PENGANTAR
Cepat atau lambat, disadari atau tidak, entitas sebuah paham kenegaraan akan luntur
jika pembawa ideologinya tak memahami betul apa makna dari ideologi tersebut. Transisi
dan orientasi paham kenegaraan akan dianggap ‘wajar terjadi’ bagi para pengamat politik
kenegaraan dan tentu masyarakat yang ada di dalamnya. Memahami hal tersebut, manusia
sebagai makhluk yang senantiasa dinamis & berperadaban mencoba menggali dan
menerapkan desain kenegaraan melalui gerakan-gerakan politik.
Kita mestinya tahu bahwa untuk memahami makna kata politik tidak dapat hanya
dengan satu sudut pandang. Makna dari diksi politik sebagai upaya untuk mencapai tujuan
bersama dan atau kebahagiaan komunal. Penulis sepakat dengan ungkapan milik Jeremy
Bentham dalam bukunya yang berjudul An Introduction to The Principles of Morals and
Legislation, yakni :
“Nature has placed mankind under the governance of two sovereign maters, pain and
preasure. It’s for them alone to point out what we caught to do, as well as to determine what
we shall do. On the one hand the standard of right and wrong, on the other the chain of
causes and effect, are fastened to their throne.”
Bentham mencoba mengulas kembali soal kebahagiaan komunal yang dalam konteks
ini dapat dikatakan sebagai tujuan politik kenegaraan. Menurut Bentham, kebahagiaan
dipahami sebagai keadaan dimana sepenuhnya berada pada kebebasan dalam rasa susah dan
sakit. Suatu tindakan selamanya akan dinilai baik atau buruk oleh manusia yang lain selama
tindakan tersebut meningkatkan atau justru mengurangi kebahagiaan orang lain. Singkatnya,
penulis mencoba berpendapat bahwa politik sama halnya dengan usaha meningkatkan
kebahagiaan masyarakat disuatu wilayah yang secara alamiah bahkan hal tersebut senantiasa
mengalami ‘naik-turun’nya skala.
Dengan munculnya politik sekaligus melahirkan pula kelas-kelas dalam struktur
manusia yang hidup ‘diatasnya’ serta paham-paham baru untuk mencapai angka kebahagiaan
tertinggi.
Nasionalisme, bangsa, dan negara-negara tak lebih dari suatu segi dalam satu wilayah
politik borjuasi di dalam tahap tertentu kapitalisme. Karena telah gamblang dijelaskan bahwa
misi kaum borjuis adalah menciptakan suatu negara national modern, sedangkan misi kaum
proletar ialah penghapusan negara sebagai bentuk nyata politik kapitalisme.
Buku ini sedikit demi sedikit menggambarkan beberapa konsep kenegaraan,
nasionalisme, serta menyuguhkan beberapa fakta fenomena lunturnya nasionalisme di
Indonesia. Sebuah hal yang kita yakini bersama bahwa mempertahankan semangat
kebangsaan dan mencintai tanah air adalah sebuah misi bersama yang senantiasa harus
diperjuangkan.
TERIMA KASIH
Penulis memiliki hutang kepada banyak orang selama buku ini ditulis. Pertama,
terimakasih dengan tulus kepada Ibunda, Maria Ulfa, serta Ayahanda, Suyadi, dan adikku,
Cindy yang telah rela memberikan aku do’a serta semangat yang seakan terasa membangun
kastil agung untukku. Terima kasih tak terhingga kepada sahabat perjuanganku di lingkaran
kritis, Lupek, Ari, Jenni, Arditio dan Qoyyum, ratusan kali tangan kalian terulur demi
lahirnya buku ini. Serta terimakasih atas proses yang diberikan oleh himpunan, HMI, yang
telah memberikan banyak petualangan seru dan diskusi panjang di tempat nongkrong, kita
abadi. Banyak terucap terimakasih dan maaf untuk Mia, kerap kali merepotkan-mu untuk
mengumpulkan banyak lembaran artikel, buku, catatan, dan mengurangi jam tidurmu hanya
untuk menjadi “kopi pahit” di tengah malamku. Dan Terakhir, penulis berterima kasih kepada
penerbit Sambooks atas kesediaannya menerima naskah buku ini.
Untuk Pikiran yang Abadi
DAFTAR ISI
A. Pengantar
B. Catatan Kelahiran
C. Tanah Kita Hari Ini
D. Melahirkan Kembali
E. Peluru VS Molotov
F. Adakah Jalan Keluar?
(ILUSTRASI)
CATATAN KELAHIRAN
(ILUSTRASI)
Tanah Kita Hari Ini
Mari ucapkan selamat untuk pemerintah hari ini. Tak akan ada kata seagung itu yang
pantas diucapkan atas hasil kerja keringatnya selama ini. Problematika pendidikan dari tahun-
ketahun hanya terfokus pada “bagaimana anak bangsa dapat mengenyam pendidikan?” bukan
justru “Bagimana pendidikan hari ini dipandang penting bagi perkembangan dan kemajuan
bangsa kita?”.
Problematika perekonomian dari 10 tahun yang silam hingga hari ini tetap tak jauh
sama dengan berusaha menjawab pertanyaan “Bagaimana ekonomi Indonesia mampu
bersaing dengan perekonomian bangsa lain?” bukan kemudian menjawab dari pertanyaan
“Bagaimana kata adil dan makmur dapat tercapai?”.
Begitupula soal keadilan dan penegakan hukum bangsa ini yang kian lama tidak lagi
menjawab “Bagaimana kebahagiaan masyarakat dapat diraih dengan hukum?” justru
sebaliknya senantiasa menjawab pertanyaan dari “Bagaimana kelas konglomerat dapat hidup
bahagia tanpa jeratan pasal?”
Problematika generasi emas Indonesia pun memiliki motif yang sama. Teknologi dan
informasi yang kian lama kian mengarus deras bak sungai besar, lama tenggelam hingga
hanyut terbawa adalah fakta yang terjadi pada diri generasi millennial saat ini.
Generasi penerus bangsa dikatakan buta dalam membaca dan menentukan arah masa
depan bangsa. Bagaimana tidak, generasi millenial hari ini dibuat nyaman oleh kemajuan
teknologi yang pesat, arus informasi yang semakin cepat hanya dengan hitungan detik
melalui smartphone-nya, serta mudahnya menjelajah dunia hanya dengan hitungan detik. Hal
tersebut sejalan dengan kondisi persaingan antarbangsa dan menuntut untuk dapat bertahan di
dunia semakin tinggi.
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang dibentuk pada tahun 2015 menjadi wujud
nyata tantangan bangsa saat ini. Semakin terbukanya persaingan pasar antarnegara sehingga
‘memaksa’ negara dihadang oleh dua kondisi yang sama yaitu dituntut untuk berani dan
mandiri atau mengaku kalah sebagai bangsa yang tak siap menghadapi masa depan global
dan tergerus arus globalisasi yang kian pesat. Lalu apa langkah kedepan bangsa Indonesia
menghadapi tantangan tersebut?
