Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH MANAJEMEN PAJAK

“TAX PLANNING PPH PASAL 22,23/26, DAN PPH FINAL”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4
A. ALFIYYAH SYAHADATI JUANA (A031191101)
ANDI ISLAH AMANAH (A031191107)
ANGELA CANDRA (A031191069)
AUDY ALIFIA RUDY (A031191084)

DOSEN PENGAMPU:
HJ. ANDI KUSUMAWATI, DR. SE., M.SI, AK, CA

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS HASANUDDIN
TAHUN 2021
1. Pajak Penghasilan Pasal 22

Tax Management Pemotongan dan Pemungutan

PPh Pasal 22 impor ini menyangkut pemungutan pajak di sekotr impor, yang berhubungan dengan
penyerahan dan pembayaran barang, serta pemasukan barang dari luar daerah pabean. Dalam hal impor,
tariff PPh Pasal 22 bervariasi, dimana kalau mempunyai API tarifnya 2,5% dari nilai impor dan kalau tidak
mempunyai API tarifnya 7,5% dari nilai impor.

Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning, sehingga dalam melakukan impor, tax
planner sering merekomendasikan impor dengan API. Akibatnya banyak orang yang memfasilitasi penggunaan
(“peminjaman”) API, dengan menggunakan API pengusaha yang seharusnya menggunakan tarif pajak 7,5%
menjadi 2,5%. Hal ini dapat menghemat cash flow perusahaan selama masa tertentu, walaupun pada akhirnya
PPh Pasal 22 ini akan menjadi kredit pajak dari PPh Badan yang terutang dalam SPT Tahunan PPh badan (bila
perusahaan dapat profit).

Dalam dunia shipping (laut dan udara), ada istilah “hadling fee”, yakni jumlah fee yang harus dibayar
berdasarkan perjanjian handling fee antara importir yang mempunyai API dengan pemilik barang atas jasa yang
diberikan. Atas pengenaan handling fee tersebut, dipotong PPh Pasal 23. Cara ini dapat dipakai oleh orang atau
perusahaan yang tidak mempunyai API dengan “meminjam” bendera perusahaan yang punya API untuk
mengeluarkan barang impornya dengan kompensasi pemberian “hadling fee”. Bila benefitnya (5%) lebih besar
dari cost of handling fee yang dikeluarkan (misalnya 1,5% - 2%), maka si pemilik barang masih bisa
memperoleh tax saving dalam PPh Pasal 22 sebesar 3% - 3,5% dari harga barang impor. Cara ini juga dapat
menghemat cash flow untuk masa tertentu, karena kredit pajak dari PPh Pasal 22 tersebut hanya akan
menyebabkan lebih bayar.

Tetapi perusahaan yang meminjamkan benderanya juga harus berhati-hati, karena masalah transaksi
peminjaman bendera ini selain dapat menimbulkan masalah pajak, juga dapat menimbulkan masalah hukum
dalam kasus di mana transaksi tersebut dimanfaatkan untuk hal-hal negatif atau melanggar hukum. Bila hal ini
terjadi, maka pihak yang harus bertanggung jawab adalah pihak perusahaan yang meminjamkan benderanya
itu. Berbeda dengan pajak, masalah pajak dalam suatu aktivitas bisnis lebih melihat kepada apakah ada objek
pajak atau tidak dan apakah kewajiban perpajakannya telah dilaksanakan secara benar sesuai ketentuan
perpajakan, serta syarat formal dan material pembukuannya terpenuhi dalam arti semua transaksi harus
mempunyai bukti pendukung yang sah dan valid serta dapat dibuktikan legalitas transaksinya.

Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal, seperti tidak melanggar
ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal (reasonable), serta didukung oleh bukti-bukti pendukung yang
memadai (kontrak, invoicen dan sebagainya). Oleh sebab itu untuk meminimalisasi koreksi fiskal pihak fiskus
terhadap hal-hal tersebut, solusinya adalah dengan membuat kontrak yang jelas dan secara transparan
mencantumkan hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak.
Perusahaan yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh Pasal 22 yang tidak bersifat final.
Sedangkan untuk PPh Pasal 22 yang bersifat final tidak dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh.

