Anda di halaman 1dari 2

Tujuan pendidikan Gontor

Imam KH Imam Zarkasyi belum genap berusia 16 tahun ketika pada tanggal 9 oktober 1926 ikut
merintis Pondok Gontor menjadi pondok pesantren modern pertama di Indonesia. Bersama kedua
kakaknya, Ahmad Sahal dan Zainuddin Fanani, membangun kembali pondok Gontor yang sedang
mengalami kemunduran setelah sang ayah wafat, Kyai Santosa Anom Besari. Upaya tersebut
berhasil, pondok Gontor menjadi pusat pendidikan Islam pertama di Indonesia. Ketiga putra
Santosa tersebut kemudian dikenal sebagai “Trimurti”.

Sewaktu merintis, KH Imam Zarkasyi masih berguru pada sejumlah pondok pesantren di daerah
kelahirannya, Ponorogo. Setelah menyelesaikan Madrasatul Arabiyah Al-Islamiyah di Solo, pada
1930 Ia berangkat menimba ilmu di Thawalib Padang Panjang, kemudian di Kulliyatul Mu’allimin
Al-Islamiyah, Padang selesai pada 1935.

KH Imam Zarkasyi lahir pada 21 Maret 1910 sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara yang
masih memiliki pertalian kekerabatan dengan keratin kasepuhan Cirebon dan Majapahit. Sejak awal
KH Imam Zarkasyi terlihat modernis dan bersama kedua abangnya, melakukan reformasi di
pesantren yang secara resmi disebut Balai Pendididkan Darussalam. KH Imam Zarkasyi
merumuskan sendiri pengembangan ilmu di pesantren tersebut dengan berlandaskan pada “Panca
Jiwa”, yaitu: Jiwa Keikhlasan, Jiwa Kesederhanaan, Jiwa Kemandirian, Jiwa Ukhuwah Islamiyah
Dan Jiwa Bebas.

Melalui pendidikan klasikal, Pondok Gontor mencoba menyiapkan intelektual Islam. Para santri
diasramakan dan diwajibkan berbahasa Arab dan Inggris dalam percakapan sehari-hari. Untuk
mengukuhkan sebagai pondok yang modern, KH Imam Zarkasyi berusaha terbuka untuk semua
golongan, sebagaimana ia pernah berujar “ Gontor adalah tempat pendidikan, bukan alat golongan”.

KH Imam Zarkasyi selalu menekankan tiga hal kepada para ustad dan santri-santrinya.

“ Apa yang kami didikkan kepada santri? Kami mendidik mereka supaya mengerti makna
keikhlasan, amal, dan perjuangan. Anak-anak sekolah Belanda dan pemerintah tidak pernah
mendengar hal-hal seperti itu. Mereka takut untuk meneriakkan arti cinta bangsa, negara dan
agama. Ini sanagat berbeda dengan suasana di Gontor. Saat ini dan selamanya, jiwa keikhlasan
dalam beramal dan berjuang harus menjadi pegangan para santri guna meninggikan agama Allah
SWT. Itulah arti membela agama yang sesungguhnya”.

Semua perbuatan baik itu mengajar atau diajar, mendidik atau dididik memerlukan jiwa keikhlasan.
Bagi KH Imam Zarkasyi mendidik atau mengajar merupakan amal kebajikan yang memerlukan
perjuangan. KH Imam Zarkasyi mengibaratkan dengan rasa kepemilikan terhadap pondok. Semua
santri, guru atau keluarga boleh merasa memiliki pondok. Namun ada yang lebih berhak mengatur
segalanya yaitu Badan Wakaf selaku nadzir dan pimpinan pondok. Semuanya harus siap dan mau
berbuat demi kemaslahatan pondok li ‘ilai kalimatillah.

Mendidik artinya rela mengorbankan sesuatu untuk menjadi sarana pendidikan. Keikhlasan dalam
mendidik akan menjadi rabuk (pupuk) kekuatan untuk menjaga, memperjuangkan dan
mengembangkan apa yang menjadi tujuan pendidikan tersebut. Dalam mendidik, seorang guru
hendaknya tidak mengharapkan balasan apapun selain kemajuan anak didiknya. Adapun upah yang
diterimanya hanya dari Allah SWT.

“Hal yang wajib kita syukuri, meski kami tidak mengenal patokan gaji melainkan honorarium
sekedarnya, guru-guru tetap dapat hidup layak. Dengan keikhlasan sedemikian, pondok senantiasa
terlindungi dan rezeki terus mengalir sehingga dapat membantu para guru secara materi. Tetapi
ingat! Itu bukan upah atau gaji. Upah mereka hanya dari Allah SWT, in ajriya illa ‘ala rabbi-l-
‘alamin bukan dari manusia.”

Ini bukan sekedar ucapan semata namun realita yang terjadi dalam pondok Gontor. Para guru
(asatidz) memang tidak mengenal adanya upah atau pun gaji tetap, hanya honorarium sekedarnya.
Namun dapat dilihat bahwa kehidupan para asatidz tersebut berkecukupan bersama keluarganya.
Semua guru merasa ikhlas berkorban dan memperjuangkan pondok sehingga Allah SWT pun
memberi nikmatbi ghairi hisab wa min haitsu la yahtasib.

Keikhlasan itu sendiri dapat terlihat dari meleburnya para santri dari berbagai golongan. Tidak ada
satu baju golongan pun yang dikenakan sehingga tidak ada perbedaan karena semuanya menyadari
ini adalah bentuk pembelaan terhadap agama tanpa memandang dari golongan mana berasal.

“Selanjutnya kalau ada yang bertanya tentang murid-murid di pondok ini atau bahkan meragukan
mereka, jawablah betul-betul seadanya! Segala golongan masih ada disini; anak orang NU banyak,
Muhammadiyah banyak, yang tidak NU serta Muhammadiyah banyak, anak orang golkar ada tapi
tidak banyak. Tetapi kalau sudah berada di pondok ini semua golongan tersebut melebur dan
Wallahi saya sama sekali tidak tahu golongan satu persatu anak-anak ini dan demikian juga kamu
tidak tahu golongan masing-masing teman kamu. Begitulah, baju golongan semua harus dilepaskan
sehingga semua tidak tahu. Allhamdulillah, ini merupakan suatu rahmat yang besar sekali sehingga
kamu semua bersatu tidak ada perbedaan suku dan golongan. Keadaan semacam ini sukar kita
temukan di daerah lain, tetapi Alhamdulillah di pondok ini hal tersebut dapat diwujudkan. Jadi,
kalau kamu ditanya tentang hal tersebut jawablah seadanya.”

Menurut KH Imam Zarkasyi, pendidikan itu dilaksanakan agar semuanya mengerti arti perjuangan,
keikhlasan dan amal untuk meninggikan agama Allah yang berarti membela agama Allah. Dalam
hal ini KH Imam Zarkasyi juga menekankan penggunaan dhomir yaitu perasaaan halus yang
tercantum dalam hati untuk mengukur sesuatu.

“Undang-undang dhomir lebih tinggi dari undang-undang negara maka pakailah undang-undang
dhomir karena itulah tandanya kamu manusia”.

Anda mungkin juga menyukai