ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga paper ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan
dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen fiqh/ushul fiqih yang sangat
membantu untuk mengarahkan kami dalam penyusunan makalah ini yaitu Pak Engkus yang
telah membimbing penyusun agar dapat mengerti tentang bagaimana cara kami menyusun
makalah ini, tidak lupa juga rasa terima kasih kepada semua pihak yang tidak bisa penyusun
sebutkan satu persatu.
Dan harapan kami semoga paper ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca dan untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami menyadari masih banyak
kekurangan-kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi kesempurnaan paper ini.
Penyusun
ii
Daftar isi
Kata pengantar………………………………………………...……………………………….1
Daftar isi…..…………..……………………………………………………………………….2
BAB I: PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakakang 4
1.3 Tujuan……..……….………...………………………...………………………………..4
Daftar Pustaka……………………………………..………………...……………..……….……..
….12
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam
memecahkan masalah atau menisbatkan hukum Islam munculnya mazhab sebagai
bagian dari proses sejarah penetapan hukum Islam tertata rapi dari generasi sahabat
tabiin hingga mencapai masa keemasan pada Khalifah Abbasiyah akan tetapi harus
diakui mazhab telah memberikan sumbangsih pemikiran besar dalam menetapkan
hukum fiqih Islam sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat atau mazhab
dikarenakan perbedaan persepsi dalam Ushul fiqih dan fiqih serta perbedaan
interpretasi atau penafsiran mustahil menganut paham untuk bermazhab dikarenakan
faktor ketidakmampuan kita untuk menggali hukum syariat sendiri secara langsung
dari sumber sumbernya ( Alquran dan as-sunnah) secara benar dapat ditempuh dengan
cara memahami bahwa sesungguhnya pemahaman kita terhadap perbedaan pendapat
di kalangan mazhab mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah bukan sesuatu
yang janggal atau menyimpang dari Islam
B. Rumusan masalah
C. Tujuan masalah
A. Pengertian Ijtihad
Pengertian Ijtihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan
tenaga baik fisik maupun pikiran. Kata Ijtihad, seperti di kemukaan Al-Ghazali,
biasanya tidak digunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan. Oleh
karena itu, tidak disebut berijtihad jika hanya mengangkat hal-hal yang ringan, seperti
mengangkat sebiji sawi.
Di kalangan Ushul Fikih terdapat berbagai redaksi dalam mendefisinisikan ijtihad,
namun intinya adalah sama. Sebagai contoh Ibnu Al-Syakur, dari kalangan Hanafiah
mendefinisikannya sebagai: ” Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan
hukum-hukum syara’ sampai ketingkan zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu
merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu”.
B. Peran mujtahid
Imam Syafi’I ra. (150 H-204 H), penyusun pertama pertama ushul fikh, kedalam
bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Qur’an
menegaskan:”Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama
Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurutnya,
hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an yang bisa menjawab berbagai
permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya,
Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtiad dalam upaya menimba hukum-
hukum dari sumbernya. Selanjutnya Dia mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan
seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan
hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainya.
Pernyataan Imam Syafi’I diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan
ijtihad disamping Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk
menguji kebenaran riwayat hadist yang tidak sampai ketingkat Hadist Mutawatir
seperti Hadist Ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadist yang
tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami keculi dengan
ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan sunnah seperti dengan qiyas, istihsan dan maslahah mursalah.
Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prisip-prinsip hukum dalam Al-
Qur’an dan sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadist-hadist
hukum yang sangat tebaas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan
yang tidak terbatas jumlahnya.
B. Klasifikasi Pola Pemikiran para mujtahid
Sejarah Singkat Munculnya Mazhab dalam Islam Sebenarnya ikhtilaf telah ada pada
masa sahabat. Hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara
mereka dan perbedaan nas (sunah) yang sampai kepada mereka. Selain itu juga karena
pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan perbedaan pandangan
tentang dasar penetapan hukum serta berlainan tempat.
agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru,
banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang
baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau
bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan
pendapat itu, Qasim ‘Abd al-‘Aziz Khamisi menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni:
1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nas-nas al-Qur’an
2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena rakyu.
Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang
berbeda, Jalaluddin Rahmat berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di
antara para sahabat adalah prosedur penetapan hukum untuk masalah-
masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah saw.Setelah berakhirnya masa
sahabat yang dilanjutkan dengan masa tabi‘in, muncullah generasi tabi‘ al-tabi‘in.
Ijtihad para sahabat dan tabi‘in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang
tersebar di berbagai wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini
dikenal dengan tabi‘ al-tabi‘in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai
ketika memasuki abad kedua Hijriyah, ketika pemerintahan Islam dipegang oleh Bani
Abbasiyyah. Masa Bani Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut
dengan istilah ‘’the golden age’’. Pada masa itu, umat Islam telah mencapai puncak
kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu, telah
berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, termasuk dengan banyaknya
penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian
melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru
di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbasiyah mewarisi imperium besar Bani
Umayyah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapaihasil lebih banyak, karena
landasannya telah dipersiapkan oleh Bani Umayyah yang besar.
Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode
kegemilangan fikih Islam, di mana lahir beberapa mazhab fikih yang panji-panjinya
dibawa oleh tokoh-tokoh fikih agung yang berjasa mengintegrasikan fikih Islam dan
meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama
fikih sampai sekarang. Sebenarnya periode ini adalah kelanjutan periode sebelumnya,
karena pemikiran-pemikiran di bidang fikih yang diwakili mazhab ahli hadis dan ahli
rakyu merupakan penyebab timbulnya mazhab-mazhab fikih, dan mazhab-mazhab
inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional.
Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tidak
pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum
yang dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanafah, Malik, Syafi‘i,
Ahmad ibn Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi,
teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan
hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan
para imam mazhab ini pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan
merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan
hukum yang dihadapi, baik dalam memahami nas al-Qur’an dan hadis maupun kasus-
kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nas.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab
tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan tanpa disadari
menjelma menjadi doktrin untuk menggali hukum dari sumbernya.
Dengan semakin mengakar dan melembaganya doktrin pemikiran hukum ketika
antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian imam
mazhab muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh
masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab tersebut
merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena menyangkut penciptaan pola
kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istinbath
hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi tersebut dalam pemikiran
hukum Islam disebut dengan usul fikih.
Sampai saat ini, fikih ikhtilaf terus berlangsung, mereka tetap berselisih paham
dalam masalah furu‘iyyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran
dalam memahami nas dan mengkaji hukum yang tidak ada nasnya.
Perselisihan itu terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang
memperketat dan yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang
cenderung berpegang pada zhahir nash, antara yang mewajibkan mazhab dan
yang melarangnya Menurut hemat penulis, perbedaan pendapat di kalangan umat ini,
sampai kapan pun dan di tempat mana pun akan terus berlangsung dan hal ini
menunjukkan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir manusia terus berkembang.
Perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab Islam yang
masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing mazhab tersebut
memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda dan pada akhirnya melahirkan
pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk di antaranya adalah pandangan
mereka terhadap kedudukan al-Qur’an dan sunah. Metode Ijtihad Imam Mujtahid
Perkembangan mazhab-mazhab fikih telah muncul banyak mazhab fikih.para ahli
sejarah fikih telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab.Tidak ada
kesepakatan para ahli sejarah fikih mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-
mazhab yang pernah ada.
Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, hanya beberapa mazhab saja
yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Musthafa Imbabi,mazhab-mazhab
yang masih bertahan sampai sekarang hanya tujuh mazhab saja yaitu: mazhab
Hanafiyah, Maliki, Syafi‘iyah, Hanabilah, Zaidiyah, Imamiyah dan ‘Ibadiyah.
Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.
Sementara Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-mazhab fikih
sebagai berikut :
1. Ahl Al-Sunah Wa Al-Jamaah
a) Ahl Al-Ra’y
Kelompok Ini Dikenal Dengan Mazhab Hanafiah
b) Ahl Al-Hadits Terdiri Atas Mazhab Maliki, Mazhab Syafi‘I, Mazhab
Hanabilah.
