Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS


DENGAN ATONIA UTERI DAN POST HISTEREKTOMI
DI RUANG ICU RSUD AL-IHSAN PROVINSI JAWA BARAT
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

Disusun oleh:
RETNO DWI LESTARI
P17320120519

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI NERS
2021
KONSEP DASAR ATONIA UTERI
A. Pengertian
Atonia uteri (relaksasi otot uterus) adalah uteri tidak berkontraksi
dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir).
Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot myometrium uterus untuk
berkontraksi dan memendek. Atonia Uteri adalah suatu kondisi dimana
Myometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang
keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali. (Apri,
2007).

B. Faktor Penyebab
Beberapa faktor predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca
persalinan yang disebabkan oleh atonia uteri, diantaranya adalah (Prawiharjo,
2007):
1. Uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan, diantaranya :
a. Jumlah air ketuban yang berlebihan (Polihidramnion)
b. Kehamilan gemelli
c. Janin besar (makrosomia)
2. Kala satu atau kala 2 memanjang
3. Persalinan cepat (partus presipitatus)
4. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
5. Infeksi intrapartum
6. Multiparitas tinggi
7. Magnesium Sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada
preeklamsia atau eklamsia.
8. Umur yang terlalu tua atau terlalu muda(<20 tahun dan >35 tahun)
        Atonia Uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan,
dengan memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan
plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.

