Anda di halaman 1dari 159

GEOLOGI INDONESIA

EVI FITRIANA, M.Pd

BAHAN AJAR
S1 PENIDIKAN GEOGRAFI
FKIP UNIVERSITAS PGRI PALANGKA RAYA
23 Januari 2017
GEOLOGI PULAU SUMATERA
GAMBARAN UMUM PULAU SUMATERA

Pulau Sumatra, berdasarkan luas merupakan pulau terbesar keenam di


dunia. Pulau ini membujur dari barat laut ke arah tenggara dan melintasi
khatulistiwa, seolah membagi pulau Sumatra atas dua bagian, Sumatra belahan
bumi utara dan Sumatra belahan bumi selatan. Pegunungan Bukit Barisan dengan
beberapa puncaknya yang melebihi 3.000 m di atas permukaan laut, merupakan
barisan gunung berapi aktif, berjalan sepanjang sisi barat pulau dari ujung utara ke
arah selatan; sehingga membuat dataran di sisi barat pulau relatif sempit dengan
pantai yang terjal dan dalam ke arah Samudra Hindia dan dataran di sisi timur
pulau yang luas dan landai dengan pantai yang landai dan dangkal ke arah Selat
Malaka, Selat Bangka dan Laut China Selatan.
Di bagian utara pulau Sumatra berbatasan dengan Laut Andaman dan di
bagian selatan dengan Selat Sunda. Pulau Sumatra ditutupi oleh hutan tropik
primer dan hutan tropik sekunder yang lebat dengan tanah yang subur. Gunung
berapi yang tertinggi di Sumatra adalah Gunung Kerinci di Jambi, dan dengan
gunung berapi lainnya yang cukup terkenal yaitu Gunung Leuser di Nanggroe
Aceh Darussalam dan Gunung Dempo di perbatasan Sumatra Selatan dengan
Bengkulu. Pulau Sumatra merupakan kawasan episentrum gempa bumi karena
dilintasi oleh patahan kerak bumi disepanjang Bukit Barisan, yang disebut
Patahan Sumatra; dan patahan kerak bumi di dasar Samudra Hindia disepanjang
lepas pantai sisi barat Sumatra. Danau terbesar di Indonesia, Danau Toba terdapat
di pulau Sumatra.
1. PEMBENTUKAN PULAU SUMATERA
Pulau Sumatera pada dasarnya merupakan bagian dari benua Asia.namun
karena pada Kapur Awal bagian timur benua Gondwana pecah dan India
memisahkan diri dari Benua Antartika-Australia dengan pergerakan berarah
Baratlaut yang kemudian berarah Utara-Selatan pada Kapur tengah yang akirnya
menumbuk Benua Asia dan berdampak pada pergerakan beberapa bagian timur
asia yang bergerak kearah tenggara dan timur serta menjadi dasar tatanan tektonik
paparan sunda.

Gambar 1.1 Pergerakan bagian timur Asia


Di utara, pertemuan lempeng tersebut ditandai oleh daerah tumbukan antara
india dengan asia sepanjang pegunungan Himalaya. Kearah selatan gerak antara
bagian kerak samudra dari lempeng india – Australia dengan kerak benua dari
lempeng Eurasia ditentukan terbentuknya jalur subduksi spanjang 6500 km yang
membentang dari laut Andaman di selatan Burma ke palung nikobar dan ke
palung sunda di barat pulau Sumatra dan selatan Jawa.
Gambar 1.2 India menumbuk Benua Asia
Gambar diatas merupakan proses dimana ketika India menumbuk benua
Asia dengan arah relatif Utara-Selatan.adanya bagian benua Asia yang bergerak
kearah timur dan Tenggara merupakan dampak tumbukan tersebut.bagian benua
Asia yang bergerak kearah tenggara itulah yang menjadi cikal bakal Paparan
Sunda tempat pulau Sumatera berada.
Dasar itu pulalah yang menjadi landasan bahwa tektonik sumatera di anggap
sebagai produk interaksi konvergen antara lempeng india - australia dan asia, dan
pola serta ragam tektoniknya dipengaruhi oleh besarnya sudut interaksi serta
kecepatan dari pada konverggensi lempengnya. Gerak – gerak tersebut
menghasilkan bentuk gabungan subduksi dan sesar mendatar dextrral yang
mantap tetapi bervariasi. Geologi tersier dan kuarter sumatera yang kita ketahui
sekarang merupakan pencerminan dari gerak- gerak tersebut, meski ada beberapa
aspek yang masih belum diketahui.
2. POLA TEKTONIK PULAU SUMATERA
2.1 Sejarah Pembentukan Cekungan Sumatera
Cekungan Sumatera terbentuk pada kurun Eosen Tengah (45 Ma). Pada kurun
waktu tersebut terjadi proses syn rift yang menyebabkan terbentuknya Pulau
Sumatera. Proses syn rift tersebut terjadi akibat adanya pertumbukan antara
lempeng India Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun yang lalu
menyebabkan deformasi di benua Asia. Bagian tepi dari Asia Tenggara bergeser
ke Tenggara. Akibatnya terbentuk sesar-sesar berarah Barat Laut – Tenggara
(termasuk sesar semangko). Sesar-sesar mendatar yang terus bergeser
menyebabkan terbentuknya sesar-sesar normal yang menjadi cikal bakal
cekungan-cekungan yang ada di Pulau Sumatera.
Konfigurasi cekungan pada daerah Sumatra berhubungan langsung dengan
kehadiran dari subduksi yang menyebabkan non-volcanic fore-arc dan volcano-
plutonik back-arc. Sumatra dapat dibagi menjadi 5 bagian (Darman dan Sidi,
2000):
1. Sunda outer-arc ridge, berada sepanjang batas cekungan fore-arc Sunda
dan yang memisahkan dari lereng trench.
2. Cekungan Fore-arc Sunda, terbentang antara akresi non-vulkanik
punggungan outer-arcdengan bagian di bawah permukaan dan volkanik
back-arc Sumatra.
3. Cekungan Back-arc Sumatra, meliputi Cekungan Sumatra Utara, Tengah,
dan Selatan. Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda
pada bagian bawah Bukit Barisan.
4. Bukit Barisan, terjadi pada bagian axial dari pulaunya dan terbentuk
terutama pada Perm-Karbon hingga batuan Mesozoik.
5. Intra-arc Sumatra, dipisahkan oleh uplift berikutnya dan erosi dari daerah
pengendapan terdahulu sehingga memiliki litologi yang mirip pada fore-
arc dan back-arc basin.

Cekungan Depan - Busur
Rangkaian pulau-pulau yang berada di sebelah barat P.Sumatra, yang
dikenal sebagai busur “non-volkanik”, merupakan titik keseimbangan antara
pengangkatan yang diakibatkan oleh pergeseran (akrasi) jalur subdiksi, dan gejala
penurunan, yang sebagian besar disebabkan oleh pembebanan pada bagian
lempeng yang menyusup.
Sebelah timur dari P. Nias, atau pulau-pulau lainnya yang tergabung sebagai
“batas pemisah palung”, berada dalam keadaan mantap atau menurun. Jalur
menurun yang berada pada lereng sebelah timur “jalur pemisah” itu merupakan
bagian dari sistim “Palung-Busur” yang dinamakan Cekungan depan-busur.
Namun di busur SUNDA ini, KARIG cenderung untuk menganggap
me’lange sebagai dasar cekungan muka-busur. Sebagai alasan adalah : seandainya
benar, seperti yang dikemukakan terdahulu, bahwa gejala penyusupan itu
berlanjut sejak Kapur, maka bahan yang bergeser selama jaman Tersier bawah
seharusnya berada disisi P. Sumatra, meskipun mengalami pergeseran atau
penyesuaian melalui sesar mendatar

Gambar 2.1 Posisi Cekungan Sumatra

Stratigrafi Cekungan Depan-Busur


Cekungan depan-busur dengan pengendapan yang tebal merupakan bentuk
yang penting didalam sistim-palung-busur pada tepi benua yang mempunyai
tingkat sedimentasi yang cepat. Apabila dalam sistim ini terdapat suatu busur-luar
(“outer-arc-risge”), maka sedimen-sedimen yang berasal dari busur volkanik akan
tertahan dibelakang punggungan dan terkumpul dalam jumlah yang sangat tebal
didalam cekungan-depan-busur. Ukuran dari cekungan-depan-busur seperti itu
dapat mencapai lebar 50 - 100 KM, dan panjang hingga beberapa ratus Km,
dengan terputus-putus menjadi beberapa sub-sub-cekungan olehtinggian-tinggian
yang memotongnya.
Seluruh wilayah cekungan muka-busur ini diisi oleh urutan-urutan lapisan
yang hampir menerus berumur Miosen dan Pilosen.
Pemboran-pemboran yang dilakukan didekat kepulauan Banyak (bor
Palembak dan bor Ujung Batu) telah menembus lapisan-lapisan tebal endapan
turbidit yang ditutupi oleh batugamping terumbu Plistosen hingga Resen.


Cekungan belakang busur.
Stratigrafi
Cekungan - cekungan Tersier menempati bagi an sebel ah tim ur pulau Sum
atra . Seluruhn ya terdiri dari :

 Cekungan Sumat ra Utara,
Cekungan Sumat ra Tengah,

Cekungan Sumat ra Selat an

Cekungan - cekungan tersebut umumn ya dicirikan oleh endapan tersi ern


ya yang sangat tebal dan diendapkan dal am waktu yang rel atif singkat .


Cekungan Sumatra Utara
Mempunyai bentuk segitiga yang membuka ke utara, dibatasi oleh tinggian
ASAHAN disebelah tenggara dari Cekungan Sumatra tengah. Pengendapan Eosen
sampai Oligosen dibagian barat cekungan dicirikan oleh sedimen klastis kasar
(Fm. Meucampli) yang tidak mengalami deformasi,dan berubah secara berangsur
ke timur menjadi endapan karbonat paparan (Fm. Tampur). Tidak dijumpainya
endapan volkanik yang tersebar luas didalam Fm. Meucampil, mungkin
merupakan indikasi bahwa busur luar yang berada disebelah barat Sumatra utara,
sebagian besar adalah tidak bergunung-api, yang juga berarti bahwa tidak ada atau
hanya sedikit saja terjadi proses subduksi pada kala itu.

G a m b a r 2 . 2 Cekungan belakang - busur Sumatra Timur


Struktur batuan dasarnya dikontrol oleh sesar-sesar yang berarah Utara
Selatan, yang membaginya menjadi beberapa sub-cekungan dan tinggian

Gambar 2 . 3 . Stratigrafi Cekungan Sumatra Utara


Cekungan Sumatra Tengah
Dipisahkan oleh tinggian ASAHAN dari cekungan Sumatra Selatan
disebelah tenggara. Dasar dari cekungan ini diperkirakan terdiri dari kerak benua
yang tipis dan sangat terpatahkan (“fractured”)

Gambar 2 . 4 Pola struktur dan pengendapan Cekungan Sumatra Tengah

Batuan berumur Paleogen terdiri dari endapan darat (Fm. Pematang),


terutama terdiri dari lempung merah dan hijau dan serpih karbonan serta batupasir
berbutir sedang sampai halus. Setelah pengendapan ini disusul oleh pengangkatan,
perlipatan, pensesaran dan erosi dari Fm. Pematang dan daerah-daerah tinggian
lainnya. Fm. Menggala yang terletak tidak selaras diatas Fm. Pematang
menunjukkan diawalinya proses transgresi yang terus berlanjut hingga Miosen
Tengah, yakni saat terjadinya gejala tektonik. Batuan berumur Paleogen dan yang
lebih tua lagi, diendapkan dadalam bentuk-bentuk “graben” dan “setengah
graben” yang dibatasi oleh sesar-sesar yang sama yang mengontrol pengendapan
sebelumnya. Gejala penurunan yang disusul oleh transgresi umum ini berlanjut
sepanjang Miosen Awal dengan diendapkannya batuan klastik yang tergolong
dalam Kelompok Sihapas, yang mencakup seluruh cekungan. Kelompok ini
didominasi oleh batupasir dan konglomerat dibagian bawah (Fm. Menggala),
dengan sisipan-sisipan terbatas batugamping dan serpih.

Cekungan Sumatra Selatan


Cekungan Sumatra Selatan membentang mulai dari tinggian Asahan di
baratlaut sampai ke tinggian Lampung yang terletak di bagian paling Selatan
pulau.

Pengendapan dalam cekungan ini diawali dengan endapan darat pada jaman
Eosen. Oligosen awal dengan diwakili oleh pasir kasar, kerakal dan tufa.
Sedimen-sedimen tersebut diendapkan sebagai kipas-kipas aluvial, sungai bersirat
dan “pledmont” (endapan lereng-lereng), diatas batuan pra-Tersier.Satuan batuan
ini sekarang tersimpan dalam bentuk-bentuk “amblesan” atau “graben-graben”
sebagai Formasi Lahat
G a m b a r 2 . 5 Litologi Formasi Lapisan di Sumatra Sela tan

Baru setelah menjelang akhir awal oligosen, terjadi permulaan gejala


trasgresi dimana sedimen-sedimen lingkungan darat sampai delta diendapkan
sebagai Formasi Talang Akar, yang terutama terdiri dari pasir, lanau dan lempung
yang merupakan ciri khas daripada endapan paparan delta (“delta plain”) dan
berangsur beralih ke bagian muka delta yang berupa pasir dan lempung marin
serta lanau dibagian-bagian yang dalam.
Dengan berlanjutnya masa transgresi pada awal Miosen, laut sudah mulai
menutupi bagian-bagian yang tinggi daripada batuan dasar dengan disertai oleh
bertambah kurangnya suplai bahan berukuran pasir dan lempung, dan kemudian
diambil alih oleh paparan lamparan-lamparan karbonat dan terumbu. Satuan
batuan ini dikenal sebagai Formasi Baturaja. Karbonat terutama berkembang,
pada bagian-bagian yang rendah, tetap diendapkan lempung (Fm. Gumai)
2.2 Perkembangan Tektonik Pulau Sumatra
Peristiwa Tektonik yang berperan dalam perkembangan Pulau Sumatra
dan Cekungan Sumatra Selatan menurut Pulonggono dkk (1992) adalah:
 Fase kompresi yang berlangsung dari Jurasik awal sampai Kapur.
Tektonik ini menghasilkan sesar geser dekstral WNW – ESE seperti
Sesar Lematang, Kepayang, Saka, Pantai Selatan Lampung, Musi
Lineament dan N – S trend. Terjadi wrench movement dan intrusi granit
berumur Jurasik – Kapur.

Gambar 2.6 Fase Kompresi Jurasik Awal Sampai Kapur dan


Elipsoid Model (Pulonggono dkk, 1992).

 Fase tensional pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal yang menghasilkan
sesar normal dan sesar tumbuh berarah N – S dan WNW – ESE.
Sedimentasi mengisi cekungan atau terban di atas batuan dasar
bersamaan dengan kegiatan gunung api. Terjadi pengisian awal dari
cekungan yaitu Formasi Lahat.
Gambar 2.7 Fase Tensional Kapur Akhir Sampai Tersier Awal dan Elipsoid
Model (Pulonggono dkk, 1992).

 Fase ketiga yaitu adanya aktivitas tektonik Miosen atau Intra Miosen
menyebabkan pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti pengendapan
bahan-bahan klastika. Yaitu terendapkannya Formasi Talang Akar,
Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, dan Formasi
Muara Enim.
 Fase keempat berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen
menyebabkan sebagian Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim
telah menjadi tinggian tererosi, sedangkan pada daerah yang relatif turun
diendapkan Formasi Kasai. Selanjutnya, terjadi pengangkatan dan
perlipatan berarah barat laut di seluruh daerah cekungan yang mengakhiri
pengendapan Tersier di Cekungan Sumatra Selatan. Selain itu terjadi
aktivitas volkanisme pada cekungan belakang busur.
Gambar 2.8 Fase Kompresi Miosen Tengah Sampai Sekarang dan Elipsoid Model
(Pulonggono dkk, 1992).

2.3 Pola Tektonik Pulau Sumatera


Pola tektonik yang berkembang di Pulau Sumatera dipengaruhi oleh aktivitas
tektonisme yang bekerja yaitu subduksi. Ada 2 (dua) subduksi yang bekerja di
Pulau Sumatera yaitu utara dan selatan. Sejak zaman Permian, terjadi interaksi
konvergen dari arah selatan (lempeng India-Australia) dan dari arah utara ke
selatan (lempeng L. China selatan) membentuk jalur subduksi dan magmatik yang
berkelanjutan dari zaman Permian yang semakin muda ke arah selatan dan utara.
Ada 3 sistem tektonik yang terdapat di Pulau Sumatera yaitu sistem subduksi
Sumatera, sistem sesar Mentawai (Mentawai Fault System) dan sistem sesar
Sumatera (Sumatera Fault System).
 Sistem Subduksi Sumatera
Pada akhir Miosen, Pulau Sumatera mengalami rotasi searah jarum jam.
Pada zaman Pliopleistosen, arah struktur geologi berubah menjadi barat daya-
timur laut, di mana aktivitas tersebut terus berlanjut hingga kini. Hal ini
disebabkan oleh pembentukan letak samudera di Laut Andaman dan tumbukan
antara Lempeng Mikro Sunda dan Lempeng India-Australia terjadi pada sudut
yang kurang tajam. Terjadilah kompresi tektonik global dan lahirnya kompleks
subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera dan pengangkatan Pegunungan
Bukit Barisan pada zaman Pleistosen.
Pada akhir Miosen Tengah sampai Miosen Akhir, terjadi kompresi pada
Laut Andaman. Sebagai akibatnya, terbentuk tegasan yang berarah NNW-SSE
menghasilkan patahan berarah utara-selatan. Sejak Pliosen sampai kini, akibat
kompresi terbentuk tegasan yang berarah NNE-SSW yang menghasilkan sesar
berarah NE-SW, yang memotong sesar yang berarah utara-selatan.
Di Sumatera, penunjaman tersebut juga menghasilkan rangkaian busur
pulau depan (forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P.
Banyak, P. Nias, P. Batu, P. Siberut hingga P. Enggano), rangkaian pegunungan
Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di tengahnya, serta sesar aktif ’The Great
Sumatera Fault’ yang membelah Pulau Sumatera mulai dari Teluk Semangko
hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke Laut Andaman hingga
Burma. Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser sekitar sebelas
sentimeter per tahun dan merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Penunjaman yang terjadi di sebelah barat Sumatra tidak benar-benar tegak
lurus terhadap arah pergerakan Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia.
Lempeng Eurasia bergerak relatif ke arah tenggara, sedangkan Lempeng India-
Australia bergerak relatif ke arah timurlaut. Karena tidak tegak lurus inilah maka
Pulau Sumatra dirobek sesar mendatar (garis jingga) yang dikenal dengan nama
Sesar Semangko.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi
Pulau Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera
terangkat, sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat
mempunyai dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya,
terumbu karang lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian
timur yang turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang
bergerak naik), sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di
bagian timur, gambut dan bakau lebih berkembang dibandingkan terumbu karang.
 Sistem Sesar Sumatra
Di pulau Sumatera, pergerakan lempeng India dan Australia yang
mengakibatkan kedua lempeng tersebut bertabrakan dan menghasilkan
penunjaman menghasilkan rangkaian busur pulau depan (forearch islands) yang
non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P. Batu, P. Siberut hingga
P. Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di
tengahnya, serta sesar aktif ’The Great Sumatera Fault’ yang membelah Pulau
Sumatera mulai dari Teluk Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini
menerus sampai ke Laut Andaman hingga Burma. Patahan aktif Semangko ini
diperkirakan bergeser sekitar sebelas sentimeter per tahun dan merupakan daerah
rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya,
yaitu: Sesar Aneuk Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan
Sesar Blangkejeren. Khusus untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar
dihimpit oleh dua patahan aktif, yaitu Darul Imarah dan Darussalam. Patahan ini
terbentuk sebagai akibat dari adanya pengaruh tekanan tektonik secara global dan
lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera serta
pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan. Daerah-daerah yang berada di
sepanjang patahan tersebut merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan
tanah longsor, disebabkan oleh adanya aktivitas kegempaan dan kegunungapian
yang tinggi. Banda Aceh sendiri merupakan suatu dataran hasil amblesan sejak
Pliosen, hingga terbentuk sebuah graben. Dataran yang terbentuk tersusun oleh
batuan sedimen, yang berpengaruh besar jika terjadi gempa bumi di sekitarnya.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi
Pulau Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera
terangkat, sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat
mempunyai dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya,
terumbu karang lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian
timur yang turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang bergerak
naik), sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di bagian
timur, gambut dan bakau lebih berkembang dibandingkan terumbu karang.
Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa
pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta
tahun lalu, yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan
relatif lempeng-lempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar
lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak lempeng India-
Australia yang semula mempunyai kecepatan 86 milimeter / tahun menurun
secara drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan
tersebut.
Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30 milimeter/tahun
pada awal proses konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983 dalam
Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok
sampai sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja, 1994). Proses
tumbukan ini, menurut teori “indentasi” pada akhirnya mengakibatkan
terbentuknya banyak sistem sesar geser di bagian sebelah timur India, untuk
mengakomodasikan perpindahan massa secara tektonik (Tapponier dkk, 1982).
Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman,
punggungan busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat
proses yang terjadi. Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-
tension) Paleosoikum tektonik Sumatera menjadikan tatanan tektonik Sumatera
menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000). Bagian selatan terdiri dari
lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk,
geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan
bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman.
2.4 Manifestasi Tektonik Pulau Sumatera

Gambar 2.9 zona penunjaman di selatan Pulau Sumatera

Pulau Sumatera tersusun atas dua bagian utama, sebelah barat didominasi
oleh keberadaan lempeng samudera, sedang sebelah timur didominasi oleh
keberadaan lempeng benua. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik
ketebalan sekitar 20 kilometer, dan ketebalan lempeng benua sekitar 40 kilometer
(Hamilton, 1979). Sejarah tektoik Pulau Sumatra berhubungan erat dengan
dimulainya peristiwa pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia
Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun yang lalu, yang mengakibatkan rangkaian
perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-lempeng disertai dengan
perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang
terjadi padanya. Gerak lempeng India-Australia yang semula mempunyai
kecepatan 86 milimeter/tahun menurun menjaedi 40 milimeter/tahun karena
terjadi proses tumbukan tersebut. (Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja,
1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan sampai sekitar 76 milimeter/
tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini pada akhirnya
mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar sebelah timur India.
Keadaan Pulau Sumatra menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman,
punggungan busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat
proses yang terjadi. Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-
tension) Paleosoikum Tektonik Sumatra menjadikan tatanan Tektonik Sumatra
menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000). Bagian selatan terdiri dari
lempeng mikro Sumatra, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk
geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan
bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman.
a. Bagian Selatan Pulau Sumatra memberikan kenampakan pola tektonik:
1. Sesar Sumatra menunjukkan sebuah pola geser kanan en echelon dan
terletak pada 100-135 kilometer di atas penunjaman.
2. Lokasi gunung api umumnya sebelah timur-laut atau di dekat sesar.
3. Cekungan busur muka terbentuk sederhana, dengan ke dalaman 1-2
kilometer dan dihancurkan oleh sesar utama.
4. Punggungan busur muka relatif dekat, terdiri dari antiform tunggal
dan berbentuk sederhana.
5. Sesar Mentawai dan homoklin, yang dipisahkan oleh punggungan
busur muka dan cekungan busur muka relatif utuh.
6. Sudut kemiringan tunjaman relatif seragam.
b. Bagian Utara Pulau Sumatra memberikan kenampakan pola tektonik:
1. Sesar Sumatra berbentuk tidak beraturan, berada pada posisi 125-140
kilometer dari garis penunjaman.
2. Busur vulkanik berada di sebelah utara sesar Sumatra.
3. Kedalaman cekungan busur muka 1-2 kilometer.
4. Punggungan busur muka secara struktural dan kedalamannya sangat
beragam.
5. Homoklin di belahan selatan sepanjang beberapa kilometer sama
dengan struktur Mentawai yang berada di sebelah selatannya.
6. Sudut kemiringan penunjaman sangat tajam.
c. Bagian Tengah Pulau Sumatra memberikan kenampakan tektonik:
1. Sepanjang 350 kilometer potongan dari sesar Sumatra menunjukkan
posisi memotong arah penunjaman.
2. Busur vulkanik memotong dengan sesar Sumatra.
3. Topografi cekungan busur muka dangkal, sekitar 0.2-0.6 kilometer,
dan terbagi-bagi menjadi berapa blok oleh sesar turun miring
4. Busur luar terpecah-pecah.
5. Homoklin yang terletak antara punggungan busur muka dan
cekungan busur muka tercabik-cabik.
6. Sudut kemiringan penunjaman beragam.

Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng aktif dunia, yaitu:


lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik dimana kepulauan
di nusantara tersebut akan terus bergerak rata-rata 3-6 cm (bahkan 12cm) per
tahunnya, yang saling bertumbukan/berinteraksi.
Pulau sumatera sendiri berada pada zona wilayah tumbukan antara
lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Pegunungan Bukit Barisan adalah
jajaran pengunungan yang membentang dari ujung utara (di Nangroe Aceh
Darusalam) sampai ujung selatan (di Lampung) pulau Sumatra. Proses
pembentukan pegunungan ini berlangsung menurut skala tahun geologi yaitu
berkisar antara 45 – 450 juta tahun yang lalu. Teori pergerakan lempeng tektonik
menjelaskan bagaimana pegunungan ini terbentuk.
Lempeng tektonik merupakan bagian dari litosfer padat yang terapung di
atas mantel yang bergerak satu sama lainnya. Terdapat tiga kemungkinan
pergerakan satu lempeng tektonik relatif terhadap lempeng lainnya, yaitu apabila:
1] Kedua lempeng saling menjauhi (spreading)
2] Saling mendekati (collision)
3] Saling geser (transform).

Tumbukan lempeng tektonik antara indian-australian plate dengan


eurasian plate terus bergerak secara lambat laun. Saat kedua lempeng
bertumbukan, bagian dari indian-australian plate berupa kerak samudera yang
memiliki densitas yang lebih besar tersubduksi tenggelam jauh ke dalam mantel
dibandingkan dengan kerak benua pada eurasian plate. Zona gesekan akibat gaya
tekan dari tumbukan tersebut menjadi begitu panas sehingga akan mencairkan
batuan disekitarnya (peleburan parsial). Kemudian magma naik
lewat/menerobos/mendesak kerak dan berusaha keluar pada permukaan dari
lempeng di atasnya. Sehingga terbentuklah busur pegunungan bukit barisan di
bagian tepi eurasian plate, di pulau Sumatera, Indonesia . Salah satu
manifestasinya berupa puncak tertinggi pada gunungapi Kerinci, 3.805 mdpl, di
Jambi.

Gambar 2.10 Gunungapi Kerinci 3.805 mdpl


3. EVOLUSI TEKTONIK PULAU SUMATERA
Selama Zaman Karbon sampai Perm, terdapat subduksi di sebelah barat
Sumatera yang menghasilkan batuan vulkanik dan piroklastik dengan komposisi
berkisar antara dasit sampai andesit di daerah Dataran Tinggi Padang, Batang
Sangir dan Jambi (Klompe et all., 1961; dalam Hutchison, 1973). Batuan intrusif
yang bersifat granitik terbentuk di Semenanjung Malaysia, melewati Pulau
Penang, dan diperkirakan menerus ke Kepulauan Riau.

Gambar 3.1 Skema Paleo-tektonik Pulau Sumatra dan sekitarnya dari


Karbon Akhir sampai Perm Awal

Selama Zaman Perm, tidak ada perubahan penyebaran keterdapatan batuan


plutonik dan volkanik dari Karbon Akhir. Sistem busur-palung yang bekerja di
Sumatra masih tidak mengalami perubahan (Gambar 3.1 dan 3.2). Batuan
volkanik dan piroklasik berkomposisi andesitik sampai riolitik menyebar di
bagian barat dari Sumatera Tengah. Dari Trias Akhir sampai Jura Awal, subduksi
di Sumatra terus berlangsung dan menghasilkan kompleks ofiolit Aceh di bagian
utara dan kompleks ofiolit Gumai-Garba di selatan. Kedua ofiolit tersebut
menurut Bemmelen (1949; dalam Hutchison, 1973) berumur Trias. Pada Jura
Tengah sampai Kapur Tengah, terjadi pengangkatan di wilayah Semenanjung
Malaysia, menyebabkan perubahan lingkungan sedimentasi pada daerah tersebut
dari lingkungan laut menjadi lingkungan darat, ditandai dengan endapan tipe
molasse dan sedimentasi fluviatil. Volkanisme di kawasan Sumatra dan sekitarnya
kurang aktif pada selang waktu ini. Selama Jura dan Kapur, kawasan Sumatra dan
sekitarnya terkratonisasi, dan sistem pensesaran strike slip terbentuk (Tjia et. All,
1973; dalam Hutchison, 1973).

