Nim : 1810611042
Kelas : Hukum Militer (H) Jam:16:30-18:10
Dosen:Dr. Irwan Triadi , SH, MH.
Tugas E-learning pertemuan ke-6
PERTANYAAN:
1. Menurut saudara, apakah terjadi tindak pidana dalam peristiwa tersebut. Berikan penjelasan
dan alasan saudara dengan menyebut dasar hukumnya.
2. Menurut saudara, atas jawaban saudara pada Nomor 1 tersebut di atas pengadilan mana yang
mempunyai kewenangan mengadili.
3. Seandainya oknum militer/TNI dimaksud berpangkat Mayor. Pengadilan Militer mana yang
memeriksa dan mengadili.
4. Berdasarkan jawaban saudara tersebut Nomor 3, apa saja kewenangan/kompetensi Pegadilan
Militer tersebut.
5. Berikan gambaran secara umum, bagaimana proses penyelesaian perkara tersebut menurut
Sistem Peradilan Militer.
Jawab:
1. Dalam kasus pemukulan yang dilakukan oleh anggota TNI terhadap warga sipil,anggota TNI
tersebut bisa dijatuhkan tindak pidana karena dalam ketentuan UU No. 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia (“UU TNI”), tidak dibatasi apakah anggota TNI tersebut
sedang menjalankan tugas atau tidak, sedang menggunakan seragam atau tidak, sehingga
dapat diartikan bahwa sekalipun anggota TNI tersebut tidak dalam menjalankan tugas
ataupun tidak menggunakan seragam, tetap wajib untuk mematuhi ketentuan mengenai TNI.
Terlebih apabila sikap anggota TNI bertentangan dengan tugas pokok TNI sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU TNI yang menyatakan bahwa : “Tugas pokok TNI adalah
menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.”
Secara khusus, aturan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI tertuang
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Namun demikian, pada
praktiknya ketentuan yang digunakan bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana
selama dikategorikan sebagai tindak pidana umum, tetap menggunakan aturan yang terdapat
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) akan tetapi tetap diadili di
Pengadilan Militer. Dalam hal ini, anggota TNI yang melakukan pemukulan terhadap warga
dapat dikenakan Pasal 351 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3) KUHP yang menyatakan sebagai
berikut:
(1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan
atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima tahun.
(3) Jika perbuatan tersebut menyebabkan matinya orang, maka yang bersalah dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.
2. Kemudian, mengenai tindakan pemukulan yang dilakukan terhadap warga yang dilakukan
oleh anggota TNI, terhadap hal ini masih menjadi perbincangan di kalangan umum apakah
akan diproses di peradilan umum atau peradilan militer, terkait dengan kemampuan dan
independensi kedua peradilan tersebut dalam menangani perkara ketika anggota TNI
menjadi tersangka atas suatu tindak pidana. Namun demikian, pada dasarnya hal ini telah
ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer sebagai berikut :
“Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang”:
(1) Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan
tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau
dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas
keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.”
Pasal 1 angka (13) UU TNI menyatakan bahwa prajurit adalah anggota
TNI.Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di atas,
setiap anggota TNI yang sedang bertugas atau tidak, yang melakukan tindak pidana
diadili di pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Jika unsur-unsur dalam tindak pidana mengenai penganiayaan ataupun tindak
pidana lainnya yang dilakukan oleh anggota TNI, diharapkan didapati putusan pengadilan
militer maupun peradilan umum yang memenuhi keadilan dan kepastian hukum bagi
pelaku, korban, ataupun bagi penegakan hukum itu sendiri.
e. Pemanggilan
Oditur mengeluarkan surat panggilan kepada Terdakwa dan Saksi yang berisi hari,
tanggal, waktu, tempat sidang, dan perkara apa mereka dipanggil. Surat panggilan harus
sudah diterima oleh Terdakwa atau Saksi paling lambat 3 hari sebelum sidang dimulai.
Jika, yang Terdakwa dana tau Saksi di luar negeri, pemanggilan dilakukan melalui
perwakilan Indonesia di tempat Terdakwa dan atau Saksi berada.