C. Manifestasi Klinis
1.      Uterus tidak berkontraksi dan lembek
2.      Perdarahan segera setelah anak lahir (postpartum primer)
D. Tanda dan gejala
1. Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes. Peristiwa
sering terjadi pada kondisi ini adalah darah keluar disertai gumpalan
disebabkan tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku
darah
2. Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang
membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya
3. Fundus uteri naik 
4. Terdapat tanda-tanda syok :
a. Nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih)
b. Tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg
c. Pucat
d. Keriangat/ kulit terasa dingin dan lembap
e. Pernafasan cepat frekuensi30 kali/ menit atau lebih
f. Gelisah, binggung atau kehilangan kesadaran
g. Urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam)                       
E. Patofisiologi
Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan
setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini.
Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut
miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasikan
daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut
miometrium tersebut tidak berkontraksi (Cuningham, 2005).
Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian
yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan postpartum,
lapisan tengah miometrium tersusun sebagai anyaman dan ditembus oleh
pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah lengkungan
sehingga setiap dua buah serabut kira-kira membentuk angka delapan. Setelah
partus, dengan adanya susunan otot seperti diatas, jika otot berkontraksi akan
menjempit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini
akan menyebabkan pembuluh darah pada uterus tetap vasodilatasi sehingga
terjadinya perdarahan postpartum (Cuningham, 2005).
F. Pathway
G. Diagnosis
            Diagnosis ditegakan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan
fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek.
Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat
itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari
pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus
diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.
H. Pencegahan
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko
perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan
obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III dapat mengurangi
jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu
onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau
kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat
untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan
pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit
IM, 5 unit IV bonus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti
sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum
dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat,
mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit.
Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV
dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin
ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.
I. Komplikasi
1. Syok hipovolemik
2. Mudah terjadi komplikasi infeksi terutama akibat perdarahan yang
berasal dari trauma jalan lahir.
J. Penatalaksanaan
         Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum
pasien. Pasien bisa masih dalam keadaaan sadar, sedikit anemis, atau sampai
syok berat hipovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan tergantung
pada keadaaan klinisnya.
1. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal
yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring
tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi
oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan
untuk persiapan transfusi darah.
2. Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang
akan menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah
lahirnya plasenta (max 15 detik), jika uterus berkontraksi maka lakukan
evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung,
periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit
atau rujuk segera
3. Jika uterus tidak berkontraksi maka :
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang
serviks. Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong,Lakukan kompresi
bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
a. Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan
tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.
b. Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai
melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-
lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika
hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan
berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama
secepat mungkin; Ulangi KBI
c. Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala
empat
d. Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera
4. Pemberian Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior
hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat
seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor
oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan
meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani.
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif
diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi
kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek
samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan
vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat
menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan
secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum
1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan
(IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan
vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan
vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil
prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal,
intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal.
Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15
menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat
dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g).
Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat
menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare,
sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot
halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-
kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang
disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan
saturasi oksigen. Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan
kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping
serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang
sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif
untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan
angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar
disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan
uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan masif yang terjadi.
5. Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka
keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang
berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika
dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah
rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan
benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan
melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium
keluar di bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat
melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai
cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan
2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas
tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim.
Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada
vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi
ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen
bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika
perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau
unilateral ligasi vasa ovarian.
6. Ligasi arteri Iliaka Interna                                                      
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk
melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral
paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke
medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka
interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan
menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak
1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut
arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah
ligasi.Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat
menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
 Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh
Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk
mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.
7. Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering
dilakukan jika terjadi perdarahan pospartum masif yang jmembutuhkan
tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih
banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.
8. Kompresi bimanual atonia uteri
Peralatan: sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat; lakukan
dengan tangan telanjang yang telah dicuci.
Teknik:
Basuh genetalia eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan
tidak diperlukan
a. Eksplorasi dengan tangan kiri
Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina
b. Tangan kanan (luar) menekan dinding abdomen diatas fundus uteri
dan menangkap uterus dari belakang atas
c. Tangan dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar
Ia tidak hanya menekan uterus, tetapi juga meregang pembuluh darah
aferen sehingga menyempitkan lumennya.Kompresi uterus bimanual
dapat ditangani tanpa kesulitan dalam waktu 10-15 menit. Biasanya
sangat baik mengontrol bahaya sementara dan sering menghentikan
perdarahan secara sempurna. Langkah Penatalaksanaan Atonia Uteri
NO Langkah Penatalaksanaan Alasan
1 Masase fundus uteri segera setelah lahirnya Masase merangsang kontraksi uterus. Saat
plasenta(maksimal 15 detik) dimasase dapat dilakukan penilaia kontraksi
uterus
2 Bersihkan bekuan darah dan selaput ketuban Bekuan darah dan selaput ketuban dalam
dari vagina dan lubang serviks vagina dan saluran serviks akan dapat
menghalang kontraksi uterus secara baik.
3 Pastikan bahwa kantung kemih kosong,jika Kandung kemih yang penuh akan dapat
penuh dapat  dipalpasi, lakukan kateterisasi menghalangi uterus berkontraksi secara baik.
menggunakan teknik aseptik
4 Lakukan Bimanual Internal (KBI) selama 5 Kompresi bimanual internal memberikan
menit tekanan langsung pada pembuluh darah
dinding uterusdan juga merangsang
miometrium untuk berkontraksi.
5 Anjurkan keluarga untuk mulai membantu Keluarga dapat meneruskan kompresi
kompresi bimanual eksternal bimanual eksternal selama penolong
melakukan langkah-langkah selanjutnya
6 Keluarkan tangan perlahan-lahan Menghindari rasa nyeri
7 Berikan ergometrin 0,2 mg IM (kontraindikasi Ergometrin dan misopostrol akan bekerja
hipertensi) atau misopostrol 600-1000 mcg dalam 5-7 menit dan menyebabkan kontraksi
uterus
8 Pasang infus menggunakan jarum 16 atau 18 Jarum besar memungkinkan pemberian larutan
dan berikan 500cc ringer laktat + 20 unit IV secara cepat atau tranfusi darah. RL akan
oksitosin. Habiskan 500 cc pertama secepat membantu memulihkan volume cairan yang
mungkin hilang selama perdarahan.oksitosin IV akan
cepat merangsang kontraksi uterus.
9 Ulangi kompresi bimanual internal KBI yang dilakukan bersama dengan
ergometrin dan oksitosin atau misopostrol
akan membuat uterus berkontraksi
10 Rujuk segera Jika uterus tidak berkontaksiselama 1 sampai 2
menit, hal ini bukan atonia sederhana. Ibu
membutuhkan perawatan gawat darurat di
fasilitas yang mampu melaksanakan bedah dan
tranfusi darah
11 Dampingi ibu ke tempat rujukan. Teruskan Kompresi uterus ini memberikan tekanan
melakukan KBI langung pada pembuluh darah dinding uterus
dan merangsang uterus berkontraksi
12 Lanjutkan infus RL +20 IU oksitosin dalam RL dapat membantu memulihkan volume
500 cc larutan dengan laju 500 cc/ jam cairan yang hilang akibat perdarahan.
sehingga menghabiskan 1,5 I infus. Kemudian Oksitosin dapat merangsang uterus untuk
berikan 125 cc/jam. Jika tidak tersedia cairan berkontraksi.
yang cukup, berikan 500 cc yang kedua
dengan kecepatan sedang dan berikan minum
untuk rehidrasi
KONSEP DASAR SECTIO CAESARAE

