Anda di halaman 1dari 318

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/339527344

Analisis Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran

Book · February 2020

CITATIONS
READS
0
18,911

1 author:

Muhammad Kristiawan
Universitas Bengkulu
132 PUBLICATIONS 1,573 CITATIONS

All content following this page was uploaded by Muhammad Kristiawan on 27 February 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Muhammad Kristiawan

ANALISIS
PENGEMBANGAN
KURIKULUM
DAN
PEMBELAJARAN
ANALISIS PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN

Penulis
Muhammad Kristia wan

Editor
Wachidi
Riyanto
Badeni
Syukri Hamzah
Rudi Chandra

Layout dan Cover


Hendri Budi Utama

Cetakan Pertama, Oktober 2019


viii + 196 hlm.; 15,5 x 23 cm.

Penerbit
Unit Penerbitan dan Publikasi FKIP Univ. Bengkulu
Gedung Laboratorium Pembelajaran FKIP
J alan W.R. Supratman, Kandang Limun, Kota Bengkulu 38371A
Telp. (0736) 21186, 0811737956 Fax. (0736) 21186
Laman: fkip.unib.ac.id/unit-penerbitan/ email: uppfkip@unib.ac.id

ISBN: 978-623-7074-29-8

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang


Ketentuan Pidana Pasal 112 - 119. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta. Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
PRAKATA

B angsa yang besar adalah bangsa yang mempunyai


kurikulum pendidikan yang bagus dan dinamis (sesuai
kebutuhan masyarakat). Kemudian bangsa yang besar
juga dapat memberi motivasi pelajarnya agar bisa meningkatkan
standar mutu pendidikannya di kemudian hari.
Sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah
setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu
pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar
mutu yang jelas dan mantap. Tahun 1950 ada kurikulum SD yang
disebut “Rencana Pelajaran Terurai”. Pada tahun 1960 muncul
“Kurikulum Kewajiban Belajar Sekolah Dasar”. Tahun 1968
dikenal “Kurikulum 1968” pengganti “Kurikulum 1950”. Lalu
tahun 1970 muncul “Kurikulum Berhitung” diganti dengan
pelajaran matematika modern. Tahun 1975 disebut “Kurikulum
1975” yang fokus pada pelajaran Matematika dan Pendidikan
Moral Pancasila serta Pendidikan Kewarnegaraan. Pada tahun
1984 menyempurnakan Kurikulum 1975 dengan “Cara Belajar
Siswa Aktif” (CBSA). Tahun 1991 CBSA dihentikan lalu muncul
“Kurikulum 1994”. Tahun 2004 dikenal “Kurikulum Berbasis
Kompetensi” (KBK), yang dipelesetkan jadi Kurikulum Berbasis
Kebingungan. Tahun 2006 muncul “Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan” (KTSP). Terakhir datanglah Kurikulum 2013. entah
berapa tahun lagi ada kurikulum
baru yang membuat bingung semua pihak yang jelas jangan
sampai siswa kita dijadikan “kelinci percobaan”.
Kami sebagai penulis mengucapkan terima kasih kepada
Allah SWT, yang telah memberikan pola pikir yang sadar dan
terencana sehingga dapat menyelesaikan buku ini. Kemudian
kami juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Sudarwan
Danim, M.Pd. dan Prof. Dr. Wachidi, M.Pd. yang telah
mengarahkan disain kurikulum yang baik serta menjadi sumber
inspirasi bagi kami untuk melahirkan sebuah karya nyata “What
The Man Can Become”. Selain itu, kami juga mengucapkan terima
kasih kepada seluruh stakeholders FKIP Universitas Bengkulu
motivasi dan inspirasi bagi kami untuk menyelesaikan karya
nyata ini. Buku ini disusun dalam rangka memenuhi kebutuhan
sumber belajar Analisis Pengembangan Kurikulum dan
Pembelajaran untuk mahasiswa, khususunya Program Studi S-3
Pendidikan. Akhirnya, penyusun ucapkan terima kasih kepada
FKIP Universitas Bengkulu yang telah memfasilitasi penyusunan
buku ini. Saran dan masukan untuk perbaikan bahan ajar ini,
penyusun sangat harapkan dari semua pihak.

Penulis

iv Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


DAFTAR ISI

PRAKATA................................................................................. iii
DAFTAR ISI............................................................................... v

BAB I KURIKULUM............................................................. 1
A. Apa itu Kurikulum?................................................ 1
B. Apa Peran dan Fungsi Kurikulum?.......................2
C. Bagaimana Konsep Kurikulum?............................4
D. Adakah Kontroversi Kurikulum dengan
Pengajaran?
8
E.
Bagaimana Rancangan Kurikulum?......................9
F.
Seperti Apa Konsep yang Berpengaruh
Terhadap Kurikulum?......................................... 10
G. Apa Saja Prinsip-Prinsip Pengembangan
Kurikulum? ......................................................... 10
H. Siapa Saja Stakeholders Kurikulum?................. 12

BAB II LANDASAN KURIKULUM ...................................... 17


A. Bagaimana Landasan Filosofis Kurikulum? .... 17
B. Bagaimana Landasan Historis Kurikulum? ..... 35
C. Bagaimana Landasan Psikologis Kurikulum?.. 36
D. Bagaimana Landasan Sosiologis Kurikulum? .. 73

BAB III KOMPONEN KURIKULUM .................................... 85


A. Apa Saja Komponen Kurikulum? ...................... 85
B. Apa Tujuan Kurikulum dan Konten?.................................................85
C. Apa Permasalahan Ends dan Means?..................90
D. Apa itu Konten?.........................................................92
E. Bagaimana Merancang Kegiatan Belajar?..........97
F. Bagaimana Menyusun Strategi/Organisasi
Pembelajaran?......................................................................99
G. Bagaimana Mengevaluasi Pembelajaran/ Kurikulum?
103

BAB IV DESAIN KURIKULUM........................................... 125


A. Bagaimana Mendesain Kurikulum?....................125
B. Bagaimana Konsep Desain Kurikulum?...........127

BAB V TEORI KURIKULUM.................................................. 137


A. Apa Pengertian Teori?...........................................137
B. Bagaimana Proses Pembentukan Teori?..........138
C. Apa itu Teori Kurikulum?.....................................138
D. Bagimana Proses Perkembangan Kurikulum?...139

BAB VI ISU-ISU KURIKULUM................................................143


A. Bagaimana Isu Kurikulum Saat Ini?...................143
B. Seperti Apa Isu Krusial Kurikulum?...................150

BAB VII SEKOLAH YANG EFEKTIF, MENGELOLA


PROSES PERUBAHAN.............................................155
A. Bagaimana Karakteristik Sekolah yang Efektif?...155
B. Bagaimana Usaha Peningkatan Mutu Sekolah?. 158
C. Apa yang Harus Dilakukan oleh Kepala Sekolah?. 160
D. Apa yang Harus Dilakukan oleh Pendidik?.....161
E. Apa yang harus Dilakukan oleh Peserta Didik? 162
F. Bagaimana Mengembangkan Profesional?......163
G. Bagaimana Mengelola Proses Perubahan?......164
vi Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran

BAB VIII PERJALANAN KURIKULUM NASIONAL............175


A. Bagaimana Perjalanan Kurikulum di
Indonesia?.......................................................... 175
B. Bagaimana Perkembangan Kurikulum Pendidikan?...176

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................189
TENTANG PENULIS..........................................................................195

Daftar Isi vii


Bab I
KURIKULUM

A. Apa itu Kurikulum?


Kurikulum merupakan seperangkat pembelajaran yang
berisi niat dan harapan yang dituangkan dalam bentuk rencana
atau program pendidikan untuk dilaksanakan oleh pendidik,
peserta didik dan semua elemen yang ada di sekolah. Dalam
proses tersebut ada dua subjek yang terlibat yakni pendidik
dan peserta didik. Peserta didik adalah subjek yang dibina dan
pendidik adalah subjek yang membina. Undang-Undang RI No.
20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 19 menyebutkan kurikulum
merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, tambahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sementara, istilah
kurikulum menurut Zais (1976) digunakan untuk
mengidentifikasi rencana pendidikan bagi peserta didik; dan apa
yang dipelajari oleh peserta didik. Kurikulum sebagai rencana
pendidikan pembelajaran bagi peserta didik karena kurikulum
adalah isi pembelajaran (Azis, 2018).
Konsep kurikulum sebagai suatu program atau rencana
pembelajaran disetujui oleh para ahli kurikulum, seperti Oliva
(1982), yang menyatakan bahwa kurikulum pada dasarnya
adalah suatu perencanaan atau program pengalaman peserta
didik yang
diarahkan sekolah. Perlu kita pahami, bahwa sekolah didirikan
untuk membimbing peserta didik agar berkembang sesuai
dengan tujuan yang diharapkan. Ini berarti titik sentral
kurikulum adalah anak didik itu sendiri. Perkembangan anak
didik hanya akan tercapai apabila dia memperoleh pengalaman
belajar melalui semua kegiatan yang disajikan sekolah, baik
melalui mata pelajaran ataupun kegiatan lainnya. Oleh karena itu
seperti yang dikatakan Zais (1976), kurikulum sebagai suatu
rencana pembelajaran harus bermuara pada perolehan
pengalaman peserta didik yang sengaja dirancang untuk mereka
miliki.
Akhirnya, kita simak juga pendapat Saylor dan Alexander
(1966) bahwa kurikulum bukanlah materi pelajaran yang
terpisah yang harus disampaikan dan dipelajari melainkan
bentuk pengalaman dan kebudayaan individu yang harus
dipelihara dan dimodifikasi. Dengan demikian, kurikulum harus
mencakup dua sisi yang penting, yaitu perencanaan pembelajaran
serta bagaimana perencanaan itu diimplementasikan menjadi
pengalaman belajar peserta didik dalam rangka pencapaian
tujuan yang diharapkan.