Pengecualian-pengecualian (Tax Exemption) PPh Pasal 22

Ada juga pengecualian-pengecualian pajak yang juga harus diperhatikan oleh tax planner. Yang
dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, adalah (a) Impor barang dan atau penyerahan
barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan; (b)
Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Kementrian Keuangan No. 08/PMK.03/2008.

Contoh kasus: Suatu perusahaan, katakanlah PT A (BUMN), yang mempunyai fasilitas bebas impor
barang (impor dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu bersifat strategis yang dibebaskan dari
pengenaan PPN) dan juga dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai. PT A
mempunyai rekanan kontraktor yaitu PT B (kontraktor). Sebenarnya PT B ini juga mempunyai API tapi dia tidak
memanfaatkan API nya sendiri, tapi menyuruh PT A menggunakan API-nya. Jadi segala sesuatu yang
melaksanakan impor seolah-olah PT A, padahal dalam pelaksanaannya di lapangan yang mengeksekusi PT B.
Hal ini dilakukan karena API dari PT B yang digunakan untuk mengeluarkan barang impor, akan terkena Bea
Masuk, PPN Impor, dan PPh Pasal 22 impor, karena PT B tidak memiliki fasilitas impor barang strategis yang
dibebaskan dari pengenaan PPN. Jadi disini PT B dapat menghemat cash flow nya. Seandainya kontrak
perjanjian antara PT A dengan PT B mensyaratkan PT B mengimpor barang dan harus melakukan pembayaran
di muka atas biaya-biaya impor (dengan asumsi bebas impor duties: bea masuk, PPN impor, dan PPh Pasal 22
impor), maka bagi PT B (kontraktor) tekanan beban cash flow-nya sudah agak ringan.

Dalam hal ini tax planner atau tax manager PT B masih harus bekerja sama dengan tax manager PT A
mengajukan permohonan tertulis kepada Dirjen Pajak untuk mendapat surat keputusan bahwa barang yang
diimpor tersebut didefinisikan sebagai barang strategis yang mendapat pembebasan bea masuk, PPN impor
dan PPh Pasal 22 impor, karena pengajuan surat permohonan tersebut harus dibuat secara formal atas nama
PT A, bukan atas nama PT B.

Pengajuan SKB PPh Pasal 22

Sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat mengajukan permohonan
pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal
Pajak karena:

a. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang Pajak
Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal.

b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang kerugian tersebut jumlahnya
lebih besar dari perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan.

c. Pajak penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang.
Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan permohonan Surat Keterangan Bebas
(SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi kriteria, dan tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan
momentum kapan permohonan SKB PPh Pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi lebih bayar pajak
penghasilan. Secara garis besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat 3 kelompok, yaitu:

1. PPh Pasal 22 Impor

Besarnya PPh Pasal 22 Impor adalah:

1. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API):

 Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir, dikenai tarif pajak
sebesar 0,5% dari nilai impor.

 Selain impor gandum dan tepung terigu oleh importir yang memiliki API tetap dikenai
2,5% dari nilai impor.

2. Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% dari nilai impor.

3. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% dari harga jual lelang.

Impor barang untuk kegiatan yang dikenakan PPh Final

 Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas imbalannya semata-mata
dikenakan PPh final, tidak dikenai PPh Pasal 22 impor.

 WP dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang yang bersangkutan.

 Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidka digunakan untuk kegiatan yang tidak
dikenakan PPh fibal, maka PPh Pasal 22 yang terutang akan ditagih beserta dengan sanksi bunganya.

2. PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD

Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan ke APBN/D, besarnya PPh Pasal
22 yang harus dipungut adalah sebesar 1,5 % dari harga beli yang dipungut pada saat pembayaran.
Pemungutan dilakukan oelh Ditjen Anggaran, Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau BUMN/D
yang dananya berasal dari APBN/D.

PPh Pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi wajib pajak penjual dan harus disetor oleh
pemungut dengan menggunakan SSP atas nama Wajib Pajak yang dipungut (penjual).

