Anda di halaman 1dari 11

KUALITAS AIR SUNGAI DI LUAR DAN DI DALAM KAWASAN CAGAR ALAM SIBUAL – BUALI,

TAPANULI SELATAN 1
River Water Quality In and Outside The Sibual – Buali Nature Preserve Area, South Tapanuli
Wildan Tri Agus Badawi2, Agus Priyono3, Siti Badriyah 4

ABSTRACT

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem kompleks yang disusun dari tiga sistem, yaitu
sistem fisik (physical system), sistem biologis (biological system) dan sistem manusia (human system), yang satu
sama lain saling terkait dan saling berinteraksi. Kawasan CA. Dolok Sibual – buali memiliki potensi
keanekaragaman hayati yang tinggi, dan memiliki potensi gangguan yang cukup tinggi dikarenakan memiliki
kelerengan yang bervariasi dari sedang hingga curam, maka dari itu perlu adanya kajian mengenai perubahan
kualitas air sungai dalam kawasan yang mengalir di sepanjang lahan desa. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis status kualitas air Sungai Aek Nabara, dan Sungai Aek Sitandiang di dalam kawasan dan
perubahannya di luar kawasan Cagar Alam Sibual – buali. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret
2020, berada dalam area Kawasan Hutan Batang Toru di Desa Bulumario, Kecamatan Sipirok dan Desa Aek Nabara,
Kecamatan Marancar, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Lokasi kajian penelitian ini di dua sungai, yaitu Sungai Aek
Nabara dan Sungai Aek Sitandiang, yang dilakukan di dalam dan luar kawasan Cagar Alam Sibual – buali. Metode
pengumpulan data berupa data fisik perairan,data kualitas air, pengambilan spesimen makrozoobenthos, dan data
beban pencemaran. Kawasan cagar alam tercemar lebih rendah dibandingkan dengan diluar kawasan cagar alam dan
pengaruh potensi beban pencemaran Sungai Aek Nabara dan Aek Sitandiang masih relatif kecil pada masing-masing
pencemar. Jumlah tersebut belum menimbulkan perubahan kualitas air kelas II untuk Sungai Aek Nabara dan Sungai Aek
Sitandiang. Beban pencemaran total masing – masing sungai tergolong rendah sehingga mendukung status pencemaran
kedua sungai pada kategori rendah.

Keywords: Aek Nabara, Aek Sitandjang, daerah aliran sungai, kualitas air

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam menetapkan
bahwa cagar alam adalah kawasan suaka alam mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem
tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Kawasan Cagar Alam (CA) Dolok Sibual
– buali ditunjuk oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
923/Kpts/Um/12/1982 tanggal 27 Desember 1982 dengan fungsi sebagai perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan
ini teridentifikasi sebagai perlindungan sistem hidrologi salah satunya dikarenakan memiliki kelerengan yang bervariasi
dari sedang hingga curam (BKSDA Sumut 2004). Fungsi kawasan cagar alam dalam menjaga tata air karena adanya peran
vegetasi yang tumbuh secara alami di zona riparian dan sangat penting dalam menentukan kualitas air. Peran penting
keberadaan vegetasi riparian salah satunya yaitu memperbaiki kualitas tanah dan air sungai (Rachmawati 2014).
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem kompleks yang disusun dari tiga sistem, yaitu sistem fisik
(physical system), sistem biologis (biological system) dan sistem manusia (human system), yang satu sama lain saling terkait
dan saling berinteraksi (Susetyaningsih 2012). Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian pada daerah hulu akan
mempengaruhi kuantitas dan kualitas tata air pada DAS yang dirasakan oleh masyarakat di daerah hilir. Kawasan CA.
Dolok Sibual – buali memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, dan memiliki potensi gangguan yang cukup
tinggi dikarenakan memiliki kelerengan yang bervariasi dari sedang hingga curam, maka dari itu perlu adanya kajian
mengenai perubahan kualitas air sungai dalam kawasan yang mengalir di sepanjang lahan desa. Penggunaan lahan di sekitar
desa berupa lahan-lahan budidaya pertanian, kebun campuran masyarakat dan hutan sekunder. Berdasarkan potensi Cagar
Alam dan penggunan lahan sekitar desa, perlunya dilakukan penelitian mengenai kualitas air sungai yang terdapat di dalam
kawasan cagar alam dan di luar kawasan cagar alam, untuk mengetahui berapa besar perbedaan pengaruh kawasan cagar
alam terhadap kualitas air. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi kualitas air Sungai Aek Nabara, dan Sungai Aek
Sitandiang di dalam kawasan dan perubahannya diluar kawasan Cagar Alam Sibual-buali.
Tujuan Penelitian
Mengkaji kondisi kualitas air Sungai Aek Nabara, dan Sungai Aek Sitandiang di dalam kawasan dan perubahannya
diluar kawasan Cagar Alam Sibual-buali.

1 Makalah merupakan bagian dari skripsi Program Sarjana Departemen KSHE Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
yang disampaikan dalam forum seminar hasil penelitian.
2
Mahasiswa Departemen KSHE Fakultas Kehutanan IPB
3
Pembimbing I, dosen pada Departemen KSHE Fakultas Kehutanan IPB
4
Pembimbing II, dosen pada Departemen KSHE Fakultas Kehutanan IPB
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret 2020, berada dalam area Kawasan Hutan Batang
Toru di Desa Bulumario, Kecamatan Sipirok dan Desa Aek Nabara, Kecamatan Marancar, Tapanuli Selatan, Sumatera
Utara. Lokasi kajian penelitian ini di dua sungai, yaitu Sungai Aek Nabara dan Sungai Aek Sitandiang, yang dilakukan di
dalam dan luar kawasan Cagar Alam Sibual – buali. Sungai dibagi menjadi tiga segmen, yang masing-masing segmen
berjarak minimal 1 kilometer dan dibuat 4 titik contoh. Pada masing-masing titik dilakukan sekali pengambilan sampel
yaitu pada pagi hari, dikarenakan dalam penelitian ini hanya mengkaji kualitas air sesaat.

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu, roll meter, tiang berkala, bola kasti, stopwatch, wadah sampler, jala
surber untuk pengumpulan spesimen makrozoobenthos, thermometer untuk mengukur suhu, pH meter, TDS meter pen,
kamera digital, alat tulis, dan tallysheet. Adapun bahan yang digunakan adalah bahan pengawet sampel air dan larutan
formalin 4% untuk mengawetkan spesimen makrozoobenthos.