Mengambil konsep besar tentang kenegaraan yang ideal milik Plato. Muncul beberapa
pertanyaan besar di kepala tentang kehidupan berbangsa, “mengapa tidak menjalani
kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan, kehidupan yang mengutamakan hasrat tubuh,
kehidupan hedonistik yang mendudukkan kesenangan sebagai kebaikan tertinggi, kehidupan
indulgensi yang menyenangkan terhadap makanan serta minuman dan seks atau obat-obatan
dan juga tidur atau gairah fisik yang dapat kita rasakan?”
Pertanyaan tersebut kemudian terjawab dengan 2 poin penting yakni :
1. Kesenangan bukanlah kebaikan tertinggi yang harus diraih oleh manusia;
2. Perburuan terhadap kenikmatan menjadikan akhir dari moral manusia dan hal tersebut
akan menghancurkan manusia.
Dua poin tersebut sepertinya sekaligus menjadi jawaban bagi tantangan bangsa kita hari
ini. Arus teknologi yang tinggi melahirkan kemapanan bagi kehidupan bangsa sekaligus
memicu untuk terus mengejar ‘kenikmatan’ secara individu untuk mendapatkan yang lebih
besar lagi.
Mengapa kita bercermin pada individu? Sebab sebuah negara atau bangsa adalah
seorang manusia. Unsur yang membentuk sebuah negara sesuai dengan unsur yang
membentuk jiwa manusia individu.
Dalam tatanan kenegaraan, kita kembali pula bercermin pada era klasik dan
humanisme. Setelah diterpa era kegelapan ilmu pengetahuan di abad pertengahan, para pakar
intelektual serta seniman kembali berkuasa di kursi tertinggi sebuah negara. Sebuah bentuk
kesadaran baru atas realitas pengetahuan dan dunia teknologi harus perlahan dilahirkan
kembali. Kemuliaan dan nilai manusia, dengan memerhatikan kekuatan akal manusia untuk
mengetahui kebenaran alam dan kapasitas roh manusia untuk menentukan, menggambarkan,
dan mencapai apa yang baik bagi manusia.
Masyarakat pada umumnya dan generasi muda bangsa pada khususnya harus terpusat
pada manusia dan alam yang saat ini memberikan inspirasi bagi pengetahuan dan seni.
Penekanan baru pada keberhasilan perseorangan harus dibangkitkan dan dirangsan oleh
model keberhasilan bangsa yang mengagumkan.
Dengan munculnya era humanisme, lahir pula ekspresi keyakinan kemanusiaan dalam
diri manusia, sehingga kekuatannya mengarahkan kehidupannya dan kehidupan
masyarakatnya menuju kemerdekaan dan keadilan. Humanisme kemudian lahir memberikan
jalan terbuka bagi kemerdekaan perorangan, akses menuju pengetahuan, dan sebuah bentuk
kehidupan baru sehingga kembali pada ‘pantulan cermin’ dari individu tersebut (yakni
bangsa) menjadi sempurna.
Tatanan Ilmu Pengetahuan Hari Ini
Saat ini kita dihadapkan oleh masalah serius pada ilmu pengetahuan yang kita tahu hal
tersebut sangat berpengaruh pada maju mundurnya sebuah negara. Bagaimana tidak, seorang
pelajar atau mahasiswa yang dihadapi oleh satu pertanyaan rumit tentang mata kuliahnya atau
seorang turis yang tersesat saat berjalan di tengah padatnya kota seketika mendapatkan
ratusan bahkan ribuan jalan atas masalahnya melalui search engine.
Tak perlu lagi ratusan judul buku dicetak hanya untuk memberikan penjelasan pada
masalah yang dialami dengan kondisi yang sama bahwa hal tersebut dapat terpecahkan hanya
dalam waktu 0,52 detik. Di era ini, tidak ada sebuah argumen yang tidak selesai. Masing-
masing dari kita hari ini berjalan dikelilingi oleh ponsel pintar atau tablet dengan segudang
informasi yang terkumpul dan tidak pernah dilakukan oleh perpustakaan besar manapun.
Bahkan semula yang ia duduk dibangku diskursus hukum atau ekonomi saat ini dapat
mengeluarkan argumennya tentang seni dan parahnya hal tersebut di klaim menjadi sebuah
kebenaran. Berdasarkan laporan riset yang dilakukan oleh detik.com pada tahun 2020, dari
total penduduk Indonesia, 64% -nya adalah pengguna internet atau dalam hitungan jiwa
terdapat 175,4 jiwa dari penduduk Indonesia yang saat ini menggunakan internet sebagai
mesin pencari andalannya.
Dari riset tersebut ditemukan data bahwa prosentase pengguna internet berusia 16 tahun
hingga 64 tahun yang masing-masing memiliki jenis perangkat diantaranya mobile phone
(96%), smartphone (94%), non-smartphone mobile phone (21%), laptop atau komputer
(66%), tablet (23%), konsole game (16%), hingga virtual reality device (5,1%).
Lantas, bagaimana kedudukan pendidikan atau universitas hari ini? Dapatkah kita
katakan bahwa riset atau ruang diskusi ilmiah tak lagi relevan saat ini? Atau perpustakaan
besar harus cepat diruntuhkan dan digantikan dengan penyimpanan big data yang memiliki
kapasitas lebih besar? Atau bahkan kurikulum standar saat ini beralih ke kurikulum modular
dimana mahasiswa dapat menentukan kombinasi modul matakuliahnya sesuai kebutuhan dari
pemberi kerja melalui modul-modul yang tersedia?
Paul Glister dalam bukunya yang berjudul Digital Literacy mengemukakan tentang
definisi dari Digital Literacy adalah kemampuan manusia untuk memahami serta
menggunakan dalam banyak format dari berbagai sumber ketika itu disajikan melalui
komputer. Ini artinya tidak hanya menggunakan informasi untuk kehidupan umat manusia
namun juga memahami akan porsi dalam penggunaannya serta dampaknya terhadap
keberlangsungan hidup manusia.
Pendapat lain mengatakan bahwa Digital Literacy bukan hanya kegiatan penggunaan
dan pemahaman tentang bagaimana informasi tersebut disajikan namun juga sekaligus
mengevaluasi secara kritis serta memahami secara mendalam dari isi informasi dalam konten
digital tersebut.
Lalu apa hubungan Digital Literacy pada perkembangan ilmu pengetahuan dengan
nasionalisme di Indonesia? Kita telah memahami benang merah nasionalisme pertama kali
lahir dan dirajut pada bab sebelumnya. Ada kesamaan motif antara latarbelakang lahirnya
nasionalisme pada era colonial menjajah bangsa ini dengan kondisi saat ini yang notabenenya
masyarakat terjajah oleh arus digital serta pendidikan dan riset ilmiah tak lagi diagungkan
oleh umat manusia. Dalam buku milik Tom Nichols yang berjudul The Death of Expertise
digambarkan bahwa semua orang berhak untuk berargumen tentang satu hal yang ia sendiri
tidak memahami bidang tersebut.
