com/h/72164/
http://149.56.24.226/zero-2018/?v=8
http://164.68.111.161/watch/36339853.html http://164.68.111.161/watch/52506081.htmll
Membaca Pintar
Mari Bu http://164.68.111.161/watch/36339853.html dayakan Membaca di +62 858-
2279-9358 Zaman Teknologi yang sangat pesat ini
Makalah Pacu Jalur Kuantan Singingi
May 05, 2017http://164.68.111.161/watch/51221791.htmlWISATA BUDAYA
PACU JALUR KUANTAN SINGINGI RIAU
Oleh :ARRAJIH FIDDARAIN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki
berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat dan kebudayaan. Keanekaragaman
budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan
Negara yang k a y a a k a n b e r b a g a i b u d a y a . M a k a a t a s d a s a r i t u l a h s e g a l a
bentuk k e b u d a y a a a n d a e r a h a k a n s a n g a t b e r p e n g a r u h terhadap budaya
nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah,
akan sangat berpegaruh pula terhadap k e b u d a y a a n d a e r a h a t a u k e b u d a y a a n l o k a l .
K e b u d a y a a n y a i t u s u a t u kekayaan yang mempunyai nilai – nilai yang
merupakan ciri khas dari suatu d a e r a h j u g a m e j a d i l a m b a n g d a r i k e p r i b a d i a n
s u a t u b a n g s a a t a u d a e r a h , Karena kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas
suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan melestarikan budaya merupakan
kewajiban dari setiap individu untuk dijaga dan dilestarikan oleh setiap suku
bangsa.
Kuantan Singingi adalah sebuah daerah yang secara administratif termasuk dalam
Provinsi Riau. Daerahnya banyak memiliki sungai. Kondisi geografis yang demikian, pada
gilirannya membuat sebagian besar masyarakatnya memerlukan jalur1 sebagai alat
transportasi Kemudian, muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular,
buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya. Selain itu, ditambah
lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta
lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). Perubahan tersebut sekaligus menandai
perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan
identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang
mengendarai jalur berhias itu. Perkembangan selanjutnya (kurang lebih 100 tahun kemudian),
jalur tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi dan simbol status sosial seseorang, tetapi
diadu kecepatannya melalui sebuah lomba. Dan, lomba itu oleh masyarakat stempat disebut
sebagai “Pacu Jajur ”
Budaya pacu jalur di Kabupaten Kuantan Singingi adalah suatu tradisi budaya yang
telah berlangsung dari zaman penjajahan hingga sekarang, tradisi tersebut adalah pacu jalur.
Pacu jalur ini diadakan setiap tahun dalam rangka memperingati hari Ulang Tahun
Kemerdekaan Republik Indonesia. Tradisi pacu jalur ini tidak hanya masuk dalam agenda
wisata budaya Provinsi Riau tapi sudah masuk dalam agenda wisata budaya Nasional. Pacu jalur
ini memiliki makna budaya yang terkandung didalamnya, yaitu keuletan, kerjasama, kerja keras,
ketangkasan dan sportivitas. budaya khasanah dari Kuantan singing ini tidak hilang begitu saja
oleh waktu dan dapat dipertahanakan dari generasi kegenerasi. Kegiatan pacu jalur telah
menjadi wisata bagi masyarakat kuantan singingi yang ingin melihat jalur yang bertanding,
bahkan tidak hanya masyarakat kuantan singingi saja tetapi para wisatawan luar negeri yaitu
Singapura, Malaysia, banyak juga berdatangan untuk melihat pacu jalur.
1.2 Tujuan
Kuantan Singingi atau biasa disebut Kuansing merupakan sebuah kabutapen di Provinsi
Riau. Sepanjang Kabupaten Kuantan Singingi terbentang Sungai Kuantan. Pada zaman dahulu
kala, masyarakat Kuansing menggunakan Jalur sebagai alat transportasi air. Jalur adalah sejenis
perahu panjang yang dikemudikan dengan cara didayung. Sebagai transportasi air, Jalur dapat
membawa banyak penumpang yaitu sekitar 40-60 orang (tergantung ukuran jalur). Namun
seiring berkembangnya zaman, muncul jalur-jalur yang berukiran indah. Ukiran-ukiran tersebut
diukir disekitar selembayung Jalur, sehingga Jalur bukan lagi sekedar alat transportasi
melainkan juga sebagai kreasi seni.
Jalur-jalur itu kemudian diadu kecepatannya melalui sebuah lomba yaitu Pacu Jalur.
Pada awalnya Pacu Jalur diadakan di kampung-kampung sekitar Sungai Kuantan untuk
memperingati hari besar Islam, seperti Maulid Nabi SAW, Idul Fitri dan Tahun Baru Islam.
Namun, setelah masuknya Belanda ke Indonesia, Pacu Jalur berubah fungsi yaitu untuk
memperingati HUT Ratu Wihelmina. Pacu Jalur sempat tidak diadakan pada zaman penjajahan
Jepang. Setelah zaman Kemerdekaan Indonesia, Pacu Jalur kembali diadakan untuk
memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, Pacu Jalur
selalu diadakan sekitar bulan Agustus disetiap tahunnya. Pacu jalur sudah menjadi agenda
resmi Pemerintah Daerah (Pemda) dan telah masuk dalam kalender pariwisata secara nasional.
Awalnya pacu jalur ini hanya diperingati pada acara keagamaan saja, yaitu pada acara
keagamaan islam maulid nabi. Namun dengan seiring perkembangannya, pacu jalur tak lagi
dipertunjukan pada acara keagamaan saja.
Perahu sungai merupakan sarana transportasi air yang sangat vital bagi kehidupan
masyarakat Kuantan singingi, khususnya mereka yang bermukim di kawasan tepi sungai. Salah
satu jenis dari perahu sungai tersebut adalah jalur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), Edisi Ketiga (2005:454), kata jalur diartikan sebagai sampan kecil yang dibuat dari
sebatang pohon. Sementara itu,dalam dialek Melayu masyarakat Kuantan kata jalur diartikan
sebagai perahu yang memiliki panjang kurang lebih 25 hingga 30 meter dan lebar kurang lebih
1 hingga 1,5 meter.