A. Definisi Sectio Caesarea

Operasi caesarea atau sering disebut dengan seksio sesarea adalah


melahirkan janin melalui insisi yang dibuat pada dinding abdomen dan
uterus (Reeder,2015).

Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin


dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan
syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram
(Wiknjosastro, 2005 dalam Jitowiyono, 2012).

B. Indikasi

Indikasi persalinan cesarean yang dibenarkan dapat terjadi secara


tunggal dan kombinasi. merupakan suatu hal yang sifatnya relative dari pada
mutlak, dan dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Newnhan et. Al., 1992;
Cunningham, et. Al., 1993, dalam Reeder, (2015) :

1. Ibu dan janin: Distosia (kemajuan persalinan yang abnormal) adalah


indikasi paling umum kedua (30%), yang pada umumnya ditunjukkan
sebagai suatu kegagalan kemajuan dalam persalinan. Hal ini
mungkin berhubungan dengan ketidaksesuaian antara ukuran panggul
dengan ukuran kepala janin (disproporsi sefalopelvik), kegagalan induksi,
atau aksi kontraksi uterus yang abnormal.

2. Ibu: Penyakit ibu yang berat, seperti penyakit jantung berat, diabetes
mellitus, preekampsia berat atau ekapsiakanker serviksatau infeksi
berat(virus, herpes sipleks tipe II atau herpes genetalis dalam fase
aktif atau dalam 2 minggu lesi aktif). Penyakit tersebut membutuhkan
persalinan section cesarean karena beberapa alasan : untuk
mempercepat pelahiran dalam suatu kondisi yang kritis; karena ibu dan
janinnya tidak mampu menoleransi persalinan; atau janin akan terpajan
dengan resiko bahaya yang meningkat saat melalui jalan lahir.
Pembedahan uterus sebelumnya, termasuk miomektomi, pelahiran
sectiocaesarea sebelumnya dengan insisi klasik, atau rekonstruksi uterus.

3. Janin: Gawat janin, seperti janin dengan kasus prolaps tali pusat,
insufisiensi uteroplasenta berat, malpresentasi, seperti letak melintang,
janin dengan presentasi dahi. Kehamilan ganda dengan bagian terendah
janin kembar adalah pada posisi melintang bokong.

4. Plasenta previa, pemisahan plasenta sebelum waktunya (solusio).

C. Kontra Indikasi

Pada umumnya sectio caesarea tidak dilakukan pada janin mati,


syok, anemi berat, sebelum dilatasi, kelainan congenital berat ( monster)
(Sarwono, 1991 dalam Walyani, 2015).

D. Jenis-Jenis Section Caesarea

Jenis-jenis sectio caesarea menurutPurwoastuti (2015) :