Metode Pengumpulan Data


Data Kualitas Air
Data kualitas air terdiri dari: suhu, TSS (Total Suspended Solid), TDS (Total Dissolved Solid), pH, Oksigen terlarut
(DO), Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), dan Nitrogen (N), dilakukan dengan
pengambilan sampel air menggunakan metode contoh gabungan composite sample pada bagian tepi dan tengah sungai.
Pada setiap sungai diambil 4 titik sampling, pada masing-masing hulu dan hilir segmen, yaitu pada pagi hari. Hasil sampel
kemudian dianalisis di laboratorium swasta terdekat dari lokasi penelitian yaitu di Laboratorium Shafera Enviro (Medan).
Pengambilan Spesimen Makrozoobenthos
Pengambilan sampel spesimen makrozoobenthos diambil pada 4 titik, mengikuti lokasi pengambilan sampel
kualitas air. Pengambilan sampel makrozoobenthos pada bagian tepi (kanan – kiri) dan tengah sungai menggunakan alat
surber kemudian diawetkan dengan formalin 4% di dalam botol spesimen. Sampel spesimen makrozoobenthos yang sudah
diambil selanjutnya akan diidentifikasi langsung di lapang dan di laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
(FPIK) IPB.
Data Beban Pencemaran
Beban pencemaran dari lahan sempadan sungai di lokasi penelitian meliputi beban pencemaran permukiman, sawah
dan kebun campuran/tegalan.
a. Beban pencemaran lahan permukiman berdasarkan parameter BOD, COD, dan TSS dilakukan dengan mengetahui jumlah
penduduk yang tinggal di lebar sempadan 100 m di kanan dan kiri aliran sungai.
b. Beban pencemaran sawah dan kebun campuran/tegalan berdasarkan parameter BOD, COD, TSS, dan Nitrogen (N)
dengan mengetahui luas lahan menggunakan peta Google Earth Pro.

Analisis Data
Debit Air Sungai
Debit air sungai dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Norhadi et al. 2015):
Q=AxV
Keterangan :
Q = Debit air (m3/detik)
A = Luas penampang (lebar x kedalaman) (m2)
V = Kecepatan arus (m/detik)

Status Mutu Air


Kondisi status kualitas air sungai dapat diketahui berdasarkan perhitungan Indeks Pencemaran (IP) dan Indeks Biotik
Hilsenhoff (HBI).
a. Indeks Pencemaran (IP)
Indeks pencemaran ditentukan dengan membandingkan data kualitas air dengan baku mutu kelas II. Penentuan
indeks pencemaran menggunakan semua parameter kualitas air yang diukur dan membandingkannya dengan baku mutu
sesuai peruntukan (Effendi 2015). Nilai pembobotan dari masing-masing parameter dijumlahkan untuk memperoleh nilai
akhir. Rumus Indeks Pencemaran sebagai berikut;
2 2
𝐶𝑖 𝐶𝑖
√( ⁄𝐿𝑖𝑗 ) 𝑀 + ( ⁄𝐿𝑖𝑗 ) 𝑅
𝐼𝑃𝑗 =
2

Keterangan:
IPj = Indeks pencemaran bagi peruntukan (j)
Ci = Konsentrasi parameter kualitas air (i)
Lij = Konsentrasi parameter kualitas air sesuai Baku Mutu Air (Kelas II – pasal 55
Peraturan Pemerintah No. 82 Thn 2001)
(Ci/Lij) M = Nilai maksimum
(Ci/Lij) R = Nilai rata-rata

Setelah didapatkan hasilnya maka dapat dikategorikan sesuai kelasnya, yaitu berdasarkan Tabel 1.

Tabel 1 Kategori kelas Indeks Pencemaran (IP)


Nilai Kategori
0 ≤ IP ≤ 1 Bagus/Memenuhi baku mutu (good)
1 ≤ IP ≤ 5 Tercemar ringan (slighty polluted)
5 ≤ IP ≤ 10 Tercemar sedang (fairly polluted)
IP > 10 Tercemar berat ( heavy polluted)
b. Indeks Biotik Hilsenhoff (HBI)
Indeks Biotik Hilsenhoof merupakan indeks yang digunakan untuk menunjukkan tingkat pencemaran organik pada
suatu lingkungan perairan (Setiawan 2008).HBI melihat hubungan antara nutrient di dalam sungai dengan kelimpahan
makrozoobenthos sesuai dengan tingkat toleransi dari makrozoobenthos Hilsenhoff (1998) dalam Setiawan (2008).
Perhitungan evaluasi kualitas air dengan rumus HBI dapat dilihat pada Tabel 2. Rumus HBI yaitu:

𝑛𝑖 × 𝑡𝑖
𝐻𝐵𝐼 = ∑
𝑁

Keterangan:
HBI = Nilai indeks HBI
ni = Jumlah makrozoobenthos jenis-i
ti = Nilai toleransi jenis-i
N = Jumlah total semua individu makrozoobenthos yang didapatkan

Hubungan indeks HBI dengan kualitas air dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai dari Indeks Biotik Hilsenhoff (HBI)


Indeks Biotik Hilsenhoff Kualitas Air Tingkat Pencemaran
0.00 – 3.75 Sangat baik Tidak tercemar bahan organik
3.76 – 4.25 Baik sekali Sedikit tercemar bahan organik
4.26 – 5.00 Baik Tercemar beberapa bahan organik
5.01 – 5.75 Cukup Tercemar agak banyak
5.76 – 6.50 Agak buruk Tercemar banyak
6.51 – 7.25 Buruk Tercemar cukup banyak
7.26 – 10.00 Sangat buruk Tercemar berat

Kepadatan Makrozoobenthos
Kepadatan jenis individu makrozoobenthos dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Odum 1996):
𝑁𝑖
𝐾=
𝐴
Keterangan:
K = Kepadatan makrozoobentos (ind/m2)
Ni = Jumlah seluruh individu spesies ke-i
A = Luas seluruh daerah pengambilan contoh (m2)
Indeks Keanekaragaman (H’)
Nilai keanekaragaman makrozoobenthos dihitung dengan rumus Shannon dan Weaner (Krebs 1978).
𝑛

H′ = ∑ 𝑃𝑖 ln 𝑃𝑖
𝑖=0
Keterangan:
Pi = ni/N (rasio jumlah individu satu marga terhadap keseluruhan marga)
H’ = Penduga keragaman populasi

