Anda di halaman 1dari 9

Nama : Novita Shania Angelica Hari/Tanggal : Selasa/13 April 2021

NIM : A1401201075 Asisten Praktikum :


Kelas : ST24.1 1. Dwina Amrieta N. (A24170177)
Kelompok : 8 2. Nugroho Fadillah R. (A24180052)
Dosen PJP : Hirmas Fuady Putra, S.Si, M.Si 3. Dominikus Mario D.A. (A34170083)
4. Desi Anggrahini (A34180038)

ISOLASI DNA, ELEKTROFORESIS GEL, DAN POLYMERASE


CHAIN REACTION

I PENDAHULUAN
Dasar Teori Singkat
Isolasi DNA adalah memisahkan DNA kromosom atau DNA genom dari
komponen-komponen sel lain. Sumber DNA bisa berasal dari tanaman, kultur
mikroorganisme, atau sel manusia. Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan
suatu metode yang digunakan untuk amplifikasi urutan basa DNA tertentu
(selektif). Metode yang ditemukan oleh Kary Mullis pada tahun 1987 ini dapat
digunakan untuk menggandakan urutan basa nukleotida tertentu secara in vitro.
Penggandaan urutan basa nukleotida berlangsung melalui reaksi polimerisasi yang
dilakukan berulang-ulang secara berantai selama beberapa putaran (siklus).
Elektroforesis adalah teknik yang digunakan untuk memisahkan DNA
berdasarkan ukuran (berat molekul) dan struktur fisik molekulnya. Gel yang biasa
digunakan antara lain agarosa. Dengan gel agarosa dapat dilakukan pemisahan
sampel DNA dengan ukuran dari beberapa ratus hingga 20.000 pasang basa
(Utami et al. 2013).

Tujuan Praktikum
Praktikum ini bertujuan mempelajari teknik isolasi DNA untuk
mendapatkan DNA yang dapat digunakan sebagai template PCR, mempelajari
teknik elektroforesis gel agarose untuk memisahkan fragmen DNA, serta
mempelajari teknik amplifikasi DNA dengan Polymerase Chain Reaction.
II HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi DNA
Berdasarkan video referensi praktikum, proses isolasi DNA adalah sebagai
berikut, sebelum melakukan protokol apapun, hendaknya praktikan
mempersiapkan alat dan bahan praktikum dengan baik agar menghindari
kontaminasi. Alat dan bahan yang digunakan yaitu mikropipet P1000 dan tip, rak
dan tabung sampel, wadah pembuangan, sentrifugator, inkubator heat block ,
perangkat DNA genotek yang telah berisi saliva praktikan, tabung sampel
mikrosentrifugal, dan vortex. Tabung DNA genotek ditutup untuk mengeluarkan
larutan buffer yang dicampur melalui inversi. Menggunakan mikropipet, larutan
pada tabung DNA genotek sebanyak 500 mikroliter dimasukkan ke dalam masing
masing tabung sampel secara perlahan untuk menghindari terbentuknya
gelembung dan mengontaminasi mikropipet. Kemudian tabung DNA genotek dan
tabung sampel ditutup. Tabung sampel ditempatkan dalam heat block untuk
diinkubasi selama 90 menit atau semalaman dalam temperatur 50°C. Kemudian
20 mikroliter larutan pemurni (prepIT) dimasukkan ke dalam tabung sampel baru
untuk selanjutnya dicampur dengan sampel yang telah diinkubasi menggunakan
vortex. Semua sampel dimasukkan ke dalam es untuk diinkubasi selama 10 menit.
Selanjutnya sampel yang telah dilabeli, disentrifugasi menggunakan alat
mikrosentrifugasi. Letakkan tabung sampel dengan engsel penutup menghadap
ke luar. Tiap tabung sampel diseimbangkan dalam mikrosentrifugal. Sentrifugasi
diatur selama 5 menit dengan putaran 14.5 RPM. Empat tabung sampel yang baru
dengan label dipersiapkan. Sampel yang telah disentrifugasi ditempatkan pada
rak sampel sejajar dengan tabung sampel yang baru. Pada sampel yang baru
disentrifugasi akan terbentuk butir putih yang merupakan partikel tidak murni
pada larutan, sementara DNA-nya berada pada supernatan (cairan di permukaan
larutan). DNA pada supernatan dipindahkan ke tabung sampel yang baru
sebanyak 400 mikroliter. Kemudian DNA diendapkan dari larutan dengan
memasukkan 100% ethanol dalam tabung sampel dengan takaran yang sama.
Selanjutnya sampel diinkubasi dalam temperatur ruang selama 5 menit. Sampel
kemudian disentrifugasi menggunakan mikrosentrifugal selama 2 menit dengan
outaran 14.5 RPM. Supernatan pada sampel diambil menggunakan micropipet
sebanyak 800 mikroliter dan diletakkan pada wadah pembuangan. 70% Ethanol
digunakan sebanyak 250 mikroliter untuk membersihkan butir DNA. Tabung
sampel kemudian disentrifugasi kembali selama 2 menit. Digunakan mikropipet
P200 untuk memisahkan supernatan dengan butiran pada tabung sampel.
Pengambilan supernatan pada langkah ini dilakukan sebanyak 2 kali, dan
supernatan langsung diletakkan pada wadah pembuangan. Selanjutnya butir DNA
dikeringkan dengan mengetuk tabung sampel pada selembar tisu untuk
membuang sisa larutan kemudian dengan keaadaan terbuka, tabung sampel
dikeringkan selama 20 sampai 30 menit. Ketika butiran sudah kering, DNA
disuspensi kembali menggunakan air tingkat biologi molekuler sebanyak 100
mikroliter pada sisi butir DNA. Kemudian tabung sampel ditutup untuk
selanjutnya air dan butir DNA dicampur dengan vortex. Butir DNA dipastikan
telah larut pada air sehingga membentuk larutan kemudian didiamkan dalam
temperatur ruang.
Elektroforesis
Menurut Pratiwi (2001), proses elektroforesis adalah sebagai berikut,
sebelum dilakukan percobaan sebaiknya disiapkan dahulu alat dan bahan kimia
yang akan digunakan. Alat yang biasa digunakan adalah tabung Eppendorf,
mikropipet, tip, mortat, tabung Erlenmeyer, gelas ukur, penangas air (dengan suhu
80°C), magnetic stir rer, magnectic bar, sentrifuga, pinset, timbangan, pompa
vacum, cetakan gel 20 x 16 x 1 cm3 , timer, meja pendingin, pembungkus plastik,
