Anda di halaman 1dari 9

CERPEN 1

ELSA
Halo Elsa, sudah berapa liter air mata yang kau habiskan hari ini? Percayalah aku jauh
lebih menderita dibandingmu. Aku iri padamu yang bisa bebas menangis di mana saja dan
kapan saja yang kau mau, aku iri padamu yang bisa bebas mengeluarkan isi hatimu, aku iri
pada rupamu yang menawan, aku iri pada keharmonisan keluargamu, dan aku iri padamu
yang bergelimang harta tapi mengapa kamu selalu menangis? Bagian manakah yang masih
kurang? Kurasa hidupmu begitu sempurna.

Elsa, jika saja kamu melihat kearahku, aku yakin kamu merasa beruntung dengan
kehidupanmu sekarang. Setiap kali melihatmu menangis aku merasa kau sedang mencuri
perhatian seseorang, siapa itu Elsa? Tolong katakan agar aku tidak bertanya-tanya
disepanjang malamku.

Elsa, biarku cerita sedikit tentang kehidupanku. Aku adalah seseorang yang benci dengan
air mata khususnya air matamu, rupaku tidak semenawan rupamu, keluargaku tidak
selengkap keluargamu, kata-kataku hanya bisa kusimpan dalam buku usang yang ku punya,
dan hartaku tidak sebanyak hartamu tapi aku tidak pernah menangis dan tidak pernah merasa
kekurangan. Tapi kenapa aku selalu merasa ada yang ganjal setiap menatap dirimu? Apakah
ada yang salah dengan diriku atau letak kekuranganku ada pada dirimu? Katakan Elsa agar aku
bisa tidur nyenyak malam ini.

Elsa, mengapa setiap hari kamu menangis?

Elsa, ingatkah kamu dulu saat Masa Orientasi Siswa? Saat Dewi Keberuntungan tidak
berpihak padaku, saat mereka menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan, saat mereka
mencibirku Elsa, aku merasa sangat putus asa saat itu, sampai kamu datang, kamu melangkah
dengan sangat anggun menuju kearahku, lalu memegang tanganku dan mengucapkan kalimat
dengan sangat lantang. Elsa, andai kau tahu, aku sangat berterimakasih padamu saat itu. Aku
ingin mengucapkannya tapi aku tidak bisa, betapa bodohnya aku. Elsa, apakah kamu
mengetahui tentang itu? Katakan sekarang Elsa agar aku bisa menutup mataku dengan
tenang.

Elsa, mengapa tidak pernah ada senyuman diwajahmu?

Elsa, aku pernah menulis sesuatu tentangmu lalu aku menyuruh Ibuku membacanya. Ibuku
tersenyum Elsa, Beliau tersenyum lebar. Ibuku menyukaimu Elsa, kata Ibuku kamu baik, dan
cantik dan aku iyakan itu. Kamu itu sempurna, tunggu. Apakah kamu manusia? Atau malaikat?
Katakan Elsa agar aku bisa bersyukur karena telah bertemu denganmu.
Elsa, mengapa kamu selalu memegang kepalamu?

Elsa, aku pernah melihatmu keluar dari kelas sambil memegang kepalamu. Kenapa Elsa?
Apakah sangat menyakitkan? Aku belikan kamu obat penghilang rasa sakit dan aku bahagia
kamu meminumnya. Elsa, lantas mengapa kamu masih memegang kepalamu? Apakah
obatnya tidak bereaksi? Lalu kamu menangis di tempat favoritmu, di belakang sekolah. Di sini
aku mulai sadar, kamu menangis bukan untuk mencari perhatian seseorang. Lalu mengapa
kamu menjadikan tempat itu sebagai tempat favoritmu dari semua tempat mewah yang ada
di kota metropolitan ini? Katakan Elsa agar aku dapat mengunjungi tempat itu sesering
mungkin.

Elsa, mengapa kamu memotong rambutmu?

Elsa, saat itu satu sekolah terkejut dengan penampilan barumu. Aku benar-benar tidak
suka itu, kamu memotong mahkotamu. Pujian datang silih berganti namun, tidak ada
senyuman sama sekali di wajahmu. Lalu aku melihatmu dijemput orang tuamu. Kemana kamu
akan pergi Elsa? Katakan Elsa agar aku mengikutimu.

Elsa, di mana kamu?

Elsa, sudah 1 bulan kamu menghilang. Aku sudah menulis cerita yang panjang untukmu.
Pulanglah Elsa, kumohon. Setiap hari, Aku pergi ke tempat favoritmu namun sayang hanya
kehampaan yang aku temui.