Nilai indeks Shannon dan Weaner memiliki kriteria:


H’<1 : Tercemar atau kualitas tercemar berat
H’ 1-3 : Stabilitas komunitas biota sedang atau air tercemar sedang
H’>3 : Stabilitas komunitas biota dalam kondisi prima (stabil) atau kualitas air
Bersih
Beban Pencemaran
Sumber beban pencemar pada lokasi penelitian yang utama adalah lahan pertanian dan penduduk. Beban
pencemaran yang berasal dari limbah domestik dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Kurniawan 2013):

𝐁𝐏𝐝 = 𝐉𝐏𝐝 𝐱 𝐅𝐄 𝐱 𝐑𝐄 𝐱 𝐀𝐥𝐟𝐚

Keterangan:
BPd = Beban pencemaran domestik (gram/hari)
JPd = Jumlah penduduk (jiwa)
FE = Faktor emisi (gram/orang/hari: BOD = 40; COD = 55; TSS = 38)
RE = Rasio ekivalen (pedalaman = 0.625)
Alfa = % limbah ke sungai (pakai septic tank = 0.3; langsung sungai =1).
Perhitungan beban pencemaran dari lahan pertanian dihitung sebagai berikut:

𝐁𝐏𝐏 (𝐩𝐚𝐥𝐚𝐰𝐢𝐣𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐫𝐤𝐞𝐛𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐥𝐚𝐢𝐧) = 𝐋𝐡 𝐱 𝐅𝐄 𝐱 𝟏𝟎 %

Keterangan:
BPP = Beban pencemaran (BOD) pertanian per musim tanam (kg/tahun)
Lh = Luas lahan (ha)
FE = Faktor emisi (kg/ha/musim tanam) (Tabel 3)

𝐁𝐏𝐏 (𝐂𝐎𝐃) = 𝐁𝐏𝐏 (𝐁𝐎𝐃) 𝐱 𝟏. 𝟓

Tabel 1 Faktor emisi pertanian


Tegalan/
Parameter Satuan Sawah
Kebun campuran
BOD (Biological Oxygen Demand) kg/ha/musim tanam 225.00 32.50
TN (Total Nitrogen) 20.00 3.00
TP (Total Phospat) 10.00 1.50
TSS (Total Suspended Solid) 0.46 1.60
Hubungan Kondisi Lahan Sempadan di Dalam dan Luar Kawasan
Hubungan kondisi lahan sempadan sungai di dalam dan di luar kawasan cagar alam pada setiap lebar sempadan
kanan-kiri 100 meter terhadap kualitas air setiap segmen dijelaskan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Umum
Sungai Aek Nabara dan Sungai Aek Sitandiang merupakan salah satu hulu sungai yang memasok ke Daerah Aliran
Sungai (DAS) Batang Toru. Sumber air Sungai Aek Nabara dan Sungai Aek Sitandiang terdapat di dalam Kawasan Cagar
Alam Sibual – buali dan bermuara di DAS Batang Toru. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, segmen satu pada
Sungai Aek Nabara dan Sungai Aek Sitandiang terdapat sumber air panas yang berbau belerang. Substrat pada kedua sungai
tersebut didominasi oleh bebatuan, kerikil, dan berpasir. Panjang lokasi penelitian pada kedua sungai tersebut masing-
masing yaitu 3 km, kedalaman sungai rata-rata Aek Nabara (0.37 m) dan Aek Sitandiang (0.34 m), lebar sungai rata-rata
(8.53 m) dan (9.55 m), debit sungai rata-rata sebesar (4.45 m3/detik) dan (4.10 m3/detik). Sungai Aek Nabara dan Sungai
Aek Sitandiang pada lokasi penelitian memiliki kecepatan arus rata-rata sebesar 1.56 m/detik dan 1.65 m/detik. Menurut
Macon dan Welch (1980) dalam Bakti (1991), tipe arus berdasarkan kecepatannya dapat dibagi menjadi lima tipe yaitu,
sungai arus sangat cepat > 1 m/detik, arus cepat 0.5-1 m/detik, arus sedang 0.2-0.5 m/detik, arus lambat 0.1-02 m/detik, dan
arus sangat lambat < 0.1 m/detik. Berdsarkan tipe arus tersebut, Sungai Aek Nabara dan Aek Sitandiang tergolong dalam
sungai dengan kecepatan arus yang sangat cepat. Kecepatan arus sungai berperan sangat penting pada transpor material
erosi, polutan bahan organik, nutrien dan iktioplankton serta biota air lainnya (Norhadi et al. 2015).

Penggunaan Lahan Sempadan Sungai


Sempadan adalah zona penyangga antara ekosistem perairan (sungai) dan daratan yang umumnya didominasi oleh
tetumbuhan atau lahan basah. Tetumbuhan tersebut berupa rumput, semak, ataupun pepohonan sepanjang tepi kiri atau
kanan sungai. Lahan sempadan pada segmen 1 Sungai Aek Nabara dan Aek Sitanding didominasi oleh pepohonan, dimana
segmen 1 di kedua sungai lokasi penelitian ini terbagi mejadi dua, yaitu sebagian masuk dalam kawasan cagar alam (titik
1) dan ada yang diluar kawasan cagar alam (titik 2). Masing – masing segmen memiliki panjang 1000 meter. Lahan
sempadan di segmen 1 didominasi pepohonan seluas 10.36 hektar, kebun campuran 0.50 hektar, dan permukiman seluas
0.02 hektar (ha). Adapun jumlah penduduk pada lahan permukiman segmen 1 sebanyak 5 jiwa. Pada segmen 2, lahan
sempadan juga didominasi oleh pepohonan seluas 10.77 ha, kebun campuran 1.19 ha, dan permukiman seluas 0.01 ha.
Jumlah penduduk yang berada di segmen 2 sebanyak 4 jiwa. Berbeda dengan segmen 3 yang hanya didominasi oleh
pepohonan dan kebun campuran dengan luas masing – masing 10.96 ha dan 1.48 ha. Sementara itu, segmen 1 sampai
segmen 3 dari Sungai Aek Sitandiang juga sama memiliki panjang 1000 meter namun tidak ada permukiman di lahan
sempadan sungainya. Lahan sempadan pada segmen 1 didominasi pepohonan semua seluas 17.80 ha. Segmen 2 didominasi
dengan pepohonan 14.20 ha, sawah 0.39 ha, dan kebun campuran 0.04 ha. Segmen 3 didominasi pepohonan 11.83 ha,
sawah 0.06 ha, dan kebun campuran 0.89 ha. Penggunaan lahan sempadan sungai yang berada masuk dalam kawasan cagar
alam, khususnya di segmen 1 kedua sungai tersebut belum ada aktivitas kegiatan manusia, yang didominasi oleh pepohonan
semua, sedangkan penggunaan lahan sempadan di segmen 1 setelah keluar dari kawasan cagar alam mulai ada kegiatan
manusia berupa kebun campuran dan permukiman, yang terjadi di Sungai Aek Nabara. Berbeda pada Sungai Aek
Sitandiang yaitu dalam kawasan maupun luar kawasan cagar alam pada segmen 1 masih belum ada kegiatan manusia di
lahan sempadan sungainya dan hanya didominasi oleh pepohonan semua.