freezer, kawat halus untuk memotong gel, inkubator, power supply, pisau,
penggaris, spidol, kantong plastik tebal untuk menyimpan gel setelah pewarnaan,
nampan plastik, spons dan alat-alat tulis.
Sedangkan untuk bahan kimia yang digunakan, tergantung dari hewan atau
tumbuhan enzim apa yang akan diuji. Seperti misalnya larutan pengekstra yang
digunakan untuk jenis udang-udangan berdasarkan DICKSON dkk, (1983) adalah
menggunakan sistem enzim Esterase (EST), dan Malat dehidrogenase (MDH).
WIKNESWARI (1995) menggunakan Malik Enzim (ME), serta CHELIAK &
PITEL (1984) menggunakan Phosphat glukosa isomerase (PGI) dan lain
sebagainya. Untuk menentukan sistem enzim tersebut sebelumnya dilakukan uji
optimalisasi terlebih dahulu terhadap hewan yang akan diujikan.
Ekstraksi enzim Setelah sample dibersihkan ditempatkan di dalam mortar
dan diberi larutan pengekstrak sebanyak + 200 µ (tergantung dari banyak,
sedikitnya sampel atau besar kecilnya sampel). Kemudian sampel digerus hingga
halus. Penggerusan dilakukan pada kondisi dingin (+4°C) dan dilakukan di dalam
meja pendingin, agar suhu tetap konstan. Hasil gerusan tersebut dimasukkan ke
dalam tabung Eppendorf dan kemudian dilakukan sentrifuse dengan kecepatan
2000 rpm selama 20 menit. Supernatan yang didapat dipisahkan dari endapan,
yang selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf dan disimpan dalam
lemari pendingin (Freezer) dengan suhu sekitar -70°C.
Pembuatan gel pati biasanya bermaca-macam. Ada yang berasal dari pati
kentang, dan lain sebagainya. Setelah ditentukan banyaknya pati, maka diberikan
larutan buffer morfolin sitrat dengan pH 6.1 sebanyak 350 ml di dalam labu
erlenmeyer 1000 ml. Campuran tersebut kemudian dipanaskan dalam penangas air
dengan suhu + 80 °C, selama 25 menit. Panaskan lagi dengan magnetic bar dan
diaduk dengan menggunakan magnetic strirer selama 5 menit hingga mengental
membentuk gel yang bening. Setelah gel mendidih, dilakukan pengisapan
gelembung udara dengan cara diisap dengan "water jet pump" dan setelah dingin,
gel dituangkan ke dalam cetakan gel yang berukuran 20 x 16 x 1 cm3 hingga rata
dan biarkan mengeras pada suhu kamar lebih kurang 60 menit.
Gel dilepaskan dari cetakan gel dengan cara mengiris keliling tepi gel
dengan menggunakan pisau. Bagian ujung gel diiris kira 2 cm dari salah satu
tepinya yaitu dari arah kotada yang dipakai sebagai penyimpan ekstra enzim.
Ekstrak enzim yang akan diuji dikeluarkan dari freezer dan biarkan sebentar
hingga mencair. Pengambilan ekstrak enzim dilakukan dengan cara mencelupkan
kertas saring berukuran 6x15 mm ke ekstrak enzim. Potongan kertas saring yang
telah berisi ekstrak enzim diletakkan dengan posisi tegak lurus ke celah irisan gel.
Jarak antara celah 1-1.5 mm. Sebagai indikator adanya pergerakkan maka pada
celah irisan gel tersebut diberikan sedikit biru brom fenol.
Gel yang telah siap kemudian diletakkan secara horizontal di atas kotak
elektroforesis yang telah berisi larutan penyangga elektroda. Proses ini dilakukan
di dalam lemari pendingin dengan suhu 4 °C. Kedua sisi gel diberi spons yang
telah dibasahi dengan larutan penyangga elektroda sebagai jembatan antar larutan
penyangga elektroda dengan gel. Setelah itu gel ditutup dengan plastik dan di atas
gel tersebut diberi gel yang dingin. Proses elektroforesis dijalankan dengan
memberi daya listrik pada gel. Pemberian daya listrik disesuaikan dengan sampel
yang akan digunakan, misalnya sebesar 50-70 µA, 50-60 µA atau 45-55 µA
selama kurang lebih 3 jam. Setelah terlihat bahwa biru brom fenol mencapai titik
yang berjarak +3 cm dari ujung gel, maka proses elektroforesis dihentikan. Bagian
gel yang tidak terpakai dipotong, sedangkan potongan gel yang menjadi tempat
migrasi enzim diiris tipis secara horizontal dengan menggunakan gergaji yang
berkawat tipis. Gel diiris menjadi beberapa lembar gel yang kemudian setiap
lembar diletakkan dalam wadah plastik, untuk selanjutnya diwarnai sesuai enzim
yang akan dianalisis.