Jalur dalam pengertian masyarakat Kuantan ini dibuat dari sebatang pohon kayu
gelondongan tanpa dibelah-belah atau dipotong-potong atau pun disambung . Pengertian jalur
yang dimaksud oleh KBBI dan masyarakat Kuantan di atas memang tampak bertolak belakang.
Meski demikian, kedua pengertian tersebut memiliki keterkaitan jika dilihat dari sejarah
perkembangan jalur itu sendiri. Sejak awal abad ke-17 M, saat transportasi darat belum
berkembang, perahu merupakan alat transportasi utama bagi masyarakat desa di Rantau
Kuatan, terutama bagi mereka yang tinggal di sepanjang Sungai Kuantan antara Kecamatan
Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir.
Pada awalnya, jenis perahu yang digunakan oleh masyarakat Kuantan disebut dengan
perahu kenek yang berukuran kecil dengan panjang sekitar 2-2,5 meter, lebar 60 cm, dan tebal
2 cm. Perahu yang hanya memuat satu orang ini biasa digunakan sebagai alat transportasi
pribadi ke ladang untuk memotong/menakik getah atau karet. Selain itu, perahu ini juga
digunakan untuk memancing, menambai (menangkap ikan dengan semacam jaring berukuran
kecil), dan mengguntang (sejenis alat penangkap ikan dengan pancing yang dikaitkan pada
apung-apung. Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat Kuantan menciptakan perahu
yang ukurannya lebih besar yang disebut dengan perahu muatan berompek, yaitu perahu yang
dapat memuat empat orang. Jenis perahu ini biasa digunakan untuk menjala ikan maupun
mengangkut padi dan hasil tanaman lainnya. Selanjutnya, mereka menciptakan lagi sebuah jenis
perahu yang disebut dengan perahu tambang. Tambang adalah bahasa daerah setempat yang
berarti ongkos atau biaya. Jadi, perahu yang mampu memuat sekitar 8 hingga 15 orang ini
digunakan sebagai alat transportasi umum oleh masyarakat setempat dari satu desa ke desa
yang letaknya saling berseberangan di tepi sungai.
Setelah itu, masyarakat Kuantan menciptakan perahu yang disebut dengan perahu
godang¸ yang panjangnya sekitar 15-20 meter dan lebar 1-1,5 meter. Perahu yang daya
angkutnya mencapai satu ton ini digunakan untuk mengangkut hasil bumi seperti karet, kelapa,
tebu, dan barang-barang dagangan (seperti beras, gula, tepung). Perahu inilah kemudian yang
menjadi cikal bakal terciptanya perahu yang ukurannya lebih besar, yang kini lazim dikenal
dengan nama jalur. Perahu jenis ini memiliki ukuran panjang sekitar 25 - 30 meter dengan lebar
sekitar 1,5 meter. Tidak diketahui secara pasti kapan jalur ini diciptakan. Namun, dapat
dipastikan bahwa jalur mulai poluler di kalangan masyarakat Kuantan sekitar awal ke-19 M.
(Suwardi, 1984/1985:27). Dari segi bentuk dan ukuran, jalur ini lebih halus, ramping, dan lebih
panjang dibandingkan dengan perahu godang. Perahu tradisional masyarakat Kuantan ini juga
dilengkapi dengan haluan dan kemudi yang panjang, serta selembayung yang berukir untuk
memberi keindahan pada jalur tersebut. Selain sebagai mahkota sebuah jalur, selembayung
berfungsi sebagai tempat pegangan bagi tukang onjoi (pembuat irama untuk menggerakkan
jalur). Bentuk jalur semakin berkembang dengan dilengkapi berbagai bentuk ukiran seperti
ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung. Selain
itu, jalur juga dilengkapi dengan payung, tali-temali, selendang, dan gulang-gulang (tiang
tengah). Perubahan tersebut menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat
angkut, tetapi juga untuk menunjukkan identitas sosial bagi yang mengendarainya. Jalur yang
berhias ini hanya dikendarai oleh para penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk
(Anonim, wikipedia).
Pada masa berikutnya, fungsi jalur terus berkembang. Sekitar tahun 1903, perahu
tradisional masyarakat Kuantan ini mulai digunakan sebagai sarana lomba dalam pesta rakyat
yang lazim dikenal sebagai pacu jalur. Pada mulanya, jalur digunakan untuk berpacu dalam
merayakan hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, atau Tahun
Baru 1 Muharam. Seiring kedatangan Kolonial Belanda sekitar tahun 1905, tradisi pacu jalur
dimanfaatkan untuk merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina pada setiap tanggal 31
Agustus. Pesta yang meriah tersebut oleh masyarakat Kuantan dianggap sebagai datangnya
tahun baru sehingga mereka menamakannya TAMBARU, yaitu singkatan dari Tahun Baru.
Ketika penjajah Jepang masuk ke wilayah Indonesia, termasuk daerah Kuantan, tradisi pacu
jalur sempat terhenti. Setelah masa kemerdekaan, tradisi ini kembali diadakan secara rutin
untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus) dan
biasanya diselenggarakan pada tanggal 23-26 Agustus. Hingga saat ini, tradisi pacu jalur
dikemas menjadi acara festival untuk menarik minat para para wisatawan, baik lokal maupun
mancanegara. Festival yang meriah ini kemudian ditetapkan sebagai Kalender Pariwisata
Nasional (Irfan Afifi, 2008).
Sebelum menjadi sebuah jalur yang utuh dan dapat didayung serta dilombakan di Sungai
Kuantan, terdapat serangkaian proses adat istiadat dalam pembuatan sebuah jalur. Pembuatan
jalur akan dilakukan oleh masing-masing desa ataupun dusun. Prosesi adat istiadat ini tidak
ditetapkan waktu dan tanggalnya, karena tiap desa ataupun dusun memiliki rencana yang
berbeda-beda dalam proses pembuatannya. Proses pembuatan sebuah jalur harus dilakukan
secara terurut, yaitu:
Rapat ini bertujuan untuk membentuk panitia pembuatan Jalur. Pengurus itu
dinamakan Partuo. Dalam rapat ini juga ditentukan tempat pencarian kayu jalur. Seluruh
rancangan kegiatannya dimusyawarahkan bersama dalam rapat desa ini. Sehingga proses
selanjutnya dapat dilakukan secara terinci dan teratur.