Gambar 3.2 Skema Paleo-tektonik Pulau Sumatra dan sekitarnya dari


Perm ke Trias Awal

Pada Kapur Akhir, zona subduksi bergerak ke arah barat Sumatra,


sepanjang pulau-pulau yang saat ini berada di barat Sumatra seperti Siberut.
Ofiolit dari subduksi ini sendiri oleh Bemmelen (1949; dalam Hutchison, 1973)
diperkirakan berumur Kapur Akhir sampai Tersier Awal. Di bagian utara Sumatra
terdapat Intrusi Granitik Tersier sedangkan di selatan terdapat Adesit Tua dan
Intrusi Granit Miosen Awal. Pola dari sistem palung busur di Sumatra pada saat
itu digambarkan pertama kali oleh Katilli (1971; dalam Hutchison, 1973) seperti
pada gambar 3.3. Subduksi yang berada di barat Sumatra menerus ke selatan Jawa
Barat, lalu berbelok ke timur laut menuju arah Pegunungan Meratus di
Kalimantan.
Gambar 3.3 Skema Paleo-tektonik Pulau Sumatra dan sekitarnya dari
Trias Akhir sampai Jura Awal
Gambar 3.4 Skema Paleo-tektonik Pulau Sumatra dan sekitarnya dari
Kapur Akhir sampai Tersier Awal
Dari Tersier sampai sekarang, subduksi terus mundur ke arah barat melewati
kepulauan yang terdapat di sebelah barat Sumatra dan menerus ke timur di selatan
melewati Pulau Jawa (Gambar 3.4). Busur gunung api di sepanjang zona subduksi
tersebut terdapat di Pegunungan Barisan di Sumatera dan menerus ke Pulau Jawa.
Volkanisme basalt hadir di Sukadana, Sumatra Selatan dan diperkirakan
berhubungan dengan pensesaran ekstensi dalam yang dihasilkan sebagai interaksi
dari lempeng-lempeng Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik.
Gambar 3.5 Skema Tektonik Pulau Sumatra dan sekitarnya saat ini
4. POLA STRATIGRAFI REGIONAL PULAU SUMATERA

Dari gambar diatas sebenanya kita sudah dapat merekontruksi pembentukan


Cekungan Sumatra secara singkat berawal dari tebentukanya batuan-batuan dasar
pada masa Pre-Tersier dimana tektonik yang berkembang gaya kompresi lalu
terjadinya fase tektonik berupa gaya tension yang menyebabkan adanya fase syn-
rift disini dimana dimulai fase pengisian material-material sedimen ke dalam
cekungan akibat dari gaya tension yang terjadinya sebelumnya. Peristiwa ini
terjadi pada kala Oligosen akhir-Miosen Awal. Dan diakhiri oleh adanya fase
post-Rift yang diendapkan selaras diatasnya oleh formasi gumai. Kemudian
terjadi kembali fase tektonik berupa gaya kompresi dimana fase terakhir dengan
terendapkannya formasi Air Benakat, formasi Muara Enim, Formasi Kasai dan
endapan alluvial diatasnya secara selaras.

1. Batuan Dasar, Batuan Pra-Tersier atau basement terdiri dari kompleks batuan
Paleozoikum dan batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku dan
batuan karbonat. Batuan Paleozoikum akhir dan batuan Mesozoikum
tersingkap dengan baik di Bukit Barisan, Pegunungan Tigapuluh dan
Pegunungan Duabelas berupa batuan karbonat berumur permian, Granit dan
Filit. Batuan dasar yang tersingkap di Pegunungan Tigapuluh terdiri dari filit
yang terlipat kuat berwarna kecoklatan berumur Permian (Simanjuntak, dkk.,
1991). Lebih ke arah Utara tersingkap Granit yang telah mengalami pelapukan
kuat. Warna pelapukan adalah merah dengan butir-butir kuarsa terlepas akibat
pelapukan tersebut. Kontak antara Granit dan filit tidak teramati karena selain
kontak tersebut tertutupi pelapukan yang kuat, daerah ini juga tertutup hutan
yang lebat.Menurut Simanjuntak, et.al (1991) umur Granit adalah Jura. Hal ini
berarti Granit mengintrusi batuan filit.
2. Formasi Lahat, Formasi Lahat diendapkan secara tidak selaras di atas batuan
dasar, merupakan lapisan dengan tebal 200 m - 3350 m yang terdiri dari
konglemerat, tufa, breksi vulkanik andesitik, endapan lahar, aliran lava dan
batupasir kuarsa. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenaipetroleum
system dari formasi lahat.
3. Formasi Talang Akar, Formasi Talang Akar pada Sub Cekungan Jambi
terdiri dari batulanau, batupasir dan sisipan batubara yang diendapkan pada
lingkungan laut dangkal hingga transisi. Menurut Pulunggono, 1976, Formasi
Talang Akar berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal dan diendapkan
secara selaras di atas Formasi Lahat. Bagian bawah formasi ini terdiri dari
batupasir kasar, serpih dan sisipan batubara. Sedangkan di bagian atasnya
berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan Formasi Talang
Akar berkisar antara 400 m – 850 m. Secara lebih rinci berikut adalah data
mengenai petroleum system dari formasi Talang Akar.
4. Formasi Baturaja, Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Fm. Talang
Akar dengan ketebalan antara 200 sampai 250 m. Litologi terdiri dari
batugamping, batugamping terumbu, batugamping pasiran, batugamping
serpihan, serpih gampingan dan napal kaya foraminifera, moluska dan koral.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral-neritik dan berumur Miosen
Awal. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system dari
formasi Batu Raja.
5. Formasi Gumai, Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas Formasi
Baturaja dimana formasi ini menandai terjadinya transgresi maksimum di
Cekungan Sumatera Selatan. Bagian bawah formasi ini terdiri dari serpih
gampingan dengan sisipan batugamping, napal dan batulanau. Sedangkan di
bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih.Ketebalan
formasi ini secara umum bervariasi antara 150 m - 2200 m dan diendapkan
pada lingkungan laut dalam. Formasi Gumai berumur Miosen Awal-Miosen
Tengah. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system dari
formasi Gumai.
6. Formasi Air Benakat, Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas
Formasi Gumai dan merupakan awal terjadinya fase regresi. Formasi ini terdiri
dari batulempung putih kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-
abu hitam kebiruan, glaukonitan setempat mengan dung lignit dan di bagian
atas mengandung tufaan sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera.
Ketebalan Formasi Air Benakat bervariasi antara 100-1300 m dan berumur
Miosen Tengah-Miosen Akhir. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut
dangkal. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai petroleum system dari
Air Benakat.
7. Formasi Muara Enim, Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase
regresi tersier. Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air
Benakat pada lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin.
Ketebalan formasi ini 500 – 1000m, terdiri dari batupasir, batulempung ,
batulanau dan batubara. Batupasir pada formasi ini dapat mengandung
glaukonit dan debris volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa
konkresi-konkresi dan silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada
formasi ini umumnya berupa lignit. Formasi Muara Enim berumur Miaosen
Akhir – Pliosen Awal. Secara lebih rinci berikut adalah data mengenai
petroleum system dari Air Benakat.
8. Formasi Kasai, Formasi Kasai diendapkan secara selaras di atas Formasi
Muara Enim dengan ketebalan 850 – 1200 m. Formasi ini terdiri dari batupasir
tufan dan tefra riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri dari tufpumice kaya
kuarsa, batupasir, konglomerat, tuf pasiran dengan lensa rudit mengandung
pumice dan tuf berwarna abu-abu kekuningan, banyak dijumpai sisa tumbuhan
dan lapisan tipis lignit serta kayu yang terkersikkan. Fasies pengendapannya
adalah fluvial dan alluvial fan. Formasi Kasai berumur Pliosen Akhir-Plistosen
Awal.
9. Sedimen Kuarter, Satuan ini merupakan Litologi termuda yang tidak
terpengaruh oleh orogenesa Plio-Plistosen. Golongan ini diendapkan secara
tidak selaras di atas formasi yang lebih tua yang teridi dari batupasir, fragmen-
fragmen konglemerat berukuran kerikil hingga bongkah, hadir batuan volkanik
andesitik-basaltik berwarna gelap. Satuan ini berumur resen.
5. PENGEMBANGAN POTENSI PULAU SUMATRA
5.1Pengembangan Potensi Daerah Pesisir (marine)
Potensi - potensi SDA di daerah pesisir yang dapat dimanfaatkan
antara lain:
1. Estuaria (daerah pantai pertemuan antara air laut dan air tawar)
berpotensi sebagai daerah penangkapan ikan (fishing grounds) yang
baik.
2. Hutan mangrove (ekosistem yang tingkat kesuburannya lebih tinggi
dari Estuaria ); untuk mendukung kelangsungan hidup biota laut.
3. Padang Lamun (tumbuhan berbunga yang beradaptasi pada
kehidupan di lingkungan bahari) ; sebagai habitat utama ikan duyung,
bulubabi, penyu hijau, ikan baronang, kakatua dan teripang.
4. Terumbu Karang (ekosistim yang tersusun dari beberapa jenis karang
batu tempat hidupnya beraneka ragam biota perairan).
5. Pantai Berpasir (tempat kehideupan moluska) ; memiliki nilai
pariwisata terutama pasir putih.

5.2. Pengembangan Potensi Hidrologi


Potensi - potensi yang dapat dikembangkan berkaitan dengan
kondisi hidrologi antara lain:
1. Sumatera memiliki banyak teluk, dapat dimanfaatkan sebagai tempat
pelabuhan.
2. Sungai yang banyak dan besar dapat dimanfaatkan sebagai alat
transportasi sungai, pembangkit listrik dan juga industri perikanan.
3. Banyaknya danau-danau besar dapat dimanfaatkan sebagai empat
rekreasi maupun pembangkit listrik.
5.3 Pengembangan Potensi Bentanglahan Vulkanis
Potensi - potensi bentanglahan vulkanis yang dapat dimanfaatkan antara
lain:
1. Adanya dereten Pegunungan Barisan berpotensi untuk lahan
pertanian dan kehutanan, serta mempunyai keanekaragaman vegetasi
yang banyak.
2. Vegetasi yang beranekaragam bermanfaat untuk peternakan.

5.4. Pengembangan Potensi Geologi


Dengan berbagai kondisi geologi yang ada di Pulau Sumatera
menyebabkan Pulau Sumatera meimiliki kandungan mineral yang banyak dan
beraneka ragam. Berdasarkan pembagian hasil tambang di Pulau Sumatra meliputi
batu bara, minyak, gas bumi, dan timah.
Propinsi Riau adalah penghasil minyak bumi terbesar di Pulau ini dengan
sumur minyak di Minas, Duri, Pedada, dan lirik (darat). Minyak bumi dihasilkan
oleh langsa (D.I Aceh), Pendopo Pribumulih (Sumatra Selatan), dan Jambi.
Penghasil gas alam adalah Arun (D.I Aceh) dengna tempat pengolahan di
Lhokseumawe. Penghasil Batu Bara adalah Ombilin dan sawahlunto (Sumatra
Barat) serta Bukit Asam, yang memiliki cadangan sekitar 10 miliar ton. Penghasil
Timah adalah Bangkinan Riau daratan.
Selain itu masih terdapat berbagai jenis bahan galian yang belum dikelola
secara maksimum, seperti kaolin (Sawahlunto, dan Batang kapas di Sumatra
Barat), Fosfat (Pasaran Bacang di utara Padang), Batu Gamping (Padang), tras
(Sumatra Barat dan Utara), serta emas (Rejangleboh, Bengkulu). Pulau-pulau di
sekitar Pulau Sumatra (Bangka, Belitung, Singkep, Karimun dan Kundur) juga
menghasilkan timah dan Bintan menghasilkan bauksit.
Berdasarkan potensi bahan galian tersebut, maka dapat di uraikan jenis
bahan galian, letak dan kesampaian daerah, serta kegunaannya adalah sebagai
berikut:
1. Marmer
Batuan Marmer dalam istilah geologi adalah batu gamping atau dolomite
yang mengalami metamorfosa kontak atau regional. Batuan Marmer di
daerah ini, berwarna abu-abu gelap-agak kemerahan putih, keras, kompak,
masif, sebagian terkekarkan kuat, terisi mineral kalsit, dan oksida besi,
struktur laminasi masih nampak, berbutir kasar-halus, umumnya tidak
menunjukkan suatu perlapisan. Batuan marmer di daerah ini membentuk
perbukitan terjal, sebagian berupaya perladangan dan hutan semak belukar.
Lokasi bahan galian marmer di Kecamatan Muara Sipongi, terdapat di Desa
Ranjo Batu, Desa Hutatoras, Kecamatan Kotanopan terdapat di Desa Huta
Pungkut dan dapat Kecamatan Panyabungan, terdapat di Desa Aek Banir dan
Sipagapaga. Kegunaan marmer terutama untuk bangunan seperti ubin lantai,
dinding, papan nama, dekorasi atau hiasan, monument, dan perabot rumah
tangga seperti meja dan kap lampu, serta bahan baku pembuatan pupuk.
2. Andesit
Bahan galian andesit, berupa lava andesit, berwarna abu-abu - gelap, kompak,
keras, masif, rekah rekah, sedikit berpori, tekstur porphyritic, dan disusun
oleh mineral utama plagioklas, hornblende, biotit dan piroksim, umumnya
membentuk perbukitan menyebar ke arah barat dan timur meliputi daerah
Panyabungan, Sipaga-paga dan Purba Lama, sebagian besar bersifat
bongkahan-bongkahan, Bahan galian andesit ini umumnya menempati daerah
pemukiman, perkebunan, dan perladangan serta aliran aliran sungai. Lokasi
dan Kesampaian Daerah Bahan galian andesit dijumpai di Kecamatan
Panyabungan, terdapat di daerah Aek Banir, Sipaga-paga, dan Purba Lama.
Daerah tersebut dapat dijangkau dengan kondisi jalan beraspal. Penyebaran
bongkahan bongkahan batuan andesit umumnya dapat diamati secara jelas
pada aliran aliran sungai di daerah tersebut. Kegunaan bahan galian andesit
ini terutama untuk bahan bangunan (agregat) dan batu hias (ornamental
stone).
3. Batu Gamping
Batu Gamping, berwarna abu-abu - keputihan, keras, kompak, struktur masif,
tekstur kristalin dengan ukuran butir kasar, sebagian terkekarkan kuat, terisi
mineral kalsit dan oksida besi, umumnya tidak menunjukkan suatu
perlapisan, ketebalan bervariasi dari 4-10 meter. Batugamping ini tersusun
oleh mineral kalsit (CaCo), terjadi secara organik, mekanik atau kimia. Batu
gamping ini pada umumnya membentuk perbukitan merupakan areal
perladangan dan semak belukar. Lokasi dan Kesampaian Daerah: Potensi
bahan galian batu gamping di Kecamatan Muara Sipongi, terdapat di Kp.
Hutalemba dan di Kecamatan Batang Natal, terdapat di desa Sopotinjak,
Bangkelang dan Muara Soma, pada umumnya dapat di jangkau dengan
kenderaan roda empat melalui jalan beraspal dengan kondisi jalan baik.
Penggunaan batu gamping tergantung pada sifat-sifat fisik dan kimianya.
Penggunaan sebagai bahan bangunan ditentukan oleh sifat fisiknya,
sedangkan sebagai bahan industri di tentukan oleh sifat kimianya. Batu
gamping banyak digunakan sebagai bahan baku semen, karbid, bahan
pemutih, penetral keasaman, pupuk industri, keramik, bahan bangunan, bahan
ornamen, pengembang dan pengisi dalam industri cat, kertas, karer, dan
plastik serta dalam industri farmasi, kosmetik, dan industri kimia lainnya.
Disamping itu, daerah yang mempunyai topografi karst dapat dikembangkan
menjadi objek wisata.
4. Granit
Batuan granit pada umumnya berwarna abu-abu-putih bintik hitam, berbutir
kasar, tekstur granitic, kompak, terkekarkan, bentuk kristal subhedral-
anhedral, komposisi antara lain kuarsa, biotit dan plagioklas. Pada umumnya
tubuh batuan granit di daerah ini telah mengalami tingkat pelapukan yang
cukup tinggi sehingga batuan 5- 10 meter. Untuk mengetahui ciri litologi dan
sifat fisik batuan ini beberapa bongkahan-bongkahannya yang terdapat di
sungai masih menunjukkan aslinya. Batuan granit ini termasuk dalam
Batholith. Lokasi dan Kesampaian Daerah: Bahan galian granit terdapat di
Kecamatan Muara Sipongi (Muara Sipongi), Kecamatan Kotanopan
(Kotanopan), dan Kecamatan Panyabungan (desa padangluru dan Tebing
Tinggi), pada umumnya dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat dan
selanjutnya berjalan kaki menuju lokasi bahan galian. Kegunaan Batuan
granit yang berbutir kasar dan menengah dapat digunakan sebagai bahan
bangunan, dermaga, pengeras jalan, dan bendungan. Batuan granit yang
berbutir halus dapat diasah dan dipoles untuk penghias lantai dan
rumah/gedung. Batuan granit yang berwarna pink, abu-abu bintik hitam,
dapat dipoles untuk dinding rumah/gedung, dekorasi, dan alat rumah tangga
seperti meja.
5. Kaolin
Kaolin adalah massa batuan yang tersusun dari material lempung dengan
kandungan besi rendah. Lokasi dan Kesampaian Daerah: Potensi bahan
galian kaolin terdapat di daerah Sibanggor Tonga, Kecamatan Kotanopan,
daerah tersebut dapat ditempuh dengan kenderaan roda empat melalui jalan
beraspal, terdapat ditepi jalan. Kegunaan: Bahan galian kaolin umumnya
digunakan dalam berbagai industri, baik sebagai bahan baku utama atau
sebagai bahan pembantu. Fungsinya bisa sebagai pengisi (filler), pelapis
(coater), bahan tahan api, atau penyekat (isolator). Penggunaan kaolin yang
utama adalah dalam industri kertas, keramik, cat, karet/ban, dan plastik.
Sedangkan penggunaan lainnya di antaranya untuk industri semen, pestisida,
pupuk, kosmetik, farmasi, pasta gigi, tekstil, dan lain-lainnya.
6. Batumulia
Batumulia adalah semua jenis mineral dan batuan yang mempunyai sifat fisik
dan kimia yang khas, serta digunakan untuk perhiasan dan bahan dekorasi
atau hiasan. Lokasi dan Kesampaian Daerah: Bahan galian batumulia terdapat
di daerah Muara Soma dan sekitarnya, Kecamatan Batang Natal, daerah ini
dapat ditempuh dari kota Panyabungan dengan kenderaan roda empat melalui
jalan beraspal sekitar 65 Km. Batu mulia umumnya dijumpai pada sungai-
sungai di sekitar daerah tersebut dengan berbagi ukuran dari kerikil sampai
kerakal. Kegunaan: Batumulia biasanya digunakan sebagai perhiasan oleh
manusia dan penambah keindahan ruangan. Dalam industri pengolahan
batumulia antara lain pembuatan cincin, giwang, liontin, gelang, asbak, vas
bunga, plakat, batu alam, dan lain-lain.
7. Phospat
Endapan posfat dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu endapan permukaan,
endapan gua dan endapan bawah permukaan.
8. Secara umum endapan posfat berasal dari tumpukan kotoran burung dan
kelelawar yang terlarut dan bereaksi dengan batugamping karena pengaruh
air hujan dan air tanah. Endapan posfat di daerah penyelidikan, terdapat
mudah digali. Endapan posfat pada daerah ini belum pernah diselidiki. Lokasi
dan Kesampaian Daerah: Potensi endapan posfat terdapat pada Gua Soma di
Desa Muara Soma, Kecamatan Batang Natal. Daerah tersebut dapat ditempuh
kendaraan roda empat dengan kondisi jalan beraspal, selanjutnya menuju
lokasi dengan berjalan kaki. Kegunaan: Kegunaan endapan posfat terutama
sebagai pupuk, baik pupuk buatan maupun pupuk alam, dalam industri
detergen, asam sulfat, dan industri kimia lainnya.
9. Pasir dan Batu
Pasir dan batu (sirtu) merupakan batuan hasil rombakan dari batuan asal yang
tidak terkonsolidasi. Sirtu ini pada umumnya ditemukan pada aliran sungai.
Potensi bahan galian sirtu di daerah ini tersebar dan sebagian telah
dimanfaatkan. Lokasi dan Kesampaian Daerah :Bahan galian sirtu (pasir dan
batu) pada umumnya terdapat pada aliran-aliran sungai besar antara lain di
Batang Angkola, Batang Natal, Batang Gadis, Aek Soma dan beberapa anak
sungainya dan sebagian telah diusahakan oleh penduduk setempat. Kegunaan:
Sirtu dapat digunakan dalam sektor konstruksi, seperti perumahan, pertokoan,
perkantoran, jembatan, dan jalan.
10. Serpentinit
Batuan serpentinit merupakan batuan metamorf, pada umumnya berwarna
kehijauan-gelap, berlaminasi, berbentuk lembaran, mudah terbelah melalui
bidang-bidang belahan, ketebalan antara 2 -8 meter. Batuan serpentinit
mempunyai komposisi utama serpentin yang paling dominan. Serpentin yang
menunjukkan kandungan unsur MgO tinggi dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk alternatif.Lokasi dan Kesampaian Daerah Potensi serpentin di daerah
Kecamatan Batang Natal, terdapat di Desa Muara Soma, dan sekitarnya.
Daerah tersebut dapat di tempuh kendaraan empat dengan kondisi jalan
beraspal, selanjutnya menuju lokasi dengan berjalan kaki.
DAFTAR PUSTAKA

https://smiatmiundip.wordpress.com/2012/05/17/perkembangan-tektonik-
pulau-sumatra/ (Diakses pada Kamis, 7 Mei 2015 pukul 08.35)
https://alexanderparera.blogspot.com/2011/07/tektonik-pulau-
sumatera_19.html?m=1
GEOLOGI PULAU JAWA
TATANAN GEOLOGI PULAU JAWA

Secara garis besar perkembangan tektonik Pulau Jawa tidak berbeda


banyak dengan perkembangan Pulau Sumatra. Hal ini disebabkan disamping
keduanya masih merupakan bagian dari batas tepi lempeng Mikro Sunda, juga
karena masih berada dalam sistim yang sama, yaitu interaksi konvergen antara
lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia demgam lempeng Mikro Sunda.
Perbedaan utama dalam pola interaksi ini terletak pada arah mendekatnya
lempeng India-Australia ke lempeng Sunda. Di Jawa, arah tersebut hadir hamper
tegaklurus. Beberapa gejala geologi yang agak berlainan dengan di Sumatra
adalah:
1. Produk gunung api muda mempunyai susunan yang lebih basa bila
dibandingkan dengan di Sumatra.
2. Gunung api berumur Tersier Akhir kebanyakan terletak atau bertengger di atas
endapan marin berumur Neogen, sedangkan di Sumatra terletak di atas batuan
Pra-Tersier
3. Batuan dasar di Pulau jawa terdiri dari komplek mélange berumur Kapur-
Tersier Awal
4. Di Pulau jawa tidak dijumpai adanya tanda-tanda unsure kerak benua

Unsur-unsur tektonik yang membentuk Pulau Jawa adalah:


1. Jalur subduksi Kapur-Paleosen yang memotong Jawa Barat, Jawa Tengah dan
terus ke timurlaut menuju Kalimantan Tenggara
2. Jalur magma kapur di bagian utara Pulau Jawa
3. Jalur magma Tersier yang meliputi sepanjang pulau terletak agak ke bagian
selatan
4. Jalur subduksi Tersier yang menempati punggungan bawah laut di selatan
pulau Jawa
5. Palung laut yang terletak di selatan pulau Jawa dan merupakan batas dimana
lempeng/ kerak samudra menyusup ke bawah pulau Jawa (jalur subduksi
sekarang).
A. FISIOGRAFI REGIONAL
Pulau Jawa secara fisiografi dan struktural, dibagi atas empat bagian
utama (Bemmelen, 1970) yaitu: – Sebelah barat Cirebon (Jawa Barat) – Jawa
Tengah (antara Cirebon dan Semarang) – Jawa Timur (antara Semarang dan
Surabaya) – Cabang sebelah timur Pulau Jawa, meliputi Selat Madura dan
Pulau Madura Jawa Tengah merupakan bagian yang sempit di antara bagian
yang lain dari Pulau Jawa, lebarnya pada arah utara-selatan sekitar 100 – 120
km. Daerah Jawa Tengah tersebut terbentuk oleh dua pegunungan yaitu
Pegunungan Serayu Utara yang berbatasan dengan jalur Pegunungan Bogor di
sebelah barat dan Pegunungan Kendeng di sebelah timur serta Pegunungan
Serayu Selatan yang merupakan terusan dari Depresi Bandung di Jawa Barat.
Pegunungan Serayu Utara memiliki luas 30-50 km, pada bagian barat
dibatasi oleh Gunung Slamet dan di bagian timur ditutupi oleh endapan
gunung api muda dari Gunung Rogojembangan, Gunung Prahu dan Gunung
Ungaran. Gunung Ungaran merupakan gunung api kuarter yang menjadi
bagian paling timur dari Pegunungan Serayu Utara. Daerah Gunung Ungaran
ini di sebelah utara berbatasan dengan dataran aluvial Jawa bagian utara, di
bagian selatan merupakan jalur gunung api Kuarter (Sindoro, Sumbing,
Telomoyo, Merbabu), sedangkan pada bagian timur berbatasan dengan
Pegunungan Kendeng (Gambar 1). Bagian utara Pulau Jawa ini merupakan
geosinklin yang memanjang dari barat ke timur (Bemmelen, 1970).

