Anda di halaman 1dari 39

Materi Inti-2

Tatalaksana HIV
Skrining, Diagnosis dan Pengobatan

I. Pengantar

Untuk mencapai salah satu tujuan program pengendalian dan pencegahan HIV AIDS pada tahun
2030, yaitu meniadakan kasus infeksi baru dan target pada tahun 2027, 90% ODHA sudah
mengetahui status HIVnya, maka upaya yang dilakukan diantarany adalah dengan memperluas
dan meningkatkan tes HIV di fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan demikian perlu
upaya peningkatan kemampuan tenaga kesehatan di fasyankes dalam melakukan penemuan kasus
dan diagnosis HIV.

Pembahasan materi ini meliputi Penemuan kasus dan Diagnosis HIV.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


TUJUAN UMUM
Setelah mempelajari materi peserta mampu melakukan tatalaksana HIV yaitu penemuan,
Diagnosis dan pengobatan/terapi

TUJUAN KHUSUS
1. Memberikan layanan tes HIV
2. Memberikan layanan Terapi Antiretroviral (ARV)

III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN


1. Memberikan layanan tes HIV
a. Skrining HIV:
• Melakukan skrining HIV pada 8 populasi sesuai SPM.
• Melakukan RDT R0.
b. Diagnosis HIV
• Menjelaskan prinsip 5C
• Menjelaskan algoritma tes HIV.
• Memberikan informasi pasca tes HIV dan tindak lanjut bagi yang negatif (tes
ulang bila berisiko, alat-alat pencegahan).
• Memberikan informasi pasca tes HIV dan tindak lanjut bagi ODHA (ARV,
pencegahan positif)
2. Memberikan layanan Terapi Antiretroviral (ARV)
a. Tatalaksaana saat kunjungan pertama di layanan ARV:
• Menjelaskan infeksi oportunistik dan ko-infeksi yang sering ditemukan pada
ODHA.
• Menetapkan stadium klinis HIV
• Merujuk pasien dengan infeksi oportunistik berat ke FKRTL.
• Menjelaskan tentang terapi ARV (jenis ARV lini 1, lini 2, regimen ARV)
• Memberikan terapi ARV di hari yang sama pada pasien sesuai indikasi.
• Memberikan obat untuk IO/ko-infeksi.
• Menjelaskan tentang notifikasi pasangan.
• Memberikan profilaksis IO sesuai indikasi.
b. Tatalaksana saat kunjungan follow-up:
• Melakukan skrining TB.
• Melakukan tatalaksana efek samping obat.
• Melakukan tatalaksana interaksi obat.
• Melakukan tatalaksana IRIS.
• Menilai kepatuhan pengobatan
• Melakukan pemeriksaan fisik.
• Menganjurkan pemeriksaan laboratorium penunjang.
• Menjelaskan tentang pemantauan terapi (klinis, imunologis, virologis).
• Merujuk pemeriksaan VL rutin bagi ODHA.
• Menjelaksan tentang 4S (Start, Substitute, Switch, Stop).
• Menjelaskan tentang imunisasi pada ODHA
• Melakukan layanan notifikasi pasangan.

IV. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN. Waktu: 5 Jpl=225 menit


Langkah 1. Pengkondisian (5 menit)
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila ini merupakan pertemuan
pertama di kelas ini, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan
nama lengkap, instansi tempat bekerja/pengalaman bekerja terkait dengan materi yang
akan disampaikan.
2. Menyampaikan keterkaitan materi ini dengan modul/materi sebelumnya
3. Menyampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan pokok bahasan yang akan dibahas,
sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang, lakukan penegasan dan jangan hanya
membacakan saja.

Langkah 2. Pembahasan pokok bahasan 1 (105 menit)


1. Fasilitator melakukan curah pendapat, bagaimanakah pemahaman peserta tentang layanan
HIV? Bagaimana strategi dalam melakukan penapisan/skrining HIV? Bagaimana cara
melakukan diagnosis HIV? Apakah mempunyai pengalaman melakukan di fasyankes
masing-masing? Apakah ada kendala yang dihadapi? Tuliskan poin-poin penting
penyampaian peserta pada kertas flipchart/PPT
2. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang Layana HIV (Skrining dan diagnosis)
HIV, menggunakan bahan tayang. Lakukan secara interaktif dengan melibatkan peserta.
Kaitkan dengan poin-poin penyampaian peserta agar merasa dihargai.
3. Setelah seluruh presentasi selesai, atau selama presentasi fasilitator memberi kesempatan
peserta untuk tanya jawab. Beri juga kesempatan untuk menjawab pertanyaan peserta lain
terlebih dahulu sebelum fasilitator menjawabnya.
4. Fasilitator menyampaikan bahwa peserta akan mengerjakan penugasan 1. Latihan kasus.
Jelaskan sesuai dengan petunjuk penugasan yang ada pada fasilitator.
5. Selama peserta mengerjakan latihan, fasilitator melakukan pengamatan, dan memberikan
bantuan yang diperlukan.
6. Setelah selesai mengerjakan Latihan, fasilitator memandu presentasi hasil latihan.
Mintalah pendapat dan amsukan dari peserta lainnya, agar bisa saling melengkapi.
7. Fasilitator menyampaikan rangkuman singkat dari pokok bahasan 1.

Langkah 3. Pembahasan Pokok bahasan 2 ( 105 menit)


1. Fasilitator menyampaikan bahwa akan beralih pada pembahasan tentang Terapi atau
pengobatan ARV? Apa yang dilakukan pada saat kunjugan pertama? Dan selanjutnya apa
yang dilakukan pada kunjungan follow up? Lakukan curah pendapat, bagaimanakah
pemahaman peserta tentang informasi yang diperlukan pada setiap hasil tes? Adakah yang
memiliki pengalaman? Tuliskan poin-poin penting penyampaian peserta pada kertas
flipchart
2. Fasilitator menyampaikan paparan materi tentang terapi HIV, menggunakan bahan tayang.
Lakukan secara interaktif dengan melibatkan peserta. Kaitkan dengan poin-poin
penyampaian peserta agar merasa dihargai.
3. Setelah seluruh presentasi selesai, atau selama presentasi fasilitator memberi kesempatan
peserta untuk tanya jawab. Beri juga kesempatan untuk menjawab pertanyaan peserta lain
terlebih dahulu sebelum fasilitator menjawabnya.
4. Untuk lebih mengaktifkan peserta fasilitator dapat menggunakan metode “padanan kartu”.
5. Fasilitator menyampaikan rangkuman singkat dari pokok bahasan 2.

Langkah 5. Rangkuman dan Penutup (10 menit)


1. Fasilitator mengajak peserta merangkum apa yang telah dipelajari peserta dalam sesi ini.
2. Sampaikan bahwa dengan mempelajari materi ini, diharapkan memberikan bekal
pengalaman belajar kepada peserta dalam memahami pentingnya keterampilan melakukan
pembacaan hasil tes secara benar serta penyampaian informasi hasil tes. Peserta
diharapkan dapat menerapkannya di fasyankes/ tempat tugas masing-masing.
3. Fasilitator menutup sesi dengan mengucapkan terimakasih dan salamMemberikan layanan
tes HIV

V. Uraian Materi

Pokok Bahasan 1. Layanan Tes HIV

SKRINING HIV
Dalam membangun Konsep tes HIV, terlebih dahulu harus dipahami tentang karakteristik
penyakit HIV, yaitu suatu penyakit infeksi dengan ciri-ciri:

 menyebabkan kerusakan sel CD 4 sehingga rentan terhadap penyakit infeksi oportunistik


 membutuhkan pengobatan seumur hidup
 kerap dikaitkan dengan perilaku negatif
 dapat menimbulkan ketakutan, stigma dan diskriminasi

Karakteristik penyakit HIV tersebut perlu dijadikan bahan pertimbangan dalam membangun
bentuk layanan tes HIV yang meliputi beberapa aspek yaitu:

 Bagaimana cara menemukan kasus


 Bagaimana kasus yang ditemukan dapat diobati dan ditindaklanjuti dengan membangun
jejaring kerja internal maupun eksternal
 Bagaimana membangun layanan yang dapat diakses oleh populasi kunci dan tidak
memberikan ketakutan dan stigma.
 Sistem promosi atau marketing agar masyarakat tahu jika tersedia layanan diagnosis dan
pengobatan HIV serta dapat diakses.

Dalam konteks pendekatan kesehatan masyarakat, Kementerian Kesehatan menggunakan strategi


LKB yang bertujuan memperluas akses layanan tes HIV dan pengobatan ARV untuk semua
ODHA. Strategi Treat All bertujuan meningkatkan cakupan pemberian ARV, dengan 1)
memperluas indikasi ARV menjadi untuk semua ODHA ; 2) desentralisasi logistik ARV hingga
tingkat propinsi/kabupaten; 3) desentralisasi tes dan pengobatan ARV di tingkat puskesmas/klinik
swasta.
Dalam tingkat layanan baik di fasyankes primer maupun lanjutan, kegiatan pengendalian berupa:
penemuan kasus; pemberian ARV maupun penanganan infeksi oportunistik. Layanan tes HIV di
fasyankes dibangun terintegrasi sesuai dengan tatanan layanan kesehatan.

Layanan tes HIV dibangun secara terintegrasi, dalam pengertian:

1. Terintegrasi dengan sistem pelayanan kesehatan yang ada tanpa menciptakan sistem yang
baru, sebagai contoh pasien HIV tetap mengantri dan mendaftar, catatan medis pasien HIV
diletakkan di unit rekam medis, tidak perlu laboratorium dan unit farmasi yang khusus untuk
program HIV.
2. Terintegrasi untuk tujuan penemuan kasus, dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan di semua
poli rawat jalan, seperti poli DOTS, klinik hepatitis, klinik kebidanan dan kandungan, klinik
Paru dan rawat inap.
3. Terintegrasi dalam pengobatan dan pencatatan, dilakukan dalam poliklinik terpadu dengan
penyakit lainnya seperti poli TBC-HIV-IMS. Integrasi dalam pengobatan diperlukan karena
memerlukan tindak lanjut untuk mencegah pasien hilang dan adanya pencatatan, pelaporan
4. Layanan tes HIV wajib dilakukan bersama dengan layanan IMS, dimana semua pasien HIV,
ibu hamil, populasi kunci apapun status HIVnya wajib dilakukan pemeriksaan IMS.

Skrining HIV pada 8 populasi sesuai SPM.

Pendekatan dan penemuan kasus HIV yang harus dijalankan oleh tenaga kesehatan di fasilitas
layanan kesehatan, selama ini dikenal dengan TIPK (Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan). TIPK
menjadi prioritas layanan tes HIV, namun tetap memungkinkan dilaksanakannya KTS sesuai
dengan kebutuhan pasien/klien. Selanjutnya, agar tidak terjadi kerancuan akan digunakan satu
istilah yaitu layanan tes HIV, untuk memperbaharui istilah “konseling dan tes HIV”. Setiap
tenaga kesehatan wajib meminta pasien melakukan tes HIV sebagai prosedur rutin pada populasi:
pasien TBC, Ibu Hamil, populasi Kunci, pasien IMS, dan pasangan ODHA.