2. Syi’ah; Syi’ah Zaidiyan Dan Syi’ah Imamiyah
3. Khawarij
4. Mazhab-Mazhab Yang Sudah Musnah; Mazhab Al-Auza’i, Mazhab Al-
Zhahiri, Mazhab Al-Thabari Dan Mazhab Al Laits
Pendapat lainnya menjelaskan bahwa mazhab fikih yang muncul setelah sahabat
dan kibar al-tabi‘in berjumlah 13 aliran. Ketiga belas aliran ini berafiliasi
dengan aliran ahl al-sunnah. Namun, tidak semua aliran itu dapat diketahui dasar-
dasar dan metode istinbath hukumnya.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa mazhab-mazhab yang
pernah ada dalam sejarah umat Islam sangat sulit untuk dipastikan berapa
bilangannya, untuk itu guna mengetahui berbagai pandangan mazhab tentang berbagai
masalah hukum Islam secara keseluruhan bukanlah persoalan mudah sebab harus
mengkaji dan mencari setiap literatur berbagai pandangan mazhab-mazhab tersebut.
Adanya aliran-aliran dalam fikih ini karena adanya perbedaan di sekitar metode
berijtihad yang menimbulkan perbedaan pendapat. Dari perbedaan pendapat ini
terbentuklah kelompok-kelompok fikih yang mulanya terdiri dari murid-murid para
imam mujtahid. Kelompok-kelompok ini berkembang dan tersebar. Selain itu,
kelompok-kelompok inipun mempertahankan pendapat Imamnya, kemudian akhirnya
terbentuklah mazhab-mazhab seperti yang ada sekarang.
Karakteristik pemikiran hukum Islam adalah suatu cara untuk memahami pemikiran
Islam yang berkembang dalam realitas Sejarah. Islam sebagai agama samawi yang
memiliki kitab suci Al Qur'an dalam dinamika sejarahnya mengalami proses
dialektika penafsiran yang sangat terkait dengan dimensi ruang dan waktu. Setiap
intelektual muslim memiliki cara pandang tersendiri dalam memahami doktrin agama
nya. Dalam konteks ini terlihat adanya dialektika pergulatan wacana dalam suatu
arena kontestasi pemikiran hukum Islam dengan berbagai varian dalam memahami
hukum Islam. Beberapa varian pemikiran hukum Islam tersebut adalah revivalis,
modernis, Neo revivalis dan neo modernis. Atau tradisional, moderat dan liberal.
Kategori ini dapat mempresentasikan pergulatan pemikiran di dunia islam, termasuk
Indonesia.Secara historis, proses dialektika pemikiran Islam mulai tumbuh sejak awal
kelahiran islam. Dimana Rasulullah Saw dan para sahabatnya membangun peradaban
Islam gemilang yang berdiri bersandingan dengan kekaisaran Romawi yang telah
lebih dulu ada. Bahkan pada gilirannya, peradaban Islam melebihi peradaban Romawi
yang mulai redup cahayanya.Hal ini terus berlangsung sampai munculnya para
ilmuan dan cendikiawan muslim kenamaan yang bisa di kategorikan sebagai
pemikiran avantgarde.
Tradisi pemikiran hukum Islam pada masa keemasannya memberikan gambaran
yang mengagumkan, dimana pendapat seorang ulama atau cendikiawan tentang suatu
masalah dibangun diatas paradigma, kerangka berfikir atau framework tertentu, yang
seluruhnya bermuara pada islamic word view ( pandangan hidup Islam). Hal ini
menandakan bahwa Islam sangat menghargai ijtihad sebagai proses berpikir
mendalam ( badzl al-juhd ) yang melahirkan sebuah gagasan besar dalam lapangan
ilmu pengetahuan.
Tradisional
Istilah tradisional tidak terlalu sulit untuk dipahami ketika berdiri sendiri. Tetapi
ketika disandingkan dengan kata lain dan menjadi frase, seperti Islam tradisional
(traditional islami), tradisi Islam ( islamic tradition), tradisionalis ( traditionalist ) atau
masyarakat tradisional (traditional society), menjadi tidak mudah lagi untuk tidak
didefinisikan. Dalam bahasa arab, istilah "tradisi" biasanya diidentikkan dengan kata
sunnah yang secara harfiah (etimologis) berarti "jalan yang dijalani, terpuji ataupun
tidak (al-sirah, hasanatan khanat as qabihatan)". ia juga diartikan sebagai aturan-
aturan, cara bertingkah laku atau tingkah laku Kehidupan.
Dari kata "tradisi" kemudian muncul kata tradisional, tradisionalis dan
tradisionalisme. Tradisional artinya menurut adat, turun temurun atau mengikuti
nenek moyang. Sebagaimana yang kita ketahui, istilah ini biasanya digunakan untuk
mensifati sesuatu misalnya pakaian adat, tarian tradisional, upacara adat dan
seterusnya. Sementara itu, istilah "Tradisonal" banyak di gunakan untuk mengikuti
sesuatu yang bercorak atau berbau modern.
Kemudian istilah "traditionalist" dengan tambahan "ist" dalam bahasa Inggris
digunakan untuk menunjukkan kelompok atau masyarakat yang gigih dan sungguh-
sungguh dalam mempertahankan warisan tradisional nenek moyang serta diterapkan
di kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, istilah "tradisionalisme" dengan adanya
tambahan isme tidak lagi bermakna yang menunjukkan sifat atau subyek tertentu,
melainkan lebih menunjukkan sikap atau kecenderungan seseorang untuk melakukan
tradisi masa lalu nenek moyang.
Dengan demikian, pengertian tradisionalisme dapat dirumuskan sebagai fikiran,
gerakan, aliran dan usaha-usaha untuk mempertahankan paham-paham, adat istiadat,
institusi-institusi lama dan sebagainya. Rumusan ini dapat dikategorikan sesuai
dengan arti secara harfiah "tradisionalisme" yaitu sikap untuk selalu mempertahankan
tradisi warisan masa lalu.
Moderat
Dalam pergulatan pemikiran Islam, secara simplistis kata moderat sering diartikan
sebagai "jalan tengah", yaitu tidak berpihak pada salah satu aliran, paham, golongan
atau kelompok tertentu.
Muhammad Imarah dalam bukunya mengulas term moderat (al-wasathiyyah) ini
dari sudut pandang Islam dan menghadapkan dengan konsep barat. Dalam konsep
Islam, moderat adalah terminologi yang memiliki kandungan makna yang sangat
penting dan mulia, namun dalam praktiknya sering disalahartikan.
Dan selanjutnya, dengan meletakkan rerm wasathiyyah dalam konsep Islam,
Imarah menyatakan bahwa washatiyyah Islam merupakan manhaj yang
memadukan antara ruh dan jasad, dunia dan akhirat, agama dan negara, yang riil dan
ideal, tujuan dan cara, akal dan naql,agama dan ilmu,umum dan khusus,das sein dan
das sollen dan seterusnya. Moderatisme Islam melahirkan konvergensi antara
dualisme-dualisme yang secara gegabah sering dipertentangkan.
Disamping itu, sikap moderat sebagaimana dikemukakan oleh Nasaruddin Umar,
dan juga telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Dengan memperkenalkan konsep
integralisme keilmuan sejati dengan memadukan secara harmonis antara unsur
rasionalitas, moralitas, dan seni kedalam tiga landasan ilmu, yaitu ontologi,
epistemologi, dan aksikologi.
Apabila kata "Moderat" disandingkan dengan kata muslim dan membentuk frase
"muslim moderat" maka secara sederhana dapat dirumuskan bahwa Muslim moderat
adalah mereka yang berdiri diantara dua ekstrimitas yang saling berhadapan, tidak
memihak pada salah satu kubu dan berada digaris atau "jalan ketiga"dengan
menawarkan solusi yang komprehensif, seimbang dan adil.
Liberal
Kata liberal dalam definisi terminologi menjadi perdebatan sampai saat ini. Terlebih
lagi, ketika kata liberal dikaitkan dengan kata "Islam", dua entitas yang sesungguhnya
bertentangan secara diametral. Frase "Islam liberal" tidak hanya mengandung
kontradiksi dalam peristilahan (contradiction in terms) tetapi juga absurd. Islam
dalam makna gereric-nya menuntut kepasrahan, yaitu sikap pasrah seorang hamba
kepada Allah dengan menjalankan seluruh perintah dan menjauhi segala larangan-
Nya. Sedangkan kata "liberal",menunjuk pada kebebasan, lepas dari tuntutan dan
seterusnya. Oleh karena itu hampir tidak mungkin untuk mempertemukan dua entitas
yang bertentangan ini (Islam dan liberal) menjadi sebuah istilah yang berdiri sendiri.