B. Apa Peran dan Fungsi Kurikulum?


“Dapat hidup di masyarakat” itu memiliki arti luas, yang
bukan saja berhubungan dengan kemampuan peserta didik
untuk menginternalisasi nilai atau hidup sesuai dengan norma-
norma masyarakat, akan tetapi juga pendidikan harus berisi
tentang pemberian pengalaman agar anak dapat
mengembangkan kemampuannya sesuai dengan minat dan bakat
mereka. Dengan demikian, dalam sistem pendidikan, kurikulum
merupakan komponen yang sangat penting, sebab di dalamnya

2 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


bukan hanya menyangkut tujuan dan arah pendidikan saja
akan tetapi juga

Kurikulum 3
pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap peserta didik serta
bagaimana mengorganisasi pengalaman itu sendiri. Sebagai salah
satu komponen dalam sistem pendidikan, paling tidak kurikulum
memiliki tiga peran, yaitu peran konservatif, kreatif, kritis dan
evaluatif (Gronlund, 1981). Sedangkan pendapat Ornstein &
Hunkins (1988) tentang kurikulum adalah sebuah rencana atau
dokumen tertulis yang memuat strategi untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Konsep ini dipopulerkan oleh Tyler dan Taba
yang merupakan contoh bagaimana tumpang tindihnya antara
definisi dan pendekatan. Kebanyakan penganut aliran behavior
menyetujui definisi kurikulum yang seperti ini. Contohnya Saylor
dan Alexander (1966) mendefinisikan kurikulum sebagai sebuah
rencana yang menyajikan beberapa peluang belajar bagi
seseorang untuk dididik. Ronald (1988) menyatakan bahwa
kurikulum adalah sekumpulan pendidikan formal atau pelatihan
yang terorganisir. Sedangkan Johnson (1968) memandang
kurikulum sebagai rencana pengajaran yang menentukan
pengajaran apa yang penting.
Kurikulum secara luas dapat didefinisikan sebagai
pengalaman peserta didik. Definisi seperti ini banyak dianut oleh
hampir kebanyakan sekolah formal bahkan di luar sekolah.
Definisi ini berawal dari definisi John Dewey mengenai
pengalaman dan pendidikan seperti yang dinyatakan oleh
Caswell dan Campbell dari tahun 1930 (Hyman, 1973) bahwa
kurikulum adalah semua pengalaman yang diperoleh peserta
didik selama berada dalam pengawasan pendidik. Para pakar
aliran Estetika-Humanistik dan pakar kurikulum tingkat Sekolah
Dasar menggunakan definisi bahwa kurikulum adalah
pengalaman yang diperoleh peserta didik selama dalam
pengawasan pendidik dan selama bertahun- tahun definisi ini
diterjemahkan secara luas ke dalam buku-buku
pelajaran sekolah. Brady dan Kenedy (2007) menyatakan bahwa
kurikulum mencakup pengalaman berkelanjutkan peserta didik
yang diperolehnya selama di sekolah.
Kurikulum sebagai bagian dari materi ajar (Matematika,
Ilmu pengetahuan, Bahasa Inggris, Sejarah dan lain-lain).
Penekanan pada sudut pandang ini adalah pada fakta, konsep
dan penyeragaman beberapa subjek tertentu. Sementara itu
George Beauchamp (Ornstein & Hunkins, 1988) menegaskan
bahwa hanya definisi yang mencakup rencana, sistem dan bidang
studi yang dapat mewakili penggunaan kata kurikulum, dan
faktanya para praktisi menggunakan kurikulum yang seperti ini
dalam keseharian, sementara para teoritis jarang
menggunakannya.
Secara garis besar makna kurikulum merupakan
seperangkat pengalaman peserta didik yang berisi tujuan
pembelajaran, materi ajar, strategi pembelajaran dan evaluasi
pembelajaran. Kurikulum juga sebagai refleksi apa yang orang
rasakan, pikirkan, dipercayai dan apa yang dilaksanakan
manusia, kurikulum juga apa yang dipilihkan oleh generasi tua
untuk generasi muda yang isinya bisa sejarah, politik, suku,
kebudayaan, gender, fenomena, estika, etika, ketuhanan dan
internasional. Kurikulum menjadikan generasi berusaha untuk
mencari siapa itu dirinya.

C. Bagaimana Konsep Kurikulum?


Kata kurikulum berasal dari akar kata Bahasa Latin, yang
berarti kuda yang berpacu kencang. Makna ini diyakini oleh
banyak orang. Bahkan sampai saat ini banyak pendidik
profesional yang menganggap kurikulum sebagai target
pencapaian yang relatif standar yang mesti dipenuhi peserta
didik dalam berpacu untuk mencapai tujuan akhir. Sehingga
tidak mengherankan lagi
jika konsep kurikulum dilatari oleh ide ini, yaitu bahwa
kurikulum merupakan perpacuan materi pelajaran supaya cepat
dikuasai peserta didik (Mulyasa, 2003; Mulyasa, 2004; Mulyasa,
2006;
Perdana, 2013).

1. Kurikulum Sebagai Program Studi


Jika kita bertanya tentang kurikulum Sekolah Menengah
Atas, sering jawabannya sejumah mata pelajaran yang
ditawarkan oleh sekolah. Misalnya Bahasa Ingris, Matematika,
Sejarah, Ekonomi, dan lain-lain, jawaban yang mungkin lebih
khusus lagi adalah uraian nama mata pelajaran, misalnya Sejarah
Kemerdekaan Bangsa Indonesia, Matematika Dasar, dan lain-
lain. Sebagian kecil menyatakan bahwa kurikulum adalah
deskripsi materi pelajaran yang menerangkan informasi yang
jelas tentang isi dan proses pembelajaran bahkan refleksi
pengalaman kita mengingatkan kita bahwa nama mata pelajaran
sedikit sekali yang berkaitan dengan outcome pembelajaran dan
pengalaman yang diharapkan peserta didik ketika mengikuti
pelajaran. Inilah yang menjadi alasan ahli kurikulum lebih
senang menggunakan istilah program studi daripada pelajaran
sekolah dan atau penawaran mata pelajaran.

2. Kurikulum Sebagai Isi Pelajaran


Isi pelajaran tertentu dalam program studi sering dianggap
kurikulum. Contohnya, ketika mendeskripkan Kurikulum Sejarah
Bangsa Indonesia, maka pendidik mungkin menyatakan outline
topik pelajaran, seperti penemuan dan ekplorasi sebelum tahun
1945. Kurikulum hanya dianggap sebagai data atau informasi
dalam buku panduan atau buku teks dan tidak melihat banyak
unsur-unssur tambahan yang mesti disiapkan dalam rancangan
pembelajaran. Konsep ini membatasi perencanaan hanya pada
seleksi dan organisasi informasi yang akan dikuasai peserta
didik. Tentu saja dalam definisi kurikulum, mesti dimasukkan
unsur- unsur lain dalam lingkungan pendidikan, misalnya
kondisi yang membantu peserta didik untuk berinteraksi dengan
isi pelajaran.

3. Kurikulum Sebagai Pengalaman Belajar yang


Direncanakan
Konsep ini paling umum dipahami oleh ahli kurikulum,
contohnya kurikulum sebagai alat yang digunakan sekolah untuk
menyiapkan peserta didik memiliki pengalaman belajar yang
diinginkan (Zais, 1976). Kurikulum yang umumnya diterima
sudah berubah dari isi materi pelajaran dan daftar mata
pelajaran serta materinya menjadi semua pengalaman yang
ditawarkan kepada peserta didik dengan bantuan atau arahan
dari sekolah (Zais, 1976). Definisi ini lebih tepat dari yang
sebelumnya. Sekolah diadakan untuk mendidik, misalnya
mengembangkan peserta didik sampai mencapai target tertentu.
Perkembangan ini diperoleh melalui pengalaman peserta didik,
sehingga disimpulkan bahwa kurikulum sebagai blue print
pendidikan yang berisi pengalaman yang direncanakan dapat
dimiliki oleh peserta didik. Namun definisi ini juga dikritik oleh
beberapa ahli karena terlalu jauh dan luas untuk bisa berfungsi
(Zais, 1976). Ada pula yang menganggap definisi ini terlalu
sempit.

4. Kurikulum Sebagai Pengalaman yang Dimiliki


dengan Bantuan dan Dukungan dari Sekolah
Ada kurikulum tak terlihat atau tersembunyi, misalnya aspek
kurikulum yang tidak direncanakan, sehingga kurikulum tersebut
tidak terlihat. Pengalaman tertentu pada kurikulum terencana
dirancang, misalnya mengajar peserta didik membaca, tetapi ada
pengalaman lain terjadi dilakukan peserta didik, seperti mereka
tidak menyukai membaca. Jadi kedua pengalaman, mengajar peserta
didik membaca dan mengajar peserta didik tidak suka membaca
dianggap sebagai bagian kurikulum, meskipun pengalaman kedua
tidak direncanakan dan tidak menjadi tujuan. Ketika peserta didik
mendapatkan pengalaman dan belajar berbagai pelajaran, mereka
juga mendapatkan pengalaman, sehingga mereka akan belajar
tentang kepatuhan di samping belajar Matematika, Sejarah, dan
Bahasa Inggris.
Definisi kurikulum secara luas sulit dibuktikan
kebenarannya, jika semua mengarah kepada totalitas pengalaman
peserta didik di sekolah. Namun sebenarnya definisi ini tidak
berfungsi pada tahap perencanaan kurikulum, karena
pengalaman yang sebenarnya akan diperoleh peserta didik
ketika berinteraksi dengan kurikulum. Pengalaman yang
sebenarnya diperoleh peserta didik dengan dukungan dan
bantuan sekolah mengandung nilai kualitas dan efektifitas
kurikulum yang direncanakan.