Sebagai tambahan dalam pelayanan Standar Pelayanan Minimal (SPM), maka setiap orang
dengan risiko terinfeksi HIV mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar. Pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada orang dengan risiko terinfeksi HIV sesuai standar meliputi:

1. Edukasi perilaku berisiko


2. Skrining
Pasien yang berada di rawat jalan atau rawat inap dengan kriteria sebagai berikut, diberikan
informasi tentang tes HIV dan lakukan tes HIV:

1. Ibu hamil, yaitu setiap perempuan yang sedang hamil.


2. Pasien TBC, yaitu pasien yang terbukti terinfeksi TBC dan sedang mendapat pelayanan
terkait TBC
3. Pasien Infeksi Menular Seksual (IMS), yaitu pasien yang terbukti terinfeksi IMS selain
HIV dan sedang mendapat pelayanan terkait IMS
4. Penjaja seks, yaitu seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan orang lain
sebagai sumber penghidupan utama maupun tambahan, dengan imbalan tertentu berupa
uang, barang atau jasa
5. Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL), yaitu lelaki yang pernah berhubungan
seks dengan lelaki lainnya, sekali, sesekali atau secara teratur apapun orientasi seksnya
(heteroseksual, homoseksual atau biseksual
6. Transgender/Waria, yaitu orang yang memiliki identitas gender atau ekspresi gender yang
berbeda dengan jenis kelamin atau seksnya yang ditunjuk saat lahir, kadang disebut juga
transeksual.
7. Pengguna napza suntik (penasun), yaitu orang yang terbukti memiliki riwayat
menggunakan narkotika dan atau zat adiktif suntik lainnya.
8. Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), yaitu orang yang dalam pembinaan
pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM dan telah mendapatkan vonis tetap
Sebagai tambahan beberapa keadaan yang juga perlu dilakukan pemeriksaan HIV adalah:

 Pasien hepatitis B dan C


 Pasien dengan gejala penurunan kekebalan tubuh (IO)
 Pasangan ODHA
 Anak dari ibu HIV positif
 Di daerah epidemi meluas semua orang yang datang ke fasyankes

Bagi pasien yang memberikan persetujuan secara lisan, berikan rujukan ke laboratorium untuk
pemeriksaan darah atau lakukan langsung pemeriksaan skrining dengan 1 reagen dengan
sensitivitas tertinggi (≥ 99%). Petugas yang meminta tes atau melakukan tes, memberikan
penjelasan makna hasil tes baik pada hasil positif maupun negatif.

Bagi pasien yang menolak tes HIV, mintakan tanda tangan yang menyatakan mereka menolak
pemeriksaan.

Penemuan kasus
Berdasarkan cara penularan HIV dan dampak HIV terhadap kesehatan pasien, maka penemuan
kasus wajib dilakukan terhadap:
1. Semua penyakit atau kondisi yang didapat melalui hubungan seksual, yaitu IMS, hepatitis,
kehamilan
2. Semua penyakit atau kondisi yang didapat dari darah, yaitu tranfusi darah, pengguna
narkotik suntik
3. Infeksi oportunistik yang timbul sesuai dengan stadium HIV seperti TBC paru

Berdasarkan hal tersebut maka kelompok yang perlu dicari adalah kelompok ibu hamil, pasien
TBC, pasien hepatitis, pasien IMS, populasi kunci dan pasangan orang dengan HIV (mohon
dilihat bagan alur layanan test kotak kelompok pasien). Fasilitas layanan yang perlu melakukan
penemuan kasus adalah poli Kebidanan, poli TBC, poli umum/penyakit dalam (penemuan
penyakit Infeksi oportunistik), poli IMS, poli anak, poli tumbuh kembang, poli saraf beserta
bangsal dari masing masing bagian serta lembaga pemasyarakatan.
Secara aktif, penemuan kasus membutuhkan dua aspek yaitu supply dan demand. Suplai kasus
dilakukan dengan upaya marketing dan promosi kesehatan untuk secara berkala menampilkan
tempat layanan tes dan manfaat penemuan kasus dini dan obat ARV. Kerja sama dengan pihak
lain seperti LSM, kader posyandu juga merupakan upaya promosi kesehatan dan strategi
marketing untuk menjaring kasus baru. Penemuan kasus mengikuti konsep LKB, yaitu konsep
wilayah kabupaten/kota, jadi yang harus ditemukan adalah kelompok-kelompok sasaran yang ada
di wilayah kabupaten/kota, bukan hanya yang datang ke fasyankes pemerintah.
Kelompok ibu hamil
Ibu hamil, selain datang di fasyankes pemerintah, banyak juga yang datang ke bidan swasta,
Klinik, rumah bersalin, dokter spesialis kebidanan, rumah sakit swasta. Dinas kesehatan
kabupaten/kota dan fasyankes pemerintah seharusnya memiliki data tentang fasyankes swasta
yang ada di wilayahnya, dan melakukan jejaring.

Hal yang dilakukan dalam penemuan kasus HIV pada ibu hamil:
• Semua ibu hamil yang datang di poli KIA untuk ANC, dilakukan tes HIV. Tes HIV
bersamaan dengan tes Sifilis dan Hepatitis B (Triple Elimination).
• Mewajibkan fasilitas layanan kesehatan swasta melakukan tes HIV setidaknya untuk triase,
termasuk memberikan laporan ke Puskesmas wilayah setempat kecuali yang sudah memiliki
SIHA (Sistim Informasi HIV AIDS) dan Dinas Kesehatan akan bertanggung jawab untuk
mengatur sistim pelaporan
• Kerjasama dengan dokter maupun bidan praktik swasta di wilayah fasyankes, dengan cara
sebagai berikut:
1) Swasta melakukan tes R1, kemudian dirujuk ke fasyankes
2) Swasta melakukan rujukan spesimen untuk tes HIV ke fasyankes
3) Swasta melakukan rujukan pasien untuk tes HIV ke fasyankes
• Tes HIV pada semua pasangan ibu hamil HIV reaktif
• Skrining HIV dan IMS di klinik keluarga berencana dan membuat laporan

Penemuan kasus pada anak


Seperti halnya ibu hamil, banyak ibu-ibu membawa anaknya yang sakit ke fasyankes swasta.
Dinas kesehatan kabupaten/kota harus meningkatkan jejaring dengan fasyankes swasta di
wilayahnya. Hal yang dilakukan dalam penemuan kasus HIV pada anak:
• Semua anak dari orang tua HIV positif harus di tes HIV.
• Semua balita sakit umur 2 bulan sampai 5 tahun dan bayi muda 0-2 bulan dilakukan
Pendekatan MTBS/MTBM terkait HIV (Kepmenkes 52 tahun 2015 tentang Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan serta Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota yang diperbaharui
dalam kerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri).
• Anak umur 18 bulan atau lebih, yang diduga terinfeksi atau terpajan HIV, harus mendapatkan
tes serologis

Penemuan Kasus HIV pada Remaja


Seharusnya setiap fasyankes melaksanakan Pelayanan Kesehatan peduli Remaja (PKPR), dimana
penemuan kasus remaja dapat dilakukan. Akses remaja terutama remaja berisiko dan remaja
populasi kunci ke layanan kesehatan karena kurangnya pengetahuan yang benar tentang HIV
serta takut akan stigma dan diskriminasi. Kemungkinan remaja bermasalah datang ke layanan
praktik swasta.

Hal yang dilakukan dalam penemuan kasus HIV pada remaja:


• Remaja dengan TBC dilakukan tes HIV
• Melakukan tes HIV kepada semua remaja yang berisiko, seperti: remaja yang sudah aktif
seksual, remaja pekerja seks, remaja pengguna napza suntik, remaja dengan kekerasan
seksual.
Penemuan kasus HIV pada pasien IMS
Pada poli IMS seharusnya dapat dilakukan penemuan kasus, karena pada penatalaksanaan IMS
diawali dengan anamnesis termasuk penggalian faktor risiko. Tapi kasus IMS yang ditemukan
petugas kesehatan sangat kecil karena berbagai aspek seperti stigma dan diskriminasi, keengganan
pasien untuk diperiksa dalam, pemahaman petugas yang masih kurang tentang SOGIEB.

Hal yang dilakukan dalam penemuan kasus HIV pada pasien IMS
• Setiap pasien dengan keluhan dan gejala IMS di tes HIV
• Semua pasien yang diperiksa IVA diperiksa IMS
• Setiap yang datang untuk KB IUD di tes IMS.
• Bekerjasama dengan dokter praktik swasta,
• Pasien dengan kelainan kulit seperti: PPE, dermatitis seboroik, dll, di tes IMS
 Setiap ditemukan pasien IMS, di tes HIV

Penemuan kasus pada penderita TBC


Di fasyankes, semua pasien suspek TBC dilakukan tes HIV, sekalian dengan pemeriksaan TBC.
Tetapi penambahan kasus baru TBC berdasarkan laporan SITT masih sangat kecil. Pasien TBC
juga datang ke rumah sakit swasta, RS paru, dokter praktik swasta, Balai pengobatan swasta.
Hal yang dilakukan dalam penemuan kasus HIV pada pasien TBC:
1. Skrining HIV dan TBC bersamaan untuk semua kasus yang dicurigai HIV
Skrining HIV diantara anak yang menderita TBC, malnutrisi dan gangguan tumbuh kembali

Penemuan Kasus pada populasi kunci


Populasi kunci yang datang ke fasyankes, jumlahnya sangat sedikit. Banyak populasi kunci yang
datang ke dokter praktik swasta yang dipercaya, tidak kuatir akan mendapat stigma dan
diksriminasi, serta waktu layanan sesuai dengan kebutuhannya.
Hal yang dilakukan dalam penemuan kasus HIV pada populasi kunci:
• Tes HIV pada populasi kunci sebagai hasil penjangkauan petugas lapangan. Dalam hal ini
fasyankes bekerjasama dengan petugas lapangan LSM yang ada di wilayahnya, termasuk PE
(Peer Educator).
• Tes HIV pada setiap populasi kunci yang datang di klinik/poli PTRM, LASS, IMS, TBC,
Hepatitis.

Penemuan kasus pada warga binaan/Lapas


Seharusnya di poli rutan/lapas, dapat melakukan tes HIV kepada semua Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) yang mempunyai latar belakang penasun, dan WBP yang mempunyai
perilaku berisiko. Tetapi saat ini belum ada kebijakan tersebut.
Hal yang dilakukan dalam penemuan kasus HIV pada warga binaan rutan/lapas
• Berkoordinasi dan bekerjasama dengan pimpinan rutan/lapas di wilayahnya, agar fasyankes
dapat melakukan tes HIV kepada warga binaan. Perlu disepakati mengenai mekanisme layanan
tes, seperti waktu, tempat layanan dan lain-lain.

Triase (Skrining/Penapisan oleh petugas kesehatan terdepan)


Triase adalah tes HIV untuk skrining dengan satu rapid tes dapat dilakukan oleh seluruh petugas
kesehatan pada puskesmas dan jaringannya, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya (termasuk
layanan sunat dewasa). Pemeriksaan dengan rapid tes (R0/AO) ini dapat mengambil sediaan
darah vena maupun dengan tusuk jari (finger prick). Khusus di Papua, mempertimbangkan
geografi yang sulit, kader posyandu juga dapat melakukan triase. Jika hasil pemeriksaan dari satu
reagen ini positif, kemudian dilakukan rujukan ke layanan diagnosis HIV.

Rujukan diagnosis dapat dilakukan dengan beberapa cara:


1. mengirim sampel darah pasien;
2. petugas kesehatan dari layanan rujukan datang untuk melakukan tes;
3. pasien yang dikirim ke layanan rujukan .

Klasifikasi Tes untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV ada dua tujuan yaitu 1) Tes untuk tujuan
skrining, yaitu mendeteksi orang yang diduga terinfeksi sebanyak mungkin dan 2) Tes untuk
memberikan konfirmasi bahwa orang yang diduga memang mempunyai antibodi spesifik terhadap
bagian virus HIV. Hasil yang pertama disebut mempunyai sensitifitas yang tinggi untuk
mencegah negatif palsu dan yang kedua mempunyai spesifisitas yang tinggi untuk mencegah
positif palsu. Penggunaan semua klasifikasi diatas untuk kepentingan diagnosis dengan
menggunakan 3 rapid tes untuk antibodi HIV dapat menghasilkan hasil laboratorium yang kuat
dan terpercaya. Perlu adanya metode kendali mutu eksternal untuk menjaga kualitas laboratorium.

DIAGNOSIS HIV
Dalam pelaksanaanya, tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5
komponen dasar yang disebut 5C, sebagai berikut:
a. Consent

Consent disini mempunyai makna bahwa sebelum dilakukan tes HIV, pasien perlu mengerti
alasan dilakukan tes HIV. Petugas kesehatan wajib memberikan informasi guna menjelaskan
alasan mengapa pasien akan di lakukan tes. Kebijakan pemerintah dapat dijadikan landasan untuk
melakukan tes HIV.

Sama seperti penyakit lainnya, tahap ini berlangsung singkat, tanpa dilakukan konseling yang
panjang oleh konselor dan dapat dilakukan oleh semua petugas kesehatan. Pada tahap ini tidak
diperlukan penggalian evaluasi risiko dan konseling individu (4,5).

