Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MAKALAH

GENESA DAN EKSPLORASI BATU BARA

AWAL ASHAR ARIF


0932017023

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Batubara adalah batuan sedimen, yang merupakan bahan bakar hidrokarbon,


yang terbentuk dari tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh
panas serta tekanan yang berlangsung lama sekali. Secara garis besar batubara terdiri
dari zat organik, air dan bahan mineral. Batubara dapat diklasifikasikan menurut
tingkatan yaitu lignit, sub bituminous, bituminous dan antrasit. Pembentukan endapan
batubara yang terdapat di Indonesia umumnya terjadi dalam zaman Tersier dan
diantaranya dapat dibedakan dua kelompok yang menonjol, yaitu batubara yang
berasal dari zaman Eosen (± 50 juta tahun) umumnya bermutu lebih tinggi dan
tergolong sub-bituminous serta bituminous dan yang berasal dari zaman Miosen (± 40
juta tahun) yang umumnya terdiri dari lignit atau sub-bituminous dengan nilai kalori
lebih rendah dan kadar air cenderung tinggi.
Penyebaran endapan batubara di Indonesia cukup meluas baik di Indonesia
bagian barat maupun Indonesia bagian timur. Kebanyakan terdapat di cekungan-
cekungan batubara pada beberapa tempat di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan,
seperti Cekungan Sumatera Selatan, Cekungan Kutai, Cekungan Barito dan
sebagainya. Lapisan batubara yang ada di Cekungan Kutai, terdapat dalam endapan
non-marin dari transgresi pre-marin dalam cekungan antar pegunungan. Ketebalan
lapisan batubara tersebut dipengaruhi oleh endapan-endapan penutup yang dapat
mempercepat proses pembatubaraan.
Pembentukan suatu endapan memerlukan suatu penimbunan dari sisa-sisa
bahan organik yang berlangsung perlahan-lahan tetapi terus menerus terjadi, hal
tersebut akan memproduksi suatu bahan organik yang tinggi dengan disertai sirkulasi
air yang cepat sehingga zat organik tersebut terhindar dari oksidasi dan pada akhirnya
dapat terawetkan. Lingkungan pengendapan batubara sejatinya akan mengontrol
penyebaran lateral, ketebalan, komposisi, dan kualitas batubara. Dengan mengetahui
lingkungan pengendapan dari suatu daerah, maka kita dapat merekonstruksi waktu
terbentuknya pengendapan berasal dari mana dan bagaimana suatu endapan itu
terbentuk.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimana genesa batubara?
2. Bagaimana lingkungan pengendapan batubara?

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dari makalah ini yaitu untuk membahas tentang metode eksplorasi
langsung. Adapun tujuan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui metode eksplorasi langsung;
2. Mengetahui lingkungan pengendapan batubara.

1.4 Manfaat

Manfaat dari makalah ini yaitu untuk menambah wawasan pembaca terutama
penulis tentang metode eksplorasi langsung sebagai modal penting dalam dunia
pertambangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Genesa Batubara

Batubara berasal dari sisa tumbuhan yang mengalami proses pembusukan,


pemadatan yang telah tertimbun oleh lapisan diatasnya, pengawetan sisa-sisa bahan
organik yang dipengaruhi oleh proses biokimia yaitu pengubahan oleh bakteri. Akibat
pengubahan oleh bakteri tersebut, sisa-sisa tumbuhan kemudian terkumpul sebagai
suatu masa yang mampat yang disebut gambut melalui proses penggambutan, proses
ini terjadi karena akumulasi sisa-sisa tanaman tersimpan dalam kondisi reduksi
didaerah rawa dengan sistem drainase yang buruk yang mengakibatkan selalu
tergenang oleh air, pada umumnya mempunyai kedalaman 0,5-1,0 meter. Gambut
yang telah terbentuk lama-kelamaan tertimbun oleh endapan-endapan seperti
batulempung, batulanau dan batupasir. Dengan jangka waktu puluhan juta tahun
sehingga gambut ini akan mengalami perubahan fisik dan kimia akibat pengaruh
tekanan (P) dan temperature (T) sehingga berubah menjadi batubara yang dikenal
dengan proses pembatubaraan (coalitification) pada tahap ini lebih dominan oleh
proses geokimia dan proses fisika (Mandala, 2020).