5. Kurikulum Sebagai Outcome Pembelajaran


Terencana yang Terstruktur
Johnson (1968) menyebutkan tidak akan ada pengalaman
sebelum terjadi interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Tentu saja interaksi tersebut mencirikan pengajaran, bukan
kurikulum. Dia menjelaskan bahwa karena kurikulum berisi
panduan pengajaran, maka kurikulum mestinya dipandang
sebagai antisipasi bukan sebagai laporan. Kurikulum
memperkirakan hasil pembelajaran, tidak memperkirakan alat
pembelajaran, misalnya kegiatan, materi pembelajaran, atau isi
pelajaran yang digunakan untuk mencapai hasil belajar. Sehingga
menguatkan bahwa kurikulum hanya dapat mencakup urutan
terstruktur dari outcome
pembelajaran yang diinginkan (Johnson, 1968) sementara yang
lain disebut pengajaran.

6. Kurikulum Sebagai Rencana Tertulis untuk


Tindakan
Belajar dimaknai sebagai interaksi antara empat sistem,
mengajar, belajar, pengajaran, dan sistem kurikulum. Mengajar
adalah perilaku profesional terarah yang dilakukan oleh
personalia bersifat individual yang disebut pendidik. Belajar
merupakan tindakan peserta didik yang dipandang pendidik
sebagai tugas terkait. Pengajaran sebagai gabungan antara sistem
pertama dengan kedua, yaitu konteks tindakan di mana terjadi
prilaku mengajar dan belajar secara formal. Pada sistem ini terjadi
kombinasi antara sistem personaliti dan sistem sosial. Sistem
kurikulum terdiri dari individu- individu yang prilakunya tertuang
dalam kurikulum.

D. Adakah Kontroversi Kurikulum dengan Pengajaran?


Perbedaan antara kurikulum dan pengajaran yang disimpulkan
oleh Johnson sangat signifikan, karena besar pengaruhnya terhadap
konsep kurikulum tradisional. Dengan membatasi makna
kurikulum pada urutan terstruktur dari outcome belajar yang
memiliki tujuan, maka semua perencanaan yang mencakup isi,
aktivitas belajar, dan prosedur evaluasi dianggap sebagai
pengajaran, bukan kurikulum. Situasi kelas yang hidup dianggap
sebagai implementasi rencana pengajaran, bukan kurikulum.
Kurikulum terapan terdiri dari outcome pembelajaran yang
tercapai.
Pernyataan Johnson menarik dan mempunyai kekuatan logis,
tapi sayang pernyataannya mempunyai kesulitan teoritis dan
praktis. Tidak mungkin memisahkan antara outcome dengan alat
yang digunakan untuk mencapainya. Bahkan konsekuensi yang
tidak diinginkan yang dinyatakan oleh kurikulum tersembunyi
membuktikannya metode dan isi pengajaran jelas tidak bisa
terlepas dari sejumlah outcome kurikulum. Terlebih lagi, banyak
ahli percaya bahwa definisi Johnson tidak bermanfaat dikaitkan
dengan situasi praktis sekolah. Jika para ahli membatasi diri
mereka hanya pada perumusan daftar terstruktur dari outcome
pembelajaran yang direncanakan, maka mereka mengabaikan
tanggung jawab dan perhatian pada beberapa proses yang
sangat penting yang merupakan pekerjaan kurikulum (contohnya,
pemilihan isi pelajaran dan spesifikasi akivitas belajar). Apakah
proses tersebut dinamakan kurikulum atau pengajaran,
dibandingkan fakta yang jelas bahwa proses mesti dikaitkan
pada perencanaan.

E. Bagaimana Rancangan Kurikulum?


Dua teori kurikulum penting di atas menggambarkan
perbedaan antara kurikulum dan pengajaran, dengan
menggunakan kriteria implementasi. Contoh, kurikulum adalah
dokumen tertulis yang berisi banyak unsur, tetapi pada dasarnya
kurikulum merupakan suatu rencana untuk pendidikan peserta
didik selama mereka belajar di sekolah tertentu (Beauchamp,
1968). Jika kita diminta untuk mengevaluasi kurikulum apakah
kita tidak lebih hanya ingin melihat dokumen? Tentu saja
kualitas dokumen akan menjadi faktor dalam penilaian akhir,
tapi siapa yang menyangga bahwa tes terhadap kurikulum
tergantung pada seberapa bagus kurikulum berfungsi dalam
situasi kehidupan.
Dari beberapa konsep sebelumnya, penulis buku ini
meyakini bahwa kurikulum bisa mengacu pada rencana
pengajaran tertulis yang berguna untuk mengarahkan atau
mengatur lingkungan dan aktivitas situasi kelas yang hidup.
Akibatnya, jika mau dibedakan,
maka rencana tertulis disebut kurikulum dokumen atau
kurikulum tidak bergerak, dan kurikulum yang dijalankan di
kelas sebagai kurikulum hidup atau operative curriculum.

F. Seperti Apa Konsep yang Berpengaruh Terhadap


Kurikulum?
Ada perbedaan yang sangat membingungkan antara aspek
proses belajar dengan aktivitas belajar. Namun konsepnya
adalah aspek tujuan, isi, metode, dan evaluasi merupakan
wilayah kurikulum (Beane, 1990).

G. Apa Saja Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum?


1. Prinsip Relevansi
Kurikulummerupakanrel-nyapendidikanuntukmembawapeserta
didik agar dapat hidup sesuai dengan nilai-nilai yang ada di
masyarakat serta membekali peserta didik baik dalam bidang
pengetahuan, sikap maupun keterampilan sesuai dengan tuntutan
dan harapan masyarakat. Oleh sebab itu, pengalaman-pengalaman
belajar yang disusun dalam kurikulum harus relevan dengan
kebutuhan masyarakat.
Ada dua macam relevansi, yaitu relevansi internal dan relevansi
eksternal. Relevansi internal adalah bahwa setiap kurikulum
harus memiliki keserasian antara komponen-komponennya,
yaitu keserasian antara tujuan yang harus dicapai, isi, materi
atau pengalaman belajar yang harus dimiliki peserta didik,
strategi atau metode yang digunakan serta alat penilaian untuk
melihat ketercapaian tujuan. Sedangkan relevansi eksternal
berkaitan dengan keserasian antara tujuan, isi, dan proses
belajar peserta didik yang tercakup dalam kurikiulum dengan
kebutuhan dan
tuntutan masyarakat. Ada tiga macam relevansi eksternal dalam
perkembangan kurikulum yaitu 1) relevan dengan lingkungan
hidup peserta didik, artinya bahwa proses pengembangan dan
penetapan isi kurikulum hendaklah disesuaikan dengan kondisi
lingkungan sekitar peserta didik; 2) relevan dengan
perkembangan zaman baik sekarang maupun dengan yang akan
dating, artinya isi kurikulum harus sesuai dengan situasi dan
kondisi yang sedang berkembang;
3) relevan dengan tuntutan dunia pekerjaan, artinya bahwa apa
yang diajarkan di sekolah harus mampu memenuhi dunia kerja.

2. Prinsip Fleksibilitas
Kurikulum harus bersifat lentur atau fleksibel. Artinya,
kurikulum itu harus bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi
yang ada. Kurikulum yang kaku atau tidak fleksibel akan sulit
diterapkan. Prinsip fleksibilitas memiliki dua sisi yaitu 1)
fleksibel bagi pendidik, yang artinya kurikulum harus
memberikan ruang gerak bagi pendidik untuk mengembangkan
program pengajarannya sesuai dengan kondisi yang ada; 2)
fleksibel bagi peserta didik, artinya kurikulum harus
menyediakan berbagai kemungkinan program pilihan sesuai
dengan bakat dan minat peserta didik.

3. Prinsip Kontinyuitas
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa perlu dijaga
saling keterkaitan dan kesinambungan antara materi pelajaran
pada berbagai jenjang dan jenis program pendidikan. Prinsip ini
sangat penting bukan hanya untuk menjaga agar tidak terjadi
pengulangan-pengulangan materi pelajaran yang memungkinkan
program pengajaran tidak efektif dan efisien, akan tetapi juga
untuk keberhasilan peserta didik dalam menguasai materi
pelajaran pada jenjang pendidikan tertentu.
4. Prinsip Efektivitas
Prinsip efektivitas berkenaan dengan rencana dalam suatu
kurikulum dapat dilaksanakan dan dapat dicapai dalam kegiatan
belajar mengajar. Terdapat dua sisi efektivitas dalam suatu
pengembangan kurikulum yaitu 1) efektivitas berhubungan
dengan kegiatan pendidik dalam melaksanakan tugas
mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas. Kedua,
efektifitas kegiatan peserta didik dalam melaksanakan kegiatan
belajar. Efektivitas kegiatan pendidik berhubungan dengan
keberhasilan mengimplementasikan program sesuai dengan
perencanaan yang telah disusun. Sedangkan efektivitas kegiatan
peserta didik berhubungan dengan sejauh mana peserta didik
dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan sesuai dengan
jangka waktu tertentu.

5. Prinsip Efisiensi
Prinsip efisiensi berhubungan dengan perbandingan antara
tenaga, waktu, suara, dan biaya yang dikeluarkan dengan hasil
yang diperoleh. Betapapun bagus dan idealnya suatu kurikulum,
manakala menuntut peralatan, sarana dan prasarana yang sangat
khusus serta mahal pula harganya, maka kurikulum itu tidak
praktis dan sukar untuk dilaksanakan.

H. Siapa Saja Stakeholders Kurikulum?


1. Peserta Didik
Peserta didik biasanya diwajibkan bersekolah sampai usia
18 tahun (wajib belajar 12 tahun). Meskipun kehadiran mereka
di sekolah wajib, namun mereka memiliki aspirasi personal,
sosial dan vokasional. Terlebih lagi, para peserta didik
merupakan
bagian yang mengubah perkembangan budaya yang sering
ganjil dari orang dewasa yang berinteraksi dengan mereka.
Kurikulum sekolah harus mampu memenuhi aspirasi mereka
dan memperhitungkan standar perubahan budaya dari
perspektif peserta didik itu sendiri. Hasil penelitian Pendidikan
Nasional pada tahun 1988 di AS mengatakan bahwa peserta
didik yang sudah tamat (alumni) melihat sekolah sebagai
institusi yang menawarkan dan memberikan masukan bagi
sistem pendidikan.

