Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA TN. I DENGAN ARTRITIS RHEUMATOID

NAMA : Nurrahma

NIM : P00620219051

TK : IIIB

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKKNIK KESEHATAN MATARAM

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


I. Konsep Penyakit
A. Definisi
Artritis Rheumatoid adalah penyakit inflamasi kronik dan sistematik yang
menyebabkan destruksi sendi dan deformasi serta menyebabkan disability. Penyakit ini
sering terjadi dalam 3-4 dekade ini pada lansia. Penyebab Artritis Rheumatoid tidak
diketahui, tetapi mungkin akibat penyakit autoimun dimulai dari interfalank proksimal
metakarpofalenkeal, pergelangan tangan dan pada tahap lanjut dapat mengenai lutut dan
paha (Fatimah, 2010). Artritis Rheumatoid adalah gangguan berupa kekakuan,
pembengkakan, nyeri, dan kemerahan pada daerah persendian dan jaringan sekitarnya
(Adellia, 2011).
Artritis Rheumatoid (RA) adalah suatu penyakit sistematik yang bersifat progresif,
yang cenderung menjadi kronik dan menyerang sendi serta jaringan lunak. Artritis
Rheumatoid adalah suatu penyakit autoimun dimana secara simetris persendian (biasanya
sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan sehingga menyebabkan terjadinya
pembengkakan, nyeri, dan sering kali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi .
Karakteristik artritis rheumatoid adalah cairan sendi (sinovitis inflamatior) yang persisten,
biasanya menyerang sendi-sendi perifer dengan penyebaran yang sistematis (Junaidi,
2013).
B. Anatomi Fisiologi Sendi
Sendi merupakan pertemuan dua tulang, tetapi tidak semua pertemuan tersebut
memungkinkan terjadinya pergerakan (Roger, 2002). Ada tiga jenis sendi pada manusia
dan gerakan yang dimungkinkannya yaitu : sendi fibrosa, kartilaginosa dan sinovial
(Roger, 2002).
1. Sendi fibrosa atau sendi mati terjadi bila batas dua buah tulang bertemu membentuk
cekungan yang akurat dan hanya dipusahkan oleh lapisan tipis jaringan fibrosa. Sendi
seperti ini terdapat di antara tulang-tulang kranium.
2. Sendi kartilaginosa atau sendi yang bergerak sedikit (sendi tulang rawan). Sendi tulang
rawan terjadi bila dua permukaan tulang dilapisis tulang rawan hialin dan dan
dihubungkan oleh sebuah bantalan fibrokartilago dan igamen yang tidak membentuk
sebuah kapsul sempurna disekeliling sendi tersebut. Sendi tersebut terletak diantara
badan-badan vertebra dan diantara manubrium dan badan sternum.
3. Sendi sinovial atau sendi yang bergerak bebas terdiri dari dua atau lebih tulang yang
ujung-ujungnya dilapisi tulang rawan hialin sendi. Terdapat rogga sendi yang
mengandung cairan sinovial, yang memberi nutrisi pada tulang rawan sendi yang tidak
mengandung pembuluh darah keseluruhan sendi tersebut dikelilingi kapsul fibrosa yang
dilapisi membran sinovial. Membran sinovial ini melapisi seluruh interior sendi,
kecuali ujung-ujung tulang, meniskus, dan diskus. Tulang-tulang sendi sinovial juga
dihubungkan oleh sejumlah ligamen dan sejumlah gerakan selalu bisa dihasilkan pada
sendi sinovial meskipun terbatas, misalnya gerak luncur (gliding) antara sendi-sendi
metakarpal.
Adapun jenis-jenis sendi Sinovial :
a. Sendi pelana (hinge) memungkinkan gerakan hanya pada satu arah, misalnya sendi
siku.
b. Sendi pivot memungkinkan putaran (rotasi), misalnya antara radius dan ulna pada
daerah siku dan antara vertebrata servikal I dan II yang memungkinkan gerakan
memutar pada pergelakan tangan dan kepala.
c. Sendi kondilar merupakan dua pasangan permukaan sendi yang memungkinkan
gerakan hanya pada satu arah, tetapi permukaan sendi bisa berada dalam satu kapsul