Kualitas Air Sungai (Parameter Fisik dan Kimia)


Hasil analisis parameter fisik kimia pada lokasi penelitian yang dilakukan di Laboratorium Shafera Enviro diperoleh
rata-rata dari masing-masing parameter (Tabel 4). Nilai standar untuk parameter fisik dan kimia mengacu pada Peraturan
Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dengan Baku Mutu
Air (BMA) kelas II. Segmen 1 dalam kawasan cagar alam yaitu titik 1 rata – rata hasil nilai parameter fisik dan kimia air
lebih rendah dibandingkan titik lainnya yang berada di luar kawasan cagar alam, hal ini mengindikasikan bahwa di dalam
kawasan cagar alam kualitas air masih lebik baik daripada di luar kawasan cagar alam. Akan tetapi, secara umum kondisi
kualitas air Sungai Aek Nabara dan Aek Sitandiang pada keempat titik menunjukkan kondisi air yang masih memenuhi
baku mutu air kelas II. Suhu air sungai Aek Nabara kisaran 24 – 26ºC dan Aek Sitandiang 21 – 22ºC, kedua sungai ini
menunjukkan kondisi normal suhu air di sungai-sungai di Indonesia. Seperti dalam penelitian Ramdhan et al. (2019), bahwa
di Sungai Ciliwung mendapatkan suhu air berkisar antara 23 – 27.7oC dan di Sungai Cisadane berkisar antara 23.7 – 28.3oC,
temperatur ini masih dalam kondisi baik.
Nilai TSS pada Sungai Aek Nabara berkisar antara 1 – 11 mg/l dan di Sungai Aek Sitandiang berkisar 1 – 2 mg/l.
Nilai TSS pada kedua sungai masih sangat rendah, tidak melebihi baku mutu air yang menunjukkan bahwa kualitas airnya
masih bagus karena tingkat kekeruhannya rendah. Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air baku mutu kelas dua, untuk nilai baku mutu air TSS yakni 50 mg/l. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai TSS di kedua sungai tersebut masih dibawah nilai baku mutu air, dan dapat digunakan sesuai dengan
peruntukannya.
Padatan terlarut (TDS) di perairan menunjukkan adanya kandungan bahan – bahan terlarut yang masuk ke perairan.
Hasil pengukuran TDS berkisar 183 – 212 mg/l di Aek Nabara serta kisaran 5.9 – 55 mg/l di Aek Sitandiang. Berdasarkan
PP No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air baku mutu kelas dua, untuk nilai
baku mutu air TDS yakni 1000 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa nilai TDS di kedua sungai tersebut masih dibawah nilai
baku mutu air, dan dapat digunakan sesuai dengan peruntukannya.
Derajat keasaman (pH) air pada kedua sungai berkisar antara 6.5 – 7.8, masih alami memenuhi baku mutu air Kelas
II (6.0 – 9.0), kecuali pada titik 2 Sungai Aek Nabara yang memiliki nilai pH terendah, dikarenakan ada sumber aliran air
belerang yang mengandung sulfur sehingga menyebabkan pH rendah. Akan tetapi, air di titik tersebut tetap bagus secara
alami, bahwa pH rendah bukan karena tercemar bahan bawaan limbah industri melainkan dari kondisi alamnya. Kondisi
ini dimungkinkan oleh belum adanya masukan limbah yang mempengaruhi perubahan nilai pH air sungai tersebut. Menurut
Yuliastuti (2011), fluktuasi nilai derajat keasaman atau pH dipengaruhi oleh limbah organik maupun anorganik yang
dibuang ke sungai.
Tabel 4 Hasil analisis parameter fisik kimia
BMA kelas Lokasi
Nama Sungai Parameter Satuan
II Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4
o
Suhu C Dev.3 24 25 26 26
Aek Nabara
pH - 6-9 6.50 3.90 6 6.90
TDS mg/l 1000 212 186 183 195
TSS mg/l 50 1 4 4 11
BOD mg/l 3 0.30 0.20 0.20 0.30
COD mg/l 25 8 8 16 24
DO mg/l >4 7.70 7.60 7.50 7.60
N-Total mg/l - 0.09 0.25 0.24 0.27
o
Suhu C Dev.3 21 21 21 22
pH - 6-9 7.70 7.20 7.70 7.80
TDS mg/l 1000 55 55 5.90 6.20
Aek TSS mg/l 50 1 2 2 2
Sitandiang BOD mg/l 3 0.20 0.10 0.30 0.20
COD mg/l 25 16 16 24 24
DO mg/l >4 7.50 7.70 7.60 7.50
N-Total mg/l - 0.15 0.19 0.11 0.15
Konsentrasi oksigen terlarut (DO) pada lokasi penelitian Sungai Aek Nabara dan Aek Sitandiang nilainya hampir
sama yaitu berkisar 7.50-7.70 mg/L. Menurut Simanjutak (2007), semakin tinggi kandungan DO semakin bagus kualitas
air tersebut. Tinggi rendahnya konsentrasi oksigen terlarut di lokasi penelitian disebabkan oleh pergerakan air yang cukup
tinggi. Perairan mengalir cenderung memiliki kandungan oksigen terlarut yang tinggi dibandingkan dengan perairan
tergenang karena pergerakan air memberikan peluang terjadinya difusi oksigen dari udara ke air (Radwan et al. 2003).
Nilai BOD yang sangat rendah mengindikasikan rendahnya kadar pencemar organik di sungai. Sugianti dan Astuti
(2018) menyatakan dalam penelitiannya, yaitu air yang bersih mempunyai nilai DO yang tinggi dan nilai BOD yang rendah.
Nilai BOD yang rendah di kedua sungai menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara titik contoh di dalam
cagar alam (titik 1) maupun diluar cagar alam (titik 2, titik 3 dan titik 4), yaitu nilai BOD < 3,0 mg/l. Hal ini disebabkan
rendahnya limbah bahan organik pada kedua sungai. Sistem perairan alamiah umumnya mempunyai angka BOD berkisar
antara 2 – 3 ppm. Menurut Effendi (2003), perairan tercemar memiliki nilai BOD lebih dari 200 mg/L.
Demikian pula nilai COD di Aek Nabara maupun Aek Sitandiang berkisar antara 8 mg/l – 24 mg/l masih memenuhi
baku mutu air Kelas II. Menurut Radwan et al. (2003) umumnya nilai COD selalu lebih besar dibandingkan dengan nilai
BOD. Pada perairan yang telah tercemar, sebagaimana diteliti Setyaningrum (2014) di Danau Ebony Pantai Indah Kapuk
menunjukkan kandungan COD mencapai 211 mg/L.
Hasil tabel di atas menunjukkan kadar nitrogen rata-rata di Sungai Aek Nabara berkisar antara 0.09 – 0.27 mg/l dan
di Sungai Aek Sitandiang berkisar antara 0.11 – 0.19 mg/l. Nilai Nitrogen pada setiap titik tidak jauh berbeda dan relatif
sangat rendah dari baku mutu, hal ini diduga karena tidak ada buangan limbah domestik, limbah pertanian maupun
peternakan seperti pupuk. Senyawa nitrogen memegang peranan penting dalam kualitas air, terutama bentuk nitrogen yang
dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton dan bentuk nitrogen yang berbahaya bagi kehidupan aquatik (Effendi et al. 2013).