2.2 Pembentukan dan Maseral Batubara


Proses pembentukan batubara di mulai dari penggambutan (peatification)
hingga pembatubaraan (coalification). Proses penggambutan disebut juga proses
biokimia, pada proses ini terjadi perubahan kimia dan penguraian tumbuhan oleh
mikroba, karena terbentuk dari akumulasi tumbuhan, maka dari itu gambut
mengandung senyawa organik yang sangat tinggi, yaitu senyawa C, H, O, dan N.
Proses coalification atau pembatubaraan disebut juga proses geokimia, karena
dipengaruhi oleh proses geologi dan perubahan kimia.

Maseral dibedakan menjadi tiga grup yaitu vitrinit, liptinit, dan inertinit (Stach
dkk., 1982). Vitrinit adalah maseral yang terbentuk dari selulosa dan lignin yang
mengandung serat kayu seperti akar, daun, dan batang. Liptinit adalah maseral yang
terbentuk dari sisa tumbuhan dan tanaman tingkat rendah seperti ganggang, spora,
kutikula, getah tanaman dan resin. Inertinit adalah maseral yang terbentuk dari
tumbuhan yang sudah terbakar dan sisa oksidasi maseral lainnya (Qadaryati et al.,
2019).

2.3 Lingkungan Pengendapan Batubara

Terdapat dua jenis lahan gambut menurut Diessel (1992), yaitu lahan gambut
ombrogen dan lahan gambut topogen. Lahan gambut ombrogen adalah lahan gambut
yang dipengaruhi oleh air hujan, sedangkan lahan gambut topogen adalah lahan
gambut yang dipengaruhi oleh air tanah. Martini dan Glooschenko (1984, dalam
Diessel, 1992) membagi lahan gambut berdasarkan jenis tumbuhan pembentuknya
menjadi empat, yaitu (Qadaryati et al., 2019):
1. Bog, merupakan rawa yang banyak ditumbuhi oleh tanaman lumut atau
tanaman miskin nutrisi.
2. Fenogeni, rawa yang banyak ditumbuhi tumbuhan perdu dan beberapa jenis
pohon lainnya. Lingkungan ini terkadang basah dan terkadang kering.
3. Marsh, rawa yang banyak ditumbuhi tumbuhan perdu dan jenis tanaman
merambat yang umum disekitar danau atau laut.
4. Swamp, rawa yang selalu basah saat musim kemarau hingga musim dingin.
Lingkungan ini kaya akan tumbuhan berkayu.
Kondisi lingkungan pengendapan batubara menurut Stach dkk., (1982) dibagi
menjadi telmatis atau terestrial, limnic, marine, dan Ca-rich. Telmatis atau terestrial
merupakan lingkungan yang berada di daerah pasang surut, menghasilkan gambut
yang tidak terganggu dan tumbuhan tumbuh insitu. Limnic merupakan lingkungan
dimana batubara terbentuk di bawah air rawa danau. Marine merupakan lingkungan
dimana batubara yang terbentuk memiliki mineral matter atau pengotor yang tinggi,
seperti abu dan sulfur. Ca-rich merupakan lingkungan yang kaya akan Ca (Stach dkk.,
1982). Diessel (1992) mengklasifikasikan enam lingkungan utama terbentuknya
batubara, yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and upper delta
plain, lower delta plain, backbarrier stand plain, dan estuary.