1. Sectio Caesarea klasik (corporal): Sebuah insisi tegak lurus dibuat


langsung pada dinding korpus uterus dengan sayatan memanjang kira-kira
sepanjang 10cm. Tindakkan ini diakukan dengan menebus lapisan uterus
yang paling tebal pada korpus uterus. Hal ini terutama bermanfaat ketika
kandung kemih dan korpus bawah mengalami perekatan yang ekstensif
akibat sectiocaesarea sebelumnya. Kadang kala tindakan ini dipiih saat janin
dalam posisi melintang atau pada kasus plasenta previa anterior. Metode ini
merupakan metode pilihan ketika terjadi perdarahan akut atau pada situasi
darurat lainnya pada saat waktu sangat penting dan kehidupan ibu dan
janin terancam. Lima kondisi lain yang juga memerlukan insisi klasik
(Newnham, et al., 1992 dalam Reeder, (2015) :

a) Janin preterm kurang dari 34 minggu dengan presentasi bokong,


karena segmen bawah masih belum terbentuk secara adekuat dan posisi
melintang mungkin teralu sempit untuk melakukan pelahiran janin tanpa
menimbulkan trauma.
b) Akses ke segmen bawah uterus terhambat karena adanya jaringan
fibrosa

c) Akan dilakukan tindakan histerektomi segera setelah section


caesarea

d) Section caesarea postmortem dalam usaha untuk


menyelamatkan janin yang hidup dariseorang ibu yang meninggal

e) Terdapatnya kanker serviks yang invasif

2. Seksio ismika atau profundal (segmen-bawah): Pelahiran sesarea


melintang, atau segmen bawah, merupakan pelahiran cesarean pada
umumnya dipilih karena berbagai alasan. Karena insisi dibuat pada segmen
bawah uterus, yang merupakan bagian paling tipis dengan aktivitas uterus
yang paling sedikit. maka pada tipe insisi ini kehilangan
darahinimal. Area ini lebih mudah mengalami pemulihan, dan mengurangi
kemungkinanan terjadinya rupture jaringan perut pada kehamilan
berikutnya. Selain itu insidensi peritonitis, ileus paralisis, dan perlekatan
usus lebih rendah.

E. Komplikasi

Komplikasi sectiocaesarea menurut Jitowiyono (2012)

1. Infeksi puerperal: Komplikasi ini bisa besifat ringan, seperti kenaikan


suhu sealam beberapa hari dalam masa nifas, bersifat seperti peritonitis,
sepsis.

2. Perdarahan: Perdarahan banyak timbul pada saat pembedahan jika cabang-


cabang arteri ikut terbuka, atau karena atonia uteri.

3. Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kemih, embolisme


paru-paru.

4. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah, kurang kuatnya


parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi
rupture uteri. Kemungkinan peristiwa ini lebih banyak ditemukan sesudah
section cesarean klasik.

