DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
A. ALFIYYAH SYAHADATI JUANA (A031191101)
ANDI ISLAH AMANAH (A031191107)
ANGELA CANDRA (A031191069)
AUDY ALIFIA RUDY (A031191084)
DOSEN PENGAMPU:
HJ. ANDI KUSUMAWATI, DR. SE., M.SI, AK, CA
PPh Pasal 22 impor ini menyangkut pemungutan pajak di sekotr impor, yang berhubungan dengan
penyerahan dan pembayaran barang, serta pemasukan barang dari luar daerah pabean. Dalam hal impor,
tariff PPh Pasal 22 bervariasi, dimana kalau mempunyai API tarifnya 2,5% dari nilai impor dan kalau tidak
mempunyai API tarifnya 7,5% dari nilai impor.
Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning, sehingga dalam melakukan impor, tax
planner sering merekomendasikan impor dengan API. Akibatnya banyak orang yang memfasilitasi penggunaan
(“peminjaman”) API, dengan menggunakan API pengusaha yang seharusnya menggunakan tarif pajak 7,5%
menjadi 2,5%. Hal ini dapat menghemat cash flow perusahaan selama masa tertentu, walaupun pada akhirnya
PPh Pasal 22 ini akan menjadi kredit pajak dari PPh Badan yang terutang dalam SPT Tahunan PPh badan (bila
perusahaan dapat profit).
Dalam dunia shipping (laut dan udara), ada istilah “hadling fee”, yakni jumlah fee yang harus dibayar
berdasarkan perjanjian handling fee antara importir yang mempunyai API dengan pemilik barang atas jasa yang
diberikan. Atas pengenaan handling fee tersebut, dipotong PPh Pasal 23. Cara ini dapat dipakai oleh orang atau
perusahaan yang tidak mempunyai API dengan “meminjam” bendera perusahaan yang punya API untuk
mengeluarkan barang impornya dengan kompensasi pemberian “hadling fee”. Bila benefitnya (5%) lebih besar
dari cost of handling fee yang dikeluarkan (misalnya 1,5% - 2%), maka si pemilik barang masih bisa
memperoleh tax saving dalam PPh Pasal 22 sebesar 3% - 3,5% dari harga barang impor. Cara ini juga dapat
menghemat cash flow untuk masa tertentu, karena kredit pajak dari PPh Pasal 22 tersebut hanya akan
menyebabkan lebih bayar.
Tetapi perusahaan yang meminjamkan benderanya juga harus berhati-hati, karena masalah transaksi
peminjaman bendera ini selain dapat menimbulkan masalah pajak, juga dapat menimbulkan masalah hukum
dalam kasus di mana transaksi tersebut dimanfaatkan untuk hal-hal negatif atau melanggar hukum. Bila hal ini
terjadi, maka pihak yang harus bertanggung jawab adalah pihak perusahaan yang meminjamkan benderanya
itu. Berbeda dengan pajak, masalah pajak dalam suatu aktivitas bisnis lebih melihat kepada apakah ada objek
pajak atau tidak dan apakah kewajiban perpajakannya telah dilaksanakan secara benar sesuai ketentuan
perpajakan, serta syarat formal dan material pembukuannya terpenuhi dalam arti semua transaksi harus
mempunyai bukti pendukung yang sah dan valid serta dapat dibuktikan legalitas transaksinya.
Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal, seperti tidak melanggar
ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal (reasonable), serta didukung oleh bukti-bukti pendukung yang
memadai (kontrak, invoicen dan sebagainya). Oleh sebab itu untuk meminimalisasi koreksi fiskal pihak fiskus
terhadap hal-hal tersebut, solusinya adalah dengan membuat kontrak yang jelas dan secara transparan
mencantumkan hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak.
Perusahaan yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh Pasal 22 yang tidak bersifat final.
Sedangkan untuk PPh Pasal 22 yang bersifat final tidak dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh.
Ada juga pengecualian-pengecualian pajak yang juga harus diperhatikan oleh tax planner. Yang
dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, adalah (a) Impor barang dan atau penyerahan
barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan; (b)
Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Kementrian Keuangan No. 08/PMK.03/2008.