2. Orang Tua/Wali Murid


Orang tua juga memiliki aspirasi yang perlu diketahui. Hal ini
mungkin bersifat vokasional tetapi juga bisa personal dan sosial/
komite. Selain itu orang tua ingin melihat anak mereka bekerja
dengan baik dan kemudian mereka memberikan kepercayaan
kepada sekolah dan kurikulumnya untuk memastikan bahwa
anak mereka bisa bekerja dengan baik setelah menyelesaikan
proses pembelajaran.

3. Pendidik
Pendidik dalam kurikulum berada pada sayap yang
berbeda, mereka adalah profesional. Pelatihan-pelatihan mereka
membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang
kemungkinan besar mengembangkan mereka menjadi akademisi
daripada vokasional, mengembangkan mereka menjadi teoritisi
bukan praktisi dan menjadi orang yang berbeda bukan relevan.
Di satu sisi, pendidik hanya menerapkan pedoman kurikulum
yang mengatur sekolah. Namun yang lebih penting mereka
menginterpretasi dan menambah dimensi pedagogis yang
menciptakan pengalaman kurikulum harian peserta didik (RPP).
Pendidik juga berperan sebagai mediator dari kurikulum.
4. Kelompok Individu
Kelompok individu juga memiliki kepentingan khusus
pada kurikulum sekolah. Di Australia misalnya, sekarang diakui
kurikulum khusus untuk kebutuhan anak perempuan, kebutuhan
orang Aborigin dan Selat Tores, kebutuhan penyandang cacat,
kebutuhan orang dari latar belakang berbahasa non-Inggris, dan
kebutuhan bagi peserta didik yang hidup dalam kemiskinan dan
terisolasi secara geografis, atau 3T kalau di Indonesia. Masing-
masing kelompok mempunyai kepentingan khusus yang tidak
dapat dipenuhi dengan asumsi bahwa setiap orang adalah sama.
Kurikulum harus memenuhi perbedaan dan menunjukkan
bagaimana perbedaan tersebut dapat dihargai.

5. Pemerintah
Pemerintah memiliki kepentingan yang besar meskipun
tidak secara ekonomi eksklusif. Pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan merupakan fokus perhatian pemerintah.
Kurikulum sekolah akan menentukan pengetahuan dan
keterampilan warga Negara di masa depan yang memilki
kapasitas untuk dapat berkontribusi pada perekonomian Negara
secara produktif. Pada umumnya Negara demokratis ingin
melihat suatu komunitas yang kohesif, melek politik, budaya
canggih atau melek digital dan teknologi, toleran dan adil.
Kurikulum sekolah hendaknya dapat berkontribusi untuk
mewujudkannya.

6. Komunitas Bisnis
Komunitas bisnis banyak ikut andil dalam kepentingan
ekonomi pemerintah. Pebisnis harus produktif dan sejahtera,
mereka membutuhkan pekerja yang handal, berhitung dan
terampil dalam berbagai cara. Sementara pelaku bisnis mampu
memberikan banyak pelatihan sendiri, mereka juga harus
bergantung pada orang muda lulusan dari sekolah untuk
memasok berbagai bakat dan keterampilan yang mereka
butuhkan.

7. Universitas dan Agen Pendidikan dan Latihan


Universitas dan agen pendidikan dan latihan memiliki
kepentingan dalam perumusan bentuk kurikulum sekolah. Di
Australia, universitas mempunyai pengaruh yang sangat besar pada
kurikulum terutama bagi sekolah tahun terakhir (SMA). Pada
pendidikan menengah peran
universitasakanselalumemainkanperanpengawasuntukmemastikan
bahwa potensi peserta didik dilengkapi dengan pengetahuan yang
diperlukan untuk melakukan studi lebih lanjut.

8. Kelompok Masyarakat Lain/Lembaga Pelayanan Sosial


Kelompok masyarakat lain yang memiliki kepentingan yang
terjadi pada peserta didik di sekolah. Lembaga pelayanan sosial
yang berkaitan dengan isu-isu sosial, medis dan kesejahteraan
yang berkaitan dengan peserta didik dan keluarga mereka. Isu-
isu ini tidak dapat dipisahkan dari apa yang terjadi pada peserta
didik di sekolah. Kadang-kadang ketika otoritas sekolah
mencoba untuk mendiagnosa masalah pendidikan, tampaknya
mereka mengabaikan masalah kehidupan peserta didik di luar
sekolah. Sekolah sering mencoba untuk memecahkan masalah
yang mereka tidak memiliki keterampilan atau keahlian khusus
di bidang kesehatan mental, dan masalah keluarga. Kenakalan
peserta didik seringkali dapat ditelusuri sebagai masalah
keluarga dan isu kelompok bukan penyebab pendidikan. Siswa
memiliki kehidupan di luar kelas dan lingkungan ekstrernal
berpengaruh kuat pada sikap dan perilaku. Pendidik dan pihak
sekolah tidak selalu dapat
memberikan yang terbaik untuk memberikan nasihat dan
bantuan dalam konteks yang lebih luas.
Stakeholders kurikulum mencakup secara keseluruhan, di
mana kurikulum tidak berdiri terpisah dari masyarakat, di dalam
merumuskan kurikulum sekolah harus mempertimbangkan
semua unsur stakeholders yaitu peserta didik, pendidik, orang
tua, kelompok individu, pemerintah, komunitas bisnis,
universitas dan agen pendidikan dan latihan, dan kelompok
masyarakat lain. Kurikulum harus dapat memenuhi kebutuhan
individu dan kelompok. Khusus yang menjadi kekhawatiran bagi
kita akan kemampuan pendidik di dalam membantu peserta
didik berkaitan dengan isu-isu sosial seperti kepedulian tentang
kesehatan fisik, mental, kehidupan peserta didik di luar sekolah
atau di lingkungan masyarakat yang mempengaruhi sikap
perilaku peserta didik. Dalam perumusan kurikulum sekolah
diharapkan juga melibatkan sosiolog dan psikolog.
Bab II
LANDASAN KURIKULUM

A. Bagaimana Landasan Filosofis Kurikulum?


1. Filsafat
Landasan Filosofis terkait dengan pengetahuan tentang
Hakikat ilmu pengetahuan, sebab pengetahuan merupakan menu
utama kurikulum. Kalau kita tinjau dari sisi filsafat, filsafat
berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata “Philos” dan
“Sophia”. Philos, artinya cinta yang mendalam, dan Sophia adalah
kearifan atau kebijaksanaan. Secara harfiah filsafat didefinisikan
sebagai “cinta kebijaksanaan” (Kristiawan, 2016). Filsafat sebagai
landasan pengembangan kurikulum menjawab pertanyaan-
pertanyaan pokok seperti hendak dibawa ke mana peserta didik
yang dididik itu? masyarakat yang bagaimana yang harus
diciptakan melalui ikhtiar penddikan? Norma-norma atau sistem
nilai yang bagaimana yang harus diwariskan kepada anak didik
sebagai generasi penerus? Bagaimana sebaiknya proses
pendidikan itu berlangsung? Sebagai suatu landasan
fundamental, filsafat memegang peranan penting dalam proses
pengembangan kurikulum.
Landasan Filosofis memberikan arah pada semua keputusan
dan tindakan manusia, karena filsafat merupakan pandangan
hidup orang, masyarakat dan bangsa, kaitannya dengan
pendidikan, tujuannya dan bagaimana cara mencapai tujuan.
Dengan kata lain filsafat mengandung pandangan tentang dasar
dan landasan pendidikan. Sehubungan dengan itu, dapat
dipahami bahwa banyak aspek pendidikan dan pelajaran
dikembangkan berdasarkan filsafat. Jadi, filsafat mengandung
pandangan tentang realitas, nilai-nilai, dan ilmu pengetahuan
yang harus diteruskan kepada peserta didik agar mereka dapat
hidup dengan baik. Filsafat bicara tentang
kebijaksanaan/wisdom (antologi); lalu ilmu pengetahuan
(epistimologi); dan menjadi apa anak peserta didik (aksiologi)
what the man come be come (Kristiawan, 2016).
Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan
kurikulum 1) dapat menentukan arah dan tujuan pendididkan; 2)
dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai; 3) dapat menentukan
strategi atau cara pencapaian tujuan; dan 4) dapat ditentukan
bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses
pendidikan.
a. Filsafat dan Tujuan Pendidikan
Dalam arti luas, pendidikan dapat diartikan sebagai proses
pengembangan semua aspek kepribadian manusia, baik
aspek pengetahuan, nilai dan sikap, maupun keterampilan.
Filsafat sebagai sistem nilai harus menjadi dasar dalam
menentukan tujuan pendidikan. Artinya, pandangan hidup
atau sistem nilai yang dianggap baik oleh suatu masyarakat
akan tercermin dalam tujuan pendidikan yang harus dicapai.
b. Filsafat sebagai Proses Berpikir
Berpikir filosofis adalah berpikir yang memiliki cirri-
ciri tertentu. Sadulloh (1994) dan Kristiawan (2016)
mengemukakan ciri-ciri berpikir filosofis sebagai berpikir
yang radikal, sistematis, dan universal. Orang yang

18 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan


Pembelajaran
berfilsafat adalah orang yang berpikir secara mendalam
mencari dan menemukan kebenaran.