F. PATHWAY

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
a) Identitas klien dan penanggung jawab
Meliputi nama, umur ibu yang berusia dibawah 20 tahun atau lebih dari
35 tahun, pendidikan, suku bangsa, pekerjaan, agama, alamat, status
perkawinan, ruang rawat, nomor medical record, diagnosa medik, yang
mengirim, cara masuk, alasan masuk, keadaan umum perdarahan.
b) Keluhan utama
Perdarahan dan tidak ada kontraksi setelah persalinan.
c) Data Riwayat penyakit
1) Riwayat kesehatan sekarang.
Meliputi keluhan atau yang berhubungan dengan gangguan atau
penyakit dirasakan saat ini dan keluhan yang dirasakan pasien. Pada
atonia uteri meliputi tidak ada merasa kontraksi dan perdarahan.
2) Riwayat Kesehatan Dahulu
Meliputi penyakit lain yang dapat mempengaruhi penyakit sekarang,
misalnya gizi kurang pada ibu, DM, jantung, hipertensi, masalah
ginekologi/urinary, penyakit endokrin, HIV/AIDS, dll
3) Riwayat kehamilan
Riwayat kehamilan meliputi pada saat kehamilan, persalinan, dan
nifas sebelumnya bagi klien multipara. Jumlah kehamilan (GPA)
jumlah anak hidup, jumlah kelahiran premature, jumlah kegugura,
jumlah persalinan dengan tindakan, riwayat pedarahan, riwayat
kehamilan dengan hypertensi, berat badan bayi lahir
d) Riwayat pembedahan: Kaji adanya pembedahan yang pernah dialami oleh
klien, jenis pembedahan, kapan, oleh siapa dan di mana tindakan tersebut
berlangsung.
e) Status kardiovaskular: Meliputi frekuensi dan irama jantung, tekanan
darah arteri, tekanan vena sentral (CVP), tekanan arteri paru, tekanan baji
paru (PCWP), bentuk gelombang pada tekanan darah invasive, curah
jantung dan cardiac index, serta drainase rongga dada.
f) Status respirasi: Meliputi ukuran dan tanggal pemasangan ETT, masalah
yang timbul selama intubasi, gerakan dada, suara nafas, setting ventilator
(frekuensi, volume tidal, konsentrasi oksigen, mode, PEEP), kecepatan
nafas, tekanan ventilator, saturasi oksigen, serta analisa gas darah.
g) Status neurologi: Meliputi tingkat kesadaran, orientasi,pemberian sedasi,
ukuran refleks pupil terhadap cahaya, gerakan reflex (reflex muntah,
patella, tendon), memori, nervus cranial, serta gerakan ekstremitas.
h) Status fungsi ginjal: Meliputi haluaran urine, warna urine, osmolalitas
urine, distensi kandung kemih, serta kebutuhan cairan.
i) Status gastrointestinal: Meliputi bising usus, frekuensi bising usus, palpasi
abdomen, nyeri pada saat palpasi, mual, muntah, frekuensi BAB,
konsistensi dan warna feses,
j) Status musculoskeletal: Meliputi kondisi kulit, gerakan ekstremitas, lokasi
luka, kekuatan dan tonus otot.
k) Nyeri: Meliputi lokasi, onset, paliatif, kualitas, medikasi, serta efek nyeri
terhadap aktivitas.
B. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah (Hb yang menurun)
C. Data lain-lain :
a) Kaji mengenai perawatan dan pengobatan yang telah diberikan selama
dirawat di RS.
b) Data psikososial. Kaji orang terdekat dengan klien, bagaimana pola
komunikasi dalam keluarga, hal yang menjadi beban pikiran klien dan
mekanisme koping yang digunakan.
c) Status sosio-ekonomi: Kaji masalah finansial klien
d) Kaji mengenai pengetahuan klien tentang KB, apakah klien setuju,
apakah klien menggunakan kontrasepsi, dan menggunakan KB jenis apa.
e) Kaji kepala dan leher bayi
f) Payudara
g) pemeriksaan genetalia ( vulva oeden / tan )
h) VT
i) Vagina
j) Portio
k) Pembukaan, ketuban
D. Diagnosa yang Mungkin Muncul
1) Nyeri Akut
2) Risiko Syok
3) Risiko Perdarahan
4) Kekurangan volume cairan
5) Hambatan Mobilitas Fisik
6) Ketidakefektifan Pola Nafas
7) Cemas
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

Rencana/Intervensi Keperawatan menurut Herdman & Kamitsuru, (2015) Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson,
(2013) dan Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, (2013).

No. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi (NIC) Rasional


Tujuan

1. Nyeri Akut berhubungan dengan Pain Management


Agen cidera biologis. 1. Ambang nyeri setiap orang berbeda
Tujuan: setelah dilakukan 1. Lakukan pengkajian nyeri secara dengan demikian akan dapat
tindakan keperawatan selama 1x komprehensif termasuk lokasi, menentukan tindakan perawatan
15 menit diharapkan klien dapat karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas yang sesuai dengan respon pasien
beradaptasi terhadap nyeri. dan faktor presipitasi terhadap nyerinya
NOC: 2. Dengan nafas dalam otot-otot dapat
1. Pain control 2. Ajarkan teknik posisi dan relaksasi untuk berelaksasi, terjadi vasodilatasi
2. Comfort level mengurangi nyeri pembuluh darah, expansi paru
Kriteria Hasil: optimal sehingga kebutuhan 02
1. Klien dapat beristirahat pada jaringan terpenuhi
2. Klien mengatakan dapat 3. Kontraksi uterus merupakan hal
mengontrol rasa nyeri yang normal sebelum persalinan
3. Kaji kontraksi uterus dan
4. Mencegah bertambahnya tekanan
ketidaknyamanan (awitan, frekuensi,
psikologis klien terhadap nyeri
durasi, intensitas, dan gambaran
5. Jika dengan tindakan keperawatan
ketidaknyamanan)
tidak dapat menyelesaikan
4. Kontrol lingkungan yang dapat permasalahan kline, maka
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, berdiskusi dengan tenaga medis lain
pencahayaan, dan kebisingan merupakan hal yang tepat.
5. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan penanganan nyeri
yang tidak berhasil

