Anda di halaman 1dari 65

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

BLOK 9 SKENARIO B

Disusun oleh : Kelompok A5


Tutor : Septi purnamasari, S.ST, M.Bmd

Annisa Zahra Kamilah 04011181924034


Alexander Theo Yuda Salean 04011381924022
Ayla Fenezza Ferizon 04011381924196
Dian Christi Sihombing 04011281924109
Emmeralda Pancanitha 04011181924032
M.Ariib Nafiis Luthfi Efriansyah 04011281924154
M.Faiz Rizani 04011181924028
M.Abidzaar Al Ghifari 04011381924171
Raisa Sabila 04011281924138
Sekar Pramanik Ramadhani 04011181924022
Siti Azira Putri 04011381924186

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA


PALEMBANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
rahmat-Nya sehingga laporan tutorial skenario A blok 9 ini dapat selesai dengan
baik. Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian
dari sistem pembelajaran di Blok 9 Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Dalam penyelesaian laporan, banyak yang terlibat memberikan bantuan,
bimbingan dan saran. Pada kesempatan kali ini, bagi yang terlibat dalam pembuatan
laporan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih serta hormat, khususnya
kepada Septi purnamasari, S.ST, M.Bmd selaku tutor yang membimbing dan memberi
arahan kepada kelompok A5 sehingga proses tutorial dapat berjalan dengan lancar.
Tak lupa juga teman-teman selaku anggota kelompok yang membantu pembuatan
laporan ini.
Kiranya laporan tutorial ini dapat bermanfaat bagi semua yang
membacanya. Dalam penyusunan laporan, kami menyadari masih banyak
kekurangan dari laporan ini, mengingat pengetahuan dan pengalaman kami masih
sangat terbatas. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat kami harapkan. Terimakasih.

Palembang, 08 Oktober 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ............................................................................................................... 3
KEGIATAN DISKUSI .................................................................................................. 4
I. Skenario ........................................................................................................... 5
II. Klarifikasi Istilah ............................................................................................... 5
III. Identifikasi Masalah ......................................................................................... 6
IV. Analisis Masalah .............................................................................................. 7
V. Learning Issue ................................................................................................ 19
VI. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan ................................................................... 20
VII. Sintesis ........................................................................................................... 21
1. Anamnesis .................................................................................................. 21
2. Klasifikasi Nyeri .......................................................................................... 24
3. Patofisiologi Nyeri ...................................................................................... 30
4. Klasifikasi Luka............................................................................................ 35
5. Fisiologi Penutupan Luka ........................................................................... 37
6. Tata Laksana luka ....................................................................................... 45
7. Pemeriksaan Fisik ....................................................................................... 46
8. Pemeriksaan Lokalis ................................................................................... 54
VIII. Kerangka Konsep ........................................................................................... 62
IX. Kesimpulan.................................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 64
KEGIATAN DISKUSI

Tutor : Septi purnamasari, S.ST, M.Bmd


Moderator : M.Faiz Rizani
Sekretaris Meja : M. Ariib Nafiis Lutfhi Efriansyah
Sekretaris Papan : Emmeralda Pancanitha
Pelaksanaan : 06 Oktober 2020 dan 08 Oktober 2020

Peraturan selama tutorial:


1. Handphone dalam mode silent dan digunakan hanya sampai tahap klarifikasi
istilah
2. Boleh minum tetapi dilarang makan selama berlangsungnya tutorial
3. Mengangkat tangan sebelum memberi pendapat atau saran
4. Menghargai keberadaan dan pendapat setiap anggota kelompok sendiri maupun
yang lain
5. Menjaga sopan dan santun kepada sesama
6. Tidak boleh memotong pembicaraan setiap individu
7. Boleh ke toilet dengan terlebih dahulu meminta izin kepada moderator dan
tutor
I. Skenario

Nadia, 19 tahun seorang mahasiswa FK UNSRI datang ke Puskesmas dengan


keluhan nyeri telapak kaki kiri karena terinjak benda tajam sejak 3 jam yang lalu.
Nyeri dirasakan terus menerus. Telapak kaki kiri Nadia terlihat berdarah dan kotor.
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum: Tampak sakit sedang
Tanda vital: Kesadaran: compos mentis; Tekanan Darah: 120/80 mmHg; Frekuensi
Nadi: 120x/menit; Frekuensi Napas: 20x/menit; Suhu: 37°C. Visual Analog Scale
(VAS) 6
Pemeriksaan lokalis: regio plantar pedis sinistra: tampak luka panjang 4 cm,
kedalaman 0,5 cm.

II. Klarifikasi Istilah

NO. Istilah Definisi Sumber


1. Sakit sedang Deskripsi subjektif untuk Jurnal FK Unila
menarik kesimpulan kesan
keadaan sakit secara
keseluruhan, terlihat pada
pasien yang tampak agak
lemah, terganggu dengan
keadaan sakitnya, sedikit
meringgis
2. Visual Analog Scale Alat ukur untuk dokumentasi NCBI
(VAS) gejala dan pemantauan terapi
dalam kasus rinitis alergi
dalam perawatan kesehatan
sehari-hari
3. Nyeri Pengalaman fisik dan KBBI
emosional yang diakibatkan
karena luka pada jaringan
4. Regio plantar pedis Daerah bagian telapak kaki Sobotta ed. 23 jilid 1
sinistra kiri
5. Compos mentis Sadar sepenuhnya Dorland

III. Identifikasi Masalah

Identifikasi
No Kalimat Prioritas
Masalah
1. Nadia, 19 tahun seorang mahasiswa FK UNSRI
datang ke Puskesmas dengan keluhan nyeri
TS VVV
telapak kaki kiri karena terinjak benda tajam
sejak 3 jam yang lalu
2. Nyeri dirasakan terus menerus. Telapak kaki kiri
TS VV
Nadia terlihat berdarah dan kotor
3. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum: Tampak sakit sedang
Tanda vital: Kesadaran: compos mentis; Tekanan
Darah: 120/80 mmHg; Frekuensi Nadi:
TS V
120x/menit; Frekuensi Napas: 20x/menit; Suhu:
37°C. Visual Analog Scale (VAS) 6
Pemeriksaan lokalis: regio plantar pedis sinistra:
tampak luka panjang 4 cm, kedalaman 0,5 cm.
Alasan Prioritas Masalah:
Prioritas masalahnya ada pada kalimat no.1 karena hal tersebut adalah keluhan yang
dialami pasien dan harus segera ditangani.
IV. Analisis Masalah

Masalah 1:
Nadia, 19 tahun seorang mahasiswa FK UNSRI datang ke Puskesmas
dengan keluhan nyeri telapak kaki kiri karena terinjak benda tajam sejak 3
jam yang lalu.
A. Apa saja yang ditanyakan saat anamnesis nyeri?
Saat melakukan anamnesis pada nyeri, ada beberapa hal yang dapat
ditanyakan:
1. Lokasi Nyeri
2. Onset dan Kronologi
3. Kuantitas dan Kualitas Nyeri
4. Faktor Pemberat dan Peringan Nyeri
5. Gejala yang Menyertai Nyeri
6. Riwayat Penyakit atau Pengobatan Dahulu
7. Riwayat Sosial dan Ekonomi (Kegiatan)
B. Bagaimana patofisiologi nyeri? (secara umum)
Nyeri diawali oleh rangsangan mekanik, suhu, dan, zat kimia.
Stimulus akan mengaktifkan nosiseptor pada ujung saraf bebas. Sel
yang mengalami nekrotik akan merilis K+ dan protein intraseluler.
Peningkatan kadar K+ ekstraseluler akan menyebabkan depolarisasi
nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan akan
menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan inflamasi.
Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin
E2, dan histamin yang akan merangasng nosiseptor sehingga
rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri
(hiperalgesia atau allodynia). Selain itu lesi juga mengaktifkan faktor
pembekuan darah sehingga bradikinin dan serotonin akan terstimulasi
dan merangsang nosiseptor.
Reseptor akan mengubah stimulus tadi menjadi impuls. Impuls
tersebut akan dibawa melalui akson serabut nyeri masuk ke kornu
dorsalis pada medula spinalis. Terdapat serabut nyeri A-delta untuk
nyeri yang tajam dan cepat biasanya disebabkan karena rangsangan
pada nosiseptor mekanik dan suhu. Lalu ada serabut C yang berperan
pada nyeri yang lambat dan lama. Serabut ini membawa impuls dari
rangsangan pada nosiseptor polimodal. Selanjutnya setelah mencapai
kornu dorsalis, maka first order neuron akan bersinaps dengan cara
menghasilkan substansi P. Second order neuron yang akan melintasi
medula spinalis ke seberangnya dan lewat korno anterior akan naik
melalui jalur spinotalamik menuju talamus. Selain bersinaps dengan
second order neuron, first order neuron tersebut juga bersinaps dengan
interneuron pada medula spinalis yang nantinya menyebabkan refleks
seseorang untuk melakukan sesuatu sebagai respon terhadap hal yang
menyebabkan nyeri. Selanjutnya ketika tadi sudah sampai di talamus,
maka akan diteruskan ke korteks somatosensori yang ada pada gyrus
postcentralis. Setelah impuls sampai disini, maka kita akan tahu dimana
lokasi nyeri kita.
C. Apa saja jenis nyeri dan sifatnya?
Nyeri dapat dibagi menjadi dua jenis utama: nyeri cepat dan nyeri
lambat. Nyeri cepat timbul dalam waktu sekitar 0,1 detik, sedangkan
nyeri lambat timbul setelah 1 detik atau lebih dan kemudian secara
perlahan.

Selain itu, ada 3 jenis nyeri, yaitu nyeri nociceptive yang terdiri dari
nyeri somatik dan nyeri viseral, nyeri inflamasi, dan nyeri neuropatik.
Nyeri inflamasi adalah nyeri yang terjadi karena adanya rangsangan
mekanis atau kimiawi yang menyebabkan mediator inflamasi terlepas
dalam tubuh sedangkan nyeri neuropatik adalah nyeri yang terjadi pada
saraf, yang sulit untuk hilang walaupun sudah diberi obat. Nyeri
somatik dibagi menjadi dua yaitu cutaneus/superficial somatic pain dan
deep somatic pain. Superficial somaric pain terjadi jika nyeri berasal
dari kulit. Nyeri ini termasuk nyeri cepat. Sedangkan deep somatic pain
terjadi jika nyeri berasal dari otot dan tendon. Nyeri ini termasuk nyeri
lambat.
D. Apa dampak nyeri karena luka terinjak paku apabila tidak di
tatalaksana?
Pada luka terbuka, akan terjadi banyak pendarahan bila mengenai
pembuluh darah besar (arteri atau vena) sehingga berisiko
menyebabkan syok hipovolemik/hemoragik, infeksi bakteri (demam,
radang, pembentukan nanah), dan amputasi.
E. Mengapa setelah 3 jam terinjak benda tajam Nadia masih merasakan
nyeri pada telapak kaki kirinya?
Tusukan benda tajam pada kaki menyebabkan kerusakan jaringan yang
menyebabkan respon inflamasi melalui pengeluaran zat kimia lokal dan
mediator inflamasi, seperti prostagandin, histamin, bradikinin, dll. Zat
kimia lokal dan mediator inflamasi ini akan mengaktivasi nosiseptor
polimodal sehingga nantinya impuls akan ditransmisikan melalui
serabut C yang memiliki karakteristik tak bermielin sehingga
pengantaran impuls lebih lambat dibandingkan serabut A-delta. Nyeri
masih akan terus dirasakan jika mediator inflamasi tersebut masih ada.
F. Apa saja faktor yang mempengaruhi rasa nyeri?
Persepsi seeseorang terhadapa nyeri dapat berbeda antara satu dengan
yang lain. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti, nilai etnik dan
budaya. Pada budaya tertentu sesorang harus bisa menahan nyeri yang
dirasakan atau justru ada yang sebliaknya. Lalu usia, pada anak anak
kecil terkadanga mereka tak dapat memberitahu dengan jelas apa yang
mereka rasakan apakah itu nyeri atau bukan. Selain itu menurut
penelitian, pada orang yang lebih tua lebih banyak yang mengalami
nyeri khususnya jenis nyeri kronik yang disebabkan semakin
berkurannya serabut A- delta yang memiliki myelin. Selain itu faktor
lingkungan dan pengalaman masa lampau berperan dalam persepsi
nyeri yang dirasakan. Jika pasien pernah mengalami trauma dan
menyebabkan nyeri dan ia mengalami hal yang sama saat ini mungkin
tingkat nyeri sudah berkurang karena pernah mengalami. Selain itu
stress dan ansietas dapat memperburuk nyeri.
G. Apa jenis nyeri pada kasus tersebut?
Berdasarkan letaknya, nyeri yang dialami adalah superficial somatic
pain sedangkan berdasarkan jenis nyerinya, nyeri yang dialami adalah
nyeri inflamasi.