Landasan Kurikulum 19
Asumsi-asumsi filosofis tentang hakikat hidup yang baik
memiliki peran yang berarti dalam menentukan bagaimana kita
hidup. Filsafat bukanlah kegiatan yang baru lahir tetapi telah
ada sejak manusia pertama kali mengenal kebutuhan untuk
mengkonstruksi pengetahuan yang akan membuat mereka
mampu membuat keputusan yang bijak. Kebutuhan akan
pengetahuan sebagai panduan untuk membuat keputusan yang
bijak itu telah menuntun para pendahulu kita untuk mencarinya
dari para nabi, orang bijaksana, dan peramal. Seiring perjalanan
waktu, cara kita untuk mencari pengetahuan dan bentuk
pengetahuan telah berubah. Namun, pengetahuan belum mampu
memecahkan dilema tentang keputusan yang bijak dalam banyak
bidang kehidupan. Filsafatlah yang memberi pengetahuan yang
membantu kita membuat keputusan yang bijak. Keputusan yang
bijak menyiratkan hasil yang diharapkan, yaitu hasil yang
seharusnya.
Banyak filosof mendefinisikan filsafat hanya sebagai
“pencarian pengetahuan untuk kebaikan”, di mana yang baik itu
mencakup setiap atau semua prinsip, tindakan, aturan, konsep,
dan tujuan yang mempertinggi kualitas pengalaman kita (Zais,
1976). Pengetahuan yang mewakili ‘master plan’ untuk membuat
keputusan yang bijaksana dalam hidup dapat dianggap sebagai
filsafat dan individu yang mengadopsi ‘master plan’ itu disebut
sudah memperoleh ‘filsafat hidup’. Jadi, yang dimaksud dengan
“kebijaksanaan” sebagaimana digunakan di awal tulisan ini
adalah “pengetahuan tentang kebaikan”. Filsafat ada yang
dibentuk oleh budaya dan ada pula yang dikembangkan oleh
filosof.

2. Organisasi Inquiry Filsafat


Pertama, ontologi adalah masalah filosofis yang
berhubungan dengan hakikat realitas (the nature of reality). Ia
menanyakan
“Apa itu realita?” Karena kita percaya dengan apa yang budaya
percayai, maka apa yang realita adalah apa yang dikatakan
budaya realita. Tetapi permasalahannya tidak semudah itu, ia
terkait dengan ruang, manusia, ide, symbol, dan pengalaman.
Apa yang dianggap realita akan mempengaruhi pemilihan mata
pelajaran atau kurikulum. Pendidik yang menempatkan nilai
ontologis lebih tinggi dari benda dibandingkan pada simbol
cenderung mendukung kurikulum yang menekankan pada mata
pelajaran seperti fisika, biologi, kimia, geologi, geografi fisika,
bahasa Inggris praktis, pembukuan, pertukangan, dan menjahit.
Tidak ada jawaban yang sederhana untuk pertanyaan tentang
realita atau apa yang dimaksud dengan ‘ada’.
Bagi perumus kurikulum, pertanyaan tentang hakikat
realitas tidak dapat dihindari walaupun tidak dapat dipecahkan.
Jelas bahwa apapun yang kita ajarkan di sekolah, kita ingin
memiliki basis yang nyata daripada yang palsu atau tiruan.
Singkatnya, hakikat kurikulum akan tergantung dalam banyak
hal pada apa yang kita percayai nyata dan apa yang khayalan
atau pura-pura.
Filsafat dapat dikelompokkan atas tiga kategori besar
berdasarkan jenis ontologinya. Ontologi pertama menempatkan
lokus realitas dalam alam supernatural. Filsafat yang
berdasarkan ontologi supernatural ini masih lazim di antara
sejumlah kelompok sosial kontemporer dan memiliki pengaruh
besar pada banyak pengembangan kurikulum di Amerika. Filsafat
yang kedua memiliki asumsi bahwa realitas menyatu dengan
bumi yang ada saat ini. Filsafat yang ketiga, yang terbaru, telah
berkembang menyebutkan bahwa realitas bisa terletak hanya
dalam pengalaman manusia (Zais, 1976).
Kedua, epistemologi adalah masalah filosofis yang berkaitan
dengan hakikat pengetahuan (the nature of knowledge) dan
hakikat
mengetahui (the nature of knowing). Ia menanyakan: Apa yang
benar? Bagaimana kita mengetahui kebenaran? Bagaimana kita
tahu bahwa kita tahu? Masalah epistemologis menjadi perhatian
utama spesialis kurikulum karena pengetahuan adalah mengenai
apa kurikulum tersebut. Ilustrasi yang bagus tentang sentralitas
epistemologi dalam karya kurikulum kontemporer muncul
dalam perselisihan apakah asal usul manusia versi Darwin atau
versi Injil yang akan dimuat dalam kurikulum. Menggunakan
versi Injil berarti percaya bahwa kebenaran tertinggi
disampaikan kepada kita melalui kekuatan supernatural.
Menggunakan versi Darwin berarti kebenaran ditemukan secara
ilmiah dengan meneliti realitas yang ada di alam ini. Contoh ini
menunjukkan hubungan yang erat antara ontologi dan
epistemologi (Zais, 1976).
Pada contoh tersebut jelas bahwa asumsi ontologi dunia
lain mengarah pada epistemologi supernatural atau mistik,
sedangkan ontologi yang berpusat pada bumi menghasilkan
epistemologi empirik. Untuk semua tujuan praktis, epistemologi
kita akan cenderung membenarkan ontologi kita, artinya ia akan
menentukan apa yang bisa kita ketahui dan katakan tentang
realitas. Sebaliknya, ontologi kita akan membatasi hakikat
epistemologi kita, artinya ia akan menentukan hakikat
pengetahuan dan prosedur yang digunakan untuk
mendapatkannya. Walaupun kesalingtergantungan ini
menyiratkan suatu derajat sirkularitas, koherensi yang penting
antara ontologi dan epistemologi tidak mengherankan ketika
kita menganggap bahwa filsafat adalah perusahaan rasio.
Karena ada hubungan erat antara ontologi dan epsitemologi,
maka kita berharap menemukan bahwa cara-cara untuk
mengetahui ontologi tertentu. Di antara cara-cara mengetahui
adalah (1) melalui proses pewahyuan, (2) dengan membaca
wahyu
yang telah dituliskan, (3) dengan menggunakan kelima indera,
(4) dengan menggunakan akal pikiran atau verifikasi antar orang,
dan
(5) dengan menggunakan metode logika (Zais, 1976).
Ketiga, aksiologi adalah cabang filsafat yang menprediksi
masalah nilai (the problems of value). Ia menanyakan apa yang
bagus? Apa yang seharusnya disukai manusia? Apa yang
seharusnya diinginkan? Masalah-masalah aksiologis biasanya
dibagi atas dua kategori utama, yaitu etika dan estetika. Etika
berkenaan dengan konsep benar dan salah, baik dan buruk, yang
menyangkut kelakuan manusia. Pertanyaan sentral yang diajukan
inquiry etis adalah ‘Apa yang seharusnya saya lakukan?’ Estetika
berkenaan dengan kualitas kecantikan dan kesenangan dalam
pengalaman manusia. Pertanyaan sentral yang diajukan estetika
adalah ‘Apa yang seharusnya saya sukai? (Zais, 1976). Kedua
kategori tentang nilai ini tentu saja memiliki hubungan langsung
dengan kurikulum.

3. Organisasi Posisi Filsafat


Ada pembagian pikiran filsafat tiga kali tiga. Masing-masing
dari ketiga posisi filsafat utama (dunia lain, berpusat pada bumi,
berpusat pada manusia) dibagi ke dalam tiga wilayah utama
kajian filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi).
Tabel 1. Organisasi Posisi Filsafat
Bidang kajian
Posisi Ontologi Epitemologi Aksiologi Perwakilan Ajaran
Filsafat Filsafat
Dunia lain - - - -
Berpusat Realitas Pengetahuan Yang pasti baik Realisme rasional,
pada Bumi absolut ada absolut adalah hukum Realisme empiris,
di bumi ini ditemukan alam Positivisme,
(melalui Naturalisme,
indra dan Empirisme logis,
logika) Materialisme
dialektikal
Berpusat Realitas Pengetahuan Yang relatif Pragmatisme,
pada Manusia relatif relatif baik adalah Instrumentalisme,
adalah dikonstruksi konsekuensi Eksperimentalisme,
pengalaman (dari yang disenangi Eksistensialisme,
manusia pengalaman) Fenomenologi

4. Filsafat dan Analisis Bahasa


Suatu gerakan baru dan penting dalam filsafat adalah
analisis bahasa. Ajaran filsafat ini percaya bahwa ide tidak bisa
eksis tanpa bahasa. Analis bahasa menyimpulkan bahwa makna
hanya dibawa oleh dua jenis hubungan subjek-predikat yang
utama, yaitu analitik dan sintetik. Kalimat analitik adalah kalimat
yang predikatnya dikandung dalam makna subjeknya. Ada filosof
yang menganggap pernyataan analitik sebagai kebenaran
mutlak. Pernyataan sintetik adalah pernyataan yang predikatnya
tergantung pada bukti empiris unuk verifikasinya. Argumen
utama analisis bahasa adalah bahwa makna kalimat menyatu
dalam metode verifikasinya. Jadi, kalimat analitik diverifikasi
oleh definisi dan kalimat sintetik diverifikasi oleh observasi
empiris. Analis bahasa mengklaim bahwa keseluruhan literatur
filsafat yang telah berkembang dari awal sejarah yang terekam
tidak masuk akal karena didasarkan pada proposisi yang tidak
bisa diverifikasi (Zais, 1976).