Elsa, SELAMAT ULANG TAHUN!

Elsa, hari ini hari spesialmu namun kau belum juga datang. Elsa, teman-temanmu
menunggumu, kenapa tidak kau temui mereka? Elsa, semua kata tidak mampu
mendeskripsikan kebahagiaanmu bukan? Hari ini ulang tahunmu pasti kau sangat bahagia.
Kamu jahat Elsa.

Kamu datang untuk pergi?

Untuk pertama kalinya aku tidak ingin menyebut namamu. Aku marah, kecewa, dan
sedih. Mengapa Elsa? Mengapa? Pada hari itu wajahmu putih bersih, sungguh mengagumkan.
Aku kumpulkan keberanian untuk menemuimu. Elsa, betapa berdebarnya hatiku ketika suara
lembutmu menyapaku. Aku sodorkan kertas merah muda itu untukmu, semuanya sudah ku
tulis pada kertas itu, isi hatiku yang tak bisa aku ungkapkan dengan suara. Kamu
menerimanya dengan senyuman tulus. Kamu pamit. Kamu mengatakan bahwa aku orang
hebat. Elsa, terimakasih.

Kabar dari Elsa?


Sudah 2 minggu sejak kepergian Elsa. Seluruh sekolah digemparkan dengan berita yang
sungguh membuat detak jantungku berhenti. Akhirnya aku tahu kenapa kamu selalu
menangis Elsa. Elsa telah pergi, pergi untuk selamanya. Elsa, selamat tinggal.

*******

“Halo, aku sudah membaca suratmu. Wahh, tulisanmu indah sekali ya. Terimakasih atas segalanya
Reza. Jangan tanya darimana aku tahu namamu, kamu cukup populer di kelasku loh hehe. Reza,
terimakasih ya. Kamu baik. Hmm tentang MOS waktu itu, iya sebenarnya aku tahu. Aku tidak sengaja
melihat cara komunikasi kamu dengan ibumu, maaf. Reza, tanpa suara pun kamu sudah menjadi nomor
satu. Kau tahu, sebenarnya aku iri padamu, memang sedikit tidak bersyukur tapi aku memang tidak suka
berbicara. Reza, kamu mengajarkanku cara bersyukur. Maaf jika balasannya agak terlambat karena aku
harus belajar menulis lagi karenamu. Memalukan. Jaga tempat favoritku ya. Awas! Oh ya, maaf jika
tulisanku jelek jujur saja seluruh anggota tubuhku sudah kaku. Ini rahasia hahahha becanda. Sampai
jumpa dikehidupan selanjutnya Reza. –ELSA.”
CERPEN 2
KAMU PEMBUNUH!

“Jika Zeno sudah besar nanti, hmm Zeno ingin menjadi apa?.” Ucap wanita paruh
baya itu seraya mengelus anaknya yang masih berumur 5 tahun. “Aku ingin menjadi
pembunuh!.” Wajahnya yang putih bersih menjadi pucat pasi, menatap anaknya dengan
keterkejutan yang tidak bisa dijelaskan.
******
“Majelis Hakim akan memasuki ruang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri.”