Persetujuan cukup diberikan secara lisan, dalam hal pasien menolak, diperlukan tanda tangan dari
pasien.

Tatanan hukum di Indonesia menegaskan batasan usia anak adalah 18 tahun, pemberian informasi
dan persetujuan untuk pasien < 18 tahun perlu melibatkan anggota keluarga atau wali dari pasien.
Wali adalah ayah kandung/ibu kandung/saudara kandung yang telah dewasa.
Untuk anak <18 tahun perlu ada wali yang utamanya keluarga, namun, jika tidak, baiknya ada
skrining awal dimana klinisi/tenaga kesehatan bisa mengkaji apakah anak ini sudah mampu
memutuskan sendiri. Diperlukan tanda tangan dan saksi (2 orang saksi, dari fasyankes dan atau
pendamping/LSM/ petugas Panti/Lapas.)

b. Confidentiality
Sama seperti penyakit lainnya, petugas kesehatan tidak diijinkan untuk membuka informasi
tentang pasien kepada orang yang tidak berkepentingan. Infeksi HIV bukan merupakan penyakit
yang berdiri sendiri dan dampak dari terinfeksi HIV adalah timbulnya infeksi oportunistik yang
akan menyerang organ tubuh lain sehingga memerlukan kerja sama dari bidang keahlian lain di
sarana kesehatan. Pasien perlu diberitahu sejak awal bahwa semua informasi terkait penyakit akan
di ketahui oleh petugas kesehatan yang berkepentingan untuk kepentingan perawatan dan
pengobatan.

Pembukaan status HIV kepada pasangan berpegang pada prinsip informasi kesehatan bersifat
rahasia, dan dapat dibuka kepada:

1. Yang bersangkutan
2. Tenaga kesehatan yang menangani
3. Keluarga terdekat dalam hal yang bersangkutan tidak cakap
4. Pasangan seksual
5. Pihak lain sesuai ketentuan perundang- undangan

Petugas kesehatan, pada waktu merencanakan untuk membuka status HIV pada pasangan perlu
melakukan evaluasi untuk kemungkinan terjadinya tindak kekerasan dan membahas penyelesaian
ini dengan tim (6,7).
Pembukaan status HIV pasien pada pasangan seksual yang tetap, harus dilakukan oleh:
 Pasien, setelah dilakukan edukasi oleh petugas.
 Pasien yang dibantu oleh petugas
 Tenaga kesehatan setelah memperoleh persetujuan tertulis dari pasien

Pembukaan status kepada pasangan, merupakan komunikasi dokter dengan pasien, dan dapat
memerlukan waktu lama. Tenaga kesehatan harus selalu menganjurkan pasien dengan HIV
untuk membawa pasangan.

c. Counselling

Pelaksanaan konseling atau edukasi kepada pasien pada tes HIV tidak menekankan dan tidak
memerlukan individual risk assessment dan konseling (4,5), tapi lebih ditekankan pada pemberian
informasi alasan dilakukan tes. Pemberian informasi, selain dilakukan oleh petugas kesehatan,
juga dapat menggunakan media yang lain seperti media sosial, brosur, pamflet, film dan lain lain.

Konseling pasca test disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter pasien. Pada pasien dengan tes
HIV positif, lebih ditekankan pada

1. Penjelasan tentang makna hasil tes positif


2. Konseling kepatuhan dan keteraturan pengobatan
3. Perubahan perilaku berisiko

d. Correct Test Result


Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti standar pemeriksaan HIV nasional yang
berlaku. Kualitas tes harus terjaga. Hasil tes harus dikomunikasikan sesegera mungkin kepada
pasien/klien secara pribadi, oleh petugas yang meminta tes HIV.
Laboratorium fasyankes minimal melakukan pemantapan mutu internal (PMI) secara rutin setiap
kali melakukan kegiatan tes yang meliputi pra analitik, analitik dan pasca analitik dan mengikuti
program Pemantapan mutu eksternal (PME) yang dilaksanakan sesuai dengan pedoman PME.

e. Connect to HIV prevention, care and treatment


Orang dengan HIV positif harus dipastikan mendapatkan pengobatan ARV sesegera mungkin.
Layanan tes HIV dan akses terhadap perawatan dan pengobatan ARV merupakan satu bagian
yang tidak boleh dipisahkan
Pelaksanaan tes HIV tanpa diikuti dengan tautan terhadap akses untuk pencegahan, perawatan dan
pengobatan ARV tidak ada manfaatnya serta tidak sesuai dengan etika profesional kesehatan.
1. Alur layanan tes HIV

Alur layanan tes HIV di fasyankes, digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

Bagan 1. Alur layanan tes HIV

Pasien di sarana rawat jalan dan rawat inap

1)
Kelompok pasien yang di tes HIV*
2)
 3)
LSL, Waria, WPS/PPS dan Pelanggan,
Penasun, WBP
 4)
Ibu hamil
 5)
Pasien TBC
 6)
Pasien IMS atau dengan keluhan IMS
 7)
Pasien hepatitis B dan C
 Pasien dengan gejala penurunan kekebalan
8)
tubuh (gejala IO)
 Pasangan ODHA
 Anak dari ibu HIV positif
 Di daerah epidemi meluas , semua orang Menerima verbal consent
yang datang ke fasyankes

Menerima tes Menolak tes


tesTes

Ke laboratorium Tanda tangan surat penolakan , beri informasi manfaat tes

Semua hasil lab dikembalikan ke nakes pengirim

Positif Inkonklusif Negatif

Jelaskan makna hasil tes, jelaskan secara garis besar, apa langkah yang
akan dilakukan di layanan ARV beserta semua paket perawatan

Catatan:
*Tes anti HIV tetap dapat dilakukan pada individu lain yang membutuhkan

Periode Jendela
Periode jendela merupakan suatu keadaan dimana seseorang telah tertular namun hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukkan hasil negatif . Periode jendela dijumpai pada pemeriksaan laboratorium yang
mendeteksi antibodi terhadap HIV maupun antigen HIV (10).

Antibodi spesifik terhadap HIV mulai terbentuk beberapa hari setelah terjadinya penularan (10), akan
tetapi waktu pasti terbentuknya antibodi tergantung dari karakteristik virus, genetik dan karakteristik
pejamu (host) dan teknologi yang digunakan. Pada teknologi awal rapid tes diagnostik, antibodi terdeteksi
pada sekitar 6 – 12 minggu. Rapid test generasi ke empat mampu mendeteksi IgG, IgM dan antigen P24,
sehingga periode jendela menjadi dua minggu. Pada tes HIV generasi ke-3, tes ulang untuk periode
jendela dilakukan pada 4-6 minggu. Tes ulang untuk inkonklusif dilakukan 2 minggu kemudian.
(referensi: HIV testing, WHO, 2015)
Kementerian kesehatan saat ini menggunakan teknologi rapid tes generasi ketiga.

Pemilihan metode pemeriksaan


Diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan menggunakan 2 metode pemeriksaan, yaitu pemeriksaan
serologi dan virologi.

Metode pemeriksaan serologis

Antibodi dan antigen dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologis. Adapun metode pemeriksaan
serologis yang sering digunakan adalah :
 Rapid test
 EIA (Enzyme immuno assay))

Secara umum metode pemeriksaan rapid tes dan EIA adalah sama yaitu mendeteksi antibodi saja
(generasi pertama) atau antigen dan antibodi (generasi ketiga dan keempat), Western blot sudah tidak
digunakan lagi di Indonesia.

Metode pemeriksaan virologis

Pemeriksaan virologis dilakukan dengan pemeriksaan DNA HIV dan RNA HIV . Saat ini pemeriksaan
DNA HIV secara kualitatif di Indonesia lebih banyak digunakan untuk diagnosis HIV pada bayi. Pada
daerah yang tidak memiliki sarana pemeriksaan DNA HIV, untuk menegakkan diagnosis, dapat
menggunakan pemeriksaan RNA HIV yang bersifat kuantitatif atau merujuk ke tempat yang mempunyai
sarana pemeriksaan DNA HIV dengan menggunakan tetes darah kering (dried blood spot[DBS]).

Pemeriksaan virologis biasanya digunakan untuk mendiagnosis HIV pada :

1. Bayi (dibawah 18 bulan)


2. Infeksi HIV primer
3. Pasien pada kasus terminal, dimana pada beberapa kasus didapatkan hasil pemeriksaan antibodi yang
negatif (false negative) walaupun gejala klinis sangat mendukung
4. Konfirmasi hasil inkonklusif atau konfirmasi untuk dua hasil laboratorium yang berbeda

Hasil pemeriksaan HIV dikatakan positif apabila:

1. Tiga hasil pemeriksaan serologis dengan tiga metode atau reagen berbeda menunjukan hasil reaktif
2. Pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif terdeteksi

Negatif palsu pada kasus terminal pada fase terminal (end stage), bukan merupakan periode jendela akan
tetapi kondisi negatif palsu (false negative) karena jumlah antibodi terlalu sedikit untuk dapat ditangkap
oleh rapid test atau EIA. Pada keadaan ini konfirmasi diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan virologis
atau pasien diobati sesuai dengan infeksi oportunistik yg ditemui.

Pemilihan jenis pemeriksaan laboratorium tergantung pada kondisi pasien, tipe rumah sakit dan kapasitas
dan fasilitas yang tersedia serta menggunakan laboratorium yang telah divalidasi baik oleh pemerintah.

Spesimen yang dapat digunakan untuk pemeriksaan HIV tes adalah Serum, plasma, darah segar baik dari
kapiler maupun dari vena. Tidak ada perbedaan hasil antara penggunaan serum, plasma maupun darah
segar (Nitika Pant Pai et all). Asalkan sesuai dengan prosedur.

Alur diagnosis HIV pada anak usia ≥ 18 bulan, remaja dan Dewasa
Sedangkan untuk bayi di bawah 18 bulan, Infeksi HIV dapat ditransmisikan pada bayi selama masa
kehamilan (in utero), saat persalinan (intra partum), dan melalui pemberian ASI (postpartum) (mother-to-
child transmission). Bayi yang menjalani program PPIA, perlu dilakukan penentuan statusnya (terinfeksi
atau tidak) dengan melakukan pemeriksaan laboratorium uji virologi pada usia 6 minggu, serta dilakukan
konfirmasi serologis pada usia 18 bulan

Alur Diagnosis HIV pada Bayi <18 Bulan dengan Uji Virologi

Tindak Lanjut Pasca Tes


Semua kegiatan tes baik untuk skrining/triase maupun untuk diagnosis wajib memberikan akses
perawatan dan dukungan. Hal ini merupakan penjelasan untuk konsep 5 C, dimana C terakhir adalah
menghubungkan penderita ke layanan perawatan, dukungan dan pengobatan.

Pada layanan perawatan, dukungan dan pengobatan, petugas melakukan serial kegiatan yang merupakan
satu kesatuan paket layanan yaitu:

Paket untuk Hasil Negatif

Setelah mendapatkan hasil yang negatif, maka petugas layanan kesehatan harus mampu mendorong
pasien untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, dan perlunya penjelasan terkait kewaspadaan diri.
Beberapa yang dapat dilakukan petugas kesehatan antara lain:

1. Jelaskan arti hasil negatif


2. Informasi penggunaan dan pemberian kondom Penawaran sirkumsisi bagi yang belum sirkumsisi
3. Tes ulang hanya untuk kelompok risiko tinggi

Paket untuk Hasil Positif

1. Penetapan stadium klinis dan skrining IO beserta pengobatannya


Penetapan stadium klinis bertujuan untuk beberapa hal yaitu:
• Menempatkan penderita dalam kriteria infeksi awal, infeksi lanjut dan fase AIDS beserta
perencanaan pengobatan
• Sebagai patokan dalam memberikan profilaksis kotrimoksasol yaitu diberikan pada stadium 3
dan 4
• Melakukan pemeriksan klinis secara menyeluruh untuk mencari infeksi oportunistik dan
mengobati jika ada
• Melakukan rujukan ke rumah sakit pada fase AIDS
Salah satu kegiatan yang dilakukan pada waktu penetapan stadium klinis adalah pengukuran berat
badan karena berat badan merupakan salah satu indikator stadium klinis. Hal ini bertujuan untuk
membantu dalam perencanaan gizi dan nutrisi pasien.

