Anda di halaman 1dari 11

2.

1 Konsep Manajemen Risiko


2.1.1 Definisi Manajemen Resiko
Manajemen risiko adalah suatu proses mengidentifikasi, mengukur
risiko, serta membentuk strategi untuk mengelolanya melalui sumber daya
yang tersedia. Strategi yang dapat digunakan antara lain mentransfer risiko
pada pihak lain, mengindari risiko, mengurangi efek buruk dari risiko dan
menerima sebagian maupun seluruh konsekuensi dari risiko tertentu.
Menurut Djojosoedarso (2003,p. 2) manajemen risiko merupakan
berbagai cara penanggulangan risiko. Dan menurut Peltier (2001, p. 224),
manajemen risiko merupakan proses mengidentifikasi risiko, mengukur untuk
mengurangi risiko. Sedangkan, menurut Dorfman (2004, p. 8) manajemen
risiko merupakan proses logik yang digunakan oleh perusahaan bisnis dan
individual. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap orang harus selalu
berusaha untuk mencegah terjadinya resiko, artinya bahwa adanya upaya
untuk meminimumkan resiko yang terjadi. Dan pencegahan resiko tersebut
dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pengelolaan dari pencegahan resiko
inilah yang kita sebut sebagai manajemen risiko.
Program manajemen risiko dengan demikian mencakup tugas-tugas,
seperti
(1) Mengidentifikasi risiko-risiko yang dihadapi; (2) Mengukur atau
menentukan besarnya risiko tersebut; (3) Mencari jalan untuk menghadapi
atau menanggulangi risiko; (4) Menyusun strategi untuk memperkecil
ataupun mengendalikan risiko;
(5) Mengkoordinir pelaksanaan penanggulangan risiko serta mengevaluasi
program penanggulangan risiko yang telah di buat.

2.1.2 Fungsi- Fungsi Pokok Manajemen Risiko


Menurut Djojosoerdarso (2005, p.14), fungsi pokok manajemen risiko terdiri
dari:
1. Menemukan Kerugian Potensial
Artinya berupaya untuk menemukan atau mengidentifikasi seluruh risiko
murni yang dihadapi perusahaan, yang meliputi (a) Kerusakan fisik dari
harta kekayaan perusahaan; (b) Kehilangan pendapatan atau kerugian
lainnya akibat terganggunya operasi perusahaan; (c) Kerugian akibat
adanya tuntutan hukum dari pihak lain; (d) Kerugian-kerugian yang
timbul karena penipuan, tindakan
– tindakan kriminal lainnya, tidak jujurnya karyawan; (e) Kerugian-
kerugian yang timbul akibat karyawan kunci (keymen) meninggal dunia,
sakit dan cacat.
2. Mengevaluasi Kerugian Potensial
Artinya melakukan evaluasi dan penilaian terhadap semua kerugian
potensial yang dihadapi oleh perusahaan. Evaluasi dan penilaian ini akan
meliputi perkiraan mengenai (a) Besarnya kemungkinan frekuensi
terjadinya kerugian artinya memperkirakan jumlah kemungkinan
terjadinya kerugian selama suatu periode tertentu atau berapa kali
terjadinya kerugian tersebut selama suatu periode tertentu; (b)Besarnya
bahaya dari tiap-tiap kerugian, artinya menilai besarnya kerugian yang
diderita, yang biasanya dikaitkan dengan besarnya pengaruh kerugian
tersebut, terutama terhadap kondisi financial perusahaan; (c) Memilih
teknis/cara yang tepat atau menentukan suatu kombinasi dari teknik-
teknik yang tepat guna menanggulangi kerugian