Masalah 2:
Nyeri dirasakan terus menerus. Telapak kaki kiri Nadia terlihat berdarah dan
kotor
A. Bagaimana mekanisme penutupan luka?
1. Fase inflamasi
Fase inflamasi hanya berlansung selama 5-10 menit dan setelah itu
akan terjadi vasodilatasi. Fase ini merupakan respon vaskuler dan
seluler yang terjadi akibat perlukaan yang menyebabkan rusaknya
jaringan lunak. Dalam fase ini pendarahan akan di hentikan dan
area luka akan dibersihkan dari benda asing, sel-sel mati dan
bakteri untuk mempersiapkan proses penyembuhan. Pada fase ini
akan berperan pletelet yang berfungsi hemostasis, dan lekosit serta
makrofag yang mengambil fungsi fagositosis. Tercapainya fase
inflamasi dapat di tandai dengan adanya eritema, hangat pada kulit,
edema dan rasa sakit yang berlansung sampai hari ke-3 atau hari
ke-4.
2. Fase proliferasi atau epitelisasi

Fase ini merupakan lanjutan dari fase inflamasi. Dalam fase


proliferasi terjadi perbaikan dan penyembuhan luka yang ditandai
dengan proliferasi sel. Yang berperan penting dalam fase ini adalah
fibroblas yang bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan
produk struktur protein yang akan digunakan selama proses
rekonstruksi jaringan. Selama proses ini berlansung, terjadi proses
granulasi dimana sejumlah sel dan pembuluh darah baru tertanam
di dalam jaringan baru. Selanjutnya dalam fase ini juga terjadi
proses epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan keratinocyte
growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel
epidermal.
3. Fase maturasi atau remodelling

Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah terjadi luka dan berakhir
sampai kurang lebih 12 bulan. Dalam fase ini terjadi
penyempurnaan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan
penyembuhan yang lebih kuat dan bermutu. Sintesa kolagen yang
telah dimulai pada fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase
maturasi. Kecuali pembentukan kolagen juga akan terjadi
pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Penyembuhan akan
tercapai secara optimal jika terjadi keseimbangan antara kolagen
yang di produksi dengan kolagen yang dipecahkan. Kelebihan
kolagen pada fase ini akan menyebabkan terjadinya penebalan
jaringan parut atau hypertrophic scar. Sedangkan produksi kolagen
yang terlalu sedikit juga dapat mengakibatkan turunnya kekuatan
jaringan parut sehingga luka akan selalu terbuka.
B. Bagaimana tata laksana penutupan luka?
Evaluasi penatalaksanaan luka:
1. Anamnesis
Untuk menemukan cara penanganan dengan menanyakan
bagaimana, dimana dan kapan luka terjadi. Hal ini dilakukan untuk
memperkirakan kemungkinan terjadinya kontaminasi dan
menentukan apakah luka akan ditutup secara primer atau dibiarkan
terbuka.
2. Pemeriksaan fisik
a. Lokasi
Penting sebagai petunjuk kemungkinan adanya cedera pada
struktur yang lebih dalam
b. Eksplorasi
Untuk menyingkirkan kemungkinan cedera pada struktur yang
lebih dalam, menemukan benda asing yang mungkin tertinggal
pada luka serta menemukan adanya jaringan yang telah mati.
c. Tindakan antiseptis
Pada luka tusuk, perlu dibersihkan lebih maksimal untuk
mengeluarkan racun atau mikroba yang mungkin terdapat pada
luka. Daerah yang dibersihkan harus lebih besar dari ukuran
luka. Prinsip saat membersihkan kulit adalah mulai dari tengah
dan bekerja ke arah luar dengan pengusapan secara spiral,
dimana daerah yang telah dibersihkan tidak boleh diusap lagi
menggunakan kasa yang telah digunakan tersebut. Larutan
antiseptik yang dianjurkan adalah povidone lodine 10% atau
klorheksidine glukomat 0,5%. Selanjutnya bagian yang
mengeluarkan darah ditekan dengan kasa steril atau kain yang
bersih untuk menghentikan pendarahan sebelum perawatan luka
lebih lanjut.
3. Pembersihan luka
a. Irigasi sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk membuang
jaringan mati dan benda asing (debridement) sehingga
mempercepat penyembuhan. Irigasi dilakukan dengan
menggunakan cairan garam fisiologis atau air bersih. Lakukan
secara sistematis dari lapisan superfisial ke lapisan yang lebih
dalam
b. Hilangkan semua benda asing dan eksisi semua jaringan mati
c. Berikan antiseptik
d. Bila perlu tindakan ini dilakukan dengan pemberian anestesi
lokal
1) Penutupan luka
Prinsip dalam menutup luka adalah mengupayakan kondisi
lingkungan yang baik pada luka sehingga proses
penyembuhan berlangsung optimal. Fungsi kulit adalah
sebagai sarana pengatur pengupan cairan tubuh dan sebagai
barier terhadap invasi bakteri patogen. Pada luka fungsi ini
menurun akibat proses inflamasi. Sehingga, untuk membantu
mengembalikan fungsi ini, perlu dilakukan penutupan luka.
Penutupan luka yang terbaik adalah dengan kulit (skin graft,
flap). Bila tidak memungkinkan maka sebagai alternatif
digunakan kassa.
2) Pemberian antibiotik atau ATS atau toksoid
Pada luka bersih tidak perlu diberikan antibiotik sedangkan
pada luka terkontaminasi atau kotor maka perlu diberikan
antibiotik . Luka-luka yang merupakan media yang baik bagi
berkembangnya bakteri-bakteri anaerob memerlukan
pemberian ATS atau toksoid.

C. Apa saja dampak jika luka dibiarkan terlihat berdarah dan kotor?
Kecepatan penutupan luka sangat tergantung dari jenis luka, lebar
luka dan adanya infeksi pada daerah luka. Oleh karena itu disarankan
untuk tetap menjaga daerah luka selalu terbebas dari kontaminasi
mikroorganisme patogen sehingga akibat yang lebih buruk dari
timbulnya luka akibat kecelakaan bisa diminimalisasi.
Tindakan mencuci luka harus dilakukan sesegera mungkin setelah
terjadi luka. Jika kulit terbuka, bakteri yang berada di sekitarnya akan
masuk ke dalam luka.pada luka tusuk dan luka gigitan perlu dibersihkan
lebih maksimal untuk mengeluarkan racun atau mikroba yang mungkin
terdapat pada luka. Luka yang tidak dibersihkan juga memperbesar
kemungkinan adanya infeksi pada luka dan mengakibatkan adanya
borok.
Masalah 3:
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum: Tampak sakit sedang
Tanda vital: Kesadaran: compos mentis; Tekanan Darah: 120/80 mmHg;
Frekuensi Nadi: 120x/menit; Frekuensi Napas: 20x/menit; Suhu: 37°C.
Visual Analog Scale (VAS) 6
Pemeriksaan lokalis: regio plantar pedis sinistra : tampak luka panjang 4 cm,
kedalaman 0,5 cm.
A. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik tersebut?
1. Kesadaran: compos mentis > Kesadaran penuh
2. Tekanan darah: 120/80 mmHg > Normal
3. Frekuensi nadi: 120x/menit > Takikardi
4. Frekuensi napas: 20x/menit > Normal (maximal)
5. Suhu: 37°C > Normal
6. Visual Analog Scale (VAS) 6 > Moderate pain (Nyeri sedang)
B. Bagaimana hitungan/penggunaan Visual Analog Scale (VAS)?
Cara penilaiannya adalah penderita menandai sendiri dengan pensil
pada nilai skala yang sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakannya
setelah diberi penjelasan dari dokter tentang makna dari setiap skala
tersebut. Penentuan skor VAS dilakukan dengan mengukur jarak antara
ujung garis yang menunjukkan tidak nyeri hingga ke titik yang
ditunjukkan pasien.
C. Apa saja jenis-jenis luka?
Jenis luka berdasarkan penyebabnya (Al-Muqsith, 2015; Karina dan
Ismail, 2015):
1. Luka lecet (Vulnus Excoriasi )
Luka ini akibat gesekan dengan benda keras misalnya terjatuh dari
motor sehingga terjadi gesekan antara anggota tubuh dengan aspal.
Dimensi luka yaitu hanya memiliki panjang dan lebar, namun
biasanya mengenai ujung-ujung syaraf nyeri di kulit sehingga
derajat nyeri biasanya lebih tinggi dibanding luka robek.
2. Luka sayat (Vulnus scissum)
Jenis luka ini disebabkan oleh sayatan benda tajam misalnya logam
atau kayu. Luka yang dihasilkan tipis dan kecil, yang juga bisa
disebabkan karena di sengaja dalam proses pengobatan
3. Luka robek atau parut (Vulnus laseratum)
Luka jenis ini biasa karena benda keras yang merusak permukaan
kulit misalnya terjatuh, terkena ranting pohon, atau terkena batu
sehingga menimbulkan robekan pada kulit. Dimensi luka panjang,
lebar dan dalam.
4. Luka tusuk (Vulnus punctum)
Luka terjadi akibat tusukan benda tajam, berupa luka kecil dan
dalam. Pada luka ini perlu diwaspadai adanya bakteri clostridium
tetani benda tajam/logam yang menyebabkan luka.
5. Luka gigitan (Vulnus morsum)
Luka jenis ini disebabkan gigitan gigi, baik itu oleh manusia
ataupun binatang seperti serangga, ular, dan binatang buas. Perlu
diwaspadai luka akibat gigitan dari ular berbisa yang berbahaya.
6. Luka bakar (Vulnus combustion) luka atau kerusakan jaringan yang
timbul karena suhu tinggi. Penanganan jenis luka ini didasarka
pada empat stadium luka dan prosentase permukaan tubuh yang
terbakar.
D. Bagaimana tingkat keparahan dan kedalaman luka pada kasus tersebut?
Tingkat keparahan dan kedalaman luka dinilai dari pemeriksaan fisik
pada luka dan penilaian pada luka itu sendiri.
1. Penilaian luka meliputi jenis luka, tahapan penyembuhan luka dan
ukuran luka.
2. Pemeriksaan fisik pada luka berupa pemeriksaan tanda vital,
pemeriksaan fisik umum bertujuan mencari tanda adanya faktor
komorbid, penilaian adanya infeksi, penilaian terhdap terjadinya
struktur di bawah luka (pembuluh darah, saraf, ligamentum, otot,
tulang).
Pada kasus ini, hanya terjadi kerusakan di bagian kulit saja karena benda
tajam tersebut mengenai kulit kaki hanya sedalam 0.5 cm atau sekitar 5
mm sehingga tidak sampai kedalam mengenai otot, ligamen, ataupun
tulang. Pembuluh darah yang mungkin terkena adalah vena karena vena
terletak pada superfisial kulit dan perdarahan mengalir tetapi tidak
mengalir hebat atau memancar. Nyeri yang dirasakan terjadi karena
paku mengganggu saraf sekitar jaringan yang rusak. Suhu tubuh
meningkat hingga 37°C karena di daerah luka mungkin terjadi
kolonisasi bakteri akibat luka tetapi tidak ada gangguan gerak dari kaki
otot, tulang, dan ligamentum).
E. Bagaimana nilai rujukan dari setiap pemeriksaan fisik diatas?
1. Kesadaran: normalnya compos mentis (Nilai GCS 15= sadar
sepenuhnya)
2. Tekanan darah: Umumnya orang dewasa yang memiliki tubuh sehat
dan memiliki tekaan darah normal 90/60 mmHg sampai 120/80
mmHg
3. Frekuensi nadi: normalnya pada orang dewasa 60‐100 denyut/menit
4. Frekuensi napas: normalnya laki-laki: 12 – 20 x/menit, perempuan:
16-20 x/menit
5. Suhu: normalnya 36,4-37,2°C pada orang remaja dan orang dewasa
6. Visual Analog Scale (VAS) normalnya bernilai 0 (tidak merasakan
nyeri)
F. Bagaimana pemeriksaan fisik pada regio plantar pedis sinistra?
Secara umum, pemeriksaan fisik pada regio plantar pedis sinistra adalah
inspeksi, palpasi, rentang gerak dan perasat. Tetapi, terdapat
pemeriksaan fisik ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti
pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan fisik umum bertujuan mencari
tanda adanya faktor komorbid, penilaian adanya infeksi, penilaian
terhdap terjadinya struktur di bawah luka (pembuluh darah, saraf,
ligamentum, otot, tulang). Pada kasus ini, cukup dilakukan pemeriksaan
fisik secara umum yaitu inspeksi dan palpasi karena tidak terjadi
deformitas, gangguan pergerakkan kaki ataupun fraktur pada tulang,
kerusakan ligamentum dan otot. Pemeriksaan fisik pada luka berupa
pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan fisik umum bertujuan mencari
tanda adanya faktor komorbid, penilaian adanya infeksi, penilaian
terhdap terjadinya struktur di bawah luka (pembuluh darah, saraf,
ligamentum, otot, tulang) tetap dilakukan untuk menilai luka tersebut.
G. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan keadaan umum?
Dalam melakukan pemeriksaan keadaan umum, seorang dokter
mengamati keadaan kesehatan umum, tinggi, postur, dan
perkembangan seksual pasien. Ukurlah berat badan pasien. Perhatikan
postur, aktivitas motorik, dan ayunan langkah; pakaian, kerapian, dan
higiene perorangan; dan adanya bau tubuh atau bau napas. Perhatikan
ekspresi wajah pasien dan catatlah sikap, afek, dan reaksi terhadap
orang dan benda di sekitarnya. Dengarlah cara pasien berbicara dan
perhatikan tingkat kewaspadaan atau kesadarannya (Ini berfungsi agar
dapat menilai apakah pasien dalam keadaan darurat medik atau tidak)
H. Bagaimana patofisiologi dari keabnormalan yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik diatas?
Keabnormalan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik di atas adalah
pasien mengalami takikardi/meningkatnya frekuensi nadi karena
pengaruh rangsangan nyeri pada luka. Nyeri akut akan menimbulkan
perubahan-perubahan didalam tubuh. Impuls yang diteruskan ke sel-sel
neuron di kornua antero-lateral akan mengaktifkan sistem simpatis.
Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh sistem simpatis akan
teraktifkan. Nyeri akut baik yang ringan sampai yang berat akan
memberikan efek pada tubuh seperti pembuluh darah yang
vasokonstriksi, yang kemudian dapat mempengaruhi hemodinamik
tubuh seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan resistensi pembuluh
darah secara sistemik.
V. Learning Issue