Sekilas terdengar lucu memang, namun hal tersebut dapat dibenarkan dengan beberapa
faktor kondisi sosial yang terjadi salah satunya adalah munculnya era post-truth dimana
argumen kebenaran dan kesalahan hampir tidak memiliki perbedaan karena derasnya arus
informasi di internet.
Para pakar di berbagai bidang hari ini seolah tidak memiliki kedudukan lagi sebagai
pemberi argumen berdasarkan riset ilmiahnya. Masyarakat lebih senang menggunakan
search engine ketimbang harus pergi jauh atau menunggu argumen yang dikeluarkan oleh
ahli tentang pertanyaan yang ia ajukan. Perkembangan dunia global setengah abad akhir ini
memporak-porandakan tatanan sosial yang semula memisahkan antara orang tanpa
pengetahuan dengan para pakar.
Lebih-lebih, ruang diskursus tidak lagi menjadi tempat terbaik untuk memecahkan
segala masalah sosial yang ada, justru menimbulkan konflik sosial baru dan problem lama tak
terpecahkan sebab tak lagi ada sekat antara para pakar dengan orang awam. Fenomena
tersebut terlihat seperti diaspora sosial yang tak beraturan dan tak tersusun secara rapi.
Pada waktu yang sama, arah bangsa hari ini ditentukan oleh seberapa banyaknya suara
netizen yang hadir dalam daftar ‘cuitan’ dan ‘tagar’nya untuk menyatukan aspirasi ‘atas nama
rakyat’. Kini demokrasi ditentukan hanya dengan hitungan detik dan dilakukan oleh jari
manusia dengan sekali ‘klik’.
Kita tahu betapa besarnya pengaruh arus informasi dalam smartphone yang kita
genggam ketika musim pemilihan presiden RI dimulai. Layaknya seorang pakar, kita
berargumen tentang pasangan bakal calon presiden dalam kolom beranda atau kolom
komentar secara mudah. Menentukan pilihan presiden mana yang terbaik dan pantas untuk
duduk di kursi kenegaraan.
Nasib nasionalisme kini ‘di ujung tanduk’, beberapa langkah lagi ia mengalami
kepunahan. Hilangnya nasionalisme ditandai dengan terkikisnya kesadaran generasi muda
bangsa ini terhadap rasa bangga pada bangsa dan semakin maraknya argumen tentang
fenomena politik-kenegaraan yang apriori di berbagai media sosial.
(ILUSTRASI)
MELAHIRKAN KEMBALI
Telah digambarkan pada catatan sebelumnya. Bangsa ini sedang dihadapkan oleh dua
kondisi bak dua sisi mata uang. Menghadapi segala perubahan yang terjadi pada zaman dan
bersaing dengan bangsa lain atau mundur sebagai bangsa yang gagal. Tentu sebagai bangsa
yang luhur akan nilai-nilainya, cita-cita sebagai bangsa yang maju dan tetap merdeka menjadi
dambaan seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai tahapan untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, tentu bangsa ini bergerak
dengan tetap menggunakan banyak pertimbangan dan diskursus panjang yang tak hanya
selesai pada kursi dewan. Namun, juga dibutuhkan kesadaran tiap individu masyarakat
Indonesia untuk turut membangun bangsa ini.
Sebelum mengupas tentang membangun kesadaran tiap individu serta mengupas makna
nasionalisme sendiri, penulis akan mencoba memberikan beberapa contoh kasus yang telah
terjadi akibat terkikisnya rasa kesadaran individu terhadap kehidupan berkebangsaan.
Karl Marx dalam bukunya The Communist Manifesto mengatakan bahwa kelas
kapitalis adalah kelas yang paling revolusioner dan tetap ada hingga kembali bangkitnya
kaum borjuis, merekalah yang benar-benar menggerakkan revolusi produksi industri dan roda
perekonomian dan kini mereka mendominasi dunia serta membangun pasar dunia sehingga
mempercepat pertumbuhan produksi industri.
Akar dari revolusi industri kaum borjuis adalah ketika ditemukannya benua Amerika
dan rute pelayaran hingga jauh ke timur, dan pembukaan kolonial-kolonial baru serta
perdagangan yang bersifat terbuka. Pada catatan yang ditambahkan Marx, terdapat
perkembangan, ada kelompok yang memberikan jalan untuk perdangan, pelayaran dan
industri sebuah pergerakan yang belum pernah diketahui, dan dengan demikian, bagi elemen
revolusioner (borjuis) dalam masyarakat feodal yang goyah, merupakan sebuah
perkembangan yang cepat.
Karakter revolusi kaum borjuis telah membedakan dirinya dari semua kelas
sebelumnya sepanjang sejarah. Hasilnya, keuntungan kaum borjuis begitu hebat, The
Communist Manifesto mengakui :
“Inilah untuk pertama kalinya ditunjukkan pada manusia kegiatan apa yang dapat
menguntungkan untuk dirinya. Inilah keajaiban yang jauh melampaui Piramida Mesir,
Terowongan Romawi, dan Katedral Gothic.”
Pertumbuhan industri serta komunikasi kaum kapitalis yang begitu cepat telah
menciptakan kota-kota yang sangat megah. Kapitalisme memiliki begitu banyak buruh di
kota-kota industri, mereka adalah budak mesin yang menerima upah dari hasil keringatnya.
Hal tersebut secara cepat menghancurkan kelas menengah kebawah seperti pengusaha kecil,
penjaga took, pengrajin, serta petani. Pada masa kejayaan borjuis, masyarakat terpisah
dengan cepat ke dalam dua kelas, yakni kaum proletar dan kaum borjuis.
Hal ini kemudian memunculkan 2 pandangan yang bertolak belakang. Pertama, dari
sisi positif, kemajuan kekuatan produksi kapitalis yang tidak dapat dijadikan contoh telah
mengembangkan dunia materi dengan luas dan mampu memperbaiki kondisi kehidupan yang
penting untuk perkembangan masa depan umat manusia secara utuh. Kedua, ironisnya energi
revolusioner yang luas dan pencapaian kaum borjuis dalam dunia materi yang sedang
berkembang justru akan membawa kehancuran, seperti hubungan produksi yang menjadi
belenggu dalam kekuatan produksi dan hancur lebur oleh munculnya kaum borjuis dengan
kekuatan produktivitas baru mereka. Jadi, hubungan produksi kapitalis menjadi belenggu
pada kekuatan produksi yang meluas dan akan dihancurkan oleh munculnya kelas proletar.