Sketsa fisiografi Pulau Jawa bagian tengah


(Bemmelen,1943 vide Bemmelen, 1970, dengan modifikasi)
B. TATANAN TEKTONIK
Perkembangan tektonik pulau Jawa dapat dipelajari dari pola-pola
struktur geologi dari waktu ke waktu. Struktur geologi yang ada di pulau Jawa
memiliki pola-pola yang teratur. Secara geologi pulau Jawa merupakan suatu
komplek sejarah penurunan basin, pensesaran, perlipatan dan vulkanisme di
bawah pengaruh stress regime yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Secara
umum, ada tiga arah pola umum struktur yaitu arah Timur Laut –Barat Daya
(NE-SW) yang disebut pola Meratus, arah Utara – Selatan (N-S) atau pola
Sunda dan arah Timur – Barat (E-W). Perubahan jalur penunjaman berumur
kapur yang berarah Timur Laut – Barat Daya (NE-SW) menjadi relatif Timur
– Barat (E-W) sejak kala Oligosen sampai sekarang telah menghasilkan
tatanan geologi Tersier di Pulau Jawa yang sangat rumit disamping
mengundang pertanyaan bagaimanakah mekanisme perubahan tersebut.
Kerumitan tersebut dapat terlihat pada unsur struktur Pulau Jawa dan daerah
sekitarnya.
Pola Meratus di bagian barat terekspresikan pada Sesar Cimandiri, di
bagian tengah terekspresikan dari pola penyebarab singkapan batuan pra-
Tersier di daerah Karang Sambung. Sedangkan di bagian timur ditunjukkan
oleh sesar pembatas Cekungan Pati, “Florence” timur, “Central Deep”.
Cekungan Tuban dan juga tercermin dari pola konfigurasi Tinggian Karimun
Jawa, Tinggian Bawean dan Tinggian Masalembo. Pola Meratus tampak lebih
dominan terekspresikan di bagian timur.
Pola Sunda berarah Utara-Selatan, di bagian barat tampak lebih
dominan sementara perkembangan ke arah timur tidak terekspresikan.
Ekspresi yang mencerminkan pola ini adalah pola sesar-sesar pembatas
Cekungan Asri, Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda pada
Umumnya berupa struktur regangan.
Pola Jawa di bagian barat pola ini diwakili oleh sesar-sesar naik seperti
sesar Beribis dan sear-sear dalam Cekungan Bogor. Di bagian tengah tampak
pola dari sesar-sesar yang terdapat pada zona Serayu Utara dan Serayu
Selatan. Di bagian Timur ditunjukkan oleh arah Sesar Pegunungan Kendeng
yang berupa sesar naik.
Dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola Meratus
merupakan pola yang paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini
berumur Kapur sampai Paleosen dan tersebar dalam jalur Tinggian Karimun
Jawa menerus melalui Karang Sambung hingga di daerah Cimandiri Jawa
Barat. Sesar ini teraktifkan kembali oleh aktivitas tektonik yang lebih muda.
Pola Sunda lebih muda dari pola Meratus. Data seismik menunjukkan Pola
Sunda telah mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola Meratus pada
Eosen Akhir hingga Oligosen Akhir.
Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan kembali
seluruh pola yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994). Data seismik
menunjukkan bahwa pola sesar naik dengan arah barat-timur masih aktif
hingga sekarang.
Fakta lain yang harus dipahami ialah bahwa akibat dari pola struktur
dan persebaran tersebut dihasilkan cekungan-cekungan dengan pola yang
tertentu pula. Penampang stratigrafi yang diberikan oleh Kusumadinata, 1975
dalam Pulunggono, 1994 menunjukkan bahwa ada dua kelompok cekungan
yaitu Cekungan Jawa Utara bagian barat dan Cekungan Jawa Utara bagian
timur yang terpisahkan oleh tinggian Karimun Jawa.
Kelompok cekungan Jawa Utara bagian barat mempunyai bentuk
geometri memanjang relatif utara-selatan dengan batas cekungan berupa sesar-
sesar dengan arah utara selatan dan timur-barat. Sedangkan cekungan yang
terdapat di kelompok cekungan Jawa Utara Bagian Timur umumnya
mempunyai geometri memanjang timur-barat dengan peran struktur yang
berarah timur-barat lebih dominan.
Pada Akhir Cretasius terbentuk zona penunjaman yang terbentuk di
daerah Karangsambung menerus hingga Pegunungan Meratus di Kalimantan.
Zona ini membentuk struktur kerangka struktur geologi yang berarah
timurlaut-baratdaya. Kemudian selama tersier pola ini bergeser sehingga zona
penunjaman ini berada di sebelah selatan Pulau Jawa. Pada pola ini struktur
yang terbentuk berarah timur-barat.
Tumbukkan antara lempeng Asia dengan lempeng Australia
menghasilkan gaya utama kompresi utara-selatan. Gaya ini membentuk pola
sesar geser (oblique wrench fault) dengan arah baratlaut-tenggara, yang
kurang lebih searah dengan pola pegunungan akhir Cretasisus.
Pada periode Pliosen-Pleistosen arah tegasan utama masih sama, utara-
selatan. Aktifitas tektonik periode ini menghasillkan pola struktur naik dan
lipatan dengan arah timur-barat yang dapat dikenali di Zona Kendeng.
Meskipun secara regional seluruh pulau Jawa mempunyai perkembangan
tektonik yang sama, tetapi karena pengaruh dari jejak-jejak tektonik yang
lebih tua yang mengontrol struktur batuan dasar, khususnya pada
perkembangan tektonik yang lebih muda, terdapat perbedaan antara Jawa
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Secara regional di pulau Jawa dapat dibedakan adanya 3 satuan tektonik,
yaitu:
a) Cekungan Jawa Utara, yang terdiri dari cekungan Jawa Baratlaut (NW
Java Basin) dan cekungan Jawa Timurlaut (NE Java Basin)
b) Daerah cekungan Bogor-Kendeng
c) Daerah cekungan Pegunungan Selatan

Gambar pola struktur Pulau Jawa


1) TATANAN TEKTONIK JAWA BARAT
Van Bammelen beranggapan bahwa secara fisiografis daerah Banten
sangat mendekati sifat-sifat pulau Sumatera, apabila dibandungkan dengan
bagian sebelah timurnya. Kecuali beberapa kemiripan bentuk-bentuk
morfologinya, juga adanya produk vulkanisme yang banyak tufa asam,
seperti halnya tufa lempung yang asam.
a. Pola Struktur
Berdasarkan data gayaberat,seismic, citra Landsat/foto udara
pengamatan di lapangan, di Jawa Barat ini dapat dibedakan menjadi 3,
yaitu:
Arah baratlaut-tenggara
Tmur-barat
Utara-selatan (dominan)
Namun berdasarkan citra Landsat dan sebaran episentrum gempa, ada
satu lagi yaitu arah timurlaut-baratdaya yang menonjol di sudut
baratdaya Pulau Jawa (Cimandiri/Sukabumi).
Pola baratlaut-tenggara hanya dapat direkam dengan gayaberat, yang
berarti letaknya dalam dan mungkin hingga batuan dasar. Pola sesar
ditafsirkan sebagai kelanjuttan tektonik tua Sumatra. Pola berarah
barat-timur umumnya berupa sesar naik ke arah utara dan melibatkan
sedimen Tersier. Sedangkan yang berarah utara-selatan di bagian Utara
Jawa , dari data seismic Nampak memotong batuan Tersier, ternyata
juga mengontrol bedrock. Memisahkan segmen Banten dari bogor dan
pegunungan selatan.

b. Satuan-satuan Tektonik
Batuan tertua tersingkap di Jawa Barat adalah batuan berumur
eosen awal di Ciletuh yang berupa olisostrom. Satuan ini berhubungan
secara tektonis dengan batuan ofiolit yang mengalami breksiasi dan
serpentinisasi pada jalur-jalur kontaknya. Batuan ofiolit tersebut
ditafsirkan merupakan bagian dari melange yang mendasari olisostrom
yang berumur eosen awal. Dengan demikian maka satuan tektonik
tertua di Jawa Barat adalah jalur subduksi Pra eosen.
Satuan tektonik lainnya adalah jalur magma tersier. Sepanjang
jalur pantai selatan pulau Jawa, terdapat kumpulan batuan vulkanik
yang dinamakan formasi Andesit tua “old andesite formation” yang
berumur oligosen-miosen awal. Di Jabar, bagian dari formasi ini
disebut formasi Jampang. Ciri-ciri batuannya merupakan endapan
aliran gravitasi seperti lava dan kadang-kadang memperlihatkan
struktur bantal.
Penelitia terhadap sebaran dan umur batuan vulkanik Tersier lainnya di
Jawa Barat, ternyata Jalur Magma Tersier jauh lebih luas lagi, yaitu
hamper meliputi seluruh bagian tenggara Jawa Barat. Dengan demikian
terdapat kemungkinan bahwa kegiatan vulkanik selama Tersier ini
bermula di Selatan Jawa (miosen awal) dan kemudian secara berangsur
bergeser ke utara.
Satuan tektonik lainnya adalah jalur magma atau vulkanik
kwarter , menempati bagian tengah Jawa Barat atau dapat juga
dikatakan berlawanan dengan Jalur Magmatik Tersier muda.

c. Mandala Sedimentasi
Didasarkan pada mayoritas cirri sedimen, Soedjono (1984)
membagi daerah Jabar menjadi 3 mandala sedimentasi, yaitu mandala
paparan kontinen yang terletak di utara, diikuti oleh Mandala
Cekungan Bogor di bagian tengah, dan ke arah barat terdapat mandala
Banten.
Mandala paparan kontinen bertepatan dengan zona stratigrafi
dataran pantai utaranya Van Bemmelem. Dicirikan oleh pola
pengendapan paparan, umumnya terdiri dari endapan gamping,
lempung dan pasir kwarsa serta lingkungan pengendapannya dangkal.
Kedalamannya mencapai lebih dari 5000m.Mandala Cekungan Bogor
meliputi beberapa zona fisiografi Van Bemmelem (1949), yakni Zona
Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan. Mandala
sedimentasi ini dicirikan oleh endapan “aliran gravitasi” yang sebagian
besar terdiri dari fragmen batuan beku dan sedimen, seperti andesit,tufa
dan gamping. Ketebalannya mencapai 7000m. Mandala sedimentasi
Banten mempunyai cirri-ciri yang serupa dengan Mandala Bogor dan
Paparan Kontinen.

2) TATANAN TEKTONIK JAWA TENGAH


Secara fisiografi, jawa tengah dibagi menjadi 4 bagian:
Dataran pantai selatan
Pegunungan serayu selatan
pegunungan serayu utara, dan
Dataran pantai utara
Salah satu batuan tertua di pulau jawa tersingkap di jawa tengah tepatnya
didaerah sungai LOH-ULO.
a. Pola struktur
Pola struktur di jawa tengah memperlihatkan adanya 3 arah utama
yaitu baratlaut-tenggara, timurlaut-barat daya, timur-barat.
Di daerah loh ulo dimana batuan pra-terser dan tersier tersingkap dapat
dibedakan menjadi 2 pola struktur utama yaitu arah timurlaut-
baratdaya, dan barat-timur.hubungan antar satubatuan dengan yang
lainnya mempunyai lingkungan dan ganesa pembentukan yang berbeda
yang terdapat didalam mélange.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa pola yang arah
timurlaut-baratdaya yang sangat dominan didaerah ini.
Data gaya berat dari untung dan sato 1979, sepanjang penampang
utara-selatan melalui bagian tengah jawa tengah dan dilengkapi dengan
data geologi permukaan memperlihatkan perbedaan yang sangat
mencolok pada urut-urutan lapisan miosen antara bagian utara dan
bagian selatan jawa tengah.
Bagian utara jawa tengah urut-urytan lapisan miosen sebagian besar
terdiri dari endapan laut dalam yang berupa kipas-kipas turbidit. Jenis
endapan tersebut menyebarsampai hamper dekat cilacap. Tetapi
keselatannya stratigrafinya berubah dan didominasi oleh endapan laut
dangkal dengan lingkungan yang tenang seperti batupasit dan
batugamping.
b. Satuan-satuan tektonik
Batuan tertua dijawa tengah tersingkap di dua tempat yaitu di loh-ulo
dan di Bayat (pegunungan jiwo, selatan kota klaten).batuan yang
berumur kapur itu bercampur aduk, terdiri dari ofiolit,sedimen laut
dalam, batuan malihan berderajat fasies sekis hijau yang tercampur
secara tektonik dalam masadasar serpih sampai batu sabak dengan
bongkah-bongkah batupasir greywackey yang termalihkan, masa
dasarnya memperlihatkan bidang-bidang belah gerus dengan arah
sama.
3) TATANAN TEKTONIK JAWA TIMUR
Indentasi Jawa Timur, seperti halnya indentasi Jawa Tengah,
dicirikan oleh hilangnya Pegunungan Selatan Jawa dan hadirnya depresi.
Depresi ini kini diduduki kota Lumajang (kita sebut saja Depresi
Lumajang) dan merupakan wilayah pengaliran sungai-sungai yang berasal
dari kedua dataran tinggi di sebelah barat dan timur depresi. Kehadiran
Pulau Nusa Barung tepat di tengah indentasi selatan ini sangat menarik,
posisinya sama dengan Tinggian Karangbolong pada sistem indentasi Jawa
Tengah, lebih-lebih lagi pulau ini pun disusun oleh batugamping Miosen
yang ekivalen dengan batugamping di Karangbolong.
Batuan pra-tersier tidak tersingkap di daerah Jawa Timur. Bagian
tengahnya ditempati oleh jalur volkanik kwarter. Satuan-satuan fisografi
yang dapat dibedakan terdiri dari (selatan ke utara)
a. Pegunungan Selatan
b. Jalur Depresi Tengah
c. Jalur Kendang
d. Depresi Randublatung
e. Zona Rembang yang dapat diteruskan ke pulau Madura
Pegunugnan Selatan di Jawa Timur berkembang sebagai fasies
volkanik dan karbonatan yang berumur Miosen. Di sebelah utara dari jalur
volkanik kwarter adalah jalur Kendeng yang terdiri dari endapan Tersier
yang agak tebal. Menurut Genevraye dan Samuel (1972), tebalnya lapisan
Tersier di sini mencapai beberapa ribu meter. Dekat kota Cepu daerah ini
terlipat dan tersesarkan dengan kuat. Di beberapa tempat lapisan-lapisan
itu bahkan terpotong-potong oleh sesar naik dengan sudut kemiringan yang
kecil.
Apakah indentasi Jawa Timur merupakan miniatur indentasi
Jawa Tengah? Sebagian ya, tetapi sebagian lagi tidak. Beberapa pola
indentasi Jawa Tengah dapat diterapkan di sini. Pegunungan Selatan di
wilayah ini tenggelam. Depresi Lumajang diapit dua sesar besar di sebelah
barat dan timurnya. Dua sesar besar ini telah memutuskan dan mengubah
kelurusan jalur gunungapi Kuarter di Jawa Timur.

Ini masih butuh penelitian lebih lanjut, tetapi beberapa pemikiran


dapat dikemukakan. Dua sistem sesar besar pembatas Depresi Lumajang
merupakan penyebab terjadinya indentasi dan depresi tersebut. Apakah
sistem sesar besar itu merupakan pasangan sesar besar sinistral (BD-TL)
dan dextral (BL-Tenggara) seperti halnya indentasi Jawa Tengah ? Ini akan
memuaskan untuk menjawab munculnya Pulau Nusa Barung di tengah
Pegunungan Selatan yang tenggelam, dan tenggelamnya Selat Madura di
sebelah utara indentasi Pasuruan-Situbondo. Tetapi, ini sulit untuk
menerangkan terjadinya kelurusan gunungapi Semeru-Bromo-Penanjakan
yang utara-selatan di Kompleks Semeru-Tengger di sebelah barat Depresi
Lumajang dan kelurusan utara-selatan gunungapi Argopuro-Kukusan di
Kompleks Iyang (Yang, Ijang) di sebelah timur Depresi Jawa Timur.

Keberadaan sesar besar utara-selatan sedikit melengkung


menghadap depresi Lumajang adalah penyebab indentasi dan depresi
Lumajang. Sesar besar ini dapat menjelaskan kelurusan gunungapi
Semeru-Bromo-Penanjakan. Puncak-puncak gunung ini tersebar utara-
selatan. Bila kita berdiri di puncak Penanjakan (2775 m) sebelah utara
Bromo (2329 m), maka melihat ke utara akan nampak laut Selat Madura,
melihat ke selatan akan nampak gunung Bromo dan Semeru. Kelurusan ini
membuat masyarakat Tengger menyucikan ketiga gunung yang
dianggapnya sebagai atap dunia itu. Sebenarnya, di bawah ketiga gunung
ini terdapat sesar besar yang juga konon bertanggung jawab telah
menenggelamkan Pegunungan Selatan Jawa di wilayah ini. Sesar besar ini
telah diterobos magma sejak Plistosen atas sampai Holosen menghasilkan
gunung-gunung di kawasan Kompleks Tengger. Semacam erupsi linier
dalam skala besar telah terjadi dari selatan ke utara di sepanjang sesar ini
berganti-ganti selama Plistosen sampai Kuarter. Dari selatan ke utara
ditemukan pusat2 erupsi sbb. : Semeru, Jembangan, Kepolo, Ayek-Ayek,
Kursi, Bromo, Batok, dan Penanjakan. Yang masih suka meletus sampai
kini adalah Semeru dan Bromo. Danau kawah Ranu Kembolo, Ranu Pani,
dan Ranu Regulo merupakan maar sisa erupsi gunung Ayek2 yang terletak
di antara Kaldera Tengger dan Semeru. Yang pernah mendaki Semeru
pasti pernah melalui pos-pos Ranu Pani dan Ranu Kembolo ini.
Di sebelah barat Depresi Lumajang, yaitu di Kompleks Iyang,
terdapat juga sesar besar utara-selatan walaupun tak sepanjang sesar besar
di bawah Tengger dan sedikit melengkung menghadap depresi Lumajang.
Gunung tua Iyang (Plistosen atas) terbelah mengikuti rekahan utara-
selatan. Rekahan ini juga menjadi pusat-pusat erupsi gunung di Kompleks
Iyang, yaitu: gunung Malang (2008 m), Kukusan (2200 m) dan
Cemorokandang (2223 m). Di tengah sesar rekahan ini kini gunungapi
Kuarter Argopuro (3088 m) berlokasi.
Tentang kejadian kaldera pasir Tengger, van Bemmelen (1937 :
The volcano-tectonic structure of the Residency of Malang, De Ingenieur
in Ned. Indie, 4,9,IV,p. 159-172) punya teori menarik. Kompleks Tengger
telah terobek mengikuti rekahan berbentuk sabit yang melengkung cekung
ke utara. Oleh retakan ini sayap utara kompleks Tengger tenggelam dan
runtuh ke utara. Runtuhnya atap dapur magma menyebabkan aliran lava
basaltik dalam jumlah besar yang menyebar seperti delta di kedua ujung
robekan. Peristiwa ini telah menelan bagian atas puncak Tengger, sehingga
membentuk kaldera Tengger yang diisi pasir volkanik. Runtuhnya Tengger
ini akibat berat materi volkaniknya sendiri yang membebani
batuandasarnya yang berupa sediment marin Tersier yang plastis. Bagian
utara kompleks Tengger runtuh dan lengser ke utara menuju depresi Selat
Madura yang sedang tenggelam. Kompresi ke utara akibat runtuhan ini
telah menekan bagian utara pantai Jawa Timur yang kini berupa perbukitan
di Grati dan Semongkrong di sekitar Pasuruan. Bukit2 ini anomali sebab
terjadi di sekitar pantai utara yang ditutupi sediment alluvial pantai.

Model volkano-tektonik runtuhan seperti ini juga dipakai van


Bemmelen untuk menerangkan kejadian bukit-bukit Gendol di dekat
Menoreh yang berasal dari runtuhan sayap Merapi ke sebelah baratdaya.
C. ANALISA TEKTONIK PULAU JAWA
Meskipun pulau Jawa dan Sumatra dalam tektonik regionalnya
mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagian bagian tepi daripada
lempeng Mikro Sunda yang berinteraksi secara konvergen dengan kerak
samudra dari lempeng Hindia-Australia, namun tatanan geologi dan
strukturnya menunjukkan sifat-sifat yang lebih komplek dibangind dengan
Sumatera. Tatanan yang komplek ini mungkin disebabkan karena dijumpai
jejak jalur subduksi Kapur Paleosen yang memotong “serong” pulau Jawa
dengan arah timurlaut baratdaya. Sedangkan pulau Jawa sendiri mempunyai
arah yang pararel ddengan jalur subduksi Tersier dan sekarang, yang dengan
sendirinya akan menanamkan jejak-jejak deformasinya yang lebih menonjol,
yaitu barat timur
Di Jawa, jalur-jalur subduksi yang dapat dikenali adalah
1) Jalur subduksi Akhir Kapur yang sekarang mempunyai arah hamper
baratdaya-timurlaut
2) Jalur tumbukan Tersier yang terletak di selatan Pulau Jawa, berimpit
dengan punggungan bawah laut dengan arah barat-timur
Dengan menerapkan konsep perkembangan tektonik yang sama seperti di
Sumatera, maka berdasarkan data pola struktur, tektonik dan sedimentasi,
perkembangan tektonik dari Pulau Jawa dapat digambarkan sebagai berikut:
1) Pada jaman Kapur Atas – Paleosen, interaksi konvergen antara lempeng
Hindia-Australia dengan lempeng Mikro Sunda, membentuk jalur subduksi
yang arahnya barat timur. Jalur tersebut adalah singkapan mélange yang
terdapat di Ciletuh, Luh-Ulo, Bayat, dan Meratus di Kalimantan Tenggara.
Busur magmanya terletak di utara atau skitar laut Jawa dan pantai Utara
Jawa sekarang
2) Di daerah-daerah yang terletak antara jalur subduksi dan busur magma
terdapat cekungan pengendapan “muka busur” dengan endapan-endapan
didominasi oleh volkaniklastik dan turbidit, sedangkan pada jalur subduksi
terdapat cekungan-cekungan terbatas “upper slope basin” dengan endapan
olistostrom (Formasi Ciletuh di Jawa Barat, Formasi Karangsambung dan
Totogan di Jawa Tengah). Jalur subduksi mungkin bergeser ke selatan
secara berangsur (akrasi) sampai menjelang Oligosen Akhir. Pada jaman
Eosen itu juga disertai oleh pengangkatan terhadap jalur subduksi,
sehingga di beberapa tempat tidak terjadi pengendapan. Pada saat itu
terjadi pemisahan yang penting antara bagian utara Jawa dengan
cekungannya yang dalam dari bagian selatan yang dicirikan oleh
lingkungan pengendapan darat, paparan dan dangkal. Proses pengangkatan
tersebut berlangsung hingga menjelang Oligosen Akhir. Proses yang
dampaknya cukup luas (ditandai oleh terbatasnya sebaran endapan marin
Eosen – Oligosen di Jawa dan wilayah paparan Sunda), dihubungkan pula
dengan berkurangnya kecepatan gerak lempeng Hindia-Australia (hanya 3
cm/tahun). Gerak tektonik pada saat itu didominasi oleh sesar-sesar
bongkah, dengan cekungan-cekungan terbatas yang diisi oleh endapan
aliran gayaberat (olistotrom dan turbidit)
3) Oligosen Akhir – Miosen Awal, terjadi gerak rotasi yang pertama sebesar
0
20 ke arah yang berlawanan dengan jarum jam dari lempeng Sunda
(Davies, 1984). Menurut Davies, wilayah-wilayah yang terletak di bagian
tenggara lempeng atau sekitar Pulau Jawa dan Laut Jawa bagian timur,
akan mengalami pergeseran-pergeseran lateral yang cukup besar sebagai
akibat gerak rotasi tersebut. Hal ini dikerenakan letaknya yang jauh dari
poros rotasi yang oleh Davies diperkirakan terletak di kepulauan
ANAMBAS.
Akibat gerak rotasi tersebut, gejala tektonik yang terjadi wilayah pulau
Jawa adalah:
a. Jalur subduksi Kapur-Paleosen yang mengarah barat-timur berubah
menjadi timur timurlaut-barat baratdaya (ENE – WSW)
b. Sesar-sesar geser vertical (dip slip faults) yang membatasi cekungan-
cekungan muka busur dan bagian atas lereng (Upper slope basin),
sifatnya berubah menjadi sesar-sesar geser mendatar. Perubahan gerak
daripada sesar tersebut akan memungkinkan terjadinya cekungan-
cekungan “pull apart” khususnya di Jawa Tengah utara dan Laut Jawa
bagian timur, termasuk Jawa Timur dan Madura.
Menjelang akhir Miosen Awal, gerak rotasi yang pertama daripada
lempeng Mikro Sunda mulai berhenti.
4) Miosen Tengah terjadi percepatan pada gerak lempeng Hindia-Australia
0
dengan 5-6 cm/th dan perubahan arah menjadi N20 E pada saat
menghampiri lempeng Mikro Sunda. Pada Akhir Miosen Tengah, terjadi
0
rotasi yang edua sebesar 20-25 , yang diacu oleh membukanya laut
Andaman (Davies, 1984)
5) Berdasarkan data kemagnitan purba, gerak lempeng Hindia-Australia
dalam menghampiri lempeng Sunda, mempunyai arah yang tetap sejak
0
Miosen Tengah yaitu dengan arah N20 E. Dengan arah yang demikian,
maka sudut interasi antara lempeng Hindia dengan Pulau Jawa akan
0
berkisar antara 70 (atau hampir tegak lurus)
Perubahan pola tektonik terjadi dijawa barat sebagai berikut :
a) Cekunagn muka busur eosin yang menampati cekunagn pengendapan
bogor, berubah statusnya menjadi cekunagn belakang busur, dengan
pengendapan turbidit (a.l. Fm. Saguling)
b) Sebagai penyerta daripada interksi lempeng konvergen, tegasan
kompresip yang mengembang menyebapkan terjadinya sesar-sesar
naik yang arahnya sejajar dengan jalur subduksi dicekunagn belakang
busur. Menurut SUJONO (1987), sesar- sesar tersebut mengontrol
sebaran endapan kipas-kipas laut dalam.
Dijawa tengah pengendapan kipas-kipas turbidit juga berlangsung didalam
cekungan “belakang busur” yang mengalami gerak-gerak penurunan
melalui sesar-sesar bongkah dan menyebapkan terjadinya sub cekungan.
Bentuk dari pada subcekungan dikontrol oleh sesar-sesar tua yang
memotong batuan dasar yang mengalami peremajaan, yaitu yang berarah
barat laut-tenggara (NW-SE) dan timur laut barat daya (NE-SW).
6) Data mengenal umur batuan volkanik tersier menunjukan adanya
kecenderungan bahwa kegiatan volkanisme berangsur bergeser keutara,
sehingga busur magma tersier atas berada disebelah utara dari jalur magma
oligosen.
Di Jawa tengah terdapat pusat kegiatan volkanisme atas dibagian tengah
pulau, yang seolah-olah memisahkan cekungan belakang busur menjadi 2
bagian, yakni Cekungan jawa tengah utara dan selatan.
Dengan bergesernya secara berangsur pusat kegiatan magma pada jaman
terser atas hingga sekarang kearah utara, maka sebagian besar dari
cekungan-cekungan yang menempati “Bogor-kendeng basinal area” dan
“Southern Mountain”. Akan mengalami perubahan status dari cekungan
belakang busur menjadi cekungan Intra-Arc atau Intra Masif. Cekungan-
cekungan belakang busur berkembang dijwa barat utara (NW.Java Basin),
jawa tengah utara (N.Central Java Basin), dan NE.Java Basin termasuk
Madura.
D. VOLKANISME
Posisi pulau Jawa dalam kerangka tektonik terletak pada batas aktif
(zona penunjaman) sementara berdasarkan konfigurasi penunjamannya
terletak pada jarak kedalaman 100 km di selatan hingga 400 km di utara zona
Benioff. Konfigurasi memberikan empat pola busur atau jalur magmatisme,
yang terbentuk sebagai formasi-formasibatuan beku dan volkanik. Empat jalur
magmatisme tersebut menurut Soeria Atmadja dkk., 1991 adalah :
a. Jalur volkanisme Eosen hingga Miosen Tengah, terwujud sebagai Zona
Pegunungan Selatan.
b. Jalur volkanisme Miosen Atas hingga Pliosen. Terletak di sebelah utara
jalur Pegnungan Selatan. Berupa intrusi lava dan batuan beku.
c. Jalur volkanisme Kuarter Busur Samudera yang terdiri dari sederetan
gunungapi aktif.
d. Jalur volkanisme Kuarter Busur Belakang, jalur ini ditempati oleh
sejumlah gunungapi yang berumur Kuarter yang terletak di belakang busur
volkanik aktif sekarang.

Magmatisme Pra Tersier


Batuan Pra-Tersier di pulau Jawa hanya tersingkap di Ciletuh, Karang
Sambung dan Bayat. Dari ketiga tempat tersebut, batuan yang dapat dijumpai
umumnya batuan beku dan batuan metamorf. Sementara itu, batuan yang
menunjukkan aktifitas magmatisme terdiri atas batuan asal kerak samudra
seperti, peridotite, gabbro, diabase, basalt toleit. Batuan-batuan ini sebagian
telah menjadi batuan metamorf.

Magmatisme Eosen
Data-data yang menunjukkan adanya aktifitas magmatisme pada Eosen ialah
adanya Formasi Jatibarang di bagian utara Jawa Barat, dike basaltik yang
memotong Formasi Karang Sambung di daerah Kebumen Utara, batuan
berumur Eosen di Bayat dan lava bantal basaltik di sungai Grindulu Pacitan.
Formasi Jatibarang merupakan batuan volkanik yang dapat dijumpai di setiap
sumur pemboran. Ketebalan Formasi Jatibarang kurang lebih 1200 meter.
Sementara di daerah Jawa Tengah dapat ditemui di Gunung Bujil yang berupa
dike basaltik yang memotong Formasi Karang Sambung, di Bayat dapat
ditemui di kompleks Perbukitan Jiwo berupa dike basaltik dan stok gabroik
yang memotong sekis kristalin dan Formasi Gamping-Wungkal.

Magmatisme Oligosen-Miosen Tengah


Pulau Jawa terentuk oleh rangkaian gunungapi yang berumur Oligosen-
Miosen Tengah dan Pliosen-Kuarter. Batuan penyusun terdiri atas batuan
volkanik berupa breksi piroklastik,breksi laharik, lava, batupasir volkanik tufa
yang terendapkan dalam lingkungan darat dan laut. Pembentukan deretan
gunungapi berkaitan erat dengan penunjaman lempeng samudra Hindia pada
akhir Paleogen. Menurut Van Bemmelen (1970) salah satu produk aktivitas
volkanik saat itu adalah Formasi Andesit Tua.

Magmatisme Miosen Atas-Pliosen


Posisi jalus magmatisme pada periode ini berada di sebelah utara jalur
magmatisme periode Oligosen-Miosen Tengah. Pada periode in aktivitas
magmatisme tidak terekspresikan dalam bentuk munculnya gunungapi, tetapi
berupa intrusi-intrusi seperti dike, sill dan volkanik neck. Batuannya
berkomposisi andesitik.