PCR
Menurut Yusuf (2010), proses awal dalam proses PCR adalah denaturasi.
Denaturasi awal dilakukan sebelum enzim taq polimerase ditambahkan ke dalam
tabung reaksi. Denaturasi DNA merupakan proses pembukaan DNA untai ganda
menjadi DNA untai tunggal. Ini biasanya berlangsung sekitar 3 menit, untuk
meyakinkan bahwa molekul DNA terdenaturasi menjadi DNA untai tunggal.
Denaturasi yang tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi
(membentuk DNA untai ganda lagi) secara cepat, dan ini mengakibatkan gagalnya
proses PCR. Adapun waktu denaturasi yang terlalu lama dapat mengurangi
aktifitas enzim Taq polymerase. Aktifitas enzim tersebut mempunyai waktu paruh
lebih dari 2 jam, 40 menit, 5 menit masing-masing pada suhu 92,5; 95 dan 97,5C.
Selanjutnya adalah annealing (penempelan primer). Kriteria yang umum
digunakan untuk merancang primer yang baik adalah bahwa primer sebaiknya
berukuran 18-25 basa, mengandung 50-60 % G+C dan untuk kedua primer
tersebut sebaiknya sama. Sekuens DNA dalam masing-masing primer itu sendiri
juga sebaiknya tidak saling berkomplemen, karena hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya struktur sekunder pada primer tersebut dan mengurangi efisiensi
PCR. Waktu annealing yang biasa digunakan dalam PCR adalah 30-45 detik.
Semakin panjang ukuran primer, semakin tinggi temperaturnya. Kisaran
temperatur penempelan yang digunakan adalah antara 36C sampai dengan 72C,
namun suhu yang biasa dilakukan itu adalah antara 50-60C.
Selanjutnya adalah extention. Selama tahap ini Taq polymerase memulai
aktivitasnya memperpanjang DNA primer dari ujung 3’. Kecepatan penyusunan
nukleotida oleh enzim tersebut pada suhu 72C diperkirakan 35-100
nukleotida/detik, bergantung pada buffer, pH, konsentrasi garam dan molekul
DNA target. Dengan demikian untuk produk PCR dengan panjang 2000 pasang
basa, waktu 1 menit sudah lebih dari cukup untuk tahap perpanjangan primer ini.
Biasanya di akhir siklus PCR waktu yang digunakan untuk tahap ini diperpanjang
sampai 5 menit sehingga seluruh produk PCR diharapkan terbentuk DNA untai
ganda.
Reaksi-reaksi yang telah terjadi diulangi lagi dari 25-30 kali (siklus)
sehingga pada akhir siklus akan diperoleh molekul-molekul DNA rantai ganda
yang baru yang merupakan hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan. Banyaknya siklus
amplifikasi tergantung pada konsentrasi DNA target dalam campuran reaksi.
Produk PCR dapat diidentifikasi melalui ukurannya dengan menggunakan
elektroforesis gel agarosa. Metode ini terdiri atas menginjeksi DNA ke dalam gel
agarosa dan menyatukan gel tersebut dengan listrik. Hasilnya untai DNA kecil
pindah dengan cepat dan untai yang besar diantara gel menunjukkan hasil positif.