Untuk mencari kayu jalur, masyarakat suatu desa atau dusun dikumpulkan disuatu tempat
untuk kemudian pergi mencari kayu jalur. Disana dipersiapkan berbagai macam alat-alat untuk
mencari kayu jalur. Peralatan yang dibawa oleh laki-laki seperti kapak, gergaji batang dan
lainnya. Sedangkan yang perempuan mempersiapkan makan dan minum untuk para lelaki.
Selanjutnya dibutuhkan dukun jalur untuk membantu kegiatan magis dalam proses penebangan
kayu, misalnya membacakan do'a sebelum menebang pohon besar dan lain sebagainya.
Pencarian kayu jalur dilakukan di hutan dan dikerjakan secara bergotong royong. Untuk
membuat sebuah Jalur, diperlukan pohon besar yang berukuran panjang 25-40 meter dan
diameter sekitar 1½ – 2 meter.
2.2.3 Membuat Jalur
Bahan baku utama untuk membuat jalur adalah kayu gelondongan. Kayu tersebut diambil
dari jenis kayu banio, kulim, dan kuyiang yang memiliki panjang sekitar 20-30 meter dengan
garis tengah 1-2 meter. Ketiga jenis kayu ini dipilih karena dianggap kuat dan tahan terhadap
air, serta dapat dapat diperoleh di hutanhutan walaupun jaraknya cukup jauh dari permukiman
penduduk, yakni sekitar 10-20 km.
Adapun jenis-jenis alat yang biasa digunakan untuk membuat jalur adalah baliung dan
kampak, yaitu digunakan untuk menebang dan memotong kayu. Ada pula jenis baliung yang
khusus digunakan untuk men-caruk atau mengeruk bagian-bagian bakal jalur benang, yaitu
digunakan untuk mengukur panjang dan lebar kayu sesuai dengan ukuran bagianbagian jalur
yang diperlukan bar atau bor, yaitu digunakan untuk melubangi badan jalur tali rotan, yaitu
digunakan untuk menghela atau menarik jalur ke kampung atau desa galangan atau kayu bulat,
yaitu berfungsi sebagai landasan untuk dilalui jalur pada saat ditarik ke
desa.Jalur terbuat dari satu batang yang utuh tanpa disambung-sambung apalagi di potong-
potong. Oleh karena pekerjaan ini termasuk sulit, maka dibutuhkan partuo dan pengurus
lainnya yang telah dibentuk dalam rapat desa untuk segera melakukan proses pembuatan Jalur.
Selama proses pembuatan Jalur, diputarlah beberapa musik tradisional seperti Randai Kuantan
Singingi, Saluang dan lain sebagainya. Berikut juga dengan makanannya yaitu berupa makanan
khas Kuantan Singingi seperti konji berayak, godok, lopek, paniaram, dan lain sebagainya.
Proses pembuatan jalur terbagi menjadi 3 proses, yaitu:
a. Membuat Jalur Secara Kasar, maksudnya adalah membentuk jalur secara kasar sesuai dengan
apa yang diperlukan. Jalur setengah jadi ini dibentuk saat masih dihutan dan biasa disebut Jalur
Tolakar.
b. Maelo Jaluar (Menarik Jalur). Jalur Tolakar ditarik dari hutan menuju kampung. Proses
menarik Jalur ini dinamakan Maelo Jalur. Jalur Tolakar ditarik oleh masyarakat baik
laki-laki maupun perempuan. Saat menarik jalur akan terdengar aba-aba "1...2...3...
Elllooooo" (elo berarti tarik).
c. Memperhalus Jalur, proses ini merupakan proses menyelesaikan Jalur Tolakar menjadi
Jalur yang sesungguhnya. Sehingga jalur terlihat lebih halus dan sempurna.
Mendiang Jalur maksudnya adalah mengasapi Jalur yang telah selesai dibuat. Hal ini
bertujuan untuk menjadikan Jalur lebih kuat, lebih baik dan meringankan Jalur.
2.2.5 Mengecat Jalur
Agar Jalur memiliki nilai seni, maka jalur di cat dan diberi ukiran-ukiran yang memiliki nilai
seni. Ukiran-ukiran dan nama jalur yang digunakan sesuai dengan hasil rapat. Tidak lupa pula
pada selembayung Jalur diberikan dan dituliskan nama, tanggal dibuat, dan nama desa sebagai
tanda pengenal bagi Jalur tersebut. Jika seluruh proses telah selesai, maka jalur siap untuk
dipacukan.
Jalur yang telah siap untuk dipacukan, memiliki bagian-bagian sebagai berikut:
1. Luan (haluan)
2. Talingo (telinga depan)
3. Panggar (tempat duduk)
4. Pornik (lambung)
5. Ruang timbo (tempat menimba air)
6. Talingo belakang
7. Kamudi (tempat pengemudi)
8. Pandaro (bibit jalur)
9. Ular-ular (tempat duduk pedayung)
10. Selembayung (ujung jalur berukir)
11. Panimbo (gayung air)
12. Jalur dilengkapi pula dengan sebuah dayung untuk setiap pemain.
Pacu Jalur hanya dilakukan oleh laki-laki yang berusia 15-40 tahun dan dari sebuah jalur
terdiri dari 40-60 orang(tergantung ukuran jalur). Pemain atau pemacu Jalur merupakan
masyarakat dari desa, dusun, organisasi, negara, kabupaten, atau kecamatan dimana jalur
berasal. Pemain atau pemacu Jalur memiliki tugas yang berbeda-beda, yang pasti seluruh
pemain harus memiliki keahlian berenang. Pembagian tugas para pemain diantaranya:
2.3.1 Tukang Tari
Tukang tari merupakan anak laki-laki yang berusia kurang lebih 15 tahun. Tukang tari
bertugas untuk menari-nari dihaluan depan Jalur. Tukang tari juga berfungsi untuk
menunjukkan kepada para penonton, agar penonton dapat tahu Jalur mana yang sedang
unggul. Tukang tari akan mulai berdiri dan menari saat haluan Jalur berhasil mendahului
lawannya. Tukang tari akan kembali duduk disaat haluan Jalurnya tidak lagi didepan, begitu
selanjutnya hingga sampai ke pancang finish.