1. Anamnesis
2. Klasifikasi nyeri
3. Patofisiologi nyeri
4. Klasifikasi luka
5. Fisiologi penutupan luka
6. Tata laksana luka
7. Pemeriksaan fisik
8. Pemeriksaan lokalis
VI. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan

What I What I Have To How I Will


No Pokok Bahasan What I Know
Don’t Know Prove Learn
1. Cara
Definisi, Cara Cara anamnesis
Anamnesis anamnesis
umum umum
spesifik
2. Klasifikasi,
Nyeri Definisi mekanisme, Siklus Hidup
tatalaksana Textbook
3. Klasifikasi, /Internet
Luka Definisi mekanisme, - /Jurnal
tatalaksana
4. Definisi,Nilai
Pemeriksaan fisik Cara Nilai normal
normal
5. Pemeriksaan
Definisi Cara -
lokalis
VII. Sintesis

1. Anamnesis
Anamnesis riwayat kesehatan adalah percakapan dengan tujuan. Anamnesis
dapat diartikan sebagai hal yang dilakukan oleh pemeriksa untuk mendorong
pasien untuk mengekspresikan hal yang paling penting bagi mereka dan pasien
akan mengungkapkan keluhan pribadi mereka selain gejala sehingga
menciptakan suatu narasi yang mencakup, konteks pribadi gejala dan penyakit
pasien . Proses anamnesis yang menghasilkan cerita pasien adalah proses yang
mengalir dan memerlukan empati, komunikasi efektif, dan keterampilan
berinteraksi untuk berespons terhadap isyarat, perasaan, dan keluhan pasien.
Sebelum anamnesis dilakukan, kita terlebih dahulu membaca riwayat pasien.
a. Tipe-Tipe Anamnesis
Autoanamnesis: anamnesis yang dilakukan dengan menanyakan langsung
kepada pasien.
Alloanamnesis: anamnesis yang dilakukan saat pasien tidak sadarkan diri,
atau pasien anak-anak kepada keluarga pasien atau wali pasien.
b. Dasar-dasar anamnesis yang terampil
1) Mendengarkan secara aktif
2) Respons empatik
3) Pertanyaan terarah
4) Komunikasi nonverbal
5) Validasi
6) Memberikan keyakinan (reassurance)
7) Kemitraan
8) Pembuatan ringkasan
9) Transisi
10) Memberdayakan pasien
c. Urutan dan Konteks Anamnesis
1) Persiapan
Dalam mempersiapkan untuk menganamnesis pasien, pemeriksa harus
mempelajari rekam medis pasien, menetapkan tujuan dari anamnesis,
mempersiapkan perilaku klinis, dan menyesuaikan dengan lingkungan.
2) Urutan Anamnesis
a) Memberi salam kepada pasien dan membina rapport
b) Menetapkan agenda untuk anamnesis:
c) Mengidentifikasi dan menanggapi isyarat emosional:
d) Memperluas dan memperjelas cerita pasien:
e) Membuat dan menguji hipotesis diagnostik :
f) Membagi rencana pengobatan:
g) Mengakhiri anamnesis dan kunjungan:
h) Meluangkan waktu untuk refleksi-diri :
3) Empat Pokok Pikiran Anamnesis / The Fundamental Four (Konteks
Anamnesis)
a) Riwayat Penyakit Sekarang
Hal pertama yang ditanyakan pada anamnesis adalah riwayat
penyakit sekarang atau keluhan utama yang membuat pasien pergi
untuk melakukan pemeriksaan dan kita akan melakukan anamnesis
lanjutan. Untuk mengetahui atribut dari suatu penyakit, maka
biasanya untuk mengetahui dan mengidentifikasi kita harus
menanyakan hal berikut: OLD CART, atau awalan (Onset) , Lokasi,
Durasi, sifat (Character), faktor yang memperparah/memperingan
(Aggravating/Alleviatingfactor), Radiasi/penyebaran, dan waktu
(Timing)
i. Onset (Awalan): tanyakan kapan mulai timbul keluhan, sudah
berapa lama terjadi keluhan
ii. Lokasi: tanyakan dimana saja lokasi keluhan itu timbul
iii. Durasi: tanyakan apakah keluhan tersebut hilang atau timbul
(seberapa sering keluhan tersebut muncul)
iv. Sifat (Characteristic): tanyakan sifat atau rasa keluhan tersebut
saat timbul (missal: nyeri seperti di pukul, batuk berdahak)
v. Faktor yang memperparah (Aggravitating factor): tanyakan
apa saja kegiatan atau aktivitas yang membuat keluhan
tersebut semakin sakit atau menggangu, dan juga tanya apakah
ada keluhan lain yang menyertai keluhan utama tersebut.
vi. Faktror yang memperingan (Alleviating factor): tanyakan apa
saja kegiatan atau aktivitas yang membuat keluhan tersebut
menjadi ringan / atau terasa lebih baik.
vii. Radiasi (Penyebaran): ditanyakan apakah keluhan tersebut
menyebabkan keluhan dibagian tubuh lainnya, dan seberapa
sakit yang dirasakan oleh pasien.
viii. Waktu (Timing): ditanyakan kapan keluhan itu timbul atau
bisa juga dikatakan apakah ada waktu-waktu tertentu keluhan
tersebut timbul.
b) Riwayat Penyakit Dahulu: ditanyakan apakah sebelum terjadi
keluhan ini apakah pernah merasakan sakit yang serupa sebelumnya
atau penyakit lain yang pernah diderita, riwayat pengobatan , riwayat
perawatan inap, riwayat imunisasi, ataupun riwayar menstruasi
(pada wanita)
c) Riwayat Kesehatan Keluarga: ditanyakan apakah anggota
keluarga/yang tinggal satu rumah merasakan keluhan yang sama,
atau adakah penyakit keturunan keluarga.
d) Riwayat Sosial dan Ekonomi: Saat membahas ini, biasanya
ditanyakan umur ,pekerjaan, dan tempat tinggal (pada awal
anamnesis). Selain itu, tanyakan aktivitas sehari-hari pasien, pola
tidur, apakah meriko ataupun minum-minuman.

Gambar 1 : Tujuh Atribut Gejala (Sumber: Bickley, 2013 )


2. Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat dibagi menjadi dua jenis utama: nyeri cepat dan nyeri lambat. Bila
diberikan stimulus, nyeri cepat timbul dalam waktu sekitar 0,1 detik, sedangkan
nyeri lambat timbul setelah 1 detik atau lebih dan kemudian secara perlahan
meningkat selama beberapa detik dan kadang kala bahkan beberapa menit. Nyeri
cepat juga memiliki banyak nama lain, seperti nyeri tajam, nyeri tertusuk, nyeri
akut, dan nyeri tersetrum. Jenis nyeri ini akan terasa bila sebuah jarum ditusukkan
ke dalam kulit, bila kulit tersayat pisau, atau bila kulit terbakar secara akut.
Nyeri lambat juga mempunyai banyak nama lain, seperti nyeri terbakar lambat,
nyeri tumpul, nyeri berdenyut, nyeri mual, dan nyeri kronis. Jenis nyeri ini biasanya
dikaitkan dengan kerusakan jaringan. Nyeri dapat berlangsung lama, dan rasa
sakitnya dapat menjadi penderitaan yang hampir tidak tertahankan. Nyeri ini dapat
terasa di kulit dan hampir semua jaringan atau organ dalam.
Nyeri dapat disebabkan oleh berbagai jenis rangsangan. Rangsangan ini
dikelompokkan sebagai rangsang nyeri mekanis, suhu, dan kimiawi. Pada
umumnya, nyeri cepat disebabkan oleh rangsangan jenis mekanis atau suhu,
sedangkan nyeri lambat disebabkan oleh ketiga jenis rangsangan tersebut (Guyton,
2011).

Gambar 2: Perbedaan Nyeri Cepat dan Nyeri Lambat


Sumber: Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem
Selain itu, ada 3 jenis nyeri, yaitu nyeri nociceptive yang terdiri dari nyeri
somatik dan nyeri viseral, nyeri inflamasi, dan nyeri neuropatik. Nyeri inflamasi
adalah nyeri yang terjadi karena adanya rangsangan mekanis atau kimiawi yang
menyebabkan mediator inflamasi terlepas dalam tubuh sedangkan nyeri neuropatik
adalah nyeri yang terjadi pada saraf, yang sulit untuk hilang walaupun sudah diberi
obat. Nyeri somatik dibagi menjadi dua yaitu cutaneus/superficial somatic pain dan
deep somatic pain. Superficial somaric pain terjadi jika nyeri berasal dari kulit.
Nyeri ini termasuk nyeri cepat. Sedangkan deep somatic pain terjadi jika nyeri
berasal dari otot dan tendon. Nyeri ini termasuk nyeri lambat.
Bergantung pada jenis energi yang biasanya direspons, reseptor-reseptor dapat
dikategorikan:
a. Fotoreseptor: peka terhadap gelombang cahaya tampak
b. Mekanoreseptor: peka terhadap energi mekanis
c. Termoreseptor: peka terhadap panas dan dingin
d. Osmoreseptor: mendeteksi perubahan konsentrasi zat terlarut dalam cairan
ekstrasel (CES) dan perubahan aktivitas osmotik yang terjadi
e. Kemoreseptor: peka terhadap bahan kimia tertentu.
f. Nosiseptor: peka terhadap kerusakan jaringan
Beberapa sensasi merupakan sensasi gabungan, yang artinya persepsi yang
terbentuk berasal dari integrasi di pusat pada beberapa masukan sensorik primer
yang diaktifkan secara bersamaan. Sebagai contoh, persepsi basah berasal dari
masukan reseptor sentuh, tekan, dan suhu (Sherwood, 2018).
Terdapat tiga kategori nosiseptor:
a. Nosiseptor mekanis: berespons terhadap kerusakan mekanis misalnya tersayat,
terpukul, atau cubitan;
b. Nosiseptor termal: berespons terhadap suhu ekstrim, terutama panas
c. Nosiseptor polimodal: berespons sama kuat terhadap semua jenis rangsangan
yang merusak, termasuk bahan kimia iritan yang dikeluarkan oleh jaringan
yang cedera.
Sinyal yang berasal dari nosiseptor yang berespons terhadap kerusakan mekanis
seperti terpotong atau kerusakan suhu seperti terbakar disalurkan melalui serat A-
delta halus bermielin dengan kecepatan hingga 30 m/dtk. Sedangkan impuls dari
nosiseptor polimodal yang berespons terhadap bahan kimia yang dilepaskan ke
CES dari jaringan yang rusak disalurkan oleh serat C halus tak-bermielin dengan
kecepatan yang lebih rendah, yaitu 12 m/dtk atau kurang (jalur nyeri lambat)
(Sherwood, 2018).

Gambar 3: Modalitas Sensorik Utama


Sumber: Ganong, Fisiologi Kedokteran, 2011
Nyeri tumpul, yang berdurasi lama, tidak perlu dikirimkan secara cepat,
sehingga cukup dikirimkan oleh serat saraf yang menghantarkan impuls dengan
kecepatan lambat. Diameter serat saraf berukuran antara 0,5 sampai 20 mikrometer
semakin besar diameternya, semakin tinggi kecepatan hantarnya. Batas kecepatan
pengiriman adalah antara 0,5 sampai 120 m/detik. Beberapa serat bermielin yang
besar dapat menghantarkan impuls dengan kecepatan sampai sebesar 120 m/detik.
Sebaliknya, yang terkecil menghantarkan impuls selambat 0,5 m/detik, sehingga
pengiriman impuls dari ibu jari kaki sampai medula spinalis membutuhkan waktu
sekitar 2 detik (Guyton, 2011).
Gambar 4: Klasifiasi Fisiologis dan Fungsi Serat Saraf
Sumber: Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology, 2011
Klasifikasi alternatif yang digunakan:
a. Grup la: serat yang berasal dari ujung anulospiral kumparan otot (diameter rata-
rata sekitar 17 mikron; ini adalah serat A jenis-a dalam klasifikasi umum).
b. Grup lb: erat yang berasal dari organ tendon Golgi (diameter rata-rata sekitar
16 mikrometer; ini juga merupakan serat A jenis-α) .
c. Grup II: serat yang berasal dari reseptor taktil khas di kulit dan dari ujung
flower spray gelendong otot (diameter rata-rata sekitar 8 mikrometer; ini
adalah serat A jenis β- dan jenis γ dalam klasifikasi umum).
d. Grup III: serat ini mengirimkan sensasi suhu, sentuhan kasar, dan sensasi nyeri
tusukan (diameter rata-rata sekitar 3 mikrometer; ini adalah serat A jenis δ
dalam klasifikasi umum).
e. Grup IV: serat tidak bermielin yang mengirimkan rasa nyeri, gatal, suhu, dan
sensasi sentuhan kasar (diameter antara 0,5 sampai 2 mikrometer; ini adalah
serat C dalam klasifikasi umum).