atau dalam kapsul yang berbeda, misalnya sendi lutut.
d. Sendi bola dan mangkuk (ball and socket) sendi ini dibentuk oleh sebuah kepala
hemisfer yang masuk ke dalam cekungan berbentuk mangkuk misalnya sendi
pinggul dan bahu.
4. Pergerakan sendi dibagi menjadi tiga macam yaitu :
a. Gerakan meluncur, seperti yang diimplikasikan namanya, tanpa gerakan menyudut
atau ,memutar.
b. Gerakan menyudut memnyebabkan peningkatan atau penurunan sudut diantara
tulang. Gerakan ini mencangkup fleksi ( membengkok), ekstensi ( lurus), abduksi
( menjauhi garis tengah) dan aduksi ( mendekati garis tengah).
c. Gerakan memutar memungkinkan rotasi internal ( memutar suatu bagian pada
porosnya mendekati garis tengah) dan rotasi eksterna ( menjauhi garis tengah).
Sirkumduksi adalah gerakan ekstremitas yang membentuk suatu lingkaran. Istilah
supinasi dan pronasi merujuk pada gerakan memutar telapak tangan keatas dan
kebawah.
C. Etiologi
Penyebab Artritis Rheumatoid belum diketahui dengan pasti. Namun kejadiannya
dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan
(Suarjana, 2009).
1. Genetik, berupa hubungan dengan HLH-DRBI dan faktor ini memiliki angka kepekaan
dan ekspresi penyakit sebesar 60% ( Suarjana, 2009).
2. Hormon sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Plasental kortikotraonim
Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan
substrat penting dalam sintesis esterogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan
proggesteron pada respon imun humoral ( TH2) dan menghambat respon imun selular
( TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progresteron
mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini ( Suarjana,
2009).
3. Faktor infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa seinduk semang (host) dan merubah
reakrifitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2009).
4. HeatShockProtein (HSP) Merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap
stress. Protein ini mengandung untaian ( sequence) asam amino homolog. Diduga
terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitok HSP
Pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa mencetuskan terjadinya reaksi silang
Limposit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis ( Suarjana,2009).
D. Patofisiologi
Pemahaman mengenai anatomi normal dan fisiologi persendian diartrodial atau
sivovyal merupakan kunci untuk memahami patofisiologi penyakit reumatik fungsi
persendian sinovial memiliki kisaran gerak tertentu kendati masing-masing orang tidak
mempunyai kisaran gerak yang sama pada sendi-sendi yang dapat digerakkan pada sendi
sinovial yang normal kartilago artikular membungkus ujung tulang pada sendi dan
menghasilkan perkumaan yang licin serta ulet untuk digerakkan. Membran sinovial
melapisi dinding dalam kapsula fibrosa dan mengsecresi cairan kedalam ruang antar
tulang. Fungsi dari cairan sinovial ini yaitu peredam kejut (syok absorber) dan pelumas
yang memungkinkan sendi untuk beregrak secara bebas dalam arah yang tepat sebaliknya,
pada penyakit rematik degeneratif dapat terjadi proses inflamasi yang sekunder sinovitis
ini biasanya lebih ringan serta menggambarkan suatu prose reaktif, dan lebih besar
kemungkinannya untuk terlihat penyakit lanjut, pelepasan ptoteoglikan tulang rawan yang
bebas dari kartilago artikuler yang mengalami degenerasi dapat berhubungan dengan
sinovitis kendati faktor-faktor imunologi dapat pula terlibat (Smelzer dan Bare, 2002).
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis RA dibagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi artikular dan