2.3.2 Tukang Timbo atau Tukang Concang
2.3.3 Tukang Onjai
Tukang onjai berdiri dibagian Jalur paling belakang. Tukang onjai berfungsi sebagai
pemberi irama bagi Jalur, sehingga Jalur akan lebih cepat dan mudah didayung.
2.3.4 Tukang Pinggang
Tukang pinggang biasanya terletak dibagian belakang Jalur, sekitar 2-3 orang didepan
Tukang onjai. Tukang pinggang berfungsi untuk mengatur kemudi dari Jalur. Jalur akan
membelok ke kiri atau ke kanan dengan dibantu oleh tukang pinggang.
2.3.5 Anak Pacuan
Anak pacuan adalah pemain atau pemacu lainnya selain yang tersebut diatas. Anak pacuan
bertugas mendayung Jalur sekuat tenaga dan seirama sesuai dengan aba-aba tukang concang.
2.4.1 Pancang
Pancang digunakan sebagai garis start (pancang start), garis finish (pancang finish) serta
sebagai pembatas bagi dua buah Jalur yang sedang bertanding. Dalam festival pacu jalur, terdiri
dari 6 pancang yang tersebar dari hulu hingga hilir arena Pacu Jalur.
Baju seragam merupakan baju yang digunakan oleh para pemain atau pemacu Jalur.
Biasanya baju seragam dibuatkan oleh beberapa sponsor. Sehingga pemain tidak harus
membayar biaya pembuatan baju seragam.
Dalam Pacu Jalur dibutuhkan tim penyelamat dan tim kesehatan. Tim penyelamat
digunakan untuk menyelamatkan anak pacuan yang terjatuh dari Jalur yang mereka pacukan.
Biasanya tim penyelamat dan tim kesehatan bergabung bersama untuk berjaga-jaga dipinggir
Sungai Kuantan dengan menggunakan speed bootataupun pompong. Sehingga para tim dapat
dengan mudah menyelamatkan, jika ada anak pacuan yang pingsan,kram, atau terjatuh ke
sungai.
2.4.4 Undian Pacu Jalur
Undian Pacu Jalur adalah selembar kertas yang bertuliskan nama-nama Jalur lengkap
dengan desa, dusun atau kecamatan asal serta nama Jalur yang siap bertanding dihari
pertandingan. Dinamakan undian Pacu Jalur karena setiap Jalur yang mendaftar akan diundi
tepat 1 hari sebelum pertandingan dilaksanakan. Dengan demikian lebih kurang 100 buah Jalur
yang mengikuti pertandingan akan mendapatkan lawan main, posisi berpacu (kiri atau kanan)
serta urutan berpacu. Daftar dari undian tersebutlah yang kemudian dikemas dalam sebuah
Undian Pacu Jalur. Sobat akan mudah menemukan Undian Pacu Jalur, karena dijual secara
berkeliling (biasanya dilakukan oleh anak kecil) sambil mengucapkan "undian pacu undian pacu
undian pacu". Sobat dapat membelinya pada mereka seharga Rp.1000 dan biasanya gratis
sebuah pena untuk memberi "tanda" Jalur mana saja yang memenangkan pertandingan.
Tenda Jalur atau tambatan Jalur adalah tempat dimana sebuah Jalur "parkir". Ditenda
tersebut akan tersedia beberapa makanan serta minuman untuk setiap pemain. Didalam tenda
tersebut pula para pemain berganti pakaian seragam mereka. Tenda Jalur biasanya terletak
diatas pulau yang terdapat dipinggir Sungai Kuantan.
Jalur bukan sekadar alat transportasi atau perahu lomba, tetapi lebih dari itu, ia
merupakan warisan budaya nenek moyang masyarakat Kuantan Singingi yang sarat dengan
nilai-nilai- Nilai-nilai tersebut di antaranya adalah :
kedekatan dengan alam, nilai ekonomi, sosial, seni, religius, dan pariwisata. Nilai
adaptasi. Kehadiran jalur merupakan hasil dari adaptasi masyarakat Kuantan terhadap kondisi
alam sekitar yang dilalui oleh dua aliran sungai besar. Kondisi demikian memberikan inspirasi
atau imajinasi bagi mereka untuk menciptakan jalur sebagai alat transportasi sungai.
Masyarakat Kuantan dikenal memiliki kedekatan dengan alam. Hal ini terlihat dari
penggunaan bahan-bahan pembuatan jalur yang ramah terhadap lingkungan karena terbuat
dari bahan kayu alami yang banyak tumbuh di hutan-hutan di daerah tersebut.
2.5.3 Nilai ekonomi
Jalur merupakan salah satu alat transportasi yang sangat vital dalam kehidupan
ekonomi masyarakat Kuantan. Jalur tersebut digunakan sebagai alat transportasi untuk mencari
ikan di sungai dan pergi ke ladang, serta sebagai sarana pengangkutan untuk mendistribusikan
berbagai jenis hasil bumi. Dengan demikian, keberadaan jalur tersebut menjadi salah satu
faktor penting peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat Kuantan Singingi di Riau
Jalur merupakan hasil kreasi masyarakat Kuantan yang memiliki nilai estetika yang
tinggi. Melalui sentuhan tangan-tangan terampil masyarakat tersebut, kayu gelondongan yang
panjang dan besar dapat “disulap” menjadi sebuah jalur yang ramping dan indah. Nilai estitika
pada jalur juga terlihat jelas pada selembayung-nya yang diberi beragam motif ukiran dengan
teknik ukir yang tinggi.
2.5.5 Nilai sosial
Wujud dari nilai sosial terlihat pada proses pembuatan jalur. Mulai dari proses awal
hingga akhir senantiasa dilaksanakan secara bergotong-royong dan suka rela. Segala tenaga dan
biaya yang diperlukan untuk membuat sebuah jalur menjadi tanggung jawab bersama seluruh
masyarakat dalam suatu desa.
2.5.6 Nilai pariwisata
Kehadiran jalur menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan lokal maupun
mancanegara yang datang ke Kuantan Singingi. Jalur ini menjadi salah satu sarana lomba dalam
festival yang dikenal dengan pacu jalur. Festival tersebut kini menjadi salah satu even wisata
kebanggaan Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau.