Marx memberikan catatan pendek dalam Manifesto :
“Apa yang dihasilkan kaum borjuis, diatas segalanya, adalah penggali kuburannya
sendiri. Kejatuhannya dan kemenangan kaum proletar tidaklah bias dielakkan lagi.”
Kemudian mengulas perihal kesadaran masing-masing individu. Kesadaran individu
erat kaitannya dengan ikatan kebangsaan yang mendorong terciptanya integrasi bangsa.
Ikatan kebangsaan lahir disebabkan oleh beberapa faktor terutama pada faktor sejarah,
ideologi, budaya, agama, ekonomi, politik, hukum, dan militer. Faktor tersebut tercermin
dalam kebijakan dan tindakan negara atau pemerintah dalam mengelola ekonomi, politik-
birokrasi, hukum, dan militer. Bercermin pada faktor tersebut, ikatan kebangsaan dapat
dikatakan memiliki dominasi pada kebijakan pemerintah. Jika pengelolaan kebijakan
pemerintah dilaksanakan dengan baik serta tidak adanya keberpihakan dan senantiasa
menggaungkan keadilan maka hal tersebut akan menekan lahirnya primordialisme dan
separatisme.
Pendapat tentang upaya pembinaan ikatan kebangsaan disampaikan oleh Shabir Ahmed
dan Abid Karim dalam bukunya yang berjudul “Akar Nasionalisme di Dunia Islam” bahwa
ikatan kebangsaan merupakan ikatan pada manusia yang didasari oleh kecenderungan
emosional yang lahir dari naluri untuk mempertahankan hidup dan tidak tumbuh dari
kesadaran yang permanen. Jadi ikatan tersebut akan muncul saat kondisi tidak aman dari
serangan musuh atau pihak kontra dan ia akan melemah bahkan hilang ketika serangan
tersebut tidak ada. Dengan kata lain, nasionalisme tidak hadir secara permanen namun
temporer ketika muncul ancaman dari pihak eksternal yang kontra terhadap dirinya.
Setelah memunculkan kesadaran bagi individu, kemudian selanjutnya adalah memaknai
kembali apa itu nasionalisme. Definisi nasionalisme sendiri sepanjang sejarah bangsa
Indonesia mengandung makna positif dalam diri masyarakat Indonesia. Nasionalisme seakan-
akan menjadi hal yang sakral dan tidak dapat dirubah lagi maknanya. Namun, hal tersebut
tidak sebanding dengan realitas yang hadir. Nasionalisme seakan menjadi senjata bagi para
kapitalis untuk meraup keuntungan bagi dirinya sebanyak-banyaknya serta menjadi tempat
berlindung ternyaman sepanjang hidupnya.
Nasionalisme secara etimologi berasal dari bahasa Latin yakni natio yang bermakna
bangsa yang dipersatukan karena kelahiran dan nasci yang berarti dilahirkan. Maka
nasionalisme diartikan sebagai bangsa yang bersatu karena faktor kelahiran yang sama.
Dalam kamus Webster, nasionalisme diartikan sebagai berikut :
“Loyality and devotion to a nation; especially a sense of national conciousness
exalting one nation above all others and pracing primary emphasis on promotion of its
culture and interests as apposed to those of other nations or supranational groups”.
Webster menggambarkan nasionalisme sebagai rasa cinta terhadap bangsa terkhusus
pada rasa kesadaran untuk memuliakan suatu bangsa diatas yang lainnya serta memberikan
penekanan pada usaha untuk mengenalkan kebudayaan dan kepentingan bangsa sebagai
sesuatu yang pantas di antara bangsa atau kelompok supranasional lainnya.
Sedangkan secara fungsional, nasionalisme juga diartikan sebagai paham kebangsaan
yang lahir sebab adanya persamaan nasib dan histori, serta kepentingan untuk hidup bersama
dalam satu wilayah yang merdeka, bersatu dan berdaulat. Nasionalisme seringkali dipandang
sebagai ideologi pemelihara negara bangsa. Anthony D. Smith menjelaskan dalam bukunya
yang berjudul “Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah” bahwa terdapat tiga sasaran utama
paham nasionalisme yakni: otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas nasional.
Menurutnya, sebuah negara tidak akan mampu melangsungkan hidupnya tanpa ketiga
komponen tersebut.
Bangsa Indonesia juga telah mampu menggenggap tiga komponen tersebut dalam
kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Secara historis, nasionalisme di Indonesia menjadi
gerakan ideologis untuk mencapai kemerdekaan. Kemudian perlahan nasionalisme menjadi
pondasi dasar dalam negara sehingga ia berhubungan erat dengan upaya untuk menjaga
kesatuan atau integrasi bangsa.
Namun nasionalisme kali ini berubah bentuk menjadi alat adaptasi bagi para kapitalis
untuk melebarkan sayapnya. Nasionalisme yang digaungkan oleh kapitalis perlahan merubah
sentimen “persatuan rakyat” menjadi “pemecah belah rakyat” tanpa disadari. Pemahaman
tentang nasionalisme secara sempit kemudian harus diperlebar. Nasionalisme secara sempit
disadari memberikan makna tentang rasa cinta tanah air sehingga muncul beberapa sikap
seperti toleransi dan patriotisme.
Dalam usaha mengartikan nasionalisme, kelompok birokrat negara selalu
menggaungkan definisi yang sama dengan dalih sebagai perwujudan semangat baru di
sepanjang perayaan kemerdekaan. Dibalik hal tersebut, nasionalisme sering dikaburkan oleh
gerakan (yang sebaliknya) anti-nasionalisme. Dalam kegiatan pendidikan, mengulas sejarah
pada era 70 hingga 80-an kita mengenal mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) di
bangku sekolah. Pendidikan moral pancasila pada saat itu menitik beratkan pada value
inculcation dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Dengan berlakunya UU No.
2 Pasal 39 tahun 1989 tentang Sitem Pendidikan Nasional yang menggaris bawahkan adanya
muatan kurikulum Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai bahan
kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Kurikulum Pendidikan
Dasar dan Pendidikan Menengah tahun 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan
tersebut dengan memperkenalkan mata pelajaran PPKn (Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan).
Secara ringkas PMP diganti dengan nama yang berbeda dengan muatan materi
pembelajaran yang lebih luas dan kompleks sesuai jenjang pendidikan yakni PPKn yang
merupakan gabungan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan. Perubahan
tersebut disebabkan karena adanya klaim bahwa belum berkembangnya paradigma civic
education. Sebagai contoh penerapan PMP melalui penataran P4 dianggap kurang meresap di
berbagai lapisan masyarakat.
Berbeda dengan sistem kurikulum yang sebelumnya, kurikulum PPKn 1994
mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir nilai-nilai P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila). Melainkan atas dasar konsep nilai yang
diserap dari P4 dan sumber resmi lain yang ditata dengan pendekatan spiral meluas.