Tabel 1 Hasil Percobaan Tes Virtual PCR


Waktu
Kombinasi Suhu Annealing dan Siklus PCR
Denatu
-ration, 45oC 56 oC 68 oC
No Ulangan
Annealing,
Extension 15 25 35 15 25 35 15 25 35
(sec)
1 0.5 0.4 0.4 0.8 0.7 1.8 0.4 0.5 0.4
1 10, 10, 20 2 0.5 0.4 0.4 0.5 0.7 0.9 0.5 0.5 0.5
3 0.4 0.3 0.4 0.8 0.5 1.1 0.6 0.7 0.5

Rata-rata 0.47 0.37 0.4 0.7 0.63 1.27 0.5 0.57 0.47

1 45.0 66.0 93.9 59.5 84.3 74.6 12.0 40.4 52.8


2 30, 30, 60 2 46.6 66.9 79.1 53.2 78.0 95.7 12.0 6.8 53.1
3 43.6 68.3 81.6 42.9 76.9 81.8 13.0 37.9 41.4

Rata-rata 45.1 67.1 84.9 51.8 79.7 84.0 12.3 28.4 49.1
(Sumber: Faadiyah Ramadhani_G1401201009_ST08.1)

Simulasi dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan pada tiga kondisi jumlah
siklus yang berbeda, suhu denaturasi, annealing, massa DNA, dan jenis DNA
polymerase yang berbeda. Hasil simulasi menunjukkan kondisi optimum ada pada
siklus yang dilakukan 35 kali, dengan suhu denaturasi 94°C, ketiga variasi suhu
annealing, dengan massa DNA 100ng, dan jenis enzim DNA polymerase yang
digunakan yaitu phusion polymerase. Kondisi optimal dapat dibuktikan dengan
adanya jumlah yield dan nila kemurnian yang tinggi dalam waktu 33,3 menit.
Hasil optimum didapatkan karena dilakukan pada suhu denaturasi dan annealing
yang optimal bagi kinerja enzim yaitu masing-masing sekitar 94-95°C dan 55-
68°C dengan jumlah plasmid dan siklus standar optimum. Percobaan pertama
dengan waktu denaturasi 10,10, 20 tidak berhasil karena yield dan kemurnian
yang dihasilkan sangat minim dengan suhu denaturasi, annealing, massa DNA,
dan jenis enzim yang tidak optimal. Simulasi ini membuktikan bagaiman faktor-
faktor yang diuji dan berbeda besarannya mempengaruhi hasil dari PCR.
III JAWABAN PERTANYAAN
Isolasi DNA
Buffer lisis pada isolasi DNA berfungsi sebagai penjaga struktur DNA
selama proses penghancuran dan pembersihan sehingga memudahkan dalam
proses mengeluarkan material DNA dari sel.
Campuran buffer lisis dan sampel perlu diinkubasi pada suhu tertentu
karena DNA tidak berada di semua rentang suhu. Jika DNA diinkubasi dengan
menggunakan suhu yang terlalu tinggi maka DNA tersebut dapat rusak,
sedangkan jika suhu yang digunakan pada inkubasi tersebut terlalu rendah maka
membran sel dan jaringannya tidak dapat hancur. Oleh karena itu, proses inkubasi
perlu dilakukan pada suhu tertentu karena larutan buffer lisis bekerja optimal pada
suhu yang tidak terlalu rendah dan juga tidak terlalu tinggi. Pada video penelitian
suhu yang digunakan pada proses inkubasi ialah 50℃ (Berdasarkan video).
Sentrifugasi merupakan salah satu tahapan dalam isolasi DNA yang
memiliki definisi sebagai teknik untuk memisahkan campuran berdasarkan berat
molekul komponennya dengan menggunakan mesin sentrifuga (Puspitaningrum et
al. 2018). Fungsi dari sentrifugasi pada percobaan ini adalah untuk membentuk
endapan atau pelet putih yang terkumpul di bagian bawah tabung di sisi engsel.
Pelet ini mengandung kotoran dalam larutan (Berdasarkan video).
Etanol dingin pada proses isolasi DNA berfungsi untuk memekatkan DNA
dan menghilangkan residu kloroform. Etanol yang bercampur dengan DNA akan
menggumpal dan membentuk pelet (Nurhayati dan Darmawati 2017). DNA
berperan dalam menurunkan aktivitas molekul air sehingga menghilangkan H2O
di sekitar fosfat. Oleh karena itu, molekul DNA yang mempunyai muatan netral
terendapkan menjadi pellet.
Hasil dari sentrifugasi terdapat dua macam, yaitu supernatan dan pelet.
Letak DNA setelah pemberian etanol dingin dan disentrifugasi berada di
supernatan di bagian atas tabung, sedangkan pelet berada di bagian bawah tabung
(Naufal et al. 2017).

Elektroforesis
Gel agarose merupakan gel yang biasa digunakan pada teknik elektroforesis
gel yang berasal dari suatu polisakarida yang diekstraksi dari berbagai jenis
ganggang merah atau poliakrilamid yang mampu melakukan pemisahan sampel
DNA dengan rentang ukuran yang luas (Abidin et al. 2015).
Fungsi larutan buffer pada teknik elektroforesis gel agarose adalah untuk
meneruskan aliran listrik sehingga DNA yang berada di atas larutan tersebut akan
terpisah dari molekul-molekul bukan DNA lainnya yang tercampur dalam sampel
(Ardhana 2011). Selain itu, larutan buffer pada teknik elektroforesis gel agarose
berfungsi untuk mempertahankan pH pada medium pemisah.
Sampel DNA yang digunakan pada teknik elektroforesis gel agarose
diletakkan pada sisi anoda karena dengan adanya larutan buffer pada tangki
elektroforesis akan membuat molekul DNA yang bermuatan negatif pada pH
netral dapat bermigrasi dari kutub negatif (anoda) ke kutub positif (katoda)
dengan kecepatan yang dipengaruhi oleh berat molekul fragmen DNA dan
kekuatan listrik yang digunakan.
Tujuan pemberian arus listrik pada elektroforesis gel agarose adalah
memudahkan molekul DNA untuk bergerak secara bebas menuju kutub yang
berlawanan dengan muatan yang dimilikinya.
Fragmen DNA dapat terpisah satu sama lain pada sel agarose disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu ukuran dan konformasi molekul DNA, konsentrasi
agarose, arus listrik, dan suhu. Selain itu, pewarna ethidium bromide (EtBr)
merupakan salah satu penyebab terpisahnya fragmen DNA satu dengan yang
lainnya karena EtBr terikat di antara dua untai ganda DNA, sehingga fragmen
DNA dalam agarose akan terpisah (Naufal et al. 2017).
Semakin besar ukuran molekul fragmen maka semakin lambat fragmen
bermigrasi menuju kutub positif (katoda), hal ini terjadi karena pada ukuran
molekul apabila berukuran lebih besar akan menyebabkan perpindahan molekul
menurun dan membutuhkan energi perpindahan yang cukup besar dibandingkan
dengan ukuran yang lebih kecil. Pada molekul DNA yang berukuran lebih kecil
akan mudah ditarik oleh katoda karena lebih mudah mengalami perpindahan,
sedangkan molekul DNA yang berukuran besar akan sulit bergerak, sehingga
berada dekat dengan anoda (Maulid dan Nurilmala 2015).