Setelah Jalur selesai dibuat dan peralatan pertandingan telah selesai dipersiapkan. Maka
diadakanlah Festival Pacu Jalur di Sungai Kuantan. Biasanya sebelum diadakannya Festival Pacu
Jalur Nasional, diadakan pula terlebih dahulu Festival Pacu Jalur Kecamatan. Festival Pacu
Jalur Kecamatan mulai diadakan sejak 2 bulan diberbagai Kecamatan menjelang Pacu Jalur
Nasional. Kemudian acara puncaknya adalah Festival Pacu Jalur Nasional yang diadakan pada
bulan Agustus disetiap tahunnya.
Acara inti dilakukan dihari yang sama setelah dilakukannya acara pembukaan. Acara inti
diadakan pada siang hari sekitar pukul 14.00 WIB tepatnya di Arena Pacu Jalur yaitu Tepian
Narosa Kota Teluk Kuantan. Acara inti merupakan acara sesungguhnya, dimana semua Jalur
akan diadu. Biasanya Jalur yang berpartisipasi selalu melebihi 100 Jalur. Bisa sobat bayangkan
betapa ramainya Sungai Kuantan pada saat itu. Dalam acara inti terdiri lagi dari beberapa
proses adat istiadat yang harus dilakukan oleh setiap Jalur dan pemainnya, yaitu:
Pertama, setiap Jalur akan berada ditepi Sungai Kuantan, tepatnya didekat tenda jalur/
tambatan Jalur seperti yang telah saya sebutkan diatas. Kemudian disana setiap Jalur akan
dipersiapkan kelengkapannya terlebih dahulu begitu pula dengan setiap
pemainnya. Kedua, seluruh pemain melakukan pemanasan terlebih dahulu dan kemudian
dilanjutkan dengan membaca do'a serta mendengarkan beberapa pengarahan oleh partuo
dan dukun jalur. Setelah itu, seluruh pemain akan mengisi Jalur sesuai dengan tugasnya masing-
masing. Jalur siap didayung dan bersiap-siap di hulu pancang start.
Acara penutupan merupakan acara akhir dari seluruh rangkaian kegiatan Festival Pacu
Jalur. Acara ini biasanya dilakukan pada hari terakhir (hari keempat) Festival Pacu Jalur. Acara
penutupan ini biasanya dilaksanakan pada malam hari, tepatnya di Taman Jalur Kota Teluk
Kuantan. Dalam acara tersebut juga terdapat berbagai macam hiburan dan acara adat. Dan yang
terpenting pada malam itu akan dibagikan hadiah-hadiah bagi seluruh pemenang (biasanya
hingga 15 besar). Hadiah tersebut selalu berbeda-beda jumlahnya disetiap tahun. Namun yang
pasti, juara-juara akan mendapatkan hadiah berupa hewan ternak dan uang jutaan rupiah.
Besar atau jumlahnya hadiah berbeda-beda untuk setiap peringkatnya. Dan hadiah yang paling
utama sekali adalah Piala Bergilir dan Piala Tetap. Piala tetap didapatkan apabila sebuah Jalur
memenangkan Juara Pertama selama 3 tahun berturut-turut.
Saat Festival Pacu Jalur dilaksanakan, terdapat pula rangkaian acara lainnya yang dapat
sobat temui, diantaranya yaitu:
Pasar Malam
Di pasar malam sobat dapat menemukan berbagai macam arena permainan seperti yang
tersedia dipasar malam pada umumnya. Selain itu sobat juga dapat berbelanja murah dimalam
itu. Dan yang paling terpenting adalah sobat dapat membeli makanan khas Kuansing serta
membeli barang-barang yang hanya ada saat Festival Pacu Jalur berlangsung, diantaranya yaitu
baju bersablon Pacu Jalur, pernak-pernik Pacu Jalur, serta sobat juga akan menemukan miniatur
dari jalur-jalur yang bertanding. Sobat dapat memilihnya berdasarkan Jalur yang sobat jagokan.
Di Pacu Jalur Expo sobat akan menemukan segala sesuatu yang berhubungan dengan Pacu Jalur.
Sobat akan mendapatkan penjelasan tentang Pacu Jalur serta segala yang bersangkutan dengan
Kuansing, seperti budaya, adat istiadat, kesenian tradisional, dan lain sebagainya.
Selain mengunjungi pasar malam dan pacu jalur expo, sobat juga menyaksikan festival
kesenian daerah dimalam harinya. Dalam festival tersebut dilombakan beberapa tarian, musik,
dan berbagai kesenian Kuantan Singingi.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masyarakat Kuantan Singingi memiliki banyak kearifan lokal dalam menyikapi kondisi
alam di sekitarnya. Kehadiran jalur sebagai sarana transportasi merupakan bukti dari kearifan
tersebut. Oleh karena itu, hasil kreasi masyarakat Kuantan ini perlu dilestarikan agar tetap eksis
hingga akhir zaman. Wisata budaya pacu jalur di kabupaten Kuantan Singingi ini menjadi nilai
kebanggaan tersendiri yang dimiliki daerah ini. Yang lebih penting dari itu adalah menggali
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dan kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), edisi
ketiga.Jakarta:Balai Pustaka.
Tim Koordinasi Siaran Dierktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka ragam khasanah
budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Irfan Afifi, 2008. “Pestival Pacu Jalur di Kuantan Singingi,” [Online], tersedia
di(http://wisatamelayu.com/id/object/62/34/festival-pacu-jalur-di-kuantan-
singingi/&nav=geo), [diakses pada tanggal 27 September 2010].Jalur: Perahu
Tradisio1n9a/1l 2M/1a2syarakat Kuantan Singingi, Riau | Melayu Online
Comments
1.