5. Filsafat dan Kurikulum


Setiap masyarakat disatukan oleh keyakinan bersama
atau ‘filsafat’ yang bagi anggotanya berfungsi sebagai panduan
untuk menjalani kehidupan yang baik. Filsafat ini diturunkan
dari generasi ke generasi. Dalam masyarakat primitif, filsafat
diturunkan dari orang tua kepada anaknya dan dalam
masyarakat maju diturunkan melalui sekolah. Karena itu,
kurikulum dirancang untuk tujuan tersebut.
Selain hubungan ‘de facto’ antara filsafat dan kurikulum di
atas, hubungan yang lebih positif adalah bahwa filsafat dan
kurikulum dalam makna yang paling nyata adalah pendekatan
yang berbeda untuk masalah yang sama. Keduanya menyangkut
isu pertanyaan sentral manusia bisa jadi apa? Perbedaannya
adalah bahwa filsafat menanyakan manusia dalam makrokosmos
sedangkan kurikulum menanyakannya dalam mikrokosmos
(Zais, 1976). Jadi, sebelum memulai merumuskan kurikulum, ahli
kurikulum harus lebih dulu berusaha menentukan dan
memahami asumsi dasar dan komitmen filsafatnya sendiri.
Dasar filsafat kurikulum sangat penting karena menentukan
apa yang akan dicapai sekolah, tujuan sekolah, struktur
kurikulum, apa yang dianggap benar dicapai oleh peserta didik.
Segala bentuk kurikulum dengan kandungan yang ada
ditentukan oleh filsafat kurikulum. Filsafat membantu orang–
orang yang berhubungan dengan kurikulum yang didasarkan
bagaimana sekolah dan kelas disusun. Misalnya, bisa menjawab
apa yang akan didirikan oleh sekolah, apa mata pelajaran yang
bernilai diberikan kepada peserta didik, bagaimana peserta didik
belajar dengan materi pelajaran, aktivitas apa yang disiapkan
untuk peserta didik sampai semua kegiatan-kegiatan yang
lainnya.
Pentingnya filsafat itu menentukan keputusan-keputusan
dalam sebuah kurikulum. Apapun keputusan yang diambil
berbasis pada filsafat yang dianutnya. Selanjutnya filsafat itu
penting untuk semua aspek kurikulum. Apakah filsafat itu
dinyatakan secara jelas atau tidak. Filsafat adalah titik awal dalam
memutuskan suatu kurikulum dan menjadi dasar untuk semua
bagian dari suatu kurikulum. Filsafat menjadi kriteria untuk
menentukan tujuan, alat, dan hasil dari kurikulum. Peran filsafat
dalam pengembangan kurikulum adalah 1) memformulasi
tujuan pendidikan; 2) menyeleksi dan
mengorganisasi pengetahuan; 3) memformulasi kegiatan belajar;
dan 4) menjawab masalah ketimpangan antara apa yang dilihat
dengan yang sebenarnya terjadi.

6. Filsafat dan Penyusunan Kurikulum


Filsafat mempengaruhi pandangan kurikulum, dan
seharusnya penyusunan kurikulum itu mesti terbuka terhadap
pandangan- pandangan lain, bukan penyusunan yang bersifat ego
karena ingin menganut pandangan diri sendiri. Fungsi filsafat ada
dua yaitu 1) titik awal dari pengembangan kurikulum; dan 2)
sebagai interdepedensi (menghubungkan antara satu dengan yang
lainnya).
Filsafat menyediakan kerangka kerja atau acuan bagi tujuan
dan metode dari sekolah (menyediakan pengertian umum
tentang kehidupan dan cara berpikir). Filsafat itu tidak hanya
sebagai titik awal tapi juga penting untuk aktivitas kurikulum
dan sekolah adalah laboratorium pendidikan. Filsafat adalah satu
kriteria untuk menyusun pendidikan. Selanjutnya filsafat sosial
dan pendidikan yang dianut sekolah dapat berfungsi sebagai
lapisan pertama untuk mengembangkan program-program
sekolah, karena itu filsafat pendidikan dalam masyarakat
demokrasi akan menekankan secara tegas nilai-nilai demokrasi
di sekolah.