Status Pencemaran
Status pencemaran air sungai pada lokasi penelitian diketahui berdasarkan perhitungan Indeks Pencemaran,
Keanekaragaman Makrozoobenthos, maupun Indeks Biotik Hilsenhoff (HBI).
Indeks Pencemaran
Indeks Pencemaran digunakan untuk mengetahui kualitas perairan dengan menghitung besarnya penyimpangan
kualitas air hasil pengukuran dengan baku mutu air yang telah ditetapkan. Hasil perhitungan IP tersaji pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5 Hasil Indeks Pencemaran


Aek Nabara Aek Sitandiang
Lokasi
Nilai Kategori Nilai Kategori
Titik 1 0.50 Memenuhi baku mutu 0.47 Memenuhi baku mutu
Titik 2 1.73 Tercemar ringan 0.47 Memenuhi baku mutu
Titik 3 0.74 Memenuhi baku mutu 0.70 Memenuhi baku mutu
Titik 4 0.71 Memenuhi baku mutu 0.70 Memenuhi baku mutu
Hasil perhitungan status kualitas air dengan menggunakan Indeks Pencemaran (IP) menunjukkan semua titik sudah
memenuhi baku mutu air, kecuali pada titik 2 di Sungai Aek Nabara yang mengalami tercemar ringan dengan nilai sebesar
1.73. Hal ini dikarenakan terdapat sumber air panas berbau belerang di titik 2 Sungai Aek Nabara yang berpengaruh pada
pH air. PH air biasanya dimanfaatkan untuk menentukan indeks pencemaran dengan melihat tingkat keasaman atau
kebasaan air yang dikaji, terutama oksidasi sulfur dan nitrogen pada proses pengasaman dan oksidasi kalsium dan
magnesium pada proses pembasaan (Asdak 2010). Nilai pH pada titik tersebut yaitu 3.9 masuk dalam kategori tingkat asam.
Nilai pH dapat mempengaruhi kehidupan biologi dalam air. Apabila terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat mematikan
kehidupan mikroorganisme, pH normal berdasarkan PP nomor 82 tahun 2001 untuk kehidupan air adalah 6 – 9. Perbedaan
adanya pencemaran di dalam kawasan cagar alam dan di luar kawasan cagar alam yaitu terlihat pada Sungai Aek Nabara
yang menunjukkan bahwa terjadi pencemaran setelah keluar dari kawasan cagar alam yang diakibatkan dari kondisi alam
yaitu panas bumi yang berada di dalam perut bumi kemudian mengeluarkan mata air yang mengandung zat berbau.
Keanekaragaman Makrozoobenthos
Makrozoobenthos merupakan salah satu biota yang dapat digunakan sebagai parameter biologi untuk menentukan
kondisi suatu perairan karena habitat hidupnya yang cenderung relatif menetap. Makrozoobenthos menetap di dasar
perairan, memiliki pergerakan relatif lambat serta dapat hidup relatif lama sehingga memiliki kemampuan untuk merespon
kondisi kualitas perairan sungai. Makrozoobenthos ditemukan pada kondisi lingkungan dimana makrozoobenthos telah
mengalami penyesuaian (Noortiningsih et al. 2008). Hasil sampling makrozoobenthos tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil Sampling Makrozoobenthos