hey
REPLY
Post a Comment
MAKALAH
BUDIDAYA TUMBUHAN PAKU SEBAGAI TUMBUHAN YANG BERMANFAAT
ARRAJIH FIDDARAIN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T karena atas berkat rahmat hidayah dan karunianya
kami dapat memenuhi tugas mata kuliah Konservasi Sumberdaya Alam Hayati,
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita yakni Nabi
Muhammad S.A.W yang telah memberikan rahmat kepada kita semua, sehingga karena
berkat rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Kami
mengucapkan terima kasih kepada dosen yang telah memberikan tugas pembuatan
makalah ini karena kami dapat menambah pengetahuan dan wawasan dalam
pembuatan makalah yang berjudul “BUDIDAYA TUMBUHAN PAKU SEBAGAI
TUMBUHAN YANG BERMANFAAT”, Kami menyadari bahwa di dalam pembuatan
makalah ini, masih banyak kekurangan dan kekeliruan. Kepada Dosen kami mohon maaf
apabila ada kata-kata yang keliru. Kritik dan saran dari pembaca kami butuhkan demi
kasempurnaan makalah ini, kami harap, semoga makalah ini bermanfaat b…
READ MORE
READ MORE
Powered by Blogger
Dubalang
Membaca Pencarian
UNKNOWN
VISIT PROFILE
Archive
Report Abuse
Membaca Pintar
MAKALAH ANTROPOLOGI
KEBUDAYAAN PETANI DESA TRUNYAN TENTANG MENGUBUR MAYAT DI BAWAH POHON KEMENYAN
DI BANGLI BALI
OLEH :
(010701078)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNGARAN
2010
KATA PENGANTAR
Saya ucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan taufik dan hidayah-
Nya, sehingga makalah yang berjudul kebudayaan trunyan dalam spiritual maupun kebiasaan
tertentu, ini dapat kami tulis dengan baik sehingga menghasilkan karya yang baik tapi tidak
sesempurna buku yang telah beredar disaat ini. Sehingga makalah ini hanya sebagai acuan atau
pedoman mata kuliah antrophologi keperawatan dalam hal membahas tentang kebudayaan yang
ada di trunyan dalam antrophologi.
Dalam kebudayaan terdapat berbagai kebudayaan yang berbeda-beda bahkan sering
dilakukan oleh masyarakat masing-masing wilayah tertentu. Dalam makalah ini akan membahas
tentang kebudayaan trunyan. Sampai sekarang masih dilestarikan dan dilaksanakan oleh masyarakat
trunyan.
Makalah ini mungkin masih dirasa jauh dari keinginan yang diharapkan, harus kami akui
bahwa untuk memenuhi kriteria sempurna sebuah buku ajar amatlah sulit bagi kami, untuk itu saran
dan kritikan dari berbagai pihak akan kami terima dengan tangan terbuka demi menyempurnakan
makalah ini dan demi perkembangan dalam menciptakaan perubahan komunikasi dan proses
komunikasi dalam komunikasi keperawatan.
Biarkan makalah ini membawa sendira sebagai sebuah panduan untuk melengkapi dalam
balajar mengajar.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah kemanusiaan tidak akan pernah berakhir hingga peradaban manusia sudah benar-benar
lenyap di muka bumi. Deskripsi manusia yang secara akademitif tergambar dalam haluan
antropologi, dewasa ini menunjukan perkembangan yang sangat luas. Terbagi kedalam banyak
disiplin ilmu kemanusiaan. Bahkan jika ditilik dari akar historis, antropologi pun merupakan akar
cabang disiplin ilmu dari filsafat humanistik.
Disiplin antropologi perkembangan akhir-akhir ini ternyata lebih banyak mengungkap banyak
misteri peradaban manusia, baik yang sudah ada seperti peradaban Mesir Kuno, peradaban dua
Sungai, yaitu Tigris dan Eufrat yang membelah Mesopotamia, Eropa kuno maupun peradaban-
peradaban kuno yang baru-baru ini ditemukan seperti suku Maya di Amerika Latin, peradaban dan
kebudayaan lokal di berbagai daerah dan sebagainya. Di Indonesia sekalipun, dari deskripsi dan
perkembangan ilmu ini, akhirnya banyak mengungkap keanekaragaman ranah budaya setempat.
Meski perkembangan antropologi sudah begitu luas, tetapi kami menyoroti perkembangan
antropologi lokal di Indonesia, ternyata tidak berkembang cukup menggembirakan. Dari sekian ratus
juta penduduk Indonesia, hanya segelintir komunitas yang mendalami ilmu ini. Apalagi jika dilihat
dari sarjana terkemuka, dapat dikatakan hanya sedikit saja, sebutlah Kuntjoroningrat, Jalaluddin
Rakhmat, Franz Magnis Suseno dan sebagainya.
Sedikit mengenyampingkan tugas ini sebagai prasyarat ujian, kami lebih menekankan penelitian
ini sebagai salah satu ujud keprihatinan mendalam terhadap sedikitnya perhatian para akademisi
pada kebudayaan lokal. Padahal kebudayaan lokal adalah unsur terpenting dari dibangunnya
peradaban yang lebih pemahaman budaya setempat yang baik.
Kehidupan rakyat Indonesia, yang pada akhir tahun 80-an hingga awal 90-an dikenal sebagai
Negara agraria, ternyata banyak menyimpan kekayaan budaya dan ragam etnik. Ini tercermin dalam
nuansa kehidupan nelayan, petani dan lain sebagainya. Dari sekian banyak budaya itu, penelitian kali
ini akan menyoroti kebudayaan petani di sebuah desa di ujung Timur pulau Jawa, Trunyan, Bali.
Desa Trunyan yang berlokasi di sebelah timur Danau Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten
Bangli, Bali memiliki tradisi unik tidak mengubur mayat, melainkan meletakkan mayat di bawah
pohon kemenyan.
Tradisi itu sudah kami lakukan secara turun temurun, kata Jro Nyarikan. Ia mengatakan tradisi
itu berlaku hanya untuk warga yang meninggal biasa dan tidak cacat fisik. " Jika mati tidak wajar
(bunuh diri) mayatnya akan dikubur di Sema Bantas (kuburan bantas," jelasnya. Khusus untuk mayat
bayi, kata Nada, dikubur di Sema Muda (kuburan muda). Menaruh mayat di bawah pohon
kemenyan, hanya boleh bagi 11 mayat. "Jika ada salah satu mayat yang sudah kering dan tinggal
tulang belulang barulah boleh menaruh mayat lagi," ungkapnya. Mayat yang disandarkan sama
sekali tidak mengeluarkan bau busuk karena penyerapan pohon kemenyan yang mampu
menetralisir bau busuk, jelasnya. Tradisi ini tidak berlaku bagi warga yang keluar menikah dan tidak
mau mengikuti tradisis itu.