Berdasarkan kecepatan adaptasi, reseptor diklasifikasikan sebagai reseptor


tonik atau reseptor fasik. Reseptor tonik tidak beradaptasi sama sekali atau
beradaptasi dengan lambat. Reseptor ini bermanfaat ketika reseptor ini harus
mempertahankan informasi tentang stimulus. Contoh reseptor tonik adalah reseptor
regang otot, yang memantau panjang otot, dan proprioseptor sendi. Untuk
mempertahankan postur dan keseimbangan, SSP harus secara terus-menerus
mendapat informasi mengenai derajat panjang otot dan posisi sendi. Karena itu,
reseptor-reseptor ini penting untuk tidak beradaptasi terhadap rangsangan tetapi
terus menghasilkan potensial aksi untuk menyampaikan informasi ini ke SSP
Reseptor beradaptasi lambat terus-menerus mengirimkan impuls ke otak selama
rangsangan tetap ada (atau paling sedikit selama beberapa menit atau beberapa
jam). Oleh karena itu, jenis reseptor ini secara konstan mengirimkan informasi
mengenai keadaan tubuh dan hubungannya dengan lingkungan sekitar. Contoh,
impuls yang berasal dan kumparan otot dan aparatus tendon Golgi memungkinkan
sistem saraf mengetahui keadaan kontraksi otot dan beban pada tendon otot pada
setiap saat. Reseptor beradaptasi lambat yang lain meliputi (1) reseptor-reseptor
makula pada aparatus vestibular, (2) reseptor nyeri, (3) baroreseptor pada cabang-
cabang arteri, dan (4) kemoreseptor pada badan karotis dan aorta. Karena dapat
terus-menerus mengirimkan informasi selama beberapa jam, reseptor beradaptasi
lambat ini disebut reseptor tonik (Sherwood, 2018).
Berbeda dengan sebagian besar reseptor sensorik tubuh lainnya, reseptor nyeri
sedikit sekali beradaptasi dan kadang tidak beradaptasi sama sekali. Bahkan, pada
beberapa kondisi, eksitasi serat nyeri semakin meningkat secara progresif, terutama
pada nyeri lambat tumpul mual, karena stimulus nyeri berlangsung terus-menerus.
Keadaan ini akan meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri dan disebut hiperalgesia.
Pentingnya ketidakmampuan reseptor nyeri untuk beradaptasi karena hal ini
memungkinkan nyeri untuk memberitahu seseorang terus-menerus tentang adanya
stimulus yang merusak jaringan selama stimulus tersebut masih ada (Sherwood,
2018).
Sering kali seseorang merasakan nyeri di bagian tubuh yang letaknya cukup
jauh dari jaringan yang menyebabkan nyeri. Nyeri ini disebut nyeri alih.
Contohnya, nyeri di dalam salah satu organ viseral sering dialihkan ke suatu daerah
di permukaan tubuh.
Sering kali, visera tidak mempunyai reseptor-reseptor sensorik untuk modalitas
sensasi lain kecuali untuk nyeri. Nyeri viseral berbeda dengan nyeri yang berasal
dari permukaan tubuh. Salah satu perbedaan paling penting antara nyeri permukaan
dengan nyeri viseral adalah walaupun organ visera mengalami kerusakan berat
yang sangat terlokalisasi, namun jarang mencetuskan nyeri yang hebat. Contohnya,
seorang ahli bedah dapat memotong seluruh usus menjadi dua pada orang yang
tetap sadar tanpa menimbulkan nyeri yang berarti. Sebaliknya, setiap stimulus yang
menimbulkan perangsangan difus pada ujung serat nyeri melalui organ visera dapat
menimbulkan nyeri yang sangat hebat.

Gambar 5: Daerah Nyeri Alih dari Berbagai Organ Visera


Sumber: Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology, 2011
Setiap stimulus yang dapat merangsang ujung serat saraf nyeri di daerah visera
yang luas dapat menimbulkan nyeri viseral. Beberapa stimulus ini adalah keadaan
iskemia jaringan viseral, kerusakan akibat bahan kimia pada permukaan visera,
spasme otot polos pada organ dalam yang berongga, peregangan berlebihan organ
perut berongga, atau teregangnya jaringan ikat yang mengelilingi organ visera.
Hampir semua nyeri visera yang sebenarnya dalam rongga toraks dan abdomen
dikirimkan melalui serat saraf nyeri kecil tipe C, sehingga, hanya dapat
mengirimkan nyeri tipe kronis-tumpul.
Nyeri yang berasal dari bermacam-macam organ visera sukar dilokalisasikan
karena beberapa alasan. Pertama, otak pasien tidak tahu akan keberadaan organ
internal yang berbeda; karena itu, setiap nyeri yang berasal dari bagian dalam akan
dilokalisasi secara umum saja. Kedua, sensasi yang berasal dari abdomen dan toraks
dihantarkan melalui dua jaras menuju sistem saraf pusat jaras viseral yang
sebenarnya dan jaras parietal. Nyeri viseral yang sebenarnya dihantarkan melalui
serat-serat sensorik nyeri di dalam berkas saraf otonom, dan sensasinya akan
dialihkan ke daerah permukaan tubuh yang sering kali jauh dari organ yang
menimbulkan nyeri. Sebaliknya, sensasi perietal dikirimkan langsung ke dalam
saraf-saraf spinal setempat dari peritoneum parietalis, pleura atau perikardium, dan
sensasi ini biasanya dilokalisasikan tepat di daerah yang menimbulkan nyeri. Bila
nyeri viseral dialihkan ke permukaan tubuh, biasanya nyeri itu akan dilokalisasi
sesuai segmen dermatom dari mana organ visera itu berasal pada waktu embrio,
dan belum tentu sesuai dengan di mana organ itu sekarang berada (Guyton, 2011).

3. Patofisiologi Nyeri
Respon nyeri dimulai dari aktivasi nosisepor melalui ujung bebas. Kanal ion
merespon berbagai stimulus seperti zat kimia, stimulus mekanik, dan stimulus suhu
yang memicu graded potential (perubahan potensial membran) sehingga terpiculah
aksi potensial jika stimulus tersebut cukup kuat (Silverthorn, 2014).
Zat kimia yang memediasi respon inflamasi pada bagian yang mengalami
kerusakan jaringan kan mengaktifkan nosiseptor atau menyentisisasi mereka
dengan menurunkan threshold aktivasinya. Zat kimia lokal yang diproduksi atau
dilepaskan pada kerusakan jaringan termasuk K+, histamine dan juga prostaglandin
yang dilepaskan oleh sel yang rusak; serotonin dilepaskan oleh platelet yang
teraktivasi karena kerusakan jaringan; lalu substansi P yang merupakan peptida,
dilepaskan oeh primary sensory neuron / first- order neuron. Peningkatan
sensitivitas pada tempat kerusakan jaringan biasanya disebut nyeri inflamasi
(Silverthorn, 2014).
Primary sensory neuron dari nosiseptor berakhir pada kornu dorsalis pada
medua spinalis. Selanjutnya pengaktifan nosiseptor mengikuti dua jalan : (1).
Respon protetif reflex yang terintegrasi pada medula spinalis dan (2) jaras asenden
menuju ke korteks serebral yang sehingga kita merasakan nyeri. Primary nosiseptor
bersinapsis dengan interneuron utuk respon refeks spinalis atau bersinapsis dengan
secondary sensory neuron yang terproyesi ke otak (Silverthorn, 2014).
Secondary sensory neuron melintasi garis tengah tubuh di sumsum tulang
belakang dan naik ke daerah talamus dan sensorik korteks. Jalurnya juga mengirim
cabang ke sistem limbik dan hipotalamus. Sebagai akibatnya, rasa sakit bisa disertai
tekanan emosional (penderitaan) dan berbagai reaksi otonom, seperti mual, muntah,
atau berkeringat (Silverthorn, 2014).

Gambar 6: Patofisiologi nyeri


Banyak struktur berperan dalam pemrosesan nyeri. Serat nyeri aferen primer,
jalur nyeri asendens di korda spinalis, dan daerah-daerah otak terlibat pada persepsi
nyeri. Serat-serat nyeri aferen primer bersinaps dengan antarneuron ordo-kedua
spesifik di tanduk dorsal korda spinalis. Sebagai respons terhadap potensial aksi
yang dipicu oleh rangsangan, serat-serat nyeri aferen mengeluarkan
neurotransmiter yang memengaruhi neuron-neuron berikutnya. Dua
neurotransmiter yang paling banyak diketahui adalah substansi P dan glutamat.
Substansi P, yang unik bagi serat nyeri, mengaktikan jalurjalur asendens yang
menyalurkan sinyal nosiseptif ke tingkat yang lebih tinggi untuk pemrosesan lebih
lanjut (Gambar 6-9a). Jalur-jalur nyeri asendens memiliki tujuan berbeda-beda di
korteks, talamus, dan formasio retikularis. Daerah pemrosesan somatosensorik di
korteks menentukan lokasi nyeri, sementara daerah-daerah korteks lain ikut serta
dalam komponen sadar pengalaman nyeri lainnya, misalnya refleksi tentang
kejadian. Nyeri tetap dapat dirasakan tanpa adanya korteks, mungkin di tingkat
talamus. Formasio retikularis meningkatkan derajat kewaspadaan yang berkaitan
dengan rangsangan yang merusak. Interkoneksi dari talamus dan formasio
retikularis ke hipotalamus dan sistem limbik memicu respons perilaku dan emosi
yang menyertai pengalaman yang menimbulkan nyeri. Sistem limbik tampaknya
penting dalam mempersepsikan aspek nyeri yang tidak menyenangkan (Sherwood,
2013).
Glutamat, neurotransmiter lain yang dikeluarkan dari terminal nyeri aferen
primer, adalah neurotransmiter eksitatorik utama (lihat h . 115). Glutamat bekerja
pada dua reseptor membran plasma berbeda di antarneuron eksitatorik tanduk
dorsal, dengan dua efek berbeda (lihat h. 171). Pertama, pengikatan glutamat
dengan reseptor NMDA nya menyebabkan perubahan permeabilitas yang akhirnya
menyebabkan pembentukan potensial aksi di sel tanduk dorsal. Potensial aksi ini
menyalurkan pesan nyeri ke pusat-pusat yang lebih tinggi. Kedua, pengikatan
glutamat dengan reseptor NMDA-nya menyebabkan masuknya Ca2+ ke dalam sel
tanduk dorsal. Jalur ini tidak terlibat dalam transmisi pesan nyeri. Ca2+ memicu
sistem caraka kedua yang membuat sel tanduk dorsal lebih peka daripada biasanya
(lihat h. 126.). Hipereksitabilitas ini ikut berperan meningkatkan sensitivitas daerah
yang cedera terhadap pajanan rangsangan nyeri berikutnya atau bahkan rangsangan
tak nyeri biasa, misalnya sentuhan ringan. Bayangkanlah betapa pekanya kulit
Anda yang mengalami luka bakar, bahkan terhadap kain baju Anda. Mekanisme
lain juga berperan menyebabkan supersensitivitas suatu daerah yang cedera.
Sebagai contoh, responsivitas reseptor perifer pendeteksi nyeri dapat ditingkatkan
sehingga reseptor tersebut bereaksi lebih kuat terhadap rangsangan berikutnya.
Kepekaan yang berlebihan ini mungkin bertujuan untuk mengurangi aktivitas yang
dapat semakin merusak atau mengganggu penyembuhan daerah yang cedera.
Hipersensitivitas ini biasanya mereda setelah cedera sembuh (Sherwood, 2013).
Gambar 7: Homunculus di otak

Faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri


Beberapa faktor dapat mempengaruhi persepsi dan reaksi seseorang terhadap nyeri.
Faktor ini mencangkup nilai etnik dan budaya seseorang, tahap perkembangan,
lingkungan dan orang pendukung, pengalaman nyeri sebelumnya, dan makna nyeri
saat ini serta ansietas dan stress.
a. Nilai etnik dan budaya
Latar belakang etnik dan warisan budaya telah lama di kenal sebagai faktor-
faktor yang mempengaruhi reaksi seseorang terhadap nyeri dan ekspresi nyeri
tersebut. Perilaku yang berhubungan dengan nyeri adalah sebuah bagian dari
proses sosialisasi. Misalnya, individu dalam sebuah budaya mungkinbelajar
untuk ekspresif terhadap nyeri, sementara individu dari budaya lain mungkin
belajar untuk menyimpulkan perasaan nyerinya tersebut dan tidak mengganggu
orang lain. Beberapa studi menunjukkan bahwa individu turunan eropa utara
cenderung lebih menyembunyikan dan kurang ekspresif terhadap rasa nyeri
mereka dibandingkan individu yang berasal dari latar belakang eropa selatan (
Kozier 2011: 694-695).
b. Tahap perkembangan Usia dan tahap perkembangan seorang klien adalah
variabel penting yang akan mempengaruhireaksi dan ekspresi terhadap nyeri.
American Academy Of pediatrics and canadian pediatrics society (2002)
merekomendasikan agar intervensi lingkungan, intervensi non-farmakologi,
dan intervensi farmakologi digunakan untuk mencegah, mengurangi atau
menghilangkan nyeri pada neonatus. Anak-anak mungkin kurang mampu
dibandingkan dengan orang dewasa untuk mengatakan pengalaman atau
kebutuhan mereka terkait nyeri, yang dapat menyebabkan nyeri mereka tidak
teratasi (Kozier, 2011).
c. Lingkungan dan orang pendukung
Lingkungan yang tidak dikenal seperti rumah sakit, dengan kebisingannya,
cahaya, dan aktivitasnya, dapat menambah rasa nyeri. Selain itu, orang
kesepian yang tidak memiliki jaringan pendukung dapat mempersiapkan nyeri
sebagai sesuatu yang berat, 8 sementara orang yang memiliki pendukung di
dalamnya dapat mempersepsikan nyeri sebagai sesuatu lebih ringan. Harapan
orang terdekat dapat mempengaruhi persepsi seseorang dan responsnya
terhadap nyer. Dalam suatu situasi misalnya, anak perempuan mungkin
diperbolehkan untuk mengekspresikan rasa nyerinya secara terbuka dibanding
anak laki-laki. Peran keluarga juga dapat memengaruhi bagaimana seseorang
mempersepsikan dan berespons terhadap nyeri. Misalnya seorang balita sering
kali lebih mudah menoleransi nyeri saat orang tua atau perawat pendukung
berada di dekat mereka (Kozier, 2011).
d. Pengalaman nyeri dimasa lalu
Pengalaman nyeri dimasa lalu dapat mengubah sensitivitas klien terhadap
nyeri. Individu yang mengalami nyeri secara pribadi atau yang melihat
penderita orang terdekat sering sekali lebih terancam oleh kemungkinan nyeri
di bandingkan individu yang tidak memiliki pengalaman nyeri (Kozier, 2011).
e. Makna nyeri
Beberap klien dapat lebih mudah menerima nyeri dibandingkan klien lain,
bergantung pada keadaan dan interpretasi klien mengenai makna nyeri
tersebut. Seorang klien yang menghubungkan rasa nyeri dengan hasil akhirnya
yang positif dapat menahan nyeri dengan rasa positif dapat menahan nyeri
dengan sangat baik. Misalnya seorang wanita yang melahirkan anaknya atau
seorang atelit yang menjalani bedah lutut untuk memperpanjang karirnya dapat
mentoleransi rasa nyeri dengan lebih baik. klien dapat memandang nyeri Akut
sebagai sebuah ketidaknyamanan sementara dan bukan ancaman atau
gangguan terhadap kehidupannya seharihari. Sedangkan klien yang nyeri
kroniknya tidak mereda dapat merasa lebih menderita (Kozier, 2011).
f. Ansietas dan stres
Ansietas sering kali menyertai nyeri, ancaman dari seseorang yang tidak
diketahui dan ketidakmampuan mengontrol nyeri atau 8 peristiwa yang
menyertai nyeri seringkali memperburuk persepsi nyeri. Keletihan juga
mengurangi kemampuan koping seseorang. Sehingga meningkatkan persepsi
nyeri. Apabila nyeri mengganggu tidur, keletihan dan ketegangan otot
seringkali terjadi dan meningkatkan nyeri (Kozier, 2011:699)

4. Klasifikasi Luka
Luka adalah kerusakan keutuhan jaringan biologis, meliputi kulit, selaput
lendir, dan jaringan organ. Berbagai jenis trauma dapat menyebabkan ini, dan
sangat penting untuk memastikan luka dibersihkan dan dibalut dengan benar untuk
membatasi penyebaran infeksi dan cedera lebih lanjut. Untuk mengklasifikasikan
kebersihan dan kondisi luka dengan benar, definisi klasifikasi yang terdiri dari
empat kelas status luka :
a. Luka kelas 1 dianggap bersih (Clean Wounds). Mereka tidak terinfeksi, tidak
ada peradangan, dan prosedur tertutup. Metode pengeringan tertutup
diperlukan. Selain itu, luka ini tidak masuk ke saluran pernapasan, saluran
pencernaan, alat kelamin, atau saluran kemih.
b. Luka kelas 2 dianggap terkontaminasi bersih (Clean-contamined wounds).
Luka kelas 2 masuk ke saluran pernapasan, saluran pencernaan, genital, atau
saluran kemih. Namun, luka-luka ini telah memasuki saluran ini dalam kondisi
yang terkendali. Potensi kontaminasi, bisa terjadi walau tidak selalu, oleh flora
normal yang menyebabkan proses penyembuhan lebih lama.
c. Luka kelas 3 dianggap terkontaminasi (Contamined wounds). Ini adalah luka
baru dan terbuka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan
teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna.
d. Luka kelas 4 dianggap terinfeksi secara kotor (Dirty or infected wounds). Luka
ini biasanya disebabkan oleh luka traumatis yang tidak dirawat dengan benar.
Luka kelas 4 menunjukkan jaringan yang mengalami devitalisasi, dan paling
sering terjadi akibat mikroorganisme yang terdapat di visera berlubang atau
bidang operasi.
Jenis luka berdasarkan penyebabnya menurut (Al-Muqsith, 2015; Karina dan
Ismail, 2015):
a. Luka lecet (Vulnus Excoriasi )
Luka ini akibat gesekan dengan benda keras misalnya terjatuh dari motor
sehingga terjadi gesekan antara anggota tubuh dengan aspal. Dimensi luka
yaitu hanya memiliki panjang dan lebar, namun biasanya mengenai ujung-
ujung syaraf nyeri di kulit sehingga derajat nyeri biasanya lebih tinggi
dibanding luka robek.
b. Luka sayat (Vulnus scissum)
Jenis luka ini disebabkan oleh sayatan benda tajam misalnya logam atau kayu.
Luka yang dihasilkan tipis dan kecil, yang juga bisa disebabkan karena di
sengaja dalam proses pengobatan
c. Luka robek atau parut (Vulnus laseratum)
Luka jenis ini biasa karena benda keras yang merusak permukaan kulit
misalnya terjatuh, terkena ranting pohon, atau terkena batu sehingga
menimbulkan robekan pada kulit. Dimensi luka panjang, lebar dan dalam.
d. Luka tusuk (Vulnus punctum)
Luka terjadi akibat tusukan benda tajam, berupa luka kecil dan dalam. Pada
luka ini perlu diwaspadai adanya bakteri clostridium tetani benda tajam/logam
yang menyebabkan luka.
e. Luka gigitan (Vulnus morsum)
Luka jenis ini disebabkan gigitan gigi, baik itu oleh manusia ataupun binatang
seperti serangga, ular, dan binatang buas. Perlu diwaspadai luka akibat gigitan
dari ular berbisa yang berbahaya.
f. Luka bakar (Vulnus combustion)
Luka atau kerusakan jaringan yang timbul karena suhu tinggi. Penanganan
jenis luka ini didasarka pada empat stadium luka dan prosentase permukaan
tubuh yang terbakar.
Berdasarkan onset terjadinya luka, luka diklasifikasikan menjadi:
a. Luka akut : disebabkan oleh trauma atau pembedahan. Waktu penyembuhan
relatif cepat, dengan penyembuhan secara primer.
b. Luka kronis : luka kronis didefinisikan sebagai luka yang belum sembuh
setelah 3 bulan. Sering disebabkan oleh luka bakar luas, gangguan sirkulasi,
tekanan yang berlangsung lama (pressure ulcers/ ulkus dekubitus), ulkus
diabetik dan keganasan. Waktu penyembuhan cenderung lebih lama, risiko
terinfeksi lebih besar.

5. Fisiologi Penutupan Luka

Proses penyembuhan luka merupakan proses yang secara normal akan terjadi
kepada setiap individu yang mengalami luka. Artinya secara alami tubuh yang sehat
mempunyai kemampuan untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Setiap terjadi
luka, secara alami mekanisme tubuh akan mengupayakan pengembalian komponen
jaringan yang rusak dengan membentuk struktur baru dan fungsional yang sama
dengan keadaan sebelumnya.
1. Fase inflamasi

Gambar 8: Fase inflamasi


Sumber: Wiley & Sons, 2013
Fase inflamasi hanya berlansung selama 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi
vasodilatasi. Fase ini merupakan respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat
perlukaan yang menyebabkan rusaknya jaringan lunak. Dalam fase ini
pendarahan akan di hentikan dan area luka akan dibersihkan dari benda asing,
sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan proses penyembuhan. Pada fase
ini akan berperan pletelet yang berfungsi hemostasis, dan lekosit serta makrofag
yang mengambil fungsi fagositosis. Tercapainya fase inflamasi dapat di tandai
dengan adanya eritema, hangat pada kulit, edema dan rasa sakit yang berlansung
sampai hari ke-3 atau hari ke-4.
2. Fase proliferasi atau epitelisasi

Gambar 9: Fase proliferasi


Sumber: Maryunani, 2015

Fase ini merupakan lanjutan dari fase inflamasi. Dalam fase proliferasi terjadi
perbaikan dan penyembuhan luka yang ditandai dengan proliferasi sel. Yang
berperan penting dalam fase ini adalah fibroblas yang bertanggung jawab pada
persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama
proses rekonstruksi jaringan. Selama proses ini berlansung, terjadi proses
granulasi dimana sejumlah sel dan pembuluh darah baru tertanam di dalam
jaringan baru. Selanjutnya dalam fase ini juga terjadi proses epitelisasi, dimana
fibroblas mengeluarkan keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam
stimulasi mitosis sel epidermal.
3. Fase maturasi atau remodelling

Gambar 10: Fase maturasi atau remodelling


Sumber: Sumber: Wiley & Sons, 2013

Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah terjadi luka dan berakhir sampai
kurang lebih 12 bulan. Dalam fase ini terjadi penyempurnaan terbentuknya
jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang lebih kuat dan bermutu.
Sintesa kolagen yang telah dimulai pada fase proliferasi akan dilanjutkan pada
fase maturasi. Kecuali pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan
kolagen oleh enzim kolagenase. Penyembuhan akan tercapai secara optimal jika
terjadi keseimbangan antara kolagen yang di produksi dengan kolagen yang
dipecahkan Kelebihan kolagen pada fase ini akan menyebabkan terjadinya
penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar. Sedangkan produksi kolagen
yang terlalu sedikit juga dapat mengakibatkan turunnya kekuatan jaringan parut
sehingga luka akan selalu terbuka. Dalam kenyataannya, fase-fase tersebut
saling tumpang tindih. Durasi setiap fase dan waktu untuk penyembuhan luka
secara sempurna tergantung pada beberapa faktor. Luka harus segera diobati
agar dapat mencegah infeksi dan trauma lebih lanjut serta memberikan
lingkungan yang optimal bagi penyembuhan luka.