7. Aliran Filsafat Utama


Ada4aliranpadayangmempunyaipengaruhbesarpadapendidikan
yaitu idealisme, realisme, pragmatisme dan eksistensialisme.
a. Idealisme (Plato, David Hume, Hegel, Imam Ghazali)
Tokoh yang menganut paham idealisme adalah Plato. Paham
idealisme menekankan pada moral dan spiritual sebagai ide
utama dalam dunia pendidikan (Kristiawan, 2016).
Kemudian
kebenaran dan nilai-nilai yang sifatnya absolut, universal dan
tak terbatas waktu. Pikiran dan ide sifatnya permanen terus
menerus dan tersusun pada susunan yang sempurna.
Mengetahui adalah memikirkan kembali ide terakhir yang
pernah muncul dalam pikiran. Tugas pendidik adalah
membangkitkan pengetahuan yang dimiliki kepada
kesadaran, karena itu belajar melibatkan, mengingat dan
bekerja dengan ide. Kemudian pendidikan sangat konsen
dengan konsep-konsep materi. Pendidikan yang idealis lebih
menyukai susunan dan pola dari ilmu pengetahuan dalam
kurikulum yang berhubungan dengan ide-ide dan konsep satu
sama lain.
Menurut idealisme Matematika sangat penting karena dia
berhubungan dengan berpikir abstrak. Sejarah dan Bahasa
juga penting karena berhubungan dengan moral dan
kultural. Urutan-urutan yang berpengaruh pada idealisme
ini adalah filsafat, Matematika, Sejarah dan Bahasa, Literatur,
Natural dan Fisikal Sains karena fisikal sains itu nyata dan
bisa dipelajari secara konkrit.
b. Realisme (Aristotles, John Locke, Galileo)
Tokoh-tokoh aliran realisme ini adalah Aristotles, Thomas
Aquinas. John Locke, Harry Broudy, Galileo dan Jhon Wild. Kaum
realisme melihat dunia dari segi objek dan materi (Kristiawan,
2016). Orang sampai ke pengetahuan tentang dunia melalui
sensoris dan alasan-alasannya. Segala sesuatu ditentukan dari
alam dan dia berhubungan dengan hukum alam. Perilaku
manusia merupakan rasional jika dihubungkan dengan hukum
alam.
Kaum realisme menekankan kurikulum berisi mata
pelajaran yang diorganisasi secara terpisah. Menurut
realisme yang sangat penting adalah membaca, menulis, dan
aritmatika. Bagi kaum idealisme, pengetahuan berasal dari
mempelajari ide-
ide rasional dan kebenaran-kebenaran universal ada dalam
seni, sastra, dan bahasa. Tetapi bagi kaum realisme
kebenaran dan kenyataan berasal dari sains dan seni.
c. Pragmatisme (John Dewey)
Pendukung utama pragmatisme adalah Jhon Dewey.
Pragmatisme mnganggap bahwa pengetahuan adalah proses
di mana realita selalu berubah, karena itu belajar terjadi jika
seseorang terlibat dalam problem solving (Kristiawan, 2016).
Menurut pragmatisme, pendidikan adalah proses
meningkatkan, bukan menerima kondisi kemanusiaan.
Karena itu tekanan utama pada problem solving
menggunakan metode ilmiah, tidak mengumpulkan fakta-
fakta atau pandangan–pandangan. Jadi, mata pelajaran itu
adalah interdisipliner. Kaum pragmatis menganggap proses
pembelajaran adalah proses merekonstruksi pengalaman sesuai
dengan metode ilmiah, karena itu belajar harus secara aktif
baik individual maupun secara kelompok dalam menyelesaikan
masalah. Dalam hal ontologi, filsafat berpusat pada manusia dan
dekat dengan bumi. Setidak-tidaknya keduanya berawal dari
titik yang sama. Keduanya setuju bahwa dunia lain itu samar-
samar dan tidak bisa diakses. Menurut pragmatis tidaklah
mungkin menyelesaikan permasalahan realitas objektif dari
seluruh jagad raya ini karena yang kita miliki adalah
pengalaman sensasi, pikiran, perasaan, dan tindakan yang
ada di sekitar kita (Dewey 1962; Dewey 1974).
Walaupun para pragmatis mengusulkan pengalaman sebagai
hal pokok dalam realitas ontologis, mereka tidak begitu
nyaman membicarakan ontologi. Ini mudah dipahami ketika
kita menganggap bahwa pengalaman bukanlah kata benda
substansi, ia bukanlah barang sehingga akan salah bila kita
mencoba mengkonseptualisasikannya ke dalam substansi yang
eksis.
Epistemologi pragmatis dibangun atas konsep transaksi.
Transaksi adalah saling tukar di mana individu melakukan
sesuatu terhadap lingkungan dan lingkungan merespon
dengan melakukan sesuatu kembali untuk individu tersebut.
Transaksi melibatkan fenomena di mana individu bertindak
dan kemudian menjalani konsekuensi dari tindakannya.
Tentu saja transaksi terjadi pada kita semua setiap menit
kehidupan kita. Tetapi transaksi yang menjadi perhatian
utama pragmatis adalah transaksi yang di dalamnya individu
mengasosiasikan tindakan dengan konsekuensi yang
diharapkan. Dalam transaksi seperti inilah intelegensi
beroperasi. Pragmatis mendefinisikan intelegensi sebagai
derajat pemahaman individu pada level yang makin
meningkat tentang hubungan yang ada antara tindakan
mereka dengan respon lingkungan. Bagi pragmatis, hanya
respon yang masuk akallah yang demokratis.
Ada tiga ciri penting versi pengetahuan tentang kebaikan
menurut pragmatisme. Yang pertama, pengetahuan pragmatis
hanya dianggap benar secara tentatif. Yang kedua,
pengetahuan pragmatis umumnya memiliki rujukan sosial.
Yang ketiga, pengetahuan pragmatis tidak diterima atau
ditemukan, tetapi direkonstruksi.
Aplikasi kurikulum kontemporer, gerakan progresif pasca
Perang Dunia I adalah contoh terbaik aplikasi filsafat
pragmatis. Kurikulum tidak berfokus pada sejumlah mata
pelajaran yang akan dipelajari, tetapi pada serangkaian
kegiatan yang dilalui peserta didik kemudian diarahkan
untuk mengkonstruk realitas dunianya sendiri. Proses
adalah yang terpenting dalam kurikulum pragmatis.
Pragmatis percaya bahwa peserta didik perlu diajarkan (1)
proses membuat pengetahuan; dan (2) hakikat tentatif
semua pengetahuan.
Menurutnya, masalah pada kurikulum tradisonal adalah
pengetahuan diajarkan seolah-olah ia pasti, benar, dan final.
Karena mengutamakan proses, tidak mengheranakan bila
kajian-kajian sosial menjadi bagian penting dalam mata
pelajaran dalam kurikulum pragmatisme. Jadi, bagi
pragmatis pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup tetapi
kehidupan itu sendiri.
Walaupun kajian sosial merupakan inti kurikulum, sains
juga menjadi mata pelajaran penting dalam pragmatisme.
Hanya saja pragmatis tidak mengajarkan fakta-fakta ilmu,
mereka lebih menekankan pada proses mengkonstruksi
pengetahuan ilmiah. Seni dan musik juga dimasukkan ke
dalam kurikulum pragmatisme. Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa kurikulum pragmatis berpusat pada
peserta didik, berorientasi pada proses, dan menekankan
kegiatan peserta didik dalam mata pelajaran inti tentang
kajian-kajian sosial. Mata pelajaran bisanya dipilih atas
kriteria (1) kapasitas peserta didik menurunkan makna
dari mata pelajaran; dan
(2) kegunaannya dalam tugas-tugas memecahkan masalah.
Jadi, kurikulum pragmatis adalah kendaraan yang
membantu perkembangan peserta didik dalam intelegensi,
yaitu kapasitas mengkonstruksi pengetahuan tentang
kebaikan untuk membuat keputusan yang bijak dalam hidup.
d. Eksistensialisme (Martin Heideger)
Pragmatisme itu memang berasal dari Amerika tulen,
sedangkan eksistensialisme berasal dari Eropa. Menurut
kaum eksistensialisme, manusia dihadapkan kepada berbagai
pilihan dalam situasi yang dihadapinya. Setiap manusia
menciptakan definisinya sendiri termasuk dalam
melakukannya sesuai dengan pilihannya. Eksistensialisme
lebih menyukai belajar
secara bebas untuk memilih apa yang ingin dipelajarinya dan
apa yang dianggapnya benar. Karena sasaran eksistensialisme
sama dengan pragmatisme yaitu meningkatkan kehidupan
umat manusia, maka pilihan yang diperolehnya sangat
banyak tergantung potensi yang dimiliki. Karena itu,
pembelajaran lebih banyak diskusi atau dialog tentang apa
yang dianggapnya baik.
Signifikansi eksistensialisme bagi kurikulum bersifat
problematik, pertama karena ia sangat baru dalam dunia
filsafat dan kedua karena ia lebih memperhatikan individu
sedangkan pendidikan pada dasarnya adalah proses sosial.
Eksistensialisme tidak memiliki kualifikasi sebagai filsafat,
tetapi hanya sebagai “sikap terhadap kehidupan”.
Banyak filosof selama berabad-abad mempertanyakan
“Apa hakikat manusia?” Bagi eksistensialis, ini merupakan
pertanyaan yang salah untuk ditanyakan. Bila Descartes
mendasarkan filsafatnya pada premis ‘Saya berpikir, maka
saya ada” tetapi eksistensialis memulai dengan premis “Saya
ada, maka saya berpikir”. Singkatnya, bagi eksistensialis,
eksistensi mendahului esensi. Menurut eksistensialisme,
manusia tidak bisa membebaskan dirinya dari
tanggungjawab untuk memilih dan mendefinisikan dirinya
sendiri.
Ontologi eksistensialis menempatkan realitas tertinggi “di
dalam” diri individu setiap manusia. Sebagaimana pragmatisme,
eksistensialisme secara jelas menolak konsep filsafat tradisional
bahwa kosmos adalah realitas akhir yang sudah selesai.
Eksistensialisme memandang manusia dan dunia sebagai
perusahaan yang terbuka. Selanjutnya, filsafat eksistensialisme
juga menolak otoritarianisme yang dianut filsafat yang
berpusat pada bumi dan filsafat duniawi lain. Ia
menempatkan kekuatan membuat keputusan langsung di
tangan setiap individu.
Eksistensialisme meyakini objektif dan subjektif. Jika
pengetahuan ilmiah objektif bersifat publik dan dapat dipahami
oleh siapa saja yang memiliki kualifikasi yang dibutuhkan,
pengetahuan subjektif bersifat unik bagi individu yang
mengetahui.
Aplikasi kurikulum kontemporer, mini kursus, latihan
sensitivitas, dan meditasi transendental adalah contoh usaha
reformasi kurikulum sekolah negeri kontemporer yang
memiliki nada eksistensial. Selanjutnya, kecenderungan
eksistensial terbukti dalam kurikulum gerakan seperti
“universitas terbuka”, “pendidikan terbuka” dan “kelas
terbuka”. Karena eksistensialisme adalah filsafat diri, kita
tidak perlu heran menemui kurikulumnya yang difokuskan
pada individu, pengetahuan dirinya, dan pilihan dirinya.
Tentu saja mata pelajaran yang cocok adalah seni. Jadi,
melukis, musik, membuat patung, sastra, puisi, tari, drama
dan sejenisnya diberi posisi sentral dalam kurikulum
eksistensialis karena semuanya membantu menumbuhkan
instrospeksi manusia dan ekspresi kesadaran diri yang
paling dalam. Semua mata pelajaran ini juga mendorong
pembuatan pilihan berdasarkan pertimbangan nilai dan
makna pribadi. Kurikulum tidak berkenaan dengan kajian
karya besar seni tetapi dengan kreasi peserta didik sendiri.
Kurikulum eksistensialis memiliki signfikansi khusus di
sekolah menengah karena pada level ini peserta didik
mempelajari siapa dirinya dan apa yang benar-benar ia
rasakan. Terlihat bahwa memilih dan tanggung jawab atas
pilihan merupakan aspek-aspek penting dalam filsafat
eksistensialisme.
e. Perenialisme (Robert Myrad Hutcin)
Perenialisme, jawaban terhadap pertanyaan pendidikan
merujuk pada satu pertanyaan yaitu apakah hakikat
manusia?
Perenialisme menganggap bahwa hakikat manusia adalah
konstan atau tetap. Manusia mempunyai kemampuan
memahami dan mengerti kebenaran-kebenaran universal
dari alam. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan
rasionalitas manusia dan membuka kebenaran-kebenaran
universal dengan cara melatih intelektual.
Kurikulum perenial adalah subject center (berpusat pada
subjek) berasal dari disiplin-disiplin ilmu apa yang disebut
dengan liberal dengan tekanan pada Bahasa, Sastra,
Matematika, Arts dan Sains. Pendidik dipandang orang yang
ahli di bidangnya, karena itu harus menguasai bidangnya
atau disiplin ilmunya, dan membimbing peserta didik untuk
berdiskusi. Mengajar didasarkan terutama sekali pada
metode Socrates yaitu penjelasan secara lisan, perkuliahan.
Minat peserta didik tidak relevan untuk pengembangan
kurikulum karena peserta didik tidak punya pertimbangan
untuk menentukan pengetahuan dan nilai-nilai apa yang
terbaik bagi mereka. Nilai-nilai terbaik yang akan
dipelajarinya. Oleh karena itu dalam kurikulum ini sangat
sedikit yang sifatnya elektif (semua sudah ditentukan/tidak
ada pilihan).
f. Essensialisme (Thomas Brigg, William Bagley)
Pencetus essensialisme adalah William Bagley. Essensialisme
lebih konsen pada isu-isu kontemporer. Menurut esensialis
kurikulum sekolah harus diarahkan kepada sifatnya yang
esensial saja, Sains, Sejarah, Sastra, Matematika dan Seni.
Sedangkan untuk sekolah menengah, Bahasa Inggris,
Matematika, Sains, Sejarah dan Bahasa Asing. Sebagaimana
perenial, essensial yang menolak subjek-subjek yang lain
seperti Art, Fisika, Vokasional. Sebagaimana perennial,
esssensial juga menganggap setiap peserta didik apapun
kemampuannya harus mengikuti
kurikulum yang sama, tetapi dalam tingkat dan jumlah yang
disesuaikan dengan kemampuannya. Peran pendidik adalah
sebagai model dan menguasai bidang ilmunya secara maksimal.
Pendidik memegang kendali penuh atas kelasnya.
Essensialis sekarang terefleksi dalam tuntutan untuk menaikkan
standar akademis dan kemampuan berpikir peserta didik.
Sesuatu yang paling perlu dikuasai yang esensial mesti
ditingkatkan, sedangkan subjek-subjek yang lain diabaikan.
Misalnya bagi peserta didik yang nilai akademisnya tinggi
diberi kelas akselerasi.
g. Progressivisme (George Axtele, William O’ Stanley)
Progressivisme dikembangkan dari pragmatisme. Menurut
paham ini keterampilan dan alat untuk belajar meliputi
metode problem solving dan scientific inquiry. Pengalaman
belajar harus meliputi perilaku kerjasama dan disiplin diri.
Keduanya dianggap penting untuk kehidupan yang demokratis.
Bagi paham progresif, kurikulum interdisipliner dan disiplin
keilmuan (materi pelajaran) adalah bagian dari proses
belajar bukan sumber ilmu pengetahuan. Pendidik berfungsi
sebagai pembimbing peserta didik dalam pemecahan
masalah dan projek saintifik. Pendidik dan peserta didik
merencanakan aktifitas bersama-sama. Progresif sifatnya
berpusat pada anak dan pendidikan progresif berpusat kepada
anak sebagai peserta didik tidak sebagai subjek didik.
Progresif lebih menekankan aktifitas dan pengalaman
daripada verbal, dan menekankan pembelajaran dengan cara
bekerja sama daripada kompetisi.
Saat ini progresif terlihat dalam beberapa gerakan seperti
relevan kurikulum, humanistic, dan reformasi sekolah yang
radikal. Relevan kurikulum maksudnya peserta didik harus
dimotivasi dan ditarik dalam belajar dalam bentuk tugas
dan kelas harus diberi pengalaman-pengalaman yang nyata.
Humanistik kurikulum menekankan pada hasil belajar
afektif yang berakar pada Abraham Moslow dan Ragger
bahwa tujuan utama adalah untuk menciptakan orang-orang
yang mampu beraktualisasi diri. Reformasi sekolah yang
radikal, mengubah suasana sekolah dari suasana yang
eksis saat ini di mana pendidik berperan sebagai penjaga
penjara, sekolah sebagai penjara, tidak ada kebebasan untuk
berekspresi diubah ke situasi sekolah yang memiliki
kebebasan yang besar.
h. Rekonstruksionisme (Teodore Branell, George Count)
Rekonstruksionisme tokohnya adalah Teodore Branell.
Rekonstruksionisme menganggap peserta didik dan pendidik
tidak hanya mengambil posisi tertentu tetapi juga mesti
bertindak sebagai agen perubahan untuk memperbaharui
masyarakat. Netralitas dalam kelas tidak perlu untuk proses
demokrasi, tetapi pendidik dan peserta didik harus
mengambil sikap untuk memberikan alasan-alasan
berpartisipasi dalam tanggungjawab sosial. Dalam
kurikulum, pendidikan harus sesuai dengan ekonomi politik
yang baru. Bagi rekonstruksionis analisis, interpretasi dan
evaluasi dari masalah tidak cukup, komitmen dan aksi dari
peserta didik dan pendidik diperlukan karena masyarakat
selalu berubah maka kurikulum juga berubah. Peserta didik
dan pendidik bertindak sebagai agen perubahan. Kurikulum
yang didasarkan pada isu-isu sosial dan pelayanan sosial
dianggap ideal. Masalah-masalah yang terjadi di masyarakat
dimasukan ke dalam kurikulum, perubahan dalam
masyarakat ditangani oleh kurikulum termasuk kesempatan
untuk mendapat pendidikan.
B. Bagaimana Landasan Historis Kurikulum?
Landasan historis berkenaan dengan kenyataan bahwa
kurikulum merupakan suatu bidang studi yang relatif baru,
sehingga pengetahuan tentang bagaimana bidang ini tumbuh dan
berkembang pesat perlu dijadikan landasan kurikulum, supaya
kita dapat memahami disain kurikulum apa saja yang sudah
terbukti di masa lalu kurang berhasil dan apa saja yang ternyata
berhasil dimasa lalu. Sehingga pengembang kurikulum saat ini
dapat memperoleh masukan yang bermanfaat bagi
pengembangan kurikulum sekarang dan yang akan datang.
Landasan historis berkaitan dengan informasi program-program
sekolah pada waktu lampau yang masih hidup sampai sekarang,
atau yang pengaruhnya masih besar terhadap kurikulum saat ini.
Oleh karena itu, kurikulum selalu perlu disesuaikan dengan
kebutuhan- kebutuhan perkembangan zaman, maka
perkembangan kurikulum pada suatu saat tertentu diadakan
untuk memenuhi tuntutan dan perkembangan pada waktu
tertentu. Kurikulum yamng dikembangkan saat ini perlu
mempertimbangkan apa yang telah dilakukan dan apa yang telah
dicapai melalui kurikulum sebelumnya (Ansyar, 1989;
Sukmadinata, 1997).
Historis berbicara tentang “Apa dan Mengapa”, bicara
tentang perkembangan yaitu dengan menjadi berikut ini.
3R : Reading, Writing, dan Aritmathic
4R : Komputer dan Teknologi
5R : Bahasa Asing