Magmatisme Kuarter
Pada periode aktifitas kuarter ini magmatisme muncul sebagai kerucut-kerucut
gunungapi. Ada dua jalur rangkaian gunungapi yaitu : jalur utama terletak di
tengah pulau Jawa atau pada jalur utama dan jalur belakang busur. Gunungapi
pada jalur utama ersusun oleh batuan volkanik tipe toleitik, kalk alkali dan
kalk alkali kaya potasium. Sedangkan batuan volkanik yan terletak di belakan
busur utama berkomposisi shoshonitik dan ultra potasik dengan kandungan
leusit.
Magmatisme Belakang Busur
Gunung Ungaran merupakan magmatisme belakang busur yang
terletak di Kota Ungaran, Jawa Tengah dengan ketinggian sekitar 2050 meter
di atas permukaan laut. Secara geologis, Gunung Ungaran terletak di atas
batuan yan tergabung dalam Formasi batuan tersier dalam Cekungan Serayu
Utara di bagian barat dan Cekungan Kendeng di bagian utara-timur. Gunung
Ungaran merupakan rangkaian paling utara dari deretan gunungapi (volcanic
lineament) Gunung Merapi-Gunung Merbabu-Gunung Ungaran. Beberapa
peneliti menyatakan bahwa fenomena itu berkaitan dengan adanya patahan
besar yan berarah utara-selatan.
Komposisi batuan yang terdapat di Gunung Ungaran cukup bervariasi,
terdiri dari basal yang mengandung olivin, andesit piroksen, andesit
hornblende dan dijumpai juga gabro. Pada perkembangannya, Gunung
Ungaran mengalami dua kali pertumbuhan, mulanya menghasilkan batuan
volkanik tipe basalt andesit pada kala Pleistosen Bawah. Perkembangan
selanjutnya pada Kala Pleistosen Tengah berubah menjadi cenderung bersifat
andesit untuk kemudian roboh. Pertumbuhan kedua mulai lagi pada Kala
Pleistosen Atas dan Holosen yang menghasilkan Gunung Ungaran kedua dan
ketiga. Saat ini Gunung Ungaran dalam kondisi dormant.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Januari 2009. Geologi Gunung Ungaran. Wordpress.


http://ptbudie.wordpress.com/
Asikin, Sukendar. Geologi Struktur Indonesia. Bandung. ITB Press
Rovicky. Juni 2006. Patahan-patahan yang Membelah Pulau Jawa.
http://rovicky.wordpress.com/
Satyana, Awang. 27 Desember 2007. Indentasi JawaTimur, Depresi Lumajang,
dan Kelurusan Semeru-Bromo-Penanjakan. IAGI. http://www.mail-
archive.com/iagi-net@iagi.or.id/msg20811.html
Simandjuntak. 2004. Tektonika. Bandung. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi bandung

Boleh ngopi asal cantumin dong, pembuat aslinya di Daftar Pustaka, OK!!
GEOLOGI PULAU
KALIMANTAN

A. Bentang Lahan Pulau Kalimantan

Kalimantan merupakan nama daerah Indonesia di Pulau Boeneo (wilayah Negara


Malaysia dan Burnei juga ada yang berada di pulau Borneo). Berdasarkan luas Kalimantan
merupakan pulau terbesar ketiga di dunia, setelah Irian dan Greenland. Bagian utara pulau
Kalimantan, Serawak, dan Sabah merupakan wilayah Malaysia yang berbatasan langsung
dengan Kalimantan Wilayah Indonesia dan wilayah Brunei Darussalam.

Di bagian selatan di batasi oleh laut Cina selatan dan Selat karimata. Bagian timur
dipisahkan dengan pulau Sulawesi dan Selat makasar. Di bagian tengah pulau merupakan
wilayah bergunung-gunung dan berbukit. Pegunungan di Kalimantan tidak aktif dan
ketinggiannya di bawah 2000 m di atas permukaan laut. Sedangkan wilayah daratan rendah
adalah pantai, berpaya-paya dan tertutup lapisan tanah gambut yang tebal.

Pulau Kalimantan di lalui garis katulistiwa sehingga membagi pulau ini menjadi dua
bagian yaitu Kalimantan belahan bumi utara dan Kalimantan belahan bumi selatan.
Kesuburan tanah di pulau Kalimantan kurang bila dibandingakan dengan kesuburan tanah di
Pulau Jawa dan pulau Sumatera. Pulau Kalimantan diliputi oleh hutan tropic yang lebat
(primer dan sekunder). Secara geologis pulau Kalimantan stabil, relatife aman dari gempa
baik vulkanik maupun tektonik, karena tidak dilintasi oleh patahan kerak bumi dan tidak
mempunyai rangkaian gunung api aktif seperti halnya pulau Sumatra, jawa dan Sulawesi.

Pulau Kalimantan terbagi menjadi 4 zone yang masing-masing mempunyai


karakteristik yang brbeda-beda.
1. Zone I : Kalimantan Selatan
Terdiri dari dataran alluvial, dataran banjir, tanggul alam dan back swamp.
Karakteristiknya pada waktu pasang, air sungai tertekan sehingga terjadi genangan.
Dataran yang semula berupa basin diendapi material endapan dari pegunungan di
sebelah utaranya. Kalimantan Selatan banyak terdapat lapisan gambut yang sangat
tebal sehingga daerahnya sulit dikembangkan, paling cocok hanya persawahan pasang
surut.
2. Zone II : Kalimantan Barat
Berupa pegunungan geantiklinal yang batuannya terdiri dari granit dan batuan
berumur Termocarbon. Menurut Van Bemmelen, batuan ini adalah batuan yang
berumur tua di Indonesia. Batuan ini meluas hingga kepulauan Andalas dan sebagian
dari zone ini pada jaman es mengalami genangan oleh air laut. Di lembah-lembah
sungai, zone ini sebagian besar terdiri dari hasil pelapukan granit yang berupa feldspar
dan kuarsa. Beberapa pulug cm di bawah permukaan, materialnya pasir kuarsa. Zone
ini disebut sebagi pegunungan massif karena terdapat di daerah tertutup ataupun
tertentu saja (local).
3. Zone III : Kalimantan Tengah
Merupakan geantiklinal yang dibeberapa tempat menunjukkan aktivitas vulkanis yang
tidak aktif lagi, misalnya : pegunungan Iran. Dahulu sungai Kapuas pada zone ini
terdapat endapan yang cukup tua dan disebut Formasi Danau.
4. Zone IV : Kalimantan Timur
Terdiri dari pegunungan antiklinal Sumamuda dan geantiklinal Meratus. Di depresi
Mahakam merupakan delta yang cukup cepat perkembangannya sebab material dan
daerahnya merupakan dangkalan terusan dari selat Sunda dimana basementnya stabil
dan muatan sedimen yang diendapkan di beberapa tempat, menyebabkan delta
berkembang dengan baik serta alirannya lambat.

B. Kondisi Tektonik di Pulau Kalimantan

Pulau Kalimantan berada dibagian tenggara dari lempeng Eurasia. Pada bagian utara
dibatasi oleh cekungan marginal Laut China Selatan, di bagian timur oleh selat Makassar dan
di bagian selatan oleh Laut Jawa.

Gambar 1.1: Kerangka Tektonik Pulau Kalimantan (Bachtiar, 2006)

Bagian utara Kalimantan didominasi oleh komplek akresi Crocker-Rajang-Embaluh


berumur Kapur dan Eosen-Miosen. Di bagian selatan komplek ini terbentuk Cekungan
Melawi-Ketungai dan Cekungan Kutai selama Eosen Akhir, dan dipisahkan oleh zona ofiolit-
melange Lupar-Lubok Antu dan Boyan.

Di bagian selatan pulau Kalimantan terdapat Schwanner Mountain berumur Kapur


Awal-Akhir berupa batolit granit dan granodiorit yang menerobos batuan metamorf regional
derajat rendah. Tinggian Meratus di bagian tenggara Kalimantan yang membatasi Cekungan
Barito dengan Cekungan Asem-asem. Tinggian Meratus merupakan sekuens ofiolit dan busur
volkanik Kapur Awal. Cekungan Barito dan Cekungan Kutai dibatasi oleh Adang flexure.
C. Sejarah Tektonik di Pulau Kalimantan

Pada pulau Kalimantan memiliki 4 fase perubahan tatan tektonik, yakni: Basement
pre-Eosen, Cekungan Eosen, Tektonisme Oligosen dan Tektonik Meosen.

1. Basement pre-Eosen

Bagian baratdaya Kalimantan tersusun atas kerak yang stabil (Kapur Awal) sebagai
bagian dari Lempeng Asia Tenggara meliputi baratdaya Kalimantan, Laut Jawa bagian barat,
Sumatra, dan semenanjung Malaysia. Wilayah ini dikenal sebagai Sundaland. Ofiolit dan
sediment dari busur kepulauan dan fasies laut dalam ditemukan di Pegunungan Meratus, yang
diperkirakan berasal dari subduksi Mesozoikum. Di wilayah antara Sarawak dan Kalimantan
terdapat sediment laut dalam berumur Kapur-Oligosen (Kelompok Rajang), ofiolit dan unit
lainnya yang menunjukkan adanya kompleks subduksi. Terdapat intrusive besar bersifat
granitik berumur Trias diantara Cekungan Mandai dan Cekungan Kutai atas, memiliki kontak
tektonik dengan formasi berumur Jura-Kapur.

Gambar 1.2: Skema rekrontuksi NW - SE Palang bagian ( A ) Kapur Akhir , dan


( B ) Eosen (Pertamina BPPKA, 1997, op cit., Bachtiar, 2006).

2. Permulaan Cekungan Eosen

Banyak penulis memperkirakan bahwa keberadaan zona subduksi ke arah tenggara di


bawah baratlaut Kalimantan (Gambar 2 dan 3) pada periode Kapur dan Tersier awal dapat
menjelaskan kehadiran ofiolit, mélanges, broken formations, dan struktur tektonik Kelompok
Rajang di Serawak (Gambar 4), Formasi Crocker di bagian barat Sabah, dan Kelompok
Embaluh. Batas sebelah timur Sundaland selama Eosen yaitu wilayah Sulawesi, yang
merupakan batas konvergensi pada Tersier dan kebanyakan sistem akresi terbentuk sejak
Eosen.
Gambar 1.3: Rekonstruksi tektonik Paleocene - Eosen Tengah SE Asia.
SCS = South China Sea, LS = Lupar Subduction, MS = Meratus Subduction,
WSUL = West Sulawesi, I-AU = India Australia Plate, PA = Pacific plate
(Pertamina BPKKA, 1997, op cit., Bachtiar, 2006)

Gambar 1.4: Rekonstruksi penampang Kalimantan Utara yang menunjukkan Lupar subduksi di Eosen.
(Hutchison, 1989, op cit., Bachtiar 2006))

Mulainya collision antara India dan Asia pada Eosen tengah (50 Ma) dan
mempengaruhi perkembangan dan penyesuaian lempeng Asia. Adanya subsidence pada
Eosen dan sedimentasi di Kalimantan dan wilayah sekitarnya merupakan fenomena regional
dan kemungkinan dihasilkan dari penyesuaian lempeng, sebagai akibat pembukaan bagian
back-arc Laut Celebes.
3. Tektonisme Oligosen

Tektonisme pada pertengahan Oligosen di sebagian Asia tenggara, termasuk


Kalimantan dan bagian utara lempeng benua Australia, diperkirakan sebagai readjusement
dari lempeng pada Oligosen. Di pulau New Guinea, pertengahan Oligosen ditandai oleh
ketidakselarasan) yang dihubungkan dengan collision bagian utara lempeng Australia (New
Guinea) dengan sejumlah komplek busur. New Guinea di ubah dari batas konvergen pasif
menjadi oblique. Sistem sesar strike-slip berarah barat-timur yang menyebabkan perpindahan
fragmen benua Australia (Banggai Sula) ke bagian timur Indonesia berpegaruh pada kondisi
lempeng pada pertengahan Oligosen.

Gambar 1.5: Rekonstruksi tektonik Akhir Oligosen – Awal Miosen SE Asia .


SCS = South China Sea, LS = Lupar Subduction, MS = Mersing Subduction, WSUL = West Sulawesi,
E SUL = East Sulawesi I-AU = India Australia plate, PA = Pacific plate, INC = Indocina, RRF = Red River
Fault,
IND = India; AU = Australia, NG = New Guinea, NP = North Palawan, RB = Reed Bank, H = Hainan,
SU = Sumba (Pertamina BPKKA, 1997, op cit., Bachtiar 2006)

Ketidakselarasan pada pertengahan Oligosen hadir di Laut China selatan (SCS) dan
wilayah sekitarnya. Ketidakselarasan ini dihubungkan dengan pemekaran lantai samudera di
SCS. Subduksi pada baratlaut Kalimantan terhenti secara progresif dari baratdaya sampai
timurlaut. Di bagian baratdaya, berhenti pada pertengahan Oligosen; di bagian timurlaut,
berhenti pada akhir Miosen awal.
Gambar 1.6: NW – SE cross section schematic reconstruction (A) Oligocene – Middle Miocene, and
(B) Middle Miocene - Recent (Pertamina BPPKA, 1997, op cit., Bachtiar, 2006).

Gambar 1.7: Middle Miocene – Recent SE Asia tectonic reconstruction


(Pertamina BPKKA, 1997, op cit., Bachtiar, 2006)

4. Tektonisme Miosen

Di wilayah sekitar SCS pada Miosen awal-tengah terjadi perubahan yang Sangat
penting. Pemekaran lantai samudera di SCS berhenti, sebagai subduksi di Sabah dan
Palawan; mulai terjadinya pembukaan Laut Sulu. Membukanya cekungan marginal Laut
Andaman terjadi pada sebagian awal Miosen tengah.
Gambar 1.8: Elemen Tektonik Pulau Kalimantan pada Miosen tengah. Nuay, 1985, op cit., Oh, 1987.)

D. Tatanan Stratifigasi Pulau Kalimantan

Dalam pembahasan stratigrafi, akan dibahas hubungan tektonik dan pengendapan


cekungan dari 2 (dua) cekungan yaitu Cekungan Barito dan Cekungan Kutai.

1. Cekungan Barito

Secara tektonik Cekungan Barito terletak pada batas bagian tenggara dari Schwanner
Shield, Kalimantan Selatan. Cekungan ini dibatasi oleh Tinggian Meratus pada bagian Timur
dan pada bagian Utara terpisah dengan Cekungan Kutai oleh pelenturan berupa Sesar Adang,
ke Selatan masih membuka ke Laut Jawa, dan ke Barat dibatasi oleh Paparan Sunda.

Cekungan Barito merupakan cekungan asimetrik, memiliki cekungan depan


(foredeep) pada bagian paling Timur dan berupa platform pada bagian Barat. Cekungan
Barito mulai terbentuk pada Kapur Akhir, setelah tumbukan (collision) antara Microcontinent
Paternoster dan Baratdaya Kalimantan.

Pada Tersier Awal terjadi deformasi ekstensional sebagai dampak dari tektonik
konvergen, dan menghasilkan pola rifting Baratlaut – Tenggara. Rifting ini kemudian
menjadi tempat pengendapan sedimen lacustrine dan kipas aluvial (alluvial fan) dari Formasi
Tanjung bagian bawah yang berasal dari wilayah horst dan mengisi bagian graben, kemudian
diikuti oleh pengendapan Formasi Tanjung bagian atas dalam hubungan transgresi.

Pada Awal Oligosen terjadi proses pengangkatan yang diikuti oleh pengendapan
Formasi Berai bagian Bawah yang menutupi Formasi Tanjung bagian atas secara selaras
dalam hubungan regresi. Pada Miosen Awal dikuti oleh pengendapan satuan batugamping
masif Formasi Berai.
Selama Miosen tengah terjadi proses pengangkatan kompleks Meratus yang
mengakibatkan terjadinya siklus regresi bersamaan dengan diendapkannya Formasi Warukin
bagian bawah, dan pada beberapa tempat menunjukkan adanya gejala ketidakselarasan lokal
(hiatus) antara Formasi Warukin bagian atas dan Formasi Warukin bagian bawah.

Pengangkatan ini berlanjut hingga Akhir Miosen Tengah yang pada akhirnya
mengakibatkan terjadinya ketidakselarasan regional antara Formasi Warukin atas dengan
Formasi Dahor yang berumur Miosen Atas – pliosen.

Tektonik terakhir terjadi pada kala Plio-Pliestosen, seluruh wilayah terangkat, terlipat,
dan terpatahkan. Sumbu struktur sejajar dengan Tinggian Meratus. Sesar-sesar naik terbentuk
dengan kemiringan ke arah Timur, mematahkan batuan-batuan tersier, terutama daerah-
daerah Tinggian Meratus.

Secara urutan stratigrafi Cekungan Barito dari tua ke muda adalah :

a. Formasi Tanjung (Eosen – Oligosen Awal) Formasi ini disusun oleh batupasir,
konglomerat, batulempung, batubara, dan basalt. Formasi ini diendapkan pada lingkungan
litoral neritik.
b. Formasi Berai (Oligosen Akhir – Miosen Awal) Formasi Berai disusun oleh batugamping
berselingan dengan batulempung / serpih di bagian bawah, di bagian tengah terdiri dari
batugamping masif dan pada bagian atas kembali berulang menjadi perselingan
batugamping, serpih, dan batupasir. Formasi ini diendapkan dalam lingkungan lagoon-
neritik tengah dan menutupi secara selaras Formasi Tanjung yang terletak di bagian
bawahnya. Kedua Formasi Berai, dan Tanjung memiliki ketebalan 1100 m pada dekat
Tanjung.
c. Formasi Warukin (Miosen Bawah – Miosen Tengah) Formasi Warukin diendapkan di atas
Formasi Berai dan ditutupi secara tidak selaras oleh Formasi Dahor. Sebagian besar sudah
tersingkap, terutama sepanjang bagian barat Tinggian Meratus, malahan di daerah Tanjung
dan Kambitin telah tererosi. Hanya di sebelah selatan Tanjung yang masih dibawah
permukaan. Formasi ini terbagi atas 2 anggota, yaitu Warukin bagian bawah (anggota
klastik), dan Warukin bagian atas (anggota batubara). Kedua anggota tersebut dibedakan
berdasarkan susunan litologinya.

1. Warukin bagian bawah (anggota klastik) berupa perselingan antara napal atau
lempung gampingan dengan sisipan tipis batupasir, dan batugamping tipis di
bagian bawah, sedangkan dibagian atas merupakan selang-seling batupasir,
lempung, dan batubara. Batubaranya mempunyai ketebalan tidak lebih dari 5 m.,
sedangkan batupasir bias mencapai ketebalan lebih dari 30 m.
2. Warukin bagian atas (anggota batubara) dengan ketebalan maksimum ± 500 meter,
berupa perselingan batupasir, dan batulempung dengan sisipan batubara. Tebal
lapisan batubara mencapai lebih dari 40 m., sedangkan batupasir tidak begitu tebal,
biasanya mengandung air tawar. Formasi Warukin diendapkan pada lingkungan
neritik dalam (innerneritik) – deltaik dan menunjukkan fasa regresi.

d. Formasi Dahor (Miosen Atas – Pliosen) Formasi ini terdiri atas perselingan antara
batupasir, batubara, konglomerat, dan serpih yang diendapkan dalam lingkungan litoral –
supra litoral.
2. Cekungan Kutai

Secara teknik cekungan Kutai di sebelah utara berbatasan dengan Bengalon dan Zona
Sesar Sangkulirang, di selatan berbatasan dengan Zona Sesar Adang, di barat dengan
sedimen-sedimen Paleogen dan metasedimen Kapur yang terdeformasi kuat dan terangkat
dan membentuk daerah Kalimantan Tengah, sedangkan di bagian timur terbuka dan
terhubung denganlaut dalam dari Cekungan Makassar bagian Utara.

Gambar 1.9: Elemen Struktur bagian timur Cekungan Kutai. (Beicip, 1992, op.cit. Allen dan Chambers, 1998. )

Cekungan Kutai dapat dibagi menjadi fase pengendapan transgresif Paleogen dan
pengendapan regresif Neogen. Fase Paleogen dimulai dengan ekstensi pada tektonik dan
pengisian cekungan selama Eosen dan memuncak pada fase longsoran tarikan post-rift
dengan diendapkannya serpih laut dangkal dan karbonat selama Oligosen akhir. Fase Neogen
dimulai sejak Miosen Bawah sampai sekarang, menghasilkan progradasi delta dari Cekungan
Kutai sampai lapisan Paleogen. Pada Miosen Tengah dan lapisan yang lebih muda di bagian
pantai dan sekitarnya berupa sedimen klastik regresif yang mengalami progradasi ke bagian
timur dari Delta Mahakam secara progresif lebih muda menjauhi timur.

Sedimen-sedimen yang mengisi Cekungan Kutai banyak terdeformasi oleh lipatan-


lipatan yang subparalel dengan pantai. Intensitas perlipatan semakin berkurang ke arah
timur, sedangkan lipatan di daerah dataran pantai dan lepas pantai terjal, antiklin yang sempit
dipisahkan oleh sinklin yang datar. Kemiringan cenderung meningkat sesuai umur lapisan
pada antiklin. Lipatan-lipatan terbentuk bersamaan dengan sedimentasi berumur Neogen.
Banyak lipatan-lipatan yang asimetris terpotong oleh sesar-sesar naik yang kecil, secara
umum berarah timur, tetapi secara lokal berarah barat.
Gambar 1.10: Cekungan Kutai dari Oligosen akhir – sekarang. (Beicip, 1992, op.cit. Allen dan Chambers,
1998.)

Pada Kala Oligosen (Tersier awal) Cekungan Kutai mulai turun dan terakumulasi
sediment-sediment laut dangkal khususnya mudstone, batupasir sedang dari Formasi serpih
Bogan dan Formasi Pamaluan. Pada awal Miosen, pengangkatan benua ( Dataran Tinggi
Kucing) ke arah barat dari tunjaman menghasilkan banyak sedimen yang mengisi Cekungan
Kutai pada formasi delta-delta sungai, salah satunya di kawasan Sangatta. Ciri khas sedimen-
sedimen delta terakumulasi pada Formasi Pulau Balang, khususnya sedimen dataran delta
bagian bawah dan sedimen batas laut, diikuti lapisan-lapisan dari Formasi Balikpapan yang
terdiri atas mudstone, bataulanau, dan batupasir dari lingkungan pengendapan sungai yang
banyak didominasi substansi gambut delta plain bagian atas yang kemudian membentuk
lapisan-lapisan batubara pada endapan di bagian barat kawasan Pinang. Subsidence yang
berlangsung terus pada waktu itu kemungkinan tidak seragam dan meyebabkan terbentuknya
sesar-sesar pada sedimen-sedimen.

Pengendapan pada Formasi Balikpapan dilanjutkan dengan akumulasi lapisan-lapisan


Kampung Baru pada kala Pliosen. Selama Kala Pliosen, serpih dari serpih Bogan dan
Formasi Pamaluan yang sekarang terendapkan sampai kedalaman 2000 meter, menjadi
kelebihan tekanan dan tidak stabil, menghasilkan pergerakan diapir dari serpih ini melewati
sedimen-sedimen diatasnya menghasilkan struktur antiklin-antiklin rapat yang dipisahkan
oleh sinklin lebih datar melewati Cekugan Kutai dan pada kawasan Pinang terbentuk struktur
Kerucut Pinang dan Sinklin Lembak.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pulau Kalimantan berada dibagian tenggara dari lempeng Eurasia. Pada bagian utara
dibatasi oleh cekungan marginal Laut China Selatan, di bagian timur oleh selat Makassar dan
di bagian selatan oleh Laut Jawa.

Pulau Kalimantan terbagi menjadi 4 zone yang masing-masing mempunyai


karakteristik yang brbeda-beda:
Zone I : Kalimantan Selatan
Terdiri dari dataran alluvial, dataran banjir, tanggul alam dan back swamp.

Zone II : Kalimantan Barat


Berupa pegunungan geantiklinal yang batuannya terdiri dari granit dan batuan
berumur Termocarbon.
Zone III : Kalimantan Tengah
Merupakan geantiklinal yang dibeberapa tempat menunjukkan aktivitas vulkanis yang
tidak aktif lagi, misalnya : pegunungan Iran
Zone IV : Kalimantan Timur
Terdiri dari pegunungan antiklinal Sumamuda dan geantiklinal Meratus

Kondisi tektonik di Pulau Kalimantan berada dibagian tenggara dari lempeng Eurasia.
Pada bagian utara dibatasi oleh cekungan marginal Laut China Selatan, di bagian timur oleh
selat Makassar dan di bagian selatan oleh Laut Jawa. Bagian utara Kalimantan didominasi
oleh komplek akresi Crocker-Rajang-Embaluh berumur Kapur dan Eosen-Miosen. Di bagian
selatan komplek ini terbentuk Cekungan Melawi-Ketungai dan Cekungan Kutai selama
Eosen Akhir, dan dipisahkan oleh zona ofiolit-melange Lupar-Lubok Antu dan Boyan.

Pada pulau Kalimantan memiliki 4 fase perubahan tatan tektonik, yakni:


1. Basement pre-Eosen
2. Permulaan Cekungan Eosen
3. Tektonisme Oligosen
4. Tektonisme Miosen

Tatanan Stratifigasi Pulau Kalimantan Cekungan Barito Secara tektonik Cekungan


Barito terletak pada batas bagian tenggara dari Schwanner Shield, Kalimantan Selatan.
Cekungan ini dibatasi oleh Tinggian Meratus pada bagian Timur dan pada bagian Utara
terpisah dengan Cekungan Kutai oleh pelenturan berupa Sesar Adang, ke Selatan masih
membuka ke Laut Jawa, dan ke Barat dibatasi oleh Paparan Sunda. Cekungan Kutai Secara
teknik cekungan Kutai di sebelah utara berbatasan dengan Bengalon dan Zona Sesar
Sangkulirang, di selatan berbatasan dengan Zona Sesar Adang, di barat dengan sedimen-
sedimen Paleogen dan metasedimen Kapur yang terdeformasi kuat dan terangkat dan
membentuk daerah Kalimantan Tengah, sedangkan di bagian timur terbuka dan terhubung
denganlaut dalam dari Cekungan Makassar bagian Utara.
B. Saran
Dari kesimpulan diatas terdapat beberapa saran yang dapat diberikan oleh kelompok
dua, yakni:
1. Bagi Murid hendaknya memperkaya dan memahami istilah geologi dan serta
mempelajari kembali mengenai waktu/tarikh geologi agar mempermudah dalam
pemahaman materi dikarenakan banyak penggunaan istilah geologi dan berkaitan pula
mengenai waktu/tarikh geologi.
2. Bagi guru hendaknya dapat memberikan pengertian dan penjelasan mengenai istilah
geologi agar dapat membantu siswa dalam memahami materi, hendaknya dapat
memberikan penampakan gambar lahan sebenarnya pada siswa, sehingga siswa
mampu memahami dan menganalisa pada penampakan lahan sebenarnya.
3. Bagi masyarakat umum hendaknya dapat digunakan dalam menambah wawasan dan
informasi serta sebagai bahan rujukan mengenai Geologi Indnesia Pulau Kalimantan.
DAFTAR RUJUKAN

Utami, Eri. 2012. Geomorfologi Kalimantan. From


http://erinutami.blogspot.co.id/2012/05/geomorfologi-kalimantan.html. 7 Oktober
2015.

Ahmed, Qadafi El. 2014. Kajian Geologi Jawa, Sumatra dan Kalimantan. From
http://mylibraryxx.blogspot.co.id/2014/02/kajian-geologi-jawasumatra-dan.html. 7
Oktober 2015.

Putra, Mochammad Hilmi Zaenal. 2015. Geologi Indonesia Kalimantan Sejarah. From
http://mochhim23.blogspot.co.id/2015/04/geologi-indonesia-kalimantan-
sejarah.html. 7 Oktober 2015.

Aryadhi, Ricky. 2014. Sejarah Lempeng Tektonik di Pulau Kalimantan. From


https://www.academia.edu/12265768/SEJARAH_LEMPENG_TEKTONIK_DI_PU
LAU_KALIMANTAN_THE_HISTORY_OF_PLATE_TECTONICS_ON_THE_B
ORNEO_ISLAND. 7 Oktober 2015.
Struktur Geologi
Sulawesi

Oleh:

Armstrong F. Sompotan
Daftar Isi

1. Pendahuluan 1

2. Geologi Sulawesi 4
2.1. Mandala Barat (West & North Sulawesi Volcano-Plutonic Arc) 5
2.1.1. Mandala Barat Bagian Utara 6
2.1.2. Mandala Barat Bagian Barat 11
2.2. Mandala Tengah (Central Sulawesi Metamorphic Belt) 16
2.3. Mandala Timur (East Sulawesi Ophiolite Belt) 19
2.4. Fragmen Benua Banggai-Sula dan Tukang Besi 27

3. Stratigrafi Sulawesi 31
3.1. Stratigrafi Sulawesi Utara 31
3.2. Stratigrafi Sulawesi Selatan 33
3.3. Stratigrafi Sulawesi Barat 36
3.4. Stratigrafi Sulawesi Tengah 39
3.5. Stratigrafi Banggai Sula 39

4. Perkembangan Tektonik Sulawesi 41


4.1. Kapur Akhir 42
4.2. Paleogen 43
4.3. Neogen 45

5. Sejarah dan Mekanisme Struktur Geologi 47


5.1. Sejarah Geologi 47
5.2. Mekanisme Struktur Geologi 51

6. Epilogue 52

Bibliografi 53
Biodata penulis 55
1

1. Pendahuluan
Sulawesi atau celebes terletak di bagian tengah wilayah kepulauan
Indonesia dengan luas wilayah 174.600 km². Bentuknya yang unik
menyerupai huruf K dengan empat semenanjung, yang mengarah ke
timur, timur laut, tenggara dan selatan. Sulawesi berbatasan dengan
Borneo di sebelah barat, Filipina di sebelah utara, Flores di sebelah
selatan, Timor di sebelah tenggara dan Maluku di sebelah timur.
Sulawesi dan sekitarnya merupakan daerah yang kompleks karena
merupakan tempat pertemuan tiga lempeng besar yaitu; lempeng
Indo-Australia yang bergerak ke arah utara, lempeng Pasifik yang
bergerak ke arah barat dan lempeng Eurasia yang bergerak ke arah
selatan-tenggara serta lempeng yang lebih kecil yaitu lempeng
Filipina.
2

Gambar 1. Zona Batas Lempeng Indonesia (Hall and Smyth, 2008)

Proses tumbukan keempat lempeng tersebut menyebabkan Pulau


Sulawesi memiliki empat buah lengan dengan proses tektonik yang
berbeda-beda membentuk satu kesatuan mosaik geologi. Pulau ini
seakan dirobek oleh berbagai sesar seperti; sesar Palu-Koro, sesar
Poso, sesar Matano, sesar Lawanopo, sesar Walanae, sesar Gorontalo,
sesar Batui, sesar Tolo, sesar Makassar dan lain-lain, dimana berbagai
jenis batuan bercampur sehingga posisi stratigrafinya menjadi sangat
rumit. Pada bagian utara pulau Sulawesi terdapat palung Sulawesi
utara yang terbentuk oleh subduksi kerak samudera dari laut Sulawesi,
sedangkan di bagian tenggara Sulawesi terdapat sesar Tolo yang
merupakan tempat berlangsungnya subduksi antara lengan tenggara
Pulau Sulawesi dengan bagian utara laut Banda, dimana kedua
3

struktur utama tersebut dihubungkan oleh sesar Palu-Koro dan


Matano. Adapun dibagian barat Sulawesi terdapat selat Makassar yang
memisahkan bagian barat Sulawesi dengan busur Sunda yang
merupakan bagian lempeng Eurasia yang diperkirakan terbentuk dari
proses pemekaran lantai samudera pada masa Miosen, sedangkan
dibagian timur terdapat fragmen-fragmen benua yang berpindah
karena strike-slip faults dari New Guinea.