f. Pemeriksaan dan Pembuktian
Terdakwa yang tidak ditahan dan tidak hadir pada hari sidang yang sudah ditetapkan,
Hakim ketua menganalisa apakah Terdakwa dipanggil secara sah atau tidak sah.Jika tidak
sah, maka ditunda persidangan dan menyuruh Terdakwa untuk hadir kembali pada sidang
berikutnya.Jika Terdakwa dipanggil secara sah tetapi tidak datang di hari persidangan
tanpa alasan yang sah, Terdakwa harus dihadirkan secara paksa pada sidang
berikutnya.Jika Terdakwa lebih dari 1 orang dan tidak ada yang hadir pada hari sidang,
pemeriksaan dapat dilakukan.Dalam pemeriksaan Terdakwa, dimulai setelah semua saksi
saksi selesai memberikan keterangan.Jika terdakwa lebih dari 1 orang, maka ada 2 hal
yang dilakukan yaitu dengan memeriksa satu persatu terdakwa atau memeriksa seorang
terdakwa tanpa terdakwa lainnya. Hakim ketua menanyakan kepada Terdakwa tentang
kebenaran perkara serta memberi kesempatan kepada Hakim-Hakim Anggota, Oditur
Penuntut Umum dan Penasihat Hukum dan hakim menjaga agar tidak diajukan
pertanyaan yang tidak benar kepada Terdakwa. Dalam pemeriksaan barang bukti, Hakim
Ketua memperlihatkan barang bukti dan menanyakan kepada Terdakwa apakah benda itu
berhubungan dengannya atau tidak dengan perkara tersebut. Jika benda itu berhubungan,
maka akan diberitahukan kepada saksi.
g. Penuntut dan Pembelaan
Oditur mengajukan tuntutan pidana.
h. Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Rugi
Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara
pidana oleh Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi menimbulkan kerugian bagi
orang lain, Hakim Ketua atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkargugatan ganti rugi kepada perkara pidana itu.
i. Perkara dan Putusan
Hakim mengadakan musyawarah secara tertutup dan rahasia. Pelaksanaan
musayawarah berdasarkan surat dakwaan dan yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
Putusan dalam musyawarah Majelis Hakim merupakan hasil permufakatan secara
bulat.Jika tidak terjadi mufakat bulat, pendapat yang berbeda dari salah seorang Hakim
Majelis dicatat dalam Berita Acara Musyawarah Majelis Hakim.
j. Cara Tuntutan Pidana dan Pembelaan:
Tuntutan, pledooi dan duplik dalam bentuk tertulis
Jika Hakim Ketua berpendapat bahwa pemeriksaan telah selesai, Oditur bertugas
untuk membacakan tuntutannya
Oditur Penuntut Umum membacakan tuntutannya dengan sikap berdiri kecuali
Hakim Ketua menentukan yang lain. Membacakan dengan sikap sempurna
menghadap Hakim Ketua, Setelah selesai membacakan, diberikan kepada Hakim
Ketua masing-masing 1 lembar.
Terdakwa dan atau Penasihat Hukum diberi kesempatan untuk menanggapi
tuntutan odiur. Pembacaan pledooi dengan berdiri. Jika dibacakan terdakwa, ia
berdiri di sebelah kanan Penasihat Hukum.
Oditur Penuntut Umum dapat memberikan replik dan Terdakwa atau Penasihat
hukum dapat memberikan duplik.
Oditur Penuntut Umum mengadakan konsultasi dengan Kabaotmil atau Orjen
TNI sebelum sidang jika mengajukan pidana berdasarkan asas kesatuan
penuntutan.
k. Putusan Pengadilan
Jika Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa terbukti bersalah melakukan
tindak pidana, maka Pengadilan menjatuhkan pidana.
Jika Terdakwa tidak terbukti bersalah, maka Pengadilan menjatuhkan putusan
bebas. Jika Terdakwa terbukti bersalah tetapi tidak dapat tanggung jawab kepada
Terdakwa, maka Pengadilan menjatuhkan Putusan bebas.
Putusan Pengadilan harus di sidang yang terbuka untuk umum. Pada waktu
putusan pembebasan, wajib dengan ketukan palu satu kali.
Biaya perkara kepada Terdakwa berdarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI
No.KMA/155/X/1981 tanggal 19 Oktober 1981.
Jika Terdakwa bebas, biaya perkara kepada negara.
Dalam hal Terdakwa dan atau Oditur Penuntut Umum mengajukan permohonan
banding, Panitera membuat Akte permohonan banding.
Petikan putusan diberikan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya langusng
setelah putusan diputuskan. Salinan putusan diberikan kepada Oditur sedangkan
kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya diberikan atas permintaan. Petikan
putusan dan salinan putusan dikirimkan kepada Babinkum TNI dan Kadilmiltama
pada kesempatan pertama.
Panitera membuat Berita Acara Sidang yang memuat segala kejadian di sidang
yang berhubungan dengan pemeriksaan itu, juga memuat hal-hal yang penting dari
keterangan Terdakwa, saksi dan ahli, kecuali jika Hakim ketua menyatakan bahwa
ini cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara pemeriksaan permulaan
dengan menyebutkan perbedaan yang terdapat antara yang satu dengan yang
lainnya.
Setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, Panitera membuat
Akte putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diberikan kepada
Terdakwa dan Oditur serta yang bersangkutan. Akte dan petikan putusan
merupakan dasar pelaksanaan putusan Hakim.