit dan

eosinofil dalam darah, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Saavedra-Delgado dkk yang

menggunakan 35–70 mg prednison per oral. Kepustakaan lain melaporkan bahwa

kortikosteroid mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap distribusi netrofil.

Kortikosteroid meningkatkan pelepasan netrofil muda dari sumsum tulang ke sirkulasi.

Di samping itu kortikosteroid juga meningkatkan masa paruh netrofil dalam sirkulasi.

Kombinasi kedua pengaruh ini menyebabkan terjadinya netrofilia, walaupun fungsi

bakterisidanya menurun. Hasil akhir pengaruh kortikosteroid adalah menghambat

migrasi dan akumulasi netrofil pada daerah radang. Mungkin pengaruh kortikosteroid

pada makrofag dan netrofil inilah yang menyebabkan peningkatan kejadian infeksi pada

penggunaan kortikosteroid setiap hari2.

Penggunaan kortikosteroid selang sehari telah dapat mengembalikan akumulasi

netrofil pada hari bebas pemberian obat, tetapi akumulasi makrofag pada hari tersebut

masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa makrofag lebih sensitif daripada netrofil

terhadap pengaruh antiinflamasi kortikosteroid. Dilaporkan pula bahwa penggunaan

kortikosteroid selang sehari tidak disertai peningkatan angka infeksi. Kortikosteroid


mungkin juga mengurangi pelepasan enzim-enzim lisosom, tetapi hanya sedikit

mempengaruhi stabilitas membran lisosom pada kadar farmakologik.

Kortikosteroid mempunyai pengaruh terhadap aktifitas biologik komplemen.

Pengaruh tersebut berupa penghambatan fiksasi C3b terhadap reseptornya pada fagosit

mononuklear, dan penghambatan pengaruh C3a, C5a dan C567 pada lekosit PMN.

Pengaruh non-spesifik ini hanya terjadi pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Hal

ini telah dibuktikan secara invitro dengan pemberian metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb.

Intravena atau secara invivo dengan hidrokortison dosis 120 mg/kgbb intravena.

Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid topikal juga berpengaruh

terhadap sistem imun. Pengaruh tersebut berupa atrofi kulit sehingga kulit tampak tipis,

mengkilat dan keriput seperti kertas sigaret. Hal ini dapat memperberat dan

mempermudah terjadinya infeksi oleh karena terjadi gangguan mekanisme pertahanan

kulit. Beberapa efek samping lain yang mungkin terjadi adalah diabetes melitus,

osteoporosis, gangguan psikologik dan hipertensi.

Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus peptikum dan

komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain, terutama infeksi bakteri

dan jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan penderita harus diawasi dengan

teliti untuk menghindari kecelakaan serius bila digunakan dosis tinggi. Beberapa

penderita mengalami miopati, yang sifatnya belum diketahui. Frekuensi terjadinya

miopati lebih besar pada penderita yang diobati dengan triamnisolon. Penggunaan obat

ini maupun metilprednisolon berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan

penurunan berat badan pada beberapa penderita4.


Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis besar

kortikosteroid. Terapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan katarak

subkapsular posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp periodik pada

penderita ini. Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan mungkin menyebabkan

glaukoma. Juga terjadi hipertensi intrakranial jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih,

dapat terjadi retardasi pertumbuhan pada anak-anak.

Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid seperti

kortison dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain efek

glukokortikoid, dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan serta hilangnya kalium.

Pada penderita dengan fungsi kardiovaskular dan ginjal normal, hal ini dapat

menimbulkan alkalosis hipokloremik hipokalemik, dan akhirnya peningkatan tekanan

darah. Pada penderita hiponatremia, penyakit ginjal, atau penyakit hati, dapat terjadi

edema. Pada penderita penyakit jantung, tingkat retensi natrium yang sedikit saja dapat

menyebabkan gagal jantung kongestif.

5. Penanganan Efek Samping Kortikosteroid

Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang mendapatkan efek

samping kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunan konsumsi dosis

kortikosteroid secara perlahan-lahan (tapering off). Jika timbul diabetes, diobati dengan

diet dan insulin. Sering penderita yang resisten dengan insulin, namun jarang

berkembang menjadi ketoasidosis. Pada umumnya penderita yang diobati dengan

kortikosteroid seharusnya diberi diet protein tinggi, dan peningkatan pemberian kalium

serta rendah natrium seharusnya digunakan apabila diperlukan5.

DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. EGC, Jakarta.
2. Katzung, B.G. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC, Jakarta.
3. Goodman & Gilman. (2006) The Pharmacological Basis Of Therapeutics 11th ed.
McGraw-Hill, New York.
4. Werner, R. (2005). A massage therapist’s guide to Pathology. 3rd edition. Lippincott
Williams & Wilkins, Pennsylvania, USA.
5. Schwaz, M. W. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai