Anda di halaman 1dari 86

LAPORAN AKHIR

UNDIP FOR SCIENCE TECHNO TOURISM DEVELOPMENT (UFST2D)


TAHUN ANGGARAN 2018

MENUJU KETAHANAN PANGAN KOMUNITAS


MELALUI PENGEMBANGAN AKUAPONIK BERBASIS MASYARAKAT
DI DESA WISATA KANDRI GUNUNGPATI KOTA SEMARANG

Mitra:
Komunitas Petani Akuaponik Kota Semarang RW
IV Kelurahan Kandri Gunungpati Semarang

OLEH :
Mardwi Rahdriawan, ST, MT NIDN 0026076805
Dr. Ir. Hadi Wahyono, MA NIDN 0022126303
Dr. Rejeki Siti Ferniah, MSi NIDN 0018087204
Prof. Dr. Ir. Nany Yuliastuti, MSP NIDN 0017075408

Dibiayai Dengan Sumber Dana:


Selain APBN LPPM RKAT Universitas Diponegoro
Tahun Anggaran 2018

UNIVERSITAS DIPONEGORO
2018

1
2
DAFTAR ISI

Contents

HALAMAN SAMPUL..................................................................................................... …1
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................................. 2
DAFTAR ISI......................................................................................................................... 3
RINGKASAN ....................................................................................................................... 5

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 6

A. Analisis Situasi .................................................................................................................6

B. Nilai Strategis ...................................................................................................................8

C. Kondisi Sosial Ekonomi dan Permasalahan .....................................................................8

D. Perlunya Penanganan Segera .......................................................................................... 11

E. Urgensi ............................................................................................................................ 11

BAB II METODE PELAKSANAAN ............................................................................... 14

A. Analisis Anatomi Masalah ............................................................................................. 14

B. Analisis Anatomi Tujuan (Tindakan) ............................................................................. 15

C. Solusi Yang Ditawarkan (Alternatif Tindakan) ............................................................. 15

BAB III TARGET DAN LUARAN .................................................................................. 21

A. Tahun Pertama (2016) .....................................................................................................21

B. Tahun II (2017) .............................................................................................................. 22

C. Tahun III (2018) ............................................................................................................. 22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 24

A. Pengembangan Desa Wisata Akuaponik Berbasis Masyarakat ..................................... 24

3
B. Pemberdayaan Masyarakat Tentang Ketahanan Pangan Komunitas dan Pengembangan
Akuaponik ...................................................................................................................... 26

C. Kegiatan yang Telah Dilakukan Tahun 2016 ................................................................. 26

D. Dukungan Pemerintah dan Analisis Peran Komunitas……………………………….. 39

E. Kegiatan yang Telah Dilakukan Tahun 2017 ................................................................. 43

F. Kegiatan yang Telah Dilakukan Tahun 2018 .................................................................56

G. Nilai Keuntungan Ekonomis Budidaya melalui Akuaponik .......................................... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ .67

A. Kesimpulan..................................................................................................................... 67

B. Saran .............................................................................................................................. 68

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. ........... 69


DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………….. ........ 72

4
RINGKASAN

Kota Semarang termasuk peserta program 100 Resilient Cities (100 RC) dari berbagai
kota di dunia, yaitu sebuah kota yang diharapkan mempunyai daya tahan kuat dan tangguh
menghadapi berbagai bencana dan gangguan. Salah satu sektor sebagai kota tangguh adalah
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, yaitu pangan. Saat ini, masih banyak yang kurang
peduli untuk memenuhi kualitas kebutuhan ini secara mandiri, karena merasa semua sudah
tersedia.
Salah satu kelompok masyarakat yang sangat peduli dengan kegiatan pemenuhan
pangan secara berkelanjutan tersebut adalah komunitas petani akuaponik. Di Kota Semarang,
mereka berupaya untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri dan pihak-pihak lain untuk tujuan
komersial. Sistem akuaponik ini adalah kombinasi dari metode beternak ikan (aquaculture)
dengan metode bercocok tanam tanpa menggunakan media tanam berupa tanah (hydroponic).
Akuaponik adalah sistem pertanian yang memanfaatkan kotoran ikan sebagai sumber nutrisi
bagi tanaman dan pemanfaatan tanaman sebagai pengendali kualitas air bagi ikan, karenanya
maka kemudian dikatakan bahwa akuaponik merupakan metode budidaya perikanan dan
pertanian secara berkesinambungan, yang keduanya membentuk ketergantungan satu sama lain
secara mutualisme.
Persoalan yang dihadapi komunitas ini dalam mengembangkan budidaya akuaponik
masih banyak, beberapa hal yaitu: pertama, keterbatasan teknologi yang digunakan, baik
berupa desain yang tidak layak maupun bahan yang semestinya digunakan. Kedua, detail
sistem dan istilah budidaya bertanam dan beternak ikan yang masih lemah dan belum
terstruktur dengan baik. Mereka membutuhkan hasil-hasil riset para pakar dalam bertani dan
beternak ikan, baik hasil kajian secara makro terkait dengan pengaruhnya terhadap fungsi
ketahanan kota, maupun secara teknis yang meliputi aspek ilmu pertanian, perikanan, micro
biologi, dan bahkan marketing. Ketiga, kebutuhan akan jaringan dengan perguruan tinggi untuk
mendukung pola diskusi dan kegiatan yang sudah mereka lakukan sebelumnya.
Proses rekayasa sosial melalui pemberdayaan masyarakat dan fokus group discussion
(FGD), maka terjadi penguatan pada masyarakat untuk terlibat dalam upaya ketahanan pangan
melalui pengembangan akuaponik berbasis masyarakat. Pada awalnya hanya terdapat potensi
1 (satu) lokasi akuaponik sederhana, di akhir pengabdian UFST2D pada tahun 2016 ini
sekarang sudah ada 35 (tiga puluh lima) lokasi akuaponik di RW IV. Pada tahun 2017 yang
merupakan tahun kedua pengabdian berjumlah 83 (delapan puluh tiga) yang tersebar di rumah
tangga-rumah tangga. Sehingga perkembangan ini menjadi perhatian pemerintah untuk lebih
mengangkat sebagai Kampung Tematik Akuaponik. Pontensi sebagai wisata edukasi sudah
mulai berjalan, baik lokal manupun nasional, bahkan pengunjung dari berbagai negara pernah
mendatangi Desa Wisata Akuaponik Kandri ini. Kunjungan tersebut bukan berarti sudah tidak
ada masalah, bahkan masalah dan tantangan pengembangan semakin besar. Pada tahun 2018,
kesadaran komunitas petani untuk berproduksi lebih, mereka membuat kolam komunal
bersama yang diharapkan hasilnya bisa dijual ke pasaran dengan kualitas organik dalam
kemasan. Disamping itu kegiatan mengisi pelatihan terkait akuaponik semakin banyak, karena
komunitas ini menjadi andalan Kota Semarang dalam pengembangan pertanian perkotaan.

Kata kunci: Kota tangguh, ketahanan pangan, akuaponik, berkelanjutan.

5
BAB I
PENDAHULUAN

A. Analisis Situasi
Kota Semarang termasuk peserta program 100 Resilient Cities (100 RC) dari berbagai
kota di dunia, yaitu sebuah kota yang diharapkan mempunyai daya tahan kuat dan tangguh
menghadapi berbagai bencana dan gangguan. Salah satu sektor yang diharapkan sebagai kota
tangguh tersebut terkait dengan kebutuhan dasar masyarakat, yaitu sektor pangan. Saat
ini, masih banyak yang kurang peduli untuk memenuhi kebutuhan ini secara mandiri atau
kelompok, karena merasa semua sudah tersedia. Padahal kenyataannya masih kurang dan tidak
berkualitas, sehingga masih dirasa perlu untuk memenuhi sebagian kebutuhan tersebut secara
lebih optimal terutama di pekarangan kita. Apalagi hal ini merupakan perwujudan kota
tangguh, melalui penyediaan pangan berkelanjutan, baik berupa budidaya darat maupun air di
lahan yang sangat terbatas.
Salah satu kelompok masyarakat yang sangat peduli dengan kegiatan pemenuhan
pangan secara berkelanjutan tersebut adalah komunitas akuaponik. Di Kota Semarang, mereka
berupaya untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri dan pihak-pihak lain untuk tujuan
komersial. Sistem akuaponik ini adalah kombinasi dari metode beternak ikan (aquaculture)
dengan metode bercocok tanam tanpa menggunakan media tanam berupa tanah (hydroponic).
Akuaponik adalah sistem pertanian yang memanfaatkan kotoran ikan sebagai sumber nutrisi
bagi tanaman dan pemanfaatan tanaman sebagai pengendali kualitas air bagi ikan, karenanya
maka kemudian dikatakan bahwa akuaponik merupakan metode budidaya perikanan dan
pertanian secara berkesinambungan, yang keduanya membentuk ketergantungan satu sama lain
secara mutualisme (Duarte et al., 2015).
Persoalan yang dihadapi komunitas ini dalam mengembangkan budidaya akuaponik
masih banyak, beberapa hal yaitu: pertama, keterbatasan teknologi yang digunakan, baik
berupa desain yang layak maupun bahan yang semestinya digunakan. Kedua, detail sistem dan
istilah budidaya bertanam dan beternak ikan yang masih lemah dan belum terstruktur dengan
baik. Mereka membutuhkan hasil-hasil riset para pakar dalam bertani dan beternak ikan, baik
hasil kajian secara makro terkait dengan pengaruhnya terhadap fungsi perkotaan, maupun
secara teknis yang meliputi aspek ilmu pertanian, biologi dan kimia. Ketiga, kebutuhan akan
jaringan dengan perguruan tinggi untuk mendukung pola diskusi dan kegiatan yang sudah
mereka lakukan sebelumnya. Sehingga tujuan pengabdian masyarakat ini adalah
6
memberdayakan pengembangan akuaponik berbasis masyarakat dengan membuat teknologi
tepat guna yang memperhatikan aspek estetika, fungsi, dan sistem sirkulasi budidaya pertanian
dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan.
Untuk itulah, kehadiran Pusat Kajian Kota Tangguh, khususnya bidang pangan yang
berkelanjutan di Universitas Diponegoro sangat diharapkan untuk berperan aktif mendukung
proses yang terjadi di masyarakat. Tim Peneliti sekaligus fasilitator beserta jaringan
pemberdayaannya akan memberikan sumbangsih ilmu dan sumber daya yang dimiliki,
sehingga percepatan pengembangan akuaponik dapat memberikan dukungan terhadap kota
tangguh, khususnya dalam menambah kebutuhan pangan organik yang berkualitas bagi
masyarakat bawah. Sehingga sistem ini menjadi harapan dari kelompok masyarakat tertentu di
berbagai tempat, misalnya harapan ibu-ibu PKK untuk menerapkan teknologi akuaponik ini di
lingkungannya.
Pengabdian masyarakat terkait ketahanan pangan komunitas melalui pengembangan
akuaponik ini, terletak di Kelurahan Kandri Gunungpati, yang ditetapkan sebagai salah satu
Desa Wisata di Kota Semarang. Adapun peta lokasi dan permasalahan awal yang terlihat
adalah sebagai berikut:

Gambar 2
Gambar 1 Photo Akuaponik oleh Masyarakat
Peta Kelurahan Kandri
Pembuatan akuaponik oleh masyarakat
yang terlihat masih banyak masalah:
1. Kurang memperhatikan estetika.
2. Penggunaan bahan-bahan yang
memanfaatkan barang-barang sisa.

7
B. Nilai Strategis
Salah satu aspek penting dari ketahanan kota adalah pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat terkait dengan pemenuhan pangan berkualitas. Nilai strategis pengembangan
akuaponik ini adalah:
o Untuk memberikan gizi hasil perikanan dan hasil tanaman organik yang terjangkau
masyarakat. Pada saat ini diketahui bahwa tanaman organik hanya dikonsumsi orang-orang
dari kalangan tertentu, karena harganya mahal.
o Posisi awal pengembangan berada di Desa Wisata khususnya RW IV, maka harapannya adalah
teknologi akuaponik ini nanti akan menjadi model percontohan dan wisata edukasi bagi
masyarakat lain untuk mengembangkan akuaponik berkualitas di tempat lain.

C. Kondisi Sosial Ekonomi dan Permasalahan


Desa Wisata Kandri ini dekat waduk Jatibarang, dimana saat ini dikembangkan sebagai
obyek wisata yang tidak hanya memanfaatkan waduk, tetapi juga akan menggali potensi lokal
yang berasal dari budaya masyarakat, kuliner, pertanian dan perkebunan serta kerajinan tangan
di kawasan ini (Mahmudah, 2012 ). Penyiapan desa wisata ini, bukan hanya tanggung jawab
pemerintah namun masyarakat diharapkan terlibat dengan berbagai inovasi yang berasal dari
bawah.
Pemerintah Kota Semarang sendiri melalui melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
juga telah memiliki konsep pengembangan desa wisata ini, yaitu RW 1 dapat dikembangkan
sebagai wisata pendidikan, RW 2 sebagai arena perkebunan yang dilengkapi aneka buah-
buahan, RW 3 sebagai kawasan budaya untuk pementasan kesenian seperti wayang kulit,
wayang suket, ketoprak, jathilan dan kesenian lesung. Adapun RW 4 dapat dimanfaatkan
sebagai pusat akomodasi wisatawan yang menyediakan kebutuhan kuliner dan pangan. Desa
Wisata ini rencananya akan dikembangkan sebagai salah satu obyek wisata tingkat nasional
(Faisol, 2013).
Pengembangan desa wisata sangat erat berkaitan dengan pengembangan masyarakat
setempat sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan pariwisata berbasis komunitas/
masyarakat. Ekonomi basis masyarakat adalah pertanian padi dan perkebunan. Tingkat
pendidikan yang relatif rendah–sedang dan tidak memiliki pengalaman pengelolaan pariwisata
dan lingkungan hidup. Kemampuan masyarakat menjadi inti dari manajemen pengelolaan
lingkungan dan pengelolaan pariwisata karena desa wisata yang dikembangkan di Kandri lebih
pada pariwisata alam yang pengelolaannya berbasis masyarakat, salah satu yang
dikembangkan adalah bertanam dan beternak ikan dengan sistem akuaponik.

8
Tabel 1 Ringkasan Permasalahan Awal Pengembangan Akuaponik di Desa Kandri

No Daftar Masalah Daftar Penyebab (Akar) Daftar Akibat Yang Ditimbulkan Informasi Tambahan: Foto dsb.
Masalah

Masalah
1 Penggunaan material yang  Bahan terlalu mahal  Kelihatan kumuh
kurang memperhatikan  Tidak tersedia di tempat  Kurang Pengaturan
estetika

2 Komponen sistem  Kurangnya pemahaman  Masalah kesehatan lingkungan


akuaponik sebagai tempat masyarakat terhadap munculnya
bersarangnya nyamuk. jentik-jentik nyamuk

3 Masih menggunakan ruang  Lahan terbatas.  Masalah sosial dan berkurangnya


bersama (publik).  Kurangnya kemampuan fungsi publik.
mengelola lahan.

9
No Daftar Masalah Daftar Penyebab (Akar) Daftar Akibat Yang Ditimbulkan Informasi Tambahan: Foto dsb.
Masalah
4 Kurangnya pengetahuan  Tidak adanya alat untuk  Panen tidak sesuai yang
kadar PH, micro biologi dan mendukung pengukuran diharapkan.
masalah tanaman. tersebut.
 Belum adanya networking
dengan perguruan tinggi.

Potensi
5 Jaringan Kelompok Sudah  Tersedianya Kelompok Petani  Terbukanya diskusi dan membuka
Tersedia Akuaponik yang saling berbagi jaringan dengan pihak lain.

6 Minat Kelompok  Sebagai pilihan alternatif  Membuka lapangan pekerjaan


masyarakat, terutama ibu- sumber protein hewani bagi masyarakat sekitar
ibu tinggi  Mempunyai nilai ekonomis yang  Menambah pendapatan
tinggi masyarakat
 Prospek ke depan sangat
menjanjikan

Sumber: Hasil Analisis Tim Penyusun, 2016

10
D. Perlunya Penanganan Segera
Dari pengamatan sementara, maka diperlukan desain yang baik terhadap
akuaponik ini, dan perlunya rekayasa sosil dan teknologi untuk mendapatkan
pengembangan akuaponik yang optimal. Kegiatan ini perlu ditangani segera, karena
antusiasme komunitas petani akuaponik sangat tinggi, namun belum didukung kapasitas
untuk mendapatkan bentuk ekosistem akuaponik yang optimal, sehingga perlu
mendapatkan tambahan pengetahuan dan diskusi dengan para pakar/ ahli yang berasal dari
universitas.

E. Urgensi
Pentingnya program ini adalah untuk mengembangkan proyek percontohan
akuaponik sebagai UKM mandiri. Introduksi sains sangat mendesak segera dilaksanakan,
agar hasil yang didapatkan pada awal pengembangan akuaponik ini dapat maksimal. Bisa
menjadi bahan pembelajaran bagi pihak-pihak lain, sehingga didapatkan akuaponik yang
menghasilkan ikan dan tanaman organik yang bermutu tinggi, terjangkau harganya oleh
masyarakat luas. Terkait dengan program Pemerintah Kota Semarang, maka inovasi
pemenuhan penyediaan pangan berkualitas menjadi penting karena masuk dalam
fishbone masalah dan tujuan ketahanan Kota Semarang.

Sumber: Profil Perlindungan Kebutuhan Dasar Kota Semarang, 2015

Gambar 2
Fishbone Masalah Ketahanan Kota Semarang
Dalam ketahanan Kota Semarang terlihat bahwa, hal yang menjadi perhatian
adalah optimalisasi produksi pangan, karena lahan di perkotaan yang semakin sempit dan
kualitas pangan yang dihasilkan. Komunitas Petani Akuaponik Kota Semarang yang
berawal dari komunitas Whatsapp (WA) mencoba upaya tersebut merealisasikan kegiatan
bertaninya. Salah satu lokasi yang dikembangkan adalah Desa Wisata Kandri Gunungpati
Semarang.

Sumber: Profil Perlindungan Kebutuhan Dasar Kota Semarang, 2015

Gambar 3
Fishbone Tujuan Ketahanan Kota Semarang

Dengan demikian upaya pengembangan akuaponik oleh komunitas petani


akuaponik di Kota Semarang, khususnya di Desa Kandri perlu didukung karena menjadi
bagian penting dari sistem ketahanan pangan Kota Semarang. Terutama untuk
mendapatkan pangan sekunder yang setara dengan bahan kualitas organik.
Melihat kondisi seperti ini tentunya dibutuhkan dengan para tenaga ahli, baik dari
pemerintah daerah maupun perguruan tinggi yang ikut terlibat dalam inisiasi yang sudah
dimulai oleh komunitas petani akuaponik tersebut. Sehingga pengabdian masyarakat dari
perguruan tinggi untuk kelompok masyarakat ini adalah penting. Apalagi penanganan

12
masalah akuaponik ini adalah bagian dari sebuah ketahanan Kota Semarang, artinya
keberhasilan membantu komunitas petani akuaponik di Desa Kandri akan berdampak
terhadap pengembangan di desa dan kawasan lain dalam proses pengembangannya.
Berbicara mengenai kegiatan pembangunan khususnya di wilayah Desa Wisata
mengandung kompleksitas yang tinggi dengan melihat beberapa aspek yang diukur
dalam keberhasilan pembangunan tersebut. Mardikanto (1991) mengemukakan bahwa
pembangunan merupakan upaya sadar dan terencana untuk melaksanakan perubahan-
perubahan yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi dan perbaikan mutu hidup atau
kesejahteraan seluruh warga masyarakat untuk jangka panjang, yang dilaksanakan
oleh pemerintah yang didukung oleh masyarakatnya, dengan menggunakan tehnologi
yang terpilih. Salah satu pola pemberdayaan masyarakat desa yang dinilai mampu
memberikan kontribusi dalam jangka panjang adalah melalui pendekatan dan
pembelajaran komunitas melalui kelompok atau organisasi (McLaughlin, Brown, &
Young, 2004).

13
BAB II
METODE PELAKSANAAN

A. Analisis Anatomi Masalah


Dari uraian rumusan permasalahan akuaponik di Desa Kandri di atas dapat
disusun anatomi permasalahan pengembangan akuaponik dengan mengunakan pohon
masalah sebagai berikut:

Akuaponik Menjadi
Tidak Berkualitas

Hasil Tani
kurang
Mengurangi estetika
lingkungan Sumber Penyakit Baru Ekosistem rusak

Merusak Dianggap dapat Sirkulasi tidak


pemandangan mencemari lancar
AKIBAT lingkngn

MASALAH UTAMA AKUAPONIK BELUM OPTIMAL

SEBAB
Minimnya Tidak adanya Lahan Rendahnya Masih kurang
sarana sistem terbatas kesadaran responnya
yang pengelolaan akan estetika pihak-pihak
digunakan akuaponik dan berwenang
kebersihan untuk
membantu

Terbatasnya Tidak adanya


SDM pemantau

Sumber: Hasil Analisis2016

Gambar 4
Analisis Anatomi Masalah dengan Diagram Pohon Masalah

14
B. Analisis Anatomi Tujuan (Tindakan)
Dari hasil analisis anatomi masalah selanjutnya dapat disusun beberapa
alternatif tindakan untuk penanganan akuaponik yang dapat digambarkan di dalam
diagram pohon tujuan sebagai berikut:
Ikan tumbuh Ekosistem berjalan Tanaman semakin
segar lancar produktif

Sistem sirkulasi berhasil


optimal

AKUAPONIK IDEAL

Penyusunan mitigasi sistem hasil Pengadaan Sarana dan Petugas Pemantau


FGD sebagai acuan Prasarana yang layak Perkembangan Akuaponik
pengembangan akuaponik

Pengumpulan Alat-alat bantu Pusat Kajian


Bahan akuaponik pengukur sistem Komunitas akuaponik

Jejaring pendukung FGD Komunitas Petani


pengembangan akuaponik
Akuaponik

Sumber: Hasil Analisis 2016

Gambar 5
Analisis Tujuan dengan Diagram Pohon Tujuan

C. Solusi Yang Ditawarkan (Alternatif Tindakan)


Dari analisis tujuan (Alternatif Tindakan) sebagaimana yang telah dirumuskan
di atas maka untuk mengatasi permasalahan pengembangan akuaponik di Kelurahan
Kandri, secara garis beesar adalah sebagai berikut:
TABEL 2
TEMA TAHUNAN RENCANA PENGEMBANGAN AKUAPONIK
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tujuan
 Penguatan Jaringan  Pembentukan  Replikasi di tempat lain  Pusat Kajian Kota
Komunitas Akuaponik kelembagaan dan  Jejaring Marketing hasil Tangguh Sektor
dengan Perguruan Tinggi peningkatan jejaring produksi petani Kebutuhan Dasar,
 Proyek Percontohan dengan Pemda akuaponik
terutama pangan
Akuaponik yang baik  Rekayasa Sosial  Rekayasa Sosial.
 Replikasi di tempat lain

15
Introduksi Teknologi
Tahun Pertama (2016)
Introduksi yang pertama dilakukan adalah rekayasa social (social engineering)
melalui RRA (Rapid Rural Appraisal) terhadap komunitas petani akuaponik. Metode
yang dilakukan adalah meta plan, disini untuk memperkuat jaringan yang sudah ada
dan mengetahui peta permasalahan yang terjadi. Beberapa Focus Group Discussion
(FGD) akan dilakukan pada tahap ini. Peran kampus baik dosen yang kompeten dan
mahasiswa diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam memberikan dasar untuk
kegiatan selanjutnya. Dalam tahun pertama ini, ditargetkan mendapatkan konsep
bentuk pertanian akuaponik yang mempunyai estetika, dengan sistem yang terjaga
kualitasnya. Beberapa contoh prinsip pengembangan tersebut adalah sebagai berikut:

Sumber: (Apriyanti & Rahimah, 2016)

16
Gambar 6
Teknik Rekayasa yang digunakan

Sumber: (Apriyanti & Rahimah, 2016)

Gambar 7
Contoh Teknik Rekayasa Akuaponik

Beberapa hasil diskusi awal dengan komunitas petani akuaponik terkait dengan
pengembangan ini penting dilakukan adalah:
Keunggulan Sistem Akuaponik:
 Tidak membutuhkan lahan luas, bahkan atap rumahpun bisa digunakan untuk
berkebun.

17
 Hemat air.
 Hampir semua jenis ikan air tawar dan tumbuhan dapat diaplikasikan dalam
sistem akuaponik.
 Praktis.
 Biaya perawatan murah, Tidak perlu ada pekerjaan penggemburan,
pemupukan dan penyiangan
 Hasil produksi sehat, sepenuhnya organik
 Memperoleh hasil ganda, yaitu ikan dan sayuran
Akuaponik dapat dikembangkan pada:
 Lahan kering/sulit air
 Lahan sempit, lingkungan pemukiman
 Suka berkebun tapi sibuk
 Suka berkebun tapi malas nyiram/ merawat
Komponen yang dibutuhkan oleh sistem akuaponik adalah:
 Kolam, Tempat atau wadah untuk pertumbuhan ikan atau perairan terkendali,
danau buatan, atau reservoir air yang digunakan untuk memelihara sejumlah
ikan untuk aktivitas budi daya ikan.
 Ikan, Ikan adalah kunci dalam sistem akuaponik. Ikan menyediakan hampir
semua nutrisi bagi tanaman.Ada berbagai jenis ikan yang dapat digunakan
dalam sistem akuaponik.Jenis ikan ini tergantung pada iklim lokal dan jenis
yang tersedia di pasaran.

Menghitung dari kebutuhan pembesaran tanaman


1.Jumlah ikan/25 liter itu 0,5 kg dewasa.
2. Growbed 0,1 meter persegi.
Misal : growbed 1 m3, dibutuhkan kolam volume dg air 250 liter dan 5
kg ikan dewasa.
 Filter air, alat yang berfungsi untuk menyaring dan menghilangkan
kontaminan di dalam air dengan menggunakan penghalang atau media, baik
secara proses fisika, kimia maupun biologi. ada 2 jenis filter, yaitu:
filter mekanis, untuk memisahkan kotoran padat dalam air agar tidak masuk
kedalam system dan sebagai tempat proses mineralisasi kotoran ikan,

18
filter biologis, tempat bagi bakteri untuk melaksanakan tugaskan mengubah
ammonia menjadi nitrit agar nutrisi yang terdapat pada air mudah diserap oleh
akar tanaman
Jumlah Ikan Menentukan Filter, Pada system perikanan padat tebar, akan
membutuhkan filter mekanik lebih besar karena proses mineralisasi masih
kalah cepat dengan penumpukan padatan.
 Media tanam, yaitu tempat akar tanaman bertumpu untuk menahan
batangnya.
Kriteria media tanam yang baik: a). Tidak mempengaruhi larutan nutrisi, b).
Tidak menyumbat sistem pengairan, c). Mempunyai pori pori yang baik.
 Tanaman sayur, baik sayuran daun maupun sayuran buah serta umbi-umbian
Treathment tambahan, Probiotik adalah istilah yang digunakan pada
mikroorganisme hidup yang dapat memberikan efek baik atau kesehatan pada
organisme lain/inangnya.
Probiotik bermanfaat untuk mengurai sisa pakan dan kotoran ikan agar bisa
segera diserap akar dimanfaatkan tanaman.
Tentunya konsep diatas baru menjadi landasan awal untuk bahan diskusi lebih
lanjut, sebelum tim pengabdian Undip terlibat, pasti akan membahas hal tersebut
dengan para pakar yang ada di UNDIP, bisa berkembang sesuai kebutuhan, tidak
hanya anggota tim inti saja. Dalam pengembangan akuaponik ini dibutuhkan pakar
dari pertanian, peternakan dan micro biologi. Tim inti yang sekarang akan
bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui mekanisme pelatihan
lebih lanjut dengan mengundang pakar yang lebih kompeten. Luaran tahun pertama
harus didapatkan proyek percontohan akuaponik yang mempunyai standar
terbaik, berdasarkan dari hasil pelatihan dan FGD yang dilakukan. Harapannya adalah
RW IV diharapkan sebagai wisata edukasi akuponik di desa Wisata Kandri, atau
tempat-tempat lain.

19
Tahun kedua (2017)
Setelah pada tahun pertama didapatkan contoh pengembangan akuaponik
terbaik di Desa Wisata Kandri, yang bisa menjadi wisata edukasi pengembangan
akuaponik. Maka tema tahun kedua adalah Pembentukan kelembagaan dan
peningkatan jejaring dengan pemerintah kota (Pemkot), sebagaimana pada tahap
pertama, maka akan dibuat pengembangan akuaponik di desa Mitra dengan FGD
pelatihan dalam sebuah proses Rekayasa Sosial yang disepakati. Para pakar dan
mahasiswa membantu untuk proses ini berjalan dengan baik.
Salah satu ciri keberhasilan pada tahap ini, komunitas petani akuaponik akan
didukung Pemerintah Kota Semarang untuk mengembangkan lebih lanjut. Saat ini
dalam diskusi ketahanan kota yang membahas masalah pangan, maka pengembangan
inovasi dari masyarakat untuk akuaponik ini menjadi salah satu harapan ke depan.
Indikasinya adalah banyak permintaan dari kelompok ibu-ibu PKK untuk memberikan
pelatihan pengembangan akuaponik ini di Desa Wisata Akuaponik Kandri ini.

Tahun ketiga (2018)


Harapannya adalah terjadi keberhasilan pada tahun pertama dan kedua,
sehingga tema tahun ketiga selain terjadinya replikasi di desa Mitra lain, juga hal yang
lebih penting adalah jejaring marketing hasil produksi petani akuaponik. Jika skala
petani yang melakukan akuaponik ini adalah hanya sebatas komunitas, maka hasil yang
didapatkan hanya terbatas untuk komunitas juga. Namun bisa jadi apabila dalam
pengembangan mitra didapatkan skala yang lebih tinggi, maka akan didapatkan hasil
yang lebih tinggi pula. Konsep dan jejaring marketing ini dilakukan dengan FGD dan
proses pelatihan, baik dilakukan oleh dosen dan mahasiswa dari jurusan yang sesuai
dengan tema ini.
Keberhasilan pada tahap ketiga ini menjadi landasan dibentuknya Pusat
Kajian Kota Tangguh yang berada di Universitas Diponegoro.
Luaran akademis adalah dipresentasikan dalam seminar-seminar dan
jurnal nasional maupun internasional.

20
BAB III
TARGET DAN LUARAN

Secara akademis hasil pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat yang


dilakukan ini akan dipublikasikan dalam jurnal nasional. Adapun target luaran dari
kegiatan UFST2D yang akan dilakukan dalam waktu 8 bulan, selama 3 tahun ini
adalah berupa:
A. Tahun Pertama (2016)
Luaran akademis: Seminar dan Jurnal Nasional
Tema:
Rekayasa sosial dalam ketahanan pangan berbasis komunitas (Kasus:
Pengembangan Akuaponik Berbasis Masyarakat di Desa Wisata Kandri
Gunungpati Semarang)

Langkah-langkah yang dilakukan untuk penguatan Jaringan Komunitas Petani


Akuaponik dengan Perguruan Tinggi Undip, pada tahun pertama ini, adalah:
 FGD I : Penjajagan permasalahan pengembangan akuaponik dilakukan tim
Undip dengan Komunitas Petani Akuaponik Kota Semarang, khususnya
mengembangkan proyek percontohan di Desa Wisata Kandri.
 FGD II : Kajian Pengembangan Akuaponik Ideal
Detail pertemuan yang perlu diperhatikan adalah:
 Macam variasi sistem tanam
 Pembuatan probiotik
 Nutrisi organik tambahan
 Penentuan pemilihan jenis ikan dan sayuran yang tepat
 Penentuan jumlah ikan dan luasan media tanam
 Penyempurnaan sistem filtrasi
 FGD III : Diskusi Mitigasi Sistem Akuaponik yang berkelanjutan
 Pengembangan Akuaponik pada Mitra yang telah disepakati.
 Pembuatan Proyek Percontohan Akuaponik yang berkelanjutan.

21
B. Tahun II (2017)
Penguatan Jaringan Komunitas Petani Akuaponik
 FGD IV : Diskusi masterplan dan pembentukan kelembagaan dan
peningkatan jejaring dengan Pemerintah Kota.
 Pelatihan : Tata Cara Pengelolaan dan Pengawasan Akuaponik Berbasis
Komunitas.
 FGD V : Rekayasa sosial penyepakatan pengembangan akuaponik
berkelanjutan.
 FGD VI : Pengembangan dan sosialisasi Akuaponik berkelanjutan
 Replikasi pengembangan Mitra akuaponik di tempat lain.

C. Tahun III (2018)


Luaran akademis: Seminar dan Jurnal Nasional
Tema-tema yang bias diangkat:
 Ketahanan Kota Semarang sektor pangan berbasis komunitas (Kasus:
Pengembangan Akuaponik Berbasis Masyarakat di Desa Wisata Kandri
Gunungpati Semarang).
 Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan Akuaponik berbasis
Masyarakat.
 Tingkat Kematangan Pengelolaan Komunitas Petani dalam
Pengembangan Akuaponik berbasis Masyarakat.

Adapun kegiatan-kegiatan untuk mendukung hal tersebut, dilakukan dengan


 FGD VII : Pembiayaan Pengelolaan dan Pengawasan
 FGD VIII : Pengawasan terhadap replikasi Mitra pengembangan akuaponik di
tempat lain.
 FGD IX : Jejaring Marketing hasil produksi petani akuaponik, dengan berbagai
tema yang diepakati, sebagai contoh adalah:
 Rekayasa sosial marketing.
 Ikut serta dalam pameran
 Pembuatan farm yang lebih luas
 Pembuatan pusat pelatihan

22
 Kerjasama dengan instansi pemerintah untuk menghijaukan kota dan
meningkatkan ketahanan pangan masyarakat kota
 Kerjasama dengan pihak universitas dalam kegiatan riset
 Membentuk unit pemasaran keliling ikan dan sayuran organik.

23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengembangan Desa Wisata Akuponik Berbasis Masyarakat


Desa wisata edukasi akuaponik merupakan suatu bentuk integrasi antara
atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur
kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan perikehidupan yang berlaku
(Wiendu. 1993). Untuk itu, kawasan yang dijadikan sebagai desa wisata edukasi ini
harus memiliki berbagai keunikan yang dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas untuk
menunjang aktivitas pengunjung, sehingga memudahkan pengunjung dalam
melakukan kegiatan wisata edukasi. Penetapan suatu desa dijadikan sebagai desa
wisata harus memenuhi persyaratan-persyaratan, antara lain sebagai berikut:
1. Aksesbilitasnya baik, sehingga mudah dikunjungi wisatawan dengan
menggunakan berbagai jenis alat transportasi.
2. Disekitarnya memiliki obyek-obyek menarik berupa alam, seni budaya, legenda,
makanan lokal, dan sebagainya untuk dikembangkan sebagai tujuan wisata.
3. Masyarakat dan aparat desanya menerima dan memberikan dukungan yang tinggi
terhadap desa wisata serta para wisatawan yang datang ke desanya.
4. Keamanan di desa tersebut terjamin.
5. Tersedia akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja yang memadai.
6. Beriklim sejuk atau dingin.
7. Berhubungan dengan obyek wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat luas.
Pembangunan Desa Wisata Edukasi Akuaponik mempunyai manfaat ganda di
bidang ekonomi dan sosial. Manfaat ganda dari pembangunan desa wisata, adalah:
1. Ekonomi : Meningkatkan perekonomian masyarakat lokal.
2. Sosial : Membuka lapangan kerja dan lapangan berusaha bagi
masyarakat lokal.
3. Pendidikan : Memperluas wawasan dan cara berfikir berbagai
masyarakat dan anak didik, cara beternak ikan dan tanaman
organik yang bersih dan sehat dengan mendapatkan nutrisi
yang berkualitas.

24
4. Iptek : Meningkatkan ilmu dan teknologi bidang ketahanan
pangan melalui pengembangan Wisata Edukasi Akuaponik.
5. Lingkungan : Menggugah sadar lingkungan (Darling), yaitu
menyadarkan masyarakat akan arti pentingnya memelihara
dan melestarikan lingkungan bagi kehidupan manusia kini
dan di masa datang, melalui membudidayakan ikan
sekaligus tanaman diatasnya, melalui sistem sirkulasi.
Untuk suksesnya pembangunan desa wisata edukasi akuponik, perlu ditempuh
upaya-upaya, sebagai berikut:
1. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)
Pelaksanaan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), bisa dilakukan melalui
pemberdayaan, pelatihan dan keikutsertaan dalam seminar, diskusi, dan lain
sebagainya, serta di bidang-bidang ketahanan pangan. Untuk itu, perlu ditugaskan
generasi muda dari masyarakat lokal untuk mengikuti pelatihan tentang
pengembangan akuaponik. Keikutsertaan dalam seminar, diskusi, dan lain
sebagainya diberikan kepada para masyarakat lokal sehingga mempunyai
keterampilan beternak sekaligus bertani secara sistem mekanik dan biologis.
2. Kemitraan
Pola kemitraan atau kerjasama dapat saling menguntungkan antara pihak pengelola
desa wisata edukasi akuponik dengan para pengusaha pariwisata di kota atau pihak
pembina desa wisata dalam hal ini pihak dinas pariwisata daerah. Bidang-bidang
usaha yang bisa dikerjasamakan, antara lain seperti: bidang akomodasi, perjalanan,
promosi, pelatihan, dan lain-lain. Selain itu tidak kalah pentingnya adalah dinas
yang terkait dengan ketahanan pangan Kota Semarang.
3. Kegiatan Organisasi Komunitas Akuaponik
Kegiatan dalam rangka desa wisata edukasi akuponik yang dilakukan oleh
masyarakat lokal, antara lain seperti: rapat-rapat komunitas, pameran akuaponik,
dan kunjungan wisata edukasi.
4. Promosi
Desa wisata ini harus sering dipromosikan melalui berbagai media, oleh karena itu
desa atau kabupaten harus sering mengundang wartawan dari media cetak maupun
elektronik untuk kegiatan hal tersebut.

25
5. Festival/Pertandingan
Secara rutin di desa wisata perlu diselenggarakan kegiatan-kegiatan yang dapat
menarik wisatawan atau terutama anak-anak sekolah untuk mengunjungi desa
wisata tersebut, misalnya mengadakan festival akuaponik dan lain sebagainya.

B. Pemberdayaan Masyarakat Mengenai Ketahanan Pangan Komunitas dan


Pengembangan Akuaponik
Pemberdayaan masyarakat lokal merupakan kegiatan pembelajaran penting
untuk peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat mengenai pengelolaan
wisata edukasi dan pengelolaan lingkungan hidup. Oleh karena itu, metode yang telah
dilakukan adalah:
 Seminar
Seminar atau pembelajaran terstruktur menjadi metode yang lebih efektif dengan
memberikan paparan mengenai pengetahuan pengelolaan wisata edukasi,
pengelolaan lingkungan hidup, pengelolaan akomodasi pariwisata, pengelolaan
wisatawan, hingga manajemen branding dan promosi pariwisata..
 Workshop
Tahap lanjut dari seminar/pemaparan materi oleh tim pengabdian masyarakat
adalah workshop. Masyarakat akan diajak secara langsung dalam simulasi
kegiatan dalam mengelola pengembangan akuaponik berbasis komunitas.
Harapan utama dari seluruh tahap ini adalah tersusunnya organisasi
pengelolaan sistem wisata edukasi akuaponik berbasis komunitas. Organisasi ini akan
menjadi acuan bersama yang dilakukan oleh masyarakat. Setiap kegiatan dibuat oleh
masyarakat secara langsung yang dapat mendukung kegiatan wisata edukasi.

C. Kegiatan yang telah dilakukan Tahun 2016


Pada tahap ini, tim pengabdian masyarakat UFST2D telah melakukan kegiatan
pengembangan pengelolaan wisata edukasi berbasis komunitas yang tepat sesuai
kebutuhan masyarakat dan tujuan pengembangan wisata edukasi spesifik ini. Proses
perijinan dengan pemerintah kota, kelurahan sampai tingkat warga sudah dilakukan,
adapun kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat lokal terstruktur secara lengkap
adalah sebagai berikut:
1. Review Permasalahan Akuaponik

26
Di RW IV Kelurahan Kandri pada awalnya baru terdapat satu embrio
akuaponik yang dikembangkan salah satu warga masyarakat lokal, yaitu bapak
Syafei Hasanudin, kondisinya sangat memprihatinkan, baik dari segi estetika
maupun sistem yang dilakukan, sehingga memerlukan dukungan pihak luar untuk
mengembangkan lebih lanjut. Terkait dengan kondisi tersebut, ketua pengabdian
menjalin mitra dan penambahan literatur guna mendukung sebuah proses rekayasa
sosial melalui pemberdayaan masayarakat, yaitu terkait ketahanan kota, khususnya
pangan dan pengembangan akuaponik berbasis masyarakat.

2. Sosialisasi umum kegiatan UFST2D Universitas Diponegoro kepada masyarakat Mitra.


Setelah mendapatkan perijinan dari kesbanlinmas, Lurah Kandri, dan Ketua RW IV
sebagai pemilik wilayah. Dalam tahap ini disiapkan juga perangkat untuk dokumen
pendukung, seperti: kamera, bahan presentasi dan sosialisasi terhadap masyarakat
untuk mendapatkan berbagai isu permasalahan pengembangan akuaponik.
Sosialisasi kepada masyarakat tentang Ketahanan Pangan Komunitas melalui
Pengembangan Akuaponik, sebuah sistem tanaman dan perikanan.

Gambar 1
Ketua Tim dengan Komunitas Akuaponik
3. Inventarisasi dan rekruitmen masyarakat lokal.
Keterlibatan masyarakat adalah hal yang sangat penting, untuk itu perlu pemahaman yang
menuju implementasi dalam sistem pengembangan pengelolaan Desa Wisata Akuaponik
berbasis komunitas di desa wisata Kandri.
Pada tahap ini, beberapa masyarakat RW IV Kelurahan Kandri yang mulai
tertarik dengan pengembangan akuaponik dalam FGD, sejumlah 8 orang dengan
melibatkan dalam komunitas akuaponik yang lebih luas.

27
Gambar 2
Kegiatan FGD Pengembangan Akuaponik
Pasca kegiatan ini, maka terbentuk tim inti untuk Ketahanan Pangan Berbasis
Komunitas melalui Pengembangan Akuaponik di Desa Wisata Kandri. Untuk
meningkatkan pengelolaan wisata berbasis masyarakat dengan pelaku masyarakat
lokal, agar terjadi peningkatkan nilai tambah, maka tim pengabdian yang bertanggung
jawab terhadap keberhasilan di lapangan selalu memantau perkembangan kegiatan
pemberdayaan di desa wisata akuaponik. Upaya-upaya kegiatan pemberdayaan dan
pelatihan terus menerus didiskusikan untuk diimplementasikan.

Gambar 3
Persiapan FGD dan Pelatihan Pengembangan Akuaponik

Dengan melakukan survai dan participatory rural appraisal berbasis komunitas


pemahaman karakteristik permasalahan akuaponik sesuai dengan konteks lokal dapat segera
diketahui. Dari diskusi ini didapatkan potensi dan masalah dalam upaya pengembangan
akuaponik dan rencana sistem pengelolaan akuaponik sebagai wisata edukasi yang ideal.

4. FGD dan Pelatihan Ketahanan Pangan Komunitas melalui Pengembangan Akuaponik.

28
Gambar 4
Ketua Pengabdian Mempersiapkan Pelatihan untuk Masyarakat
FGD dan Pelatihan Menuju Ketahanan Pangan Komunitas melalui
Pengembangan Desa Wisata Akuaponik, sebagai wisata edukasi di Kota Semarang.

Gambar 5
Kegiatan FGD Ketahanan Pangan Berbasis Komunitas melalui
Pengembangan Akuaponik

Dalam FGD Ketahanan Pangan Berbasis Komunitas melalui Pengembangan


Akuaponik muncul dukungan yang sangat kuat dari masyarakat, bahkan ketua RW
mendukung agar RW IV benar-benar mempunyai percontohan yang bisa menjadi
wisata edukasi bagi anak-anak didik, maupun masyarakat umum. Salah satu yang
disampaikan adalah perlunya landmark di Taman RW sebagai pengembangan
akuaponik utama.
Disamping itu, pasca FGD tersebut bermunculan masyarakat yang
berkeinginan untuk membuat akuaponik di rumahnya masing-masing untuk
mendukung sebagai desa wisata edukasi akuaponik. Sehingga pelatihan-pelatihan
pembuaatan akuaponik secara simultan dilakukan, sesuai dengan kebutuhan

29
pembangunan oleh masyarakat sendiri. Salah satunya adalah praktek pembuatan
sistem akuaponik bersama masyarakat Kandri, pembuatan filter mekanik.

Gambar 6
Pelatihan Pembuatan Filter Mekanik untuk Akuaponik

Berbagai diskusi dan persiapan Pembangunan Sistem Desa Wisata Edukasi Akuaponik
terus dijalankan, mulai dari desain dan proses pembangunan bersama masyarakat.
Perlu diperhatikan bahwa pada awalnya tidak semua masyarakat mau terlibat dalam
kegiatan pengembangan akuaponik ini, hanya beberapa saja yang selalu mengadakan
pertemuan rutin dalam wadah komunitas Belajar Akuaponik Desa Wisata Kandri.
Komunitas inipun tidak merasa sendirian karena pada tahun 2016 tersebut terdapat
juga wadah komunitas yang lebih luas, yaitu Belajar Akuaponik Indonesia (BAI).

Gambar 7
Proses Diskusi Untuk Pengembangan Desa Wisata Edukasi Akuaponik

Komunitas ini dapat dikategorikan private (local service organizations and


private businesses) dicirikan oleh kelompok yang menghasilkan sesuatu tetapi bukan
untuk diri sendiri atau anggotanya melainkan untuk melayani kepentingan orang lain.
Salah satu jenis dari private sektor yang memiliki ciri unik adalah apa yang disebut

30
dengan Private Voluntary Organization (PVOs) yang bergerak tidak bertujuan pada
keuntungan profit (non profit oriented). Organisasi ini bergerak dari donatur yang
bersifat pribadi. PVO ini adalah organisasi yang bergerak untuk membantu kelompok
masyarakat kurang mampu baik sebagai penyalur bantuan-bantuan yang bersifat
karitatif atau yang berupa bantuan-bantuan teknis di dalam berbagai kegiatan
pemberdayaan masyarakat (ekonomi, kesehatan, perumahan dan lain-lain). Kelompok
komunitas ini dapat menerima berbagai bentuk pendanaan baik berbentuk subsidi atau
kerja-kerja kontraktual (Uphoff, 1986).

5. Proses Desain dan Pembangunan Proyek Percontohan Akuaponik dan Landmark


Desa Wisata Akuaponik
Kegiatan Menuju Ketahanan Pangan Komunitas Melalui Pengembangan
Akuaponik Berbasis Masyarakat Di Desa Wisata Kandri Gunungpati Kota Semarang
berjalan seiring dengan penguatan masyarakat. Introduksi teknis yang dilakukan
dilakukan adalah sistem akuaponik yang terdiri dari kolam, filter mekanik, filter
biologis, sumptank dan media tanaman diatas kolam. Sebagai daerah pengabdian
masyarakat UFST2D, dan kedepannya kawasan ini sebagai wisata edukasi akuaponik,
maka penyiapan landmark sangat didukung oleh warga.

Gambar 8
Desain Akuaponik, Proses Pembangunan, dan Kerja Bakti Warga

31
Kondisi Awal Setelah UFST2D
Gambar 9
Proses Pembangunan Proyek Percontohan Akuaponik

Perlu dijelaskan terkait dengan gambar diatas, yaitu pada awalnya di dalam
masyarakat sudah ada satu orang (Syafei Hasanudin) yang berusaha membuat sistem
akuaponik dengan barang-barang seadanya. Potensi lokal ini kemudian dikembangkan
melalui pengabdian masyarakat skema UFST2D, apalagi daerah ini berada di dalam
kawasan wisata. Sehingga diharapkan kampung ini bisa menjadi kampung tematik
akuaponik. Sistem akuaponik dapat dibuat bermacam-macam, salah satunya adalah
untuk kepentingan wisata edukasi Akuaponik, hal ini tentu harus dibangun
berdasarkan kaidah-kaidah yang baik. Hal yang perlu diperhatikan adalah faktor
estetika, sistem filter baik mekanik dan biologis, jenis ikan dan jenis tanaman. Untuk
mewujudkan Desa Wisata Akuponik prinsip-prinsip tersebut sangat diperhatikan.
Hal yang paling penting dalam rekayasa sosial mewujudkan kampung akuponik
adalah proses yang terjadi dalam masyarakat. Secara teori dibutuhkan Membership
Organization (MOs): Kelompok (asosiasi) Swadaya Masyarakat “lokal” (local self-
help associations) yang anggotanya dikembangkan untuk menyelesaikan berbagai
tugas dengan sifat-sifat tugas-tugas beragam (multiple tasks) sebagai contoh local
development associations atau village development committee. Committee berarti
panitia yang bersifat ad-hoch yang dibentuk oleh suatu organisasi untuk
menyelesaikan tugas tertentu. Bila tugas telah dilaksanakan maka panitia inipun
dibubarkan atau panitia selesai bertugas. Hal ini dapat berupa PANITIA LOKAL yang
dibentuk untuk melaksanakan kegiatan atau proyek pembangunan tertentu, dalam hal
ini mewujudkan Desa Wisata Akuaponik.

6. Proses social learning dalam pembangunan akuaponik di masyarakat

32
Setelah panitia terbentuk, maka dilakukan FGD dan pelatihan tentang pembuatan
dan manfaat pengembangan akuponik, sehingga terjadi transfer of knowledge yang
menyebabkan ada sebagian masyarakat tertarik untuk membuat sistem akuponik ini di
rumah tangga masing-masing, yaitu:

Gambar 10
FGD Lanjut Pengembangan Desa Wisata Akuaponik

Gambar 11
Beberapa Rumah Tangga yang Membuat Akuaponik

7. Pencanangan Desa Wisata Akuaponik Kandri


Setelah mendapat dukungan dari Lurah Kandri dan Camat Gunungpati, dilakukan
persiapan untuk peresmian Desa Wisata Akuaponik di Kelurahan Kandri. Adapun
kegiatan ini dilangsungkan bersamaan dengan pertemuan pertama Belajar Akuaponik

33
Indonesia (BAI). Harapannya adalah agar Desa Wisata Akuponik Kandri ini bisa
menjadi tempat edukasi atau pembelajaran akuponik berbasis masyarakat. Dukungan
ini tidak hanya bersifat lokal, namun tokoh nasional akuaponik, seperti Mark Sungkar
dan Fadli ‘Padi’, ikut mendukung pencanangan Desa Wisata Akuaponik Kandri yang
diinisiasi oleh program UFST2D Universitas Diponegoro pada tanggal 25 September
2016.

Gambar 11
Peresmian Desa Wisata Akuaponik Kandri atas nama LPPM Undip
(Diwakili: Dr. Ir. Hadi Wahyono, MA)

8. FGD Pengembangan Akuaponik Kandri melalui Proses Social Learning (Pembelajaran


Masyarakat Mandiri)
Proses rekayasa sosial pengembangan Desa Wisata Akuaponik Kandri melalui program
UFST2D LPPM Undip, maka peran komunitas sangat menentukan, karena rekayasa yang
diharapkan berjalan Disinilah proses transfer pengetahuan berjalan secara alami berdasarkan
keinginan masyarakat untuk ikut terlibat dalam pembuatan akuaponik di rumah tangga
masing-masing. Rekayasa sosial merupakan sebuah jalan mencapai sebuah perubahan
sosial secara terencana. Gerakan ilmiah yang dimaksudkan disini adalah sebuah
gagasan atas perubahan tingkat/taraf kehidupan masyarakat demi tercapainya
kesejahteraan dan kemandirian. Masyarakat pada umumnya menginginkan adanya
perubahan sosial kearah yang lebih baik sehingga perubahan sosial harus dapat
dilakukan secara berkesinambungan dan terencana (Rahmat, 2000).

34
Gambar 12
FGD Pelatihan Pengembangan Akuaponik untuk Rumah Tangga

Dalam rekayasa sosial membangun kerjasama (cooperatives) merupakan hal


yang penting. Upaya membangun kerjasama melalui pengumpulan modal (sumber
daya ekonomi) anggota untuk dapat meningkatkan kapasitas keuangan anggota dan
keuntungan bagi para anggota sendiri melalui pemahaman betapa pentingnya
ketahanan pangan melalui pengembangan akaponik. Melalui komunitas yang secara
teori adalah service organizations (SO): adalah organisasi pelayanan lokal yang
mewadahi warganya untuk membantu orang-orang di luar anggota organisasi tersebut,
meskipun anggota bisa mendapat keuntungan dari kegiatan pengembangan akuaponik,
baik langsung maupun tidak langsung. Rekayasa sosial ini diperlukan untuk merubah
persepsi masyarakat menuju tujuan tertentu, tanpa rekayasa sosial akan sulit terjadi
perubahan, karena proses berpikir manusia yang sudah stagnan, padahal ketahanan
pangan ini adalah sala satu masalah bersama.
Menurut Dr Jalaludin Rakhmat rekayasa sosial terjadi karena terdapat beberapa
kesalahan pemikiran manusia dalam memperlakukan masalah sosial yang disebut para
ilmuwan dengan sebutan intellectual cul-de-sac yang menggambarkan kebuntuan
berpikir. Salah satu bentuk kesalahan pemikiran lainnya adalah permasalahan sosial
yang kerap dikait-kaitkan dengan mitos ataupun kepercayaan manusia akan suatu
gerakan abstrak ‘ilusi’ yang tanpa disadari dapat merubah tatanan kehidupan
bermasyaratnya. Untuk itu perlu diadakannya rekayasa sosial agar cara-cara berpikir
seperti ini dapat diatasi sehingga masyarakat dapat melihat permasalahan yang
dihadapinya sebagai sesuatu yang konkrit. Salah satu permasalahan yang dihadapi
adalah kesadaran tentang ketahanan pangan komunitas dan potensi kawasan desa
wisata yang belum tergarap dengan baik.

35
9. Penyebaran Informasi Desa Wisata Akuaponik Kandri melalui Media Massa
Untuk menyampaikan informasi terkait pengembangan Desa Wisata Akuaponik
Kandri dan juga adanya dukungan UFST2D LPPM Undip, maka penyebaran informasi
melalui media massa perlu dilakukan. Isu penting dari pengembangan akuaponik ini
adalah terkait dengan Kota Semarang Tangguh, yang didalamnya perlu
memperhatikan ketahanan pangan. Kasus Desa Wisata Akuaponik Kandri adalah salah
satu contoh pengelolaan ketahanan pangan yang didukung komunitas atau berbasis
masyarakat.

Gambar 13
Desa Wisata Akuaponik Kandri di Koran Jawa Pos (Edisi 31 Oktober 2016)

Gambar 14
Desa Wisata Akuaponik Kandri di Majalah Trubus (Edisi November 2016)

Kerjasama dengan wartawan dan media massa senantiasa akan terus dilakukan,
apalagi kedepan kampung Tematik Akuaponik sudah mendapatkan perhatian dari para
stakeholder, tidak hanya dari perguruan tinggi Universitas Diponegoro saja.

36
10. Kunjungan Camat yang akan mengusulkan Desa Akuaponik Kandri dalam Lomba Sapta
Pesona Kampung Tematik dan Kampung Kreatif Inovatif
Proses rekayasa sosial yang berujung pada antusias masyarakat untuk mengembangkan
akuaponik, membuat pejabat pemerintahan, yaitu Camat Gunungpati mengikutsertakan Desa
Wisata Akuaponik Kandri dalam lomba, yaitu:
1) Sapta Pesona bulan November 2016, Kampung Tematik dengan unggulan
Akuaponik Berbasis Rumah Tangga.
2) Kampung Hebat, Kreatif dan Inovatif pada bulan Maret 2017.

Gambar 15
Tinjauan Lapangan Ketua RW (Bp. Sutrisno), Lurah Kandri (Bp. Ahyar), Camat
Gunungpati (Bp. Bambang Pramusinto, SH)

Gambar 13
Juara II Lomba Sapta Pesona dengan Kampung Tematik Akuaponik

Dukungan pihak Camat terhadap pengembangan Desa Wisata Akuponik sudah


menghasilkan juara II Lomba Sapta Pesona, dengan unggulan kampung tematik
Akuponik. Kegiatan lomba ini akan dilanjutkan pada tahun 2017, yaitu kampung
Kreatif dan Inovatif, dengan unggulan Kampung Tematik Akuaponik. Sehingga
diharapkan UFST2D tetap mendukung pada kegiatan tahun berikutnya.

37
11. Kunjungan peserta The 3rd International Conference on Regional Development (ICRD)
Pada tanggal 9 s/d 11 November 2016 Pemerintah Kota Semarang bekerja sama dengan
Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota mengadakan The 3rd International Conference on
Regional Development (ICRD) ke-3 di Balaikota Semarang. Tema konferensi tersebut terkait
dengan Ketahanan Kota, salah satu unsur pentingnya adalah terkait dengan ketahanan pangan
(Food Security). Peserta yang datang dari berbagai negara, ada dari negara Amerika, Australia,
China, Jepang, Hawai, Malaysia dan lain-lain. Kunjungan ini juga diikuti oleh Bappeda, dan
dinas-dinas lain Pemerintah Kota Semarang.

Gambar 14
Kunjungan Peserta
The 3rd International Conference on Regional Development

Kota Semarang termasuk peserta program 100 Resilient Cities (100 RC) dari
berbagai kota di dunia, yaitu sebuah kota yang diharapkan mempunyai daya tahan kuat
dan tangguh menghadapi berbagai bencana dan gangguan. Salah satu sektor sebagai
kota tangguh adalah pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, yaitu pangan. Saat ini,
masih banyak yang kurang peduli untuk memenuhi kualitas kebutuhan ini secara
mandiri, karena merasa semua sudah tersedia. Padahal kenyataannya masih kurang
dan tidak berkualitas, sehingga masih dirasa perlu untuk memenuhi sebagian
kebutuhan tersebut secara lebih optimal terutama di pekarangan kita. Desa Wisata
Akuaponik Kandri menjadi tujuan kunjungan, karena satu-satunya di Kota Semarang,
bahkan di Indonesia, yang mengembangkan ketahanan pangan berbasis masyarakat,
melalui pengembangan akuaponik di tingkat rumah tangga. Kesadaran ini yang
menarik bagi pihak luar untuk menjadikan tujuan kunjungan.

38
D. Dukungan Pemerintah dan Analisis Peran Komunitas
Pada awalnya, kegiatan ini adalah berasal dari kejelian tim pengabdian masyarakat
untuk mengusulkan dalam program UFST2D, dengan melihat potensi salah satu
akuaponik sederhana milik masyarakat. Namun pada akhirnya dukungan dan peran
pemerintah sangat antusias melihat potensi yang bisa dikembangkan pada masa-masa
yang akan datang, terutama untuk menjadikan kampung Tematik unggulan Akuaponik
pada tahun 2017. Bahkan dinas pariwisata dan dinas ketahanan pangan Kota Semarang
beberapa kali datang untuk memberikan tambahan pengetahuan agar masayarakat
semakin siap. Beberapa photo-photo presentasi dinas Pariwisata Kota Semarang untuk
lebih mengembangkan Kampung Tematik Akuaponik tersebut adalah sebagai
berikut:

Gambar 15
Presentasi Dinas Pariwisata untuk Mempersiapkan
“Kampung Tematik Akuaponik”

Desa Wisata Akuaponik Kandri sedikit demi sedikit mulai diperhatikan pihak
luar, yang pada awalnya hanya Universitas Diponegoro saja yang melakukan rekayasa
sosial bersama RW IV dan Lurah Kandri. Hal ini sangat baik bagi perkembangan
Akuaponik ini sebagai wisata edukasi bagi siapa saja. Namun hal ini bisa jadi
membebani masyarakat jika mereka tidak siap, oleh karena itu proses rekayasa sosial
dan pemberdayaan masyarakat dari berbagai pihak, terutama perguruan tinggi masih
terus diharapkan. Karena sistem kegiatan yang sudah dilakukan adalah berbasis pada
komunitas. (Syahyuti, 2005) Secara umum, komunitas (community) adalah
sekelompok orang yang hidup bersama pada lokasi yang sama, sehingga mereka telah

39
berkembang menjadi sebuah kelompok hidup yang diikat oleh kesamaan kepentingan
(common interests). Dalam sosiologi, secara harfiah makna komunitas adalah
“masyarakat setempat” (Soekanto, 1999). Komunitas dapat dibedakan atas nernagai
pila, atas dasar level (lokal, nasional, internasional), riel atau tidak riel (virtual),
bersifat kooperatif, atau kompetitif. Untuk kesatuan hidup yang berada dalam satu
wilayah tertentu sebagai “community of places”, sedangkan hubungan yang diikat
karena kesamaan kepentingan namun tidak tinggal dalam satu wilayah geografis
tertentu (borderless) disebut dengan “community of interest”.
Bergulirnya konsep “bekerja dengan komunitas”, merupakan bentuk kritik
terhadap pendekatan pembangunan sebelumnya yang cenderung top down dan kurang
memperhatikan keunikan, kemampuan dan kespesifikasikan permasalahan tiap
kelompok masyarakat. Pembangunan berbasis komunitas merupakan paradigma baru
pembangunan ke pedesaan, hal ini disebabkan gagalnya pendekatan individual yang
menjadi landasan selama ini. Beberapa konsep pembangunan yang bertolak dari
paradigma ini misalnya adalah Community Development, dan Community Based
Management. Namun beberapa konsep lain juga menyertainya misalnya capacity
building dan empowerment. Konsep ini merupakan kritik dari pendekatan
pembangunan yang menganalisis manusia secara individu demi individu. Berikut
adalah prinsip dalam community development:
- Kebutuhan komunitas harus dilihat dalam pendekatan yang holistic, meskipun
prioritasnya dapat disusum secara sektoral namun harus menjelaskan
keterkaitan dalam perencanaan secara menyeluruh.
- Community development merupakan proses, yang mestinya menjadi bagian
penting dalam seluruh aktivitas, sehingga perlu adanya monitoring dan
evaluasi secara baik.
- Pemberdayaan merupakan hasil dari pengaruh, partisipasi, dan pendidikan
komunitas, yang akan dicapai apabila rangkaian aktifitas yang dijalankan
merupakan kebutuhan dan keinginan komunitas bersangkutan.
- Aktivitas yang dijalankan harus menjamin bahwa lingkungan sekitar
diperhatikan dengan baik.
- Mempertimbangkan keberlanjutannya (sustainability).

40
Pada akhir tahun 2016, sudah ada 35 sistem akuaponik di Desa Wisata
Akuaponik Kandri ini.

Gambar 16
Akuaponik yang berada di rumah-rumah warga dan taman

41
Gambar 17
Akuaponik yang berada di rumah-rumah warga dan taman

42
E. Kegiatan yang telah dilakukan Tahun 2017
Pada tahap kedua ini, tim pengabdian masyarakat UFST2D melakukan
kegiatan pengembangan pengelolaan wisata edukasi berbasis komunitas yang tepat
sesuai kebutuhan masyarakat dan tujuan pengembangan wisata edukasi spesifik ini.
Proses perijinan dengan pemerintah kota, kelurahan sampai tingkat warga sudah
berjalan dengan baik, adapun kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat lokal
terstruktur dan bersamaan dengan peran baru untuk mewakili lomba-lomba, baik
tingkat kota, provinsi secara lengkap kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Pelatihan Sistem Akuaponik melalui social learning
Di RW IV Kelurahan Kandri pada awalnya baru terdapat satu embrio
akuaponik perlahan-lahan berkembang menjadi banyak peminat.

Gambar 18
Pelatihan Pengembangan Akuaponik melalui social learning
(Pembelajaran dari komunitas)
2. Pembentukan Koperasi Ikatan Akuaponik
Pembentukan Koperasi Ikatan Petani Akuaponik

Gambar 19
Diskusi Pembentukan Ikatan Petani Akuaponik

43
3. Pemerintah Kota Semarang menerima KKN
Kebijakan Pemkot Kota Semarang menerima dan bekerjasama dengan tim KKN
UNWAHAS selama satu bulan yang mengambil tema pengembangan Desa Wisata
Akuaponik. Adapun untuk mahasiswa dari Undip membantu pengabdian dan
penelitian, serta pembuatan Website.