Masyarakat asli Trunyan berjumlah 200 KK yang merupakan penduduk turun-temurun, jika
menikahi orang luar yang bersangkutan bisa tinggal di Desa Trunyan asalkan mengikuti tradisi itu.
B. Tujuan
3. Mahasiswa dan masyarakat agar mengetahui tidak semua masyarakat Bali melakukan ngaben.
C. Manfaat
Dari makalah ini mahasiswa dan pembaca agar mengetahui berbagai macam kebudayaan bali,
terutamanya kebudayaan Desa Trunyan. Dan menambah wawasan, pengetahuan pembaca tentang
kebiasaan masyarakat Trunyan jika ada kematian.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut sejarah, Desa Trunyan merupakan salah satu dari tiga suku asli di Bali dan bukan
gelombang pengungsian dari Majapahit. Dua suku asli lainnya berada di Karangasem bernama Suku
Telengan, dan suku Suku Yeh Ketipat di Buleleng. Saat ini, bukti sejarah peninggalan suku asli Bali
itu, jelas Nada, masih ada diantaranya adanya pura kuno yang bernama "Pura Pancering Jagat.
Seperti tercata dalam prasasti Trunyan disebutkan pada tahun saka 813 ( 891 Masehi) raja
Singhamandawa memberikan izin kepada penduduk untuk mendirikan pura Turun Hyang atau Pura
Pancering Jagat sebagai tempat pemujaan Betara Da Tonta (Hyang Pancering Jagat). Pura yan
dilengkapi meru tumpang pitu (tujuh) ini dipercaya sebagai pura pertama di Bali.
Desa Trunyan terletak di tepi timur Danau Batur, sekitar 45 menit Jika naik perahu dari
Kintamani, desa Trunyan yang terpencil ini merupakan salah satu desa Bali Aga atau Bali kuno.
Warga Trunyan menyebut diri mereka sebagai Bali Turunan Ratu Sakti pancering Jagat, yaitu orang
yang pertama kali turun dari langit dan menempati Pulau Bali. Mereka menyebut penduduk Bali
lainnya sebagai Bali Suku yaitu orang-orang berasal dari Jawa (Majapahit yang melarikan diri
pada abad ke-14). Meski masyarkat Trunyan menganut agama Hindhu, namun mereka memiliki
kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat Hindhu Bali umumnya. Salah satu tradisi yang
menarik perhatian budayawan dan wisatawan adalah ritus kematian. Meskipun sama-sama
menganut Hindu, warga Trunyan tidak melakukan upacara pembakaran jenasah. Jenasah kerabat
yang meninggal hanya dibaringkan di bawah pohon Taru Menyan tanpa menguburnya. Jenasah
hanya ditutup kain putih dan dilindungi dengan pagar dari belahan bambu.
Upacara kematian di Trunyan disebut dengan istilah mepasah. Jenasah dibaringkan di atas
lubang yang tak terlalu dalam, bagian atas dibiarkan terbuka. Jumlah liang lahat di area kuburan
utama ada sekitar 7 ancak saji atau liang yang digunakan secara bergantian untuk tiap jenasah. Jika
semua liang terisi, sementara ada warga yang harus dimakamkan, maka salah satu rangka jenasah
dalam liang harus diangkat dan diletakkan di sekitar liang. Tidaklah mengherankan jika di area Sema
banyak berserakan tengkorak dan tulang-tulang. Meskipun jenasah orang Trunyan tidak dikubur dan
dibiarkan terbuka, konon tak menyebarkan bau busuk. Masyarakat Trunyan meyakini bahwa bau
busuk jenasah telah disedot oleh pohon Taru Menyan. Memang secara logika pohon ini menebarkan
aroma wangi sehingga bisa menetralkan bau di sekitarnya.
Masyarakat Trunyan memiliki tiga sema (kuburan). Sema Wayah atau kuburan utama
diperuntukkan bagi warga yang meninggal secara wajar. Sema Muda untuk menguburkan bayi, anak-
anak, dan orang dewasa yang belum menikah. Sedangkan Sema Bantas diperuntukkan warga yang
kematiannya tidak wajar, misalnya karena mengalami kecelakaan atau bunuh diri. Sema Wayah atau
kuburan utama telah menjadi obyek wisata yang sering dikunjungi turis asing. Untuk menuju lokasi
ini, pengunjung harus menggunakan sampan menyusuri lereng Bukit Abang di tepi Danau Batur.
Sepanjang perjalanan berperahu sampan menuju Sema Wayah, pengunjung akan disuguhi
pemandangan yang menakjubkan. Di sebelah barat membentang keindahan alam perbukitan di
sekitar Danau Batur yang mempesona, sementara itu di sebelah Timur sebuah altar batu berisi
tumpukan tengkorak yang berjejer di bawah rindangnya pohon Taru Menyan.
Berdasarkan folk etimologi, penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka
dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya
bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan
mempunyai satu mite atau dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang
Dewi dari langit. Versi kedua, orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru
Menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata “taru” dan
“menyan” berkembang kata Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut.
Desa Trunyan terletak di sebelah timur bibir danau Batur, letak ini sangat terpencil. Jalan
darat dari Penelokan, Kintamani, hanya sampai di desa Kedisan. Dari Kedisan ke desa Trunyan orang
harus menyeberang danau Batur selama 45 menit dengan perahu bermotor atau 2 jam dengan
perahu lesung yang digerakkan dengan dayung. Selain jalan air, Trunyan juga dapat dicapai lewat
darat, lewat jalan setapak melalui desa Buahan dan Abang. Hawa udara desa Trunyan sangat sejuk,
suhunya rata-rata 17 derajat Celcius dan dapat turun sampai 12 derajat Celcius. Danau Batur dengan
ukuran panjang 9 km dan lebar 5 km merupakan salah satu sumber air dan sumber kehidupan
agraris masyarakat Bali selatan dan timur.
Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka
cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
1. Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah
mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu
matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan
anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.
2. Dikubur / dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka
yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi
pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar
seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga
dikubur saat meninggal.
Untuk keperluan pemakaman, di desa Trunyan terdapat satu kuburan yaitu :
c. Sema nguda, diperuntukkan untuk kedua jenis pemakaman yaitu mepasah (exposure) maupun
penguburan.