Tabel 1. Sesar-sesar di Daerah Sulawesi dan sekitarnya


(Tim Revisi Peta Gempa Indonesia, 2010)
4

2. Geologi Sulawesi
Berdasarkan struktur litotektonik, Sulawesi dan pulau-pulau
sekitarnya dibagi menjadi empat, yaitu; Mandala barat (West & North
Sulawesi Volcano-Plutonic Arc) sebagai jalur magmatik yang
merupakan bagian ujung timur Paparan Sunda, Mandala tengah
(Central Sulawesi Metamorphic Belt) berupa batuan malihan yang
ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian dari blok Australia,
Mandala timur (East Sulawesi Ophiolite Belt) berupa ofiolit yang
merupakan segmen dari kerak samudera berimbrikasi dan batuan
sedimen berumur Trias-Miosen dan yang keempat adalah Fragmen
Benua Banggai-Sula-Tukang Besi, kepulauan paling timur dan
tenggara Sulawesi yang merupakan pecahan benua yang berpindah ke
arah barat karena strike-slip faults dari New Guinea.
5

Gambar 2. Peta Geologi Sulawesi (Hall and Wilson, 2000)

2.1 Mandala Barat (West & North


Sulawesi Volcano-Plutonic Arc)
Mandala barat memanjang dari lengan utara sampai dengan lengan
selatan pulau Sulawesi. Secara umum busur ini terdiri dari batuan
volkanik-plutonik berusia Paleogen-Kuarter dengan batuan sedimen
berusia mesozoikum-tersier dan batuan malihan. Van Leeuwen
(1994) menyebutkan bahwa mandala barat sebagai busur magmatik
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bagian utara dan barat. Bagian
utara memanjang dari Buol sampai sekitar Manado, dan bagian barat
6

dari Buol sampai sekitar Makassar. Batuan bagian utara bersifat


riodasitik sampai andesitik, terbentuk pada Miosen - Resen dengan
batuan dasar basaltik yang terbentuk pada Eosen - Oligosen. Busur
magmatik bagian barat mempunyai batuan penyusun lebih bersifat
kontinen yang terdiri atas batuan gunung api - sedimen berumur
Mesozoikum - Kuarter dan batuan malihan berumur Kapur. Batuan
tersebut diterobos granitoid bersusunan terutama granodioritik
sampai granitik yang berupa batolit, stok, dan retas.

2.1.1 Mandala Barat Bagian Utara


Busur Sulawesi Utara mencakup Propinsi Sulawesi Utara dan
Gorontalo, memanjang sekitar 500km dari 1210E - 125020’E dengan
lebar 50-70 km dan memiliki ketinggian lebih dari 2065 m, dimana
ketinggian daerah di sekitar leher pulau Sulawesi mencapai 3.225 m.

Geologi daerah Sulawesi Utara didominasi oleh batugamping sebagai


satuan pembentuk cekungan sedimen Ratatotok. Satuan batuan
lainnya adalah kelompok breksi dan batupasir, terdiri dari breksi-
konglomerat kasar, berselingan dengan batupasir halus-kasar, batu
lanau dan batu lempung yang didapatkan di daerah Ratatotok –
Basaan, serta breksi andesit piroksen. Kelompok Tuf Tondano
berumur Pliosen terdiri dari fragmen batuan volkanik kasar andesitan
mengandung pecahan batu apung, tuf, dan breksi ignimbrit, serta lava
andesit-trakit. Batuan Kuarter terdiri dari kelompok Batuan Gunung
api Muda terdiri atas lava andesit-basal, bom, lapili dan abu.
Kelompok batuan termuda terdiri dari batugamping terumbu koral,
7

endapan danau dan sungai serta endapan aluvium. Adapun sirtu atau
batu kali banyak terdapat di daerah sungai Buyat yang diusahakan
oleh penduduk setempat sebagai bahan pondasi bangunan.

Gambar 3. Peta Geologi Manado dan Minahasa, Sulawesi Utara


8

Evolusi dari Busur Sulawesi Utara dibagi menjadi dua tahap, yaitu
subduksi di bagian barat Sulawesi di awal masa Miosen (22 – 16 Ma)
dan pasca tumbukan dan pengangkatan busur Sulawesi serta
permulaan subduksi sepanjang palung Sulawesi Utara selama akhir
Miosen sampai dengan Kuarter (9 Ma). Batuan vulkanik busur
Sangihe yang berusia Pliosen-Kuarter, menyimpan banyak geologi
daerah sekitar Manado di masa awal Miosen. Singkapan-singkapan
kecil berupa andesit dan diorite di bawah batuan vulkanik Kuarter
yang menutupi kepulauan Sangihe dan bagian utara Manado,
menunjukkan bahwa busur volkanik yang lebih tua berada di
sepanjang pantai bahkan mungkin sampai ke Mindanao yang
membentuk basement busur Sangihe saat ini. Adapun busur Neogen
yang merupakan busur batuan gunung api tidak berada di antara
Tolitoli dan Palu di sekitar leher pulau Sulawesi, hal ini disebabkan
karena pengangkatan tingkat tinggi dan erosi dalam, dimana batuan
granit lower Miosen tidak diketahui, dan bukti bahwa busur Sulawesi
di masa awal Miosen meluas ke arah leher pulau Sulawesi sangat
sedikit. Meskipun demikian, masih bisa disimpulkan bahwa zona
Benioff di awal Miosen berada sepanjang leher pulau Sulawesi ke arah
selatan menuju sesar Paleo Palu-Matano.
9

Gambar 4. Peta Geologi Gorontalo


10

Daerah Gorontalo merupakan bagian dari lajur volkano-plutonik


Sulawesi Utara yang dikuasai oleh batuan gunung api Eosen - Pliosen
dan batuan terobosan. Pembentukan batuan gunung api dan sedimen
di daerah penelitian berlangsung relatif menerus sejak Eosen –
Miosen Awal sampai Kuarter, dengan lingkungan laut dalam sampai
darat, atau merupakan suatu runtunan regresif. Pada batuan gunung
api umumnya dijumpai selingan batuan sedimen, dan sebaliknya pada
satuan batuan sedimen dijumpai selingan batuan gunung api, sehingga
kedua batuan tersebut menunjukkan hubungan superposisi yang jelas.
Fasies gunung api Formasi Tinombo diduga merupakan batuan
ofiolit, sedangkan batuan gunung api yang lebih muda merupakan
batuan busur kepulauan. Geologi umum daerah Kabupaten Boalemo
dan Kabupaten Gorontalo disusun oleh batuan dengan urutan
stratigrafi sebagai berikut :
• Batuan beku berupa : Gabro, Diorit , granodiorit, granit, dasit
dan munzonit kwarsa.
• Batuan piroklastik berupa : lava basalt, lava andesit, tuf, tuf
lapili dan breksi gunungapi.
• Batuan sedimen berupa : batupasir wake, batulanau, batupasir
hijau dengan sisipan batugamping merah, batugamping klastik
dan batugamping terumbu. Endapan Danau, Sungai Tua dan
endapan alluvial.
11

2.1.2 Mandala Barat Bagian Barat


Pemekaran yang terjadi pada Tersier Awal membawa bagian timur
dari Kalimantan ke wilayah Pulau Sulawesi sekarang, dimana rifting
dan pemekaran lantai samudera di Selat Makassar pada masa
Paleogen, menciptakan ruang untuk pengendapan material klastik
yang berasal dari Kalimantan.

Gambar 5. Peta Geologi Sulawesi Selatan (Suyono dan Kusnama, 2010)


12

Geologi daerah bagian timur dan barat Sulawesi Selatan pada


dasarnya berbeda, dimana kedua daerah ini dipisahkan oleh sesar
Walanae. Di masa Mesozoikum, basement yang kompleks berada di
dua daerah, yaitu di bagian barat Sulawesi Selatan dekat Bantimala
dan di daerah Barru yang terdiri dari batuan metamorf, ultramafik dan
sedimen. Adanya batuan metamorf yang sama dengan batuan
metamorf di pulau Jawa, pegunungan Meratus di Kalimantan
tenggara dan batuan di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa
basement kompleks Sulawesi Selatan mungkin merupakan pecahan
fragmen akhibat akresi kompleks yang lebih besar di masa awal
Cretaceous (Parkinson, 1991). Adapun sedimen-sedimen di masa
akhir Crateceous mencakup formasi Balangbaru dan Marada berada
di bagian barat dan timur daerah Sulawesi Selatan, dimana formasi
Balangbaru tidak selaras dengan basement kompleks, terdiri dari
batuan sandstone dan silty-shales, sedikit batuan konglomerat, pebbly
sandstone dan breksi konglomerat, sedangkan formasi Marada terdiri
dari campuran sandstone, siltstones dan shale (van Leeuwen, 1981),
dimana unit-unit formasi Balangbaru berisi struktur khas sedimen
aliran deposit, termasuk debris flow, graded bedding dan indikasi
turbidit.

Batuan vulkanik berumur Paleosen terdapat di bagian timur daerah


Sulawesi Selatan dan tidak selaras dengan formasi Balangbaru. Di
daerah Bantimala batuan vulkanik ini disebut Bua dan di daerah Biru
disebut Langi. Formasi ini terdiri dari lava dan endapan piroklastik
andesit dengan komposisi trachy-andesit dengan sisipan limestone
13

dan shale (van Leeuwen, 1981). Sifat calc-alkali dan unsur tanah
tertentu menunjukkan bahwa batuan vulkanik merupakan hasil
subduksi dari arah barat (van Leeuwen, 1981).

Formasi Malawa terdiri dari arkosic, sandstone, siltstone, claystone,


napal dan konglomerat diselingi dengan lapisan batubara dan
limestone. Formasi ini terletak di bagian barat daerah Sulawesi Selatan
dan tidak selaras dengan formasi Balangbaru. Formasi Malawa diduga
telah diendapkan dari laut marjinal ke laut dangkal. Formasi limestone
Tonasa selaras Formasi Malawa atau batuan vulkanik Langi. Formasi
Tonasa berumur Eosen sampai dengan pertengahan Miosen (Van
Leeuwen, 1981). Formasi Malawa dan formasi Tonasa tersebar luas di
bagian barat Sulawesi Selatan, dimana kedua formasi tersebut tidak
tersingkap di bagian timur sesar Walanae selain singkapan kecil
formasi limestone Tonasa.

Formasi Salo Kalupang yang sekarang terletak di sebelah timur


Sulawesi Selatan terdiri dari sandstone, shale dan claystone
interbedded dengan batuan vulkanik konglomerat, breksi, tufa,
limestone dan napal. Berdasarkan teknik foraminifera dating, usia
formasi Salo Kalupang diyakini berkisar awal Eosen sampai dengan
akhir Oligosen. Formasi ini seusia dengan formasi Malawa dan bagian
bawah formasi Tonasa. Formasi Kalamiseng tersingkap di sebelah
timur sesar Walanae, yang terdiri dari breksi vulkanik dan lava dalam
bentuk pillow lava ataupun massive flows yang ber-interbedded
dengan tufa, batupasir dan napal. Pegunungan Bone ditafsirkan
14

sebagai bagian dari ophiolit berdasarkan anomali high gravity dan


MORB, dimana formasi Bone diduga terdiri dari wackestone
bioklastika dan butiran packstones foraminifera planktonik.

Gambar 6. Peta Geologi Sulawesi Barat


Bagian teratas formasi Camba yaitu batuan vulkanik Camba yang
terletak di bagian barat, terdiri dari breksi vulkanik dan konglomerat,
15

lava dan tuf interbedded dengan marine sedimen. Foraminifera dating


menduga batuan vulkanik Camba beumur akhir Miosen. Batuan
vulkanik Parepare adalah sisa-sisa gunung strato-volcano yang terdiri
aliran lava dan breksi piroklastik berumur akhir Miosen. Aliran lava
yang menengah untuk asam dalam komposisi. Batuan vulkanik
Plio/Pliestocene gunung strato-volcano Lompobatang terletak paling
selatan daerah Sulawesi Selatan dengan ketinggian 2.871 m. Batuan
vulkanik ini terdiri dari silika yang tidak tersaturasi dalam alkali
potassic dan asam silika yang tersaturasi dengan aliran lava
shoshonitic dan breksi piroklastik. Pada pertengahan Miosen sampai
dengan Pleistosen batuan vulkanik Sulawesi Selatan mencakup
formasi Camba, memiliki sifat alkali sebagai akibat dari peleburan
parsial mantel atas yang kaya akan unsur-unsur yang tidak kompatibel
dengan metasomatism. Hal ini mungkin berhubungan dengan
subduksi sebelumnya di awal Miosen dalam konteks intraplate
distensional. Sifat alkali gunung api ini diduga disebabkan oleh
asimilasi berlebihan dari limestone/batu gamping tua yang mencair
dan bergabung dengan material benua kedalam subduksi busur
vulkanik. Batuan magmatis berumur Neogen di bagian barat daerah
Sulawesi Tengah berhubungan erat dengan penebalan dan pelelehan
litosfer. Sifat bimodal dari batuan Igneous berumur Neogen di daerah
ini diperkirakan dari pencairan mantel peridotit dan kerak yang
menghasilkan komposisi alkalin basaltik (shoshonitic) dan granitik
yang mencair. Pada sendimentasi akhir Miosen ditandai dengan
perkembangan formasi Tacipi. Formasi Walanae secara lokal tidak
selaras dengan formasi Tacipi, dimana formasi Walanae diperkirakan
16

berumur pertengahan Miosen sampai dengan Pliosen. Di bagian


Timur Sengkang Basin, pembentukan Walanae dapat dibagi menjadi
dua interval, yaitu interval yang lebih rendah yang terdiri dari batuan
mudstone yang berumur calcareous dan interval yang bagian atas
yang lebih arenaceous. Batu gamping (Limestone) di ujung selatan
daerah Sulawesi Selatan dan yang berada di Pulau Selayar yang
disebut selayar limestone, merupakan bagian formasi Walanae.
Batuan selayar limestone terdiri dari coral limestone, calcarenite
dengan sisipan napal dan sandstone. Unit karbonat ini diperkirakan
berumur Miosen sampai dengan Pliosen. Hubungan formasi Walanae
dan Selayar limestone terdapat di Pulau Selayar. Terrace, aluvial,
endapan danau dan endapan pantai terjadi secara lokal di Sulawesi
Selatan, dimana pengangkatan Sulawesi Selatan ditandai dengan
terangkatnya deposit terumbu karang (van Leeuwen 1981).

2.2 Mandala Tengah (Central


Sulawesi Metamorphic Belt)

Gambar 7. Peta Geologi Wilayah Palu-Koro, Sulawesi Tengah


17

Batuan magmatik potassic calc-alkaline berusia akhir Miosen di


Sulawesi Tengah terdapat di bagian kiri bentangan zona sesar Palu-
Koro, dimana batuan granit di wilayah tersebut berkorelasi dengan
subduksi microcontinent Banggai-Sula dengan Pulau Sulawesi pada
pertengahan Miosen. Berdasarkan aspek petrografi, batuan granit
berumur Neogen tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok dari yang paling tua sampai dengan yang termuda untuk
melihat karakteristik perubahannya di masa mendatang. Pertama
adalah KF-megacrystal bantalan granit yang kasar (Granitoid-C) yang
terdistribusi di bagian utara dan selatan wilayah Palu-Koro yang
berumur 8,39-3,71 Ma, dimana dua karakteristik petrografi tersebut
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu biotit yang mengandung granit
dan hornblende sebagai mineral mafik (4,15-3,71 Ma dan 7,05-6,43
Ma) dan biotit yang mengandung granit sebagai mineral mafik utama
(8,39-7,11Ma). Kelompok kedua adalah batuan granit medium
mylonitic-gneissic (Granitoid-B) yang relatif terdapat di daerah pusat
(sekitar Palu-Kulawi) berupa medium grained granitoids yang kadang-
kadang mengandung xenoliths. Batuan granit ini juga dapat dibagi lagi
menjadi hornblende-biotit yang terdistribusi di bagian selatan
(Saluwa-Karangana) sekitar 5,46-4,05 Ma dan granit bantalan biotit
yang berumur 3,78-3,21 Ma di sekitar Kulawi. Kelompok ketiga
adalah Fine and biotite-poor granitoid (Granitoid-A) kelompok
batuan termuda yang tersebar di daerah Palu-Koro sekitar 3,07-1,76
Ma, yang nampak sebagai dyke kecil hasil potongan dari granit lain.
Batuan tersebut berwarna putih bersih mengandung sejumlah biotites
18

sebagai mineral mafik tunggal, kebanyakan batuan tersebut terlihat di


antara daerah Sadaonta dan Kulawi.

Gambar 8. Peta Geologi Sulawesi Tengah (Villeneuve dkk., 2002)


19

2.3 Mandala Timur (East


Sulawesi Ophiolite Belt)

Gambar 9. Peta Geologi Mandala Timur Sulawesi


20

Batuan kompleks ofiolit dan sedimen pelagis di Lengan Timur dan


Tenggara Sulawesi dinamakan Sabuk Ofiolit Sulawesi Timur. Sabuk
ini terdiri atas batuan-batuan mafik dan ultramafik disertai batuan
sedimen pelagis dan melange di beberapa tempat. Batuan ultramafik
dominan di Lengan Tenggara, tetapi batuan mafiknya dominan lebih
jauh ke utara, terutama di sepanjang pantai utara Lengan Tenggara
Sulawesi. Sekuens ofiolit yang lengkap terdapat di Lengan Timur,
meliputi batuan mafik dan ultramafik, pillow lava dan batuan sedimen
pelagis yang didominasi limestone laut dalam serta interkalasi rijang
berlapis. Berdasarkan data geokimia sabuk Ofiolit Sulawesi Timur ini
diperkirakan berasal dari mid-oceanic ridge (Surono, 1995).

Gambar 10. Peta Geologi Sulawesi Tenggara (Surono, 1998)


21

Continental terrain Sulawesi Tenggara (The Southeast Sulawesi


continental terrain = SSCT) menempati area yang luas di Lengan
Tenggara Sulawesi, sedangkan sabuk ofiolit terbatas hanya pada
bagian utara lengan tenggara Sulawesi. SSCT berbatasan dengan Sesar
Lawanopo di sebelah timur laut dan Sesar Kolaka di sebelah barat
daya. Dataran ini dipisahkan dari Dataran Buton oleh sesar mendatar,
dimana pada ujung timur terdapat deretan ofiolit yang lebih tua.
SSCT memiliki batuan dasar metamorf tingkat rendah dengan sedikit
campuran aplitic, karbonat klastik berumur Mesozoikum dan
limestone berumur Paleogen. Deretan sedimen klastik tersebut
mencakup formasi Meluhu di akhir Triassic dan unit limestone yang
berumur Paleogen mencakup formasi Tamborasi dan formasi
Tampakura.

Batuan dasar metamorf tingkat rendah membentuk komponen utama


lengan Tenggara Sulawesi. Batuan metamorf tua terkait dengan
proses penguburan, sedangkan batuan metamorf muda disebabkan
oleh patahan dalam skala besar ketika continental terrain Sulawesi
Tenggara bertabrakan dengan sabuk ofiolit, Batuan metamorf ini
diterobos oleh aplite dan ditindih oleh lava kuarsa-latite terutama di
sepanjang pantai barat Teluk Bone.

Di daerah Kendari, batuan dasar secara tidak selaras ditindih oleh


formasi Meluhu berumur Triassic, yang terdiri dari sandstone, shale
dan mudstone. Formasi Meluhu disusun oleh 3 kelompok wilayah,
22

yaitu; wilayah Toronipa merupakan kelompok yang paling tua,


kemudian Watutaluboto dan Tuetue yang merupakan kelompok
termuda. Wilayah Toronipa terdiri dari endapan sungai meandering
dan didominasi oleh sandstone diselingi batuan sandstone
konglomerat, mudstone dan shale. Wilayah Watutaluboto adalah
pengendapan tidal-delta yang didominasi oleh mudstone dengan
sisipan lapisan tipis sandstone dan batuan konglomerat. Wilayah
Tuetue terdiri dari mudstone dan sandstone yang naik ke atas laut
dangkal marjinal, napal dan limestone. Sandstone di wilayah Toronipa
terdiri dari litharenite, sublitharenite dan quartzarenite berasal dari
daur ulang sumber orogen. Fragmen batuan metamorf di dalam
sandstone mengindikasikan bahwa area sumber formasi Meluhu
didominasi oleh batuan dasar metamorfik. Batuan metamorf itu
mungkin tertutup oleh sedimen tipis. Adanya sedikit fragmen
vulkanik dalam formasi Meluhu menunjukkan bahwa batuan vulkanik
juga membentuk lapisan tipis dengan cakupan lateral terbatas di
daerah sumber. Sedikit fragmen igneous rock mungkin berasal dari
dyke yang menerobos basement metamorf. Umur formasi Meluhu
setara dengan umur formasi Tinala di dataran Matarombeo dan umur
formasi Tokala di dataran Siombok, hal ini disebabkan litologi ketiga
formasi tersebut serupa, dimana terdapat deretan klastik yang
dominan di bagian yang lebih rendah dan karbonat yang dominan di
bagian yang lebih tinggi dari ketiga formasi tersebut. Adanya Halobia
dan Daonella di ketiga formasi tersebut menunjukkan umur akhir
Triassic, dimana kehadiran ammonoids dan polen dalam wilayah
Tuetue dari formasi Meluhu sangat mendukung penafsiran ini.
23

Deretan sedimen klastik formasi Tinala di dataran Matarombeo


ditindih oleh butiran halus sedimen klastik formasi Masiku dan
sedimen yang kaya karbonat formasi Tetambahu. Moluska, ammonita
dan belemnites yang melimpah di bagian bawah formasi Tetambahu
menunjukkan usia Jurassic. Bagian atas formasi Tetambahu
mengandung cherty limestone dan chert nodul yang kaya radiolarians.
Radiolames mengindikasikan usia Jurassic sampai dengan awal
Cretaceous. Formasi Tokala di daratan Siombok dan Banggai-Sula
yang berada di lengan timur Sulawesi, terdiri dari limestone dan napal
dengan sisipan shale dan chert (rijang). Adapun Steptorhynchus,
Productus dan Oxytoma yang sekarang berada di formasi Tokala
menunjukan usia Permo-Carbonaferous. Namun, Misolia dan
Rhynchonella ditemukan dalam lapisan limestone mengindikasikan
umur akhir Triassic. Karena kesamaan litologi antara formasi ini dan
bagian atas formasi Meluhu, usia akhir Triassic mungkin yang paling
tepat untuk usia formasi Tokala, sedangkan usia Permo-
Carbonaferous mungkin merupakan usia basementnya, dimana
formasi Tokala ditindih oleh batuan konglomerat pink granite dari
formasi Nanaka yang mungkin berasal dari basement granit
Kepulauan Banggai-Sula.

Deretan limestone berumur Paleogen dari formasi Tampakura (400m


tebal) menimpa formasi Meluhu di SSCT (Sulawesi Tenggara
Continental Terrane). Formasi ini terdiri atas ophiolite, lime
mudstone, wackestone dan locally packstone, grainstone dan
24

framestone. Pada bagian terendah dari formasi, ada strata klastik


terdiri dari mudstone, sandstone dan batuan konglomerat. Adanyan
kandungan foraminifera pada formasi mengindikasikan umur akhir
Eosen Akhir sampai dengan awal Oligosen. Nanoflora dalam formasi
menunjukkan umur pertengahan Eosen sampai dengan pertengahan
Miosen, sehingga pengendapan pada formasi tersebut harus terjadi
selama akhir Eosen sampai dengan awal Oligosen. Deposisi awal
berada di lingkungan delta dimana material silisiklastik masih
dominan. Penurunan suplai sedimen klastik membiarkan fasies
karbonat intertidal-subtidal berkembang secara luas pada platform
relief rendah. Karbonat bertambah, didominasi oleh batu karang dan
pasir karbonat. Adapun deretan karbonat berumur Paleogen yang
sama pada formasi Tamborasi diendapkan di laut dangkal, dimana
berdasarkan usia dan litologi batuan, Formasi Tampakura dan
Tamborasi ataupun juga formasi Lerea di Matarombeo diendapkan
pada satu laut dangkal yang mengelilingi sebuah pulau dengan
komposisi basement metamorf dan granit dan sisipan sedimen klastik
berumur Mesozoikum mencakup formasi Meluhu , Tinala dan
Tetambahu. Unit ekuivalen di daratan Banggai-Sula termasuk
limestone berumur Eosen-Oligosen formasi Salodik yang
berhubungan dengan napal dalam Formasi Poh.

Formasi batuan tertua pada masa Triassic disebut formasi Tokala.


Formasi ini terdiri dari batuan limestone dan napal dengan sisipan
shale dan cherts (rijang), yang diendapkan di laut dalam.
25

Fasies batuan lain pada usia yang sama yang diendapkan di laut
dangkal dibentuk oleh formasi Bunta yang terdiri dari butiran halus
sedimen klastik seperti batu tulis, metasandstone, silt, phyllite dan
schist. Pada lengan Timur Sulawesi juga ditemukan batuan kompleks
ofiolit yang berumur akhir Jurassic sampai dengan Eosen yang berasal
kerak samudera (Simandjuntak, 1986). Batuan kompleks ofiolit ini
ditemukan dalam kontak tektonik dengan sedimen berumur
Mesozoikum dan terdiri dari batuan mafik dan ultramafik seperti
harzburgite, lherzolite, pyroxenite, serpentinite, dunite, gabro,
diabase, basalt dan microdiorite. Batuan ini dipindahkan beberapa kali
akhibat deformasi dan displacement sampai dengan pertengahan
masa Miosen. Formasi Tokala dan Bunta yang tidak selaras ditindih
oleh formasi Nanaka yang terdiri dari butiran kasar sedimen klastik
seperti batuan konglomerat, batupasir dengan sisipan silts dan
batubara. Di antara fragmen dalam batuan konglomerat ditemukan
granit merah, batu metamorfik dan chert (rijang) yang diperkirakan
berasal dari mikrokontinen Banggai-sula (Simandjuntak, 1986). Umur
formasi ini dianggap kurang dari pertengahan masa Jurassic dan
terbentuk di lingkungan paralik. Selaras dengan hal itu formasi
Nanaka bertemu formasi Nambo di pertengahan massa Jurassic. Unit
laut dalam ini terdiri dari sedimen klastik napal berpasir dan napal
yang mengandung belemnite dan Inoceramus.

Formasi Matano di akhir masa Jurassic sampai dengan akhir masa


Cretaceous terdiri dari sandstone dengan sisipan chert (rijang), napal
26

dan silt. Tidak selaras dengan hal itu, formasi Nambo ketemu formasi
Salodik dan Poh pada masa Eocene sampai dengan Upper Miocene.
Formasi Salodik terdiri dari batuan limestone dengan sisipan napal
dan sandstone yang mengandung fragmen kuarsa. Kelimpahan
karang, alga dan foraminifera besar yang ditemukan dalam formasi ini
mengindikasikan bahwa formasi ini terbentuk di lingkungan laut
dangkal.