Contoh kasus: Suatu perusahaan, katakanlah PT A (BUMN), yang mempunyai fasilitas bebas impor
barang (impor dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu bersifat strategis yang dibebaskan dari
pengenaan PPN) dan juga dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai. PT A
mempunyai rekanan kontraktor yaitu PT B (kontraktor). Sebenarnya PT B ini juga mempunyai API tapi dia tidak
memanfaatkan API nya sendiri, tapi menyuruh PT A menggunakan API-nya. Jadi segala sesuatu yang
melaksanakan impor seolah-olah PT A, padahal dalam pelaksanaannya di lapangan yang mengeksekusi PT B.
Hal ini dilakukan karena API dari PT B yang digunakan untuk mengeluarkan barang impor, akan terkena Bea
Masuk, PPN Impor, dan PPh Pasal 22 impor, karena PT B tidak memiliki fasilitas impor barang strategis yang
dibebaskan dari pengenaan PPN. Jadi disini PT B dapat menghemat cash flow nya. Seandainya kontrak
perjanjian antara PT A dengan PT B mensyaratkan PT B mengimpor barang dan harus melakukan pembayaran
di muka atas biaya-biaya impor (dengan asumsi bebas impor duties: bea masuk, PPN impor, dan PPh Pasal 22
impor), maka bagi PT B (kontraktor) tekanan beban cash flow-nya sudah agak ringan.
Dalam hal ini tax planner atau tax manager PT B masih harus bekerja sama dengan tax manager PT A
mengajukan permohonan tertulis kepada Dirjen Pajak untuk mendapat surat keputusan bahwa barang yang
diimpor tersebut didefinisikan sebagai barang strategis yang mendapat pembebasan bea masuk, PPN impor
dan PPh Pasal 22 impor, karena pengajuan surat permohonan tersebut harus dibuat secara formal atas nama
PT A, bukan atas nama PT B.
Sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat mengajukan permohonan
pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal
Pajak karena:
a. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang Pajak
Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal.
b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang kerugian tersebut jumlahnya
lebih besar dari perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan.
c. Pajak penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang.
Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan permohonan Surat Keterangan Bebas
(SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi kriteria, dan tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan
momentum kapan permohonan SKB PPh Pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi lebih bayar pajak
penghasilan. Secara garis besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat 3 kelompok, yaitu:
Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir, dikenai tarif pajak
sebesar 0,5% dari nilai impor.
Selain impor gandum dan tepung terigu oleh importir yang memiliki API tetap dikenai
2,5% dari nilai impor.
Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas imbalannya semata-mata
dikenakan PPh final, tidak dikenai PPh Pasal 22 impor.
WP dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang yang bersangkutan.
Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidka digunakan untuk kegiatan yang tidak
dikenakan PPh fibal, maka PPh Pasal 22 yang terutang akan ditagih beserta dengan sanksi bunganya.
Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan ke APBN/D, besarnya PPh Pasal
22 yang harus dipungut adalah sebesar 1,5 % dari harga beli yang dipungut pada saat pembayaran.
Pemungutan dilakukan oelh Ditjen Anggaran, Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau BUMN/D
yang dananya berasal dari APBN/D.
PPh Pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi wajib pajak penjual dan harus disetor oleh
pemungut dengan menggunakan SSP atas nama Wajib Pajak yang dipungut (penjual).
Rincian besarnya PPh Pasal 22 untuk kegiatan usaha lain akan diperlihatkan dalam Tabel dibawah ini:
Tabel Objek PPh Pasal 22
b. Pembelian Bahan-Bahan
berupa hasil Perhutanan,
Perkebunan, Pertanian, dan 0,25% Harga Pembelian
untuk Keperluan Industri dan
Ekspor dari Pedagang
Pengumpul.
2. Impor Barang
Dalam Negeri
Swastanisasi
- Penjualan Final
Saat Pemotongan
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 UU PPh dilakukan pada akhir bulan dibayarkannya penghasilan,
disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau jatuh temponya pembayaran penghasilan yang
bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 23 bertepatan dengan hari libur
termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
Tempat Pemotongan
1. Atas transaksi-transaksi yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang pembayarannya
dilakukan oleh kantor pusat, maka PPh Pasal 23 dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh kantor pusat.
2. Atas transaksi-transaksi yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang pembayarannya
dilakukan oleh kantor cabang, misalnya pembayaran sewa mesin oleh kantor cabang, PPh Pasal 23
dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh kantor cabang yang bersangkutan.
3. Ketentuan tentang pemusatan pelaksanaan pemotongan, penyetoran, pelaporan PPh Pasal 23 tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bukti Pemotong
Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang
Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 26 bertepatan dengan hari libur
termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.