PCR
Fenomena pada sel yang ditiru oleh teknik PCR adalah fenomena replikasi
DNA. Teknik Polymerase Chain Reaction merupakan teknik memperbanyak
salinan DNA sama seperti definisi dari replikasi DNA (Feranisa 2016). Pada
replikasi DNA, digunakan enzim DNA polymerase yang bertugas untuk
menggandakan strand DNA baru dengan menggunakan stand DNA yang sudah
ada sebagai template, sedangkan pada teknik PCR, DNA Polymerase yang
digunakan biasa disebut dengan Taq polymerase.
Utas DNA yang diamplifikasi melalui teknik Polymerase Chain Reaction
adalah utas DNA dengan fragmen pendek, yaitu fragmen yang ukurannya sama
dengan jarak antara kedua tempat penempelan primer.
Primer pada teknik Polymerase Chain Reaction berfungsi sebagai penyedia
gugus hidroksi dengan ujung 3’ yang diperlukan dalam proses eksistensi DNA
dan merupakan komponen PCR yang nantinya akan menempel pada ssDNA saat
proses annealing.
Enzim DNA polymerase berfungsi sebagai enzim yang melakukan katalis
reaksi sintesis rantai DNA.
Utas DNA pada teknik Polymerase Chain Reaction bisa terpisah pada
tahapan denaturasi. Proses denaturation menyebabkan DNA yang semula double
helix menjadi single helix dan hal ini biasanya terjadi pada suhu 95℃. Selanjutnya,
utas DNA bisa disintesis pada suhu 72℃ (Berdasarkan video).
Molekul DNA yang terbentuk dari satu molekul DNA yang diamplifikasi
dengan PCR setelah 35 siklus dapat dihitung dengan menggunakan rumus 2 n-2n
dengan nilai n sebesar 35 maka hasil yang didapatkan sebanyak 3.44 × 10 10
molekul DNA (Berdasarkan video).
Fungsi adanya perubahan suhu pada proses PCR adalah karena teknik PCR
memiliki tiga tahapan dengan standar suhu yang berbeda-beda. Pertama, tahapan
denaturation yang memerlukan suhu sekitar 95℃ yang memungkinkan pemisahan
rantai ganda asam nukleat, variasi suhu annealing didapatkan dengan perhitungan
rata-rata suhu melting (Tm) primer Forward dan Primer Reverse kemudian
dikurangi 5 (Yuenleni 2019). Kedua, tahapan annealing yang memerlukan suhu
sekitar 55-65℃ yang memungkinkan terjadinya pengikatan primer dengan
template DNA. Ketiga, tahapan extension yang memerlukan suhu sekitar 72℃ dan
proses ini memfasilitasi polimerisasi yang dilakukan oleh DNA polymerase.
Produk PCR tidak akan terbentuk ketika suhu denaturasi sebesar 50℃
karena suhu optimal denaturasi berada di antara 92-95℃ sehingga ketika suhunya
hanya sebesar 50℃ hal itu menyebabkan tidak berhasilnya pemisahan untai
gandai DNA yang berpengaruh terhadap tahapan PCR lainnya (Satiyarti et al.
2017).
Keberhasilan teknik PCR sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
deoksiribonukleotida triphosphat (dNTP), oligonukleotida primer, template DNA,
komposisi larutan buffer, enzim yang digunakan, jumlah siklus reaksi, dan juga
faktor teknis dan nonteknis lainnya, seperti kontaminasi (Feranisa 2016).
Berdasarkan hasil simulasi PCR, kondisi PCR yang paling optimum
merupakan kondisi kedua, dengan jumlah siklus sebanyak 35 kali, suhu
denaturasinya 94℃, suhu annealing 68℃, suhu extensionnya 72℃, dan jumlah
plasmid sebanyak 10