2. Skrining TB dan IMS


HIV merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks sehingga petugas perlu
melakukan penapisan dan pengobatan IMS pada semua penderita HIV. Sedangkan penapisan TB
dilakukan segera setelah seseorang terdiagnosis HIV dan tiap kunjungan dengan alasan sebagai
berikut:
• Indonesia adalah negara dengan beban TB terbesar kedua di dunia.
• TB merupakan salah satu infeksi oportunistik tersering pada penderita HIV, status HIV
menyebabkan penemuan kasus TB cukup sulit.
• Memberikan akses terhadap INH profilaksis bagi penderita HIV yang terbukti tidak
menderita TB

3. Pemberian Kotrimoksasol
Kotrimoksasol merupakan obat yang diberikan untuk tujuan pencegahan beberapa penyakit infeksi
oportunistik yaitu Pnemonitis jirovecii (PCP), Toxoplasmosis, Salmonelosis, isospora beli dan
malaria bagi penderita yang tinggal di daerah endemis malaria.

4. Notifikasi pasangan
Hal ini dilakukan untuk meningkatkan cakupan testing, memberikan akses pengobatan jika pasangan
sudah tertular.

5. Konseling kepatuhan minum obat dan pemberian ARV


Pengobatan merupakan bagian dari pencegahan. Hal ini menempatkan pemberian ARV penting
untuk dilakukan sesegera mungkin yaitu pada hari yang sama jika memungkinkan atau selambat-
lambatnya tujuh hari setelah diagnosis ditegakkan.
Pengobatan ARV adalah pengobatan seumur hidup sehingga pasien perlu disiapkan dalam
menjalankan pengobatannya, tata cara minum obat dan resiko lost follow up, serta efek samping
dari pengobatan.

6. Tes kehamilan serta perencanaan kehamilan


HIV bukan merupakan kontraindikasi untuk hamil. Tes kehamilan bertujuan untuk memberikan
rencana kehamilan, persalinan, menyusui, pemberian ARV profilaksis bagi bayi, pemberian
kotrimoksasol profilaksis dan rencan untuk memastikan bahwa bayi tidak tertular dengan
pemeriksaan virologi DNA dan memberikan ARV jika terbukti atau diduga tertular.

Alur tindak lanjut pasca tes

Tes Ulang

Pengulangan tes HIV dengan pemeriksaan antibodi perlu mempertimbangkan beberapa aspek seperti
status epidemi, kelompok pasien yang di tes HIV,cakupan tes,pengobatan ARV dan teknologi tes yang
digunakan. Pemerintah Indonesia untuk pemeriksaan dengan rapid tes sudah menggunakan teknologi dari
generasi ke 3 baik untuk tes pertama, kedua maupun ketiga sehingga kesalahan dan periode jendela bisa
dikurangi.

Tes ulang dilakukan pada:

1. Pasien dengan hasil inkonklusif


2. Pasangan dari ODHA, yang hasil tes HIVnya negatif (sero diskordan)
3. Pasien dengan risiko tinggi terpajan HIV seperti populasi kunci, pasien dengan IMS, ibu hamil di
Tanah Papua.

Pengulangan tes HIV pada pasien dengan hasil tes inkonklusif dilakukan 14 hari (2 minggu) setelah tes
pertama, Jika hasil tes tetap inkonklusif pada tes kedua maka hasil tes dianggap negatif, kecuali pada
pasien yang menunjukkan gejala dan tanda-tanda AIDS perlu dikonfirmasi ulang dengan pemeriksaan
lanjutan, yaitu: pemeriksaan HIV DNA, RNA atau NAT (1).

Pengulangan tes HIV pada pasien dengan hasil tes negatif tidak perlu dilakukan (18,19,20) kecuali pada
populasi kunci, pasien dengan IMS atau keluhan IMS, ibu hamil di Tanah Papua. Anjuran tes HIV untuk
populasi kunci diberikan setidaknya sekali dalam setahun. Tantangan untuk hal ini adalah menempatkan
apakah pasien dalam risiko tinggi untuk terpajan HIV. Pada pasien diluar kelompok diatas, mengingat
prevalensi HIV di Indonesia adalah rendah, pengulangan tes tidak direkomendasikan untuk dilakukan.

Pengulangan tes pada periode jendela untuk pasien diluar populasi kunci tidak diperlukan (1)

Pokok Bahasan 2. Terapi ARV


I. Tatalaksaana saat kunjungan pertama di layanan ARV

Pemberian obat ARV merupakan salah satu paket layanan yang wajib diberikan untuk semua
orang yang sudah terdiagnosis HIV.
Terapi antiretroviral (ARV) telah dibuktikan memberikan manfaat bagi individu (penurunan
kesakitan dan kematian) dan bagi kesehatan masyarakat (penurunan risiko penularan). Saat ini
terapi ARV diindikasikan kepada semua pasien yang terinfeksi HIV tanpa memandang stadium
klinis atau jumlah sel CD4. Memulai terapi ARV dini terbukti memberikan manfaat lebih baik
dibandingkan dengan menundanya, terutama pada kelompok pasien dengan HIV lanjut dan ibu
hamil. ARV dini terbukti memperkecil jumlah virus pada organ-organ penampung (reservoir)
sehingga lebih sedikit virus yang dihasilkan saat reaktivasi.
Kepatuhan minum obat merupakan kunci agar tujuan pemberian ARV dapat tercapai. Petugas
kesehatan perlu melakukan kajian terus menerus untuk melakukan prediksi pasien tidak patuh
minum obat termasuk birokrasi kesehatan yang seringkali merupakan penyebab tersering pasien
tidak patuh selain factor sosial ekonomi yang ada pada pasien.
Saat ini obat ARV telah tersedia di semua provinsi di Indonesia dan jumlah layanan kesehatan
yang dapat memberikan terapi ARV terus ditingkatkan untuk mengurangi kendala jarak pada
pasien. Obat ARV yang disediakan di layanan ARV diberikan secara gratis untuk mengurangi
kendala biaya pada pasien.
Layanan kesehatan diharapkan dapat mengidentifikasi dan menatalaksana hambatan dari sisi
klinis dan psikis pasien untuk mengurangi ketidakpatuhan tersebut. Kondisi klinis dan gangguan
organ akibat penyakit, efek samping obat, dan sindrom pulih imun (immune reconstruction
inflamatory syndrome/IRIS) merupakan hambatan dalam kepatuhan terhadap terapi ARV. Untuk
mengurangi ketidaknyamanan pasien setelah mendapatkan ARV, harus dilakukan kajian sebelum
memulai terapi ARV.

Infeksi Opportunistik pada ODHA dan stadium klinis pada ODHA

Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV


 Asimtomatik  Infeksi saluran napas atas  Penurunan berat badan derajat  HIV wasting Syndrome
 Limfadenopati generalisata berulang sedang yang tidak dapat  Pneumonia Pneumocystis
persisten  Herpes zoster dijelaskan (<10% BB) (PCP)
 Keilitis angularis  Diare kronik selama >1 bulan  Pneumonia bacterial berulang
 Sariawan berulang yang tidak dapat dijelaskan (episode saat ini ditambah satu
 Erupsi Papular Pruritik (PPE)  Demam persisten yang tidak episode atau lebih dalam 6
 Dermatitis seboroik dapat dijelaskan (>37,5oC bulan terakhir)
 Infeksi jamur pada kuku intermiten atau konstan, > 1  Infeksi herpes simpleks kronik
 Hepatosplenomegali persisten bulan) (orolabial, genital atau
yang tidak dapat dijelaskan  Kandidiasis oral (di luar masa anorektal) selama >1 bulan,
 Eritema linea gingiva 6-8 minggu pertama atau viseral tanpa melihat
 Infeksi virus wart Luas kehidupan) lokasi ataupun durasi.
 Moluskum kontagiosum luas  Oral hairy leukoplakia  Kandidiasis Esophageal
 Pembesaran kelenjar parotis  TB Paru  TB ekstraparu
yang tidak dapat dijelaskan  Infeksi bakterial berat (seperti  Kriptosporidiosis kronik
pneumonia, meningitis,  Isosporiasis kronik
empiema, piomiositis, infeksi  Mikosis diseminata
tulang atau sendi, bakteremia, (histoplasmosis,
radang panggul berat. coccidiomycosis)
 Stomatitis, ginggivitis atau  Septisemia berulang (termasuk
periodontitis ulseratis Salmonella nontifoid
nekrotikans akut  Limfoma (sel B non-Hodgkin
 Anemi yang tidak dapat atau limfoma serebral) atau
dijelaskan (<8g/dl) netropenia tumor solid terkait HIV lainnya
(<1000/mm3) dan/atau atau
trombositopenia kronik  Karsinoma serviks invasive
(<50,000/mm3, >1 bulan)  Leishmaniasis diseminata
 Malnutrisi sedang yang tidak atipikal
dapat dijelaskan  Nefropati terkait HIV
 TB kelenjar (HIVAN)
 Pneumonitis interstisial limfoid  Kardiomiopati terkait HIV
(PIL) simtomatik  Malnutrisi, wasting dan
 Penyakit paru berhubungan stunting berat yang tidak dapat
dengan HIV, termasuk dijelaskan dan tidak berespons
bronkiektasis terhadap terapi standar Infeksi
bacterial berat yang berulang
(misalnya empiema,
piomiositis, infeksi tulang dan
sendi, meningitis, kecuali
pneumonia)
 Kandidiasis esophagus (atau
trakea, bronkus, atau paru)

1. Tatalaksana Pra ARV

Penanganan pasien sebelum memulai ARV meliputi beberapa kegiatan diantaranya

 Penjelasan lebih terinci terkait status HIV agar pasien mengerti arti status HIV
 Melakukan pemeriksaan fisik untuk mencari ada tidaknya infeksi oportunistik dan memberikan
pengobatan untuk infeksi oportunistik jika ditemukan infeksi oportunistik
 Menetapkan stadium klinis HIV
 Melakukan skrining TB dan memberikan INH 300 mg untukprofilaksis selama 6 bulan jika hasil
skrining tidak menunjukkan adanya TB dan tidak ada kontraindikasi pemberian INH
 Melakukan skrining untuk hepatitis B dan C
 Memberikan kotrimoksasol untuk tujuan profilaksis terhadap beberapa infeksi oportunistik
 Mempertahankan berat badan dan edukasi terkait gizi
 Melakukan notifikasi pasangan
 Memberikan ARV dan menjelaskan rencana monitoring dan pemantauan efek samping

Penyaringan Infeksi Oportunistik dan Komorbiditas

Pengkajian klinis difokuskan pada tanda dan gejala terkait infeksi HIV pada berbagai sistem organ:

 Gejala konstitusional: demam, keringat malam, penurunan berat badan.


 Kulit: seborrhea, psoriasis, onikomikosis (jamur kuku), herpes simplex, herpes zoster, sarkoma
Kaposi, pembesaran kelenjar getah bening.
 Telinga hidung tenggorok: gangguan pengelihatan, sulit menelan, bercak putih di mulut (thrush),
oral hairy leukoplakia, dan penyakit periodontal
 Paru: batuk, sesak, tanda pneumonia
 Gastrointestinal: nyeri menelan, diare, organomegali, kondiloma/karsinoma anal.
 Genitourinaria: vaginitis, penyakit radang panggul, kutil kelamin, karsinoma/displasia serviks.
 Neurologi: sakit kepala, gangguan memori, perubahan prilaku atau kepribadian, abnormalitas
fokal.
Pemeriksaan penunjang dilakukan sebagai bentuk konfirmasi hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang mengarah kepada diagnosis IO tertentu. Beberapa IO tidak memerlukan pemeriksaan penunjang
untuk diagnosis dan tatalaksananya.

Profilaksis Infeksi Oportunistik

Profilaksis Kotrimoksazol

Pemberian kotrimoksasol harus diberikan sebagai bagian integral dari pelayanan HIV, termasuk terapi
ARV. Berbagai penelitian telah membuktikan efektivitas pengobatan pencegahan kotrimoksasol dalam
menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Sudah ada beberapa
rekomendasi untuk memberikan kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan pada ODHA dewasa,
wanita hamil dan anak untuk Pneumocystis pneumonia, toksoplasmosis dan infeksi bakteri, manfaat
untuk profilaksis malaria dan petunjuk pemberhentian kotrimoksasol. Penggunaan profilaksis
kotrimoksasol pada ODHA dengan TB paru BTA positif di Abijan memperlihatkan penurunan anka
kejadian infeksi oportunistik dan rawat inap serta penurunan angka kematian sebesar 50%.