manifestasi ekstraartikular . Manifestasi artikular dibagi menjasi 2 kategori , yaitu gejala
inflamasi akibat aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel dan gejala akibat kerusakan
struktur persendian yang bersifat ireversibel. Sinovitis merupakan kelainan yan umumnya
bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pengobatan medikamentosa atau pengobatan
non surgical lainnya (Shah and Clair, 2012).
Gejala klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis adalah kaku pagi hari .
Beberapa aspek lain yang berhubungan dengan sendi yaitu (Suarjana, 2009) : Manifestasi
ektraartikular pada RA meliputi (Shah AND Clair, 2012):
1. Vertebrata Servikalis , merupakan segmen yang sering terlibat pada RA. Proses
imflamasi ini melibatkan persendian diatrodial yang tidak tampak oleh pemeriksaan .
Gejala ini umunya bermanifestasi sebagai kekakuan pada selutuh segmen leher disertai
dengan berkurangnya lingkup gerak sendi secara menyeluruh.
2. Gelang bahu , pergelangan gelang bahu akan mengurangi lingkup gerak sendi gelang
bahu.
3. Kaki dan pergelangan kaki, keterlibatan persendian metatarsop halangeal (MTP) ,
telonavikularis dan pergelangan kaki merupakan gambaran yang khas pada RA.
4. Tangan keterlibat persendian pergelangan tangan metacarphop halangeal (MCP) , dan
proximal inerphalangeal (PIP) hampir seluruh dijumpai pada RA .
Konstitusional, 100% terjadi pada pasien RA engan ditandai adanya penururnan berat
badan, demam >38,30C, kelelahan dan pada banyak kasus sering terjadi kaheksia
(malnutrisi) yang secara umum merefleksi derajat imflamasi dan biasanya mendahului
terjadinya gejala awal kerusakan sendi.
1. Nodul , merupakan level tertinggi pada penyakit ini dan terjadi 30-40% pada penderita.
2. Sjogren’ssyndrome , terjadi hanya 10% pasien dengan ditandai dengan adanya
keratoconjutivitas sicca (dry eyes).
3. Vaskulitis , hanya terjadi < 1% pada penderita dengan penyakit RA yang sudah kronis .
4) Limfoma, resikonya pada pasien RA mencapai 2-4 kali lebih besar dibandingkan
populasi umum. Hal ini disebabkan penyebaran B-cell lymphoma secara luas.
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penjungan ini tidak banyak berperan dalam diagnosis artritis rheumatoid,
pemeriksaan laboratorium mungkin dapat sedikit membantu untuk melihat prognosis
pasien, seperti:
1. Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) akan meningkat.
2. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid
terutama bila masih aktif . Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra , TB paru , sirosis
hepatis , penyakit kolagen dan sarkoidosis.
3. Leukosit normal atau meningkat sedikit
4. Trombosit meningat
5. Kadar albumin serum trurun dan globulin
6. Jumlah sel darah merah dsn komplremen C4 menurun
7. Protein C-reaktif dan antibodi antiukleus (ANA) biasanya positif
8. Laju sedimentasi eritrosit meningkat menunjukan inflamasi
9. Tes aglutinasi lateks menunjukan kadar igC atau igM (faktor mayor dari rheumatoid)
tinggi. Makin tinggi iter, maka makin berat penyakitnya
10. Pemerikasaan sinar-X dilakukan untuk membantupenegakkan diganosa dan
memantau perjalanan penyakit. Foto rontgen men unjukan erosi tulang yang khas
terjadi kemudian dalam perjala nan penyakit tersebut (Rosyidi, 2013).
G. Penatalaksaan
Tujuan utama dari program penatalkasanaan adalah perawatan sebagai berikut :
1. Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan.
2. Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari penderita.
3. Untuk mencegah dan atau memperbaiki defporitas yang terjadi pada sendi.
4. Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang lain.