2.1.3 Proses Manajemen Resiko


Pemahaman risk management memungkinkan manajemen untuk
terlibat secara efektif dalam menghadapi uncertainty dengan risiko dan
peluang yang berhubungan dan meningkatkan kemampuan organisasi untuk
memberikan nilai tambah. Menurut COSO, proses manajemen risiko dapat
dibagi ke dalam 8 komponen (tahap)
1. Internal environment (Lingkungan internal)
Komponen ini berkaitan dengan lingkungan dimana instansi Pemerintah
berada dan beroperasi. Cakupannya adalah risk-management philosophy
(kultur manajemen tentang risiko), integrity (integritas), risk-perspective
(perspektif terhadap risiko), risk-appetite (selera atau penerimaan
terhadap risiko), ethical values (nilai moral), struktur organisasi, dan
pendelegasian wewenang.
2. Objective setting (Penentuan tujuan)
Manajemen harus menetapkan objectives (tujuan-tujuan) dari organisasi
agar dapat mengidentifikasi, mengakses, dan mengelola risiko. Objective
dapat diklasifikasikan menjadi strategic objective dan activity objective.
Strategic objective di instansi Pemerintah berhubungan dengan
pencapaian dan peningkatan kinerja instansi dalam jangka menengah dan
panjang, dan
merupakan implementasi dari visi dan misi instansi tersebut. Sementara
itu, activity objective dapat dipilah menjadi 3 kategori, yaitu (1)
operations objectives; (2) reporting objectives; dan (3) compliance
objectives. Risk tolerance dapat diartikan sebagai variasi dalam
pencapaian objectif yang dapat diterima oleh manajemen.
3. Event identification (Identifikasi risiko)
Komponen ini mengidentifikasi kejadian-kejadian potensial baik yang
terjadi di lingkungan internal maupun eksternal organisasi yang
mempengaruhi strategi atau pencapaian tujuan dari organisasi. Kejadian
tersebut bisa berdampak positif (opportunities), namun dapat pula
sebaliknya atau negatif (risks).
4. Risk assessment (Penilaian risiko)
Komponen ini menilai sejauhmana dampak dari events (kejadian atau
keadaan) dapat mengganggu pencapaian dari objectives. Besarnya
dampak dapat diketahui dari inherent dan residual risk, dan dapat
dianalisis dalam dua perspektif, yaitu: likelihood (kecenderungan atau
peluang) dan impact/consequence (besaran dari terealisirnya risiko).
Dengan demikian, besarnya risiko atas setiap kegiatan organisasi
merupakan perkalian antara likelihood dan consequence. Penilaian risiko
dapat menggunakan dua teknik, yaitu: (1) qualitative techniques; dan (2)
quantitative techniques. Qualitative techniques menggunakan beberapa
tools seperti self-assessment (low, medium, high), questionnaires, dan
internal audit reviews. Sementara itu, quantitative techniques data
berbentuk angka yang diperoleh dari tools seperti probability based, non-
probabilistic models (optimalkan hanya asumsi consequence), dan
benchmarking. Yang perlu dicermati adalah events relationships atau
hubungan antar kejadian/keadaan. Events yang terpisah mungkin
memiliki risiko kecil. Namun, bila digabungkan bisa menjadi signifikan.
Demikian pula, risiko yang mempengaruhi banyak business units perlu
dikelompokkan dalam common event categories, dan dinilai secara
aggregate.
5. Risk response (Sikap atas risiko)
Organisasi harus menentukan sikap atas hasil penilaian risiko. Risk
response
dari organisasi dapat berupa:
(1) avoidance, yaitu dihentikannya aktivitas atau pelayanan yang
menyebabkan risiko;
(2) reduction, yaitu mengambil langkah-langkah mengurangi likelihood
atau impact dari risiko;
(3) sharing, yaitu mengalihkan atau menanggung bersama risiko atau
sebagian dari risiko dengan pihak lain;
(4) acceptance, yaitu menerima risiko yang terjadi (biasanya risiko yang
kecil), dan tidak ada upaya khusus yang dilakukan. Dalam memilih
sikap (response), perlu dipertimbangkan faktor-faktor seperti pengaruh
tiap respon terhadap risk likelihood dan impact, respon yang optimal
sehingga bersinergi dengan pemenuhan risk appetite and tolerances,
analis cost versus benefits, dan kemungkinan peluang (opportunities)
yang dapat timbul dari setiap risk response.
6. Control activities (Aktifitas-aktifitas pengendalian)
Komponen ini berperanan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan
(policies) dan prosedur-prosedur untuk menjamin risk response terlaksana
dengan efektif. Aktifitas pengendalian memerlukan lingkungan
pengendalian yang meliputi: (1) integritas dan nilai etika; (2) kompetensi;
(3) kebijakan dan praktik-praktik SDM; (4) budaya organisasi; (5) filosofi
dan gaya kepemimpinan manajemen; (6) struktur organisasi; dan (7)
wewenang dan tanggung jawab.
Dari pemahaman atas lingkungan pengendalian, dapat ditentukan jenis
dan aktifitas pengendalian. Terdapat beberapa jenis pengendalian,
diantaranya adalah preventive, detective, corrective, dan directive.
Sementara aktifitas pengendalian berupa: (1) pembuatan kebijakan dan
prosedur; (2) pengamanan kekayaan organisasi; (3) delegasi wewenang
dan pemisahan fungsi; dan (4) supervisi atasan. Aktifitas pengendalian
hendaknya terintegrasi dengan manajemen risiko sehingga pengalokasian
sumber daya yang dimiliki organisasi dapat menjadi optimal.
7. Information and communication (Informasi dan komunikasi)
Fokus dari komponen ini adalah menyampaikan informasi yang relevan
kepada pihak terkait melalui media komunikasi yang sesuai. Faktor-
faktor yang perlu diperhatikan dalam penyampaiaan informasi dan
komunikasi adalah kualitas informasi, arah komunikasi, dan alat
komunikasi. Informasi yang disajikan tergantung dari kualitas informasi
yang ingin disampaikan, dan kualitas informasi dapat dipilah menjadi:
(1) appropriate; (2) timely; (3) current; (4) accurate; dan (5) accessible.
Arah komunikasi dapat bersifat internal dan eksternal. Sedangkan alat
komunikasi berupa diantaranya manual, memo, buletin, dan pesan-pesan
melalui media elektronis.
8. Monitoring
Monitoring dapat dilaksanakan baik secara terus menerus (on going)
maupun terpisah (separate evaluation). Aktifitas monitoring ongoing
tercermin pada aktivitas supervisi, rekonsiliasi, dan aktivitas rutin lainnya.
Monitoring terpisah biasanya dilakukan untuk penugasan tertentu
(kasuistis). Pada monitoring ini ditentukan scope tugas, frekuensi, proses
evaluasi metodologi, dokumentasi, dan action plan. Pada proses
monitoring, perlu dicermati adanya kendala seperti reporting deficiencies,
yaitu pelaporan yang tidak lengkap atau bahkan berlebihan (tidak relevan).
Kendala ini timbul dari berbagai faktor seperti sumber informasi, materi
pelaporan, pihak yang disampaikan laporan, dan arahan bagi pelaporan.