Tabel 1. Rekomendasi Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)

Populasi Dosis Kriteria inisiasi Kriteria pemberhentiana

Dewasa (termasuk 960mg sekali Inisiasi pd semua penyakit Dapat dihentikan jika
ibu hamil dengan sehari HIV berat/lanjut (stadium stabil secara klinisb dengan
HIV) klinis 3 atau 4 atau jumlah bukti pemulihan imun
CD4 < 200 sel/mm3 (jumlah CD4 >200
sel/mm3)
Anak dan remaja Anak: Profilaksis kotrimoksazol Profilaksis kotrimoksazol
dengan HIV trimetoprim direkomendasikan pada dipertimbangkan untuk
5mg/kgBB anak terinfeksi HIV dihentikan setelah
sekali sehari berusia >5 tahun dengan mendapat terapi ARV
jumlah CD4 <200 sel/μL selama 6 bulan pada anak
atau persentase CD4 terinfeksi HIV berusia ≥5
<15%; anak berusia 1-5 tahun dengan jumlah CD4
tahun dengan jumlah CD4 ≥200 sel/μL atau
<500 sel/μL atau persentase CD4 ≥15%
persentase CD4 <15%; serta pada anak terinfeksi
serta bayi berusia <12 HIV berusia 1 sampai
bulan tanpa melihat jumlah dengan <5 tahun dengan
maupun persentase CD4 persentase CD4 ≥15% atau
jumlah CD4 ≥500 sel/μL

Bayi terpajan HIV Dosis Inisiasi pada usia 6 Sampai risiko transmisi
trimetoprim 4- minggu HIV berakhir atau infeksi
6mg/kgBB HIV dapat disingkirkan
sekali sehari

ODHA dengan TB 960mg sekali Inisiasi pada semua TB Sesuai dengan kriteria
sehari aktif berapapun jumlah penghentian pada dewasa
CD4 dan anak

Profilaksis Isoniazid
Indonesia termasuk negara dengan beban tinggi Tuberkulosis (TB), dengan insidensi 187/100.000
penduduk dan prevalensi 281/100.000 penduduk pada tahun 2011. Koinfeksi TBC sering terjadi pada
Orang dengan HIV AIDS (ODHA) dan berdasarkan estimasi WHO lebih dari 25% kematian pada ODHA
disebabkan oleh TBC. ODHA lebih berisiko sekitar 30 kali untuk mengalami TBC dibandingkan dengan
orang yang tidak terinfeksi HIV. Sebagai respons terdapatnya epidemi ganda HIV dan TB, World Health
Organization (WHO) merekomendasikan 12 aktivitas kolaborasi TB/HIV yang salah satu diantaranya
adalah profilaksis dengan Isoniazid (PP INH).

Dalam rangka mencegah meningkatnya prevalensi TB pada ODHA, sesuai ISTC semua ODHA yang
setelah dievaluasi dengan seksama tidak menderita TB aktif, dan ODHA yang memiliki kontak erat
dengan pasien TB harus diobati sebagai infeksi TB laten dengan INH 300 mg/hari selama 6 bulan.
Isoniazid dosis 300 mg untuk PP INH diberikan setiap hari selama 6 bulan (total 180 dosis). Vitamin B6
diberikan dengan dosis 25 mg perhari atau 50 mg selang sehari atau 2 hari sekali untuk mengurangi efek
samping INH.

Pemantauan pengobatan PP INH ini dilakukan selama dan setelah pemberian PP INH dengan tujuan
untuk memastikan kepatuhan ODHA dan mengetahui efek samping secara dini. Pemantauan dilakukan
setiap kunjungan selama 6 bulan pengobatan. Efek proteksi dari pemberian PP INH bertahan sampai
dengan 3 tahun, sehingga pemberian PP INH ulang dapat dilakukan setelah 3 tahun.

Gambar 1. Alur Tata Laksana Pemberian PP INH pada ODHA

Indikasi PP INH adalah:


1. ODHA yang tidak memiliki TB aktif, baik ODHA dengan/tanpa riwayat pemberian OAT
sebelumnya(profilaksis primer)
2. ODHA yang baru menyelesaikan pengobatan TBnya dan dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap (profilaksis sekunder).

Kontraindikasi PP INH adalah sebagai berikut:


1. TB aktif
2. Klinis yang mengindikasikan adanya gangguan fungsi hati
3. Neuropati perifer berat
4. Riwayat alergi INH
5. Riwayat resisten INH

Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (meningitis TB atau TB milier) sehingga
diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB. Kriteria pemberiannya
terdapat dalam tabel 31 sebagai berikut:

Tabel 2. Kriteria Pemberian PP INH pada anak dengan HIV

Umur Hasil Pemeriksaan Tata laksana


Balita Kontak (+), Infeksi laten TB INH Profilaksis
Balita Kontak (+), Tes tuberkulin (-) INH Profilaksis
>5 tahun Kontak (+), Infeksi laten TB INH Profilaksis
>5 tahun Kontak (+), Sehat INH Profilaksis

Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/ kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari
selama 6 bulan. Obat langsung diberikan setelah ada kontak.

Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala TB. Jika
terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap
sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke paduan terapi TB anak dimulai
dari awal

Jika PP INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka PP INH dapat
dihentikan. Imunisasi BCG, tidak diberikan pada anak terinfeksi HIV

Notifikasi Pasangan
Penelusuran kontak (contact tracing) merupakan suatu metoda yang mempunyai peran penting dalam
penemuan kasus dan pengendalian penyakit infeksi. Tuberkulosis dan Infeksi menular seksual merupakan
salah satu contoh penyakit dan program kesehatan yang menerapkan penelusuran kontak untuk penemuan
kasus dan upaya pemberian obat sedini mungkin dalam upaya memutuskan rantai penularan. Partner
notifikasi merupakan istilah yang digunakan dalam program HIV yang mempunyai tujuan yang sama
yaitu mendorong pasien untuk memberitahu status HIV mereka dan bisa mengajak pasangan untuk
dilakukan testing dan mendapatkan pengobatan jika hasil tes HIV menunjukkan hasil positif.
Kemajuan dalam pengobatan HIV, riset terhadap pencegahan dengan menggunakan ARV menjadikan
notifikasi pasangan menjadi suatu kegiatan yang penting untuk dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Notifikasi pasangan sendiri merupakan suatu proses yang dilakukan secara sukarela oleh pasien.
Pendekatan Notifikasi pasangan diberikan dengan pendekatan pasif atau dibantu oleh tenaga kesehatan.
Layanan notifikasi pasangan yang dibantu tenaga kesehatan meningkatkan cakupan tes HIV pada
pasangan pasangan HIV positif dan sebagan besar pasangan ini didiagnosis HIV positif.
Pendekatan pasif, adalah pada pendekatan ini pasien HIV positif didorong oleh tenaga kesehatan untuk
membuka status pada pasangan seks atau teman-teman menyuntik dan mendorong pasangan/teman-teman
tersebut melakukan tes HIV, mengingat risiko terinfeksi HIV.
Pendekatan dengan bantuan tenaga kesehatan, adalah ketika pasien menyetujui untuk dibantu oleh tenaga
kesehatan membuka status atau secara anonymous memberitahu pasangan seks atau teman mereka
berbagi suntikan. Kemudian tenaga kesehatan akan menawarkan tes HIV kepada pasangan atau teman
berbagi suntikan. Pendekatan ini dilakukan menggunakan:

1. Rujukan dengan kontrak. Pasien dengan HIV positif menandatangani kontrak dengan tenaga
kesehatan dan setuju untuk membuka status kepada pasangan oleh mereka sendiri dan merujuk
pasangan untuk tes HIV dalam waktu 1 bulan. Jika pasangan dari pasien tidak mengakses layanan
HIV atau tidak menghubungi tenaga kesehatan dalam jangka waktu tersebut maka tenaga kesehatan
akan menghubungi pasangan dan menawarkan tes HIV
2. Rujukan tenaga kesehatan. Dengan persetujuan pasien HIV positif tenaga kesehatan terlatih secara
konfidensial menghubungi pasangan secara langsung dan menawarkan tes HIV
3. Rujukan ganda (Dual referral). Tenaga kesehatan terlatih menemani dan memberikan dukungan pada
pasien HIV positif ketika mereka membuka statusnya. Tenaga kesehatan juga menawarkan tes HIV
kepada pasangan.
Penemuan kasus berkaitan dengan notifikasi pasangan akan dibahas secara lebih rinci
Pemberian ARV

Terapi ARV dikembangkan untuk menghambat pada berbagai tahap siklus hidup HIV. ARV
dikelompokkan berdasarkan kerjanya dalam menghambat siklus hidup HIV menjadi:

1. Entry Inhibitor
a. Enfuviritide
b. Ibalizumab
c. Maraviroc
2. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
a. Abacavir
b. Emtricitabine
c. Lamivudine
d. Tenovofir
e. Zidovudin
3. Non-nucloside Rerverse Transcriptase Inhibitor
a. Efavirenz
b. Etravirine
c. Rilpivirine
d. Doravirine
4. Integrase Inhibitor
a. Bictegravir
b. Dolutegravir
c. Elvitegravir
d. Raltegravir
5. Protease Inhibitor
a. Atazanavir
b. Darunavir
c. Lopinavir
6. Pharmacologic Booster
a. Cobicistat
b. Ritonavir

Hingga saat ini regimen ARV tidak bersifat kuratif karena adanya virus HIV di dalam organ-organ
penampung (reservoir) seperti di sistem saraf pusat dan gonad dimana ARV tidak dapat menembus
dengan baik. Tujuan dari pemberian ARV adalah untuk menekan jumlah virus dalam darah hingga ke
jumlah paling rendah untuk jangka waktu selama mungkin. Penekanan virus yang maksimal akan
membuat virus sulit untuk menjadi resisten. Penekanan virus yang tidak maksimal akan memunculkan
populasi virus mutan yang resisten/kebal.

Kombinasi ARV adalah terapi standar infeksi HIV. Monoterapi dan kombinasi regimen ARV yang
kurang potensi penekanan virusnya akan menyebabkan timbulnya virus yang resisten dalam hitungan
waktu mingguan hingga bulanan.

ARV Dewasa

Start (Memulai Pengobatan)

Indikasi memulai pengobatan ARV adalah semua penderita yang terkonfirmasi positif HIV
TANPA melihat stadium klinis dan nilai CD4

Lini Pertama

Saat ini rejimen lin pertama mengandung TDF+3TC+EFV dalam bentuk kombinasi dosis tetap
merupakan pilihan untuk memulai terapi ARV.

Kombinasi Dosis Tetap


Kombinasi dosis tetap (KDT) telah terbukti mengurangi kejadian putus ARV akibat jumlah pil yang harus
dikonsumsi dan jadwal minum obat pasien. Regimen TDF+3TC+EFV dalam bentuk KDT efektif untuk
koinfeksi virus Hepatitis B dan tidak memerlukan penyesuaian saat terdapat koinfeksi tuberkulosis dan
kehamilan.

Efavirenz
Saat ini yang ada di Indonesia adalah efavirenz 600mg dengan efek samping sakit kepala, ruam kulit, dan
gangguan fungsi hati yang minimal tergantung dari dosisnya. Untuk mengurangi efek samping tersebut
akan hadir efavirenz 400mg yang terbukti memberikan supresi virus yang sama namun dengan efek
samping yang lebih sedikit. Namun penggunaan efavirenz 400mg harus diganti menjadi efavirenz 600mg
saat terdapat infeksi tuberkulosis yang menggunakan rifampicin.

Nevirapine.
Dosis terapeutik nevirapine adalah 2x200mg per hari. Untuk menghindari efek samping hepatotoksisitas,
nevirapine diberikan dengan cara lead in dose 1x200mg selama 14 hari, selanjutnya dinaikkan menjadi
2x200mg jika tidak ada efek samping. Nevirapine berinteraksi dengan Rifampicin (kadar nevirapine
menurun), sehingga sebaiknya diganti dengan efavirenz 600mg jika terjadi koinfeksi tuberkulosis.
Nevirapine sering menimbulkan ruam kulit, bahkan pada pasien dengan nilai CD4 > 500/mm 3 sering
ditemui Sindroma Stevens Johnson (SSJ), sehingga tidak digunakan untuk pengobatan profilaksis pasca
pajanan.