Trunyan memiliki tradisi unik dalam hal penguburan mayat. Di desa ini, mayat dipasah, tidak dikubur
dalam tanah. Dulu, tradisi serupa juga terdapat di daerah lain seperti di Desa Sembiran dan Desa
Tenganan Pagringsingan. Di luar Bali, tradisi yang mirip terdapat di Nias dan Tana Toraja, Sulawesi
Selatan.
Tradisi seperti itu merupakan kearifan lokal yang mesti dijaga kelestariannya. Keunikan tradisi itu
memberi ciri bahwa masyarakat setempat sangat menghormati para leluhur.
Terkait dengan pencurian tengkorak di Trunyan, Purna mengatakan itu sudah merupakan pelecehan
terhadap budaya lokal, karena unsur-unsur kepercayaan di Trunyan sangat sentral. Artinya,
masyarakat sangat menghormati roh-roh leluhur. Penghormatan terhadap pada orangtua, pada
hakikatnya penghormatan terhadap Tuhan.
Bukan Primitif
Oleh karena memiliki keunikan, Trunyan termasuk daerah cagar budaya yakni daerah yang
dilindungi. Bahkan, Trunyan dan Desa Tenganan Pagringsingan, Karangasem dijadikan laboratorium
oleh para antropolog. Karena itu, lab ini mesti dijaga dan dilestarikan, ujarnya. Ditegaskannya, pada
dasarnya kebudayaan itu sesungguhnya terdiri atas dua unsur yaitu fisik dan nonfisik (nilai).
Pemahaman nilai budaya itu penting. Fisik sebuah hasil budaya memang lebih maya, ketimbang nilai.
Nilai itu sifatnya lebih langgeng, katanya.
Fisik budaya bisa hancur dan bahkan tidak ada lagi, tetapi nilainya akan terus ada. Inilah yang
perlu dipahami. Nilai itulah yang diwariskan ke generasi berikutnya. Karena itu, jika ingin melakukan
konservasi budaya, tak hanya fisik tetapi juga nilainya. Sebab, terkadang nilai itu juga menuntun fisik.
Demikian pula terhadap tulang tengkorak yang dibiarkan kelihatan di kuburan Trunyan akan bisa
berbicara manakala ada tulisan (nilai). Jadi, ada nilai di balik tengkorak itu. Secara fisik memang
memiliki kesamaan dengan tengkorak manusia lainnya. Tetapi secara nonfisik tengkorak di Desa
Trunyan itu sarat nilai. Makna atau nilai yang terkandung dalam tradisi inilah yang tinggi, katanya.
Nilai itulah yang mesti dipahami, sehingga kearifan lokal itu terjaga kelestariannya. Bukan malah
dicuri untuk kepentingan yang tidak jelas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat Trunyan memiliki adat pemakaman yang cukup unik. Dimana bila ada warga yang
meninggal, jenasah ditaruh di atas batu besar yang memiliki cekungan 7 buah. Cekungan itu sendiri
terbentuk secara alamiah saat Gunung Agung meletus. Jenasah diletakkan diatas cekungan batu
dengan hanya dipagari bambu anyam secukupnya. Uniknya, meskipun sudah berhari-hari dan tidak
dibalsem, tetapi jenasah sama sekali tidak bau. Rahasia mayat-mayat tidak menyebarkan bau busuk
ternyata terletak pada pohon Taru Menyan yang dibiarkan tumbuh lestari dan rimbun di sekitar
tempat pemakaman tersebut. Bau harum yang dikeluarkan oleh pohon Taru Menyan ini
mengalahkan bau busuk yang dikeluarkan oleh jenazah yang membusuk sampai akhirnya tinggal
kerangka tulang. Konon nama Desa Trunyan diambil dari nama pohon Taru Menyan ini. Meskipun
beragama Hindu, mereka tidak pernah melakukan upacara kremasi seperti halnya orang Bali biasa
lakukan.
Upacara ngaben tidak berlaku bagi penduduk Trunyan. Di daerah ini, jenasah tidak dibakar
(kremasi), melainkan hanya diletakkan di tanah pekuburan. Lokasi kuburan juga biasanya tidak
terletak di dalam wilayah desa Trunyan, tetapi 500 meter di luar desa yang hanya bisa dicapai
dengan perahu. Menurut tradisi, kuburan di daerah Trunyan dibagi dalam tiga klasifikasi berdasarkan
umur orang yang meninggal, keutuhan jenasah dan cara penguburan. Kuburan utama adalah
kuburan yang dianggap paling suci dan paling baik. Jenasah yang dikuburkan pada kuburan suci ini
hanyalah jenasah yang jasadnya utuh, tidak cacat, serta jenasah yang proses meninggalnya dianggap
wajar, bukan karena bunuh diri atau kecelakaan.
Kuburan yang kedua disebut Kuburan Muda, yang khusus diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa
yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat bahwa jenasah tersebut harus utuh dan tidak
cacat. Sedangkan kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas, khusus untuk jenasah yang cacat dan
yang meninggal karena `salah pati` ataupun `ulah pati` (meninggal secara tidak wajar).
Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik adalah kuburan utama atau
kuburan suci (Setra Wayah). Kuburan ini berlokasi di sekitar 400 meter di bagian utara desa dan
dibatasi oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa jenasah ke kuburan ini, mereka harus
menggunakan sampan kecil khusus jenasah yang disebut Pedau. Meski disebut dikubur, namun cara
penguburannya tergolong unik, yaitu dikenal dengan istilah “mepasah”.
Jenasah yang telah diupacarai menurut tradisi setempat, diletakkan begitu saja di atas lubang
sedalam 20 cm. Sebagian badannya, dari bagian dada ke atas, dibiarkan terbuka, tidak terkubur
tanah. Jenasah tersebut hanya dibatasi dengan `ancak saji` yang terbuat dari sejenis bambu
berbentuk kerucut, digunakan untuk memagari jenasah.
Jadi kebudayaan di desa Trunyan tidak akan punah. Sampai saat ini masyarakat Trunyan masih
melakukan tradisinya yaitu menaruh mayat di bawah pohon kemenyan.
OM SWATIASTU,,UNI TRISNA di 01.37
Berbagi
OM SWATIASTU,,UNI TRISNA
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.
http://ajegbalidwipa.blogspot.com/2010/12/kebudayaan-trunyan-bangli.html?m=1