3. PPh Pasal 22 atas Kegiatan Usaha Lain

Rincian besarnya PPh Pasal 22 untuk kegiatan usaha lain akan diperlihatkan dalam Tabel dibawah ini:
Tabel Objek PPh Pasal 22

No Obejek Pajak Tarif Dasar Pengenaan Sifat Dasar

Pajak (DPP) Hukum


1. Pembelian Barang Dalam Negeri

a. Pembelian Barang oleh 1,5% Harga Pembelian


Bedaharawan, BUMN/D dan
Badan-Badan tertentu.

b. Pembelian Bahan-Bahan
berupa hasil Perhutanan,
Perkebunan, Pertanian, dan 0,25% Harga Pembelian
untuk Keperluan Industri dan
Ekspor dari Pedagang
Pengumpul.
2. Impor Barang

a. Importir mempunyai API 2,5% Nilai Impor

b. Importir tidak mempunyai API 7,5% Nilai Impor

c. Pemenang Hasil Lelang Impor 7,5% Nilai Lelang


yang Tidak Dikuasai
3. Penjualan Hasil Produksi Tertentu di

Dalam Negeri

a. Industri Semen 0,25% DPP PPN KEP-401/01

b. Industri Kertas 0,10% DPP PPN KEP-69/95


0,30% DPP PPN KEP-01/96
c. Industri Baja
0,45% DPP PPN KEP-32/95
d. Industri Otomotif

e. Bahan Bakar Minyak dan Gas SPBU KEP-417/01

Swastanisasi

 Premium 0,3% Penjualan Final

 Solar 0,3% Penjualan Final

 Premix/Super TT 0,3% Penjualan Final

 Minyak Tanah - Penjualan Final


 Pelumas -

- Penjualan Final

4. Penjualan Barang yang Tergolong 5% Penjualan


Harga Jual Tidak Final

Sangat Mewah Termasuk PPN &


PPnBM

2. PAJAK PENGHASILAN PASAL 23


A. Pengertian
Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan pajak penghasilan dalam tahun berjalan yang dipotong atas
penghasilan yang di terima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang
berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh
pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah , subjek pajak badan dalam negeri ,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap , atau perwakilan perusahaan luar negeri yang lain.
1. Pemotong:
a) badan pemerintah;
b) subjek pajak badan dalam negeri;
c) penyelenggaraan kegiatan;
d) bentuk usaha tetap (BUT);
e) perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
f) wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
sebagai pemotong PPh pasal 23 sebagaimana diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-
50/PJ/1994 Meliputi :
a. Akuntan,Arsitek,Dokter,Notaris,Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut
adalah camat , pengacara , dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran
berupa sewa.
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
a. WP dalam negeri (Orang pribadi dan Badan)
b. BUT ( Bentuk Usaha Tetap)