Rilpivirine.
Rilpivirine dihadirkan sebagai subtitusi bagi pasien yang tidak bisa mendapat efavirenz dan nevirapin.
Rilpivirine tidak digunakan sebagai inisiasi terapi ARV karena obat ini efektif pada pasien dengan
kondisi CD4 >200/mm3 atau viral load <100.000/mm3.
Rilpivirine, di Indonesia digunakan sebagai subtitusi jika pasien tidak dapat menggunakan nevirapine atau
efavirenz karena efek sampingnya.

Pemerintah merencanakan untuk menggunakan Dolutegravir sebagai lini pertama. Rejimen yang
mengandung Dolutegravir digunakan HANYA pada pasien baru saja. Pasien lama yang menggunakan
rejimen mengandung Efavirenz dan stabil serta tidak ada keluhan efek samping TIDAK perlu diganti
dengan Dolutegravir.

Dolutegravir.

Dolutegravir (DTG) memiliki profil resistensi baik, potensi supresi virus yang kuat, dosis sekali sehari
yang sederhana, dan harga yang relatif lebih murah. Dengan penggunaan DTG supresi virus dapat
tercapai pada minggu kedua pengobatan. Namun profil keamanan pada ibu hamil dan pasien dengan
terapi TBC masih belum tersedia.

Prinsip tatalaksana infeksi HIV adalah terlebih dahulu mengobati infeksi oportunistik dan selanjutnya
baru diberikan pengobatan ARV dan pengobatan pencegahan (profilaksis).
Pilihan paduan ART lini pertama berikut ini berlaku untuk ODHA yang belum pernah mendapatkan
ARV sebelumnya (naive ARV).
Tabel 3. ART lini pertama untuk dewasa dan remaja (10 – 19 tahun)

Paduan pilihan TDF + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk KDT
Paduan alternatif AZT + 3TC + NVP
AZT + 3TC + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
AZT + 3TC + EFV400a
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV400a
a
Belum direkomendasikan pada pengguna rifampisin dan ibu hamil

Saat ini terdapat paduan ARV baru terdiri atas TDF+3TC/FTC+DTG (dolutegravir) yang berdasarkan
penelitian memiliki efek samping lebih sedikit dan lebih cepat di dalam menurunkan viral load. Namun,
program nasional belum menggunakan paduan ini dan sedang mempertimbangkan penggunaannya di
masa mendatang.

Tabel 4. Rekomendasi lini pertama setelah tersedia DTG pada pasien remaja dan dewasa yang belum pernah
menggunakan ARV sebelumnya yang baru akan memulai terapi ARV
Kondisi Regimen Pilihan Regimen Alternatif
A. Koinfeksi TB TDF+3TC+EFV TDF+3TC+DTG dengan penambahan 1
tablet DTG 50 mg dengan jarak 12 jam
B. Perempuan yang TDF+3TC+EFV TDF+3TC+DTG dengan memahami
merencanakan kehamilan kewaspadaan pemakaian DTG pada
*
dan ibu hamil trimester ke-1 trimester 1
**
C. Ibu hamil trimester ke-2 dan TDF+3TC+DTG TDF+3TC+EFV
3
D. selain tiga kondisi di atas TDF+3TC+DTG TDF+3TC+EFV ***
*
karena belum cukup bukti klinik keamanan penggunaan DTG pada trimester 1
**
untuk menurunkan viral load lebih cepat
***
untuk penggunaan EFV400 disesuaikan dengan ketersediaan

Paduan ART lini pertama pada anak usia 3 tahun ke atas dan dewasa mengandung 2 NRTI
(Nucleoside/Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor)+ 1 NNRTI (Non-nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor)

Tabel 5. ART lini pertama pada anak 3 – 10 tahun

Terapi ARV lini pertama untuk anak berusia 3 – 10 tahun


Paduan Pilihan AZT + 3TC + EFVb
Paduan Alternatif AZT + 3TC + NVP
ABC + 3TC + NVP
ABC + 3TC + EFV

TDFa + 3TC (atau FTC) + NVP


TDFa + 3TC (atau FTC) + EFV
a
Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak usia di atas 2 tahun. Selain itu perlu dipertimbangkan efek
samping osteoporosis pada tulang anak yang sedang bertumbuh karena penggunaan ARV diharapkan tidak
mengganggu pertumbuhan tinggi badan
b
EFV dapat digunakan pada anak ≥ 3 tahun atau BB ≥ 10 kg, jangan diberikan pada anak dengan gangguan
psikiatrik berat. EFV adalah pilihan pada anak dengan TB.
Jika berat badan anak memungkinkan, sebaiknya gunakan KDT.
Tabel 6. ART lini pertama pada anak < 3 tahun

Terapi ARV lini pertama untuk anak < 3 tahun


Paduan Pilihan (AZT atau ABC) + 3TC + LPV/r
Paduan Alternatif (AZT atau ABC) + 3TC + NVP

II. Tatalaksana saat kunjungan follow-up


Pemantauan Terapi ARV
Pemantauan setelah pemberian ARV bertujuan untuk mengevaluasi respons pengobatan. Evaluasi ODHA
selama dalam pengobatan dilakukan bersama-sama antara dokter, perawat, dan konselor. Evaluasi tidak
hanya dilakukan untuk kondisi fisik, namun juga psikologis, untuk membantu ODHA dan keluarganya
selama menjalani pengobatan. Evaluasi dilakukan untuk memantau: Kegagalan pengobatan ARV, efek
samping pengobatan ARV dan kepatuhan minum obat. Pemantauan dilakukan dengan melakukan
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lab.
Pemantauan pertama dilakukan pada minggu kedua setelah ARV diberikan

Pemantauan klinis dan laboratorium


Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk melihat kondisi ODHA sebelum inisiasi
ART dan berguna untuk memonitor respons pengobatan dan kemungkinan toksisitas obat ARV.
Pemantauan klinis dalam pengawasan dokter dilakukan rutin minimal sebulan sekali dalam 6 bulan
pertama setelah inisiasi ART. Pemantauan oleh dokter selanjutnya dapat dilakukan minimal 3 bulan
sekali atau sesuai dengan kondisi dan kepatuhan pengobatan.

Tes laboratorium yang direkomendasikan untuk melihat efektivitas pengobatan ARV adalah pemeriksaan
jumlah Viral Load (VL) setelah 6 bulan, 12 bulan dan selanjutnya setiap tahun.

Pemantauan terhadap efek samping ARV dan substitusi ARV

Saat ini paduan ART yang dianjurkan (KDT) dalam lini pertama mempunyai efek samping minimal
(jarang terjadi), kurang toksik dan sederhana (sekali sehari), sehingga akan meningkatkan kepatuhan
pengobatan.

Efek samping (toksisitas) ARV dapat terjadi dalam beberapa hari hingga minggu pertama atau kedua
setelah inisiasi hingga toksisitas pada pemakaian lama seperti dalam tabel 10. Kebanyakan reaksi
toksisitas ARV tidak berat dan dapat diatasi dengan memberi terapi suportif. Efek samping minor
merupakan efek samping tersering yang menyebabkan ODHA tidak patuh minum obat. Pemberian
informasi yang sederhana dan konseling terkait efek samping perlu dilakukan dengan benar dan
sederhana agar pasien tidak takut terhadap efek samping.

Subtitusi

Subtitusi adalah mengganti salah satu obat ARV lini pertama. Penggantian obat ini dilakukan dengan
alasan:
• Timbul efek samping berat.
• Terdapat interaksi obat seperti interaksi dengan rifampisin yg menurunkan kadar obat ARV.
• Kekosongan stok obat

Prinsip penanganan efek samping akibat ARV adalah sebagai berikut:

a. Tentukan beratnya toksisitas


b. Evaluasi obat yang diminum bersamaan, dan tentukan apakah toksisitas terjadi karena (satu atau
lebih) ARV atau karena obat lainnya
c. Pertimbangkan proses penyakit lain (seperti hepatitis virus atau sumbatan bilier jika timbul ikterus)
d. Tata laksana efek samping bergantung pada beratnya reaksi. Penanganan secara umum adalah:
1) Derajat 4, reaksi yang mengancam jiwa: segera hentikan semua obat ARV, beri terapi suportif
dan simtomatis; berikan lagi ARV dengan paduan yang sudah dimodifikasi (contoh: substitusi 1
ARV untuk obat yang menyebabkan toksisitas) setelah ODHA stabil
2) Derajat 3, reaksi berat: ganti obat yang dicurigai tanpa menghentikan pemberian ARV secara
keseluruhan
3) Derajat 2, reaksi sedang: beberapa reaksi (lipodistrofi dan neuropati perifer) memerlukan
penggantian obat. Untuk reaksi lain, pertimbangkan untuk tetap melanjutkan pengobatan; jika
tidak ada perubahan dengan terapi simtomatis, pertimbangkan untuk mengganti 1 jenis obat
ARV
4) Derajat 1, reaksi ringan: tidak memerlukan penggantian terapi.
d. Tekankan pentingnya tetap meminum obat meskipun ada toksisitas pada reaksi ringan dan sedang
e. Jika diperlukan, hentikan pemberian terapi ARV apabila ada toksisitas yang mengancam jiwa.
Perlu diperhatikan waktu paruh masing-masing obat untuk menghindari kejadian resistensi.

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk melihat efek samping atau toksisitas obat ARV adalah:

a. Kreatinin serum setiap 6 bulan, jika menggunakan Tenofovir


b. Hemoglobin setiap bulan dalam 3 bulan pertama, jika menggunakan Zidovudine, selanjutnya sesuai
indikasi.
c. Ensim hati setiap 6 bulan, jika menggunakan Nevirapine atau Efavirenz. Jika sudah stabil,
pemeriksaan adalah sesuai indikasi
d. Profil lemak setiap tahun, jika menggunakan Efavirenz atau Lopinavir.

Tabel 7. Waktu terjadinya toksisitas ARV


Waktu Toksisitas
Dalam beberapa • Gejala gastrointestinaladalah mual, muntah dan diare. Efek
minggu pertama samping ini bersifat self-limiting dan hanya membutuhkan
terapi simtomatik
• Ruam dan toksisitas hati umumnya terjado akibat obat
NNRTI, namun dapat juga oleh obat NRTI seperti ABC dan
PI
Dari 4 minggu • Supresi sumsum tulang yang diinduksi obat, seperti anemi
dan sesudahnya dan neutropenia dapat terjadi pada penggunaan AZT
• Penyebab anemia lainnya harus dievaluasi dan diobati
• Anemia ringan asimtomatik dapat terjadi
6 – 18 bulan • Disfungsi mitokondria terutama terjadi oleh obat
NRTI, termasuk asidosis laktat, toksisitas hati, pankreatitis,
neuropati perifer, lipoatrofi dan miopati
• Kelainan metabolic umumnya terjadi akibat PI,
termasuk hiperlipidemia, akumulasi lemak, resistensi insulin,
diabetes dan osteopenia
Setelah 1 tahun Disfungsi tubular ginjal dikaitkan dengan TDF
Tabel 8. Derajat efek samping dan toksisitas ARV (kilinis dan laboratoris)
Uraian Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4

(Ringan) (Sedang) (Berat) (Potensial


mengancam jiwa)

HEMATOLOGI

Hemoglobin 8 – 9,4 g/dl 7 – 7,9 g/dl 6,5 – 6,9 g/dl < 6,5 g/dl

Jumlah 1000 – 1500/mm3 750 – 999/mm3 500 – 749/mm3 < 500/mm3


neutrophil
absolut

Trombosit 75000 – 50000 – 20000 – < 20000/mm3


99000/mm3 74999/mm3 49999/mm3

KIMIA KLINIK

Bilirubin Total > 1 – 1,5 x BAN > 1,5 – 2,5 x > 2,5 – 5 x BAN > 5 x BAN
BAN

Glukosa (puasa) 110 – 125 mg/dl 126 – 250 mg/dl 251 – 500 mg/dl > 500 mg/dl

Hipoglikemi 55 – 64 mg/dl 40 – 54 mg/dl 30 – 39 mg/dl < 30 mg/dl

Hiperglikemi 116 – 160 mg/dl 161 – 250 mg/dl 251 – 500 mg/dl > 500 mg/dl
(sewaktu)