Seluruh hadirin berdiri menghormati sang hakim. Puluhan pasang mata menatap
gugup sang hakim yang keluar dari pintu khusus dengan begitu gagah. Keadaan didalam
ruangan begitu hiruk piruk, ada yang menangis, berteriak, tegang dan menatap penuh
kebencian kepada pemuda berumur 22 tahun yang duduk menuduk didepan hakim.
Sepasang mata menatap pemuda itu dengan air mata yang berlinang, tak peduli dengan
tatapan penuh kebencian dari orang yang, ia pedulikan hanya anaknya, anaknya yang
mungkin saja akan membuat hidupnya menderita mulai dari sekarang.
“Hadirin dimohon duduk kembali.”
“Sidang pengadilan Negeri Kota Bima memeriksa perkara pidana nomor
179/BAK/PJA/2018 atas nama terdakwa Zeno pada hari kamis tanggal 13 bulan
september dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.” Ketukan palu sebanyak 3 kali
menggema diseluruh ruangan.
Jaksa Penuntut Umum membacakan surat dakwaan yang begitu panjang seolah-olah
tidak ada akhirnya. Hening. Tidak ada satupun yang berani bersuara. Mereka
mendengarkannya dengan seksama seakan akan itu adalah surat dari tuhan. Tak ada
pembelaan, tak ada keberatan, semuanya berjalan seolah-olah sudah direncanakan. Di sisi
lain, seorang wanita paruh baya menangis tersedu-sedu melihat anaknya berjuang
sendirian. Dia ingin berteriak namun ia tidak memiliki hak untuk berteriak, ia ingin
mengadu namun ia tak tau kepada siapa ia harus mengadu, ini murni kesalahannya.
Seharusnya ia mendidik anaknya, seharusnya ia memberikan kasih sayang lebih kepada
anaknya, seharusnya ia menjadi rumah bagi anaknya untuk pulang, tapi sayang ia tak
mampu untuk itu.
Terngiang dengan jelas seorang anak berumur 5 tahun bercita-cita ingin menjadi
pembunuh, ia kira ucapan konyol itu benar-benar hanya ucapan biasa dan tidak memiliki
arti namun diluar dugaan, anak kecil berumur 5 tahun itu berhasil menggapai cita-citanya
yaitu menjadi PEMBUNUH BERDARAH DINGIN.
Hakim menarik napas panjang setelah jaksa selesai membaca seluruh tuntutannya,
raut wajahnya terlihat menanggung beban berat, hakim menatap terdakwa lalu mulai
membuka suara.
“Saudara Zeno terbukti melakukan tindakan pembunuhan kepada saudara bernama
Muhammad Reza, David, Jikri, Leo fajrin, Rian Ardianto, dan satu warna negara asing
bernama Neil John. Dengan ini, terdakwa terjerat pasal 340 dan 338 KHUP yaitu dengan
sengaja menghilangkan nyawa orang lain dan terbukti bersalah. Dengan ini, tanggal 13
sepetember kami hakim ketua, hakim anggota, kejaksaan memutuskan terdakawa
dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Tok..tok..tok..“ Teriakan menggema diseluruh
penjuru ruangan, mereka merasa tidak puas dengan dakwaan yang amat ringan. Mereka
melempari Zeno dengan amarah yang membuncah.

******
19 tahun kemudian……
Burung-burung terbang dengan riangnya menuju ke tempat paraduannya. Matahari
perlahan mulai terbenam dengan indahnya. Lelaki bertubuh tegap menatap kearah hutan
belantara seraya tersenyum miring. 1 tahun lagi, Zeno akan bebas. Tidak akan ada lagi
yang mengaturnya, tidak akan ada lagi sandiwara-sandiwara didepan para manusia, dan
ia benar-benar akan bebas.
Baginya penjara bukan apa-apa. Jika orang lain bertanya apakah Zeno akan berubah,
jawabannya adalah tidak, baginya penjara adalah tempat beristirahat, tempat untuk
mengatur segala rencana yang akan ia lakukan dimasa depan. Darah iblisnya telah
melekat didalam sanubari Zeno, tangan kotornya tidak akan pernah bersih dan hati
keruhnya tidak akan pernah menjadi jernih. Di penjara Zeno belajar untuk menjadi
manusia baik, ia benar-benar muak melihat wajah-wajah munafik dari iblis yang
berkedok manusia. Zeno merasa bahwa ia dan seluruh manusia di dunia ini sama, namun
hanya ia yang bernasib malang dan tertangkap, jika ia pikir-pikir masih banyak manusia
yang lebih kejam dibanding dirinya. Itulah mengapa 20 tahun di penjara tidak berefek
apapun pada jalan pikirannya. Hanya umurnya yang bertambah, jalan pikirannya tidak.