2.2 Konsep Mutu Layanan Kesehatan


2.2.1 Definisi Mutu Layanan Kesehatan
a. Peningkatan mutu pelayanan adalah derajat memberikan pelayanan
secara efisien dan efektif sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan yang dilaksanakan secara menyeluruh sesuai dengan
kebutuhan pasien, memanfaatkan teknologi tepat guna dan hasil
penelitian dalam pengembangan pelayanan kesehatan/keperawatan
sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal (Nursalam,2015:5).
b. Mutu adalah tingkat kemampuan dari penampilan sesuatu yang sedang
diamati (Winston Dictionary:1956).
c. Mutu adalah sifat yang dimiliki oleh suatu program
(Donabedian:1980).
d. Mutu adalah totalitas dari wujud serta cirri dari satu barang atau jasa,
yang didalamnya terkandung sekaligus rasa aman atau pemenuhan
kebutuhan para pengguna (Din ISO 8402:1986).
e. Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan
(Crosby:1984)

2.2.2 Pengukuran Mutu Pelayanan


Mutu pelayanan dapat diukur dengan menggunakan tiga variable, yaitu
input,proses,dan output/outcome.
a. Input adalah segala sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan
kegiatan seperti tenaga, dana, obat, fasilitas peralatan, teknologi, organisasi
dan informasi.
b. Proses adalah interaksi professional antara pemberi pelayanan dengan
konsumen (pasien dan masyarakat). Setiap tindakan medis/keperawatan
harus selalu mempertimbangkan nilai yang dianut pada diri pasien. Setiap
tindakan korektif dibuat dan meminimalkan resiko terulangnya keluhan
atau ketidakpuasan pada pasien lainnya. Program keselamatan pasien
bertujuan untuk meningkatkan keselamatan pasien dan meningkatkan mutu
pelayanan. Interaksi professional yang lain adalah pengembangan
akreditasi dalam meningkatkan mutu rumah sakit dengan indikator
pemenuhan standar pelayanan yang ditetapkan kementrian kesehatan
RI.ISO 9001:2000 adalah suatu standar internasional untuk sistem
manajemen kualitas yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses
pelayanan terhadap kebutuhan persyaratan yang dispesifikasikan oleh
pelanggan dan rumah sakit. Keilmuan selalu diperbarui untuk menjamin
bahwa tindakan medis/keperawatan yang dilakukan telah didukung oleh
bukti
ilmiah yang mutakhir. Interaksi professional selalu memperhatikan
asas etika terhadap pasien, yaitu :
1). Berbuat hal-hal yang tidak baik (beneficence) terhadap manusia
khususnya pasien, staf klinis dan non klinis, masyarakat dan
pelanggan secara umum.
2). Tidak menimbulkan kerugian (nonmaleficence) terhadap manusia.
3). Menghormati manusia (respect for persons) menghormati hak
otonomi, martabat, kerahasiaan, berlaku jujur, terbuka, empati.
4). Berlaku adil (justice) dalam memberikan layanan.

c. Output/outcome adalah hasil pelayanan kesehatan atau pelayanan


keperawatan, yaitu berupa perubahan yang terjadi pada konsumen
termasuk kepuasan dari konsumen. Tanpa mengukur hasil kinerja rumah
sakit/keperawatan tidak dapat diketahui apakah input dan proses yang
baik telah menghasilkan output yang baik pula.