Gambar 20
Diskusi Pembentukan Ikatan Petani Akuaponik
4. Persiapan Survai dan kerjasama dengan mahasiswa
Persiapan perangkat survai, dokumen pendukung:
Kamera, bahan wawancara dan sosialisasi terhadap masyarakat untuk mendapatkan
berbagai isu permasalahan pengembangan akuaponik selama hampir dua tahun.

5. Kunjungan anak-anak TK dan TPQ Belajar Akuaponik


Kunjungan anak-anak TPQ belajar tentang akuaponik.

Gambar 21

44
Diskusi Pembentukan Ikatan Petani Akuaponik
6. Sharing pengembangan akuaponik di Klaten
Komunitas Akuaponik Kandri mengikuti sharing pengembangan akuaponik di Klaten.
Pertemuan ini untuk menjalin kerjasama dengan pihak luar Desa Wisata Kandri,
sehingga berbagai isu pengembangan akuaponik terbaru bisa segera diikuti untuk
dikembangakan di Kandri.

Gambar 22
Sharing Pengembangan Akuaponik

7. Website Kampung Akuaponik


Koordinasi dengan mahasiswa DPWK FT Undip mengenai pembuatan website
www.kampungakuaponik.com
Berbagai kegiatan kampung akuaponik disampaikan dalam website ini.

Gambar 23
Alamat Website: www.kampungakuaponik.com

45
8. Duplikasi pembuatan akuaponik untuk mendukung Desa Wisata Akuaponik
Pembuatan Sistem Akuaponik Bongkar Pasang oleh komunitas yang dipandu warga,
untuk mendukung lomba Desa Wisata Akuaponik, prinsip sistem aliran bentuk-bentuk
mengikuti aturan pemasangan akuaponik yang sudah ada. Adapun bentuk dan
kreatifitas sangat tergantung warga masyarakat.

Gambar 24
Sistem Akuaponik Bongkar Pasang
9. Penilaian Lomba Kelurahan

46
Penilaian Lomba antar Kelurahan Tingkat Provinsi, diwakili Kelurahan Kandri Kota
Semarang, dengan Akuaponik sebagai unggulan pemberdayaan masyarakat.

Gambar 25
Menjawab Pertanyaan Juri Lomba
10. Pembenahan sistem akuaponik
Pembenahan sistem akuaponik untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, terutama
menhadapi perubahan cuaca.

Gambar 26
Pembenahan Akuaponik di Landmark

11. Kunjungan Denok Kenang


Menerima Kunjungan peserta Lomba pemilihan Denok Kenang Belajar Wisata di
Kampung Akuaponik Kandri.

47
Gambar 27
Kunjungan Denok dan Kenang

12. Pembangunan Akuaponik Utama kerjasama dan dukungan Pemerintah Kota


Pembangunan Akuaponik dukungan Pemerintah Kota

Gambar 28
Pembangunan Akuaponik dukungan Pemerintah Kota

13. Kunjungan Wakil Walikota Semarang


Kunjungan Wawali Kota Semarang ibu Ita, meninjau persiapan Kelurahan Kandri
mewakili kota, untuk maju lomba Desa Wisata tingkat Nasional regional Jawa-Bali

48
Gambar 29
Kunjungan Wakil Walikota Semarang

14. Penilaian Juri Nasional Regional Jawa-Bali


Kedatangan juri nasional di Kampung Akuaponik Kandri. Didampingi ibu Wawali
Kota Semarang dan tim. Pada kesempatan ini ditampilkan pula-pula hasil budidaya
akuaponik yang lebih sehat dan enak karena organik. Juri diajak keliling di 80-an
akuaponik milik warga masyarakat. Ditampilkan juga hasil olahan akuaponik dari ibu2
PKK Kampung Akuaponik Kandri.

49
Gambar 30
Situasi Saat Penjurian
15. Diskusi Pengembangan Akuaponik
Diskusi pengembangan Kampung Akuaponik Kandri

Gambar 31
Diskusi Pengembangan Akuaponik

16. Sosialisasi Kampung Tematik Akuaponik


Sosialisasi Kampung Tematik 2017 dari Bappeda, bahwa pada tahun 2017 Desa
Wisata Akuaponik yang sudah dirintis sebelumnya menjadi Kampung Akuaponik.

50
Gambar 32
Sosialisasi Kampung Akuaponik dari Bappeda
17. FGD Kesehatan dan Hama Tanaman Akuaponik
Focus Group Discussion (FGD) Pemeliharaan Akuaponik dari hama tanaman dari Tim
UFST2D Undip.

Gambar 34
FGD Kesehatan dan Hama Tanaman Akuaponik
18. Pembuatan Akuaponik di Lab Biologi (dalam Proses)
Pembuatan akuaponik di Laboratorium Biologi sebagai dukungan riset untuk
pengembangan akuaponik Kandri.

51
Gambar 35
Gambar Sistem Akuaponik
19. Pembejaran Akuaponik bagi pegawai Masa Persiapan Pensiun karyawan PLN
Pembelajaran dan kunjungan dari PLN, belajar tentang akuaponik untuk
mempersiakan kegiatan mereka pasca pensiun. (diikuti oleh karyawan PLN yang
dalam status persiapan masa pensiun.

Gambar 36
Pembelajaran dan kunjungan dari PLN

20. FGD di Singapura terkait Water Leverage


Focus Group Discussion (FGD) di Singapura terkait Water Leverage, salah satu yang
dibahas adalah pengembangan Urban Farming Kota Semarang, isu yang hangat
dibicarakan adalah peluang Akuaponik sebagai pengembangan Urban Farming di
lahan terbatas perkotaan. Peserta: Kota Semarang Indonesia, Kota Chennai India, Kota
Khunsa Bangladesh, Belgia, Belanda dan China.

52
Gambar 38
Focus Group Discussion (FGD) di Singapura terkait Water Leverage
21. Seminar Nasional Implementasi New Urban Agenda
Seminar Nasional Implementasi New Urban Agenda melalui Pengembangan
Pariwisata yang Berbasis Budaya Lokal dan Pemberdayaan Komunitas. Di Universitas
Muhamadiyah Mataram Povinsi Nusa Tenggara Timur.
Judul makalah: “Kajian Pelaksanaan Rekayasa Sosial Pengembangan Kampung
Tematik Akuaponik di Desa Wisata Kandri Kota Semarang”.

22. Pelatihan Penggembangan Akuaponik


Pelatihan pengembangan Akuaponik untuk warga yang ingin dan baru memiliki sistem
akuaponik.

Gambar 39
Pelatihan Pengembangan Akuaponik

F. Pelaku Kepentingan dan Perkembangan Akuaponik Kandri


Kehadiran Lurah dan Camat di Kampung akuaponik Kandri menumbuhkan
harapan masyarakat untuk meningkatkan sistem akuaponik di rumah tangga masing-

53
masing. Oleh karena itu para pelaku kepentingan mulai melakukan kerjasama dan
kegiatan untuk keberhasilan Kampung Akuaponik Kandri. Adapun aktor dan urutan
proses pengembangan sehingga berkembang sampai sekarang adalah sebagai berikut:

Pelaku kepentingan Peran dan kolaborasi


UNDIP for Science Techno Membantu masyarakat menginisiasi kegiatan yang mampu
Tourism Development untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang sehat dari tanaman
(UFST2D) dan ikan; Melakukan studi untuk menentukan teknik
pertanian perkotaan yang paling sesuai di perkotaan,
terutama sistem akuaponik.
Bappeda Merencanakan dan membuat program ketahanan kota
(resilience city) dengan mengembangkan ketahanan
pangan (food security) yang berdampak luas kepada
masyarakat.
Tim Ketahanan Kota Memberikan masukan dan fasilitasi terselenggaranya
kegiatan ketahanan pangan perkotaan.
Dinas Ketahanan Pangan Sebagai leading organization bekerjasama dengan OPD
lainnya, lembaga riset dan/atau universitas untuk
melakukan kajian ketahanan pangan.
Dinas Pertanian Menyediakan data dan memberi masukan.
Dinas Pariwisata Menyiapkan masyarakat untuk aware terhadap kegiatan
wisata edukasi pengembangan akuaponik.
Sumber: Hasil analisis, 2017

Gambar
Adanya dukungan pelaku kepentingan 40 menyebakan perkembangan
tersebut
Peran Pelaku Kepentingan
yang cukup pesat dalam tahun 2016 dan 2017, proses rekayasa sosial berjalan melalui
pelatihan, diskusi, informasi yang cukup masif dari komunitas akuaponik dan Ketua
RW IV. Komunitas akuaponik Kandri mempunyai jaringan dengan pihak luar untuk
mendukung pembentukan Desa Wisata Akuaponik. Garis koordinasi perkembangan
pemangku kepentingan lokal tersebut adalah sebagai berikut:

Komunitas Belajar Pemerintah Kota


Akuaponik Semarang Warga
Indonesia
Lurah Camat
Warga

Warga inisiator Komunitas Ketua RW Warga


Akuaponik Akuaponik Kandri

Warga

Undip for Science


Warga
Techno Tourism
Development

Gambar 41
Hubungan Pembentukan Rekayasa
Sosial

54
Gambar 42
Adapun kronologi perkembangan akuaponik
Peta Kampung dan kegiatan
Akuaponik yang terjadi pada RW
Kandri
IV ini adalah sebagai berikut, jumlah ini terdiri terdiri dari 2 sistem akuaponik yang
didanai dari UFST2D, 1 dari Pemerintah Kota, yang lainnya adalah kemauan sendiri
masyarakat, setelah mengetahui manfaat akuaponik:

90 83
 Lanjutan Pembangunan 81 82
Sistem Akuaponik
warga 80 76
 Proses social learning 69 72
Akuaponik 70
 KKN Unwahas
60
60
 FGD Sistem
49
Jumlah KK

Akuaponik
pada warga 50
 Proses social 40
learning 40 35
Akuaponik
 Proses 30
Imitasi 30 25

20 15
 Kunjungan peserta ICRD
dari berbagai negara 7
 Dipersiapkan untuk 10 4 5
1 1 1 3
menjadi Kampung
Tematik Akuaponik 0
 Juara II lomba Sapta
Pesona Kota Semarang

Mewakili Kota Bulan


Semarang Kampung
Kreatif dan Inovatif
(Juara 1)

55
Gambar 43
Kronologi Perkembangan Akuaponik Kandri

Pembuatan Sistem  Sosialisasi


Akuaponik warga Kampung Tematik
Inisiasi awal  Pelatihan
Pembuatan Kesehatan
Akuaponik Tanaman
 Pembentukan tim
Sederhana
inti komunitas
oleh Warga
akuaponik Kandri  Pencanangan Lurah
 FGD Pelatihan dan Camat untuk
Sistem Akuaponik lomba Kampung
 Praktek pembuatan Kreatif dan Inovatif
sistem di Rumah  FGD Lanjutan di
Tangga tingkat RT
Bersama Desa Wisata
Peresmian Desa Kandri lomba
Wisata Akuaponik mewakili Provinsi
 Dukungan Undip for (Juara 4 Regional
oleh LPPM Undip
Science Techno Jawa-Bali)
Tourism Development
(UFST2D)
 Sosialisasi Ketahanan
Pangan melalui sistem
Akuaponik
 FGD Pengembangan
Akuaponik

Gambar 6
Kronologi Kegiatan Perkembangan
Jumlah Sistem Akuaponik

56
F. Kegiatan yang telah dilakukan Tahun 2018
Pada tahap ketiga ini, tim pengabdian masyarakat UFST2D selain tetap
melanjutkan kegiatan pengembangan pengelolaan wisata edukasi berbasis komunitas
yang tepat sesuai kebutuhan masyarakat. Kegiatan-kegiatan pemberdayaan
masyarakat lokal terstruktur dan bersamaan dengan peran baru untuk mewakili lomba-
lomba, baik tingkat kota, provinsi. Berbagai permintaan pelatihan-pelatihan
pembuatan akuaponik oleh instansi, sekolah dan kelompok masyarakat lain silih
berganti terjadwal di Kampung Akuponik Kandri ini. Isu paling utama kegiatan tahun
ketiga adalah masalah produksi, kemasan dan pemasaran. Pada umumnya kegiatan di
tingkat rumah tangga hasil-hasil ikan dan sayuran masih untuk konsumsi sendiri dan
tetangga sekitarnya.
Untuk memenuhi permintaan hasil-hasil ikan dan sayuran organik maka
komunitas petani akuaponik merintis sistem akuponik skala menengah untuk produksi
yang lebih banyak. Perhitungan bisnis dilakukan secara cermat untuk kegiatan sistem
akuponik yang diharapkan bisa memberikan tambahan income keluarga petani
akuaponik ini. Saat ini sistem akuponik ini sedang berjalan, sehingga tahap berikutnya
adalah pengemasan dan pemasaran menjadi isu menarik untuk segera diselesaikan di
Kampung Akuaponik Kandri ini, secara lengkap kegiatan yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Kunjungan dari Media Massa dan Pemkot Kota Semarang
Adanya kebijakan dari Ketua Penggerak PKK Kota Semarang untuk
mengembangkan “Pertanian Perkotaan” dilahan sempit, maka Kampung Akuaponik
Kandri menjadi salah satu tujuan pembelajaran pertanian perkotaan tersebut. Salah
satu kegiatan yang dilakukan adalah menerima kunjungan wartawan untuk
pemberitaan Kampung Akuaponik dari media Tribunews (Jumat, 9 Pebruari 2018).

Gambar 44
Dukungan Pemerintah Kota Semarang terhadap Petani Akuaponik

57
2. Pelatihan Akuaponik
Pelatihan pembuatan sistem Akuaponik untuk karyawan PLN dari berbagai
provinsi untuk menghadapi masa pensiun, kegiatan ini dilakukan pada Masa Persiapan
Pensiun (MPP). Pelatihan dilaksanakan di Kampung Akuaponik Kandri.

Gambar 45
Pelatihan Sistem Akuaponik untuk MPP PLN
3. FGD Petani Akuaponik Kandri
Focus Group Discussion (FGD) Rapat Petani Akuaponik Kandri dalam rangka
mengembangkan hasil-hasil produksi akuaponik.

Gambar 46
Focus Group Discussion (FGD) Rapat Petani Akuaponik Kandri
4. Kunjungan dari UGM dan Belanda
Kunjungan dari Kerjasama StudioPerencanaan (Joint Studio) antara MPWK Undip
dengan University of Radboud Belanda dan UGM Yogyakarta.

58
Gambar 47
MPWK Undip dengan University of Radboud Belanda dan UGM Yogyakarta

5. Sosialisasi Pertanian Perkotaan untuk PKK di Kota Semarang


Sosialisasi Sistem Akuaponik menjadi salah satu unggulan untuk
pengembangan pertanian perkotaan di lahan terbatas di Kota Semarang.

Gambar 48
Sosialisasi Sistem Akuaponik sebagai Pendukung Urban Farming
Kota Semarang
6. Seminar Akuaponik tingkat Jawa Tengah
Hal yang paling menarik adalah peluang pinjaman perbankan untuk
pengembangan akuaponik skala produksi. Seminar ini didukung oleh Komunitas
Petani Akuaponik Kandri yang menjadi binaan dari UFST2D Undip. Tim Akuaponik
Kandri menyiapkan berbagai peraga sistem akuaponik untuk bahan pelatihan. Jumlah
peserta lebih dari 1200 orang dari berbagai tempat di Jawa Tengah. Seminar
Akuaponik Jawa Tengah kerja sama dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Jateng
dan Komunitas Akuaponik Kandri.

59
Gambar 49
Seminar Akuaponik Tingkat Jawa Tengah
7. Pembuatan Akuaponik skala produksi di Kampung Akuaponik Kandri
Pembangunan Akuaponik skala produksi di Kampung Akuaponik Kandri,
melalui dukungan petani akuaponik. Kesadaran bahwa akuaponik skala rumah tangga
hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan internal, menyebabkan petani akuponik
berupaya untuk mengembangkan pada lahan yang lebih luas di permukiman mereka.

Gambar 50
Pembangunan Akuaponik Skala Produksi

60
8. Pelatihan Pengemasan hasil-hasil Akuaponik
Pelatihan Pengemasan hasil-hasil Kampung Aquaponik Kandri

Gambar 51
Pelatihan Pengemasan Hasil Akuaponik

9. Pelatihan untuk Masyarakat Luar


Kegiatan Pelatihan Akuaponik untuk pihak luar, dilatih oleh komunitas akuaponik
Kandri. Pelatihan-pelatihan ini terjadwal untuk masyarakat luar jika memenuhi
jumlah minimal pendaftar 25 orang. Sampai saat ini Komunitas Petani Akuaponik
Kandri sudah lebih melatih masyarakat luar lebih dari 10 kali.

Gambar 52
Photo-photo Pelatihan Akuaponik untuk berbagai Masyarakat

61
10. Visitasi Lapangan dari Tim LPPM
Kegiatan visitasi lapangan oleh tim LPPM Undip diterima bapak Ketua RW dan
komunitas akuaponik Kandri. Pada saat vsisitasi disampaikan hasil-hasil kemasan
yang produksi Petani Akuaponik Kandri. Penggunaan mesin vaccum sumbangan
dari UFST2D sangat membantu masyarakat.

Gambar 53
Photo-photo saat Visitasi Lapangan oleh Tim LPPM Undip

G. Nilai Keuntungan Ekonomis Budidaya melalui Akuaponik


1) Ikan Lele
Perhitungan nilai ekonomis pada budidaya ikan lele dengan sistem
akuaponik dihitung mulai penebaran bibit ikan sampai masa panen. Masa panen
standar yang bisa dilakukan ialah 2-3 bulan. Di bawah ini adalah hasil perhitungan
nilai ekonomis dari budidaya lele dengan asumsi tebar benih standar 400 ekor/m2,
kebutuhan pakan 3% dari bobot tubuh yang per hari per ekor yang selalu
diperbaharui selama 10 hari dan resiko kematian sekitar 30% dari seluruh jumlah
lele yang ditebar. Berikut adalah hasil perhitungannya yang dibagi atas 3 jenis
kolam:

62
Tabel 1
Kolam I : Ukuran (0,8 X 0,5 X 0,5) Meter
Variabel Volume Harga Jumlah
Biaya Produksi
Benih 160 ekor Rp 100/ekor Rp 16.000
Pakan 33 kg Rp 5500/kg Rp 99.000
Obat 1 Rp 25000/ 1 Rp 25 000
Rp 140.000
Perkiraan Keuntungan
Hasil panen 18 kg Rp 24.000/kg Rp 264.000
Keuntungan Rp 124.600
Sumber: Hasil Analisis, 2018

Tabel 2
Kolam II : Ukuran (1,2 X 1,2 X 0,8) Meter
Variabel Volume Harga Jumlah
Biaya Produksi
Benih 576 ekor Rp 100/ekor Rp 57.000
Pakan 65 kg Rp 5500/kg Rp 357.000
Obat 1 Rp 25000/ 1 Rp 25 000
Rp 440.100
Perkiraan Keuntungan
Hasil panen 18 kg Rp 24.000/kg Rp 960.000
Keuntungan Rp 519.900
Sumber: Hasil Analisis, 2018

Tabel 3
Kolam III : Ukuran (4 X 1,5 X 1) Meter
Variabel Volume Harga Jumlah
Biaya Produksi
Benih 2400 ekor Rp 100/ekor Rp 240.000
Pakan 270 kg Rp 5500/kg Rp 1.485.000
Obat 1 Rp 25000/ 1 Rp 25 000
Rp 1.750.000
Perkiraan Keuntungan
Hasil panen 18 kg Rp 24.000/kg Rp 4.032.000

Keuntungan Rp 2.282.000
Sumber: Hasil Analisis, 2018

2) Ikan Nila
Hampir sama dengan budidaya ikan lele, pada perhitungan nilai ekonomis
budidaya ikan nila dengan sistem akuaponik dihitung mulai penebaran bibit ikan

63
sampai masa panen. Hanya saja masa panen standar yang bisa dilakukan pada ikan
nila ialah sekitar 3-4 bulan. Artinya perlu waktu lebih lama satu bulan hingga ikan
budidaya bisa dipanen.
Pada perhitungan nilai ekonomis budidaya ikan nila dengan sistem
akuaponik ini digunakan beberapa asumsi. Diantaranya ialah tebar benih ikan nila
dari mulai bibit ialah sekitar 300 ekor/ m2, kebutuhan pakan hampir sama dengan
ikan lele yaitu 3%/ekor/hari dari bobot tubuh dan selalu diperbaharui setiap 10 hari,
serta asumsi resiko kematian dari mulai tebar benih sampai panen ialah sekitar
10% dari total ikan nila yag ditebar. Berikut adalah hasil perhitungannya yang
dibagi atas 3 jenis kolam:
Tabel 4
Kolam I : Ukuran (0,8 X 0,5 X 0,5) Meter
Variabel Volume Harga Jumlah
Biaya Produksi
Benih 120 ekor Rp 75/ekor Rp 9.000
Pakan 33 kg Rp 8.000/kg Rp 264.000
Obat 1 Rp 25000/ 1 Rp 25 000
Rp 298 000
Perkiraan Keuntungan
Hasil panen 18 kg Rp 23.000/kg Rp 414.000
Keuntungan Rp 116.000
Sumber: Hasil Analisis, 2018

Tabel 5
Kolam II : Ukuran (1,2 X 1,2 X 0,8) Meter
Variabel Volume Harga Jumlah
Biaya Produksi
Rp
Benih 432 ekor Rp 75/ekor
32.400
Rp
Pakan 120 kg Rp 8.000/kg
960.000
Rp
Obat 1 Rp 25000/ 1
25.000
Rp 1.017.
000
Perkiraan Keuntungan
Rp
Hasil panen 66 kg Rp 23.000/kg
1.518.000
Keuntungan Rp 500.600
Sumber: Hasil Analisis, 2018

64
Tabel 6
Kolam III : Ukuran (4 X 1,5 X 1) Meter
Variabel Volume Harga Jumlah
Biaya Produksi
Benih 1800 ekor Rp 75/ekor Rp 135.000
Pakan 500 kg Rp 8.000/kg Rp 4.000.000
Obat 1 Rp 25000/ 1 Rp 25.000
Rp 4.160.000
Perkiraan Keuntungan
Hasil panen
66 kg Rp 23.000/kg Rp 6.325.000
(estimasi 10% mati)

Keuntungan Rp 2.165.000
Sumber: Hasil Analisis, 2018

3) Sayuran
Pada akuaponik sayuran terbagi atas 3 jenis, yaitu selada, kangkung dan
bayam. Masa waktu yang diperlukan untuk semua jenis sayuran ini mulai
pembenihan hingga panen ialah sekitar 30-45 hari atau sekitar 1 bulan. Berikut
adalah hasil perhitungan nilai ekonomis sayuran melalui akuaponik tersebut yang
dihitung dalam masa 3 kali panen, dengan asumsi biaya produksi (benih dan
nutrisi) berlaku untuk 3 kali panen. Termasuk hasil perhitungan nilai ekonomis
persatu kali panen.
Tabel 7
Nilai Ekonomis Sayuran Akuaponik
Variabel Volume Harga Jumlah
Biaya Produksi
Benih 3 sachet Rp 3000/sachet Rp9.000
Nutrisi 1 pcs Rp 15000/pcs Rp15.000
Jumlah Rp24.000
Perkiraan Keuntungan
Salada 15 ikat/ panen Rp 3500/ikat Rp157.500
Kangkung 6 ikat/ panen Rp 2000/ikat Rp36.000
Bayam 6 ikat/ panen Rp 1400/ikat Rp25.200
Jumlah Rp218.700
Keuntungan 3 kali panen (3 bulan) Rp194.700
Keuntungan 1kali panen Rp64.900
Sumber: Hasil Analisis, 2018

65
Dari perhitungan diatas dapat diketahuai bahwa, berbagai ukuran kolam untuk
pengembangan akuaponik, jika dilakukan dengan cara-cara yang benar dapat
memberikan keuntungan bagi para pemiliknya di tingkat rumah tangga. Adapun jika
ingin dilakukan berbisnis dengan pihak-pihak luar, maka komunitas rumah tangga
akuponik harus bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan itu.

66
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
Introduksi teknologi yang diterapkan adalah terkait dengan rekayasa sosial,
yang dimulai dari potensi satu buah akuaponik sederhana milik salah satu masyarakat,
kemudian dikembangkan dengan prinsip-prinsip estetika, prinsip bertani ikan dan
tanaman secara berkesinambungan melalui teknologi filter mekanik, filter biologi dan
sumptank penampung yang disirkulasikan ke media tanaman. Pada tahun pertama
masih pada taraf rekayasa sosial terhadap ketahanan pangan masyarakat melalui
pengembangan akuaponik sederhana, yang pada akhirnya dapat berkembang sebagai
wisata edukasi akuponik.
Kegiatan pengabdian UFST2D “Menuju Ketahanan Pangan Komunitas
melalui Pengembangan Akuaponik Berbasis Masyarakat di Desa Wisata Kandri”
berjalan seiring dengan pengembangan penguatan masyarakat lokal dalam
membangun jaringan komunitas dan akuaponik secara mandiri. Hasil dari penguatan
tersebut adalah terdapat antusiasme masyarakat dalam mewujudkan RW IV ini sebagai
Desa Wisata Akuaponik. Masyarakat sudah mendapatkan gambaran manfaat secara
jelas keunggulan dan manfaat yang akan dihasilkan dalam proses pengembangan
akuaponik ini, yaitu sayuran dan hasil ikan organik.
Rangkaian kegiatan yang berlangsung dimulai dari pembentukan tim inti
sebagai fasilitator dan pemberi contoh pembangunan akuaponik skala rumah tangga
sehingga terjadi proses pembelajaran sosial (social learning). Secara internal, Lurah,
Camat dan Pemerintah Kota Semarang ini menerima secara terbuka dan antusias
terhadap tema spesifik terhadap pengembangan wilayah ini. Kondisi penguatan
internal ini ternyata mendapat dukungan berbagai pihak eksternal sehingga Desa
Wisata Akuaponik Kandri bisa terbentuk dan bermanfaat untuk proses edukasi bagi
masyarakat umum.
Pada awalnya hanya 1 (satu) buah saja akuaponik sederhana di RW IV ini,
sampai akhir 2016 pengabdian USFT2D terdapat 35 (tigapuluh lima), saat ini
berkembang menjadi 83 (delapan puluh tiga) lokasi akuaponik berbasis rumah

67
tangga. Kondisi masing-masing akuaponik bermacam-macam, ada yang sudah sesuai
dengan prinsip bekerjanya sistem akuaponik, namun tidak sedikit yang masih sangat
sederhana. Disatu sisi pencanangan sebagai Desa Wisata Akuaponik, bahkan oleh
pemerintah kota dalam hal ini Dinas Pariwisata Kota Semarang mendukung untuk
menjadi Kampung Tematik Akuaponik dan mengikuti lomba pada tahun 2017.
Padalah berbagai masalah masih menyertai pengembangan akuaponik ini dalam satu-
satu persatu rumah tangga, terutama terkait kualitas produksi yang dihasilkan.
Pontensi sebagai wisata edukasi sudah mulai berjalan, baik lokal manupun
nasional, bahkan pengunjung dari berbagai negara pernah mendatangi Desa Wisata
Akuaponik Kandri ini. Kunjungan tersebut bukan berarti sudah tidak ada masalah,
bahkan masalah dan tantangan pengembangan semakin besar. Pada tahun 2018,
kesadaran komunitas petani untuk berproduksi lebih banyak melalui sistem akuaponik,
mereka membuat kolam komunal bersama yang diharapkan hasilnya bisa dijual ke
pasaran dengan kualitas organik dalam kemasan. Disamping itu kegiatan mengisi
pelatihan terkait akuaponik semakin banyak, karena komunitas ini menjadi andalan
Kota Semarang dalam pengembangan pertanian perkotaan.
2. Saran
Saran yang diberikan terkait dengan pelaksanaan kegiatan pengabdian
UFST2D yang telah dilakukan antara lain:
- Perlunya keterlibatan konkrit dari pemerintah kota khususnya yang menangani
ketahanan pangan dengan bekerjasama dan koordinasi dengan Perguruan Tinggi.
- Perlunya partisipasi aktif dari tokoh masyarakat untuk mengajak anggota
masyarakatnya yang didasari untuk menciptakan desa wisata akuaponik yang
berestetika dan mampu menghasilkan manfaat ekonomi.
- Perlunya keterlibatan masyarakat secara langsung dalam pengelolaan
pengembangan akuaponik skala rumah tangga.
- Tim Peneliti dari Undip, meneliti secara teknis 83 lokasi, terkait dengan kualitas
nutrisi dari akuaponik yang berjalan, sehingga bisa mmenentukan jenis ikan dan
tanaman yang baik bagi masing-masing lokasi.

68
DAFTAR PUSTAKA

AdrianaTisca, I., Istrat, N., Dumitrescu, C. D., & Cornu, G. (2016). Management of
Sustainable Development in Ecotourism. Case Study Romania. Procedia
Economics and Finance, 39, 427-432. doi:10.1016/s2212-5671(16)30344-6
Apriyanti, R. N., & Rahimah, D. S. (2016). Akuaponik Praktis, My Trubus Potential
Business (Vol. Februari, 2016). Jakarta: Trubus Swadaya.
Auesriwong, A., Nilnoppakum, A., & Parawech, C. (2015). Integrative Participatory
Community-Based Ecotourism at Sangkhom District, Nong Khai Province,
Thailand. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 23, 778-782.
doi:10.1016/S2212-5671(15)00529-8
Belinda, N., & Rahmawati, D. (2017). Pengembangan Urban Farming Berdasarkan
Preferensi Masyarakat Kecamatan Semampir Kota Surabaya. JURNAL
TEKNIK ITS, Vol. 6, No. 2 1-4.
Bernstein, S. (2011). Aquaponic Gardening: A step-by-step guide to raising vegetables
and fish together. Gabriola Island, Canada: New York Society Publishers.
Bungin, B. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Congleton, J. (2012). Dirty Dozen: EWG Reveals List Of Pesticide-Heavy Fruits And
Veggies. http://www.huffingtonpost.com/2012/06/19/dirty-dozen-foods-list-
2012-ewg_n_1606256.html.
DiDomenica, B., & Gordon, M. (2016). Food Policy: Urban Farming as a
Supplemental Food Source. Journal of Social Change
©Walden University, LLC, Minneapolis, MN, Volume 8, Issue 1(©Walden University,
LLC, Minneapolis, MN), 1-13. doi:10.5590/JOSC.2016.08.1.01
Duarte, A. J., Malheiro, B., Castro Ribeiro, C., Silva, M. F., Ferreira, P., & Guedes, P.
(2015). Developing an aquaponics system to learn sustainability and social
compromise skills. Journal of Technology and Science Education, 5(4).
doi:10.3926/jotse.205
Faisol, E. (2013).
Kampung Kandri Menjadi Desa Wisata. Koran Tempo. Retrieved from
http://www.tempo.co/read/news/2013/01/28/199457317/Kampung-Kandri-
Menjadi-Desa-Wisata
Hart, E. R., Webb, J. B., & Danylchuk, A. J. (2013). Implementation of Aquaponics
in Education: An Assessment of Challenges and Solutions. International
Council of Association for Science Education, 24(4), 460-480.
Hou, J., Johnson, J., & Lawson, L. (2009). Greening Cities, Growing Communities:
Learning from Seattle’s Urban Community Gardens. Washington, USA:
Seatle's, WA: University of Washington Press.
Hwang, D., Stewart, W. P., & Ko, D.-w. (2011). Community Behavior and Sustainable
Rural Tourism Development. Journal of Travel Research, 51(3), 328-341.
doi:10.1177/0047287511410350

69
Kaethler, T. M. (2006). Growing Space: The Potential for Urban Agriculture in the
City of Vancouver: School of community and regional planning University of
British Columbia.
Kloczko-Gajewska, A. (2014). Can We Treat Thematic Villages as Social Innovations?
Journal of Central European Green Innovation, 2(3), 49-59.
Kłoczko-Gajewska, A. (2013). General Characteristics of Thematic Villages in
Poland. Visegrad Journal on Bioeconomy and Sustainable Development, 2(2).
doi:10.2478/vjbsd-2013-0012
Kyaw., T. Y., & Ng., A. K. (2017). Smart Aquaponics System for Urban Farming.
Energy Procedia, 342-347.
Mahmudah. (2012 ). Waduk Jatibarang Dikembangkan Jadi Objek Wisata. Antara.
Retrieved from
http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=66734#.UWOi5KIwpwE
McLaughlin, H., Brown, D., & Young, A. M. (2004). Consultation, Community and
Empowerment: Lessons from the Deaf Community. Journal of Social Work,
4(2), 153-165. doi:10.1177/1468017304044859
Merriam, S. B. (2002). Qualitative Research in Practice: Example for Discussion and
Analysis (first ed.). New York, USA: Jossey-Bass A Wiley Company 989
Market Street San Fransisco.
Mougeot, L. J. A. (2005). Agropolis The Social, Political and Environmental
Dimensions of Urban Agriculture. First published in the UK, USA and Canada:
Earthscan and the International Development Research Centre (IDRC).
Mouton, F., Leenen, L., & Venter, H. S. (2016). Social engineering attack examples,
templates and scenarios. Computers & Security, 59, 186-209.
doi:10.1016/j.cose.2016.03.004
Nasution, S. (1988). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Penerbit
Tarsito.
Nordahl, D. (2009). Public Produce: The New Urban Agriculture. Washington DC:
Island Press.
Pemberton, C., Mgonja, M., De Sormeaux, A., Patterson-Andrews, H., &
Mwaisango, E. (2016). Food Security: A Comparison of Indicators for the
United States and United Republic of Tanzania. Journal of Food Security,
Vol. 4(No. 4), 95-103. doi:10.12691/jfs-4-4-3
Rahmat, J. (2000). <Rekayasa Sosial Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar
.Jakarta Erlangga.pdf>.
Redwood, M. (2009). Agriculture in Urban Planning Generating Livelihoods and Food
Security. First published in the UK and USA: Earthscan and the International
Development Research Centre (IDRC).
Somerville, C., Cohen, M., Pantanella, E., Stankus, A., & Lovatelli, A. (2014). Small-
scale Aquaponic Food Production Integrated Fish and Plant Farming.
Steele, K. (2017). Urban Farming: An introduction to urban farming, from types and
benefits to strategies and regulations. USA: ©2017 Vitalyst Health
Foundation, 2929 N Central Ave, Suite 1550.