2.4 Mineral Penyusun Batubara

Menurut Stach dkk., (1982), material anorganik dapat diklasifikasikan menjadi


tiga kelompok berdasarkan asalnya:
1. Mineral dari tanaman asli.
2. Mineral yang terbentuk pada tahap pertama proses pembatubaraan atau mineral
yang terbawa oleh media air dan angin ke dalam akumulasi gambut selama
proses pembatubaraan.
3. Mineral yang terbentuk pada tahap kedua proses pembatubaraan, setelah
konsolidas, reaksi larutan yang masuk ke dalam cracks, fissures, cavities, atau
akibat alterasi mineral lainnya.
Mineral yang umum dijumpai pada batubara adalah mineral lempung, sulfida,
dan oksida. Mineral lempung, merupakan mineral yang paling sering dijumpai pada
batubara dengan kelimpahan sekitar 60-80% dari keseluruhan mineral matter. Mineral
lempung hadir dalam batubara karena terbawa oleh media air selama proses akumulasi.
Mineral lempung yang umum dijumpai adalah kaolinite, illite, dan sericite. Mineral
ini terbentuk seiring dengan proses pembatubaraan, dari proses penggambutan hingga
proses pembatubaraan sebagai pengisi rekahan dalam batubara.
Mineral sulfida yang paling umum terdapat di batubara adalah pirit, markasit,
dan melnikovit-pirit. Pada kondisi tersebut, sebagian besar lapisan batubara
mengandung sphalerite, galena, dan chalcopyrite dalam jumlah kecil (Stach, 1941;
Mackowsky, 1943; Balme, 1956 dalam Stach dkk., 1982). Terdapat dua jenis pirit
berdasarkan genesanya, pirit syngenetik dan pirit epigenetik. Pirit syngenetik adalah
pirit yang terbentuk saat proses penggambutan, sedangkan pirit epigenetik adalah pirit
yang terbentuk setelah proses pembatubaraan. Pirit terbentuk sebagai hasil reduksi
sulfur primer oleh organisme dan air tanah yang mengandung ion besi, reduksi tersebut
akan menghasilkan pirit framboidal (Annisa, 2016). Terbentuknya pirit epigenik
berkaitan dengan jumlah rekahan pada batubara, karena ion besi dalam bentuk larutan
akan mengisi rekahan dan bereaksi dengan sulfur primer membentuk pirit masif. Win
dkk., (2013), menjelaskan mengenai tipe-tipe pirit, tipe pirit dapat dibedakan menjadi
framboidal pyrite, euhedral pyrite, massive pyrite, anhedral pyrite, dan epigenetic
pyrite.
1. Framboidal pyrite, beberapa penulis menjelaskan bahwa framboidal pyrite
berasal dari piritisasi bakteri sulfur. Framboids adalah bentuk pirit yang umum
dijumpai di lingkungan anoxic, seperti laut, lakustrin, dan rawa (Wilkin dan
Barnes, 1997).
2. Euhedral pyrite, dikenal juga sebagai kristal pirit. Sebagian besar euhedral
pyrite bersifat syngenetik dan dihasilkan selama pengendapan gambut atau
pada awal humifikasi. Secara umum kristal pirit euhedral berukuran kecil dan
tersebar di dalam batubara.
3. Massive pyrite, biasanya ditemukan sebagai cleat (kekar), cellfillings,
cementing atau coating framboids dan mineral detrital. Massive pyrite juga
ditemukan sebagai pengganti bahan organik dalam berbagai mineral. Massive
pyrite homogen umumnya berpori dan tidak padat karena terisi oleh sisa bahan
organik dan mineral lempung selama proses kristalisasi.
4. Anhedral pyrite, pirit jenis ini terbentuk dari mineralisasi sisa tumbuhan selama
proses penggambutan hingga pembatubaraan, selain itu terbentuk oleh hasil
ubahan dari massive pyrite.
5. Epigenetic pyrite, pirit jenis ini merupakan pirit yang mengisi cleat dan
fracture. Mineral oksida yang paling umum dijumpai adalah kuarsa, terdapat
dua proses pembentukan kuarsa dalam batubara yaitu kuarsa yang terbawa oleh
air atau udara (clastic quartz) dan kuarsa yang terbentuk dari larutan hasil
pengendapan batubara (finely- crystalline quartz).
2.5 Parameter Analisis Proksimat
data analisis proksimat yang digunakan adalah data ash, sulfur, dan volatile
matter. Ash, merupakan material sisa pembakaran batubara berupa abu (ash)
setelah batubara dibakar dengan sempurna. Material sisa pembakaran ini dapat
mencerminkan mineral matter yang terkandung dalam batubara. Pada kondisi
tertentu hal tersebut tidak dapat dilakukan karena akan terjadi reaksi-reaksi kimia,
diantaranya adalah dekomposisi pirit, dekomposisi karbonat, dan fiksasi sulfur.