2. Risiko Syok f/r perdarahan Manajemen Hipovolemi


masive 1. Monitor TTV 1. Menilai status hemodinamik
Tujuan : Setelah dilakukan 2. Monitor tanda dehidrasi 2. Menilai status hidrasi
tindakan keperawatan selama 3. Monitor sumber kehilangan darah 3. Mendeteksi sumber penyebab
1jam diharapkan diharapkan 4. Lakukan pemerikasaan laboratorium kehilangan darah
tidak terjadi syok 5. Berikan cairan IV (isotonis) dengan aliran 4. Menilai status hemokonsentrasi
NOC: cepat dalam tubuh
6. Berikan cairan hipotonik (dextrose) 5. Mengembalikan cairan ektraseluler
Kriteria Hasil 7. Berikan produk darah sesuai resep 6. Mengembalikan cairan intraseluler
1. Tidak ditemukan tanda-tanda 8. Posisikan trendelenburg 7. Menginkatkan tekanan plasma
syok onkotik dan mengganti volume
2. Jumlah Hb meningkat darah
8. Mengoptimalkan perfusi otak
3. Resiko Perdarahan f/r NIC : 1. Menilai perdarahan
Komplikasi Pacapartum (atonia  Bleeding Precaution 2. Menilai respon berdasarkan ttv
uterus)  Bleeding reduction 3. Mencegah perdarahan
Tujuan: Blood Lose Severity 4. Mengatasi masalah berdasarkan
Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tanda – tanda perdarahan penyebab
keperawatan selama 1x 15 menit 2. Monitor TTV 5. Menilai cairan tubuh
perdarahan teratasi dengan 3. Pertahankan bed rest selama perdarahan
kriteria: aktif
1. Kehilangan darah yang 4. Identifikasi penyebab perdarahan
terlihat 5. Monitor status cairan intake dan output
2. Tidak ada perdarahan aktif
pervagina.
4. Kekurangan Volume Cairan Fluid
b/d Fluid Management
Kehilangan cairan secara aktif 1. Menilai status hidrasi
1. Pertahankan catatan intake dan output 2. Monitor cairan tubuh berkaitan
Tujuan: yang akurat dengan suhu tubuh
Setelah dilakukan tindakan 2. Pantau suhu klien 3. Menilai status maternal
keperawatan selama 2 x 60 3. Kaji DJJ dan data dasar, perhatikan 4. Meningkatkan status hidrasi dalam
menit volume cairan dapat perubahan periodic dan variabilitas tubuh
ditingkatkan dengan kriteria 4. Berikan cairan peroral atau parenteral 5. Menjaga suhu tubuh agar tetab stabil
hasil: 5. Lepaskan pakaian yang berlebih, lindungi 6. Menilai status hidrasi
dari menggigil 7. Meningkatkan cairan tubuh secara
Fluid management 6. Monitor status dehidrasi cepat
1. Klien bebas dari tanda 7. Terapi IV administrasi cairan 8. Menilai status hemodinamik
dehidrasi dan rasa haus 8. Monitor TTV
2. Keluaran urine adekuat,
membrane mukosa lembab
5. Ketidakefektifan pola nafas Airway Mangement 1. Menunjukkan keadaan umum klien
Tujuan: 1. Kaji tanda-tanda vital klien
2. Kecapatan frekuensi pernafasan
Setelah dilakukan perawatan 2. Kaji frekuensi dan kedalaman pernafasan meningkat dikarenakan nyeri sehinngga
selama 1x24 jam klien dapat 3. Kaji turgor kulit dan membran mukosa dapat menyebabkan penurunan volume
mentoleransi sesak nafasdengan klien sirkulasi
Kriteria hasil:
4. Berikan posisi yang nyaman bagi klien 3. Sianosis dapat menunjukkan adanya
Pola Nafas (semifowler) tanda hipoksemia
- Tidak adanya dypsneu 5. Kolaborasi dalam pemberian terapi oksigen 4. Merangsang fungsi
pernafasan/ekspansi paru
- Irama pernafasan teratur
5. Mengirimkan oksigen ke paru untuk
- Frekuensi pernafasan dalam kebutuhan sirkulasi khususnya pada
batas normal gangguan ventilasi
- Tanda-tanda vital dalam batas
normal
6. Hambatan Mobilitas Fisik Exercise Therapy Ambulatio 1. Menilai adanya perubahan pola
berhubungan dengan post op
1. Kaji aktivitas personal seharihari yang biasa aktivitas sehari-hari dengan di RS
Tujuan: dilakukan
2. Menentukan batas kemampuan
Setelah dilakukan perawatan 2. Bantu klien memilih aktivitas bertahap
selama 1x24 jam klien dapat sesuai dengan kemampuan klien dalam beraktivitas
mentoleransi aktivitas yang biasa
3. Pantau respon kardiorespiratori klien saat 3. Mengukur adanya perubahan
dilakukan ditunjukan dengan
penghematan energy dan aktivitas
TTV saat aktivitas
perawatan diri dengan
4. Pantau pola tidur dan lamanya
4. Lamanya tidur menentukan kualitas
Kriteria hasil : istirahat klien
istirahat
- Tidak ada keluhan sesak saat 5. Mengurangi konsumsi banyak O2
beraktivitas
- Keluhan lemas berkurang 5. Bantu aktivitas fisik sesuai kebutuhan pada klien sehingga menimbulkan
(personal hygene, toileting, berpakaian,dll) kelelahan
- Tanda vital stabil selama
aktivitas