SIMPULAN

Teknik isolasi DNA untuk mendapatkan DNA yang dapat digunakan


sebagai template PCR seperti memecah membran dengan buffer lisis,
memisahkan molekul DNA dengan sentrifugasi, menginkubasi DNA dengan suhu
tertentu, dan mengendapkan molekul DNA dengan ethanol dingin. Dengan proses
selanjutnya adalah elektroforesis. Elektroforesis gel agarose merupakan teknik
untuk memisahkan fragmen DNA berdasarkan ukuran fragmen tersebut dengan
memanfaatkan sifat DNA yang bergerak dari kutub negatif ke kutub positif dan
menggunakan arus listrik untuk menyaring atau memisahkan DNA. Teknik
Polymerase Chain Reaction (PCR) dalam mengamplifikasi DNA terbagi menjadi
tiga yaitu denaturasi, annealing, dan ekstensi.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin Z, Rudyanto M, Sudjarwo. 2015. Isolasi dan karakterisasi agarosa dari


rumput laut Gracilaria verrucosa. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 13(1):
70. http://jifi.farmasi.univpancasila.ac.id.
Ardhana P. 2011. Untuk kerja aplikasi sistem pendinginan pada alat elektroforesis
termoelektrik [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia. http://lib.ui.ac.id.
Feranisa A. 2016. Komparasi antara Polymerase Chain Reaction (PCR) dan
Loop-mediated Isothermal Amplification (LAMP) dalam diagnosis
molekuler. ODONTO Dental Journal. 3(2): 146. http://jurnal.unissula.ac.id.
Maulid DY, Nurilmala M. 2015. DNA barcoding untuk autentikasi produk ikan
tenggiri (Scomberomorus sp). Jurnal Akuatika. 6(2): 154-160.
Nurhayati B, Darmawati S. 2017. Biologi Sel dan Molekuler. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Naufal A, Kusdiyantini E, Raharjo B. 2017. Identifikasi jenis pigmen dan uji
potensi antioksidan ekstrak pigmen bakteri Serratia marcescens hasil isolasi
dari sedimen sumber air panas Gedung Songo. Bioma. 19(2): 100. doi:
https://doi.org/10.14710/bioma.19.2.95-103.
Pratiwi R. 2001. Mengenal metode elektroforesis. Oseana. 26(1): 25-31. ISSN
0216 – 1877. http://www.oseanografi.lipi.go.id.
Puspitaningrum R, Adhiyanti C, Solihin. 2018. Genetika Molekuler dan
Aplikasinya. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Satiyarti RB, Aminah S, Rosahdi TD. 2017. Identifikasi fragmen HV1 DNA
mitokondria individu dataran rendah dan dataran tinggi. Jurnal Tadris
Pendidikan Biologi. 8(2): 18-19. doi:
https://doi.org/10.24042/biosf.v8i2.2296.
Utami ST, Kusharyati DF, Pramono H. 2013. Pemeriksaan bakteri Leptospira
pada sampel darah manusia suspect leptospirosis menggunakan metode
PCR (Polymerase Chain Reaction). BALABA. 9(2): 74-81. doi:
https://doi.org/10.22435/blb.v9i2.819.
Yuenleni. 2019. Langkah-langkah optimasi PCR. Indonesian Journal of
Laboratory. 1(3): 52. doi: https://doi.org/10.22146/ijl.v1i3.48723.
Yusuf ZK. 2010. Polymerase Chain Reaction (PCR). Saintek. 5(6).
https://repository.ung.ac.id.

Anda mungkin juga menyukai