Alih-alih dengan klaim tersebut, realitas yang terjadi sangat berbeda dengan tujuan
dirubahnya mata pelajaran PMP. Semakin terbukanya ancaman disintegrasi bangsa menjadi
‘momok’ yang menghantui saat ini. Terlebih, semakin maraknya praktik terorisme diberbagai
wilayah menunjukkan gagalnya pemerintah dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam bidang tekonologi dan inovasi, Indeks Inovasi Global (IIG) mencatat Indonesia
saat ini berada pada peringkat ke-85 (tahun 2019) dan tidak berubah posisi pada tahun
sebelumnya. Dan mirisnya, Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan negara tetangga yaitu
Singapura (peringkat 8) dan Malaysia (peringkat 35). Untuk menilai Indeks Inovasi Global
tersebut, terdapat 80 indikator negara dengan perkembangan inovasinya, mulai dari
penghitungan tradisional seperti investasi penelitian dan pengembangan, serta hak paten
internasional dan indikasi lainnya seperti pengembangan aplikasi mobile dan ekspor produk
teknologi tinggi.
Direktur Jenderal World Intellectual Property Organization (WIPO) Francis Gurry
menyatakan, peringkat IIG menggambarkan bahwa negara yang memprioritaskan inovasi
dalam kebijakannya telah melihat peningkatan signifikan dalam peringkat mereka. Gurry
juga mengatakan bahwa kebangkitan peringkat IIG oleh kekuatan ekonomi seperti China
telah mentransformasi lanskap geografi inovasi global, dan hal tersebut menunjukkan
pentingnya sebuah kebijakan untuk mendorong adanya inovasi.
Kita mestinya tahu bahwa Cina adalah negara dan bangsa yang memiliki power dalam
ekonomi dengan didorongnya percepatan produksi pengetahuan dan teknologi. Cina telah
membangun platform digital sendiri untuk menandingi Amerika yang kita kenal sebelumnya
sebagai negara adidaya atas ekonomi dan tekonologinya. Cina hari ini memiliki Baidu
sebagai tandingan dari Google, Alibaba sebagai tandingan dari Amazon, Didi Chuxing
sebagai tandingan dari Uber, Weibo sebagai tandingan dari Twitter, RenRen sebagai
tandingan dari Facebook, WeChat sebagai tandingan dari WhatsApp, Youku sebagai
tandingan dari Youtube, QQ sebagai tandingan dari Gmail.
Keseluruhan hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan dan wujud nyata
nasionalisme di era digital. Bukan menghapus atau menggantinya, namun
mentransformasikan nasionalisme klasik ke nasionalisme baru.
(ILUSTRASI)
Peluru Vs Molotov
“Orang Kiri adalah mereka jang menghendaki perobahan kekuasaan kapitalis, imperialis
jang ada sekarang. Kehendak untuk menjebarkan keadilan sosial adalah kiri. Ia tidak perlu
Komunis. Orang kiri bahkan dapat bertjektjok dengan orang Komunis. Kiriphobi, penjakit
takut akan tjita-tjita kiri, adalah penjakit jang kutentang habis-habisan seperti Islamophobi.
Nasionalisme tanpa keadilan sosial mendjadi nihilisme.” - Soekarno dalam Cindy Adams
(1966:100)
Saat ini mungkin yang kita dengar adalah kelompok vigilante. Kelompok yang
memiliki tujuan menegakkan hukum dengan caranya sendiri. Vigilante sendiri berasal dari
bahasa latin yang bermakna penjaga malam di Romawi Kuno yang bertugas memadamkan
kebakaran dan menjaga keamanan. Vigilante sering menyelimuti dirinya saat melakukan
aksi-aksi massa dengan mengatasnamakan rakyat kelas bawah bahkan agama atau suku.
Menarik mundur sejarah Indonesia, tepatnya pada tahun 1926 di Banten yang selalu
kita kenal sebagai Pemberontakan PKI. Dalam buku milik Michael C. Williams yang
berjudul “Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten” dijelaskan bahwa
pertama kali komunis hadir di Banten dan melakukan pertemuan yang secara langsung
membahas terkait metode meraih simpati warga Banten untuk masuk ke dalam Partai
Komunis Indonesia. Kala itu, orang Banten dikenal sebagai penganut agama Islam yang
ortodoks dan masih menempatkan pewaris Kesultanan Banten pada kedudukan yang disegani
dan dihormati. Situasi tersebut kemudian menjadikan PKI menyesuaikan dirinya dengan
realitas sosial masyarakat Banten.
Untuk menggerakkan Banten yang dikenal hanya bisa menerima orang-orang pribumi
sebagai kawan seperjuangan mereka, maka hanya orang-orang menak dan telah menjadi
komunislah yang dikirim kesana. Sementara itu, untuk menarik simpati dari kalangan Islam,
PKI memberikan tugas kepada Achad Bassaif yang dikenal sebagai seorang Arab-Banten dan
fasih berbahasa Arab.
Konflik internal Sarekat Islam menjadi sangkut paut atas bergabungnya kelompok
agamawan. Saat itu, ketua Sarekat Islam Banten dipegang oleh Hasan Djajadiningrat, saudara
lelaki sejarawan Banten, Husein Djajadiningrat. Dibawah tampuk kepemimpinannya, SI
menjadi organisasi moderat yang tak memberikan peluang bagi ulama dan jawara Banten
untuk turut berkontribusi. SI ditangan Hasan menurut Williams telah gagal menjadi
organisasi pengharapan bagi masyarakat Banten yang menghendaki perubahan dalam
kehidupannya.
Tumbuhnya PKI di Banten secara masif menjadikan kondisi wilayah Banten seakan-
akan terisolasi oleh konflik sosial di luar wilayah tersebut. Terbukti, pecahnya Sarekat Islam
menjadi dua yakni SI Merah dan SI Putih tidak membawa pengaruh apapun dalam kondisi
sosial masyarakat Banten.
Ketika Hassan meninggal pada tahun 1920, SI selanjutnya dipimpin oleh Achmad
Chatib. Di bawah kursi kepemimpinannya bibit radikalisme Sarekat Islam mulai tumbuh.
Alih-alih sebab kesamaan dari tujuan PKI yakni melindungi agama, Chatib membuka pintu
lebar-lebar kepada PKI untuk masuk secara bebas di Banten. Chatib kemudian dinobatkan
sebagai “Presiden Agama PKI Seksi Banten.”
Hingga pada 12 November 1926, setelah komunis berkembang pesat di Banten, Aliansi
Islam-Komunis bermuara pada peristiwa PKI. Huru-hara di Batavia meledak, beberapa di
Jawa Tengah dan yang paling menggemparkan di Banten, menyusul kemudian di Silungkang,
Sumatera Barat.