B. Dasar Perhitungan dan Tarif


Tarif dan Objek
1. 15% dari jumlah bruto atas:
a. Dividen. dengan nama dan dalam bentuk apapun , termasuk deviden dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
c. royalti; dan
d. hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh pasal 21 ayat 1 huruf
e Undang Undang PPh.
2. 2% dari jumlah bruto atas:
a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau
bangunan; dan
b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, jasa lain
selain jasa yang telah di potong PPh Pasal 21. Jasa lain terdiri dari: (PMK141/03/2015)
1) Jasa penilai (appraisal);
1) Jasa aktuaris;
2) Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
3) Jasa hukum;
4) Jasa arsitektur;
5) Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;
6) Jasa perancang (design);
7) Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali
yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;
8) Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi
(migas);
9) Jasa penambangan dan jasa penunjang selain di bidang usaha panas bumi dan
penambangan minyak dan gas bumi (migas);
10) Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
11) Jasa penebangan hutan;
12) Jasa pengolahan limbah;
13) Jasa penyedia tenaga kerja dan/ atau tenaga ahli (outsourcing services);
14) Jasa perantara dan/ atau keagenan;
15) Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek,
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI);
16) Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh Kustodian Sentral Efek
Indonesia (KSEI);
17) Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
18) Jasa mixing film;
19) Jasa pembuatan saranan promosi film, iklan, poster, photo, slide, klise, banner,pamphlet,
baliho dan folder;
20) Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk
perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
21) Jasa pembuatan dan/ atau pengelolaan website;
22) Jasa internet termasuk sambungannya;
23) Jasa penyimpanan, pengolahan, dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
24) Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV
kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi
dan mempunyai izin dan/ atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
25) Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV
kabel, dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya
di bidang konstruksi dan inempunyai izin dan/ atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi;
26) Jasa perawatan kendaraan dan/ atau alat transportasi darat, laut dan udara;
27) Jasa maklon;
28) Jasa penyelidikan dan keamanan;
29) Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
30) Jasa penyediaan tempat. dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media
lain untuk penyampaian informasi, dan/ atau jasa periklanan;
31) Jasa pembasmian hama;
32) Jasa kebersihan atau cleaning service;
33) Jasa sedot septic tank;
34) Jasa pemeliharaan kolam;
35) Jasa katering atau tata boga;
36) Jasa freight forwarding;
37) Jasa logistik;
38) Jasa pengurusan dokumen;
39) Jasa pengepakan;
40) Jasa loading dan unloading;
41) Jasa laboratorium dan/ atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau insitusi
pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
42) Jasa pengelolaan parkir;
43) Jasa penyondiran tanah pengujian
44) Jasa penyiapan dan/ atau pengolahan lahan;
45) Jasa pembibitan dan/ atau penanaman bibit;
46) Jasa pemeliharaan tanaman;
47) Jasa pemanenan;
48) Jasa pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan/atau
perhutanan;
49) Jasa dekorasi;
50) Jasa pencetakan/penerbitan;
51) Jasa penerjemahan;
52) Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang
Pajak Penghasilan;
53) Jasa pelayanan kepelabuhanan;
54) Jasa pengangkutan melalui jalur pipa;
55) Jasa pengelolaan penitipan anak;
56) Jasa pelatihan dan/ atau kursus;
57) Jasa pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
58) Jasa sertifikasi;
59) Jasa survey;
60) Jasa tester, dan
61) Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
3. Untuk yang tidak memiliki NPWP besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% dari tariffPPh
Pasal 23.

Jumlah bruto sebagaimana dimaksud diatas:


a) untuk jasa katering adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan
pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap, dan
a) untuk jasa selain jasa katering adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya
oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau
bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
1) pembayaran gajl, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga kerja
kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna
jasa;
1) pembayaran kepada penyedia jasa atas pengadaan/pembelian barang atau material yang
terkait dengan jasa yang diberikan;
2) pembayaran kepada pihak ketiga yang dibayarkan melalui penyedia jasa, terkait Jasa yang
diberikan oleh penyedia jasa; dan/ atau
3) pembayaran kepada penyedia Jasa yang merupakan penggantian (reimbursement) atas
biaya yang telah dibayarkan penyedia jasa kepada pihak ketiga dalam rangka pemberian jasa
bersangkutan.

Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 23 adalah:


1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam
negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
a. bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMD, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% ( dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
4. Dividen yang diterima orang pribadi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 17 ayat 2c undang
undang PPh,
5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif;
6. SHU ( sisa hasil usaha) koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
7. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi
sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan termasuk yang menggunakan pembiayaan berbasis
syariah.Badan usaha sebagaimana dimaksud di atas terdiri atas;
a. perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha diluar bank dan lembaga keunagan
bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha
lembaga pembiayaan dan telah memperoleh izin usaha dari menteri keuangan;
b. badan usaha milik Negara atau bdan usaha milik daerah yang khusus didirikan untuk
memberikan sarana pembiayaan bagi usaha mikro,kecil,menengah,kopersi,termasuk PT(persero)
permodalan nasional madani)

Saat Pemotongan
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 UU PPh dilakukan pada akhir bulan dibayarkannya penghasilan,
disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau jatuh temponya pembayaran penghasilan yang
bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan


1. Pajak penghasilan pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannnya pembayaran atau pada akhir
bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
1. Pajak penghasilan pasal 23 harus disetorkan oleh pemotong pajak selambat-lambatnya tanggal 10
bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos
Indonesia.
2. Pemotong PPh Pasal 23 di wajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya
20 hari setelah masa pajak berakhir dengan dilampiri:
a. Lembar ketiga SSP bukti setoran PPh pasal 23
b. Daftar bukti pemotongan PPh pasal 23 ;
c. Lembar kedua bukti pemotongan PPh pasal 23.
3. Pemotongan PPh Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotong kepada orang pribadi atau
badan yang dibebani Pajak Penghasilan yang dipotong.
4. Pelaksanaan pemotong, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 23 dilakukan secara desentralisasi
artinya dilakukan di tempat terjadinya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang merupakan
Objek PPh Pasal 23, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah, pengawasan terhadap pelaksaan
pemotongan PPh Pasal 23 tersebut

Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 23 bertepatan dengan hari libur
termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.

Tempat Pemotongan
1. Atas transaksi-transaksi yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang pembayarannya
dilakukan oleh kantor pusat, maka PPh Pasal 23 dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh kantor pusat.
2. Atas transaksi-transaksi yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang pembayarannya
dilakukan oleh kantor cabang, misalnya pembayaran sewa mesin oleh kantor cabang, PPh Pasal 23
dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh kantor cabang yang bersangkutan.
3. Ketentuan tentang pemusatan pelaksanaan pemotongan, penyetoran, pelaporan PPh Pasal 23 tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bukti Pemotong
Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang
Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.

3. PAJAK PENGHASILAN PASAL 26


A. Pengertian
Pajak Penghasilan Pasal 26 merupakan PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber
dari Indonesia yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.
Pemotong PPh Pasal 26 adalah:
a. badan pemerintah;
b. subjek pajak badan dalam negeri;
c. penyelenggaraan kegiatan;
d. bentuk usaha tetap (BUT);
e. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;

B. Dasar Perhitungan dan Tarif


Tarif dan Objek
1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima wajib pajak luar negeri berupa:
a. Dividen
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
d. mbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
e. hadiah, penghargaan
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya
g. premi swap dan transaksi lindung lainnya, dan/atau
h. keuntungan karena pembebasan utang
2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa:
a. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia
b. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada
prusahaan asuransi di luar negeri
3. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara
condult company atau spesial purpose company yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang
memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia
4. 20% (final) dari penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia kecuali
penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia
5. Tarif berdasarkan perjanjian penghindaran pajak berganda antara Indonesia dengan negara pihak pada
persetujuan

Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan


1. Pajak penghasilan pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannnya pembayaran atau pada akhir
bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
2. Pajak penghasilan pasal 26 harus disetorkan oleh pemotong pajak selambat- lambatnya
tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak ke bank persepsi atau
Kantor Pos Indonesia.
3. Pemotong PPh Pasal 26 di wajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-
lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir. Pemotongan PPh Pasal 26 harus memberikan
tanda bukti pemotong kepada orang pribadi atau badan yang dibebani Pajak Penghasilan yang
dipotong.
4. Pelaksanaan pemotong, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 26 dilakukan secara desentralisasi
artinya dilakukan di tempat terjadinya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang merupakan
Objek PPh Pasal 26, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah, pengawasan terhadap pelaksaan
pemotongan PPh Pasal 26 tersebut

Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 26 bertepatan dengan hari libur
termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.