70
Syafi'i, M., & Suwandono, D. (2015). Perencanaan Desa Wisata dengan Pendekatan
Konsep Community Based Tourism (CBT) di Bedono, Kecamatan Sayung,
Kabupaten Demak. Ruang, I(2), 51-60. doi:10.14710/RUANG.1.4.31-40
Syahyuti. (2005). Pembangunan Pertanian dengan Pendekatan Komunitas (Kasus
Rancangan Program Prima Tani).
Tornaghi, C. (2014). Critical geography of urban agriculture. Progress in Human
Geography, 38(4), 551-567. doi:10.1177/0309132513512542
Uphoff, N. (1986). Local Institutional Development: An Analitical Sourcebook With
Cases. USA: Kumarian Press.
Veenhuizen, R. v. (2007). Profitability and sustainability of urban and peri-urban
agriculture Viale delle Terme di Caracalla, 00153 Rome, Italy Electronic
Publishing Policy and Support Branch Communication Division FAO.
Yogatama, A. N. (2017). Peran Etrepreneurship Bagi Pengembangan Kampung
Wisata Organik Pesona Agro. Jibeka, Volume 11(No. 2), 1-10.

71
Lampiran

Dipresentasikan dalam Seminar Internasional

Achieving and Sustaining SDGs 2018 Conference


Padjajaran University, Bandung
Thursday, October 18th 2018

72
73
74
SUSTAINABLE URBAN FARMING THROUGH
COMMUNITY-BASED AQUAPONICS
Case: Kandri Village, Semarang
Mardwi Rahdriawan*, Hadi Wahyono*, Nany Yuliastuti*, Rejeki Siti
Ferniah**
* Department of Urban and Regional Planning, Faculty of Engineering, Diponegoro University
** Department of Biology, Faculty of Science and Mathematics, Diponegoro University
e-mail: mardwi.rahdriawan@pwk.undip.ac.id

Abstract
Aquaponics is a combination of aquaculture and farming method without using soil. This farming system utilizes
fish feces as a source of nutrition for plants and the use of plants to control water quality for fish. Therefore, the
local residents in Kandri Village tried to build aquaponics farm in their settlement. Initially, there were some
problems with aquaponics development and many residents have not paid attention in supporting this farming
technology. However, they realized to gain knowledge and improve the conditions of the aquaponics based on
community development in their settlement. This study aims to explain the process of developing and utilizing
aquaponics in supporting sustainable urban farming, and its applied qualitative method. The results of the
observations have seen the emergence of social learning in aquaponics development by collaboration with various
parties. The indication, it can be seen from one aquaponic, then this farming technology developed by many
agencies support into more than seventy aquaponics in private houses and public areas. The observation shows
that in sustainable urban farming in small-scale areas, aquaponics owners couldn't run individually, they must
work together to get mutual gain.

Keywords: Sustainable urban farming, aquaponics, community development

1. INTRODUCTION
Urban farming is a dynamic concept that consists of various livelihood systems ranging
from production and processing at the household level to more commercial agriculture. It can
be explained that urban farming is not only in the form of agriculture but also in other forms
such as stockbreeding, food production and others (Nordahl, 2009; Veenhuizen, 2007). The
variety of farms includes small-intensive agriculture and livestock, food production in housing,
land sharing, rooftop gardens, greenhouses in schools, restaurants that are integrated with
gardens, food production in public spaces, and vegetables production in vertical space (Hou,
Johnson, & Lawson, 2009; Mougeot, 2005; Redwood, 2009). Urban farming has become a
common practice in many cities by involving communities in a variety of ways (Tornaghi,
2014).
The history of urban farming development has been going on for a long time with
various backgrounds. At first, due to war and natural disasters in the Middle Ages, people made
a way to get food supplies, one of them was making plantations in empty spaces. They began
to grow fruits, vegetables, medicinal plants and flowers for themselves. In the 1890s, the
Detroit, Michigan government created a program known as Potato Patch to encourage its
citizens to plant on urban land (DiDomenica & Gordon, 2016). The industrial revolution also
caused the rise of urban farming in the UK. The government provides a garden for workers.
The goal is that they can grow their own food ingredients. Urban farming introduced to the
public during the food and economic crisis in the United States during the world war. In the

75
second world war, the United States made a Victory Garden program that is the activity of
building a park in the city space (Belinda & Rahmawati, 2017). Through these activities school,
children and families plant crops so they can eat fresh food.
Kaethler (2006) has classified urban farming into two types based on the extent of
agricultural land. The two types of urban agriculture in question are small-scale urban
agriculture and large-scale urban agriculture (Table 1). Small-scale urban agriculture is the
urban agricultural activity which has an area of fewer than 1,000 m2. Large-scale urban
agriculture can be used for livestock, horticulture, and nurseries.
Table 1. Urban Agriculture Categories of Use
Primary Parcel Category Subset Category
Growing on Impervious Surfaces or Poor
Category Large-Scale Growing Operations
Small-Scale Growing Operations Community Gardens
Soil
Size >1000 m2 92-1000 m2 150-14000 m2 465 m2
Farm stands, educational gardening Vertical gardening, indoor growing
CSAs, urban farms, communityprograms,
orchards,composting, vermiculture, food (sprouts, mushrooms, aquaculture,
Gardens with individual or communal plots;
Use animal husbandry, horticulture,
bank
nursery,
gardening, herb growing, beekeeping, vermiculture), greenhouses, farm stands,
gardens with shared space and resources
beekeeping market gardens, edible landscaping, fruit processing facilities, farmers markets,
trees container gardening, hydroponics
Source: Adapted from Kaethler (2006)
In Table 1, there are two types of urban farming, namely community gardens and
planting on surface land. Community gardens are urban agriculture that is carried out in groups
by a community. Land area for community gardens activities of at least 150 m2. In this activity,
the role of individuals and communities is needed. Urban agriculture with community gardens
can be used as communal plantations. Urban agriculture can also be done on a surface or bad
land and is not resistant to water. The area of land used for agricultural activities is 465 m2.
Examples of urban agriculture with these types are vertical gardens, hydroponics, indoor
plantations such as mushroom plantations, sprouts, aquaculture and viticulture (Kaethler,
2006). In addition, for optimizing urban land and utilizing available resources, urban
agriculture also maintains the environmental sustainability with green open spaces. Continuing
community participation is a factor in the sustainability of urban agriculture. There is a
difference between conventional versus sustainable urban agriculture (Steele, 2017). Here,
sustainable urban farming is suitable for small groups of people who take care about healthy
food production, as illustrated in Table 2.
Table 2. Conventional versus Sustainable Urban Agriculture
Conventional Agriculture Sustainable Urban Agriculture
National/international production, processing, and marketing More local/regional production, processing, and marketing
Concentrated with fewer farmers Dispersed with more farmers
Large, capital-intensive production Smaller, low-capital production
Impersonal and consumerism More personal, community self-sufficiency
Competition focused-farming as a business only Community focused-farming as rewarding, a way of life
Domination of nature Harmony with nature
Production maintained by agricultural chemical-synthetic fertilizers, Production maintained by the development of healthy soil, use of
pesticides, herbicides fungicides integrated pest management techniques
Specialization: monoculture crops with single-cropping in succession Diversity: poly-cultures with multiple crops grown in
complementary rotations
Separation of crops and livestock Integration of crops and livestock
Standardized production systems Locally adapted production systems
Exploitation: reliant on nonrenewable resources focus on short-term Restraint: consideration of all external costs, concern with short-
benefits over long-term consequences, external costs often ignored term and long-term outcomes, focus on renewable resources and
conservation of non-renewable resources
Source: Adapted from Beus, C.E, and Dunlap. R.E (1990) in Steele (2017)

76
Urban farming is also attractive for the government and society because it can support
the concept of food security, where the conceptual focus on these activities can meet the four
pillars, there are: availability, access, utilization and stability, in accordance with the 1996
World Food Summit (WFS) definition: "Food security is a time when everyone has physical
and economic access to sufficient, safe and nutritious food to fulfill their food needs for an
active and healthy life" (Pemberton, Mgonja, De Sormeaux, Patterson-Andrews, &
Mwaisango, 2016).
Besides the urban farming system, one of the most important issue in a meeting the
basic needs of the community is the result of quality and sustainable food. Therefore, many
food products that do not encounter health requirements are found on the market. Vegetables
and fruits contain a lot of toxic ingredients that are not good for health, even though both types
of food are highly recommended for regular consumption, because it is good for health. Health
experts from the Environmental Working Group (EWG) explained the results of their research
on vegetables and fruits, from the results of 68% of the research trials recorded containing
pesticides. Pesticide content even remains attached after washing or peeling the skin. Various
types of pesticides used have the potential to be carcinogens or can cause cancer, interfere with
the production of endocrine hormones, and can disrupt with children's growth and development
(Congleton, 2012).
In such situations, it is not surprising that many communities group appear to avoid
these hazards, one of which is farming through the aquaponics. This system is a combination
of aquaculture methods with farming methods without using plants media in the form of soil
(hydroponic) which can be placed on limited land (Duarte et al., 2015; Hart, Webb, &
Danylchuk, 2013; Somerville, Cohen, Pantanella, Stankus, & Lovatelli, 2014) . The
aquaponics is an agricultural system that utilizes fish manure as a source of nutrition for plants
and the utilization of plants as a controller of water quality for fish, hence it is said that
aquaponics is a method of sustainable aquaculture and agriculture, both of which form
mutualism dependency (Bernstein, 2011; Somerville et al., 2014). The results of aquaponic are
organic fish and vegetables that are very good for human consumption. The existence of this
farming is expected as an alternative to sustain sustainable urban agriculture that can be seen
in the context of its influence on the economy, social and environment. (Somerville et al.,
2014)
Awareness of the fulfillment of healthy food is developing in aquaponics farming
communities in various places, one of which is the aquaponics community in RW IV of Kandri
Village, in the District of Gunungpati Semarang. The residents who attempted to develop an
aquaponic in their private house in 2016. Initially, there was one aquaponic cultivation system,
and even then there were still many problems faced. First, the aquaponic materials and tools
used still limited. Second, the cultivation system of fish farming and raising is still simple.
Third, many residents have not been interested in making aquaponics in their settlement. These
various constraints and shortcomings did not dampen the process of aquaponics development
in RW IV of Kandri Village. For this reason, the research question is about the process of
sustainability of urban farming through community-based aquaponics in Kandri Village. Why
did the people support the realization of the aquaponic village?

77
2. METHOD
This research applied qualitative method, which is in accordance to the aim of the
research to explore deeply the contemporary phenomena related to community activities for
urban agriculture through the aquaponics system in RW IV Kandri Village, Semarang. The
descriptive qualitative research approach was a case study and qualitative analysis tool carried
out by collecting data in the form of data other than numbers, namely words or images.
Qualitative models were used to examine the condition of a natural object not an experiment,
where the position of the constituent is as a key instrument, sampling the data source. Data
collection in this study was conducted both primary and secondary such as literature review,
documents, interviews, and observations. This study applied semi-structured interviews where
interviews of this type were also included in the category of in-depth interviews (Merriam,
2002; Nasution, 1988). The participants are key persons who know and involve in Aquaponic
Kandri activities Then according to the rules of the case study research, the researcher will be
open to all data that can explain the case so that here the data will be combined with
triangulation. Tools and techniques such as observation, in-depth interview, preliminary
meetings, inter-group meetings, and workshops were used to gain stakeholders’ participation
(Auesriwong, Nilnoppakum, & Parawech, 2015). The sample of participants was determined
purposively by people based on the specific characteristics of the sample (Bungin, 2003).
3. RESULT AND DISCUSSION
Kandri Village with four RWs (Rukun Warga/community unit) has been designated as
a tourism village because they have the potential of the local economic development carried
out by the local community. Each RW in Kandri Village is expected to have its own tourism
potential and characteristics, namely: RW I is developed as an educational and natural
education tourism. RW II is a natural tourist destination, such as outbound, camping, and
village exploring. RW III is one of the main destination in Semarang as located nearby the
Jatibarang Reservoir and Kreo Cave. Only RW IV itself does not have an identity as a tourist
destination, so the idea appears to form a thematic village.
Apparently, this aquaponics system has become one of the leading tourism potential
concepts in the village development of RW IV. The government always expects that RW IV
will soon have the unique characteristics that can support the status of a tourist village as well
as three other RWs. However, it is not easy, People really understand that system are still few.
Hence, the community has tried to develop community and inter-social learning to change this
condition. The support of the college accelerates the development of community-based
aquaponics by taking into account the aesthetic aspects, functions, and systems of agricultural
and fisheries cultivation optimally and sustainably. Most people feel that this new idea is good
and beneficial for their environment, so they want to try to make it happen.
As in the theory that thematic village ideas generally come from below, where residents
decide on a topic and prepare unique tourist attractions based on local potential. The identity
of a village can produce a unique characteristic and increase the sale value of their own village
and can create additional sources of income (Kloczko-Gajewska, 2014; Kłoczko-Gajewska,
2013). This situation has caused the community to be enthusiastically involved in further

78
developing their settlements with certain characteristics, one of which is considered capable of
improving the quality of settlements is aquaponics.
The process of aquaponics development
The local resident who concerns in aquaponic has initiated to build it’s in their
settlement. The role of this figure is to experiment with various types of plants and fish that
are suitable for development by the community. Initially, there was one aquaponic cultivation
system, and even then there were still many problems faced. First, the materials and tools were
still limited as it was used materials. Second, the cultivation system of fish farming and raising
was still simple. Third, there was no social support or other citizens to make an aquaponics
system in the village.
Therefore, community development is an issue of an aquaponics system in this society.
It contains components such as goals, media, makers of social change, targets, principles of
compliance and techniques. The purpose of community development efforts can be financial
or other benefits. The medium is a way of communicating like face to face, training, discussion
and so on. The actors can be a person or group, while the target can be an individual, household
or community group. The principle of compliance refers to the reason why the target receives
the request of the social engineer, which raises the principle of compliance generally due to 1)
Friendship, people are more willing to comply with requests from friends; 2) Consistency,
people are more willing to comply with consistent requests; 3) Scarcity, people are more
willing to comply with rare or rare requests in availability; 4) Reciprocity, people are more
willing to comply with requests if the applicant has treated them well in the past; 5) Social
validation, people are more willing to comply if seen as socially correct things to do; 6)
Authority, people easily obey the requests of others with more authority (Mouton, Leenen, &
Venter, 2016).