Pemberontakan saat itu tidak berlangsung lama. Berita pun tersiar cepat hingga ke
Batavia. Pemerintah kolonial kemudian mengirim satu kompi polisi bersenjata dan baku
tembak pun terjadi di Menes dan Labuan. Para komando pemberontakan pun ditangkap dan
sebagian dari mereka melarikan diri dan muncul kembali bertahun-tahun yang kemudian
bermanuver sebagai aktivis politik bawah tanah dari partai yang telah dibubarkan itu.
Sementara itu, sebelum pemberontakan pecah, pada September 1926 Tan Malaka yang
menentang pemberontakan memerintahkan agar semua pengikutnya meninggalkan Sumatera
Barat. Sebab, apabila pemberontakan tersebut gagal, Belanda akan menumpas gerakan
komunis secara keseluruhan. Arif Fadlillah, ketua PKI Seksi Padang Panjang, melaksanakan
perintah itu dan menentang keras keinginan PKI Seksi Silungkang dan Seksi Padang untuk
mengikuti pemberontakan.
Peristiwa pemberontakan PKI di Banten 1926 memang menunjukkan adanya
pertemuan kepentingan yang sama antara Islam dan Komunisme. Gerakan tarekat di Banten
selama beberapa abad menjadi landasan dasar untuk meluncurkan perang sabil terhadap
kekuasaan kolonial yang asing. Sementara kaum komunis memandang pemerintah kolonial
wujud dari kekuasaan kaum borjuis di Indonesia.
Di masa kini, kegaduhan rutin setiap akhir September untuk menanyakan kembali
kebenaran sejarah Gerakan 30 September dan Pemberontakan 1926 oleh PKI menjadi parade
aksi massa yang kosong. Hal tersebut kemudian menjadi karakteristik tipikal politik di
Indonesia. Kuatnya motif saling menunggangi antar kepentingan kelompok atau bahkan
senang ‘memancing di air yang keruh’.
Hal tersebut dapat efektif berjalan sebab terdapat pihak yang sengaja mengambil
keuntungan dari parade aksi-aksi massa tersebut. Selalu ada ruang bagi kelompok oportunis
untuk masuk dalam gerakan-gerakan massa hanya untuk memperoleh keuntungan pribadinya
saja. Telah menjadi tradisi yang melembaga di Indonesia bahwa sebagian besar partisipan
kelompok vigilante merupakan kaum pengangguran yang tidak terlihat dan sesekali
menampakkan dirinya hanya untuk kepentingan ‘perut’. Mereka akan dengan mudah
mengangkat isu komunis atau isu primordial seperti ras tau agama ke panggung publik. Hal
tersebut adalah realitas pahit bagi publik sebenarnya, karena ketika para elitenya yang gemar
memainkan isu diatas ‘lingkaran setan’ problem kesejahteraan dan minimnya wawasan rakyat
kelas bawah.
Hari ini perjuangan tidak lagi digaungkan melalui ‘mimbar bebas’ atau ‘gerakan aksi
massa’. Di masa orde baru, pembelaan terhadap rakyat tertindas memiliki stigma sebagai
gerakan kiri. Melalui sila keadilan sosial, keberpihakan kaum muda terhadap masyarakat dan
menjamurnya gerakan filantropi oleh lembaga besar maupun individu memperoleh dasar
yang legal, tanpa khawatir dengan adanya kemunculan kembali phobia kiri seperti masa lalu.
Pancasila dan nasionalisme kembali dijadikan sebagai ‘taruhan’. Gerakan yang
mencerminkan sila Keadilan Sosial tidak lagi diartikan sebagai gerakan aksi massa di tengah
jalan. Mengingat hal tersebut, hari ini pun telah dianggap sebagai gerakan yang ditunggangi
oleh elite meskipun pada narasi yang disampaikannya mengatasnamakan rakyat kelas bawah.
Barid Hardiyanto dalam tulisannya yang dirilis oleh Koran Tempo berjudul “Gerakan
Mahasiswa Milenial” menegaskan bahwa gerakan mahasiswa sekarang ini tidak terlepas dari
“genealogi” gerakan sebelumnya. Terdapat kesinambungan sejarah gerakan mahasiswa 80-an
dengan gerakan mahasiswa hari ini.
Namun gerakan mahasiswa hari ini menghadapi tantangan yang berbeda dari gerakan
mahasiswa 80-an. Tantangan generasi milenial hari ini adalah bagaimana mereka mampu
berinovasi dalam berkarya dan kegunaannya hadir di tengah masyarakat. Budaya berpikir
kritis saat ini telah bertransformasi menjadi tantangan sekaligus solusi mengembangkan nalar
kritis tersebut dan dihadirkan untuk bangsa.
Di kelas global, pada tahun 2030 hingga 2040, Indonesia akan mengalami fase bonus
demografi. Yakni jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar ketimbang
penduduk usia non-produktif (dibawah 15 tahun dan diatas 64 tahun). Konsekuensi riil yang
dihadapi pada saat bonus demografi terjadi ialah perubahan pola kerja. Mulai dari usia
pekerja, metode kerja, hingga sistem pasar tak lagi menggunakan ‘cara lama’. Semua serba
baru dan segar.
Sekalipun prediksi tersebut benar terjadi, Indonesia juga harus mampu menjawab
problematika lama yang tak mungkin tiba-tiba menghilang. Salah satu problematika
sepanjang tahun adalah tingkat pengangguran yang kian lama semakin tinggi. Pada kelas
terdidik misalnya, angka pengangguran di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mencapai
11,24%, disusul Sekolah Menengah Atas (SMA) 7,95%, diploma 6,02%, strata 5,89%.
Angka tersebut justru dikalahkan oleh pengangguran dari tamatan Sekolah Dasar (SD) yakni
2,43% dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) 4,8%.
Kuncinya ada pada pendidikan. Sekarang kita pahami pendidikan adalah faktor pertama
dan utama untuk pengembangan sektor apapun seperti ekonomi, industri, budaya, hingga
politik. Kita juga telah melihat bagaimana pendidikan memberikan konstruksi yang unik pada
lapisan masyarakat ketika diperhitungkan oleh negara.
Jepang sebagai negara dengan pendidikan yang memiliki mutu ‘tandingan’ dunia telah
menjawab segala persoalan bangsanya terutama dalam demografi yang mempengaruhi
perekonomian negara. Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi per pekerja yakni 2% jauh
lebih tinggi daripada Amerika Serikat dan Uni Eropa. Kunci sukses Jepang adalah
mendorong penduduk usia kerja untuk bekerja secara optimal dan produktif hingga tingkat
penganggurannya kurang dari 3%, paling rendah diantara negara maju lainnya. Hampir 80%
penduduk usia kerja terserap oleh sektor produktif, sekali lagi, jauh lebih baik dibandingkan
dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang hanya 70%.
Meskipun Uni Eropa mengalami kesulitan menekan inflasi dan masyarakat secara
dominan menuju usia penuaan yang disertai surplus tabungan, pertumbuhan ekonominya
masih berpeluang untuk dipacu. Uni Eropa telah mengalami surplus transaksi berjalan dengan
kisaran angka 3% terhadap PDB.