No. Famili Ordo Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4
Aek Nabara
1 Gerridae Hemiptera 15 0 1 2
2 Dystiscidae Coleoptera 1 0 0 0
3 Chironomdae Diptera 1 25 0 0
4 Simuliidae Diptera 25 0 0 0
Aek Sitandiang
1 Gerridae Hemiptera 1 2 5 2
2 Ephemerellidae Ephemeroptera 5 0 0 25
3 Simuliidae Diptera 5 0 0 0
4 Aeolosomatidae Oligochaeta 0 0 0 50
Hasil sampling makroozobenthos di empat titik lokasi penelitian mendapatkan makrozoobenthos, yaitu di Sungai
Aek Nabara sebanyak 4 famili dari 3 ordo dan di Sungai Aek Sitandiang sebanyak 4 famili dari 4 ordo. Pada Sungai Aek
Nabara jumlah individu yang lebih sering ditemukan berasal dari ordo Diptera dan Hemiptera dengan jumlah masing-
masing 51 individu dan 18 individu. Ordo Coleoptera hanya ditemukan 1 individu. Sungai Aek Nabara di titik 1 ditemukan
jenis makrozoobenthos yang cukup beragam apabila dibandingkan dengan titik 2, 3, dan 4. Famili Dystiscidae dari ordo
Coleoptera yang hanya ditemukan di Titik 1, berdasarkan nilai toleransinya dalam Indeks Biotik Hilsenhoff (HBI), famili
ini memiliki nilai toleransi sangat kecil yaitu sebesar 2, yang mengindikasikan famili Dystiscidae sangat sensitif terhadap
kualitas perairan tempat hidupnya.
Sungai Aek Sitandiang pada Titik 1 dan 4 ditemukan jenis makrozoobenthos yang cukup beragam daripada titik 2
dan 3. Sungai Aek Sitandiang jumlah individu yang lebih sering ditemukan berasal dari ordo Oligochaeta, Ephemeroptera,
dan Hemiptera dengan jumlah masing – masing 50 individu, 25 individu, dan 10 individu. Titik 1 ditemukan 3 ordo yaitu
Ephemeroptera, Diptera, dan Hemiptera yang didominasi oleh famili Ephemerellidae dari ordo Ephemeroptera dan famili
Simuliidae dari ordo Diptera. Titik 4 ditemukan 3 ordo yaitu Oligochaeta, Ephemeroptera, dan Hemiptera yang didominasi
oleh famili Aeolosomatidae dari ordo Oligochaeta dan famili Ephemerellidae dari ordo Ephemeroptera. Penelitian yang
dilakukan oleh Alhejoj et al. (2014), mengenai kualitas air menggunakan ordo Ephemeroptera sebagai indikator dengan
alasan ordo ini memiliki sensitivitas yang baik terhadap perubahan kondisi kualitas air. Hal ini mengindikasikan bahwa,
apabila masih ditemukannya ordo Ephemeroptera berarti perairan tersebut kualitasnya masih baik, karena ordo
Ephemeroptera sangat sensitif terhadap kualitas perairan tempat hidupnya. Berdasarkan hasil Tabel 6 di atas, bahwa di
dalam kawasan cagar alam lebih beragam daripada di luar kawasan cagar alam.
Indeks Biotik Hilsenhoff (HBI)
Indeks Hilsenhoff digunakan untuk mengetahui organisme mana yang lebih peka terhadap kandungan oksigen
terlarut karena adanya masukan bahan organik. Nilai kepekaan ini didasarkan pada ketahanan dari makrozoobentos untuk
hidup dalam kondisi yang tercemar (Ecosprak 2013). Hasil Indeks Biotik Hilsenhoff menunjukkan kualitas air Sungai Aek
Nabara dan Aek Sitandiang masuk ke dalam kategori “Baik” yang artinya perairan tersebut hanya sedikit tercemar bahan
organic (Tabel 7). Nilai HBI di perairan Sungai Aek Nabara dan Aek Sitandiang tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7 Indeks HBI Sungai Aek Nabara dan Aek Sitandiang


Lokasi HBI Kriteria
Aek Nabara
Titik 1 (dalam CA) 3.28 Sangat baik
Titik 2 (luar CA) 8 Sangat buruk
Titik 3 (luar CA) 4 Baik sekali
Titik 4 (luar CA) 4 Baik sekali
Aek Sitandiang
Titik 1 (dalam CA) 2.85 Sangat baik
Titik 2 (luar CA) 4 Baik sekali
Titik 3 (luar CA) 4 Baik sekali
Titik 4 (luar CA) 5.62 Cukup baik
Berdasarkan Tabel 7 di atas, pada titik 1 yang berada dalam kawasan cagar alam masuk dalam kriteria “sangat baik”,
dikarenakan belum ada indikasi tercemar bahan organik dan disini penggunaan lahan masih didominasi oleh pepohonan.
Pada titik 2 Sungai Aek Nabara terjadi kenaikan nilai, hal ini mengindikasikan bahwa terjadi penurunan kualitas air, karena
pada titik 2 terdapat sumber mata air panas berbau belerang dan penggunaan lahan sempadan oleh pembangunan kawasan
wisata air panas yang mengindikasikan air tercemar. Pada titik 3 dan 4 mengalami penurunan nilai, ini mengindikasikan
bahwa terjadi perbaikan kualitas air, dimana pada titik 3 dan 4 penggunaan lahan didominasi oleh pepohonan dan bebatuan.
Sungai Aek Sitandiang pada titik 1 juga sama masuk kriteria “sangat baik”, belum ada indikasi tercemar bahan
organik, karena penggunaan lahan juga masih didominasi oleh pepohonan. Pada titik 2 air sungai mulai dimanfaatkan untuk
irigasi pertanian air mandi umum warga. Hasil Indeks Hilsenhoff dalam penelitian ini hampir sejalan dengan hasil Indeks
Pencemaran. Hal ini karena paramater yang digunakan di dalam indeks ini merupakan makrozoobentos yang hampir seluruh
hidupnya menetap pada suatu perairan sehingga cocok digunakan untuk mengetahui kondisi perairan secara akumulatif
(Gretchen 2007) dalam Bachti (2019). Pada titik 4 terjadi kenaikan nilai (status menurun) kembali, dikarenakan air sungai
dari titik 2 yang digunakan untuk irigasi pertanian bertemu lagi ke titik 4, hal ini terindikasi terjadinya pencemaran limbah
pertanian namun kualitas airnya masih cukup baik. Secara keseluruhan status mutu air yang masih dalam kategori “baik”
untuk kedua sungai disebabkan oleh kondisi tutupan lahan bervegetasi di Cagar Alam, khususnya kondisi sempadan yang
belum banyak dimanfaatkan penduduk.
Beban Pencemaran
Penelitian kualitas air sungai tidak lepas dari penggunaan lahan dan tutupan lahan yang terdapat di sempadannya.
Perubahan Penggunaan lahan dan aktivitas manusia mengakibatkan adanya beban ekologis berupa beban pencemaran yang
semakin berat. Kondisi wilayah pengambilan data berupa permukiman dan kebun campuran. Analisis mengenai beban
pencemaran dalam penelitian ini dibedakan menjadi beban pencemaran BOD, COD, TSS dan Nitrogen.
Secara umum beban pencemaran Sungai Aek Nabara dan Sungai Aek Sitandiang memiliki potensi yang relatif
sangat rendah per hektarnya pada masing-masing parameter. Hasil Tabel 8 menunjukkan tidak terlalu adanya perbedaan
yang signifikan terhadap potensi beban pencemaran pada setiap segmen, hal ini disebabkan komposisi penggunaan lahan
yang relatif sama setiap segmen pada kedua sungai tersebut, sebagaimana yang dipaparkan pada pembahasan penggunaan
lahan. Segmen 3 Sungai Aek Nabara memberikan beban pencemaran tertinggi yang berada di luar kawasan cagar alam,
meskipun dalam segmen tidak terdapat permukiman namun penggunaan lahan berupa kebun campuran yang terdapat pada
segmen 3 lebih besar dibandingkan segmen lainnya dengan jumlah seluas 1.48 ha. Hasil perhitungan beban pencemaran
dan penambahan beban pencemaran terhadap parameter kualitas air yang terdapat di sempadan Sungai Aek Nabara dan
Sungai Aek Sitandiang dapat dilihat pada Tabel 8.
Bahan organik merupakan pencemar tertinggi yang dicerminkan dari nilai COD dan BOD yang masuk ke perairan
Sungai Aek Nabara mencapai 15.8 kg/th dan 10.56 kg/th. Pada Sungai Aek Sitandiang, yaitu segmen 2 yang berada di luar
kawasan juga sama memberikan kontribusi tertinggi dibandingkan kedua segmen lainnya dengan nilai COD 13.4 kg/th dan
BOD 8.91 kg/th, hal ini diduga banyaknya lahan pertanian berupa sawah pada daerah sempadan sungainya. Selain itu, Tabel
5 juga menunjukkan beban pencemaran untuk parameter total nitrogen relatif rendah pada semua segmen tiap hektarnya.
Hal ini karena pemberian pupuk yang tidak intensif pada penggunaan lahan berupa kebun maupun sawah. Hasil penelitian
Santosa (2018) menyatakan bahwa beban pencemaran total nitrat dan pospat pada sawah lebih tinggi karena pemberian
pupuk berupa pupuk kandang, urea dan pospat selama proses penanaman yang sangat intensif dibandingkan kebun dan
tegalan. Secara keseluruhan beban pencemaran di kedua sungai lokasi penelitian tergolong rendah, karena masih
dominannya lahan berhutan serta sedikitnya penduduk maupun lahan sawah dan kebun yang dikelola penduduk. Beban
TSS pada sungai Aek Nabara dan Aek Sitandiang juga memiliki kontribusi pencemaran lebih rendah dari parameter lainnya
yaitu sebesar 0.74 kg/th dan 0.17 kg/th, hal ini diduga karena dominannya vegetasi pada penggunaan lahan sempadan sungai
maka masih jarang terjadi pengikisan akibat erosi atau sedimen yang terbawa arus sungai.