2.2.3 Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan


a. Dimensi kompetensi teknis
Dimensi kompetensi teknis menyangkut keterampilan, kemampuan,
dan penampilan atau kinerja pemberi layanan kesehatan. Dimensi
kompetensi teknis ini berhubungan dengan bagaimana pemberi layanan
kesehatan mengikuti standar layanan kesehatan yang telah disepakati,
yang meliputi kepatuhan, ketetapan, kebenaran dan konsistensi.Tidak
dipenuhinya dimensi kompetensi teknis dapat mengakibatkan berbagai
hal, mulai dari penyimpangan kecil terhadap standar layanan
kesehatan, sampai kepada kesalahan fatal yang dapat menurunkan
mutu layanan kesehatan dam membahayakan jiwa pasien.
b. Dimensi keterjangkauan atau akses terhadap layanan kesehatan
Artinya layanan kesehatan ini harus dapat dicapai oleh masyarakat,
tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, organisasi dan
bahasa. Akses geografis diukur dengan jarak, lama perjalanan, biaya
perjalanan, jenis transportasi, atau hambatan fisik lain yang dapat
menghalangi seorang untuk mendapat layanan kesehatan. Akses
ekonomi berkaitan dengan kemampuan membayar biya layanan
kesehatan. Akses sosial atau budaya berhubungan dengan dapat
diterima atau tidaknya layanan kesehatan itu secara sosial atau nilai
budaya, kepercayaan, dan perilaku. Akses organisasi ialah sejumlah
mana layanan kesehatan itu diatur agar memberi
kemudahan/kenyamanan kepada pasien atau konsumen.Akses bahasa,
artinya pasien harus dilayani dengan menggunakan bahasa atau dialog
yang dapat dipahami oleh pasien
c. Dimensi efektivitas layanan kesehatan
Layanan kesehatan harus efektif, artinya harus mampu mengobati atau
mengurangi keluhan yang ada, mencegah terjadinya penyakit serta
perkembang luasnya penyakit yang ada.Efektivitas layanan kesehatan
ini bergantung pada bagaimanan standar layanan kesehata itu
digunakan dengan tepat, konsisten, dan sesuai dengan situasi setempat.
Umumnya standar layanan kesehatan disusun pada tingkat organisasi
yang lebih tinggi, sementara pada tingkat pelaksanaan, standar layanan
kesehatan itu harus dibahas agar dapat digunakan sesuai dengan kondisi
setempat. Dimensi efektivitas sangat berkaitan dengan dimensi
kompetensi teknis terutama dalam pemeliharaan alternative dalam
menghadapi relative risk dan keterampilan dalam mengikuti prosedur
yang terdapat dalam standart layanan kesehatan.
d. Dimensi efesiensi layanan kesehatan
Sumber daya kesehatan sangat terbatas.Dimensi efesiensi sangat
penting dalam layanan kesehatan.Layanan kesehatan yang efisien dapat
melayani lebih banyak pasien atau masyarakat.Layanan kesehatan yang
tidak memenuhi standar layanan kesehatan umumnya berbiaya mahal,
kurang nyaman bagi pasien, memerlukan waktu lama, dan
menimbulkan resiko yang lebih besar kepada pasien.Dengan
melakukan analisis efisiensi dan efektivitas, kita dapat memilih
intervensi yang paling efisien
e. Dimensi keseimbangan layanan kesehatan
Artinya pasien harus dilayani sesuai dengan kebutuhannya, termasuk
rujukan jika diperlakukan secara mengulangi prosedur diagnosis dan
terapi yang tidak perlu.Pasien harus selalu mempunyai akses ke layanan
kesehatan yang dibutuhkan, karena riwayat penyakit pasien
terdokumentasi secara lengkap, akurat dan terkini, layanan kesehatan
yang diperlukan pasien dapat terlaksana tepat waktu dan tepat tempat.
f. Dimensi keamanan
Layanan kesehatan itu harus aman, baik bagi pasien, bagi pemberi
layanan, maupun bagi masyarakat sekitar layanan kesehatan yang
bermutu harus aman dari risiko cedera, infeksi, efek samping, atau
bahaya lain yang ditimbulkan oleh layanan kesehatan itu sendiri.
Misalnya transfusi darah. Dimensi keamanan menjadi dimensi mutu
layanan kesehatan yang utama di bidang transfusi darah setelah muncul
HIV/AIDS. Pasien dam pemberi pelayanan harus disusun suatu
prosesdur yang akan menjamin keamanan kedua belah pihak.
g. Dimensi kenyamanan
Dimensi kenyamanan ini berhubungan langsung dengan efektivitas
layanan kesehatan, tetapi mempengaruhi kepuasan pasien/konsumen
sehingga mendorong pasien dating berobat
kembali ke tempat tersebut.Kenyamanan atau kenikmatan dapat
meimbulkan kepercayaan pasien kepada organisasi layanan kesehatan.
Jika biaya layanan kesehatan menjadi persoalan, kenikmatan akan
mempengaruhi pasien untuk membayar biaya layanan kesehatan.
Kenyamanan juga terkait dengan penampilan fisik layanan kesehatan,
pemberian layanan, peralatan medis dan nonmedis. Misalnya,
tersedianya AC/TV/majalah/musik atau kebersihan dalam suatu ruang
tunggu dapat menibulkan perasaan kenikmat tersendiri sehingga waktu
tunggu tidak menjadi hal yang membosankan. Tersedianya gorden
penyekat dalam kamar periksa akan memberi kenyamanan terutama
kapada pasien wanita.
h. Dimensi informasi
Layanan kesehatan yang bermutu harus mampu memberikan informasi
yang jelas tentang apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana layanan
kesehatan ini sangat penting pada tingkat puskesman dan rumah sakit.
i. Dimensi ketepatan waktu
Agar berhasil, layanan kesehatan itu harus dilaksanakan dalam waktu
dan cara yang tepat, oleh pemberian pelayanan yang tepat, dan
menggunakan peralatan dan obat yang tepat, serta dengan biaya yang
efisien (tepat)
j. Dimensi hubungan antar manusia
Hubungan antarmanusia merupakan interaksi antara pemberi layanan
kesehatan (provider) dengan pasien atau konsumen, antarsesama
pemberi layanan kesehatan, hubungan antara atasan dan bawahan, dinas
kesehatan, rumah sakit, puskesmas, pemerintah daerah, LSM,
masyarakat, dan lain-lain. Hubungan antarmanusia yang baik akan
menimbulkan kepercayaan atau kredibilitas dengan cara saling
menghargai, menjaga rahasia, saling menghormati, responsive memberi
perhatian, dan lain-lain