Penentuan parameter ini dilakukan di laboratorium dengan membakar batubara
pada suhu 750 – 800oC. MaterialMaterial pembentuk sulfur berasal dari
material organik dan material anorganik, tidak jarang air laut juga
mempengaruhi jenis sulfur yang dihasilkan. Terdapat dua jenis sulfur dalam
batubara, yaitu sulfur organik dan sulfur anorganik. Sulfur organik terbentuk
seiring proses penggambutan hingga pembatubaraan, berasal dari tumbuhan
pembentuk batubara. Sulfur anorganik berasal dari lingkungan tempat
terbentuknya batubara, mineral yang terbawa oleh air dan terakumulasi bersamaan
dengan gambut, maupun larutan yang mengisi rekahan dalam batubara. Sulfur
anorganik dibagi menjadi dua yaitu piritik (sulfida) sulfur dan sulfat sulfur.
2.6 Fasies Batubara
Harga TPI ditentukan berdasarkan perbandingan maseral yang terawetkan
dengan maseral yang tidak terawetkan. Resistensi suatu maseral ditentukan oleh
komposisi tumbuhan pembentuk batubara itu sendiri. Tanaman yang banyak
mengandung lignin, contohnya tumbuhan kayu, akan lebih resisten dibanding
dengan tanaman yang banyak mengandung selulosa.
Dari harga TPI yang didapatkan dapat menunjukkan kelimpahan dari tanaman
kayu atau tanaman perdu yang membentuk batubara tersebut. Makin tinggi nilai
TPI menunjukkan tanaman kayu lebih dominan sebagai pembentuk batubara. Nilai
GI merupakan perbandingan maseral yang terbentuk karena proses gelifikasi
dengan maseral yang terbentuk karena proses oksidasi. Dari harga tersebut dapat
digunakan untuk menginterpretasi tinggi muka air tanah terhadap permukaan
gambut. Dari kombinasi pengeplotan nilai TPI dan GI dapat digunakan untuk
memperkirakan derajat dekomposisi dan kecepatan akumulasi tumbuhan.
Hasil perhitungan nilai TPI( Total Preservation Index) dan GI (Gellification
Index) di plotkan pada diagram fasies Diessel (1986). Batubara Formasi Warukin
di Desa Kalumpang, Binuang (Gambar 7) terendapkan dari lingkungan upper delta
fan (conto 14/IA/001F), clastic marsh (conto 14/IA/002A, I4/IA/002B,
14/IA/002D, 14/IA/003A, 14/IA/003C, 14/IA/004C, 14/1A/005E) dan lower delta
plain (14/IA/003D, 14/IA/004A, 14/IA/005B, 14/14/005C). Conto 14/IA/001F
diendapkan pada lingkungan telmatik yang mengindikasikan bahwa batubara
tersebut terbentuk secara insitu yang mana tanaman tumbuh, mati, membusuk, dan
mengalami proses pembatubaraan di satu tempat yang sama Lingkungan purba
pada saat batubara ini tersebut diinterpretasikan sebagai hutan basah yang kaya
akan tanaman kayu. Kandungan maseral vitrinit lebih tinggi dari maseral intertinit.
Tujuh conto hasil analisis yang memperlihatkan lingkungan clastic marsh
diendapkan pada kondisi limnic fase transgresi. Batubara diendapkan dalam
kondisi subaquatic dimana proses pembatubaraan selalu tergenang oleh air dalam
kurun waktu yang lama. Beberapa lapisan batupasir masif cukup tebal
diinterpretasikan sebagai produk dari endapan creversse splay yang memotong
lapisan batubara. Lingkungan ini kaya akan material organik dan tanaman kayu
sehingga kandungan vitrinit pada batubara yang diendapkan pada lingkungan ini
sangat tinggi.
Empat conto hasil analisis selanjutnya memperlihatkan lingkungan lower delta
plain diendapkan pada kondisi limnic fase transgresi. Proses
pembatubaraanberlangsung pada kondisi subaquatic. Pada beberapa lapisan
terdapat struktur sedimen silang siur, mengindikasikan ada pengaruh arus pasang
surut di lingkungan pembentukan batubara.
2.7 Analisis Maseral Batubara
Analisis Komposisi Maseral Pengamatan megaskopis conto batubara berwarna
hitam dengan warna hitam. Memiliki kilap dull hingga dull bended pada beberapa
conto (14/IA/002A dan 14/IA/004A). Pengamatan mikroskopis (Foto 6) menunjukkan
maseral di dominasi oleh vitrinit dengan persentase 87.5% (conto 14/IA/001F) - 94%
(conto (14/IA/004C).
Melihat persentase maseral batubara dari urutan tua ke muda terdapat perbedaan nilai
maseral yang terkadung dalam conto terpilih. Nilai vitrinit mengalami perubahan nilai
yang fluktuatif, begitu pula nilai maseral yang lain. Pola tersebut relatif sama dengan
perubahan pola lingkungan pembentukan batubara Formasi Warukin di jalur
Kalumpang.
BAB III
PEMBAHASAN