Tabel 8 Beban pencemaran


Beban pencemaran (kg/th)
Lokasi
BOD COD TSS TN
Sungai Aek Nabara
Segmen 1
Permukiman 0.14 0.19 0.13
Kebun campuran 1.63 2.44 0.08 0.15
1.77 2.63 0.21 0.15
Segmen 2
Permukiman 0.11 0.15 0.10
Kebun campuran 3.87 5.80 0.19 0.36
3.98 5.95 0.29 0.36
Segmen 3
Permukiman 0 0 0
Kebun campuran 4.81 7.22 0.24 0.44
4.81 7.22 0.24 0.44
Total 10.56 15.8 0.74 0.95
Sungai Aek Sitandiang
Segmen 1
Sawah 0 0 0 0
Kebun campuran 0 0 0 0
0 0 0 0
Segmen 2
Sawah 8.78 13.2 0.02 0.78
Kebun campuran 0.13 0.20 0.006 0.01
8.91 13.4 0.026 0.79
Segmen 3
Sawah 1.35 2.03 0.003 0.12
Kebun campuran 2.89 4.34 0.14 0.27
4.24 6.37 0.14 0.39
Total 13.15 19.77 0.17 1.18
Potensi beban pencemaran penelitian Bachti (2019) menyatakan bahwa bahan organik merupakan pencemar
tertinggi yang dicerminkan dari nilai COD dan BOD yang masuk ke perairan Sungai Cihideung mencapai 72.200 kg/th/ha
dan 25.426 kg/th/ha. Hasil analisis tersebut juga menunjukkan bahwa beban pencemaran Sungai Aek Nabara dan Aek
Sitandiang masih relatif sangat rendah jika dibandingkan dengan penelitan Bachti (2019) Sungai Cihideung segmen
Kampus IPB Dramaga, hal ini dikarenakan Sungai Aek Nabara yang tidak sepenuhnya setiap segmen penggunaan lahan
adalah permukiman dan juga Sungai Aek Sitandiang bahkan tidak ada permukiman di setiap segmen penggunaan lahan,
melainkan terdapat lahan pepohonan, sawah, dan kebun campuran. Hasil beban pencemaran yang tergolong sangat rendah
air kelas II dan Indeks Pencemaran “tercemar ringan” di setiap segmen. Segmen 1 pada kedua sungai tersebut lebih rendah
dibanding segmen lainnya, hal ini menunjukkan lahan sempadan di dalam kawasan cagar alam masih baik dan dipenuhi
vegetasi daripada diluar kawasan cagar alam. Akibatnya, kualitas air sungai di dalam cagar alam masih lebih baik dari
kualitas air sungai di luar cagar alam.
SIMPULAN

Hasil analisis kondisi kualitas air Sungai Aek Nabara dan Sungai Aek Sitandiang di dalam kawasan maupun di luar
kawasan cagar alam menunjukkan kualitas air yang tergolong “bagus”, berdasarkan analisis sebagai berikut:
1. Semua titik sampling baik di dalam maupun diluar cagar alam menunjukkan parameter-parameter fisik-kimia yang
memenuhi baku mutu air kelas II, kecuali pada titik-2 Aek Nabara (pH 3,9) karena ada aliran air belerang dari sumber
air panas di cagar alam.
2. Berdasarkan Indeks Pencemaran (IP), Sungai Aek Nabara dan Aek Sitandiang termasuk ke dalam kategori “memenuhi
baku mutu”.
3. Berdasarkan Indeks Biotik Hilsenhoff (HBI), Sungai Aek Nabara tergolong ke dalam kategori kualitas air “sangat baik”
hingga “sangat buruk” pada titik-2 Aek Nabara. dengan besar indeks 3.28 – 8.0, sedangkan Sungai Aek Sitandiang
tergolong kualitas air “sangat baik” hingga “cukup” dengan indeks 2.85 – 5.62.
4. Beban pencemaran yang dihasilkan dari sumber pencemar pada seluruh segmen kedua sungai relatif lebih rendah, yaitu
pada Sungai Aek Nabara sebesar 1.77 kg/th (BOD), 2.63 kg/th (COD), 0.21 kg/th (TSS), dan 0.15 kg/th (TN), kemudian
Sungai Aek Sitandiang tidak ada pencemaran dari BOD, COD, TSS, maupun TN.
5. Pencemaran di dalam kawasan cagar alam lebih rendah bahkan tidak tercemar jika dibandingkan diluar
kawasan cagar alam. Namun secara keseluruhan pengaruh potensi beban pencemaran Sungai Aek Nabara dan
Aek Sitandiang masih relatif kecil, sehingga status pencemaran kedua sungai masih tergolong kategori rendah.