2.2.4 Upaya Meningkatkan Mutu


Peningkatan mutu dilakukan dalam berbagai macam cara yang akan
dijelaskan sebagai berikut :
a. Mengembangkan akreditasi dalam meningkatkan mutu rumah sakit
dengan indikator pemenuhan standar pelayanan yang ditetapkan
kementerian kesehatan RI.
b. ISO 9001:2000 yaitu suatu standar internasional untuk sistem
manajemen kualitas yang bertujuan menjamin kesesuaian proses
pelayanan terhadap kebutuhan persyaratan yang dispesifikasikan oleh
pelanggan atau rumah sakit.
c. Memperbarui keilmuan untuk menjamin bahwa tindakan
medis/keperawatan yang dilakukan telah didukung oleh bukti ilmiah
yang mutakhir.
d. Good corporate governance yang mengatur aspek institusional dan
aspek bisnis dalam penyelenggaraan sarana pelayanan keseahatan
dengan memperhatikan transparansi dan akuntabilitas sehingga
tercapai manajemen yang efisiensi dan efektif.
e. Clinicalgovermance merupakan bagian dari cororate governance,
yaitu sebuah kerangka kerja organisasi pelayanan kesehatan yang
bertanggung jawab atas peningkatan mutu secara berkesinambungan.
Tujuannya adalah tetap menjaga standar pelayanan yang tinggi dengan
mencipatakan lingkungan yang kondusif. Clinical govermance
menjelaskan hal-hal penting yang harus dilakukan seorang dokter
dalam menangani konsumennya (pasien dan keluarga).
f. Membangun aliansi strategis dengan rumah sakit lain baik didalam
atau luar negeri. Kerja sama lintas sektor dan lintas fungsi harus
menjadi bagian dari budaya rumah sakit seperti halnya kerja sama tim
yang baik. Budaya dikotomi pemerintah dengan swasta harus diubah
menjadi falsafah “bauran pemerintahan swasta (public private mix)
yang saling mengisi dan konstruktif. g. Melakukan evaluasi terhadap
strategi pembiayaan, sehingga tarif pelayanan bisa bersaing secara
global, misalnya outsourcing investasi, contracting out untuk fungsi
tertentu seperti claning service, laundry, gizi, perparkiran.
h. Orientasi pelayanan. Sering terjadi banturan nilai, di satu pihak
masih kuatnya nilai masyarakat secara umum bahwa rumah sakit
adalah institusi yang mengutamakan fungsi sosial. Sementara itu di
pihak lain, etos para pemodel/investor dalam dan luar negri yang
menganggap rumah sakit adalah industri dan bisnis jasa, sehingga
orientasi mencari laba merupakan sesuatu yang absah.
i. Orientasi bisnis dapat besar dampak positifnya bila potensial negatif
dapat dikendalikan. Misalnya, tindakan medis yang berlebihan dan
sebenarnya tidak bermanfaat bagi pasien menciptakan peluang
terjadinya manipulasi pasien demi keuntungan finansial bagi pemberi
layanan kesehatan. Perlu mekanisme pembinaan etis yang
mengimbangi dua sistem nilai yang dapat bertentangan, yaitu antara
fungsi sosial dan fungsi bisnis

SUMBER :
Qoriawaty, F. 2016. Manajemen Risiko Dalam Pelayanan Kesehatan
Di Instalasi Farmasi Dan Contoh Kasus Yang Terjadi Di IFRS RSUD
Dr. Adjidarmo Kab. Lebak. Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran :
Bandung.

Anda mungkin juga menyukai