PDB per kapita digunakan sebagai indikator pertumbuhan kinerja perekonomian negara
serta untuk mengukur potensi konsumsi suatu negara. Namun, indikator tersebut juga dirasa
kurang mampu memberikan gambaran yang utuh tentang pertumbuhan ekonomi potensial
negara. Sebab indikator PDB per kapita memasukkan orang tua dan anak-anak yang kita tahu
mereka tidak berkontribusi terhadap produksi.
Fenomena di Jepang kembali menjadi renungan yang serius tentang deflasi yang
berdampak negatif terhadap perekonomian suatu negara. Apakah masih relevan?
Masuk ke bonus demografi, kita mencoba melihat negara lainnya seperti Tiongkok dan
Rusia. Tiongkok dapat dikatakan negara emerging sebab Tiongkok telah memasuki masa
penuaan karena kebijakan one child policy pada masa lalunya. Begitupula dengan Rusia yang
dominasi masyarakatnya memiliki mindset bahwa keluarga yang memiliki banyak anak
adalah sebuah beban besar.
Ringkasnya, bonus demografi di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut. Jika kita
memiliki 3 orang penduduk maka 2 diantaranya adalah penduduk yang produktif, artinya dia
adalah pekerja. Sebaliknya dengan Jepang. Jika mereka memiliki 3 orang penduduk maka
hanya 1 diantaranya menjadi pekerja. Akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia harusnya
lebih tinggi dari Jepang.
Kemudian kita mencoba menilik pada tingkat pengangguran terbuka atau TPT. Tingkat
pengangguran terbuka menjadi tolak ukur dari tingkat penawaran tenaga kerja yang tidak
terserap oleh pasar. Pada tahun 2016, TPT di Indonesia mencapai angka 5,61% dan sebanyak
69,02 juta jiwa (57,03%) bekerja di bidang informal. Mampukah Indonesia menghadapi
bonus demografi?
Kembali kepada kunci sukses di fase bonus demografi. Indonesia harus memiliki
kebijakan yang bersifat link and match antara pendidikan dan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Pendidikan harus bertansformasi sebagai pelatihan atau praktik langsung untuk
mempersiapkan tenaga kerja. Selain itu, pendidikan juga berpengaruh pada pertumbuhan
Indeks Inovasi Global (IIG) di Indonesia. Semakin berkualitas output yang dihasilkan dari
pendidikan, maka inovasi yang dilahirkan juga semakin bertambah sehingga secara alamiah
hal tersebut akan mengimbangi jumlah lapangan kerja dan industri.
(ILUSTRASI)
ADAKAH JALAN KELUAR?
Tak ada lagi rencana dan jalan keluar. Kita tidak memiliki kebebasan dan tidak
bertanggung jawab atas kehidupan kita. Kita hanyalah korban keadaan produk pasif dari
pengkondisian kita sendiri. Kita hidup dalam penipuan diri dan dalam keyakinan yang lemah.
Serta hidup dalam ketidakmurnian karena mempermasalahkan makhluk yang lain. Kita
adalah makhluk yang hidup dalam keterasingan.
Masing-masing dari kita yang hidup tidak secara penuh memasukkan peraturan moral
dalam sistem sosial yang mendominasi dan hanya menguntungkan kelompok kita sendiri.
Dan bagaimana dengan kelompok yang hidup dengan moralitas konvensional? Atau
menggebu-gebu dalam keseriusan? Mereka selamanya hanya akan memandang bahwa
dirinya abadi, absolut, dan kebenarannya wajib bagi semesta.
Masyarakat yang memandang nasionalisme dengan moralitas konvensional hanya akan
membunuh dirinya sendiri. Mereka justru hanya sementara, relatif, dan bergantung pada
masa-masa tertentu serta pada kelompok-kelompok tertentu. Mereka bukan hasil pasti dari
keadaan sosial hari ini atau bahkan sejarah. Mereka sesekali akan berkata “Aku hidup atas
keputusanku sendiri dan hidupku telah memberikan sumbangsih kepada bangsa dan negara.”
Tidak satupun dari orang-orang “terhormat” ini pernah mengetahui tanggung jawabnya
masing-masing untuk memilih nilai moralnya. Mereka hidup dalam kesuksesan, berada di
puncak kekayaan finansial, politis, dan sosial, serta dilandasi api semangat keseriusan.
Bertingkah seolah-olah nilai moral mereka adalah hukum fisika alam semesta yang
mendorong mereka bertindak seperti apa yang mereka lakukan.
Anggap saja kita berharap untuk tidak hidup layaknya babi yang kotor, yang
kesehariannya hanya berkubang dalam lumpur lengket moralitas konvensional. Anggap saja
kita berharap untuk menghindari keyakinan yang lemah, ketidakmurnian, pengasingan diri,
dan semangat keseriusan. Lalu apa tindakan yang benar secara moral untuk menyelamatkan
nasionalisme? Apa tindakan yang tidak terjebak dalam perangkap ini?
Jawabannya adalah kita bertindak secara moral ketika kita membuang segala penipuan
terhadap diri sendiri dan membuat pilihan moral diri sendiri dengan pemahaman bahwa kita
adalah sosok makhluk yang berkesadaran akan pentingnya nasionalisme dan kita bebas dalam
memilih dan bertanggung jawab atas apa yang masing-masing dari kita pilih. Langkah
penyelematan yang tepat adalah pada diri kita masing-masing.
Lantas apa yang harus dipilih? Nilai-nilai apa yang harus menjadi pedoman tindakan
individu? Maka jawaban yang tepat adalah masing-masing dari kita bebas memilih. Tak ada
idealisme moral untuk menyelamatkan kondisi kita hari ini. Tak ada nilai-nilai moral yang
dapat memandu kita. Hal itu secara eksplisit memberikan arti bahwa nasionalisme dan segala
pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara telah mati.
Namun jika direnungi lebih dalam, sikap tersebut perlahan akan melahirkan kemurnian
dan semangat keseriusan yang baru. Menyadari akan kesalahan-kesalahan diri sendiri dan
bangsa pada masa lampau akan menghadirkan api semangat baru dalam melangkah.
Memberikan perspektif “nilai nol” pada seluruh capaian baik buruk negara dan bangsa akan
melahirkan nilai-nilai positif yang baru dalam berkehidupan.
Hingga pada konsep makhluk berkesadaran, kita memandang bahwa kita sadar akan
objek yang terpisah dari diri kita, sadar akan waktu, sadar akan jarak, ketiadaan,
ketidakpuasan, menciptakan kemungkinan yang tidak ada, dan dengan demikian berarti
berlaku pula atas sesuatu yang akan dilakukan.