4. TAX PLANNING PPH PASAL 22/23/26 DAN PPH FINAL


Beberapa hal kruasial dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final:
1. Masalah Pembuatan Kontrak
Pada transaksi yang merupakan objek PPh Pasal 23/26/Final, hal pokok yang harus
diperhatikan adalah masalah pembuatan kontrak. Kontrak bisa dikatakan sebagai cikal bakal terjadinya
transaksi antara pihak-pihak terkait. Jika kontrak tidak ada, dapat digantikan oleh SPK (Surat Perintah
Kerja), atau PO (Purchase Order). Oleh karena itu kesepakatan yang dibuat di dalam kontrak harus
mencakup kesepakatan yang memengaruhi hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak.
Jika di dalam kontrak jelas disebutkan nilai jasa dan nilai materialnya, maka PPh Pasal 23/26
hanya akan dikenakan atas jasa yang diberikan saja, kecuali untuk jasa konstruksi dan jasa catering
(termasuk nilai materialnya). Sebaliknya, jika di dalam kontrak tidak ada pemisahan antara nilai jasa
dan nilai material, maka PPh Pasal 23 dikenakan atas keseluruhan nilai kontrak.
2. Konflik Dalam Withholding Tax
Jika perusahaan memiliki transaksi yang menimbulkan kewajiban untuk memungut
withholding tax, maka penting bagi perusahaan untuk melaksanakan kewajibannya ini sebaik-baiknya.
Konflik dalam withholding tax akan terjadi jika penerima penghasilan tidak bersedia dipotong pajaknya
atau adanya perbedaan penafsiran mengenai jenis pajak dan besarnya tarif pajak yang akan dipotong.
Oleh karena kewajiban pemotongan, penyetoran, dan pelaporan ada pada pemberi
penghasilan maka konflik dapat diatasi dengan cara negosiasi ulang dengan pihak pemberi jasa. Jika
pemberi jasa tetap tidak bersedia dipotong pajaknya, maka perusahaan dapat melakukan salah satu
dari dua cara berikut ini, membayarkan sendiri pajak yang terutang (PPh ditanggung) atau melakukan
gross up atas nilai kontrak (diberikan tunjangan PPh). Jika perusahaan membayarkan sendiri pajak
yang terutang, maka pajak tersebut tidak boleh dikurangkan. Sementara itu jika perusahaan melakukan
gross up maka pajak yang terutang boleh dibiayakan, kecuali deviden dan PPh Final. Gross up
sebaiknya dimulai dari kontrak perjanjian, invoice, FP, dan dokumen lain yang terkait agar terdapat
kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa.

3. Rekonsiliasi Objek Withholding Tax Dengan Laporan Keuangan


Kewajiban wajib pajak dalam kedudukan sebagai pemotong atau pemungut (withholder) perlu
mendapat perhatian serius dari perusahaan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian perpajakan
(tax control) untuk memastikan bahwa seluruh objek withholding tax sudah dilakukan pemotongan atau
pemungutannya.
Caranya adalah dengan rekonsiliasi atau ekualisasi antara SPT Masa dengan objek PPh yang
terdapat dalam laporan keuangan komersial.
Dalam hal ini terdapat akun-akun yang sepenuhnya merupakan objek withholding tax dapat
langsung diperbandingkan. Akan tetapi atas akun-akun yang di dalamnya hanya terdapat sebagian
saja yang merupakan objek withholding tax, maka perlu dilakukan pemisahan antara yang objek dan
yang bukan objek withholding tax. Bila diperlukan dapat dibuat buku pembantu untuk mencatat rincian
objek withholding tax dikaitkan dengan buku besarnya, mulai dari nama akun, tanggal transaksi, nomor
journal voucher, jenis transaksi, jumlah objek, masa perolehan, dan nomor serta tanggal bukti
pemotongan PPh yang dibuat.
4. Klausul Kontrak Dengan WPLN
Di samping harus mengatur klausul perpajakn secara jelas dan rinci, khusus kontrak dengan pihak
Wajib Pajak Luar Negeri harus memperhatikan beberapa hal, antara lain:
 Negara asal WPLN tersebut, sehingga perusahaan mengetahui apakah perlu melihat pada
ketentuan tax treaty atau tidak.
 Jika kontrak dilakukan dengan WPLN di Negara treaty partner, perlu diperhatikan agar WPLN
memberikan CRT (certificate of residence) kepada perusahaan sebelum dilakukan
pembayaran atau penagihan. Dan hal ini diakomodasi di dalam kontrak dengan WPLN
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai