Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SOSIOLOGI AGAMA

Disusun Oleh:
NAMA: FANNALIA
NIM : 4519022010
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
SOSIOLOGI(B)
TAHUN AJARAN 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Asal-usul agama Hindu di dunia dimulai dari masuknya Bangsa Arya ke India sejak
1500 SM. Masuknya Bangsa Arya ke India membawa perubahan yang sangat besar
dalam tata kehidupan masyarakat India. Perubahan tersebut terjadi karena Bangsa
Arya mengadakan integrasi kebudayaan dengan Bangsa Dravida dan selanjutnya
integrasi ini melahirkan agama Hindu. Bangsa Arya mulai menulis kitab-kitab suci
Weda. Kitab suci ini dituliskan dalam 4 bagian seperti Reg Weda, Sama Weda, Yayur
Weda dan Atharwa Weda. Peradaban dan kehidupan bangsa Hindu jelas terdapat juga
dalam kitab Brahmana atau dalam kitab Upanisad. Ketiga kitab inilah yang menjadi
dasar pemikiran dan dasar kehidupan orang-orang Hindu.

Asal-usul agama Hindu ditindaklanjuti dengan adanya perubahan corak kehidupan


di India. Corak kehidupan masyarakat Hindu tersebut dibedakan atas 4 kasta,
diantaranya :

1. Kasta Brahmana: Keagamaan.


2. Kasta Ksatria: Pemerintahan.
3. Kasta Wacyd (Waisya): Pertanian dan perdagangan.
4. Kasta Cudra (Sudra): Kaum pekerja kasar.

Kepercayaan Bangsa Hindu bersifat politeisme (memuja banyak dewa). Di dalam


pemujaan terhadap dewa itu sering dibuatkan patung-patung yang disesuaikan dengan
peranan dewa tersebut di dalam kehidupan manusia. Patung-patung itu merupakan
simbol dari dewa-dewa yang disembahnya seperti misalnya Dewa Brahma sebagai
Dewa Pencipta, Dewa Wisnu sebagai Dewa Pelindung, dan Dewa Siwa sebagai Dewa
Pelebur atau Pembinasa. Ketiga dewa itu diberi nama Tri Murti. Tri Murti sendiri berarti
yang Maha Kuasa. Sedangkan dewa-dewa lainnya yang dipuja seperti Dewi Saraswati
sebagai Dewi Kesenian dan Ilmu Pengetahuan, Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan, dan
lain sebagainya.
Umat Hindu beranggapan bahwa, tempat suci adalah tempat bersemayamnya para
dewa, sehingga umat Hindu terbiasa mengadakan ziarah ke tempat-tempat suci untuk
memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi umat di dunia.

Umat Hindu berziarah ke tempat-tempat suci seperti Kota Benares, sebuah kota
yang dianggap sebagai kota tempat bersemayamnya Dewa Pelabur (Dewa Siwa). Di
samping itu, Sungai Gangga juga dianggap suci dan keramat oleh umat Hindu. Menurut
kepercayaan merka, air dari Sungai Gangga akan dapat menyucikan segala dosa
betapapun besarnya. Begitu pula tulang dan abu orang mati yang sudah dibakar
dibuang ke dalam Sungai Gangga, agar orang yang meninggal masuk ke dalam surga.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Sejarah Perjalanan Umat Hindu di Indonesia
b. Bagaimana Hubungan Horizontal Umat Hindu
c. Bagaimana Hubungan Vertikal Umat Hindu
BAB II

PEMBAHASAAN

a. Bagaimana Sejarah Perjalanan Umat Hindu di Indonesia

Berdasarkan catatan sejarah, masuknya agama Hindu ke Indonesia di perkirakan


terjadi sekitar awal abad ke-4 dan diketahui berasal dari India. Hal itu ditandai dengan
berdirinya kerajaraan Kutai dan Tarumanegara yang bercorak Hindu. Selain juga
dibuktikan dari beberapa prasasti yang ditemukan yang berasal dari Kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat yang menggunakan tulisan Pallawa, tulisan asli India.

Kala itu, masuknya agama Hindu ke Indonesia juga dipertegas dengan adanya bukti
tertulis atau dari benda-benda purbakala. Misalnya saja ditemukannya tujuh buah Yupa
peninggalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Terdapat keterangan dari tujuh buah
Yupa itu yang menyebutkan perihal kehidupan keagamaan pada waktu itu bahwa:
“Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman”.
Lalu, keterangan lainnya menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya
pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan
“Vaprakeswara”.

Agama Hindu yang juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 ditandai
dengan ditemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu,
Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa
Sansekerta dan memakai huruf Pallawa. Keterangan yang didapat dari prasasti-prasasti
itu menyebutkan bahwa “Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama
Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan
dengan tapak kaki Dewa Wisnu”

Selain itu, bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di
Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa
Raja Tarumanegara. Dari data tersebut, jelas bahwa Raja Purnawarman merupakan
penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang
Maha Esa. Sementara berkembangnya agama Hindu di Jawa Tengah dibuktikan
dengan prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Tulisan dalam prasasti ini
menggunakan bahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari
prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu
Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun
650 Masehi.

Bukti lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan
memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun
654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi “Sruti indriya rasa”, Isinya
memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma
sebagai Tri Murti. Lalu, petunjuk lain dari berkembangnya agam Hindu di Jawa Tengah
juga terlihat dari adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi
Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi
dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi.

Sementara agama Hindu yang berkembang di Jawa Timur, ditandai dengan


ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang yang berbahasa sansekerta
dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar
yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh
para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Perlu
diketahui bahwa Dea Simha merupakan salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi
Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan
tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.

Lalu, pada tahun 929-947, muncul Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan
bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai
pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sendok adalah Dharma
Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun
1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia. Pasca dinasti Isana Wamsa,
di Jawa Timur muncul kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pemeluk agama
Hindu. Di era kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, seperti Kitab
Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab
Kresnayana.

Lalu, muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari
ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai
peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari. Namun, kerajaan Singosari
runtuh dan berakhir pada akhir abad ke-13 dan digantikan kerajaan Majapahit, sebagai
kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Era kejayaan kerajaan Majapahit
merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan agama Hindu. Misalnya saja
bisa terlihat dari berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di
Jawa Timur, termasuk juga munculnya buku Negarakertagama.

b. Bagaimana Hubungan Horizontal Umat Hindu

Hindu menganut paham monoteisme, mengakui satu Tuhan sebagai yang


Esa.Konsepsi 73 KONSEP KETUHANAN DAN KEMANUSIAAN DALAM HINDU IBG
Yudha Triguna Tuhan sebagai yang tunggal dapat dipahami melalui beberapa sumber
berikut.

Dalam Rgveda Mandala I Sukta 164, mantra 46 dinyatakan sebagai berikut.

“Ekam sat wiprah bahuda wadanti, agnim yaman matariswanam.”


Terjemahannya: “Tuhan itu satu, oleh para Rsi disebutkan dengan Agni, Yama,
Matariswanam”

Di dalam Rgveda Mandala I.Sukta 164 Mantra 46 menyebutkan sebagi berikut.

“Indram mitram varunam,Agnir ahur atho divyah Ekam sadviprah bahudha


vadhantyagim yamam mataiswam ahuh.”
Terjemahannya: Mereka menyebut Indra, Mitra, Varuda, Agni, dan Dia yang bercahaya
yaitu Garutman yang bersayap elok, satu kebenaran itu [Tuhan] orang bijaksana
menyebut dengan banyak nama seperti Agni, Yama, Matarisavan
Sementara itu, menurut pandangan Saguna 74 DHARMASMRTI Nomor 18 Vol. I
Mei 2018 : 1 - 134 Brahman, Tuhan berwujud, berkepribadian, dan disimbolkan dengan
berbagai atribut yang satu sama lain kadang-kadang berbeda, sehingga mengesankan
Tuhan itu bersifat jamak. Dalam agama Hindu, Tuhan yang Tunggal [Esa]
dipersonifikasi menjadi Tuhan yang memiliki sifat-sifat maskulin dan femenim, lingga
dan yoni, akasa-prethiwi, dan cetanaacetana. Penjelasan mengenai cetana [Tuhan
yang berkesadaran] dan acetana [Tuhan yang tidak berkesadaran] secara lebih detail
dapat didalami pada Wrhaspati tattwa [SS, 2009], Agastya parwa [Sura, 2002] maupun
pada dalam Samkya dan Yoga [Sura, 2009]. Malahan dalam simbolisasi, Tuhan kadang
dipersonifikasi setengah purusa dan setengah predana, setidaknya hal itu dapat
dipahami melalui konsepsi Ardanareswari. Dalam aksara dan yoga konsepsi Tuhan
dalam yang dua disimbolkan dengan aksara Ang dan Ah. Tuhan yang satu kemudian
dikembangkan ke dalam konsepsi tiga, dalam fungsinya sebagai Pencipta disebut
Dewa Brahma dengan saktinya Saraswati.

Sebagai Pemelihara, Ia disebut Wisnu dengan saktinya Sri dan Tuhan dalam
manifertasi sebagai Pelebur disebut Siwa dengan saktinya Durga. Ketiga manifestasi
Tuhan dalam fungsi berbeda-beda itu disebut dengan satu istilah, yaitu Tri Murti, yang
disimbolkan dan dipuja di PuraDesa untuk Dewa Brahma, di Pura Puseh untuk memuja
Dewa Wisnu, dan di Pura Dalem untuk memuja Dewa Siwa. Konsepsi ini dilaksanakan
di hampir lebih dari 2.400 desa adat yang tersebar di Bali, dan desa-desa bercorak Bali
di seluruh pelosok tanah air. Jadi, Tuhan yang tunggal menginspirasi Tuhan dalam tiga
fungsi utama, yaitu Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa sekaligus sebagai pengakuan atas
sebuah siklus lahir [Brahma], hidup [Wisnu], dan mati [Siwa] atau dalam bahasa agama
Hindu proses itu disebut uttpeti, stithti dan pralina.

Konsepsi Tuhan sebagai penguasa 5 arah mata angin, kemudian dikembangkan


dalam konsepsi 7 dan 11 , Konsepsi 7 dibangun berdasarkan keyakinan Tuhan dalam
manifestasikan sebagai Siwa , berdimensi tiga loka Bhur, Bhwah, dan Swah dengan
tiga sebutan berbeda , yakni Siwa, Sadasiwa, dan Paramasiwa. Personifikasi dalam
Hindu tidak berhenti dalam angka 11, tetapi berkembang ke 33 Dewa sebagaimana
tercantum dalam kutipan Rgveda Mandala I. Sukta 34.Mantra 11 berikut.
“A nasatya tribhirekadasaimha devebhir yatam madhupeyam asvina, purustaristam ni
rapam si mrksataim sedhatam dveso bhavatam sacabhurva”
Terjemahannya: “Semogalah Engkau tiga kali sebelas [33] tidak pernah jatuh dari
kesucian, sumber kebenaran, yang memimpin kami menuju jalan untuk memperoleh
kebajikan, semoga Tuhan Yang Maha Esa menerima 75 KONSEP KETUHANAN DAN
KEMANUSIAAN DALAM HINDU IBG Yudha Triguna persembahan kami,
memperpanjam hidup kami, menghapuskan kekurangan kami, melenyapkan sifat-sifat
jahat kmi dan semoga semuanya tidak membelenggu kami”.

Penjelasan di atas menegaskan kedudukan Tuhan sebagai yang Esa, namun


dipersonifikasi dengan berbagai nama, atribut, dan peran yang berbeda-beda. Jadi,
Hindu bukan agama yang memuja banyak Tuhan, melainkan agama yang memuja satu
Tuhan beserta percikan sinar dan jiwa Tuhan yang disebut berbagai nama dan sebagai
bentuk pujian.

Manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan Atman yang ada dalam diri manusia
merupakan percikan sinar suci kebesaran Tuhan yang menyebabkan manusia dapat
hidup. Dilihat dari segi ini sesungguhnya manusia itu berhutang nyawa terhadap Tuhan.
Oleh karena itu setiap manusia wajib berterima kasih, berbhakti dan selalu sujud
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Rasa terima kasih dan sujud bhakti itu dapat
dinyatakan dalam bentuk puja dan puji terhadap kebesaran Nya, yaitu:

 Dengan beribadah dan melaksanakan perintahnya.


 Dengan melaksanakan Tirtha Yatra atau Dharma Yatra, yaitu kunjungan
ketempat-tempat suci.
 Dengan melaksanakan Yoga Samadhi.
 Dengan mempelajari, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama.
c. Bagaimana Hubungan Vertikal di Umat Hindu

Sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup menyendiri. Mereka memerlukan
bantuan dan kerja sama dengan orang lain. Karena itu hubungan antara sesamanya
harus selalu baik dan harmoni. Hubungan antar manusia harus diatur dengan dasar
saling asah, saling asih dan saling asuh,yang artinya saling menghargai, saling
mengasihi dan saling membingbing. Hubungan antar keluarga dirumah harus harmoni.
Hubungan dengan masyarakat lainya juga harus harmoni. Hubungan baik ini akan
menciptakan keamanan dan kedamaian lahir batin di masyarakat. Masyarakat yang
aman dan damai akan menciptakan Negara yang tenteram dan sejahtera.

Kondisi masyarakat Indonesia pada saat ini telah menunjukkan adanya suatu
distorsi, dekadensi dalam hal nilai-nilai kemanusiaan dalam perkembangan peradaban
bangsa Indonesia. Nilai – nilai keadilan dan kemanusiaan menjadi suatu fundamen
berbagai kelompok masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Nilai cinta kasih,
kedamaian, gotong royong di antara sesama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa,
kondisi-kondisi ini sudah mengalami suatu penurunan dan pelanggaran antar kelompok
etnis, pemeluk agama, anggota partai politik bahkan komunitas. Ungkapan dan kasus-
kasus ujaran nilai kebencian dan tampak adanya pelanggaran antar kelompok etnis,
pemeluk agama, partai politik, yang mengganggu nilai gotong royong yang tinggi, yakni
masyarakat yang cinta damai, cinta tanah air Indonesia, sudah tercabik-cabik oleh
sekelompok orang mengatasnamakan suku, ras, agama, dan antar golongan.
Merosotnya nilai-nilai moralitas, kejujuran dan spiritual sebagian masyarakat Indonesia
dalam bentuk kejahatan narkoba, pelecehan seksual, rapuhnya karakter, krisis
identitas, krisis kepercayaan, degradasi moral, tidak saja kalangan remaja, tetapi juga
orang tua yang seharusnya menjadi panutan.

Fenomena di atas tidak hanya terjadi pada manusia, akan tetapi juga hubungan
lainnya seperti halnya menyangkut kepercayaan kepada Tuhan dan lingkungan hidup
sebagai penunjang kehidupan manusia. Akibat ulah manusia tidak dapat dipungkiri
bahwa era global saat ini banyak terjadi fenomena alam yang terjadi, tidak hanya
terhadap kehidupan manusia, tetapi juga yang berdampak pada kehidupan binatang
dan tumbuhan. Pada sisi aspek manusia, kemajuan atau globalisasi mempengaruhi
kehidupan manusia dalam hal berpikir, berkata dan berperilaku. Banyak manusia yang
sudah tidak bisa bersahabat dengan sesama manusia, binatang, dan tumbuhan atau
lingkungan.

Untuk mampu mengatasi hal tersebut, maka perlu dilakukan kembali penanaman
nilai-nilai agama dan budaya serta pendidikan karakter melalui proses pembelajaran.
Pembangunan karakter merupakan upaya mewujudkan amanat dari Pancasila dan
pembukaan UUD 1945 yang dilatar belakangi oleh realita permasalahan kebangsaan
yang berkembang saat ini, seperti halnya : bergesenya nilai etika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa,
ancaman disintegrasi bangsa dan melemahnya kemandirian. Sehingga perlulah suatu
keharmonisan antara hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama
manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Keharmonisan ini tentunya akan
memberikan suatu dampak yang baik bagi kehidupan manusia dan sekitarnya dan
keberlanjutan hidup yang baik.

Dalam hal ini hubungan harmonis antara manusia dengan manusia sudah tidak ada
lagi. Padahal konsep Tri Hita Karana dalam ajaran Agama Hindu mengajarkan harus
terciptanya hubungan yang harmonis sehingga terjadilah kebahagiaan di dunia ini.
Konsep Tri Hita Karana dikelompokkan dalam tiga nilai yaitu : 1) akhlak terhadap Tuhan
Yang Maha Esa (Parhyangan), 2) akhlak terhadap manusia (Pawongan), 3) akhlak
terhadap lingkungan (Palemahan). Dalam menghadapi kehidupan yang fundamentalis,
konsep ajaran Tri Hita Karana memperkenalkan nilai-nilai religius, pembudayaan nilai
sosial, penghargaan gender, penanaman nilai keadilan, pengembangan sikap
demokratis, penanaman sikap kejujuran, menunjukkan sikap kejujuran, peningkatan
sikap dan daya juang, pengembangan sikap tanggung jawab, dan penghargaan
terhadap lingkungan alam.

Tri Hita Karana berasal dari kata Tri yang berarti tiga, Hita yang berarti kebahagiaan,
dan Karana yang berarti penyebab. Falsafah ini memiliki konsep yang dapat
melestarikan keanekaragaman budaya dan lingkungan di tengah arus globalisasi dan
homogenisasi. Pada dasarnya hakikat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga
hubungan manusia dalam kehidupan dunia ini. Ketiga hubungan ini meliputi hubungan
dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar, dan hubungan dengan
Tuhan.

Keseimbangan dan kebahagiaana akan dicapai apabila manusia mengupayakan dan


menghindari segala tindakan buruk bagi kehidupan lingkungannya.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal penting, yaitu.

1. Hindu percaya kepada satu Tuhan yang dipersonifikasi ke dalam banyak nama, atribut, dan tugas-
fungsi. Kepercyaan terhadap personifikasi Tuhan dalam banyak ragam, dilandasioleh pahamSaguna
Brahman.

2. Keyakinan terhadap Tuhan dengan manifestasiNya yang jamak, telah menginspirasi seluruh rangkaian
upacara 82 DHARMASMRTI Nomor 18 Vol. I Mei 2018 : 1 - 134 dalam Hindu, baik dalam kaitannya
dengan sepanjang hidup individu, upacara menjaga kelestarian alam, keselamatan dan kebahagiaan.

3. Konsistensi pikiran, perkataan, dan perbuatan menentukan manusia mencapai neraka, sorga, dan
moksa sebagai dunia setelah kematian, sekaligus menjadi ukuran keselamatan dalam hidup

https://asumsi.co/post/3098/perjalanan-agama-hindu-hingga-diakui-di-
indonesia

Anda mungkin juga menyukai