Dan ada beberapa referensi untuk mengetahui lebih jauh tentang "Islam Liberal".
Karya Charles khurzman, Liberal islam : A Source book, dan Leorned Binder,
Islamic Liberalism,adalah dua karya yang sering dikutip banyak penulis ketika
membahas Islam liberal dalam konteks global. Namun perlu dicatat bahwa jauh
sebelum kemunculan karya khurzman, Albert Hourani juga telah menggunakan istilah
"liberal" dalam karyanya, Arabic Thought in the Liberal Age 1789-1939.
5) Madzhab Lainnya
Ada beberapa mazhab lain yang terkenal yang muncul pada abad 2 sampai
dengan 3 hijriyyah antara lain Madzhab Atho, Madzhab Ibnu sirin, Madzhab
Zhohiriyyah yang di pelopori Imam Daud az zhohiri, Madzhab As ya’bi, Mazhab
Imam an-Nakho’i; akan tetapi madzhab-madzhab tersebut tidak begitu
berkembang seiring berjalannya zaman dari masa ke masa.
c) Periode Keemasan (abad 3-9 H)
Pada periode ini muncul lah ulama-ulama besar yang menisbatkan diri ke madzhab
tertentu di antaranya : Dari kalangan Syafiiyyah seperti Imam An Nawawi, Imam a-
Muzani, Imam Ibnu hajar al Asqolani, Ibnu hajar al haistami dan lain-lain. Dari
Kalangan Hanafiyyah seperti Imam Abu Yusuf, Imam As syaibani, Imam al Maruzi
dan lain lain. Dari kalangan Hanabilah seperti Imam Ibnu Qoyyim, Ibnu taimiyyah,
Ibnu Rojab dan lain lain. Dari kalangan Malikiyyah seperti Imam Ibnu Qosim, Imam
Syahnun, Imam Ibnu Rusyd dan lain lain.
A. Kesimpulan
Imam mazhab yang lima menggunakan metode yang beragam imam Abu
Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahl al-ra’y serta faqih dari Irak yang banyak
dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya. Mazhab Hanafiyah dikenal banyak
menggunakan ra’y, qiyas, dan istihsan. Prinsip dasar mazhab Maliki adalah al-
Qur’an, Sunnah Nabi saw., Ijma’, tradisi penduduk Madinah (statusnya sama
dengan sunnah menurut mereka), qiyas, fatwa sahabat, al-maslahah al-
mursalah,‘urf, Istihsan, Istishhab, sadd al-zari‘ah, dan syar’u man qablana. Dasar
fiqh mazhab Maliki dapat disederhanakan tersebut dalam empat hal, yaitu al-
Qur’an, sunnah Nabi saw., ijma’ dan rasio. Imam Syafi’I mempunyai
menggunakan 4 dalil syariah dalam ijtihadnya yaitu al-Qur’an, sunah, ijmak dan
kias. Prinsip dasar mazhab AHmad ibn Hambal adalah sebagai berikut: al-nushush
yaitu; al-Qur’an, sunnah Nabi saw., dan ijma’, fatwa sahabat. Sedangkan kalangan
ulama syiah yaitu imam Ja’far memiliki empat pegangan dalam berijtihad yaitu al-
Qur’an, sunah,ijmak, dan akal.
Perbedaan metode yang digunakan oleh para imam mazhab sangat memengaruhi
terhadap hasil ijtihadnya yaitu beragamnya khasanah fikih saat ini. Pada dasarnya
perbedaan pengambilan dalil-dalil syariah dikalangan ulama mazhab dipengaruhi
oleh empat hal yaitu perbedaan latar belakang pribadi atau kehidupan, latar
belakang keilmuan, situasi dan kondisi yang mengitarinya, dan tujuan yang ingin
dicapai oleh para imam mazhab tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Satria Effendi, USHUL FIQH, hal. 245. Ibid hal.249
https://stisalmanar.ac.id/2020/05/14/madzhab-dan-sejarah-perkembangannya/