7. Ansietas berhubungan dengan Pengurangan kecemasan


kondisi saat ini 1. Membangun hubungan saling percaya
1. Gunakan pendekatan yang tenang dan
Setelah dilakukan intervensi antara klien dengan perawat
meyakinkan 2. Memberikan motivasi kepada klien
selama 2x24 jam diharapkan
2. Nyatakan dengan jelas harapan dalam meningkatkan kesehatannya
ansietas dapat teratasi dengan
terhadap perilaku klien 3. Bentuk dukungan psikologis bagi
kriteria hasil : klien dalam mengurangi kecemasannya
3. Berada di sisi klien untuk
4. Alternatif klien dalam
Tingkat kecemasan meningkatkan rasa aman dan mengurangi mengekpresikan perasaan
ketakutan 5. Memotivasi klien untuk tetap
 Tidak adanya perasaan
4. Dengarkan klien semangat
gelisah
6. Hubungan saling percaya yang baik
 Tidak adanya wajah 5. Puji/kuatkan perilaku yang baik secara
mempermudah seseorang menerima
tegang tepat saran
 Dapat beristirahat 6. Ciptakan atmosfer rasa aman untuk 7. Merileksasikan tubuh sehingga
 Tidak adanya masalah hormon-hormon dalam tubuh akan
meningkatkan kepercayaan
perilaku bekerja secara efektif
7. Instruksikan klien untuk menggunakan
 Tidak adanya rasa cemas teknik relaksasi
yang disampaikan secara
lisan
DAFTAR PUSTAKA

Bobak, L. 2005. Keperawatan Maternitas, Edisi 4.Jakarta: EGC

Cunningham FG etc, editor. Williams Obstetrics 21th edition.EGC. Jakarta. 2005.

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds.). 2014. NANDA International Nursing


Diagnoses: Definitions and Classification 2015-2017. Oxford: Wiley
Blackwell.

Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid II. Jakarta: Media

Aesculapius

Moorhead Sue, Marion Johnson, Meridean L.M., et al. (Eds.). 2008. Nursing

Outcomes Classification (NOC), Fifth Edition. St. Louis Missouri:

Mosby Inc.

Prawiroharjo, S. 2010. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Edisi ke-12.

Jakarta: Bina Pustaka

Prawiroharjo, S.2008. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: Bina Pustaka

Anda mungkin juga menyukai