******
“Saudara Zeno akhirnya anda dibebaskan, tetap menjadi orang baik dan belajarlah
dari kesalahan.” Zeno tersenyum miring lalu berjalan keluar dari neraka ini.
Zeno menyusuri jalan, melihat bagaimana perubahan negeri ini setelah 20 tahun
lamanya ia terkrung.
“Bagus juga kerja pemerintah.” Ucap Zeno.
Perlu yang harus kalian tahu. Zeno lahir dari keluarga yang berada, ayah dan ibunya
memiliki harta yang berlimpah. Ia memiliki tingkat emosi yang tidak stabil. Sayangnya,
ayah Zeno meninggal pada saat umur Zeno baru saja meginjak 11 tahun, masih terekam
jelas diingatan Zeno ayahnya yang berlumuran darah tertembak oleh rekan bisnis
ayahnya. Zeno berhenti berjalan, didepannya ada genangan air yang besar, namun bukan
itu yang membuat ia berhenti melainkan pemandangan didepannya, Zeno melihat lelaki
bertubuh besar sedang menarik keluar dua perempuan untuk keluar dari mobil. Zeno pun
menghampirinya.
“Ada apa?’ tanya Zeno santai.
“Jangan ikut campur, jika masih ingin hidup.” Ucap lelaki itu.
Zeno membuang ludahnya tepat didepan lelaki itu, lelaki yang masih terlihat muda
itu tersulut emosi lalu memukul Zeno, Zeno tersungkur kebelakang. Zeno mengambil
kunci dari tangan lelaki itu lalu menusukkan kunci tepat dilehernya. Darah bercucuran,
kedua perempuan itu terkejut melihat kejadian yang baru saja terjadi. Perempuan
berambut hitam menarik tangan Zeno dengan kasar.
“Kamu bodoh? MUDAH SEKALI KAMU MEMBUNUH MANUSIA!!” wanita itu
berteriak tepat didepan wajah Zeno. Zeno mendorong perempuan itu dengan kasar lalu
berjalan tanpa menengok.
“KAMU TULI? AKU AKAN MENEMUKANMU!”
“Bella sudah, dia bisa saja membunuhmu.” Ucap perempuan disebelah Bela.
Zeno tersenyum mendengarkan teriakan gadis itu. Tiba-tiba senyum ia memudar,
teriakan itu mengingatkan Zeno kepada seseorang. Ibunya, sudah 20 tahun Zeno tidak
melihat wanita yang disebut Ibu. Zeno tertawa miris lalu berjalan menyusuri jalan
kehidupannya.
****
“Bagaimana? Kau sudah menerima orderan?” Ucap lelaki tua berpakaian serba
hitam.
“Orderan? Menjijikkan.” Zeno mengangkat kakinya keatas meja sambil memakan
buah apel.
“Bukannya kau pembunuh bayaran? Berapa yang kau inginkan? Berapa pun akan
kuberikan asalkan kau mau membunuh demi aku.” Lelaki itu berjalan mendekati Zeno.
“Bagaimana dengan nyawamu? Aku ingin dibayar dengan nyawa.” Zeno menatap
lelaki didepannya dengan tatapan menantang. Langkah lelaki itu tiba-tiba berhenti.
“OKAY. Mari buat perjanjian. Jika kamu berhasil membunuh, kamu bisa
mengambil nyawaku dengan percuma.” Lelaki tua itu mengeluarkan suara yang amat
lantang.
“Hhh. Siapa yang harus dibunuh?” Tanya Zeno.
“Anak dan istriku.”
“ANDA GILA?!” Zeno berteriak kencang.
“Kenapa? Bukannya kau pembunuh berdarah dingin? Kau bercita-cita menjadi
pembunuh, jadi kenapa kau merasa marah. Kau belum pernah membunuh perempuan?
Hahaha.” Lelaki tua itu tertawa dengan kencang.
“Kau masih belum bisa disebut pembunuh.” Lelaki tua itu menantang Zeno.
“Siapkan kepalamu besok.” Zeno berjalan keluar.
“Besok akan aku kirimkan skenarionya!” teriak lelaki tua itu sambil tersenyum
miring.
*****
“Jangan sampai telat. Jalan sudriman no.17 nomor rumah 15. Bunuhlah istri dan
anakku didepan mataku.” Zeno membanting handphonenya, ia sadar ada orang yang
lebih gila dibandingnya.
Zeno berjalan menyusuri gang demi gang, sebagian wajahnya ditutupi oleh jaket
hitam. Zeno melihat perempuan didepannya, perempuan itu tengah kesusahaan
melepaskan tali tasnya yang tersangkut digerbang. Zeno tersenyum lalu berjalan
mendekati perempuan itu. Zeno melepaskan tali yang tersangkut lalu berjalan lurus,
tangan Zeno ditarik dengan kasar.
“makasih… kau? Untuk apa kau menolongku? Aku tidak butuh pertolongan dari
pembunuh sepertimu.” Ucap Bela. Ya, perempuan itu adalah Bela.
“Itukah ucapanmu kepada orang yang telah menolongmu.” Ucap Zeno.
“Dengar, saya rela meninggalkan tas ini daripada ditolong oleh orang seperti anda.”
Bela berjalan lurus meninggalkan Zeno. Zeno tersenyum menatap Bela.
Akhirnya Zeno menemukan rumah yang dimaksud. Ia bersembunyi dibalik pohon