Batubara didefinisikan sebagai kelompok batuan sedimen organik


yang terdiri atas material tumbuhan yang telah mengalami proses
pembatubaraan dan dibedakan menjadi jenis humik serta sapropelic
(Diessel, 1992). Batubara humik umumnya diendapkan di lingkungan
darat dengan proses pengendapan di tempat asal terbentuknya
(autochthonous) atau telah mengalami proses transportasi
(allochthonous), sedangkan batubara sapropelik umumnya diendapkan di
lingkungan laut dan lingkungan lakustrin air tawar, seperti cannel coal
dengan proses pengendapan apungan (Diessel, 1992).

Diessel (1992) mengklasifikasikan enam lingkungan utama terbentuknya


batubara, yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and upper delta
plain, lower delta plain, backbarrier stand plain, dan estuary.
1. Braid Plain, merupakan daerah aluvial intramountana, yaitu dataran aluvial
yang berada di antara pegunungan. Pada lingkungan ini terendapkan material
sedimen kasar diagenesa gambut ombrogenik, yaitu gambut yang hanya ter-
bentuk karena pengaruh air hujan.
2. Alluvial valley and upper delta plain, kedua lingkungan pengendapan ini
memiliki karaktersitik litofasies yang sama. Lingkungan terbentuk dari hasil
transisi lembah dan dataran aluvial dengan dataran delta yang melalui sungai
stadia dewasa dengan banyak meander. Lapisan batubara memiliki ketebalan
yang bervarias dengan warna hitam kusam, komposisi abu dan sulfur terbilang
lebih rendah dibandingkan dengan lingkungan pengendapan lainnya.
3. Lower delta plain, perbedaan antara lower delta plain dan upper delta plain
adalah dari pengaruh pasang air laut terhadap sedimentasi. Lower delta plain
memiliki pengaruh pasang surut air laut yang lebih tinggi dibandingkan upper
delta plain. Pasang air laut akan membawa nutrisi kedalam rawa sehingga
meningkatkan pertumbuhan yang lebih baik, namun material sedimen klastik
halus ikut terendapkan di lingkungan ini yang berpengaruh terhadap kenaikan
pengotor selama proses penggambutan hingga pembatubaraan.
4. Backbarrier strand plain, gambut yang terbentuk di lingkungan ini dipengaruhi
oleh pasang dan surut air laut. Garis pantai dikontrol oleh tingkat sedimentasi
karena gelombang, pasang surut air laut, dan arus. Delta akan terbentuk jika
tingkat sedimentasi tinggi, sedangkan tingkat sedimentasi rendah, maka
material sedimen akan terdistribusi sepanjang garis pantai.
5. Estuary, terbentuk karena tingkat sedimentasi dan energi pantai sangat rendah,
sehingga tidak terbentuk delta. Batubara yang terbentuk dilingkungan ini
sangat tipis dan persebarannya tidak luas.

