Anda di halaman 1dari 3

Konflik dan Pergolakan yang berkait dengan Ideologi

Konflik dan pergolakan ideologi pernah terjadi di Indonesia setelah masa


kemerdekaan. Dalam beberapa konflik tersebut, ada yang berkaitan dengan ideologi
yang dipegang oleh kelompok tertentu.
Pergolakan ini kadangkala disebut juga sebagai pemberontakan terhadap
pemerintahan Indonesia. Hal tersebut terjadi karena kelompok yang melakukan
aksinya menginginkan Indonesia menjadi negara yang sejalan dengan
menggunakan ideologi yang dipercayai kelompok tersebut.

Lantas, konflik dan pergolakan apa saja yang pernah terjadi di Indonesia karena
ideologi tersebut?

Peristiwa PKI Madiun


PKI atau Partai Komunis Indonesia merupakan partai yang telah berdiri sejak zaman
pergerakan nasional. Pada 1926, PKI pernah melakukan aksi pemberontakan
terhadap pemerintah Hindia Belanda. Para pemimpin PKI ditangkap dan
dipenjarakan.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, PKI kembali hidup. Berdasarkan
catatan Abdurakhman dan kawan-kawan dalam Sejarah Indonesia (2015:9), PKI
masih beriringan dengan pemerintah Indonesia karena anggota kelompoknya terlibat
dalam pemerintahan.
Akan tetapi, mulai 1948, PKI mulai terlempar dari kedudukannya di pemerintahan
sehingga menjadi partai oposisi. Mereka menggabungkan diri dengan partai-partai
golongan kiri lainnya seperti Front Demokrasi Rakyat (FDR), Partai Sosialis
Indonesia (PSI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Pemuda Rakyat, dan Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Kelompok yang berafiliasi ini menginginkan Indonesia menjadi negara berideologi
komunis. Awal September 1948, Muso yang memimpin PKI membawa kelompok
tersebut melakukan pemberontakan di Madiun.
“Perebutan kekuasaan tersebut pada jam 07.00 pagi telah berhasil sepenuhnya
menguasai Madiun. Pada pagi itu pasukan komunis dengan tanda merah mondar-
mandir sepanjang jalan. Madiun dijadikan kubu pertahanan dan titik tolak untuk
menguasai seluruh wilayah RI,” ungkap Rachmat Susatyo melalui buku
Pemberontakan PKI-Musso di Madiun (2008).
Peristiwa pergolakan dengan senjata ini puncaknya terjadi pada 18 September
1948. Kala itu, Muso memproklamasikan lahirnya negara Republik Soviet Indonesia.
Peristiwa DI/TII
Gerakan ini dipelopori oleh Kartosuwiryo, seorang tokoh Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII). Perjanjian Renville dengan Belanda yang memaksa tentara RI di
daerah Jawa Barat pergi, membuat Kartosuwiryo memutuskan mendirikan negara
Islam.
Bersama pasukan bersenjata bernama Hizbullah dan Sabilillah, Kartosuwiryo
membangun TII (Tentara Islam Indonesia). Wilayah Jawa Barat yang tadinya
dilindungi sebagai bagian RI, ingin dijadikan olehnya sebagai negara Islam. Akhinrya
pada Agustus 1948, Kartosuwiryo mendeklarasikan pembentukan Darul Islam
(negara Islam) dengan tentaranya yang bernama TII.
Ketika tentara Republik Indonesia kembali ke Jawa Barat, DI/TII tidak menerimanya.
Dengan kata lain, Kartosuwiryo bersama kelompoknya tidak mengakui kedaulatan
Indonesia yang kala itu Jawa Barat juga menjadi wilayahnya.
Ketegasan pemerintah Indonesia terhadap peristiwa ini pun terwujud dengan operasi
“Pagar Betis”. Tentara Indonesia mengadakan penyisiran terhadap kelompok
Kartosuwiryo sehingga pergerakannya mulai terbatas. Bahkan, operasi ini berhasil
membawa Kartosuwiryo ke dalam genggaman Indonesia dengna ditangkap pada
1962.
Gerakan DI/TII ini tidak hanya terjadi di wilayah Jawa Barat, namun juga di beberapa
wilayah lain Indonesia. Daerah yang kala itu diklaim dimotori DI/TII meliputi Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh.

Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI)


Peristiwa ini masih menimbulkan perdebatan terkait siapa yang memotorinya. Sebab
ada banyak versi terkait peristiwa ini. Akan tetapi fakta yang terjadi kala itu PKI
tengah dalam pertentangan dengan Angkatan Darat (AD) dan golongan anti PKI
lain.
Situasi politik makin meruncing pada Juli 1965, Sukarno selaku presiden RI 'seumur
hidup' jatuh sakit. Kala itu, ia didiagnosa akan lumpuh atau bahkan bisa meninggal.
Isu ini memungkinkan bagi pihak berkepentingan untuk mengambilalih kekuasaan
jika Sukarno benar-benar wafat.
Melalui rapat Politbiro PKI yang berlangsung dari Agustus hingga terakhir 28
September 1965, PKI memutuskan untuk mengambil 'tindakan'.
Pada 30 September 1965, beberapa pasukan PKI yang dipimpin Letnan Kolonel
Untung, perwira yang memiliki hubungan baik dengan PKI, meluncurkan aksinya.
Mereka menculik beberapa jenderal dan perwira--yang disebut Dewan Jenderal--
dengan dalih untuk dihadapkan kepada Presiden Sukarno. Namun para jenderal
yang diculik itu sebagian dibunuh saat diculik maupun di markas gerakan di Lubang
Buata.
Jenazah mereka yang mati ditaruh di dalam sebuah sumur yang terletak di Lubang
Buaya, Jakarta. Di antara jenderal dan perwira yang meninggal kala itu adalah
Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal
Soeprapto, Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Brigadir
Jenderal Sutoyo, dan Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.
Selain itu, ada satu Jenderal yang lolos ketika hendak diculik saat itu, yakni Jenderal
Abdul Haris Nasution. Bukan hanya orang-orang yang telah disebutkan meninggal di
atas, namun di Yogyakarta Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono juga
merasakan nasib yang sama.
Dengan tidak adanya pucuk pimpinan AD setelah Jenderal Ahmad Yani diketahui
wafat, Mayor Jendral Soeharto akhirnya memutuskan untuk menggantikan
posisinya. Di bawah kepemimpinannya, operasi penumpasan G30S/PKI pun
diluncurkan mulai dari Jakarta hingga ke daerah lain.

Anda mungkin juga menyukai