a. Keperawatan
1) Pendidikan yang diberikan meliputi pengertian, patofisiologi, (perjalanan penyakit),
penyebab dan perkiraan perjalanan (prognosis) penyakit ini, semua komponen
program penatalkansanaan termasuk regimen obat yang kompleks, sumber bantuan
untuk mengatasi penyakit ini dan metode efektif tentang penatalksanaan yang
diberikan oleh tim kesehatan. Proses pendidikan ini harus di lakukan secara terus-
menerus.
2) Istirahat , Merupakan hal penting karena rematik biasanya disertai rasa lelah yang
hebat . Walaupun rasa lelah tersebut dapat saja timbul setiap hari , tetapi ada masa
dimana penderita merasa lebih baik atau lebih berat. Penderita harus membagi waktu
seharinya menjadi beberapa kali waktu beraktivitas yang diikuti oleh masa istirahat .
3) Latihan Fisik dan Fisioterapi, Latihan spesifik dapat bermanfaat dalam
memperthankan fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada
semua sendi yang sakit, sedikitnya dua kali sehat. Obat untuk menghilangkan nyeri
diperlukan sebelum memulai latihan. Kompres panas pada sendi yang sakit dan
bengkak mungkin dapat mengurangi nyeri. Latihan yang berlebihan dapat merusak
struktur penunjang sendi yang memang sudah lemah oleh adanya penyakit.
4) Gizi, Pemenuhan gizi pada atritis reumatoid adalah untuk mencapai dan
mempertahankan status gizi yang optimal serta mengurangi peradangan pada sendi.
Adapun syarat-syarat diet atritis reumatoid adalah protein cukup, lemak sedang,
cukup vitamin dan mineral, cairan disesuaikan dengan urine yang dikeluarkan setiap
hari. Rata-rata asupan cairan yang dianjurkan adalah 2 – 2 ½ L/hari, karbohidrat
dapat diberikan lebih banyak yaitu 65-75% dari kebutuhan energi total.
b. Medis
1) Penggunaan OAINS
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umunya diberikan pada penderita
AR sejak dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat
inflamasi yang sering kali dijumpai, walaupun belum terjadi proliferasi sinovial
yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek
analgetik yang sangat baik . OAINS terutama bekerja menghambat enzim
siklooxygenase sehingga menekan sintesi progtaglandin masih belum jelas apakah
hambatan enzim siklooxygenase juga berperan dalam hal ini , akan tetapi jelas
bahwa OAINS bekerja dengan cara:
(a)Memungkinkan stabilitas membran lisosomal.
(b)Menghambat pembesaran dan aktivitas mediator imflamasi (histamin, serotoin,
enzim lisosomal dan enzim lainnya).
(c)Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan
(d)Menghambat proliferasi seluler
(e)Menetralisirkan radikal oksigen
(f) Menekan rasa nyeri
2) Pengunaan DMARD
Terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada pengobatan penderita AR.
Cara pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat
dini, pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR
terjadi pada masa dini penyakit. Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan
dua atau lebih DMARD secara stimultan atau secara siklik seperti penggunaan obat-
obatan imunosuprensif pada pengobatan penyakit keganasan, digunakan untuk
melindungi rawan sendi dan tulang dari proses estruksi akibat artiris rheumatoid.
Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah:
(a)Klorokuin: Dosis anjurkan klorokuin fosfat 250mg/hari hidrosiklorokuin
400mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa penurunan
ketajaman penglihatan, dermatitis, makulopapular, nausea, diare, dan anemia
hemolitik.
(b)Sulfazalazine : Untuk pengobatan AR sulfazalazine dalam bentuk euteric coated
tabelet digunakan mulai dari dosis 1x500 mg/hari, untuk kemudian ditingkatkan
500mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4x500mg. Setelah remisi tercapai
dengan dosis 2g/hari, dosis diturunkan kembali sehingga mencapai 1g/hari untuk
digunakan dalam jangka panjang sampai remisi sempurna terjadi.
(c)Dpeicillamine : Dalam pengobatan AR. DP (Cuprimin 250mg Trolovol 300mg)
digunakan dalam dosis 1x250mg sampai 300mg/hari kemudian dosis ditingkatkan
setiap dua sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai
dosis total 4x250 sampai 300mg/hari.
3) Operasi
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat
alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan
ini pada pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis,
total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.
H. Pencegahan
1. Hindari kegiatan tersebut apabila sendi sudah terasa nyeri, sebaiknya berat badan
diturunkan.
2. Istirahat yang cukup.
3. Hindarilah makanan secara berlebihan fakor pencetus rematik. Makanan yang
mengandung banyak purin misalnya : daging, jeroan, babat, usus, hati.
I. Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik
yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti imflamasi non steroid (OAINS)
atau obat pengubah jalan penyakit DMARD (disease modifying antirheumatoid drugs)
yang menjadi faktor penyebab mortalitas utama pada artritis rheumatoid. Komplikasi saraf
yang terjadi tidak memberikan gambaran yang jelas, sehingga sukar dibedakan antara
akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat
ketidakstabilan vertebrata servikal dan neuropati siskemik vaskulitis (Mansjoer, 1999).
II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian terdiri dari pengumpulan informasi subjektif dan objektif (misalnya,
tanda vital, wawancara pasien/keluarga, pemeriksaan fisik) dan peninjauan informasi
riwayat pasien pada rekam medik. Perawat juga mengumpulkan informasi tentang
kekuatan (untuk mengidentifikasi peluang promosi kesehatan) dan resiko (area yang
perawat dapat mencegah atau potensi masalah yang dapat ditunda).. Pengkajian dapat
didasarkan pada teori keperawatan tertentu seperti yang dikembangkan oleh Sister Callista
Roy, Wanda Horta, atay Dorothea Orem, atau pada kerangka pengkajian standar seperti
Pola Kesehatan Fungsional Menurut Marjory Gordon. Kerangka ini menyediakan cara
mengategorikan data dalam jumlah besar ke dalam jumlah yang dikelola berdasarkan pola
atau kategori data terkait.
Dasar dari diagnosis keperawatan adalah penalaran klinis. Penalaran klinis
diperlukan untuk membedakan yang normal dari data abnormal, mengelompokkan data
terkait, menyadari data yang kurang, mengidentifikasi data yang tidak konsistensi, dan
membuat kesimpulan (Alfaro Lefebre,2004). Penilaian klinis adalah “interpretasi atau
kesimpulan tentang kebutuhan pasien, keprihatinan, atau masalah kesehatan, dan atau
keputusan untuk mengambil tindakan (Tanner,2006, hal.204). Isu-isu kunci, atau fokus,
mungkin jelas di awal penilaian (misalnya integritas kulit diubah, kesepian) dan
memungkinkan perawat untuk memulai proses diagnostik. Sebagai contoh, pasien dapat
melaporkan rasa sakit atau menunjukkan agitasi sambil memegang bagian tubuh. Perawat
akan mengenali ketidaknyamanan klien berdasarkan laporan klien atau prilaku sakit.
Perawat ahli dapat dengan cepat mengidentifikasi kelompok karateristik klinis dari data
pengkajian dan mulus maju ke diagnosis keperawatan. Perawat pemula mengambil proses
yang lebih berurutan dalam menentukan diagnosis keperawatan yang tepat.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penelitian klinis tentang respons manusia terhadap
gangguan kesehatan atau proses kehidupan, atau kerentanan respons dari seorang individu,
keluarga, kelompok, atau komunitas. Perawat mendiagnosis masalah kesehatan,
menyatakan resiko, dan kesiapan untuk promosi kesehatan. Diagnosis berfokus masalah
tidak boleh dipandang lebih penting darpada diagnosis dengan prioritas tertinggi bagi
pasien.
Diagnosa keperawatan adalah proses menganalisis data subjektif dan objektif yang
telah diperoleh pada tahap pengkajian untuk menegakkan diagnosa keperawatan. Diagnosa
keperawatan melibatkan proses berfikir kompleks tentang data yang dikumpulkan dari
klien, keluarga, rekam medis, dan pemberi pelayanan kesehatan yang lain.
Masalah yang lazim muncul (Nanda 2015):
a. Nyeri akut b.d perubahan patologis oleh arthritis rheumatoid
b. Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan tubuh, sendi, bengkok, deformitas.
c. Gangguan mobilitas fisik b.d kekakuan sendi
d. Defisit perawatan diri b.d gangguan muskuloskeletal (penurunan kekuatan otot)
e. Ansietas b.d kurangnya informasi tentang penyakit, penurunan produktifitas (status
kesehatan dan fungsi peran).
C. Perencanaan Keperawatan
Pembuatan kriteria hasil dan perencanaan tindakan adalah tahap ketiga dari proses
keperawatan. Setelah perawat mengkaji kondisi klien dan menetapkan diagnosis 1
keperawatan, perawat perlu membuat rencana tindakan dan tolok ukur yang akan
digunakan untuk mengevaluasi perkembangan klien (DeLaune dkk, 2002).
Perencanaan keperawatan sebaiknya memenuhi persyaratan berikut ini (DeLauner
dkk, 2002).
1. Bersifat individual, bergantung pada kebutuhan dan kondisi klien.
2. Bisa dikembangkan bersama-sama dengan klien, tenaga kesehatan lain, atau orang yang
ada di sekitar klien.
3. Harus terdokumentasi.
4. Berkelanjutan.
Perencanaan keperawatan didefinisikan sebagai “berbagai perawatan, berdasarkan
penilaian klinis dan pengetahuan, yang dilakukan oleh seorang perawat untuk
meningkatkan hasil klien atau pasien” (CNC, n.d). Perencanaan tindakan keperawatan
adalah tulisan yang dibuat dan digunakan sebagai panduan saat melakukan tindakan
keperawatan untuk mengatasi masalah yang muncul.