Formasi Poh terdiri dari napal dan limestone dengan sisipan


sandstone. Asiosiasi foraminifera dari formasi ini menunjukkan
zaman Oligosen sampai dengan Miosen, dimana plankton Nanno
dalam formasi ini mengindikasikan usianya sekitar Oligosen sampai
dengan pertengahan Miosen. Dataran Sulawesi Molasse yang dulunya
terdiri dari wilayah Tomata, bongka, Bia, Poso, Puna dan formasi
Lonsio (Surono, 1998) adalah dataran yang berumur pertengahan
Miosen sampai dengan Pliosen. Dataran ini mengandung batuan
konglomerat, sandstone, silt, napal dan limestone yang diendapkan
dalam paralik untuk fasies laut dangkal. Area ini terbentang tidak
selaras dengan formasi Salodik dan Poh serta kompleks ofiolit.

Pada masa pertengahan Miosen sampai dengan akhir Pliosen, area


vulkanik Bualemo bersatu dengan formasi Lonsio yang berada pada
dataran Sulawesi Molasse, terdiri dari pillow lava dan batuan vulkanik.
Adapun daerah Sulawesi Molasse itu adalah formasi Luwuk di masa
Pleistosen, yang terdiri dari terumbu karang limestone dengan sisipan
napal di bagian bawahnya.
27

2.4 Fragmen Benua Banggai-Sula dan


Tukang Besi

Fragmen benua Banggai-Sula dan Tukang Besi di wilayah Sulawesi


bersama-sama dengan area Sulawesi tengah dan tenggara diyakini
berasal dari bagian benua Australia utara. Daratan ini di masa Jurassic
bergerak ke timur laut memisahkan diri dari Australia ke posisi
sekarang.

Batuan metamorfik didistribusikan secara luas di bagian timur


Sulawesi Tengah, lengan tenggara Sulawesi dan Pulau Kabaena.
Batuan metamorf tersebut dapat dibagi menjadi fasies amfibolit dan
epidot-amfibolit dan kelompok dynamometamorphic tingkat rendah
glaukofan atau fasies blueschist. Fasies amfibolit dan epidot-amfibolit
lebih tua dari batuan radiolarite, ofiolit dan spilitic igneous rocks yang
ditemukan di sabuk metamorf Propinsi Sulawesi Tengah, sedangkan
sekis glaukofan lebih muda. Sekis glaukofan ini konsisten dengan
petrogenesis tekanan tinggi dan suhu rendah, tetapi batuan ini hanya
menjalani pemeriksaan petrologi eksaminasi, dimana Glaukofan
semakin banyak di wilayah barat. Kecuali di Buton, batuan metamorf
diterobos batuan granit di masa Permo-Triassic. Di Sulawesi
Tenggara, Banggai-Sula dan Buton, Microcontinents batuan
metamorf membentuk basement cekungan Mesozoikum. Batuan ini
ditindih secara tidak selaras oleh satuan batuan sedimen berumur
Mesozoikum yang didominasi oleh batuan limestone di pulau Buton
28

dan batuan silisiklastik di wilayah Sulawesi Tenggara dan


Microcontinents Banggai-Sula. Batuan limestone berumur Paleogen
ditemukan pada semua microcontinents. Pada akhir Oligosen sampai
dengan pertengahan Miosen, satu atau lebih microcontinent Indo-
Australia bergerak ke arah barat bertabrakan dengan kompleks ofiolit
Sulawesi timur dan tenggara. Tabrakan ini menghasilkan melange dan
imbrikasi zona busur kepulauan Mesozoikum dan strata sedimen
Paleogen dari microcontinents, dengan irisan patahan ofiolit. Selama
tumbukan, cekungan sedimen lokal terbentuk di Sulawesi, dimana
setelah tumbukan, cekungan menjadi lebih lebar di sepanjang
Sulawesi. Sedimentasi di lengan Tenggara Sulawesi dimulai lebih awal
pada awal Miosen dibandingkan dengan lengan Timur yang nanti di
akhir Miosen. Kedua deretan ini biasanya disebut sebagai Sulawesi
Molasse yang terdiri deretan major sediment klastik dan deretan
minor batu karang limestone. Sebagian besar area Sulawesi Molasse
diendapkan di laut dangkal tetapi di beberapa tempat diendapkan di
dalam sungai ke lingkungan transisi (Sukamto dan Simandjuntak,
1981).
29

Gambar 11. Peta Geologi Pulau Taliabu, Sula


30

Gambar 12. Peta Geologi Pulau Banggai


31

3. Stratigrafi Sulawesi

3.1 Stratigrafi Sulawesi Utara

Berdasarkan stratrigrafi, susunan batuan yang membentuk Sulawesi


Utara dari tua ke muda adalah; Batu gamping Gatehouse, Batu
lumpur Rumah kucing, Batu gamping Ratatotok, Intrusi Andesit
Porfiri, Volkanik Andesit, Epiklastik Volkanik dan Aluvial Endapan
sungai dan Danau.
32

Gambar 13. Stratigrafi Sulawesi Utara


33

3.2 Stratigrafi Sulawesi Selatan

Batuan yang tersingkap di daerah Sulawesi Selatan terdiri dari 5


satuan, yaitu : Satuan Batuan Gunungapi Formasi Carnba, Formasi
Walanae, Satuan Intrusi Basal, Satuan Batuan Gunung api
Lompobatang dan Endapan aluvial, Rawa, dan. Pantai. Satuan Batuan
Gunung api Formasi Camba berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir,
terdiri dari breksi gunungapi, lava, konglomerat, dan tufa halus hingga
batuan lapili. Formasi Walanae berumur Miosen Akhir - Pliosen
Awal, terdiri dari batupasir, konglomerat, batu lanau, batu lempung,
batu gamping, dan napal. Satuan Intrusi Basal berumur Miosen Akhir
- Pliosen Akhir, terdiri dari terobosan basal berupa retas, silt, dan
stok. Satuan Batuan Gunungapi Lompobatang berumur Pleistosen,
terdiri dari breksi, lava, endapan lahar, dan tufa. Endapan Aluvial,
Rawa, dan Pantai berumur Holosen, terdiri dari kerikil, pasir,
lempung, lumpur, dan batugarnping koral.

Berdasarkan peta geologi Kampala, batuan di daerah ini dapat dibagi


menjadi tiga satuan batuan, yaitu : Formasi Walanae, yang menempati
daerah yang sangat luas atau sekitar 80 %, terdiri dari perselingan
antara batupasir berukuran kasar hingga sangat halus, konglomerat,
batulanau, batulempung, batugamping, dan napal. Satuan ini
mempunyai perlapisan dengan kemiringan maksimum 100. Namun,
pada beberapa tempat di sekitar Sesar Kalamisu kemiringan
34

lapisannya mencapai 600. Lingkungan pengendapan Formasi Walanae


adalah laut. Satuan ini berumur Miosen Akhir - Pliosen Awal.
Kemudian Intrusi Basal, yang merupakan retas-retas yang
mengintrusi Formasi Walanae. Sebagian besar dari basal ini
bertelsstur afan itik. Pada beberapa lokasi ditemukan bertekstur
porfiritik dengas enokris plagioklas, piroksen, mika, olivin, tertanam
dalan) masadasar afanitik. Intrusi basal ini di permukaan umumnya
telah terkekarkan dan di beberapa tempat telah terubah menjadi
batuan ubahan (zona argilik) yang didominasi mineral lempung
(smektit, kaolinit, haloisit). Batuan ubahan ini dijumpai di sekitar mata
air panas Kampala, mata air panas Ranggo, dan Kainpung Buluparia.
Menurut Pusat Sumber Daya Geologi satuan ini berumur Miosen
Akhir - Pliosen Akhir. Adapun yang terakhir adalah Endapan Aluvial
Sungai, merupakan endapan permukaan hasil rombakan dari batuan
yang lebih tua, terdiri dari material kerikil, pasir, lempung. Batuannya
tersebar di tepi-tepi sungai dan dasar sungai. Satuan ini berumur
Holosen – Resen.
35

Gambar 14. Stratigrafi Sulawesi Selatan


36

3.3 Stratigrafi Sulawesi Barat

Stratigrafi Sulawesi bagian Barat didominasi oleh batuan Neogen,


tetapi di dalamnya termasuk juga formasi batuan yang berumur Jura.
Geologi daerah Bonehau dan sekitarnya didominasi oleh batuan beku
dan metamorf, termasuk batuan sedimen yang sedikit
termetamorfkan. Litologi mengindikasikan adanya tektonik aktif di
area ini.

Batuan tertua di daerah penelitian adalah Formasi Latimojong, yang


berumur Kapur, Di atas Formasi Latimojong diendapkan Formasi
Toraja (Tet) secara tidak selaras. Formasi ini berumur Eosen Tengah
sampai Akhir.

Formasi Toraja tertindih tak selaras oleh Formasi Sekala dan Batuan
Gunungapi Talaya. Aktivitas vulkanik ini kemudian diikuti oleh
kehadiran Formasi Sekala (Tmps) pada Miosen Tengah - Pliosen,
yang dibentuk oleh batupasir hijau, grewake, napal, batulempung dan
tuf, sisipan lava bersusunan andesit-basalt.

Formasi sekala berhubungan menjemari dengan batuan Gunung api


Talaya (Batuan Vulkanik Talaya, Tmtv) yang terdiri dari breksi
gunungapi, tuf dan lava bersusunan andesit-basal, dengan sisipan batu
pasir dan napal, setempat batubara. Batuan Gunungapi Talaya
menjari dengan batuan Gunung api Adang (Tma) yang terutama
37

bersusunan leusit-Basalt, dan berhubungan menjemari dengan


Formasi Mamuju (Tmm) yang Berumur Miosen Akhir.

Formasi Mamuju terdiri atas napal, batupasir gampingan, napal


tufaan, dan batugamping pasiran bersisipan tufa. Formasi ini
mernpunyai Anggota Tapalang (Tmmt) yang terdiri dari batu
gamping koral, batu gamping bioklastik, dan napal yang banyak
mengandung moluska.

Formasi Lariang terdiri dari batupasir gampingan dan mikaan,


batulempung, bersisipan kalkarenit, konglomerat dan tuf, umurnya
Mieseh Akhir – Pliosen awal. Endapan termuda adalah aluvium (Qal)
yang terdiri dari endapan endapan sungai, pantai, dan antar gunung.
38

Gambar 15. Stratigrafi Sulawesi Barat


39

3.4 Stratigrafi Sulawesi Tengah

Gambar 16. Stratigrafi Sulawesi Tengah

3.5 Stratigrafi Banggai Sula


Secara umum stratigrafi Cekungan Banggai terbagi menjadi dua
periode waktu, periode pertama berupa sikuen hasil
40

pengangkatan/sobekan dari batas kontinen yang terendapkan


sebelum terjadinya tumbukan, sedangkan periode kedua adalah
sikuen pengendapan molasse di bagian daratan yang terjadi selama
dan pasca tumbukan.

Gambar 17. Stratigrafi Sulawesi Timur dan Banggai Sula


41

4. Perkembangan
Tektonik Sulawesi
Banyak model tektonik yang sudah diajukan untuk menjelaskan
evolusi tektonik dari Pulau Sulawesi. Ada dua peristiwa penting yang
terjadi di Sulawesi bagian barat pada masa kenozoikum. Yang
pertama adalah rifting dan pemekaran lantai samudera di Selat
Makassar pada Paleogen yang menciptakan ruang untuk pengendapan
material klastik yang berasal dari Kalirnantan . Yang kedua adalah
peristiwa kompresional yang dimulai sejak miosen. Kompresi ini
dipengaruhi oleh tumbukan kontinen di arah barat dan ofiolit serta
fragmen-fragmen busur kepulauan di arah timur. Fragmen-fragmen
ini termasuk mikro-kontinen Buton, Tukang Besi dan Baggai Sula.
Kompresi ini menghasilkan Jalur Lipatan Sulawesi Barat (West
Sulawesi Fold Belt) yang berkembang pada Pliosen Awal. Meskipun
42

ukuran fragmen-fragmen ini relatif kecil, efek dari koalisinya


dipercaya menjadi penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa tektonik di
seluruh bagian Sulawesi (Calvert, 2003).

Gambar 18. Perkembangan Tektonik Sulawesi (Hall dan Smyth, 2008)

4.1 Kapur Akhir


Selama Kapur Akhir sikuen tebal sedimen bertipe flysch diendapkan di
daerah yang luas di sepanjang daerah Sulawesi bagian barat. Sedimen
ini ditindih oleh kompleks melange di bagian selatan dan kompleks
batuan dasar metamorf di bagian tengah dan utara . Sedimen
umumnya berasosiasi dengan lava dan piroklastik yang
mengindikasikan bahwa batuan ini berasal dari busur kepulauan
43

vulkanik dan diendapkan di daerah cekung an depan busur (Sukamto


& Simandjuntak, 1981). Pada saat yang sama, daerah sulawesi bagian
timur berkembang sebagai cekungan laut dalam, tempat sedimen
pelagic diendapkan sejak zaman Jura di atas batuan dasar ofiolit. Besar
kemungkinan jika cekungan laut dalam Kapur ini dipisahkan oleh
sebuah palung dari daerah Sulawesi Bagian Barat. Palung tersebut
kemungkinan terbentuk akibat subduksi ke arah barat, tempat
Melange Wasuponda berakumulasi (Sukamto & Simandjuntak, 1981).
Subduksi ini menyebabkan terjadinya magmatisme di sepanjang
daerah Sulawesi Bagian Barat. Batuan metamorf yang ada di Sulawesi
Bagian Barat diyakini terjadi selama subduksi Kapur ini. Daerah
Banggai-Sula merupakan bagian dari paparan benua sejak
Mesozoikum awal, dimana diendapkan klastik berumur Trias akhir
hingga Kapur. Batuan dasar benua terdiri dari batuan metamorf
zaman karbon dan plutonik Permo-Trias.

4.2 Paleogen
Perkembangan sedimen bertipe flysch di Sulawesi bagian barat
berhenti di bagian selatan, sementara di bagian utara masih berlanjut
hingga Eosen. Gunungapi aktif setempat selama Paleo sen di bagian
selatan dan selama Eosen di bagian tengah dan utara, pengendapan
batuan karbonat (Formasi Tonasa) terjadi di daerah yang luas di
selatan selama Eosen hingga Miosen yang mengindikasikan bahwa
bagian daerah tersebut adalah paparan yang stabil. Sejak: Paleosen,
sulawesi bagian timur mengalami shoaling dan diendapkan batuan
44

karbonat air-dangkal (Formasi Lerea). Pengendapan batuan karbonat


di daerah ini berlanjut hingga Miosen Awal (Formasi Takaluku). Di
bagian barat Banggai-Sula, sikuen tebal karbonat bersisipan klastik
diendapkan di daerah yang luas. Karbonat ini diendapkan sampai
Miosen Tengah (Sukamto & Simandjuntak, 1981). Zona subduksi
dengan kemiringan ke barat yang dimulai sejak zaman Kapur
menghasilkan vulkanik Tersier Awal di Daerah Sulawesi Bagian Barat,
dan proses shoaling laut di daerah Sulawesi Bagian Timur, begitu pula
di Daerah Banggai-Sula (Sukamto & Simandjuntak, 1981). Di daerah
Selat Makassar terjadi peregangan kerak. Daerah Selat Makassar
bagian utara adalah bagian awal dari failed rift atau aulacogen, yang
terbentuk sebagai bagian selatan dari pusat pemekaran Laut Sulawesi.
Kombinasi guyot, kelurusan gravitasi, fasies seismik, bersama dengan
distribusi aliran panas yang dihasilkan oleh Kacewicz dkk tahun 2002
(dalam Fraser dkk., 2003), mendukung usulan pola
transform/ekstensional untuk peregangan kerak Eosen Tengah di
laut dalam Cekungan Makassar Utara. Titik paling utara Selat
Makassar yang mengalami transform adalah cekungan Muara dan
Berau. Sumbu pemekaran lantai samudera kemudian menyebar ke
arah selatan mendekati Paternosfer Platform sumbunya menyimpang
ke arah timur dan kembali ke arah liaratdaya menuju Selat Makassar
selatan. Perluasan yang menerus dan diikuti pembebanan pada Eosen
akhir (menghasilkan peningkatan akomodasi ruang yang signifikan),
kelimpahan material benua berbutir halus diendapkan di daerah yang
luas pada Cekungan Makassar Utara, berlanjut hingga Oligo sen dan
Miosen Awal. Suksesi batulempung tebal yang dihasilkan membentuk
45

media yang mobile untuk thinskinned basal detachment di bawah bagian


selatan dari Jalur Lipatan Sulawesi Barat yang mulai ada selama
Pliosen awal.

4.3 Neogen
Distribusi produk vulkanik yang luas menunjukkan terjadinya
vulkanisme yang kuat selama Miosen Tengah di Daerah Sulawesi
Bagian Barat. Batuan vulkanik yang awalnya diendapkan lingkungan
dasar laut dan kemudian setempat menjadi terestrial pada Pliosen.
Vulkanisme berhenti pada Kuarter Awal di selatan tetapi menerus
sampai sekarang di bagian utara. Magmatisme yang kuat di Daerah
Sulawesi Bagian Barat selama Miosen Tengah berkaitan dengan
dengan proses tekanan batuan dalam Daerah Sulawesi Bagian Timur
akibat gerakan benua-mikro Banggai-Sula ke arah barat. Peristiwa
tektonik ini mengangkat dan menganjak hampir keseluruhan material
di dalam Daerah Sulawesi Timur, batuan ofiolit teranjak dan
terimbrikasi dengan batuan yang berasosiasi termasuk melange. Pada
bagian lain, ofioit di bagian timur menyusup ke arah timur ke dalam
sedimen Mesozoikum dan Paleogen dari Daerah BanggaiSula. Selama
pengangkatan seluruh daerah Sulawesi yang terjadi sejak Miosen
Tengah, sesar turun (block-faulting) terbentuk di berbagai tempat
membentuk cekungancekungan berbentuk graben. Saat Pliosen,
seluruh area didominasi oleh block faulting dan sesar utama seperti
sesar Palu-Koro tetap aktif. Pergerakan epirogenic setelahnya
membentuk morfologi Pulau Sulawesi yang sekarang. Peristiwa
46

tektonik ini menghasilkan cekungan laut dangkal dan sempit di


beberapa tempat dan beberapa cekungan darat terisolasi. Batuan
klastik kasar terendapkan di cekungan-cekungan ini dan mernbentuk
Molasse Sulawesi. Peristiwa tektonik Miosen Tengah juga
membengkokkan Daerah Sulawesi bagian Barat seperti bentuk
lengkungan yang sekarang dan menyingkap batuan metamorf di
bagian leher pulau. Jaluh Lipatan Sulawesi Barat terletak tepat di
sebelah barat Sesar Palu-Koro, sebuah transform kerak besar dan
sinistral, yang pada awalnya terbentuk saat Eosen oleh pemekaran
Laut Sulawesi. Kompresi yang menerus menghasilkan struktur-
struktur berarah barat dari JLSB, sementara material mikro-kontinen
yang awalnya berasal dari Lempeng Australia (Material Australoid)
bergerak ke arah barat selama Miosen bertumbukan dengan JLSB.
Pada Pliosen awal, bagian timur dari batas pre-rift dari Cekungan
Makassar Utara membentuk komponen dasar laut dari JLSB. Mikro-
kontinen Australia ini yang pertama adalah Buton, kemudian diikuti
oleh Tukang Besi. Arah vector tumbukan ini pada awalnya adalah
utara-barat laut (dengan perhitungan sekarang), tumbukan selanjutnya
lebih berarah baratlaut. Variasi ini cukup signifikan, mengingat arah
stress yang datang (dari timor dan selatan) mempengaruhi arah
displacement kompresi yang sudah ada di JLSB.
47

5. Sejarah dan Mekanisme


Struktur Geologi
5.1 Sejarah Geologi
Sejarah geologi Sulawesi dimulai dengan terendapkannya sedimen
bertipe flysch pada Zaman Kapur. Batuan ini diinterpretasikan
terendapkan pada cekungan forearc, di sebelah barat dari zona
subduksi yang menunjam ke barat. Kemungkinan akibat subduksi ini
rnenyebabkan batuan sedimen flysch ini termetamortkan dan
membentuk Satuan Batuan Metamorf di daerah sulawesi. Pada Eosen
Tengah terjadi peregangan Selat Makassar. Di daerah sulawesi
diendapkan Satuan Batufasir pada lingkungan fluvial. Pada Eosen
Akhir terjadi transgresi yang mengendapkan Batupasir-Batulempung
48

lingkungan delta. Pada bagian yang lebih distal diendapkan Satuan


Napal di lingkungan middle neritic. Transgresi terus terjadi sehingga
Cliendapkan Satuan Batugamping pada lingkungan laut dangkal di
atas Satuan Batupasir-Batulempung, sementara Satuan Napal terus
terendapkan. Transgresi terus terjadi hingga Oligosen Tengah
sehingga daerah sulawesi ditutup elle1i Satuan Napal pada lingkungan
upper batnyal. Pada saat Miosen Awal, pergerakan sinistral Sesar Palu-
Koro dan WaIanae menyebabkan terjadinya gaya utama berarah
baratlaut pada daerah sulawesi. Gaya ini membentuk orogenesa di
daerah sulawesi berupa lipatan, sesar sesar naik berarah baratdaya -
timurlaut, dan sesar-sesar mendatar berarah barat laut - tenggara dan
barat baratlaut - timur tenggara, sebagai struktur-struktur pembentuk
sistem sesar anjakan-lipatan. Kompresi yang terjadi cukup kuat
karena mengangkat batuan dasar yaitu Satuan Batuan Metamorf
(Formasi Latimojong) ke permukaan. Orogenesa di daerah sulawesi
ini disertai proses erosi. Memasuki Miosen Tengah aktivitas tektonik
terhenti dan terjadi aktivitas vulkanik yang mengendapkan Satuan
Lava Andesit-Basalt. Vulkanisme berhenti pada Pliosen. Pasca
pengendapan Satuan Lava Andesit-Basalt aktivitas tektonik kembali
terjadi yang mereaktivasi sesar-sesar yang sudah ada sehingga satuan
lava tersebut terpotong oleh sesar. Pada saat Holosen - Resen
terendapkan satuan aluvial disertai proses erosi yang membentuk
morfologi daerah sulawesi seperti sekarang. Sesar yang ada
kemungkinan terhenti sebelum Kuarter karena sesar tidak memotong
lapisan berumur Kuarter. Ringkasan Sejarah geologi daerah sulawesi
dapat dilihat pada tabel berikut:
49

Gambar 19.
50

Gambar 20.
51

5.2 Mekanisme Struktur Geologi


Pemicu terbentuknya sesar-sesar di Sulawesi adalah gabungan antara
mikrokontinen Benua Australia dan mikro-kontinen Sunda yang
terjadi sejak Miosen. Pergerakan dari pecahan lempeng Benua
Australia tersebut relatif ke arah barat. Adanya sesar utama seperti
Sesar Palu-Koro dan Sesar Walanae juga memberikan peranan dalam
pembentukan sesar-sesar kecil di sekitarnya. Data dan hasil analisis
struktur geologi, seperti pola kelurusan dan arah pergerakan relatif
sesar, mengindikasikan bahwa deformasi di daerah Sulawesi
dipengaruhi oleh aktivitas Sesar Mendatar Palu-Koro dan terusan
Sesar Mendatar Walanae, dimana mekanisme pembentukan struktur
geologi Sulawesi bisa dijelaskan dengan model simple shear.

Gambar 21. Model Simple Shear


52

6. Epilogue
Struktur geologi yang berkembang di Daerah Sulawesi adalah sesar-
sesar mendatar yang berasosiasi dengan sesar-sesar naik.

Hasil analisis struktur geologi seperti pola kelurusan dan arah


pergerakan relatif sesar, mengindikasikan bahwa deformasi di daerah
Sulawesi dipengaruhi oleh aktivitas Sesar Mendatar Palu-Koro dan
terusan Sesar Mendatar Walanae.

Mekanisme pembentukan struktur geologi Sulawesi bisa dijelaskan


dengan model simple shear.
53

Bibliografi
Calvert, S. J. & Hall, R., 2003, The Cenozoic Geology Of The Lariang And
Karama Regions, Western Sulawesi: New Insight Into The Evolution Of The
Makassar Straits Region, Proceeding 29th, Indonesian Petroleum
Association.

Fraser, T.H., Jackson, B. A., Barber, P. M., Baillie, P., Keith, M.,
2003, The West Sulawesi Fold Belt and Other New Plays Within the North
Makassar Straits a Prospectivity Review, Proceeding 29th, Indonesian
Petroleum Association.

Hall, R. & Smyth, H.R., 2008, Cenozoic arc activity in Indonesia:


identification of the key influences on the stratigraphic record in
active volcanic arcs, in Draut, A.E., Clift, P.D., and Scholl, D.W.,
eds., Lessons from the Stratigraphic Record in Arc Collision Zones:
The Geological Society of America Special Paper 436.
54

Hall, R. & Wilson, M. E. J., 2000, Neogene sutures in eastern


Indonesia. Journal of Asian Earth Sciences, 18, 781–808.

Parkinson, C. D., 1991, The petrology, structure and geological


history of the metamorphic rocks of central Sulawesi, Indonesia,
PhD Thesis, University of London.

Sukamto R., and Simandjuntak T.O., 1981, Tectonic Reletionship Between


Geologic Aspect of Western Sulawesi, Eastern Sulawesi dan Banggai – Sula In
The Light Of Sedimentological Aspects, GRDC Bandung. Indonesia.

Surono, 1995, Sedimentology of the Tolitoli Conglomerate Member


of the Langkowala Formation, Southeast Sulawesi, Indonesia. Journal
of Geology and Mineral Resources, GRDC Bandung, Indonesia 5, 1–
7.

Surono, 1998, Geology and origin of the southeast sulawesi


Continental Terrane,Indonesia, Media Teknik, No.3 Tahun xx.

Suyono and Kusnama, 2010, Stratigraphy and Tectonics of the


Sengkang Basin, South Sulawesi, Jurnal Geologi Indonesia, 5, 1-11.

Irsyam M., Sengara W., Aldiamar F., Widiyantoro S., Triyoso W.,
Hilman D., Kertapati E., Meilano I., Suhardjono, Asrurifak M,
Ridwan M., 2010, Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa
Indonesia 2010, Bandung.

Van Leeuwen, T. M., 1981, The geology of Southwest Sulawesi with


special reference to the Biru area, Spec. Publ. Nop. 2, 1981, pp.277-
304.

Van Leeuwen, T.M., 1994, 25 Years of Mineral Exploration and


Discovery in Indonesia, Journal of Geochemical Exploration, 50, h.13-90.

Villeneuve , M., Gunawan, W., Cornee, J. J., Vidalet, O., 2002,


Geology of the central Sulawesi belt (eastern Indonesia), Int. J. Earth
Sci. , 91, 524–537.
"GEOLOGI PULAU MALUKU"

Kepulauan Maluku adalah gugusan pulau-pulau yang terletak di sebelah timur


Indonesia, memiliki panjang 180 kilometer dari utara ke selatan dan lebar 70
kilometer dari barat ke timur. Berdasarkan keadaan geologis dan fisiografisnya
dapat dibagi menjadi dua provinsi, yakni Halmahera bagian barat dan Halmahera
bagian timur laut – tenggara. Halmahera bagian barat merupakan provinsi yang
tersusun dari busur vulkanik Ternate dan Halmahera Barat, sedangkan Halmahera
bagian timur laut – tenggara merupakan provinsi yang tersusun dari melange.
Secara garis besarya, Maluku dapat dibagi menjadi dua bagian yakni Maluku
Utara dan maluku Selatan. Maluku Utara sebgaian dihubungkan dengan rangkaian
pulau-pulau Asia Timur, dan sebagian sistem Melanesia, sedangkan Maluku
Selatan (Busur banda) merupakan suatu bagian dari Sistem Pegunungan Sunda.
Daerah Obi Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Secara
o o o
geografis terletak antara koordinat 127 45’ – 128 00’ BT dan antara 01 25’ –
01o40’ LS. Morfologinya hampir sama dengan Pulau Sulawesi yakni memiliki 4
lengan dan bentuknya seperti huruf K, yang membedakan adalah skalanya. Pulau
Halmahera memiliki ukuran sepertiga dari Pulau Sulawesi dan luas permukaannya
sepersepuluh dari Pulau Sulawesi. Teluk antar lengan dan teluk Kau berada di
timur laut, teluk Buli disebelah timur, dan teluk Weda di sebelah selatan.
(Amarullah dan Tobing ; 2005).