sambil mempersiapkan pistol yang akan digunakan dalam aksinya. Rumah itu bertingkat
dan mewah, disamping kanan dan kirinya lahan kosong yang menyeramkan. Zeno
menunggu saatnya dengan tenang.
****
Bela berjalan mondar mandir dikamarnya, ia benar-benar merasa kebingungan setelah
bertemu dengan Zeno.
“Kenapa ada manusia seperti dia?” ucap Bela sambil berjalan menuju balkon
kamarnya.
Bela kaget, ia melihat lelaki yang memakai jaket hitam sedang memegang pistol dan
menatap kearah rumahnya. Lelaki itu membidik objeknya, lantas Bela berlari turun
kebawah.
Zeno membidik tepat dikepala lelaki tua itu, sasarannya kali ini bukan istri dan
anaknya melainkan lelaki tua itu. Entah apa yang dipikirkan Zeno, ia benar-benar tidak
rela jika harus membunuh perempuan. Zeno menarik pelatuk lalu tembakan mengenai
sasaran. Zeno membulatkan matanya, ia telah sasaran. Ia menembak orang yang salah.
Zeno berlari masuk kedalam rumah. Darah bersimbah di lantai. Ia melihat perempuan
manis yang dilihatnya beberapa hari ini berbaring tak berdaya. Darah dimana-mana. Zeno
menjatuhkan pistolnya dan tertunduk lemas.
“Kamu pembunuh!” Ucap Bela lemas lalu menutup matanya dengan tenang.
“ZENO!!” Teriak wanita paruh baya itu dengan keras.
“Ibu?” Zeno kaget melihat ibunya berdiri tepat didepannya.
“Kenapa? Kenapa kamu membunuh semuanya?!! Kamu bukan manusia!” Wanita itu
menangis sedih melihat anaknya terkulai lemas. Lelaki tua itu tersenyum miring kearah
Zeno dan berkata. “Teganya kamu membunuh adikmu sendiri.” Ucap lelaki tua itu.
****
Hujan mengguyur bumi dengan sangat deras, seolah-olah bumi sedang bersedih. Hari
ini, hujan seakan akan tidak ingin berhenti membasahi bumi. Tidak ada burung-burung
yang terbang dengan indah menghiasi langit, dan tidak ada senja, semuanya gelap.
Manusia pun enggan untuk sekedar menengok keluar jendela. Mereka semua takut, takut
akan kemurkaan sang pemilik alam. Wajah Zeno menghiasi dunia pertelevisian. Hari ini
hari dimana ia akan mendapatkan apa yang harus didapatkannya. Hujan menjadi saksi
betapa kesendirian itu menyakitkan.
“Waktumu tinggal 30 menit, apa yang ingin anda makan sebelum eksekusi?” Tanya
polisi. Zeno terdiam, ia merasa seluruh anggota badannya terasa tidak berfungsi.
“Saudara Zeno, apa yang ingin anda makan?” ulang polisi itu. Polisi itu menarik napas
panjang lalu berkata.
“seandainya kamu bersikap seperti ini dari dulu, kamu tidak akan pernah kesepian.
Waktumu sudah habis, mari!” polisi itu menuntun Zeno menuju tempat eskekusi.
“Zeno. Ini ibu nak. Maafkan semua kesalahan ibu nak.“ Zeno berlari memeluk
ibunya erata. Zeno baru sadar bahwa pelukan ibunya sangat hangat sehangat mentari.
Seluruh emosi dan kesedihannya luruh seketika. Ia menangis ditengah hujan, menangis
sambil memeluk ibunya.
“Hidup bahagialah ibu. Jangan pernah mengingat saya.” Zeno melepaskan
pelukannya lalu tersenyum manis kearah ibunya.
Ada banyak fakta yang tidak Zeno ketahui, selama 20 tahun ia dipenjara ibunya telah
menikah lagi dengan musuh ayahnya sendiri dan memiliki anak yang bernama Bela. Bela
adalah perempuan termanis yang pernah ia temui, tidak disangka-sangka kalau Bela
adalah adiknya.
Zeno sadar bahwa nyawa adalah yang paling berharga didunia, percayalah nyawa
tidak dapat ditukar oleh apapun. Ia sadar bahwa dirinya tidak berhak menghilangkan
nyawa orang lain. Tapi itu semua sudah terjadi, segala penyesalan selalu datang
terlambat.
Peluru tertancap tepat didada Zeno, akhirnya ia merasakan bagaimana tuhan
menghukumnya.

“untuk semua nyawa yang telah saya hilangkan rasanya tidak cukup hanya dengan
kata maaf. Rasanya saya malu. Malu dengan tuhan yang saya ambil haknya. Malu
dengan manusia yang saya ambil haknya dan malu dengan diri saya sendiri karena
telah mengambil hak orang lain. Betapa sombong dan angkuhnya saya berprilaku
layaknya seorang yang berkuasa diatas segalanya. Rasanya saya terlalu kotor untuk
meminta maaf namun saya tetap mengucapkannya. Saya Zeno, dengan hati yang tulus
meminta maaf yang sebesar-besarnya. –ZENO”

Anda mungkin juga menyukai