NO NO. DX Diagnosa NOC NIC


KEP Keperawatan
(SDKI)
1 D.0077 Nyeri akut b.d 1. Pain level, 1. Lakukan pengkajian
perubahan 2. Pain control, nyeri secara
patologis oleh 3. Comfort level komprehensif
arthritis Kriteria hasil: termasuk lokasi,
rheumatoid 1. Mampu mengontrol karakteristik, durasi,
nyeri (tahu penyebab frekuensi, kualitas
nyeri, mampu dan faktor prespitasi.
mennggunakan 2. Observasi reaksi
teknik nonverbal dari
nonfarmakologi ketidaknyamanan
untuk mengurangi 3. Kaji kultur yang
nyeri, mecari mempengaruhi
bantuan) respon nyeri
2. Melaporkan bahwa 4. Kurangi faktor
nyeri berkurang prespitasi nyeri
dengan menggunakan 5. Evaluasi pengalaman
manajemen nyeri nyeri masa lampau
3. Mampu mengenali 6. Pilih dan lakukan
nyeri (skala, penanganan nyeri
intensitas, frekuensi (farmakologi, non-
dan tanda nyeri) farmakologi dan inter
4. Menyatakan rasa personal)
nyaman setelah nyeri 7. Ajarkan teknik non
berkurang farmakologi
8. Tingkatlkan istirahat
9. Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
2 D.0083 Gangguan citra 1. Body image 1. Kaji secara verbal
tubuh b.d 2. Self esteem dan non verbal
perubahan Kriteria hasil: respon klien terhadap
penampilan 1. Body image positif tubuhnya
tubuh, sendi, 2. Mampu 2. Monitor frekuensi
bengkok, mengidentifikasi mengkritik dirinya
deformitas. kekuatan personal 3. Jelaskan tentang
3. Mendiskripsikan pengobatan,
secara faktual perawatan, kemajuan,
perubahan fungsi dan prognosis
tubuh penyakit
4. Mempertahankan 4. Dorong klien
interaksi sosial mengungkapkan
perasaannya
identifikasi arti
pengurangan melalui
alat bantu
5. Fasilitasi kontak
dengan individu lain
dalam kelompok
kecil
D.0054 Gangguan 1. Monitoring vital sign
mobilitas fisik sebelum atau sesudah
b.d kekakuan latihan dan lihat
sendi respon pasien saat
latihan
2. Konsultasikan
dengan terapi fisik
tentang rencana
ambulasi sesuai
dengan kebutuhan
3. Bantu klien untuk
menggunakan
tongkat saat berjalan
dan cegah terhadap
cedera
4. Ajarkan pasien atau
tenaga kesehatan lain
tentang teknik
ambulasi
5. Kaji kemampuan
pasien dalam
mobilisasi
6. Latih pasien dalam
pemenuhan
kebutuhan ADLs
secara mandirisesuai
kemampuan
7. Dampingi dan bantu
pasien saat mobilisasi
dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs
klien
8. Berikan alat bantu
jika klien
memerlukan
9. Ajarkan klien
bagaimana merubah
posisi dan berikan
bantuan jika
diperlukan
4 D.0109 Defisit 1. Perawatan diri 1. Pertimbangkan usia
perawatan diri ostomi untuk klien ketika
b.d gangguan eliminasi mempromosikan
muskuloskeletal 2. Perawatan diri aktivitas perawatan
(penurunan aktivitas kehidupan diri
kekuatan otot) sehari-hari (ADL) 2. Menentukan jumlah
mampu untuk dan jenis bantuan
melakukan aktivitas yang dibutuhkan
perawaratan fisik 3. Menyediakan
dan pribadi secara lingkungan yang
mandiri atau denfan terapeutik dengan
alat bantu memastikan hangat,
3. Perawatan diri santai, pengalaman
hygiene: mampu pribadi, dan personal
untuk 4. Tempat handuk,
mempertahankan sabun, deodoran, alat
kebersihan dan pencukur dan
penampilan yang aksesoris lainnya
rapi secara mandiri yang dibutuhkan di
dengan atau tanpa samping tempat tidur
alat bantu atau di kamar mandi
4. Perawatan diri 5. Memantau
hygiene oral: mampu pembersihan kuku,
mempertahankan menurut kemampuan
mobilitas yang perawatan diri klien
diperlukan untuk 6. Memantau integritas
kekamar mandi dan kulit klien
menyediakan 7. Menjaga kebersihan
perlengkapan mandi diri klien
5. Membersihkan dan 8. Memberikan bantuan
mengeringkan tubuh sampai pasien
6. Mengungkapkan sepenuhnya dapat
secara verbal mengasumsikan
kepuasan tentang perawatan diri
kebersihan tubuh
dan hygiene oral