Pada dasarnya Kepulauan Maluku ini memiliki topografi yang bergunung dan
berbukit, kecuali di pantai sebelah timur di lengan tenggara umumnya adalah
daerah banjir. Pegunungan yang ada di Kepulauan Halmahera ini menjulang dari
timur laut – barat daya dengan relief yang beraneka, yakni berada pada kisaran
500 meter hingga 1.000 meter. Bukit Solat merupakan pegunungan tertinggi yang
menjulang dengan ketinggian 1.508 meter di bagian tengah pulau. Pulau maluku
dibagi menjadi dua bagian yaitu Maluku Utara dan Maluku Selatan. Maluku Utara
sebagian dihubungkan dengan rangkaian pulau-pulau Asia Timur, dan sebagian
dengan sistem Melanesia, Maluku Selatan (Busur Banda) merupakan suatu bagian
dari Sistem Pegunungan Sunda.

a) Maluku Utara
Provinsi Maluku Utara terletak di kepulauan Maluku sebelah utara dengan
posisi 3º 90' LU-2º 10' LS-123º 15' BT. Luas provinsi Maluku Utara yang
beribukota diSofifi adalah sekitar 53.836 km2, dengan jumlah penduduk
1.282.439 jiwa. Provinsi ini memiliki perairan laut yang relatif luas dengan
sumberdaya perikanan yang relatif besar. Maluku Utara merupakan
wilayah kepulauan yang terdiri atas pulau-pulau volkanik dan pulau-pulau
non volkanik. Pulau vulkanik menempati bagian barat
termasuk diantaranya adalah Pulau Ternate, Pulau Tidore, Pulau Moti,
Pulau Mare, Pulau Makian, dan Pulau Sangihe. Sedangkan pulau non
volkanik antara lain Pulau Bacan, Pulau Kasiruta, Pulau Talaud, dan Pulau
Obi. (Amarullah dan Tobing ; 2005)
b) Maluku Selatan
Maluku Selatan secara geologi merupakan Busur Banda, yaitu sistem
kepulauan yang membentuk busur mengelilingi tapal kuda basin Laut
Banda yang membuka ke arah barat. Sistem Kepulauan Maluku Selatan
dibedakan menjadi busur dalam yang vulkanis dan busur luar yang non
vulkanis. Busur dalam vulkanisTerdiri dari pulau-pulau kecil
(kemungkinan puncak gunungapi bawah laut/seamount) seperti Pulau
Damar, Pulau Teun, Pulau Nila, Pulau Serua, Pulau Manuk dan Kepulauan
Banda. Busur luar non vulkanisTerdiri dari beberapa pulau yang agak luas
dan membentuk kompleks-kompleks kepulauan antara lain Kepulauan
Leti, Kepulauan Babar, Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Aru, Kepulauan
Kai, Kepulauan Watu Bela, Pulau Seram, dan Pulau Buru.

A. GEOMORFOLOGI
1. Geomorfologi Maluku Utara
Maluku Utara merupakan wilayah kepulauan yang terdiri atas pulau-pulau
volkanik dan pulau-pulau non volkanik. Pulau vulkanik menempati bagian
barat termasuk diantaranya adalah Pulau Ternate, Pulau Tidore, Pulau
Moti, Pulau Mare, Pulau Makian, dan Pulau Sangihe. Sedangkan pulau
non volkanik antara lain Pulau Bacan, Pulau Kasiruta, Pulau Talaud, dan
Pulau Obi. Pulau Halmahera sendiri termasuk pulau vulkanik meskipun
aktivitas vulkanik yang aktif tidak terdapat seluruh wilayahnya. Bagian
utara Pulau Halmahera merupakan lokasi aktivitas vulkanik yang aktif.
Pulau-pulau non vulkanik Maluku Utara saat ini berkembang dibawah
pengaruh proses marin terutama deposisi marin. Bentuklahan volkanik
tererosi kuat terbentang dari timur ke barat pada zona vulkanik holosen
yang aktif.. Blok barat laut berada di bagian tepi Pulau Halmahera,
dibatasi dari graben tengah oleh escapment yang membentang dari pesisir
timur hingga pesisir barat. Graben Tengah sendiri berbatasan langsung
dengan zona gunungapi dan banyak mendapat pengaruh aktivitas vulkanik
terutama dari Gunungapi Dukono dan Gunungapi Ibu. Di dalam Graben
Tengah terdapat dataran rendah. Blok bagian timur memanjang arah utara
selatan dan menempati sebagian besar sisi barat Pulau Halmahera. Dataran
rendah kobe yang sempit memisahkan blok bagian timur halmahera di
sebelah barat dengan dataran relief berombak di sebelah timurnya.
(Amarullah dan Tobing ; 2005)Dataran relief berombak menempati bagian
yang luas ditimur Pulau Halmahera. Sepanjang pesisir utara dan selatan
dataran ini terbentuk dari pesisir pengangkatan. Sedangkan bagian tengah
merupakan pesisir pengenggelaman yang dipengaruhi oleh aktivitas marin
dari Teluk Buli. Pada bagian ini dataran aluval tidak ditemukan, tetapi
memasuki daerah Kao, ditemukan dataran aluvial yang luas pada daerah
pedalaman, juga dataran vulkanik yang berombak dan dataran aluvial
berawa secara lokal. Pada kedua semenanjung (baik utara maupun timur
laut) daerah pegunungan itu masih dikelilingi oleh kawasan pegunungan
dan perbukitan yang berkembang dari bahan yang sama. Pulau Morotai
banyak memiliki kesamaan dengan Pulau Halmahera bagian utara, yang
dicirikan oleh gunung-gunung yang berkembang dari batuan sediment dan
batuan beku basa. Pada semenanjung bagian selatan Halmahera lebih di
dominasi oleh daerah gunung yang terutama berkembang dari bahan-
bahan sedimentasi batu napal dan batu gamping (marl dan limestone).
Pegunungan yang mendominasi bagian utara dan timur laut Semenanjung
Halmahera juga berbeda secara geologis. Semenanjung utara disusun oleh
formasi gunung api (andesit dan batuan beku basaltic). (Syahya Sudarya;
2007)
2. Maluku Selatan
Maluku Selatan secara geomorlogi merupakan Busur Banda, yaitu sistem
kepulauan yang membentuk busur mengelilingi tapalkuda basin Laut
Banda yang membuka ke arah barat. Sistem Kepulauan Maluku Selatan
dibedakan menjadi busur dalam yang vulkanis dan busur luar yang non
vulkanis. Busur dalam terdiri dari pulau-pulau kecil (kemungkinan puncak
gunungapi bawah laut/seamount) seperti Pulau Damar, Pulau Teun, Pulau
Nila, Pulau Serua, Pulau Manuk dan Kepulauan Banda. Sedangkan busur
luar terdiri dari beberapa pulau yang agak luas dan membentuk kompleks-
kompleks kepulauan antara lain Kepulauan Leti, Kepulauan Babar,
Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Aru, Kepulauan Kai, Kepulauan Watu
Bela, Pulau Seram, dan Pulau Buru. (Sumardi, dkk. 2011)

B. GEOLOGI STRUKTUR

Karakteristik geologi Provinsi Maluku adalah terdiri dari batuan sedimen,


batuan metamorfik dan batuan beku dengan penyebaran yang hampir merata di
setiap gugus pulau. Hal ini dipengaruhi oleh klasifikasi umur pulau/kepulauan
yang terbentuk pada 50-70 juta tahun yang lalu, pada periode Neogeon sampai
Paleoceen.Karakteristik tersebut juga dipengaruhi oleh letak Maluku diantara
lempeng bumi Indo-Australia, Pasifik, Laut Filipina dan Laut Banda, sehingga
memberikan sebaran beberapa gunung api baik yang masih maupun sudah tidak
aktif lagi. (Amarullah dan Tobing ; 2005)
a) Geologi Maluku Utara
Sebagian besar Provinsi Maluku Utara, terutama bagian tengah dan utara,
merupakan daerah pegunungan. Namun secara geologi bukanlah
pegunungan yang seragam. Artinya, bahan penyusunnya bervariasi. Pada
semenanjung timur laut ditemukan batuan beku asam, basa dan ultrabasa
serta batuan sediment. Daerah pegunungan yang ada merupakan bentangan
lahan dengan puncak tajam dan punggung curah tertoreh serta lereng yang
curam (40%). Di semenanjung utara Halmahera terdapat barisan gunung
api aktif dan non-aktif dengan bentuk dan struktur yang sangat khas. Pada
bagian ini terbentang dataran sempit ailuvial arah timur-barat. Kawasan
sepanjang pantai barat Halmahera terbentang sejumlah pulau besar dan
kecil yang dimulai dari Ternate bagian utara sampai Obi bagian selatan.
Pulau-pulau kecil di bagian utara umumnya merupakan daerah vulkanik
yang tersusun dari bahan andesit dan batuan beku basaltic dengan lereng
curam (30-45%) sampai curam (45%). Pulau Obi dibatasi oleh dua sesar
besar yaitu sesar Sorong-Sula Utara yang terletak dibagian selatan, dan
sesar Maluku-Sorong yang terletak dibagian Utara. Sesar normal yang
terjadi di Pulau Obi diakibatkan oleh sentuhan tektonik antara batuan
ultramafik dengan batuan yang lebih muda. Umumnya sesar-sesar di Obi
berarah barat-timur, baratlaut-tenggara dan timurlaut-baratdaya. Di Pulau
Obi bagian barat terdapat Danau Karu yang diperkirakan berupa terban
yang dibatasi oleh dua sesar dengan arah utara-selatan. Lipatan-lipatannya
membentuk antiklin dan sinklin yang secara umum sumbunya berarah
barat-timur. (Amarullah dan Tobing ; 2005)
b) Maluku Selatan
Maluku selatan disusun oleh hasil kegiatan endapan laut dangkal berumur
Plio-Plistosen Sampai Holosen.Batuannya terdiri dari batu gamping, napal
dan abut lumpur gamping dan endapan alluvium. Urutan batuan dari yang
termuda sampai yang tertua adalah sebagai berikut.Sejarah geologi
Maluku selatan dimulai pada zaman miosen bawah yang masih berupa
daerah laut, dirincikan dengan pengendapan batu gamping dan napal yang
berlangsung sampai miosentengah. Pada zaman miosen atas- Pliosen
bawah terjadi pengangkatan dan lingkungan pengendapan berubah
menjadi laut dangkal dengan adanya pengendapan batu gamping dan napal
yang termasuk formasi manumbai. (Robertus, dkk ; 2011)

C. LITOLOGI

Litologi di daerah Anggai, maluku disusun oleh batuan yang terdiri dari
batuan vulkanik, sedimen dan endapan muda. Batuan akibat adanya kegiatan
tektonik mengakibatkan adanya perlipatan, dan pensesaran dan kegiatan
magmatik (hidrotermal) yang mana hal tersebut merupakan media yang potensial
bagi pembentukan mineralisasi. Daerah uji petik memiliki sebaran alterasi yang
didominasi oleh ubahan silisifikasi, serisit sampai dengan argilik. Dibeberapa
lokasi dijumpai adanya ubahan jenis filik (pada pungungan Anggai), argilik dan
propilit. Hal ini menunjukkan alterasi kearah dalam memiliki variasi alterasi
bertemperatur lebih tinggi. Jadi dimungkinkan tipe porpiri akan muncul (bisa saja
terjadi) jika melihat pola alterasi yang demikian. (Roswita, dkk.2012)

Formasi Dorosagu, Perselingan antara batupasir dengan serpih merah dan


batugamping. Batupasir kelabu kompak, halus - kasar, sebagian gampingan,
mengandung fragmen batuan ultra basa grauwake, kompak, komponen batuan
ultrabasa, basal dan kuarsa; serpih berlapisbaik, batugamping, kelabu dan merah,
kompak, sebagian menghablur. Dari analisis fosil menunjukkan umur Paleosen-
Eosen (Kadar, 1976, komunikasi tertulis dalam jurnal Syahya Sudarya;
proceeding pemaparan hasil kegiatan lapangan dan non lapangan tahun 2007
Pusat sumber daya geologi).

Formasi Tingteng, Berupa batugamping hablur dan batugamping pasiran,


sisipan napal dan batupasir. Batugamping pasiran, kelabu dan coklat muda,
sebagian kompak; sisipan napal dan batupasir, kelabu, setebal 10 – 30 cm, umur
Akhir Miosen – Awal Pliosen. (Kadar, 1976, komunikasi tertulis dalam jurnal
Syahya Sudarya; proceeding pemaparan hasil kegiatan lapangan dan non lapangan
tahun 2007 Pusat sumber daya geologi).

Formasi Weda, Berupa batupasir berselingan dengan napal, tufa, konglomerat


dan batugamping. Batupasir kelabu - coklat muda, - berbutir halus sampai kasar; -
berselingan dengan serpih kelabu kehijauan. Napal, putih, kelabu dan coklat,
getas; mengandung banyak foraminifora setempat sisipan batubara setebal 5 cm
dan batugamping. Batugamping, putih kotor dan kelabu, kompak; merupakan
sisipan dalam napal, setebal 10 – 15 cm di daerah Dote dan 0,5 – 2 m di daerah
Kobe dan Kulo. Napal berumur Miosen Tengah – Awal Pliosen (Kadar, 1976,
komunikasi tertulis) dan lingkungan neritik-batial. (Kadar, 1976, komunikasi
tertulis dalam jurnal Syahya Sudarya; proceeding pemaparan hasil kegiatan
lapangan dan non lapangan tahun 2007 Pusat sumber daya geologi).

Formasi Amasing, Berupa batupasir tufaan, berselingan dengan batulempung


dan napal, bersisipkan batugamping. Batupasir tufaan berwarna kelabu kehijauan,
berpilahan sedang, berkomponen terutama kuarsa, feldspar dan sedikit mineral
bijih, bermasa dasar tufa. Batulempung dan napal berwarna kelabu kehijauan,
agak kompak, mengandung banyak fosil foraminifora plangton. Hasil analisis
fosil menunjukkan napal berumur Miosen Bawah sampai Miosen Tengah. (Kadar,
1976, komunikasi tertulis dalam jurnal Syahya Sudarya; proceeding pemaparan
hasil kegiatan lapangan dan non lapangan tahun 2007 Pusat sumber daya geologi).

Formasi Woi, Berupa batupasir, konglomerat dan napal. Batupasir, kelabu,


terpilah sedang, tufaan. Konglomerat, kelabu, kerakal andesit, basal dan
batugamping. Napal; kelabu, foraminifora dan moluska, setempat lignitan. Fosil
foraminifora menunjukkan umur Miosen Atas sampai Pliosen berlingkungan
sublitoralbatial. Tebalnya antara 500– 600m. (Kadar, 1976, komunikasi tertulis
dalam jurnal Syahya Sudarya; proceeding pemaparan hasil kegiatan lapangan dan
non lapangan tahun 2007 Pusat sumber daya geologi).

Formasi Anggai, Berupa batugamping dan batugamping pasiran, pejal. Fosil


foraminifora menunjukkan umur Miosen Atas sampai Pliosen. Sebarannya di
timur P.Obi. Ketebalannya kurang lebih 500 m. Formasi Anggai menjemari
dengan Formasi Woi. (Kadar, 1976, komunikasi tertulis dalam jurnal Syahya
Sudarya; proceeding pemaparan hasil kegiatan lapangan dan non lapangan tahun
2007 Pusat sumber daya geologi).
REFERENSI

Amarullah, Deddy dan Robert L. Tobing. 2005. Inventarisasi batubara marginal


Daerah obi utara kabupaten halmahera selatan Provinsi maluku utara.

Pemaparan hasil kegiatan lapangan subdit batubara : Obi Andayany, Helda. 2012.
Penerapan Persamaan Geotermometer (SiO2)P Di Lapangan Panas Bumi Suli,
Ambon.

Dalam Jurnal Barekang Vol. 6 No. 2 Hal. (33 – 36)Karyanto, Wahyudi, Ari
Setiawan, dan Sismanto. 2011. Identifikasi zona konduktif di daerah prospek
panasbumi larike Ambon maluku.

Jurnal Sains MIPA, Vol. 17, No. 2, Hal.: (67 – 74)Kusnama. 2008. Fasies Dan
Lingkungan Pengendapan Formasi Bobong Berumur Jura Sebagai Pembawa
Lapisan Batubara Di Taliabu, Kepulauan Sanana-Sula, Maluku Utara.

Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 3 Hal 161-173: BandungMarasabessy, M.


Djen, Edward dan Febriana Lisa Valentin. 2010. Pemantauan Kadar Logam Berat
Dalam Air Laut Dan Sedimen Di Perairan Pulau Bacan, Maluku Utara.

Dalam makara, sains, vol. 14, no. 1 Hal : 32-38 : BandungRobertus S.L.S, Herry
S, dan Andri Eko A. W. 2011. Survei Pendahuluan Panas Bumi Geologi Dan
Geokimia Pulau Wetar, Provinsi Maluku.

Roswita, Lantu, dan Syamsuddin. 2006. Survei geolistrik metode resistivitas


untuk Interpretasi kedalaman lapisan bedrock di pulau Pakal, halmahera timur.

Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu


Pengetahuan Alam , Universitas Hasanuddin : Makassar

Sudarya, Syahya. 2007. Inventarisasi mineral logam di kabupaten halmahera


selatan dan kota tidore maluku utara.

Pusat sumber daya geologi: BandungSumardi, Eddy, Bakrun, Syuhada, dan Liliek
Rihardiana. 2011. Survei geofisika terpadu banda baru, maluku tengah, provinsi
Maluku.

Pusat Sumber Daya Geologi : BandungTriono, Untung dan Mulyana. 2011.


Penyelidikan Batu Bara Di Daerah Mangole Dan Sekitarnya Kabupaten
Kepulauan Sula,Maluku Utara.
STRUKTUR GEOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA

Pulau Bali dan Pulau Nusa Tenggara merupakan dua buah pulau yang
terletak masing-masing di tengah dan di kawasan timur Indonesia. Kedua pulau
tersebut memiliki karakteristik yang kompleks, baik dari segi geologis maupun
geomorfologisnya. Hal ini dikarenakan kedua pulau tersebut terdiri atas beberapa
pulau kecil dan terletak pada beberapa sistem geologis Indonesia. Kedua factor
diatas merupakan factor yang saling berkaitan satu sama lain. Bentukan lahan atau
fisiografi sangat berkaitan erat dengan kondisi serta aktivitas geologinya, begitu
pula pada kedua pulau tersebut.

Pengkajian aspek geologi dan geomorfologi suatu kawasan menjadi sangat


penting berkaitan dengan pengenalan suatu kawasan, mulai dari tahapan historis,
kondisi realita hingga terhadap prediksi maupun prakiraan di masa depan. Selain
itu, pengenalan suatu kawasan menjadi sangat penting berkaitan dengan potensi
maupun bahaya yang dapat timbul

1 Stratigrafi dan Fisiografi Pulau Bali

Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8°3'40" -8°50'48" Lintang


Selatan dan 114°25'53" - 115°42'40" Bujur Timur. Pulau Bali merupakan daerah
kepulauan nusantara bagian tengah dan dikelilingi oleh laut. Relief dan topografi
Pulau Bali di tengah-tengah terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke
timur. Provinsi Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok.

Utara : Laut Bali

Timur : Selat Lombok (Provinsi Nusa Tenggara Barat)

Selatan : Samudera Indonesia

Barat : Selat Bali (Propinsi Jawa Timur)


Menurut Dena, Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi delapan
kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar,
Karangasem, Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota Denpasar yang juga
merupakan ibukota provinsi. Selain Pulau Bali Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-
pulau kecil lainnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan
di wilayah Kabupaten Klungkung, Pulau Serangan di wilayah Kota Denpasar, dan
Pulau Menjangan di Kabupaten Buleleng. Luas total wilayah Provinsi Bali adalah
5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529 km (Dena, 2012:1-2).

Stratigrafi Pulau Bali

Struktur geologi regional Bali dimulai dengan adanya kegiatan di lautan selama
kala Miosen Bawah yang menghasilkan batuan lava bantal dan breksi yang disisipi oleh
batu gamping. Di bagian selatan terjadi pengendapan oleh batu gamping yang kemudian
membentuk Formasi Selatan. Di jalur yang berbatasan dengan tepi utaranya terjadi
pengendapan sedimen yang lebih halus. Pada akhir kala Pliosen, seluruh daerah
pengendapan itu muncul di atas permukaan laut. Bersamaan dengan pengangkatan,
terjadi pergeseran yang menyebabkan berbagai bagian tersesarkan satu terhadap yang
lainnya. Umumnya sesar ini terbenam oleh bahan batuan organik atau endapan yang
lebih muda. Selama kala Pliosen, di lautan sebelah utara terjadi endapan berupa bahan
yang berasal dari endapan yang kemudian menghasilkan Formasi Asah. Di barat laut
sebagian dari batuan muncul ke atas permukaan laut. Sementara ini semakin ke barat
pengendapan batuan karbonat lebih dominan. Seluruh jalur itu pada akhir Pliosen
terangkat dan tersesarkan.
Kegiatan gunung api lebih banyak terjadi di daratan, yang menghasilkan
gunung api dari barat ke timur. Seiring dengan terjadinya dua kaldera, yaitu mula-
mula kaldera Buyan-Bratan dan kemudian kaldera Batur, Pulau Bali masih
mengalami gerakan yang menyebabkan pengangkatan di bagian utara. Akibatnya,
Formasi Palasari terangkat ke permukaan laut dan Pulau Bali pada umumnya
mempunyai penampang Utara-Selatan yang tidak simetris. Bagian selatan lebih landai
dari bagian Utara. Stratigrafi regional berdasarkan Peta Geologi Bali geologi Bali
tergolong masih muda. Batuan tertua kemungkinan berumur Miosen Tengah.
Menurut Purbohadiwidjoyo, (1974). dan Sandberg, (1909) dalam Dena
(2012), secara geologi pulau bali masih muda, batuan tertua berumur miosen. Secara
garis besar batuan di Bali dapat dibedakan menjadi beberapa satuan yaitu:

Formasi Ulakan
Formasi ini merupakan formasi tertua berumur Miosen Atas, terdiri dari stumpuk
batuan yang berkisar dari lava bantal dan breksi basal dengan sisipan gampingan.
Nama formasi Ulakan diambil dari nama kampung Ulakan yang terdapat di tengah
sebaran formasi itu.
Bagian atas formas ulakan adalah formasi Surga terdiri dari tufa, nafal dan batu
pasir. Singkapan yang cukup luas terdapat dibagaian tengah daerah aliran sungai
Surga. Disini batuan umumnya miring kearah selatan atau sedikit menenggara (170-
o o
190 ) dengan kemiringan lereng hingga cukup curam (20-50 ). singkapan lain berupa
jendela terdapat di baratdaya Pupuan, dengan litologi yang mirip.
Formasi Selatan
Formasi ini menempati semenanjung Selatan. Batuannya sebagian besar
berupa batugamping keras. menurut Kadar, (1972) dalam K.M Ejasta, (1995)
o
tebalnya berkisar 600 meter, dan kemiringa menuju keselatan antara 7-10 .
kandungan fosil yang terdiri dari Lepidocyclina emphalus, Cycloclypeus Sp,
Operculina Sp, menunjukan berumur Miosen. Selain di semananjung selatan, formasi
ini juga menempati Pulau Nusa Penida.
Formasi Batuan Gunung api Pulaki
Klompok batuan ini berumur pliosen, merupakan klompok batuan beku yang
umumnya bersifat basal, terdiri dari lava dan breksi. Sebenarnya terbatas di dekat
Pulaki. Meskipu dipastikan berasal dari gunung api, tetapi pusat erupsinya tidak lagi
dapat dikenali. Di daerah ini terdapat sejumlah kelurusan yang berarah barat-timur,
setidaknya sebagian dapat dihubungkan dengan persesaran. Mata air panas yang
terdapat di kaki pegunungan, pada perbatasan denga jalur datar di utara, dapat
0
dianggap sebagai salah satu indikasi sisa vulkanisme, dengan panas mencapai 47 C
dan bau belerang agak keras.

Formasi Prapatagung
Kelompok batuan ini berumur Pliosin, menempati daerah Prapatagung di ujung
barat Pulau Bali. Selai batugamping dalam formasi ini terdapat pula batu pasir
gampingan dan napal.
Formasi Asah
Klompok batuan ini brumur Pliosen menyebar dari baratdaya Seririt ke timur
hingga di baratdaya Tejakula. Pada lapisan bawah umumnya terdiri dari breksi yang
beromponen kepingan batuan bersifat basal, lava, obsidian. Batuan ini umumnya
keras karena perekatnya biasanya gampingan. Dibagian atas tedapat lava yang
kerapkali menunjjukan rongga, kadang-kadang memperlihatkan lempengan dan
umunya berbutir halus. Kerpakali Nampak struktur bantal yang menunjukan suasana
pengendapan laut. Formasi batuan gunungapi kuarter bawah
Kwarter di Bali di Dominasi oleh batuan bersal dari kegiatan gunung api.
berdasarkan morfologinya dapat diperkirakan bahwa bagian barat pulau Bali
ditempati oleh bentukan tertua terdiri dari lava, breksi dan tufa. Batuan yang ada
basal, tetapi sebagian terbesar bersifat andesit, semua batuan volkanik tersebut
dirangkum ke dalam Batuan Gunungapi Jemberana. Berdasarkan kedudukannya
terdapat sedimen yang mengalasinya, umur formasi ini adalah kuarter bawah,
seluruhnya merupakan kegiatan gunung api daratan.
Pada daerah Candikusuma sampai Melaya terdapat banyak bukit rendah yang
merupakan trumbu terbentuk pada alas konglomerat dan diatasnya menimbun
longgokan kedalam formasi Palasari, suatu bentukan muda karena pengungkitan
endapan disepanjang tepi laut.

Formasi batuan gunungapi kwarter


Kegiaan vulkanis pada kwarter menghasilkan terbentuknya sejumlah kerucut yang
umumnya kini telah tidak aktif lagi. Gunungapi tersebut menghasikan batuan tufa dan
endapan lahar Buyan-Beratan dan Batur, batuan gunungapi Gunung Batur, batuan
gunungapi Gunung Agung, batuan gunungapi Batukaru, lava dari gunung Pawon dan
batuan gunungapi dari kerucut-kerucut subresen Gunung Pohen, Gunung Sangiang dan
gunung Lesung. Gunungapi-gunungapi tersebut dari keseluruhannya hanya dua yang
kini masih aktif yaitu Gunung Agung dan Gunung Batur di dalam Kaldera Batur.