Hemostasis (Pembekuan Darah)


Hemostasis adalah penghentian perdarahan dari suatu pembuluh darah yang rusak
yaitu, penghentian hemoragia (hemo berarti "darah"; stasis berarti
"mempertahankan"). Untuk terjadinya perdarahan dari suatu pembuluh, dinding
pembuluh harus mengalami kerusakan dan tekanan di bagian dalam pembuluh
harus lebih besar daripada tekanan di luarnya untuk memaksa darah keluar dari
kerusakan tersebut.
Kapiler kecil, arteriol, dan venula sering pecah oleh trauma ringan dalam
kehidupan sehari-hari; trauma-trauma semacam ini adalah penyebab tersering
perdarahan meskipun kita sering bahkan tidak menyadari bahwa telah terjadi
kerusakan. Mekanisme hemostatik bawaan tubuh secara normal sudah memadai
untuk
menambal kerusakan dan menghentikan pengeluaran darah dari pembuluh
mikrosirkulasi halus ini.
Perdarahan dari pembuluh sedang hingga besar, yang jauh lebih jarang terjadi,
biasanya tidak dapat dihentikan oleh mekanisme hemostatik tubuh saja. Perdarahan
dari arteri yang terpotong Iebih deras dan karenanya Iebih berbahaya daripada
perdarahan vena, karena tekanan yang mendorong keluar jauh lebih besar di arteri
(yaitu, tekanan darah arteri jauh lebih besar daripada tekanan darah vena). Tindakan
pertolongan pertama untuk arteri yang terputus mencakup pemberian tekanan
eksternal pada luka yang lebih besar daripada tekanan arteri untuk menghentikan
perdarahan sementara hingga pembuluh yang robek dapat ditutup dengan
pembedahan.
Perdarahan dari vena yang robek sering dapat dihentikan hanya dengan
mengangkat bagian tubuh yang berdarah untuk mengurangi efek gravitasi pada
tekanan di vena. Jika penurunan tekanan vena tersebut belum cukup untuk
menghentikan perdarahan maka tekanan eksternal ringan biasanya memadai.
Hemostasis melibatkan tiga langkah utama: (1) spasme vaskular, (2)
pembentukan sumbat trombosit, dan (3) koagulasi darah (pembentukan bekuan
darah). Trombosit memiliki peranan kunci dalam hemostasis. Keping darah
ini jelas berperan besar dalam membentuk sumbat trombosit, tetapi juga memberi
kontribusi signifikan untuk dua langkah lainnya.
1. Spasme Vaskular mengurangi aliran darah melalui pembuluh yang cedera
Pembuluh darah yang tersayat atau robek akan segera berkonstriksi.
Mekanisme yang mendasari hal ini belum jelas, tetapi diperkirakan merupakan
suatu respons instrinsik yang dipicu oleh suatu zat parakrin yang dilepaskan
secara lokal dari lapisan endotel pembuluh yang cedera (lihat h. 123).
Konstriksi ini, atau spasme vaskular, memperlambat aliran darah melalui
kerusakan dan memperkecil kehilangan darah. Permukaan-permukaan endotel
yang saling berhadapan juga saling menekan oleh spasme vaskular awal ini
sehingga permukaan tersebut menjadi lekat satu sama lain dan semakin
menambal pembuluh yang rusak. Tindakan-tindakan fisik ini tidak cukup
untuk mencegah secara sempurna pengeluaran darah lebih lanjut, tetapi dapat
meminimalkan aliran darah yang melalui pembuluh yang robek hingga
tindakan hemostatik lain dapat benar-benar menyumbat lubang tersebut.
2. Trombosit menggumpal untuk membentuk sumbat di bagian pembuluh
yang terpotong atau robek
Trombosit dalam keadaan normal tidak melekat ke permukaan endotel
pembuluh darah yang licin tetapi mereka melekat ke pembuluh darah yang
rusak. Ketika permukaan endotel terganggu karena cedera pada pembuluh
darah, faktor von Willebrand (vWF), suatu protein plasma yang disekresikan
oleh megakariosit, trombosit, dan sel endotel serta selalu ada di plasma,
melekat ke kolagen yang terpajan. Kolagen adalah protein fibrosa di jaringan
ikat di bawah lapisan endotel. Faktor von Willebrand memiliki
tempat perlekatan yang merupakan tempat melekatnya trombosit yang
bergerak cepat melalui reseptor permukaan-selnya yang spesifik bagi protein
plasma ini. Karena itu, faktor vWF berfungsi sebagai jembatan antara
trombosit dan pembuluh darah yang cedera. Perlekatan ini mencegah
trombosit untuk tersapu oleh sirkulasi. Lapisan trombosit yang tersumbat ini
membentuk dasar dari sumbatan trombosit hemostatik pada tempat yang
mengalami kerusakan. Kolagen mengaktifkan ikatan trombosit. Pada keadaan
normal trombosit berbentuk seperti cakram dan memiliki permukaan yang
halus tetapi trombosit yang teraktivasi dengan cepat mengatur elemen
sitoskeletal aktin mereka untuk membentuk prosesus seperti paku, yang
membantunya melekat ke kolagen dan trombosit lainnya. Trombosit yang
teraktivasi juga melepaskan beberapa senyawa kimia yang penting dari
granula simpanan mereka. Di antara senyawa-senyawa kimia ini adalah
adenosin difosfat (AtP) yang menyebabkan permukaan trombosit darah yang
terdapat di sekitar mereka menjadi lekat sehingga trombosit tersebut melekat
ke lapis pertama gumpalan trombosit dan teraktivasi.Trombosit-trombosit
yang baru beragregasi in, memelepaskan lebih banyak AP yang menyebabkan
semakin banyak trombosit menumpuk, dan seterusnya; sehingga di tempat
kerusakan cepat terbentuk sumbat trombosit melalui mekanisme umpan-balik
positif (Gambar 11-11). Proses agregasi ini diperkuat oleh pembentukan
parakrin yang serupa prostaglandin yang distimulasi oleh AtP, tromboksan A2,
dari komponen membran plasma trombosit. Tromboksan A2 merangsang
agregasi trombosit secara langsung dan selanjutnya meningkatkannya secara
tidak langsung dengan memicu pelepasan lebih banyak AtP dari granula
trombosit. Karena itu, pembentukan sumbat trombosit melibatkan tiga
kejadian adhesi, aktivasi, dan agregasi yang berurutan dan saling terintegrasi.
Karena sifat agregasi trombosit yang terus berlanjut, mengapa sumbat
trombosit tidak terus terbentuk dan meluas ke permukaan pembuluh darah
normal di sekitarnya? Alasan utamanya adalah bahwa ADP yang dikeluarkan
oleh trombosit aktif merangsang pelepasan prostasiklin dan nitrat oksida dari
endotel normal di dekatnya. Kedua bahan kimia ini menghambat agregasi
trombosit. Karena itu, sumbat trombosit bersifat terbatas pada kerusakan dan
tidak menyebar ke jaringan vaskular sekitar yang tidak rusak.
Sumbat trombosit tidak saja secara fisik menambal kerusakan pembuluh,
tetapi juga melaksanakan tiga fungsi penting. (1) Kompleks aktin-miosin di
dalam trombosit yang membentuk sumbat tersebut berkontraksi untuk
memadatkan dan memperkuat sumbat yang semula longgar. (2) Sumbat
trombosit melepaskan beberapa vasokonstriktor kuat yang memicu konstriksi
kuat pembuluh yang bersangkutan untuk memperkuat vasospasme awal. (3)
Sumbat trombosit membebaskan bahan-bahan kimia lain yang meningkatkan
koagulasi darah, yaitu langkah berikut pada hemostasis. Meskipun mekanisme
pembentukan sumbat trombosit saja sering sudah cukup untuk menambal
robekan-robekan kecil di kapiler dan pembuluh halus lain yang terjadi berkali-
kali dalam sehari-hari, lubang yang lebih besar di pembuluh memerlukan
pembentukan bekuan darah agar perdarahan dapat dihentikan seluruhnya.
Ilmuwan terus menemukan fungsi trombosit lain selain menghalangi
kehilangan darah, seperti pelepasan faktor pertumbuhan untuk membantu
perbaikan jaringan yang rusak, menginduksi peradangan, berfungsi sebagai
detektor mikroorganisme penyebab penyakit, dan memacu pelepasan N T oleh
netrofil. Karena itu, trombosit bukan hanya semata mata " plester aliran darah."
3. Bekuan darah terjadi akibat terpicunya suatu reaksi berantai yang
melibatkan faktor-faktor pembekuan plasma
Koagulasi darah, atau pembekuan darah, adalah transformasi darah dari
cairan menjadi gel padat. Pembentukan bekuan di atas sumbat trombosit
memperkuat dan menopang sumbat, meningkatkan tambalan yang menutupi
kerusakan pembuluh. Selain itu, sewaktu darah di sekitar kerusakan pembuluh
memadat, darah tidak lagi dapat mengalir. Pembekuan darah adalah
mekanisme hemostatik tubuh yang paling kuat. Mekanisme ini diperlukan
untuk menghentikan perdarahan dari semua kecuali kerusakan-kerusakan
yang paling kecil.
Langkah terakhir dalam pembentukan bekuan adalah perubahan
fibrinogen, suatu protein plasma larut berukuran besar yang dihasilkan oleh
hati dan secara normal selalu ada di dalam plasma, menjadi fibrin, suatu
molekul tak-larut berben-tuk benang. Perubahan menjadi fibrin ini dikatalisis
oleh enzim trombin di tempat cedera. Molekul-molekul fibrin melekat ke
permukaan pembuluh yang rusak, membentuk jala longgar yang menjerat sel-
sel darah, termasuk agregat trombosit. Massa yang terbentuk, atau bekuan,
biasanya tampak merah karena banyaknya SDM yang terperangkap tetapi
bahan dasar bekuan dibentuk dari fibrin yang berasal dari plasma. Kecuali
trombosit, yang membantu perubahan fibrinogen menjadi fibrin, pembekuan
dapat berlangsung tanpa adanya sel-sel darah lain.
Jala fibrin awal ini relatif lemah karena untai-untai fibrin saling menjalin
secara longgar. Namun, dengan cepat terbentuk ikatan kimia antara untai-untai
fibrin yang berdekatan untuk memperkuat dan menstabilkan jala bekuan ini.
Proses pembentukan ikatan-silang ini dikatalisis oleh suatu faktor pembekuan
yang dikenal sebagai faktor XIII (fibrin-stabilizing factor) yang secara normal
terdapat dalam plasma dalam bentuk inaktif.
Fibrin adalah protein alami yang paling elastis yang pernah diteliti
ilmuwan. Secara rerata, serat fibrin dapat secara pasif diregangkan hingga 2,8
kali panjang asli mereka dan masih dapat kembali ke ukuran awal serta dapat
diregangkan hingga 4,3 kali panjang mereka sebelum akhirnya putus. Sifat
yang sangat elastis ini berkontribusi pada sifat regang bekuan darah yang
sangat kuat.

Gambar 11: Pembentukan sumbat trombosit


Sumber: Sherwood Introduction to Human Physiology
Regenerasi Sel Saraf
Berbeda dengan sistem saraf pusat, sistem saraf perifer memiliki kemampuan
untuk melakukan regenerasi, dengan demikian kerusakan sistem saraf perifer
terutama pada selsel saraf dengan akson yang bermielin akan mudah diperbaiki
sehingga fungsi organ yang diinervasinya akan kembali normal.
Tortora (2000, 405) menyatakan bahwa saat 24 sampai dengan 43 jam setelah
terjadinya luka, badan Nissle pada neuron yang aksonnya bennielin akan pecah
membentuk granul kecil dan menyebar ke seluruh badan akson, proses ini disebut
dengan kromatolisis yang biasanya dimulai antara badan Nissle dengan akson
hillock. Akibatnya badan sel saraf akan mengalami pembengkakan dan berukuran
maksimal antara l0 sampai dengan 20 hari setelah luka.
Antara 3 sampai dengan 5 hari kemudian di bagran distal akson yang
terbungkus neurolemma akan mengalami kerusakan dan berubah menjadi tali
gelombang yang ramping selanjutnya pecah menjadi fragmen-fragmen yang diikuti
dengan hancurnya lapisan myelin akson, proses ini disebut Wallerian degeneration.
Pada saat yang bersamaan terjadi proses fagositosis oleh makrofag terhadap
reruntuhan dari bagian yang mengalami degenerasi.

6. Tata Laksana luka

Tujuan dari peraawatan luka adalah untuk menghentikan perdarahan,


mencegah infeksi, menilai kerusakan yang terjadi pada struktur yang terkena dan
untuk menyembuhkan luka.
Evaluasi penatalaksanaan luka:
1. Anamnesis
Untuk menemukan cara penanganan dengan menanyakan bagaimana, dimana
dan kapan luka terjadi. Hal ini dilakukan untuk memperkirakan kemungkinan
terjadinya kontaminasi dan menentukan apakah luka akan ditutup secara
primer atau dibiarkan terbuka.
2. Pemeriksaan fisik
a. Lokasi
Penting sebagai petunjuk kemungkinan adanya cedera pada struktur yang
lebih dalam
b. Eksplorasi
Untuk menyingkirkan kemungkinan cedera pada struktur yang lebih dalam,
menemukan benda asing yang mungkin tertinggal pada luka serta
menemukan adanya jaringan yang telah mati.
c. Tindakan antiseptis
Pada luka tusuk, perlu dibersihkan lebih maksimal untuk mengeluarkan racun
atau mikroba yang mungkin terdapat pada luka. Daerah yang dibersihkan
harus lebih besar dari ukuran luka. Prinsip saat membersihkan kulit adalah
mulai dari tengah dan bekerja ke arah luar dengan pengusapan secara spiral,
dimana daerah yang telah dibersihkan tidak boleh diusap lagi menggunakan
kasa yang telah digunakan tersebut. Larutan antiseptik yang dianjurkan
adalah povidone lodine 10% atau klorheksidine glukomat 0,5%. Selanjutnya
bagian yang mengeluarkan darah ditekan dengan kasa steril atau kain yang
bersih untuk menghentikan pendarahan sebelum perawatan luka lebih lanjut.
3. Pembersihan luka
a. Irigasi sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk membuang jaringan mati
dan benda asing (debridement) sehingga mempercepat penyembuhan. Irigasi
dilakukan dengan menggunakan cairan garam fisiologis atau air bersih.
Lakukan secara sistematis dari lapisan superfisial ke lapisan yang lebih dalam
b. Hilangkan semua benda asing dan eksisi semua jaringan mati
c. Berikan antiseptik
d. Bila perlu tindakan ini dilakukan dengan pemberian anestesi lokal
3) Penutupan luka
Prinsip dalam menutup luka adalah mengupayakan kondisi lingkungan yang
baik pada luka sehingga proses penyembuhan berlangsung optimal. Fungsi
kulit adalah sebagai sarana pengatur pengupan cairan tubuh dan sebagai
barier terhadap invasi bakteri patogen. Pada luka fungsi ini menurun akibat
proses inflamasi. Sehingga, untuk membantu mengembalikan fungsi ini,
perlu dilakukan penutupan luka. Penutupan luka yang terbaik adalah dengan
kulit (skin graft, flap). Bila tidak memungkinkan maka sebagai alternatif
digunakan kassa.
4) Pemberian antibiotik atau ATS atau toksoid
Pada luka bersih tidak perlu diberikan antibiotik sedangkan pada luka
terkontaminasi atau kotor maka perlu diberikan antibiotik . Luka-luka yang
merupakan media yang baik bagi berkembangnya bakteri-bakteri anaerob
memerlukan pemberian ATS atau toksoid.

7. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pertama kali dimulai ketika kita melihat pasien. Dengan
melihat, kita bisa mengetahui jenis kelamin, tinggi, berat badan, ekspresi pasien,
respon pasien saat disapa, postur dan cara berjalan pasien.
Keadaan Umum
Amati keadaan kesehatan umum, tinggi, postur, dan perkembangan seksual
pasien. Ukurlah berat badan pasien. Perhatikan postur, aktivitas motorik, dan
ayunan langkah; pakaian, kerapian, dan higiene perorangan; dan adanya bau tubuh
atau bau napas. Perhatikan ekspresi wajah pasien dan catatlah sikap, afek, dan
reaksi terhadap orang dan benda di sekitarnya. Dengarlah cara pasien berbicara dan
perhatikan tingkat kewaspadaan atau kesadarannya. Seorang dokter dalam
mengamati keadaan umum pasien, harus mampu menilai hal berikut :
1. Dapat menilai apakah pasien dalam keadaan darurat medik atau tidak.
2. Keadaan gizi dan habitus.
3. Habitus : Atletikus → BB dan bentuk badan ideal;
4. Astenikus, → pasien yang kurus;
5. Piknikus → pasien yang gemuk
6. Keadaan gizi → kurang, cukup atau berlebih.
7. BB dan TB harus diukur sebelum pemeriksaan fisis dilanjutkan.
Indeks Masa Tubuh (Body Mass Index) :
BB ideal = IMT 18,5 – 25
BB kurang = IMT < 18,5
BB lebih = IMT > 25
Obesitas = IMT > 30
Pemeriksaan tanda vital:
a. Pemeriksaan Kesadaran
Pemeriksaan tingkat kesadaran berguna dalam menegakkan diagnosis
maupun menentukan prognosis penderita. Tingkat kesadaran menunjukkan
kewaspadaan atau reaksi seseorang dalam menanggapi rangsangan dari luar
yang ditangkap oleh panca indera. Sedangkan isi kesadaran berhubungan
dengan fungsi kortikal seperti membaca, menulis, bahasa, intelektual, dan
lain-lain. Tingkat kesadaran yang menurun biasanya diikuti dengan
gangguan isi kesadaran. Sedangkan gangguan isi kesadaran tidak selalu
diikuti dengan penurunan tingkat kesadaran.
Penurunan tingkat kesadaran di ukur dengan Glasgow Coma Scale
(GCS). Pemeriksaan GCS didasarkan pada pemeriksaan respon dari mata,
bicara dan motorik.

Gambar 12: Tabel nilai GCS


1) Kompos mentis: Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun
terhadap lingkungan. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dgn
baik
2) Apatis: Pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
3) Delirium: Penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik. Gaduh
gelisah, kacau, disorientasi, meronta-ronta.
4) Somnolen: Mengantuk yg masih pulih bila dirangsang. Tidur kembali
bila rangsangan berhenti.
5) Sopor (stupor): Keadaan mengantuk yg dalam. Dapat bangun dgn
rangsangan yg kuat. Tidak dapat memberi jawaban verbal yang baik
6) Koma: Penurunan kesadaran berat. Tidak ada gerakan spontan. Tidak
ada respons terhadap rangsangan nyeri
b. Tekanan darah
Tekanan darah adalah kekuatan darah ketika mendorong dinding arteri.
Tekanan darah tergantung pada luaran kardiak, volume darah yang diejeksi
oleh ventrikel permenit, dan tahanan pembuluh darah perifer.
Tekanan darah mempunyai dua komponen: sitolik dan diastolik.
Tekanan darah sistolik menggambarkan tekanan maksimum pada arteri
ketika kontraksi ventrikel kiri (atau sistol), dan diatur oleh volume stroke
(atau volume darah yang dipompa keluar pada setiap denyut jantung).
Tekanan darah diastolik adalah tekanan saat istirahat yaitu tekanan dari
darah antar kontraksi ventrikel. Karena diastol berlangsung lebih lama
daripada sistol, tekanan darah rerata setara dengan 40% tekanan sistolik
ditambah 60% tekanan diastolik.

Gambar 13: Tabel tekanan darah JNCVII


Teknik pemeriksaan tekanan darah:

Gambar 14: Auskultasi suara korotkoff sistolik dan diastolik.


Tekanan darah diukur dengan menggunakan
sfigmometer(tensimeter). Pengukuran tekanan darah juga dibantu dengan
stetoskop untuk mendengarkan bunyi korotfkoff. Berikut ini cara
pengukuran tekanan darah:
1) Persiapan
Sebaiknya untuk mengukur tekanan darah pasien tidak merokok atau
minum-minuman berkafein selama kurang lebih 30 menitsebelum
pengukuran dan istirahat sedikitnya 5 menit sebelum pengukuran.
2) Lengan yang diperiksa tidak tertutup pakaian. Palpasi arteri brachialis
3) Atur posisi lengan sedemikan sehingga arteri brachialis pada fosa
antecubital terletak setinggi jantung (kira-kira sejajar dengan intercosta)
4) Letakkan manset di tengah arteri brachialis pada lengan kanan, sisi
bawah manset kurang lebih 2,5 cm diatas fosa antecubital. Lingkarkan
manset dengan tepat, posisikan lengan pasien sedikit flexi
5) Tentukan dahulu tekanan sistolik palpasi. Caranya, palpasi arteri radialis
dekat pergelangan tangan dengan satu jari sambil pompa manset sampai
denyut nadi arteri radialis menghilang. Baca berapa nilai tekanan ini
pada manometer. Itulah tekanan sistolik palpasi. Lalu kempiskan manset
6) Sekarang ukur tekanan darah. Letakkan bel stetoskop di atas arteri
brachialis. Kunci bagian pengeluaran udara. Pompa manset sampai
kurang lebih 30 mmhg diatas tekanan sistolik palpasi. Kemudian
kempiskan dengan membuka kunci pengeluaran udara.

Gambar 15: Pengunaan stetoskop pada pengukuran tekanan darah.

c. Frekuensi nadi/detak jantung


Ketika jantung berdenyut, jantung memompa darah melalui aorta dan
pembuluh darah perifer. Pemompaan ini menyebabkan darah menekan
dinding arteri, menciptakan gelombang tekanan seiring dengan denyut
jantung yang pada perifer terasa sebagai denyut/detak nadi.
Dengan meraba denyut nadi arteri, kita dapat menghitung frekuensi
detak jantung dan menentukan iramanya, menilai amplitudo, dan kontur
gelombang denyut nadi tersebut, dan terkadang mendeteksi obstruksi aliran
darah. Frekuensi jantung (Heart Rate). Umumnya digunakan denyut nadi
(pulsus) radialis untuk menentukan frekuensi jantung. Dengan permukaan
ventral jari telunjuk dan jari tengah tangan, tekan arteri radialis sampai
terasa pulsasi yang maksimal. jika iramanya teratur dan frekuensinya terasa
normal, hitung frekuensi denyut arteri radialis selama 15 detik dan
kemudian kalikan perhitungan ini dengan 4. Namun, jika kecepatannya
sangat tinggi atau rendah yang abnormal, hitung frekuensi denyut nadi arteri
tersebut selama 60 detik.
Pada seseorang, nadi dipengaruhi beberapa hal yaitu aktivitas badan,
psikis penderita, dalam menghadapi suatu yang berdebar-debar, pulsus
frequen, dapat karena penyakit cardial/extra cardial suhu, dan obat
(adrenalin, noradrenalin, kopi). Kenaikan suhu badan naik satu derajat maka
naik 10 denyut per menit (contoh bila suhu 38ºC maka nadi 80, suhu 39ºC
maka nadi 90).
Usia Kecepatan jantung (BPM)
Bayi baru lahir (newborn) 70‐170
1‐6 tahun 75‐160
6‐12 tahun 80‐120
Dewasa 60‐100
Usia Lanjut 60‐100
Atlet yang terkondisi baik 50‐100
Tabel 1: Nilai frekuensi nadi normal

d. Frekuensi pernapasan (Respiration Rate)


Jumlah frekuensi pernafasan dapat diukur dengan cara inpeksi dan
auskultasi. Hitung jumlah frekuensi pernapasan selama 1 menit.
Kecepatan pernafasan normal bervariasi tergantung usia.
Usia Pernafasan (rpm)
2‐6 tahun 21‐30
6‐10 tahun 20‐26
12‐14 tahun 18‐22
Dewasa 12‐20
Lanjut usia 12‐20
Tabel 2: Nilai frekuensi pernafasan normal
Respirasi normal disebut eupnea (laki-laki : 12 – 20 x/menit),
perempuan : 16-20 x/menit)
1) RR > 24 x/menit : Takipnea
2) RR < 10 x/menit : Bradipnea
e. Suhu tubuh
Untuk menjaga fungsi metabolisme normal, suhu tubuh secara umum
diatur oleh hipotalamus agar selalu berada pada rentang suhu yang sempit.
Rentang suhu tubuh normal untuk dewasa adalah 36,4-37,2°C (97,5–
99,0°F). Suhu tubuh normal dapat dipengaruhi oleh ritme biologis, hormon-
hormon, olahraga dan usia. Fluktuasi diurnal sekitar 1°C biasa terjadi,
dengan suhu terendah pada awal pagi hari dimana suhu dapat turun serendah
35,8°C (96,4°F) dan tertinggi pada akhir sore hari sampai menjelang malam,
suhu dapat meningkat hingga 37,3°C (99,1°F).

Tabel 3: Nilai suhu tubuh normal

Tabel 4: Perbedaan nilai suhu diberbagai tempat


Teknik Pemeriksaan:
Ukur suhu tubuh pasien dengan termometer badan. Sebelum mengukur
suhu tubuh pasien kibaskan termometer hingga ke nilai 35 °C atau di
bawahnya. Ada beberapa cara memeriksa suhu:
1) Suhu oral: Termometer dimasukkan di bawah lidah, anjurkan pasien
menutup kedua bibirnya dan tunggu selama 10 menit. Kemudian baca
termometer, masukkan kembali selama 1 menit dan baca kembali.
Normal 37 C. Sangat berfluktasi dari dini hari sampai petang/ malam
hari.
2) Suhu rektal: Termometer dimasukkan ke dalam anus selama 2-5 menit,
sebelumnya olesi termometer dengan pelicin. Hasil biasanya lebih
tinggi daripada suhu oral sekitar 0,4 – 0,5 C.
3) Suhu axila: Termometer dimasukkan di axila kemudian lengan
menutupnya. Tunggu selama kurang lebih 15 menit. Hasil biasanya
lebih rendah dibanding suhu oral yakni sekitar 1 C.
f. Visual Analog Scale (VAS)
VAS adalah suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri yang terus
menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada ujungnya. Skala yang
terdapat pada VAS bernama skala Likert, memiliki garis lurus dari mulai
nol sampai 10, atau dari nol sampai 100. Penggunaan skala dalam VAS
didukung oleh keterangan visual berupa gambar ekspresi rasa sedih. Skala
ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan
nyeri.
VAS memuat hanya satu pertanyaan yang dapat dijawab oleh
responden. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan
intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini
adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah
dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi
klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah
8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam
nyeri hebat.

Gambar 16: Visual Analogue Scale


Skala ini mudah digunakan bagi pemeriksa, efisien dan lebih mudah
dipahami oleh pasien. Klasifikasi berdasarkan intensitas nyeri yang dinilai
dengan Visual Analog Scale (VAS) adalah angka 0 berarti tidak nyeri dan
angka 10 berarti intensitas nyeri paling berat. Berdasarkan VAS, maka nyeri
dibagi atas:
Nyeri ringan dengan nilai VAS: <4 (1-3)
Nyeri sedang dengan nilai VAS: (4-7)
Nyeri berat dengan nialai VAS: >7 (8-10)
Persyaratan melakukan pengukuran nyeri dengan menggunakan skala VAS:
1) Penderita sadar atau tidak mengalami gangguan mental/kognitif
sehingga dapat berkomunikasi dengan fisioterapis
2) Penderita dapat melihat dengan jelas, sehingga penderita dapat
menunjuk titik pada skala VAS berkaitan dengan kualitas nyeri yang
dirasakannya.
3) Penderita kooperatif, sehingga pengukuran nyeri dapat terlaksana.
Catatan: anak kecil, meskipun sadar, namun tidak kooperatif untuk
berkomunikasi.
Agar pengukuran dapat berjalan sebagai mestinya, sebelum dilakukan
pengukuran pasien diberi penjelasan mengenai pengukuran yang akan
dilakukan beserta prosedurnya. Kemudian pasien diminta untuk memberi
tanda pada garis sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakan pasien.