5 D.0080 Ansietas b.d 1. Anxuety level 1. Gunakan pendekatan


kurangnya 2. Sosial anxiety level yang menenangkan
informasi Kriteria hasil: 1. Klien 2. Nyatakan dengan
tentang mampu jelas harapan terhadap
penyakit, mengidentifikasi dan pelaku pasien
penurunan mengungkapkan gejala 3. Jelaskan semua
produktifitas cemas 2. Vital sign prosedur dan apa
(status dalam batas normal 3. yang dirasakan
kesehatan dan Postur tubuh, ekspresi selama prosedur
fungsi peran) wajah, bahasa tubuh 4. Pahami perspektif
dan tingkat aktivitas pasien terhadap
menunjukkan situasi stres
berkurangnya 5. Temani pasien untuk
kecemasan memberikan
keamanan dan
mengurangi takut
6. Dengarkan dengan
penuh perhatian
7. Bantu pasien
mengenal situasi yang
menimbulkan
kecemasan
8. Dorong pasien untuk
mengungkapkan
perasaan, keatkutan,
persepsi
9. Instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi

D. Pelaksanaan Keperawatan
Implementasi adalah tahap keempat dari proses keperawatan. Tahap ini muncul jika
perencanaan yang dibuat diaplikasikan pada klien. Tindakan yang dilakukan mungkin
sama, mungkin juga berbeda dengan urutan yang yang telah dibuat pada perencanaan.
Aplikasi yang dilakukan pada klien akan berbeda, disesuaikan dengan kondisi klien saat
itu dan kebutuhan yang paling dirasakan oleh klien.
Implementasi keperawatan membutuhkan fleksibilitas dan kreatifitas perawat.
Sebelum melakukan suatu tindakan, perawat harus mengetahui alasan mengapa tindakan
tersebut dilakukan. Perawat harus yakin bahwa: tindakan keperawatan yang dilakukan
sesuai dengan tindakan yang sudah direncanakan, dilakukan dengan cara yang tepat, serta
sesuai dengan kondisi klien, selalu dievaluasi apakah sudah efektif dan selalu
didokumentasikan menurut waktu (Doenges dkk, 2006).

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap kelima dari proses keperawatan. Pada tahap ini perawat
membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil yang sudah
ditetapkan serta menilai apakah masalah yang terjadi sudah teratasi seluruhnya, hanya
sebagian, atau bahkan belum teratasi semuanya. Evaluasi adalah proses yang
berkelanjutan yaitu suatu proses yang digunakan untuk mengukur dan memonitor kondisi
klien untuk mengetahui kesesuaian tindakan keperawatan, perbaikan tindakan
keperawatan, kebutuhan klien saat ini, perlunya dirujuk pada tempat kesehatan lain,
apakah perlu menyusun ulang prioritas diagnosis supaya kebutuhan klien bisa terpenuhi
(Doenges dkk,2006). Selain digunakan untuk mengevaluasi tindakan keperawatan yang
sudah dilakukan, evaluasi juga digunakan untuk memeriksa semua proses keperawatan.

Anda mungkin juga menyukai