Kolesterol 200 – 239 mg/dl 240 – 300 mg/dl > 300 mg/dl -

Trigliserida - 400 -750 mg/dl 751 – 1200 mg/dl > 1200 mg/dl

Kreatinin > 1 – 1,5 x BAN > 1,5 – 3 x BAN > 3 – 6 x BAN > 6 x BAN

SGOT 1,25 – 2,5 x BAN > 2,5 – 5 x BAN > 5 – 10 x BAN > 10 x BAN

SGPT 1,25 – 2,5 x BAN > 2,5 – 5 x BAN > 5 – 10 x BAN > 10 x BAN

GGT 1,25 – 2,5 x BAN > 2,5 – 5 x BAN > 5 – 10 x BAN > 10 x BAN

Fosfatase alkali 1,25 – 2,5 x BAN > 2,5 – 5 x BAN > 5 – 10 x BAN > 10 x BAN

Amilase > 1 – 1,5 x BAN > 1,5 – 2 x BAN > 2 – 5 x BAN > 5 x BAN

Lipase > 1 – 1,5 x BAN > 1,5 – 2 x BAN > 2 – 5 x BAN > 5 x BAN

Laktat < 2 x BAN tanpa > 2 x BAN tanpa Peningkatan Peningkatan


asidosis asidosis laktat dengan ph laktat dengan ph
< 7,3 tanpa < 7,3 dengan
mengancam jiwa mengancam jiwa

GASTROINTESTINAL

Mual Ringan ATAU Ketidak Ketidak Memerlukan


sementara; tidak nyamanan sedang nyamanan berat rawat inap
ada atau ATAU asupan ATAU asupan (misalnya syok
Uraian Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4

(Ringan) (Sedang) (Berat) (Potensial


mengancam jiwa)

gangguan oral berkurang oral minimal hipotensi)


minimal pada dalam < 3 hari selama > 3 hari
asupan oral

Muntah Ringan ATAU Sedang atau Muntah berat Memerlukan


sementara; 2-3 x persisten; 4-5 x dalam 24 jam rawat inap
sehari ATAU sehari ATAU ATAU hipotensi (misalnya syok
muntah ringan muntah selama > ortostatik ATAU hipotensi)
selama < 1 1 minggu memerlukan
minggu cairan i.v

Diare Ringan ATAU Sedang atau Diare berdarah Memerlukan


sementara; bab persisten; bab ATAU hipotensi rawat inap
cair 3-4 x sehari cair 5-7 x sehari ortostatik ATAU (misalnya syok
ATAU diare ATAU diare > 1 bab cair > 7 x hipotensi)
ringan < 1 minggu sehari ATAU
minggu memerlukan
cairan i.v.

RESPIRASI

Sesak napas Sesak napas Sesak napas pada Sesak napas Sesak napas
ketika latihan aktivitas normal waktu istirahat memerlukan
terapi oksigen

URINALISIS

Proteinuria (urin 1+ 2+ atau 3+ 4+ Sindrom nefrotik


sewaktu)

Hematuria Hanya Gross, tak ada Gross dengan Obstruksi


mikroskopik bekuan bekuan

LAIN-LAIN

Demam (oral, > 37,7 – 38,5oC 38,6 – 39,5oC 39,6 – 40,5oC > 40,5oC terus-
12 jam) menerus selama
> 12 jam

Sakit kepala Ringan, tidak Sedang ATAU Berat ATAU Sakit kepala
memerlukan obat memerlukan respon terhadap membandel
analgetika non- analgetika
narkotik narkotik

Reaksi alergi Gatal tanpa ruam Urtikaria Urtikaria Anafilaksis


kulit terlokalisir menyeluruh,
angioedema

Ruam kulit Eritema, gatal Makulopapular Vesikulasi SALAH SATU


difus ATAU ATAU dari:
deskwamasi deskwamasi
kering basah ATAU Mengenai
membran mukosa,
Uraian Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4

(Ringan) (Sedang) (Berat) (Potensial


mengancam jiwa)

ulserasi suspek Steven


Johnson (TEN),
eritema
multiforme,
dermatitis
exfoilativa

Kelelahan Aktivitas normal Aktivitas normal Aktivitas normal Tidak dapat


berkurang < 25% berkurang 25- berkurang > merawat duru
50% 50%, tidak dapat sendiri
kerja

Kelamahan Asimtomatis Kelemahan otot Kelemahan otot Kelemahan otot


neuromuscular dengan yang mengakibatkan mengakibatkan
(termasuk penurunan berpengaruh ketidak mampuan ketidak mampuan
miopati dan kekuatan pada terhadap aktivitas melakukan melakukan fungsi
neuropati) pemeriksaan sosial dan aktivitas sosial dasar perawatan
ATAU fungsional biasa dan fungsional diri ATAU
kelemahan biasa kelemahan otot
minimal yang pernafasan yang
tidak atau sedikit mengganggu
berpengaruh ventilasi
terhadap aktivitas
sosial dan
fungsional biasa

Ginekomastia Disadari oleh Disadari oleh Jelas pada -


ODHA atau dokter saat inspeksi
keluarga yang pemeriksaan fisik
merawat
Lipoatrofi Disadari oleh Disadari oleh Jelas pada -
ODHA atau dokter saat inspeksi
keluarga yang pemeriksaan fisik
merawat

Lipohipertrofi Disadari oleh Disadari oleh Jelas pada -


ODHA atau dokter saat inspeksi
keluarga yang pemeriksaan fisik
merawat

Berikut dalam tabel 12 adalah toksisitas ARV lini pertama yang mungkin terjadi, faktor risiko, dan
pilihan substitusinya.
Tabel 9. Toksisitas ARV lini pertama dan pilihan obat substitusi pada dewasa dan anak usia 5
(lima) tahun ke atas
ARV Tipe toksisitas Faktor risiko Pilihan substitusi lini 1
TDF Disfungsi tubulus renalis Sudah ada penyakit ginjal Dewasa= AZT
Sindrom Fanconi sebelumnya Anak = AZT atau
Usia lanjut ABC
IMT < 18,5 atau BB < 50 kg
pada dewasa Jangan memberikan
DM tak terkontrol TDF pada pasien
Hipertensi tak terkontrol dengan eLFG <50
Penggunaan bersama obat mL/menit, hipertensi
nefrotoksik lain atau boosted PI tidak terkontrol,
Menurunnya densitas Riwayat osteomalasia dan
diabetes yang tidak
mineral tulang fraktur patologis
terkontrol, atau adanya
Faktor risiko osteoporosis atau
gagal ginjala
bone-loss lainnya
Defisiensi vitamin D
.
Asidosis laktat atau Penggunaan nukleosida analog
hepatomegali dengan yang lama
steatosis Obesitas
Penyakit hati
Eksaserbasi hepatitis B Jika TDF dihentikan karena Gunakan alternatif
(hepatic flares) toksisitas lainnya pada ko- obat hepatitis lainnya
infeksi hepatitis B seperti entecavir
AZT Anemia atau neutropenia Anemia atau neutropenia Dewasa: TDF, atau
berat sebelum mulai terapi pertimbangkan
Jumlah CD4 ≤ 200 sel/μL penggunaan AZT
b,a
(dewasa) dosis rendah
Anak: ABC atau TDF
(usia > 3 tahun)
Intoleransi saluran cerna Dewasa: TDF
beratc Anak: ABC atau TDF
(usia > 3 tahun)
Asidosis laktat atau IMT > 25 atau BB > 75 kg Dewasa: TDF
hepatomegali dengan (dewasa) Anak: ABC atau TDF
steatosis Penggunaan nukleosida analog (usia > 3 tahun)
Miopati, lipoatrofi atau yang lama
lipodistrofi
EFV Toksisitas SSP persisten Sudah ada gangguan mental Pertimbangkan
(seperti mimpi buruk, atau depresi sebelumnya penggunaan EFV dosis
depresi, kebingungan, Penggunaan siang hari rendah (400 mg/hari),
halusinasi, psikosis) kecuali pada ibu hamil
Kejang Riwayat kejang
dan TB, atau
Hepatotoksisitas Sudah ada penyakit liver
subsitusi dengan NVP.
sebelumnya
Ko-infeksi VHB dan VHC Jika pasien tidak dapat
Penggunaan bersama obat mentoleransi NVP dan
hepatotoksik lain EFV, gunakan RPV.
Hipersensitivitas obatf Faktor risiko tidak diketahui
Jika tidak dapat juga,
Ginekomastia pada pria
gunakan LPV/rd atau
pada anak dapat
digunakan NRTI
e
ketiga

NVP Hepatotoksisitasg Sudah ada penyakit liver Substitusi dengan


600
sebelumnya EFV
Ko-infeksi VHB dan VHC Jika pasien tidak dapat
Penggunaan bersama obat mentoleransi NVP dan
hepatotoksik lain EFV600, gunakan RPV
jumlah CD4 baseline tinggi, atau EFV400 Jika tidak
CD4 >250 sel/μL pada dapat juga, gunakan
perempuan LPV/rd atau pada anak
CD4 >400 sel/μL pada pria dapat digunakan NRTI
Hipersensitivitas obatf Faktor risiko tidak diketahui
ketigae
a
Pada ODHA dewasa yang tidak dapat menggunakan AZT atau TDF, misalkan pada keadaan gagal ginjal, pilihan lain adalah
dengan menggunakan ABC
b
Dosis rendah AZT adalah 250 mg dua kali sehari untuk orang dewasa 164
c
Batasannya adalah intoleransi saluran cerna refrakter dan berat yang dapat menghalangi minum obat ARV (mual dan muntah
persisten).
d
Introduksi PI dalam paduan lini pertama mengakibatkan menyempitnya pilihan obat berikutnya bila sudah terjadi kegagalan
terapi.
e
Penggunaan triple NRTI mungkin kurang poten dibanding paduan lain
f
Lesi kulit yang berat didefinisikan sebagai lesi luas dengan deskuamasi, angioedema, atau reaksi mirip serum sickness, atau lesi
disertai gejala konstitusional seperti demam, lesi oral, melepuh, edema fasial, konjungtivitis. Sindrom Stevens-Johnson dapat
mengancam jiwa, oleh karena itu hentikan NVP atau EFV, 2 obat lainnya diteruskan hingga 1-2 minggu ketika ditetapkan paduan
ARV berikutnya.
g
Hepatotoksisitas yang dihubungkan dengan pemakaian NVP jarang terjadi pada anak terinfeksi HIV yang belum mencapai usia
remaja.

Pemantauan Sindroma Pulih Imun (IRIS)


Sindroma pulih imun adalah reaksi inflamasi paradoks terhadap antigen asing (hidup atau mati) pada
pasien yang telah diberikan ART dan telah terjadi perbaikan respon imun terhadap antigen tersebut.
Penting sekali melakukan pemantauan dalam 6 bulan pertama terapi ARV. Perbaikan klinis dan
imunologis diharapkan muncul dalam masa pemantauan ini, selain untuk mengawasi kemungkinan
terjadinya sindrom pulih imun (Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome/IRIS) atau toksisitas obat.
Resiko terjadi sindom pulih imun berkisar antara 17 – 32% tergantung dari antigen penyebab. Sindrom
pulih imun mempunyai korelasi dengan nilai CD4, semakin rendah nilai CD4 semakin besar untuk
timbulnya IRIS. IRIS merupakan tanda keberhasilan pemberian ARV. IRIS timbul sebagai reaksi dari
system imun yang pulih karena menurunnya jumlah virus yang significan. Sistem imun yang pulih
mengenali antigen baik dari antigen yang mati atau hidup.

Tampilan klinis dari sindrom pulih imun adalah reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi yang timbul mengikuti
kuman penyebab, sebagai contoh jika kuman penyebab timbulnya IRIS adalah TB maka gejala yang
timbul adalah reaksi inflamsi pada organ dengan gejala perburukan dari TB.