SARAN

Perlu adanya penelitian lebih lanjut dan lebih detail terhadap parameter – parameter kualitas air pada
kedua sungai tersebut serta pengulangan pengambilan sampel per minggu/ per bulan/ per tahun untuk mengetahui
secara langsung perubahan kualitas air sungainya, karena memang di lokasi penelitian sungai ini masih sangat
kekurangan informasi data untuk dijadikan referensi penelitian selanjutnya maupun untuk pengelolaan dan
pengambilan kebijakan yang baik bagi instansi terkait. Selain itu, perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat
untuk selalu menjaga keberadaan sungai tersebut agar tidak tercemar lebih akibat aktivitas didaerah sempadan
sungai.
DAFTAR PUSTAKA

Alhejoj I, Elias S, Klaus B. 2014. Mayflies (Order Ephemeroptera): an effective indicator of water bodies conditions in
Jordan. International Journal of Scientific Research in Environmental Sciences. 2(10): 346-3xx.
Asdak C. 2010. Hidrologi dan Pengelolan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Bachti FR. 2019. Beban Pencemaran sempadan Sungai Cihideung pada segmen Kampus IPB Dramaga, Bogor [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Bakti MY. 1991. Karakteristik komunitas makrozoobentos di muara Sungai Citarum dalam hubungannya dengan
pendugaan pencemaran perairan di Teluk Jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[BKSDA Sumut] Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara. 2004. Buku Panduan Kawasan Cagar Alam Dolok
Sibual – buali. Medan (ID): Departemen Kehutanan.
EcoSpark. 2013. Water Quality Monitoring with Benthic Macroinvertebrates Field Guide 2013. Toronto (US): EcoSpark.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Effendi H, Kristianiarso AA, Adiwilaga EM. 2013. Karakteristik kualitas air Sungai Cihideung, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Jurnal Ecolab. 7(2): 4910
Effendi H. 2015. Simulasi Penentuan Indeks Pencemaran dan Indeks Kualitas Air (NSW – WQI). Jakarta (ID): Puslitbang
Kualitas dan Laboratorium Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Gretchen AH. 2007. Methods for the collection and analysis of benthic macroinvertebrate assemblages in wadeable streams
of the Pacific Northwest. Washington (US): Pacific Northwest Aquatic Monitoring Partnership.
Kurniawan B. 2013. Inventarisasi dan Identifikasi Sumber Pencemar. Jakarta (ID): Deputi Pengendalian Pencemaran
Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup.
Noortiningsih, Ikna S, Sri H. 2008. Keanekaragaman makrozoobenthos, meiofauna, dan foraminifera di Pantai Pasir Putih
Barat dan muara Sungai Cikamal Pangandaran, Jawa Barat.Jurnal Vis Vitalis. 1(1): 34 – 42.
Norhadi A, Marzuki A, Wicaksono L, Yacob RA. 2015. Studi debit pada Sungai Antasan Kelurahan, Sungai Andai
Banjarmasin Utara. Jurnal Poros Teknik. 7(1): 1-53.
Odum EP. 1996. Dasar – Dasar Ekologi. Terjemahan Samingan T. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Pemerintah Republik Indonesia. 2011. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Sungai.
Jakarta(ID): Sekretariat Negara.
Rachmawati, E. & Catur, R. 2014. Karakteristik Vegetasi Riparian dan Interaksinya dengan Kualitas Air Mata Air Sumber
Awan Serta Salurannya di Kecamatan Singosari, Malang. Jurnal Biotropika. Vol. 2(3).
Radwan M, Willems P, El-Sadek A, Berlamont J. 2003. Modelling of dissolved oxygen and biochemical oxygen demand
in river water using a detailed and a simplified model. Journal of River Basin Management. 1(2): 97-103.
Ramdhan M, Tarigan SD, Suharnoto Y, Arifin HS. 2019. Pemetaan status kualitas sumberdaya air permukaan di Kota
Bogor dan upaya pengelolaannya menuju kota sensitif air. Di dalam: Rachma TRN, Oktaviani N, Sabita HN,
Suryanegara E, Pujawati I, Safi’I AN, Gaol YAL, Syetiawan A, Hidayat F, Hariyono MI, Narieswari L, Rudiastuti
AW, Susetyo DB, Munawaroh, Purwono N, Hartanto P, editor. Penggunaan dan Pengembangan Produk Informasi
Geospasial Mendukung Daya Saing Nasional. Seminar Nasional Geomatika; 2018 Sep 5; Bogor, Indonesia.
Cibinong: Badan Informasi Geospasial. 627 – 639.
Santosa AM. 2018. Hubungan Tipe Penggunaan Lahan Dengan Kualitas Air Sungai Di Taman Kehati Babakan Pari,
Sukabumi, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Setiawan D. 2008.Struktur komunitas makrozoobenthos sebagai indikator kualitas lingkungan perairan hilir Sungai Musi.
[tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB.
Simanjutak, M. 2007. Oksigen Terlarut dan Apparent Oxygen Utilization di Perairan Teluk Klabat Pulau Bangka. Jurnal
Ilmu Kelautan. 12 (2): 59-66.
Sugianti, Y. & L.P. Astuti. 2018. Respon oksigen terlarut terhadap pencemaran dan pengaruhnya terhadap keberadaan
sumberdaya ikan di Sungai Citarum. Jurnal Teknologi Lingku-ngan, 19(2): 203-211.
Susetyaningsih A. 2012. Pengaturan penggunaan lahan di daerah hulu DASCimanuk sebagai upaya optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya air. Jurnal Konstruksi Sekolah Tinggi Teknologi Garu. Vol. 10 No. 1.
Yuliastuti, E. 2011. Kajian kualitas air Sungai Ngringo Karangannyar dalam upaya pengendalian pencemaran air. [tesis].
Semarang (ID): Universitas Dipenogoro.
.

Anda mungkin juga menyukai