Material organik dalam batubara yang dapat teramati di bawah


mikroskop disebut sebagai maseral. Berdasarkan komposisi kimia, warna
pantul, bentuk morfologi, ukuran, relief, struktur dalam, intensitas
refleksi, dan tingkat pembatubaraan, maseral dikelompokan menjadi 3
grup utama yaitu vitrinit, liptinit, dan inertinit (Stach dkk., 1982).

Material organik dalam batubara yang dapat teramati di bawah


mikroskop disebut sebagai maseral. Berdasarkan komposisi kimia, warna
pantul, bentuk morfologi, ukuran, relief, struktur dalam, intensitas
refleksi, dan tingkat pembatubaraan, maseral dikelompokan menjadi 3
grup utama yaitu vitrinit, liptinit, dan inertinit (Stach dkk., 1982). Secara
fisik, karakteristik batubara dapat tergambar melalui tingkat kematangan
(peringkat batubara) dan komposisi material organik penyusunnya.
Pemahaman mengenai peringkat dan tipe batubara dapat membantu dalam
memberikan arahan pemanfaatan dan pengolahan batubara maupun
strategi eksplorasi batubara di masa yang akan datang.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Batubara berasal dari sisa tumbuhan yang mengalami proses pembusukan,


pemadatan yang telah tertimbun oleh lapisan diatasnya, pengawetan sisa-
sisa bahan organik yang dipengaruhi oleh proses biokimia yaitu
pengubahan oleh bakteri. Akibat pengubahan oleh bakteri tersebut, sisa-
sisa tumbuhan kemudian terkumpul sebagai suatu masa yang mampat yang
disebut gambut melalui proses penggambutan, proses ini terjadi karena
akumulasi sisa-sisa tanaman tersimpan dalam kondisi reduksi didaerah
rawa dengan sistem drainase yang buruk yang mengakibatkan selalu
tergenang oleh air, pada umumnya mempunyai kedalaman 0,5-1,0 meter.
2. Kondisi lingkungan pengendapan batubara menurut Stach dkk., (1982)
dibagi menjadi telmatis atau terestrial, limnic, marine, dan Ca-rich. Diessel
(1992) mengklasifikasikan enam lingkungan utama terbentuknya batubara,
yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and upper delta
plain, lower delta plain, backbarrier stand plain, dan estuary.

4.2 Saran

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Mandala, T. A. (2020). IDENTIFIKASI FASIES DAN LINGKUNGAN


PENGENDAPAN BATUBARA DI AIR LAYA UTARA, TANJUNG ENIM,
SUMATERA SELATAN. July.
Qadaryati, N., Praditya, D. T., Hidajat, W. K., & Martiningtyas, I. (2019). Penentuan
Lingkungan Pengendapan Batubara Berdasarkan Karakteristik dan Maseral
Batubara di PT X, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Jurnal Geosains
Dan Teknologi, 2(3), 107. https://doi.org/10.14710/jgt.2.3.2019.107-116

Anda mungkin juga menyukai