8. Pemeriksaan Lokalis

Pemeriksaan lokalis adalah pemeriksaan yang terbatas pada daerah tertentu


atau pada satu titik atau lebih.
a. Inspeksi: Melakukan pengamatan pada permukaan pergelangan kaki dan kaki
dan perhatikan jika terdapat deformitas, nodul, pembangkakan, perubahan
warna pada kulit, tanda-tanda deformitas, dan posisi postur kaku pasien.
b. Palpasi: Melakukan palpasi dengan kedua jempol pada tempat-tempat tertentu:
1) Aspek anterior masing-masing sendi pergelangan kaki (perhatikan ada
tidaknya penebalan pembengkakan atau nyeri
2) Palpasi seluruh tendon Achilles (perhatikan ada tidaknya nodul dan nyeri
tekan)
3) Palpasi khususnya kalkaneus posterior dan inferior, serta fasia plantaris
untuk mencari ada tidaknya nyeri tekan.

Gambar 17: Palpasi kalkaneus


4) Palpasi untuk mencari ada tidaknya nyeri tekan di maleolus medial dan
lateral, khususnya pada kasus trauma.
5) Palpasi sendi-sendi metatarsofalang untuk mencari ada tidaknya nyeri
tekan. Tekan kaki depan di antara jempol dan jari-jari Anda. Berikan
tekanan yang tepat proksimal dari kaput-kaput metatarsal pertama dan
kelima.

Gambar 18: Palpasi sendi metatarsofalang


6) Palpasi kaput-kaput kelima tulang metatarsal dan alur di antara mereka
dengan jempol dan telu- njuk Anda. Letakkan jempol di punggung kaki
dan telunjuk Anda di permukaan telapak kaki.

Gambar 19: Palpasi kaput kelima tulang metatarsal


c. Rentang gerak: Melakukan pemeriksaan fleksi dan ekstensi di sendi tibiotalus
(pergelangan kaki) Di kaki, periksa inversi dan eversi di sendi subtalus dan
tarsal transversus.

Gambar 20 : Rentang Gerak pada Kaki


d. Perasat
1) Sendi Pergelangan Kaki (Tibiotalus): melakukan dorsofleksi dan plantar
fleksi kaki di pergelangan kaki.
2) Sendi Subtalus (Talokalkaneus): menstabilkan pergelangan kaki dengan
satu tangan, pegang tumit dengan tangan yang lain, lalu lakukan inversi
dan eversi kaki dengan memutar tumit ke dalam dan ke luar.

Gambar 21 : Perasat Sendi Subtalus

3) Sendi Tarsal Transversus: menstabilkan tumit dan lakukan inversi dan


eversi kaki depan.
Gambar 22 : Perasat Sendi Tarsal Transversus
4) Sendi Metatarsofalang: menggerakkan falang proksimal masing-masing
jari kaki ke atas dan ke bawah.

Penilaian terhadap Luka


Assessment didefinisikan sebagai kegiatan untuk mendapatkan
informasi, yang diperoleh dengan cara mengamati, memberikan pertanyaan
serta melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang. Informasi tersebut
berguna untuk menegakkan diagnosis kerja dan merencanakan program
penatalaksanaan selanjutnya. Dua hal penting yang pertama kali harus
dinilai oleh dokter dalam memberikan penatalaksanaan luka adalah
a. Menilai adanya kegawatan, yaitu apakah terdapat kondisi yang
membahayakan jiwa pasien (misalnya luka terbuka di dada atau
abdomen yang kemungkinan dapat merusak struktur penting di
bawahnya, luka dengan perdarahan arteri yang hebat, luka di leher yang
dapat mengakibatkan obstruksi pernafasan dan lain-lain).
b. Menilai apakah luka akut atau kronis.

Penilaian terhadap Pasien


Aspek anamnesis dalam penilaian luka bertujuan untuk mengetahui
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Anamnesis
meliputi:
a. Riwayat luka :
1) Mekanisme terjadinya luka
2) Waktu terjadinya luka: setelah 3 jam (golden periode < 6 jam),
kolonisasi bakteri dalam lukan akan meningkatkan tajam.
3) Di mana pasien mendapatkan luka tersebut.
4) Bila saat pasien datang luka telah dibersihkan tetap harus
ditanyakan adakah kontaminan dalam luka, misalnya logam,
kotoran hewan atau karat. Adanya kontaminan dalam luka
meningkatkan risiko terjadinya infeksi dan tetanus. –
5) Perdarahan dan jumlah darah yang keluar
b. Keluhan yang terjadi saat ini
1) Rasa nyeri pada luka kronis dirasakan sebagai nyeri hebat,
persisten dan mengakibatkan pasien sulit tidur, gangguan emosi,
rendah diri serta depresi.
2) Gejala infeksi : kemerahan, bengkak, demam, nyeri.
3) Gangguan fungsi motorik atau sensorik : menunjukkan
kemungkinan terjadinya kerusakan otot, ligamentum, tendo atau
saraf.
c. Riwayat Kesehatan dan Penyakit Pasien secara Keseluruhan:
1) Umur
2) Dehidrasi : gangguan keseimbangan elektrolit mempengaruhi
fungsi jantung, ginjal, metabolisme seluler, oksegenasi jaringan
dan fungsi endokrin.
3) Status psikologis pasien berpengaruh pada pemilihan regimen
terapi yang tepat bagi pasien tersebut.Pemilihan regimen terapi
dengan mempertimbangkan status psikologis pasien
mempengaruhi kepatuhan pasien terhadap terapi yang ditetapkan
dokter.
4) Status nutrisi berperan penting dalam proses penyembuhan luka .
Kekurangan salah satu atau beberapa nutrient mengakibatkan
penyembuhan luka terhenti pada tahapan tertentu.
5) Berat badan pada pasien dengan obesitas, adanya lapisan lemak
yang tebal di sekitar luka dapat mengganggu penutupan
luka.Selain itu, vaskularisasi jaringan adiposa tidak optimal
sehingga jaringan adiposa merupakan salah satu jenis jaringan
yang paling rentan terhadap trauma dan infeksi.
6) Vaskularisasi ke area luka yaitu penyembuhan luka di kulit paling
optimal di area wajah dan leher karena merupakan area dengan
vaskularisasi paling baik.Sebaliknya dengan
ekstremitas.Kondisi-kondisi yang mengakibatkan gangguan
vaskularisasi ke area luka, misalnya diabetes atau arteriosklerosis,
dapat memperlambat atau bahkan menghentikan penyembuhan
luka.
7) Respons imun seperti adanya penyakit kronis, seperti penyakit
endokrin, keganasan, inflamasi dan infeksi lokal serta penyakit
autoimmun.
8) Radioterapi berupa riwayat alergi terhadap makanan, obat
(anestetik, analgetik, antibiotik, desinfektan, komponen benang,
lateks/plester dan lain-lain).
d. Riwayat Penanganan Luka yang Sudah Diperoleh
1) Status vaksinasi tetanus
2) Penutupan luka seperti jahitan, balutan
3) Penggunaan ramuan-ramuan topikal seperti salep, powder,
kompres, ramuan herbal dan lain-lain.
4) Penggunaan antibiotika.
e. Konsekuensi Luka dan Bekas Luka Bagi Pasien
1) Kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas sehari-hari
2) Pekerjaan pasien.
3) Aspek kosmetik.
4) Kondisi psikologis pasien.

Pemeriksaan fisik (pada pasien luka di kaki)


a. Pemeriksaan tanda vital
b. Pemeriksaan fisik umum bertujuan mencari tanda adanya faktor komorbid,
seperti :
1) Inspeksi mukosa konjungtiva dan bibir (mengetahui kemungkinan
anemia).
2) Menilai status gizi (mengetahui adanya malnutrisi atau obesitas).
3) Pemeriksaan neurologi (reflex dan sensasi – mengetahui kemungkinan
neuropati).
4) Pemeriksaan kardiovaskuler (menilai oksigenasi jaringan dan
kemungkinan adanya penyakit vaskuler perifer).
c. Penilaian adanya infeksi
1) Gejala dan tanda umum : demam, malaise, limfadenopati regional
2) Gejala dan tanda lokal : edema, eritema, rasa nyeri, peningkatan suhu
lokal, gangguan fungsi.
d. Penilaian terhadap terjadinya kerusakan struktur di bawah luka (pembuluh
darah, saraf, ligamentum, otot, tulang)
1) Pembuluh darah :
a) Cek pengisian kapiler : adakah pucat atau sianosis, apakah suhu area
di distal luka teraba hangat.
b) Cek pulsasi arteri di distal luka.
c) Jika terdapat perdarahan, dinilai apakah perdarahan berasal dari
kapiler, vena atau arteri. Dilakukan penanganan sesuai dengan
sumber perdarahan.

Tabel 5: Perbedaan Perdarahan Kapiler, Vena dan Arteri (Sumber:


2) Saraf:
a) Lakukan penilaian status motorik (kekuatan otot, gerakan) dan
fungsi sensorik di distal luka.
b) Penilaian status sensorik harus selalu dilakukan sebelum tindakan
infiltrasi anestesi.
3) Otot dan tendo:
a) Kerusakan tendo dapat dinilai dengan inspeksi, akan tetapi tetap
harus dilakukan penilaian terhadap range of motion dan kekuatan
dari tiap otot dan tendo di sekitar luka.
4) Tulang:
a) Dinilai adakah fraktur (terbuka atau tertutup) dan dislokasi.
e. Penilaian terhadap Luka
1) Jenis Luka
2) Tahapan Penyembuhan Luka
3) Ukuran Luka
VIII. Kerangka Konsep
IX. Kesimpulan

Nadia, 19 tahun mengalami nyeri superfisial somatik akut akibat vulnus punctum
di regio plantar pedis sinistra.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Muqsith, AM, 2015. Luka (Vulnus). Fakultas Kedokteran, Universitas


Malikussaleh.

Ariningrum Dian, Subandono Jarot. 2018. Buku Manual Keterampilan Klinik


Topik Manajemen Luka.Surakarta

Ariningrum, D., dkk. 2018. Buku Pedoman Keterampilan Klinis Manajemen Luka.
Solo: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Bickley L.S. dan Szilagyi. P.G. 2007. Bates' Guide to Physical Examination and
History Taking.11th edition. Lippincott Williams & Wilkin’s

Bickley, Lynn S. 2013. Guide to Physical Examination and History Taking


Eleventh Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Ganong, F. K., 2011. Barret, Kim E. 24th ed. New York: McGraw Hill Medical.

Guyton A.C, dan Hall, J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Penterjemah: Ermita I, Ibrahim I. Singapura: Elsevier

Guyton, A. C., 2011. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 12th ed.
Philadelphia: Elsevier.

Irfanuddin. 2008. Fungsi Tubuh Manusia. Penerbit FK Unsri: Palembang.

Kanji S1, Das H2. Advances of Stem Cell Therapeutics in Cutaneous Wound
Healing and Regeneration Mediators Inflamm. 2017;2017:5217967. doi:
10.1155/2017/5217967. Epub 2017 Oct 29.

Kozier, Barbara, (2011). Fundamental of Nursing, Calofornia: Copyright by Addist


Asley Publishing Company

Kujath P, Michelsen A. Wounds - from physiology to wound dressing. Dtsch


Arztebl Int. 2008 Mar;105(13):239-48.

Maryunani, A. 2015. Perawatan Luka Modern (Modern Woundcare). IN MEDIA:


Jakarta.

Onyekwelu I, Yakkanti R, Protzer L, Pinkston CM, Tucker C, Seligson D. Surgical


Wound Classification and Surgical Site Infections in the Orthopaedic Patient. J Am
Acad Orthop Surg Glob Res Rev. 2017 Jun;1(3): e022.

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit


Ed.6. Jakarta: EGC.
Redhono, D., W. Purwanto, dan V.I. Budiastuti. 2012. History Taking Anamnesis.
Solo: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Robbins, Stanley L. 2002. Buku Ajar Patologi Edisi 4. Jakarta: EGC.

Sherwood, L. 2017. Fisiologi manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Sherwood, L., 2018. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 9 ed. Jakarta: EGC.

Silverthorn, D. U. (2014). Fisiologi Manusia (Sebuah Pendekatan Terintegrasi)


(Vol. Edisi 6). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC.

Sujeri, 2018. Penerapan Perawatan Luka dengan NaCl 0,9% pada Pasien Vulnus
Laceratum di Ruang Rawat Inap RSUD Empat Lawang Tahun 2018. Lubuklinggau:
Politeknik Kesehatan Palembang.

Tortora, Gerard J. 2002. Principles of Anatomy and Physiologt. New York: John
Willey & Sons.

Wiley, J., & Sons. 2013. Wound Healing and Skin Integrity. Oxford: USA.

Wilkins RG, Unverdorben M. Wound cleaning and wound healing: a concise


review. Adv Skin Wound Care. 2013 Apr;26(4):160-3.

Anda mungkin juga menyukai