Solusi yang kedua setelah melahirkan kembali kesadaran diri dalam berbangsa adalah
mengubah sistem yang telah disusun rapi oleh oligarki. Dalam buku milik Daron Acemoglu
dan James A. Robinson yang berjudul Why Nation Fail mengatakan bahwa solusi untuk
menghentikan rantai kegagalan ekonomi dan politik suatu negara adalah dengan mengubah
lembaga ekstratif menjadi lembaga yang inklusif. Lembaga yang inklusif akan selalu
memperhatikan hal-hal kecil dalam ruang sosial kenegaraannya.
Sebaliknya, lembaga ekstraktif menjadikan negara yang memiliki masyarakat miskin
untuk tetap miskin dan mencegah mereka untuk memulai pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut
benar terjadi hari ini di Afrika, Zimbabwe, Sierra Leone, dan Amerika Selatan. Selai itu di
negara-negara seperti Kolombia dan Argentina, serta di benua Asia seperti Korea Utara dan
Uzbekistan, dan di Timur Tengah seperti Mesir.
Ada beberapa hal perbedaan yang mencolok dari negara-negara tersebut. Secara
geografis, beberapa negara memiliki iklim tropis, beberapa negara juga memiliki wilayah
garis lintang yang melampaui batas. Secara etnis, mereka juga memiliki ciri khas masing-
masing, beberapa ada yang dari koloni Inggris, lainnya beretnik Jepang, Spanyol, dan Rusia.
Dan tentunya, secara linguistik dan sejarah berdirinya negara tersebut memiliki perbedaan
yang mencolok. Apa yang mereka miliki adalah institusi yang menarik.
Namun, ada satu hal kesamaan yang mereka miliki. Dalam kasus perekonomian dan
perpolitikan negara, mereka sama-sama didalangi oleh elit-elit untuk membentuk lembaga
ekonomi negara. Tujuannya adalah untuk memperkaya diri mereka sendiri dan
melanggengkan kekuasaannya dengan mengorbankan sebagian besar masyarakat yang hidup
dibawahnya.
Sejarah dan struktur sosial yang berbeda dari negara-negara tersebut mengarah pada
perbedaan karakteristik para elite serta detail dari institusi ekstraktif. Namun sebab mengapa
lembaga ekstraktif ini bertahan selalu terikat dengan “lingkaran setan”, dan implikasi dari
lembaga tersebut dalam menjadikan miskin rakyatnya pun serupa.
Di Zimbabwe, elite negara dipimpin oleh Robert Mugabe yang merupakan pelopor dari
ZANU-PF (kelompok yang memimpin peperangan anti-kolonial pada tahun 1970-an).
Sedang di Korea Utara, elite kenegaraan adalah orang-orang di sekitar Kim Jong II dan Partai
Komunis. Sebaliknya di Uzbekistan, elite kenegaraannya adalah Presiden mereka sendiri,
Karimov, serta keluarga, dan kroni-kroninya yang kemudian menciptakan era Uni Soviet
pada kala itu.
Kelompok elite jelas sangat berbeda. Dalam perbedaan tersebut, bersama dengan
ekonomi dan politik yang mereka kelola beraneka ragam, mengartikan bahwa bentuk khusus
yang dibentuk oleh lembaga ekstraktif juga berbeda. Misalnya, karena Korea Utara
diciptakan oleh revolusi komunis, maka ia mengambil model politiknya menggunakan
prinsip satu partai yakni Partai Komunis sebagai kendali negaranya.
Sebaliknya di Zimbabwe, model seperti lembaga politik ekstraktif tidak dapat
diterapkan di Zimbabwe. Alih-alih, atas dasar historis negaranya, yaitu cara mereka dalam
berkuasa di saat masa perjuangan anti-kolonial. Mugabe harus menutupi peraturannya dengan
pemilu, bahkan jika untuk sementara waktu dia benar-benar berhasil merekayasa negara
dengan sistem satu partai yang secara konstitusional hal tersebut disucikan.
Di Kolombia, mereka memiliki sejarah pemilu yang panjang. Secara historis muncul
sebagai metode untuk berbagi kekuasaan antar Partai Liberal dengan Partai Konservatif
setelah kemerdekaannya dari Spanyol.
Tidak hanya sifat elite yang berbeda, namun jumlah mereka juga berbeda. Di
Uzbekistan, Karimov dapat “membajak” sisa-sisa dari Soviet, yang kemudian memberinya
alat kuat untuk menekan dan membunuh elite-alternatif. Di Kolombia, kurangnya otoritas
negara bagian pusat di beberapa negara bagian secara alami menyebabkan lebih banyak elite
yang terfragmentasi. Bahkan sedemikian rupa sehingga mereka terkadang saling bunuh-
membunuh. Meskipun demikian, terlepas dari beragam elite dan institutsi politik ini, institusi-
institusi ini seringkali berhasil memperkuat dan mereproduksi kekuatan elite yang
menciptakan mereka.
Tetapi terkadang perselisihan yang mereka ciptakan mengarah pada keruntuhan negara,
seperti di Seirra Leone. Seperti halnya sejarah dan struktur yang berbeda berarti identitas elite
dan detail lembaga politik ekstraktif berbeda, begitu pula detail dari lembaga ekonomi
ekstraktif yang didirikan oleh para elite. Di Korea Utara, alat ekstraksi sekali lagi diwarisi
dari perangkat telekomunikasi seperti penghapusan properti pribadi, pertanian yang dikelola
negara, dan industri.
Sedangkan di Indonesia, elite kenegaraan bermain dengan sentimen-sentimen
keagamaan dan kelompok. Banyak kelompok masyarakat kemudian terprovokasi dan
bergerak untuk membenarkan. Hal tersebut telah lama ditulis oleh sejarah bangsa Eropa,
mereka menyatakan revolusi karena merasa lelah melakukan peperangan yang
mengatasnamakan agama. Kemudian secara cepat bangsa Eropa memberikan deklarasi
pembentukan sebuah bangsa dengan dasar kesadaran nurani dan pikiran mereka.
Tentang Penulis
Daron Acemoglu & James Robinson. (2012). Why Nations Fail: The Origins of Power,
Prosperity, and Poverty. United States: Crown Business
Https://inet.detik.com/cyberlife/d-4907674/riset-ada-1752-juta-pengguna-internet-di-
indonesia
Karl Marx, ed. Gareth Stedman Jones. (2014). The Communist Manifesto. England: Penguin
Classics.
Michael C. Williams. (2003). Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di
Banten. Yogyakarta: Syarikat Indonesia.
Snyder, L.L. (1968). The New Nationalism. New York: Cornell University Press.
Tom Nichols. (2017). The Death of Expertise: The Campaign Against Established
Knowledge and Wht it Matters. United States: Oxford University Press
Shabir Ahmed & Abid Karim. (1997). Akar Nasionalisme di Dunia Islam. Bangil: Al-Izzah
Press.