Stratigrafi regional pulau Bali


berdasarkan Peta Geologi Bali menurut Dony Purnomo,
(2010).
Kala Geologi Formasi
Kwarter Endapan aluvium terutama di sepanjang pantai,
tepi Danau Buyan, Bratan, dan Batur
Batuan gunung api dari krucut subresen Gunung
Pohen, Gunung Sangiang, Gunung Lesung
Lava dari Gunung Pawon
Batuan dari gunung api Gunung Batukaru
Batuan gunung api Gunung Agung
Batuan gunung api Gunung Batur
Tufa dari endapan lahar Buyan-Bratan dan Batur
Kwarter bawah Formasi Palasari: konglomerat, batu pasir,
batu gamping terumbu
Batuan gunung api Gunung Sraya
Batuan gunung api Buyan-Bratan Purba dan
Batur Purba
Batuan gunung api Jembrana: lava, breksi, dan
tufa
dari Gunung Klatakan, Gunung Merbuk, Gunung
Patas,
dan batuan yang tergabung
Pliosen Formasi Asah: lava, breksi, tufa batuapung,
dengan isian rekahan bersifat gampingan
Formasi Prapat Agung: batu gamping, batu pasir
gampingan,
Napal
Batuan gunung api Pulaki: lava dan breksi
Miosen - Pleosen Formasi Selatan: terutama batugamping
Miosen Tengah-Atas Formasi Sorga: tufa, napal, batu pasir
Miosen Bawah-Atas Formasi Ulukan: breksi gunung api, lava, tufa
dengan sisipan batuan gampingan

Fisiografi Pulau Bali

Provinsi Bali merupakan daerah pegunungan dan perbukitan yang meliputi


sebagian besar wilayah. Relief Pulau Bali merupakan rantai pegunungan yang
memanjang dari barat ke timur. Di antara pegunungan itu terdapat gunung berapi yang
masih aktif, yaitu Gunung Agung (3.142 m) dan Gunung Batur (1.717 m). Beberapa
gunung yang tidak aktif lainnya mencapai ketinggian antara 1.000 – 2.000 m.
Rantai pegunungan yang membentang di bagian tengah Pulau Bali
menyebabkan wilayah ini secara geografis terbagi menjadi dua bagian yang berbeda,
yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dari kaki perbukitan dan
pegunungan dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Ditinjau
dari kemiringan lerengnya, Pulau Bali sebagian besar terdiri atas lahan dengan
kemiringan antara 0 – 2 % sampai dengan 15 – 40 %. Selebihnya adalah lahan dengan
kemiringan di atas 40 %( Purnomo, 2010).
Sebagai salah satu kriteria untuk menentukan tingkat kesesuaian lahan, maka
lahan dengan kemiringan di bawah 40 % pada umumnya dapat diusahakan asal
persyaratan lain untuk penentuan lahan terpenuhi. Sedangkan lahan dengan kemiringan di
atas 40 % perlu mendapat perhatian bila akan dijadikan usaha budidaya.
Lahan dengan kemiringan 0 – 2 % mendominasi daerah pantai bagian selatan dan
sebagian kecil pantai bagian utara Pulau Bali, dengan luas areal 96,129 ha.
Sedangkan lahan dengan kemiringan 2 – 15 % sebagian besar terdapat di wilayah
Kabupaten Badung, Tabanan, Gianyar, Buleleng, dan sisanya tersebar secara merata
di daerah sekitar pantai dengan luas mencapai 132.056 ha.
Daerah dengan kemiringan 15 – 40 % meliputi areal seluas 164.749 ha secara
dominan terdapat di wilayah bagian tengah Pulau Bali, mengikuti deretan perbukitan
yang membentang dari arah barat ke timur wilayah ini. Daerah dengan kemiringan
melebihi 40 % merupakan daerah pegunungan dan perbukitan yang terletak pada
bagian Pulau Nusa Penida.
Ditinjau dari ketinggian tempat, Pulau Bali terdiri dari kelompok lahan
sebagai berikut:
 Lahan dengan ketinggian 0 – 50 m di atas permukaan laut mempunyai
permukaan yang cukup landai meliputi areal seluas 77.321,38 ha.
 Lahan dengan ketinggian 50 – 100 m di atas permukaan laut mempunyai
permukaan berombak sampai bergelombang dengan luas 60.620,34 ha.
 Lahan dengan ketinggian 100 – 500 m di seluas 211.923,85 ha didominasi
oleh keadaan permukaan bergelombang sampai berbukit.
 Lahan dengan ketinggian 500 – 1.000 m di atas permukaan laut seluas
145.188,61 ha.
 Lahan dengan ketinggian di atas 1.000 m di atas permukaan laut seluas
68.231,90 ha.
2. Stratigrafi dan Fisiografi Pulau Nusa Tenggara
Stratigrafi Pulau Nusa Tenggara
Pulau Nusa Tenggara atau dalam bahasa yang lebih lama dikenal sebagai
kepulauan sunda kecil, merupakan sebuah gugusan pulau yang secara relative berada
pada sebelah timur pulau jawa dan bali. Nusa Tenggara memanjang hingga di sebelah
barat pulau timor, yang mana sudah menjadi Negara tersendiri. Nusa Tenggara pada
dasarnya terbagi atas dua bagian, yaitu Nusa Tenggara bagian barat (NTB) dan Nusa
Tenggara bagian timur (NTT). Dua bagian tersebut terintegrasi dengan Bali sehingga
disebut dengan Kepulauan Sunda Kecil.
Secara tarikh geologi dasar, kepulauan Sunda Kecil memiliki proses
pembentukan kepulauan yang hampir sama dengan kepulauan-kepulauan lainnya
yang ada di Indonesia. Namun kepulauan Sunda Kecil tersebut memiliki kekhasan
dikarenakan struktur kepulauannya yang terdiri atas pulau-pulau kecil diantara Bali
hingga Timor. Pada dasarnya kepulauan Sunda Kecil merupakan kepulauan hasil
bentukan pergerakan lempeng Indo-Australia, yang bergerak kearah utara sehingga
mendesak lempeng Eurasia atau lempeng Asia Tenggara. Akibat benturan tersebut,
lantai dasar benua yang semula berada bawah rata-rata permukaan daratan, menjadi
terangkat dan membentuk gugusan kepulauan Sunda Kecil khususnya Nusa
Tenggara. Sedangkan pulau-pulaunya memiliki karakteristik yang massif pada
bentukan lahan vulkanik, bahkan cenderung masih aktif. Menurut Verstappen, Hal ini
dikarenakan kepulauan Sunda Kecil dilewati oleh jalur pegunungan Busur Sunda
(Mediteran) (Verstappen, 2013:Geomorphological Map).
Nusa Tenggara merupakan kepulauan yang berada diantara bagaian timur
Jawa dan kepulauan Banda. Secara fisik, Nusa Tenggara terdiri atas pulau-pulau
kecil, basin, lembah, serta sungai. Berdasarkan batas relatifnya, Nusa Tenggara dapat
dijabarkan sebagai berikut:
Utara : Laut Flores
Selatan : Samudra Hindia
Barat : Jawa dan Bali
Timur : Tanimbar
Sehingga batas-batas Nusa Tenggara hampir keseluruhan merupakan lautan atau
perairan. Hal ini yang membuat kompleksitas kondisi fisik Nusa Tenggara.
Ditinjau dalam sudut pandang geologis, Nusa Tenggara terletak pada satu
sistem busur Sunda-Banda yang mana juga merupakan factor utama dalam proses
pembentukan rangkaian kepulauannya yang bersifat vulkanik, khususnya pegunungan
vulkanik muda. Apabila menilik teori tektonik lempeng, rangkaiann pegunungan
vulkanik muda Nusa Tenggara memiliki konfigurasi tepat pada zona subduksi
lempeng Indo-Australia yaitu pada kerak samudra, yang mana apabila magmanya
diinterpretasikan, kedalamannya dapat mencapai 165-200km. selain itu, keberadaan
busur Nusa Tenggara juga sangat berpengaruh terhadap kompleksitas struktur geologi
Nusa Tenggara. Sebagian besar busur yang ada di Nusa Tenggara merupakan
representasi dari adanya zona subduksi lempeng Indo-Australia pada kurun waktu
tersier. Terdapat setidaknya 5 sistem yang memengaruhi kompleksitas struktur
geologi Nusa Tenggara, yaitu: palung belakang yang terletak di laut Flores, busur
dalam yang dibentuk oleh kepulauan vulkanik diantaranya Bali, Lombok, Sumbawa,
Cómodo, Rinca, Flores, Andora, Solor, Lomblen, Pantar, Alor, Kambing dan Wetar,
palung antara yang membagi atas dua wilayah, yaitu NTT dan NTB, dan busur luar
yang dibentuk oleh kepulauan non-volkanik diantaranya Dana, Raijua, Sawu, Roti,
Semau dan Timor, serta palung depan dibagi kedalam dua bagian yaitu inner arc
(busur dalam) dan outer arc (busur luar) dan bagian dalam ialah lembah yang dalam
diantaranya lembah (basin) Lombok dan Sawu.
Busur vulkanik timur Nusa Tenggara merupakan busur yang berbatasan langsung
dengan kerak samudra, yang mana memiliki perbedaan dengan bagian barat busur nusa
tenggara berdasarkan karakteristik lavanya. Pada bagian barat pegunungan nusa tenggara
merupakan kawasan pegunungan yang terbentuk pada masa senozoikum. Sedangkan
batuan vulkanik yang berada dalam busur banda merupakan batuan yang berumur lebih
tua daripada batuan yang berumur early miosen, yaitu pada kedalaman 150km dibawah
zona gempa. Wilayah seismik jawa adalah wilayah yang terbentang pada kedalaman
sekitar 600km, serta merupakan indikasi suduksi sub-ocean
litosfer antara lempeng Indo-Australia yang berada dibawah busur banda. Pada early
pleistosen adanya tabrakan antara timor dengan Alor dan Wetar, yang terlihat setelah
laut rusak karena adanya zona subduksi pada seberang Timor.
Ukuran dari deretan kepulauan volkanik perlahan-lahan akan semakin kecil
dari timur pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa , Flores, Wetar sampai ke Banda.
Penurunan ini sangat terlihat nyata pada bagian timur Wetar, kemungkinan ini karena
pantulan jumlah subduksi dari kerak samudra, yang mana secara tidak langsung
gerakannya berupa dip-slip di bagian barat Wetar dan gerakan strike-slip dibagian
timurnya. Kemungkinan busur vulkanik dibagian timur wetar lebih muda dan
kemungkinan busur volkanik yang asli di bagian timur Wetar telah disingkirkan oleh
pinggiran batas benua Australia.

Nusa Tenggara Barat


Strtaigrafi Nusa Tenggara Barat pada dasarnya secara umum merupakan batuan
tersier (batuan tertua), dan batuan kuarter (batuan termuda), serta didominasi batuan
vulkanik dan alluvium. Batuan tersiernya merupakan perselingan antara sandstone
kuarsa, breksi, lava, tuff, batu gamping, dan dasit. Pada pulau Sumbawa, terdiri atas lava,
breksi, tuff, andesit, sandstone, tuffaan, claystone, dasit, tonalit, batu gamping berlapis,
dasitan, batu gamping tuffaan, serta lempung tufaan. Batuan termudanya, pulau Lombok
merupakan perselingan dari breksi gampingan, lava, breksi, lava tuff, tuff, batu apung,
serta breksi lahar. Sedang di pulau Sumbawa, terdiri atas terumbu, koral terangkat,
konglomerat, tanah merah hasil vulkanik, gunungapi tua, gunungapi Sangeangapi,
gunungapi Tambora, gunungapi muda dan batugamping koral. Pada kedua pulau tersebut,
terdapat endapan pantai dan alluvium cukup luas.
Tatanan geologi Nusa Tenggara Barat merupakan wilayah yang berada pada
kawasan pertemuan dua lempeng, yaitu lempeng Indo-Australia dan lempeng Australia
yang bertumbukan, menghasilkan tiga vulkan aktif bertipe A, yaitu gunung Rinjani,
gunung Tambora, dan gunung Sangeangapi. Pada pulau Flores justru memiliki struktur
geologi yang sama dengan pulau Jawa. Namun terdapat perbedaan pada struktur
genatiklinal yang sebagian besar mengalami proses tektonik sekunder dermal, yaitu
proses peluncuran menuju dasar laut, khususnya bagian utara.
Pulau Bali dan Pulau Jawa, berdasar pada sejarah hindu, maka menunjukkan
bahwa keduanya terpisah pada tahun 208 masehi. Sedangkan perluasan dengan
konfigurasi mengarah ke timur melalui proses vulkanis membentuk pulau-pulau kecil,
seperti Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, yang mana pada setiap pulau tersebut terdapat
zona vulkan kuarter. Pada bagian utara Bali ditempati gunung Batur dan gunung Agung,
pada bagian utara Lombok ditempati gunung Rinjani. Namun tidak nampak pada
Sumbawa karena geantiklinalnya tenggelam di dasar laut dan membentuk teluk Sholeh.
Sedangkan di Flores bekas geantiklinalnya terlihat pada pualu Komodo, pualu Rinca,
serta teluk Maumere Flores timur. Punggungan dasar laut di sebelah selatan pulau-pulau
tersebut terbentuk oleh busur luar yang bersifat non-vulkanik.

Nusa Tenggara Timur


Pada bagian Nusa Tenggara Timur, yaitu mulai dari pulau Alor, Kambing,
Wetar dan Romang, merupakan zona orogene timor dengan pusat penggelombangan
di Flores. Terjadinya proses evolusi orogenik Nusa Tenggara Timur merupakan siklus
yang kompleks. hal ini dikarenakan proses penggelombangan ini dimulai sejak early
mesozoikum, termasuk didalamnya sirkum Australia yang menghasilkan busur dalam
Sumba dengan konfigurasi mengarah ke timur laut serta busur luar Sawu yang
mengarah ke timur laut. Pada periode tersier, kawasan tersebut mengalami proses
penggelombangan dengan pusatnya berada di laut Flores, sebagai bagian dari sistem
pegunungan Sunda. Distorsi-distorsi terdapat pada posisi interdeep Sumba, garis arah
busur luar Rote hingga Timor yang mengarah ke timur laut.
Adapun daerah undasi di Orogene Timor sebagai berikut:
Busur dalam : Alor, Kambing, Wetar, non vulkanis
Palung Antara : Pulau Sumba-L. Sawu
Busur Luar : Dana, Raijua, Sawu, Rote, Semau, Timor.
Backdeep : Punggungan Batutaza.
Matinya aktivitas vulkanis pada daerah tersebut dikarenakan jalan keluar
magma mengalami penyumbatan akibat pergeseran lempeng Australia ke utara.
Namun beberapa ahli menyatakan bahwa tidak terdapat tanda-tanda adanya
pergeseran lateral menuju ke utara disekitar Bantar hingga Alor, yang mana
merupakan tempat matinya aktivitas vulkanis timur. Selain itu, tidak adanya
perubahan konfigurasi structural busur luar akibat tekanan blok Australia, sedang
busur tersebut akan menerima tekanan terlebih dahulu. Apabila ditelusuri lebih jauh,
maka deretan busur dalam non-vulkanik tidak bersambung dengan deretan busur
dalam Damar hingga Banda yang bersifat vulkanik, namun cenderung bersambung
dengan zona Ambon yang non-vulkanik.
Hilangnya aktivitas vulkanik dari Alor ke arah timur, termasuk didalanya zona
Ambon, dikarenakan berbatasan dengan dangkalan Sahul. Factor lainnya yang
mungkin dapat berpengaruh terhadap hilangnya aktivitas vulkanik tersebut adalah:
1. Gaya endogen dari lapisan tektonosfer telah habis
2. Puncak asthenolithnya mungkin mengalami pembekuan sehingga saluran
magma yang keluar tersumbat.
Sumbu geantiklinal Nusa Tenggara pada bagian timur tenggelam, sedangkan
semakin ke barat semakin kelihatan. Hal ini dapat diasumsikan bahwa selat antara
pulau yang ada di kawasan Sunda kecil mulai dari barat hingga ke timur semakin
dalam. Hal ini ditunjukkan dengan:
1. Barat Tampar : kurang dari 200m
2. Antara Pantar Alor : 1140m
3. Alor hingga Kambing : 1260m
4. Kambing : 1040m
5. Wetar hingga Roman : lebih dari 2000m
6. Timur Roman : 4000m
Pulau Rote merupakan pulau yang tersusun atas sedimen-sedimen yang
mengalami pelipatan yang kuat, tertutup dengan karang berumur kuarter hingga
ketinggian 430m. Pulau Sawu terdiri atas batuan pra tersier yang dikelilingi karang koral
hingga setinggi 300m. pulau Timur terdapat puncak genatiklinal yang mengalami
depresi memanjang mulai dari teluk Kupang hingga Lois. Menurut kepercayaan
penduduk asli Timor, hampir kesluruhan Timor dahulunya merupakan laut,
sedangkan yang merupakan pulau adalah gunung Lakaan. Hal ini berarti bahwa pulau
Timor mengalami pengangkatan. Hal ini ditunjukkan dengan bukti ditemukannya sisa
karang pada ketinggian lebih dari 1000m. Pulau tersebut mengalami over thrust, yang
mana bantuan intrusinya banyak mengalami singkapan. Sheingga banyak
ditemukannya bahan galian eksotis seperti emas, tembaga, chrome, dan uranium,
namun dalam jumlah yang tidak ekonomis. Sebaran batuan di wilayah Timor dapat
dikategorikan sebagai berikut:
1. Silicic antara Alor, Lembata, Sikka, Ende, Ngada, Manggarai, Kupang.
2. Matic Basic
3. Intermediate Basic
4. Pre Tersier Undivideo
5. Paleagen
6. Alluvial Terrace Deposit and Coral Reefs
7. Neogene
8. Keknenno Series
9. Sonnebait Series
10. Sonnebait dan Ofu Series terefolde
11. Ofu Series
12. Silicic Efusive
13. Triassic
14. Crystalline Schist

Fisiografi Pulau Nusa Tenggara


Nusa Tenggara merupakan kepulauan yang terletak pada dua jalur genatiklinal
hasil perluasan busur banda di sebelah barat. Genatiklinal tersebut membujur dari
Pulau-pulau di Nusa Tenggara terletak pada dua jalur geantiklinal, yang merupakan
perluasan busur Banda di sebelah barat. Geantiklinal yang membujur dari timur
sampai pulau-pulau Romang, Wetar, Kambing, Alor, Pantar, Lomblen, Solor,
Adonara, Flores, Rinca, Komodo, Sumbawa, Lombok dan Bali. Sedangkan dibagian
selatan dibentuk oleh pulau-pulau Timor, Roti, Sawu, Raijua dan Dana. Punggungan
geantiklinal tersebut bercabang di daerah Sawu. Salah satu cabangnya membentuk
sebuah ambang yang turun ke laut melewati Raijua dan Dana,
berakhir ke arah punggungan bawah laut di selatan Jawa. Cabang lain merupakan
rantai penghubung dengan busur dalam yang melintasi daerah dekat Sunda.
Secara umum, fisiografi Nusa Tenggara Barat adalah sebagai berikut:
Daratan :3%
Laut, Sungai, Danau : 1 %
Vulkanik :90%
Denudasional :5%
Karst :1%
Sedangkan fisiografi Nusa Tenggara Timur adalah sebagai berikut:
Daratan :10%
Vulkanik :36%
Karst :6%
Struktural :45%
Laut, Sungai, Danau : 3 %

Palung Belakang

Di sebelah timur Flores dibentuk oleh bagian barat basin Banda selatan. Di
sebelah utara Flores dan Sumbawa terbentang laut Flores, yang dibedakan menjadi
tiga bagian, yaitu: Laut Flores Barat laut, berupa dataran (platform) yang luas dan
dangkal, yang menghubungkan lengan selatan Sulawesi dengan dangkalan Sunda.
Kedua, Basin Flores Tengah, berbentuk segitiga dengan puncak terletak di sebelah
selatan volkan Lompobatang, yang berhubungan dengan depresi Walanae.
Sedangkan dasarnya terletak di sepanjang pantai utara Flores, yang merupakan
bagian terdalam (-5140). Ketiga, Laut Flores Timur terdiri dari punggungan dan
palung diantaranya, yang menghubungkan lengan selatan Sulawesi dengan
punggungan bawah laut Batu Tara.

Busur Dalam

Busur dalam Nusa Tenggara merupakan kelanjutan dari Jawa menuju Busur
Dalam Banda. Di Nusa Tenggara merupakan punggungan geantiklinal. Selat
diantara pulau di bagian barat dangkal dan menjadi lebih dalam ke arah timur.
Fisiografi Sumbawa yang khas adalah adanya depresi yang memisahkan
geantiklinal menjadi beberapa bagian, diantaranya berupa teluk di bagian timur.
Teluk tersebut dipisahkan dari laut oleh pulau Mojo yang memberikan sifat khas
dari depresi antar pegunungan pada puncak geantiklinal.

Palung Antara dengan Sumba

Palung ini berada di antara busurdalam volkanis Jawa-Bali-Lombok dan


punggungan dasar laut sebelah selatan Jawa. Bagian terdalam terdapat di selatan
Lombok, bercabang dua ke arah timur menjadi dua cabang yaitu sebelah utara dan
selatan Sumba. Cabangcabang ini merupakan penghubung antara palung sebelah
selatan Jawa dan Basin Sawu antara Flores timur dan Roti.

Busur Luar

Pulau-pulau di nusa tenggara yang termasuk busur luar adalah: Dana,


Raijua, Sawu, Roti, Seman dan Timor. Punggungan dasar laut dari selatan Jawa
muncul sampai 1200m dibawah permukaan laut, selanjutnya turun ke arah timur
sampai 4000 m. Palung antara tersebut sebagian terangkat. Selanjutnya sumbu
geantiklinal itu naik lagi sampai ke pulau-pulau Sawu, Dana, Raijua, dan Sawu.

Palung Depan

Palung depan Jawa dari sistem pegunungan Sunda itu membentang ke arah
timur. Sampai di Sumba kedalamannya berkurang dan di sebelah selatan Sawu
melengkung ke timur laut sejajar dengan Timor. Sampai di pulau Roti dipisahkan
oleh punggungan (1940 m) terhadap palung Timor.
DAFTAR RUJUKAN

Dena, Kadek.2012. Kondisi Geologi dan Topografi Pulau Bali.Singaraja:Geografi


USB.

Purnomo, Dony.2010. Pulau Bali.Singaraja:Geografi USB.

Vertsappen, H.Th.2013.Garis Besar Geomorfologi Indonesia.Yogyakarta:Gadjah


Mada University Press (GMUP)
Tatanan dan Struktur Geologi Regional Papua

Geologi Papua dipengaruhi dua elemen tektonik besar yang saling bertumbukan dan

serentak aktif (Gambar 1). Pada saat ini, Lempeng Samudera Pasifik - Caroline

bergerak ke barat-barat daya dengan kecepatan 7,5 cm/th, sedangkan Lempeng Benua

Indo - Australia bergerak ke utara dengan kecepatan 10,5 cm/th.

Tumbukan yang sudah aktif sejak Eosen ini membentuk suatu tatanan struktur

kompleks terhadap Papua Barat (Papua), yang sebagian besar dilandasi kerak Benua

Indo - Australia.

Periode tektonik utama daerah Papua dan bagian utara Benua Indo - Australia

dijelaskan dalam empat episode (Henage, 1993), yaitu (1) periode rifting awal Jura di

sepanjang batas utara Lempeng Benua Indo-Australia, (2) periode rifting awal Jura di

Paparan Barat laut Indo-Australia (sekitar Palung Aru), (3) periode tumbukan Tersier

antara Lempeng Samudera Pasifik-Caroline dan Indo-Australia, zona subduksi

berada di Palung New Guinea, dan (4) periode tumbukan Tersier antara Busur Banda

dan Lempeng Benua Indo - Australia. Periode tektonik Tersier ini menghasilkan

kompleks - kompleks struktur seperti Jalur Lipatan Anjakan Papua dan Lengguru,

serta Antiklin Misool-Onin-Kumawa.


5

Tektonik Papua, secara umum dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu Badan

Burung atau Papua bagian timur dan Kepala Burung atau Papua bagian barat.

Kedua bagian ini menunjukkan pola kelurusan barat - timur yang ditunjukan oleh

Tinggian Kemum di Kepala Burung dan Central Range di Badan Burung, kedua pola

ini dipisahkan oleh Jalur Lipatan Anjakan Lengguru berarah barat daya tenggara di

daerah Leher Burung dan juga oleh Teluk Cendrawasih (Gambar 2).

Tatanan Struktur Sekitar Teluk Cenderawasih


Teluk Cendrawasih merupakan salah satu ciri fisiografi Papua Utara. Teluk ini

terletak di antara daratan Badan Burung ke selatan dan timur, Kepala Burung ke barat

dan Pulau Yapen ke utara. Teluk Cendrawasih merupakan depresi berbentuk

triangular embayment pada pantai utara Papua yang memisahkan Kepala Burung dan

Badan Burung (Charlton, 2000).

Teluk Cendrawasih memiliki kedalaman air sekitar 1.400 m pada bagian tengahnya.

Memiliki beberapa dasar yang rata, lereng pada bagian utara dan barat sangat terjal,

sedangkan bagian selatan dan timur sangat landai. Pergerakan relatif Lempeng

Samudera Pasifik - Caroline dan Lempeng Benua Indo - Australia dimanifestasikan

oleh pergerakan strike-slip yang mungkin berhubungan atau tidak berhubungan

dengan pensesaran transform. Pergerakan strike-slip ini terlihat pada sistem Zona

Sesar Sorong - Yapen - Bewani dari timur ke barat sepanjang New Guinea. Sesar

bergerak mengiri dan beberapa peneliti menyatakan bahwa sesar ini membentuk

displacement sepanjang 600 km (Waschsmuth dan Kunst, 1986).


6

Pada bagian daratan Pulau Papua, zona sesar ini disebut dengan Zona Sesar

Mamberamo yang dicirikan oleh kelurusan pada daerah Sungai Mamberamo (Dow

dan Sukamto, 1984). Bagian barat teluk berbatasan dengan sesar berarah barat laut

(Zona Sesar Wandaman) sampai ke timur Jalur Sabuk Lipatan Lengguru dan secara

oblique memotong Teluk Cendrawasih. Semakin ke selatan terdapat Weyland

Overthrust (Gambar 3), suatu massa batuan metamorfik dan plutonik yang

teranjakkan ke selatan di atas Benua Australia dan Jalur Sabuk Lipatan Lengguru

yang dibentuk oleh suatu seri lipatan overthrust. Ke arah timur, pada bagian barat

sampai ke timur laut, terdapat pegunungan Van Rees, Gauttier, dan Karamoor.

Dataran pantai menutupi palung sedimenter yang sangat dalam dan sempit yang

lebarnya kurang dari 50 km (Palung Waipoga).

Kedalaman air di Teluk Cendrawasih berkisar antara 0 - 2.000 m, bagian yang

terdalam berada di bagian utara dan bagian tengah. Lokasi Sesar Yapen di bawah

permukaan air laut dapat diidentifikasi dari data batimetri (Gambar 4). Ditemukan

juga sabuk lipatan yang sebelumnya tidak diketahui di bagian tenggara dengan

kecenderungan arah timur laut - barat daya (Gambar 5).

Stratigrafi Regional
Ciri stratigrafi regional diidentifikasikan dari perbandingan stratigrafi kerak Benua

Indo-Australia dan kerak Samudera Pasifik - Caroline. Stratigrafi afinitas benua

ditunjukan oleh stratigrafi Kepala Burung (Papua Barat) dan Badan Burung bagian
7

Central Range), sedangkan afinitas samudera ditunjukan oleh stratigrafi Badan

Burung bagian utara (Cekungan Irian Utara).

Tiga periode utama sejarah geologi Indonesia Timur dan bagian barat laut paparan

Australia ditandai dengan pembetukan batas Benua Indo - Australia pada Perm dan

Mesozoikum Awal. Pembentukan ini merupakan hasil break - up Gondwanaland.

Kemudian diikuti oleh periode batas benua pasif yang berlangsung selama

Mesozoikum Akhir hingga Tersier, dan menerus sampai Miosen Akhir. Kemudian

tumbukan lempeng tektonik yang berlangsung sampai akhir Miosen antara batas

Benua Indo - Australia dan busur Asia Tenggara. Selama periode ini, pulau-pulau di

Indonesia Timur yang ada saat ini mulai terbentuk.

Evolusi Cekungan Daerah Lepas Pantai Teluk Cenderawasih


Cekungan pada daerah Teluk Cenderawasih berada pada wilayah deformasi

kompleks, yaitu zona tumbukan Lempeng Benua Indo - Australia dan Lempeng

Samudera Pasifik - Caroline. Sedimen yang mengisi cekungan dicirikan oleh sikuen-

sikuen pasca tumbukan berumur Pliosen sampai Plistosen. Ketebalan sedimen di

cekungan mencapai 6.500-7.000 m di lepas pantai dan 8.000 m di daratan.

Pergerakan Lempeng Benua Indo-Australia ke arah utara dan Lempeng Samudera

Pasifik - Caroline ke arah barat mengakibatkan suatu konvergensi miring (oblique),

dan menghasilkan zona tumbukan dengan Busur Melanesia selama akhir

Miosen/Pliosen. Zona sesar mendatar mengiri Zona Sesar Yapen mengakomodasi

sebagian besar komponen timur-barat dari konvergen lempeng, sedangkan Sesar


8

Waipoga dan Sesar Wandaman mengakomodasi pemendekan kerak antara New

Guinea Mobile Belt dan Kepala Burung.

Selama Pliosen sampai Plistosen, tumbukan menghasilkan pola struktur berjenis thin-

skin di utara New Guinea dan utara Papua, serta menyebabkan perkembangan wilayah

cekungan di sepanjang sisi suture. Napal Sumboi yang berumur Miosen Akhir -

Pliosen dan Konglomerat Ansus yang berumur Pliosen - Pleistosen (Pietres dkk.,

1983) berkembang di barat Pulau Yapen. Endapan klastik Formasi Kurudu

diendapkan di lingkungan laut dangkal dan onlap pada batuan dasar ke arah timur

Pulau Yapen. Selama akhir Miosen sampai Plistosen Tengah, endapan klastik regresi

Formasi Mamberamo terakumulasi di teluk, pada lingkungan laut dalam sampai dekat

pantai. Batu gamping terumbu berkembang selama periode Plio - Plistosen (ekuivalen

Formasi Hollandia).

Selama Pliosen, penurunan dasar cekungan berasosiasi dengan tektonik kompresi

yang dihasilkan oleh tekanan yang tinggi dari lapisan serpih dan timbulnya diapir

(Williams dan Amiruddin, 1983). Pengangkatan regional terjadi pada akhir Plistosen,

kemudian diendapkan endapan klastik Formasi Koekoendoeri pada lingkungan

transisi sungai ke laut. Konvergensi miring antara Lempeng Benua Indo-Australia

dan Samudera Pasifik - Caroline menyebabkan pembentukan ciri struktur kompresi

atau sesar mendatar. Sesar anjakan, sesar mendatar, mulai terbentuk bersamaan.

Lipatan yang terbentuk sejajar dengan sesar pada umumnya merupakan sinklin besar

dan antiklin yang ditekan oleh sesar mendatar.


9

Gambar 1. Elemen tektonik Indonesia dan pergerakan lempeng-lempeng tektonik (Hamilton, 1979)
10

Gambar 2. Elemen tektonik Papua (Hamilton, 1979)


11

Gambar 3. Geologi sekitar Teluk Cenderawasih (Dow dan Hartono, 1982)


12

Gambar 4. Zona Sesar Yapen yang melewati Pulau Yapendan Teluk Cenderawasih (Dow dan Hartono, 1982)
13

Gambar 5. Jalur sabuk lipatan anjakan bagian tenggara Teluk Cenderawasih (Dow dan Hartono, 1982)

Anda mungkin juga menyukai