Diagnosa IRIS menggunakan kriteria yaitu adanya reaksi inflamasi dan sudah mendapatkan ARV.
Diagnosa IRIS perlu disertai dengan kuman penyebab yang dicurigai contoh IRIS TB., IRIS PCP

Pengobatan IRIS adalah dengan penggunaan steroid dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari ditambah dengan
pengobatan kuman penyebab JIKA sebelum timbul IRIS kuman penyebab tidak diobati. Jika kuman
penyebab sudah diobati hanya diberikan steroid.

ARV dilanjutkan kecuali reaksi yang timbul mengancam jikwa maka ARV dihentikan sementara.

Evaluasi kepatuhan minum obat

Kepatuhan pengobatan didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku ODHA dalam menjalani pengobatan,
sesuai dengan yang dianjurkan oleh petugas kesehatan. Untuk terapi ARV, kepatuhan yang tinggi sangat
diperlukan untuk menurunkan replikasi virus dan memperbaiki kondisi klinis dan imunologis;
menurunkan risiko timbulnya resistensi ARV; dan menurunkan risiko transmisi HIV. Salah satu yang
perlu dilakukan adalah dukungan kepatuhan, tidak selalu penggantian ke obat ARV alternatif.

Berbagai faktor seperti akses pengobatan, obat ARV dan faktor individu mempengaruhi kepatuhan
terhadap ARV. Faktor individu dapat berupa lupa minum obat, bepergian jauh, perubahan rutinitas,
depresi atau penyakit lain, bosan minum obat, atau penggunaan alkohol dan zat adiktif. Faktor obat ARV
meliputi efek samping, banyaknya obat yang diminum dan restriksi diet. Pendekatan khusus perlu
diperhatikan pada populasi tertentu seperti wanita hamil dan menyusui, remaja, bayi dan anak-anak, serta
populasi kunci (LSL, PS, dan Penasun).

Follow up Pemberian ARV

Pada pasien yang sudah stabil, ARV dapat diberikan untuk persediaan selama maksimal 3 bulan. Dengan
catatan, setelah 3 bulan pasien harus datang ke layanan (tidak boleh diwakilkan). Stabil dengan ART,
dengan kriteria: menerima ART paling sedikit 12 bulan; tidak ada efek samping obat yang memerlukan
monitoring teratur; pada saat ini tidak terjadi penyakit dan pengertian yang baik terhadap kepatuhan
pengobatan seumur hidup dan bukti keberhasilan pengobatan, yang ditunjukkan dengan pemeriksaan viral
load hasilnya tidak terdeteksi. Jika tidak tersedia pemeriksaan viral load, dapat dipergunakan jika ada
peningkatan jumlah sel CD4 > 200 sel/mm3 pada 2 kali berturut-berturut (jarak 6 bulan).
Pemantauan resistensi obat ARV
Resistensi HIV terhadap obat ARV dapat dibagi menjadi primer dan sekunder. Resistensi primer terjadi
akibat terinfeksi virus yang sudah resisten, sedangkan resistensi sekunder terjadi akibat 3 faktor, yaitu
faktor program, faktor pasien dan faktor virus itu sendiri.

 Faktor program
o Biaya yang diperlukan untuk retribusi fasyankes, transportasi
o Kebijakan program memberikan obat standar yang terdiri dari 3 macam obat, ada kalanya masih
ada yang memberikan 1 atau 2 macam ARV
o Kegagalan pengobatan seringkali terlambat diketahui berhubung tidak ada akses terhadap
pemeriksaan viral load yang dibutuhkan untuk switch ke paduan ARV lini kedua.
o Stok obat yang disediakan program seringkali terlambat datangnya, sehingga pemberi layanan di
fasyankes kadang-kadang hanya memberi 2 macam obat.
 Faktor pasien
o Kepatuhan minum obatnya rendah
o Tidak mendapat informasi yang sesuai
o Toksisitas obat yang terjadi dapat menurunkan kepatuhan minum obat
o Absorpsi obat yang rendah atau terganggu
o Kemiskinan
o Stigmatisasi
o Sharing obat ARV dengan teman/pasangannya.
o Penyakit lainnya seperti TB, Malaria, Hepatitis, penyakit mental, ketergantungan opiate
o Super infeksi dengan strain lain (jarang)
 Faktor virus
o Adanya HIV subtipe baru yang resisten terhadap obat ARV lini pertama
o Mutasi yang terjadi akan meningkatkan resistensi dan berhubungan dengan kapasitas replikasi
virus

Kriteria gagal pengobatan


Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria virologis, imunologis, dan klinis,
seperti dalam tabel 13. Kriteria terbaik adalah kriteria virologis, namun bila tidak tersedia maka dapat
digunakan kriteria imunologis. Sebaiknya tidak menunggu kriteria klinis terpenuhi agar dapat melakukan
switch ke lini selanjutnya lebih dini.

ODHA harus menggunakan ARV minimal 6 bulan sebelum dinyatakan gagal terapi dalam keadaan
kepatuhan yang baik. Kalau kepatuhan ODHA tidak baik atau berhenti minum obat, penilaian
kegagalan dilakukan setelah minum obat kembali secara teratur minimal 3-6 bulan seperti dalam
gambar 7.

Tabel 9. Definisi Kegagalan Terapi dan Keputusan untuk Ubah Paduan (Switch) ARV

GAGAL VIROLOGIS
Viral Load > 1000 kopi/mL berdasarkan pemeriksaan 2 kali berurutan dengan interval 3
bulan, dengan dukungan adherence yg baik setelah pemeriksaan ke-1, setelah paling sedikit
iniasisi ART 6 bulan
GAGAL IMUNOLOGIS
Dewasa dan Remaja
Jumlah CD4 < 250 sel/mm3 setelah gagal klinis atau CD4 persisten < 100 sel/mm 3
Anak-anak
< 5 tahun
CD4 persisten < 200 sel/mm3
> 5 tahun
CD4persisten < 100 sel/mm3
GAGAL KLINIS
Dewasa dan Remaja
Munculnya IO baru atau berulang yg mengindikasikan defisiensi imun berat setelah 6
bulan pengobatan yg efektif
Anak-anak
Munculnya IO baru atau berulang yg mengindikasikan defisiensi imun berat atau lanjut
setelah 6 bulan pengobatan yg efektif
Gambar 2. Alur pemeriksaan HIV RNA (Viral Load) untuk evaluasi terapi ARV

ARV Lini kedua

Obat ARV lini kedua diberikan pada pasien yang mengalami kegagalan dengan terapi lini pertama.

Tabel 10. Pilihan utama lini kedua untuk pasien dewasa


Paduan lini kedua pilihan

Dewasa dan remaja (≥ jika AZT digunakan sebagai TDF + 3TC (atau FTC) + LPV/r
10 tahun) lini pertama
Jika TDF digunakan sebagai AZT + 3TC + LPV/r
lini pertama ARV
HIV dan ko-infeksi TB jika AZT digunakan sebagai TDF + 3TC (atau FTC) + LPV/r
lini pertama dosis gandaa
Jika TDF digunakan sebagai AZT + 3TC + LPV/r dosis gandaa
lini pertama ARV
HIV dan ko-infeksi AZT + TDF + 3TC (atau FTC) + LPV/r
VHB

Tabel 11. Lini Kedua untuk anak

  Lini 1 Pilihan lini 2


Di bawah 3 2 NRTI +LPV/r Tetap teruskan regimen berbasis LPV/r-
tahun dan diganti dengan 2 NRTI* + EFV pada
usia 3 tahun
2 NRTI + NVP 2 NRTI* +LPV/r
Di atas 3 tahun 2 NRTI +LPV/r 2 NRTI* + EFV
2 NRTI* + DTG**

2 NRTI + EFV (atau NVP) 2 NRTI* + LPV/r


2 NRTI + DTG**

*Bila lini 1 menggunakan ABC + 3TC atau TDF + 3TC (atau FTC), maka lini dua diganti menjadi AZT
+ 3TC dan sebaliknya.
**DTG hanya dapat diberikan pada anak berusia di atas 6 tahun dan berat 20 kg atau lebih.
- TDF hanya dapat digunakan pada anak usia di atas 2 tahun.
- Untuk lini 3, harus dilakukan pemeriksaan resistensi .

Rejimen ARV untuk profilaksis pasca pajanan (PEP) dan pra pajanan (PrEP)

Profilaksis pasca pajanan yang didukung oleh pemerintah adalah pajanan karena kecelakaan kerja di
layanan kesehatan dan kasus pemerkosaan. Tes HIV wajib dilakukan sebelum diberikan profilaksis pasca
pajanan. ARV untuk PEP diberikan scepatnya, idealnya adalah 4 jam setelah pajanan dan maksimum 72
jam setelah pajanan. PEP diberikan selama 28 hari dan TIDAK boleh menggunakan Nevirapine. Selama
pemberian PEP pasien disarankan untuk menggunakan kondom jika ingin berhubungan sex untuk
menghilangkan periode jendela pada waktu pemeriksaan ulang tes HIV

Rejimen yang diberikan adalah TDF+3TC+LPV/r

Jika tersedia rejimen yang menggunakan Dolutegravir maka di berikan TDF+ 3TC+ DTG
Rejimen alternative jika tidak tersedia lopinavir/r atau dolutegravir adalah TDF+3TC+EFV
Evaluasi yang dilakukan adalah pemantauan efek samping obat dan kepatuhan berobat, kemudian
pemeriksaan anti-HIV setelah selesai masa jendela.
PrEP diberikan sebelum seseorang terpajan HIV. Tantangan pemberian PrEP adalah memastikan bahwa
pasien TIDAK terinfeksi HIV. Perlu menghitung periode jendela yang benar untuk pemeriksaan ini guna
menyingkirkan kemungkinan pasien sudah terkena HIV.
PrEP diakui keberadaannya di Indonesia tetapi tidak disubsidi oleh pemerintah dan berbayar.
PrEP diberikan sebagai satu kesatuan layanan yang komprehensif dan utuh, artinya pasien perlu
dilakukan skrining IMS dan merekomendasikan bentuk pencegahan lain seperti kondom untuk
menghindari penularan IMS.
PrEP diberikan selama pasien masih melakukan tindakan beresiko. Kepatuhan berobat mutlak dievaluasi
secara regular untuk memastikan keberhasilannya.
Rejimen ARV yang diberikan untuk PrEP adalah TDF+3TC/FTC.
Pemantauan dilakukan untuk kepatuhan minum obat dan efek samping obat.

Stop
Penghentian pengobatan dilakukan dengan alasan toksisitas/efek samping yang berat, hamil, gagal
pengobatan, adherens yang buruk, masuk rumah sakit, stok obat habis, kekurangan biaya, dan keputusan
penderita. Obat golongan NNRTI memiliki waktu paruh yang panjang, sehingga jika ingin menghentikan
ART yang berisi 2NRTI+NNRTI, maka NNRTI dihentikan lebih dahulu, dan setelah 1-2 minggu
kemudian 2 NRTI dapat dihentikan jika efek samping sedemikian berat dan belum terdapat perbaikan,
seperti sindrom stevens johnson atau TEN.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Coetzee D, Hildebrand K, Boulle A, et all. Outcome after two years after providing antiretroviral
treatment in khayelithsa, South Africa. AIDS 2004,18: 887-895.
2. Coetzee D, Hildebrand K, Boulle A, et all. Promoting adherence to anti retro viral therapy
The experience from a primary care setting in Khayelitsha, South Africa. AIDS 2004, 18 (suppl
3): S27-S31
3. Medecins Sans Frontieres, Western Cape Province Department of Health, City of Cape Town
Department of Health, University of Cape Town, Infectious Disease Epidemiology Unit.
Comprehensive TB/HIV service at primary health care level Khayelitsha annual activity report
2007-2008. August 2008.
4. OrrellC, Bangsberg DR, Badri M, Wood R. Adherence is not a barrier to successful antiretroviral
therapy in South Africa. AIDS 2003, 17: 1369 – 1375
5. WHO. Adherence to long – term therapies – evident for action. 2003
6. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral dan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada
orang dewasa dan remaja
7. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Anak di Indonesia
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 87 tahun 2014 tentang pedoman
pengobatan antiretroviral
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia HK.01.07/MENKES/90/2019 tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan Tatalaksana HIV

Anda mungkin juga menyukai