Figure 1. The Map of Kelurahan Kandri and


The first aquaponic in 2016 and its modification in 2018
Source: Field observation, 2016 and 2018
To create an educational tourist destination by developing of an aquaponics tourism
village in Kandri Village, community development efforts have been carried out through
community empowerment which broadly cover various activities, while the chronology of

79
community development can be seen from RW IV aquaponics that has been done with various
activities, as seen in the Table 3:
Table 3. Chronology of Aquaponics Village Development
2016 2017 2018 Expectations
Social Learning, Networking strengthening Replication elsewhere The Aquaponics Village, as an
Community Aquaponics system Marketing for aquaponic educational tour and training that
Development, training and manufacturing farmers' production is able to meet basic needs,
Aquaponic development Replication in private Social learning and especially healthy food
in many places. houses training
Source: Analysis, 2018
There are two groups for aquaponic tourism development community empowerment.
The first group had a role as a social engineer, in this case, aquaponic activists then received
government support through the head of RW IV. Indeed, the support of aquaponic activists
from the national level and university played an important role in the development of the
correct aquaponic technology system. This was realized by the activists because the various
results of research related to aquaponics were the difficulties of regulating natural nutrients
produced in this system, even they use sophisticated tools to measure water quality at any time
(Duarte et al., 2015; Hart et al., 2013; Kyaw. & Ng., 2017). However, the first group convinced
the ordinary people who can apply simple technology of aquaponics, but still used the
principles of physical and microbiology system to get good nutrition for an organism in an
aquaponics system. The first group conducts regular discussions and training activities for
making of aquaponics in households with personal awareness. Every month, many people join
in training and making of aquaponics, they pay themselves to realize an aquaponics in their
private houses. The example of training situation and an aquaponic in the private house can
seen in the Figure 2.

Figure 2. Training on making of aquaponics in the private house


Source: Field observation, 2016
The second is the community, which at first were not interested in farming with an
aquaponics system. The first group realized the importance of having a unique village or
known as a thematic village, as expected by the city government. The second group tried to
follow the activities of the first group because they felt the acceleration of development and
more government attention to their village. As in Community Based Tourism is a concept of
tourism village development by involving and placing local communities who have the
authority to manage and develop their own regions to improve the welfare of local
communities and the sustainability of local culture and natural resources (Syafi'i &
Suwandono, 2015).

80
The community empowerment process goes through training, discussion, information
that is quite massive from the aquaponics community activist or first group. They have many
networks with outside parties to support the establishment of the Aquaponics Village. The lines
of coordination of the development are as follows: (Figure 3)

Indonesian Aquaponics
Learning Community Agency of Tourism City
office Government
Agency of Agriculture Camat Lurah

aquaponic Aquaponic Aquaponics in private


The Aquaponics Village
initiator community houses
activist
Aquaponics in public
parks
University support
for the community

Figure 3. Stakeholder relations in The Aquaponics Development


Source: Analysis, 2018
As in the previous information, the aquaponics development in private houses is based
on the willingness of the residents themselves, after they know the benefits of aquaponics.
Whereas the aquaponics building system in the public park is assistance from the aquaponic
activist, the government and other parties that support the development of the aquaponics
Village. For almost three years, the development of aquaponics was very rapid, because the
government and the community supported each other. As for, the trend of the aquaponics
development in RW IV should be as follows (Figure 4):

90 81 83 82
75
80 76 74 75 76
The Number of Aquaponics

72
68
70
60
49
50
40 35
30 22
20
7
10 2 4
1
0

Period

Figure 4. The trend of aquaponics in public parks and private houses


Source: Analysis, 2018

81
Figure 5. Map and figures of aquaponics in private houses
Source: Field observation, 2018
From the study of the aquaponics program in this village, it was seen the community
has done agriculture with a very limited area. They believe urban farming with aquaponics is
one of the solutions to meet healthy food needs. The activity shows that the current form of
urban agriculture has very diverse systems. In the past, people planted the media using soil in
pots in their home yards. At present, people are doing urban agriculture without using soil
media, as seen in this system.
This condition shows that the community knows the benefits of urban agriculture
programs. It can be used as a way to optimize the land and natural resources in urban areas.
According to Kaethler (2006), the benefits of urban agriculture are in various aspects, namely:
a. Food security; b. Safe environment; c. Education; d. Culture; e. Community improvement;
f. Recreation; g. Economy; h. Health; i. Sustainability; and j. Food supply. In order to
understand the sustainability of urban agriculture in the aquaponics village, every aquaponics
actor must pay attention to the success factors of urban agriculture. The success of urban
agriculture is influenced by several factors. The attention and responsibility of each individual,
community, and government are important factors in the course of urban agriculture programs.
Socialization and communication between the government and the community and individuals
who run urban agricultural programs also need attention. There are three key factors to the
success of sustainable urban farming programs. The three factors are production, processing,
and distribution (Steele, 2017). Argument of each key factor in the success of urban farming
is as follows:
Production factor
Production are important factors because the purpose of farming with aquaponics
systems will be determined at this stage. Production activities refer to what will be used as
agricultural objects, whether they are plants or animals. It is also necessary to determine
whether the results from agriculture can be consumed by humans such as vegetables, fruit,
meat or even cannot be consumed such as fertilizer and animal feed. In the production activities
also need to be prepared urban design that will be carried out. The land for aquaponics system
does not need to be extensive, but to get optimal results, more land is needed, so production
activities can run well. At this time, fish and vegetable production of Kandri Village are used

82
for the community itself and its neighbors, the amount of its are too little to be sold out of the
residential area.
However, some people have realized the need for communal aquaponics in a wider
area than their private houses. Moreover, they have been able to breed fish and vegetables,
which will be maintained in the aquaponic system on a larger scale. The community hopes to
have conditions for sustainability production, especially for additional income.
Processing
Another factor that influences the success or failure of urban farming is the processing
of agricultural products. Urban agricultural products can be directly utilized by the community
as food ingredients or can be sold even reprocessed to add to the sale value. In the Kandri
Village case, aquaponic products are mostly to meet their own needs, so that financial benefit
as a part of sustainability cannot be achieved. The packaging process was only the first step
taken by the community, but the results were not yet marketed, still for their own consumption.
Actually, agricultural products in the form of food such as fruits and vegetables can be
reprocessed into jams, juices, syrups, cakes and so on. Fish cultivation can be packaged as
organic products, even fish fillets can be processed into nuggets. Processing agricultural
products into new products can increase the value of sales so that the income of urban
communities can also increase as well.
Distribution
The last success factor of urban farming is distribution. Distribution activities are
related to marketing or marketing activities. The distribution of agricultural products is very
important for people who carry out large numbers of urban agricultural activities. Distribution
is done to get more selling points and increase their income. Agricultural products carried out
by urban communities can be distributed in various ways. First, it can be through direct
distribution. Direct distribution is a distribution activity that directly connects between farmers
and consumers. Through this method, consumers can directly choose existing agricultural
products. Farmers can also market agricultural products to the community. In addition, farmers
can sell to restaurants, schools or cooperatives. The government can also take part in the
distribution and marketing process. One way that can be done is to form a market that is
specifically for urban agricultural products. In this way, the community will more easily sell
their agricultural produce.
If referring to processing and distribution as the main factors for sustainability, Kandri
Village still takes a long time to become sustainable. The current stage is the community's
efforts to develop aquaponics that are more economically profitable, with the developing of an
aquaponics that is shared together in a wider place.
Sustainability of urban farming
The stages that occur in aquaponic villages are social learning in aquaponic
development. The development of aquaponic aquaculture systems is due to a large number of
people who make aquaponics in their private houses by aquaponic activists training.
Sometimes they don’t know the correct system of how to do aquaponics system, the technology
of mechanical filters, biological filters and sump tank containers circulated to plant media.

83
They often conduct to try and error to produce quality fish and vegetables. The results of the
cultivation are mostly used for daily food additions, they cannot yet sell to the market. If the
community does not immediately improve the process of making the aquaponics correctly,
then they can become bored, because the quality of their cultivation is lacking. As the facts
happened in the aquaponics village, there has been a decrease in the number of people who
have aquaponics. Although, currently there is an increase in the number of people who have
aquaponics.
However, there are some people who realize the importance of production, processing,
and marketing. This can be indicated by the willingness of the community to use the properly
of aquaponics technology, in a wider area and they make it on an optimal scale of production.
Entrepreneurial awareness is very important to maintain urban agriculture, this is an important
part of sustainability. The principle of management through entrepreneurship can further
enhance the role of the aquaponics village (AdrianaTisca, Istrat, Dumitrescu, & Cornu, 2016;
Yogatama, 2017). The aquaponics village is a part of educational tourism, be aware that
sustainable tourism development is built to understand the relationships between tourism
impacts and community identity. If the community is able to develop sustainability through an
economic approach, hopefully, the results will be better (Hwang, Stewart, & Ko, 2011).

4. CONCLUSION
Regarding the sustainability of urban farming, the conclusions from the discussion
above, especially the development process and why do the people support the realization of
the aquaponic village are pretended as follows:
 Community-based aquaponics plays a role in supporting the sustainability of urban
farming activities. The members collaborate based on ability and capacity in aquaponic
development with the social learning. Starting from a simple aquaponics, then they
developed a good quality of aquaponics consists of aquaculture and plants continuously
through filtering technology in good water circulation;
 The aquaponics technology strongly supports the sustainable urban farming concept,
especially to produce organic food. While to get good aquaponic products to need
cooperation among community members because of their area is small-scale. Aquaponics
on this scale requires their collaboration, so the products can be more optimum;
 Aquaponics activists explain the benefits of making of aquaponics in their settlements.
Finally, they have a good understanding of aquaponics benefits, so they participate in the
aquaponic village development. They want to get vegetables and organic fish products for
their own needs. In addition, the enthusiasm of the community emerged in realizing this
village because they hoped their settlement to become an aquaponic village.
Furthermore, the community-based aquaponics carried out technology correctly and
provide food benefits are an important part of sustainable urban farming. The most important
thing to be more sustainable, large-scale production needs to be done by the community, which
can provide economically.

84
5. ACKNOWLEDGMENT
The authors would like to express much gratitude to The Institute for Research and
Community Service of Diponegoro University with The Program of Undip for Science Techno
Tourism Development (UFST2D) for supporting our community service and research.

BIBLIOGRAPHY
AdrianaTisca, I., Istrat, N., Dumitrescu, C. D., & Cornu, G. (2016). Management of
Sustainable Development in Ecotourism. Case Study Romania. Procedia Economics
and Finance, 39, 427-432. doi:10.1016/s2212-5671(16)30344-6
Auesriwong, A., Nilnoppakum, A., & Parawech, C. (2015). Integrative Participatory
Community-Based Ecotourism at Sangkhom District, Nong Khai Province, Thailand.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 23, 778-782. doi:10.1016/S2212-
5671(15)00529-8
Belinda, N., & Rahmawati, D. (2017). Pengembangan Urban Farming Berdasarkan Preferensi
Masyarakat Kecamatan Semampir Kota Surabaya. JURNAL TEKNIK ITS, Vol. 6, No.
2 1-4 (in Indonesia)
Bernstein, S. (2011). Aquaponic Gardening: A step-by-step guide to raising vegetables and
fish together. Gabriola Island, Canada: New York Society Publishers
Bungin, B. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis
ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada (in Indonesia)
Congleton, J. (2012). Dirty Dozen: EWG Reveals List Of Pesticide-Heavy Fruits And Veggies.
http://www.huffingtonpost.com/2012/06/19/dirty-dozen-foods-list-2012-
ewg_n_1606256.html.
DiDomenica, B., & Gordon, M. (2016). Food Policy: Urban Farming as a Supplemental Food
Source. Journal of Social Change
©Walden University, LLC, Minneapolis, MN, Volume 8, Issue 1(©Walden University, LLC,
Minneapolis, MN), 1-13. doi:10.5590/JOSC.2016.08.1.01
Duarte, A. J., Malheiro, B., Castro Ribeiro, C., Silva, M. F., Ferreira, P., & Guedes, P. (2015).
Developing an aquaponics system to learn sustainability and social compromise skills.
Journal of Technology and Science Education, 5(4). doi:10.3926/jotse.205
Hart, E. R., Webb, J. B., & Danylchuk, A. J. (2013). Implementation of Aquaponics in
Education: An Assessment of Challenges and Solutions. International Council of
Association for Science Education, 24(4), 460-480
Hou, J., Johnson, J., & Lawson, L. (2009). Greening Cities, Growing Communities: Learning
from Seattle’s Urban Community Gardens. Washington, USA: Seatle's, WA:
University of Washington Press
Hwang, D., Stewart, W. P., & Ko, D.-w. (2011). Community Behavior and Sustainable Rural
Tourism Development. Journal of Travel Research, 51(3), 328-341.
doi:10.1177/0047287511410350
Kaethler, T. M. (2006). Growing Space: The Potential for Urban Agriculture in the City of
Vancouver: School of community and regional planning University of British
Columbia
Kloczko-Gajewska, A. (2014). Can We Treat Thematic Villages as Social Innovations?
Journal of Central European Green Innovation, 2(3), 49-59
Kłoczko-Gajewska, A. (2013). General Characteristics of Thematic Villages in Poland.
Visegrad Journal on Bioeconomy and Sustainable Development, 2(2).
doi:10.2478/vjbsd-2013-0012

85
Kyaw., T. Y., & Ng., A. K. (2017). Smart Aquaponics System for Urban Farming. Energy
Procedia, 342-347.
Merriam, S. B. (2002). Qualitative Research in Practice: Example for Discussion and Analysis
(first ed.). New York, USA: Jossey-Bass A Wiley Company 989 Market Street San
Fransisco
Mougeot, L. J. A. (2005). Agropolis The Social, Political and Environmental Dimensions of
Urban Agriculture. First published in the UK, USA and Canada: Earthscan and the
International Development Research Centre (IDRC)
Mouton, F., Leenen, L., & Venter, H. S. (2016). Social engineering attack examples, templates
and scenarios. Computers & Security, 59, 186-209. doi:10.1016/j.cose.2016.03.004
Nasution, S. (1988). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Penerbit Tarsito
Nordahl, D. (2009). Public Produce: The New Urban Agriculture. Washington DC: Island
Press
Pemberton, C., Mgonja, M., De Sormeaux, A., Patterson-Andrews, H., & Mwaisango, E.
(2016). Food Security: A Comparison of Indicators for the United States and United
Republic of Tanzania. Journal of Food Security, Vol. 4(No. 4), 95-103.
doi:10.12691/jfs-4-4-3
Redwood, M. (2009). Agriculture in Urban Planning Generating Livelihoods and Food
Security. First published in the UK and USA: Earthscan and the International
Development Research Centre (IDRC)
Somerville, C., Cohen, M., Pantanella, E., Stankus, A., & Lovatelli, A. (2014). Small-scale
Aquaponic Food Production Integrated Fish and Plant Farming
Steele, K. (2017). Urban Farming: An introduction to urban farming, from types and benefits
to strategies and regulations. USA: ©2017 Vitalyst Health Foundation, 2929 N Central
Ave, Suite 1550
Syafi'i, M., & Suwandono, D. (2015). Perencanaan Desa Wisata dengan Pendekatan Konsep
Community Based Tourism (CBT) di Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.
Ruang, I(2), 51-60. doi:10.14710/RUANG.1.4.31-40 (in Indonesia)
Tornaghi, C. (2014). Critical geography of urban agriculture. Progress in Human Geography,
38(4), 551-567. doi:10.1177/0309132513512542
Veenhuizen, R. v. (2007). Profitability and sustainability of urban and peri-urban agriculture
Viale delle Terme di Caracalla, 00153 Rome, Italy Electronic Publishing Policy and
Support Branch Communication Division FAO
Yogatama, A. N. (2017). Peran Etrepreneurship Bagi Pengembangan Kampung Wisata
Organik Pesona Agro. Jibeka, Volume 11(No. 2), 1-10

86

Anda mungkin juga menyukai