Jadi, kurikulum adalah kebutuhan (needs) ada secara


internal dan eksternal. Zaman Kurikulum antara lain sebagai
berikut:
1. Zaman Kolonial : masih banyak tau tentang agama
2. Zaman Nasional : perkembangan itu banyak menerima dari
luar yang mengembangkan konsep baru
3. Universal : pendidik untuk semua

Karakteristik sejarah dalam sebuah kurikulum memberikan


prasangka yang tidak baik terhadap perencanaan dalam sebuah
kurikulum, karena itu kurikulum berharap adannya perubahan yang
baik, sehingga tidak ada rintangan yang berat dalam tradisi
selanjutnya, salah satu yang mempengaruhi perencaan kurikulum
adalah kerasnya aturan dalam sebuah perencanaan kurikulum (Zais,
1976).

C. Bagaimana Landasan Psikologis Kurikulum?


Landasan psikologis berkaitan dengan hakikat peserta didik
sebagai subjek pendidikan dan pembelajaran sehingga
pengetahuan tentang hal-hal apa saja yang memfasilitasi mereka
belajar dan yang dapat menghambat mereka belajar dapat
dipakai sebagai bahan penting dalam menyusun dan
mengembangkan kurikulum dan pembelajaran. Landasan
psikologis berkaitan dengan cara peserta didik belajar dan faktor
apa saja yang dapat menghambat kemajuan belajar pesrta didik.
Selain itu, psikologi memberikan landasan berfikir tentang
hakikat proses pembelajaran dan tingkat-tingkat pengembangan
peserta didik. Kurikulum disusun agar peserta didik dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik. Kurikulum yang disusun
dengan memperhatikan teori-teori dan prinsip-prinsip belajar
sesuai dengan tingkat perkembangan psikologis pesrta didik
yang kemudian akan menghasilkan kurikulum yang efektif.
Landasan psikologis kurikulum, kebutuhan individu menurut
Onstein & Hunkins (1988) terkait hal-hal berikut ini.
1. Bagaimana orang belajar;
2. Psikologi berkontribusi terhadap kurikulum;
3. Psikologi bermanfaat sebagai dasar memahami proses
belajar mengajar;
4. Kenapa peserta didik merespons layaknya yang diharapkan
pendidik, dan bagaimana seharusnya kurikulum disusun
untuk meningkatkan pembelajaran,
5. Mengajar dan belajar saling berkaitan, maka psikologi
sebagai perekat kekurangannya, terdapat prinsip-prinsip
dan simbol- simbol tentang perilaku pendidik- peserta didik
dalam konteks kurikulum.

Kurikulum merupakan pedoman bagi pendidik dalam


mengantar anak didiknya sesuai dengan harapan dan tujuan
pendidikan. Secara psikologis anak didik memiliki keunikan dan
perbedaan-perbedaan baik perbedaan minat, bakat, maupun
potensi sesuai dengan tahapan perkembangannya.

1. Psikologis Perkembangan anak


Pentingnya pemahaman tentang masa perkembangan anak
disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, setiap anak didik
memiliki tahapan atau masa perkembangan tertentu. Kedua,
anak didik yang sedang pada masa perkembangan merupakan
periode yang sangat menentukan untuk keberhasilan dan
kesuksesan hidup mereka. Ketiga, pemahaman akan
perkembangan anak, akan memudahkan dalam melaksanakan
tugas-tugas pendidikan, baik yang menyangkut proses
pemberian bantuan memecahkan berbagai masalah yang
dihadapi, maupun dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang
tidak diharapkan.
2. Psikologi Belajar
Pengembangan kurikulum tidak akan terlepas dari teori
belajar. Sebab pada dasarnya kurikulum disusun untuk
membelajarkan peserta didik. Menurut aliaran behavioristik,
belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara
kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecendrungan untuk
bertindak atau hubungan antara stimulus dan Respons (S-R).
Oleh karena itulah teori ini juga dinamakan teori Stimulus-
Respons. Dengan demikian, menurut aliran behavioristik proses
belajar sangat tergantung pada adanya rangsangan atau stimulus
yang muncul dari luar diri atau yang kita kenal dengan faktor
lingkungan.
Psikologi membicarakan bagaimana orang belajar dan
memberikan dasar untuk memahami proses belajar dan
mengajar. Pertanyaan lain yang menarik ahli psikologi dan ahli
kurikulum adalah bagaimana seharusnya kurikulum disusun
untuk meningkatkan kualitas belajar dan mengajar? Bagi John
Dewey, psikologi merupakan dasar untuk memahami bagaimana
individu belajar berinteraksi dengan objek dan orang dalam
lingkungannya. Proses tersebut berlangsung selama hidup, dan
kualitas interaksi menentukan banyaknya jenis belajar. Ralph
Tyler menganggap psikologi sebagai penguat untuk membantu
menentukan apa saja tujuan kita dan bagaimana kita belajar.
Jerome Bruner (1960) menghubungkan cara-cara berpikir yang
mendasari metode yang digunakan dalam berbagai bidang ilmu,
terdiri dari disiplin- disiplin ilmu khusus. Tujuan memanfaatkan
metode ini ialah untuk merumuskan konsep, prinsip, dan
generalisasi yang membentuk struktur disiplin ilmu. Singkatnya,
psikologi adalah unsur yang menyatukan proses belajar,
membentuk dasar untuk metode, materi, dan aktivitas belajar,
dan berfungsi sebagai daya pendorong untuk membuat
keputusan kurikulum. Menurut Sejarah, teori
belajar yang utama diklasifikasikan atas dua kelompok yaitu 1)
teori behaviorisme; dan 2) teori kognitif.
a. Behaviorisme
Para behaviorisme yang mewakili psikologi tradisional,
berakar pada spekulasi filosofis tentang hakikat belajar (ide-
ide Aristoteles, Descartes, Locke, dan Rousseau). Mereka
menekankan pada kondisi prilaku dan mengubah lingkungan
untuk memancing respon yang diharapkan dari pelajar.
Teori ini mendominasi psikologi abad ke 20, kesimpulan
teori behaviorisme adalah 1) merupakan aliran tertua; 2)
dapat merubah tingkahlaku; 3) manusia akan berubah
apabila ada orang yang mengkondidikannya
(mengajarkannya), lebih menekankan pada tingkah laku
peserta didik, karena peserta didik tidak mau belajar jika
tidak diajarkan. Menurut behaviorisme proses pembelajaran
terbagi menjadi empat kategori di antaranya sebagai berikut.

1) Koneksionisme
Seorang Amerika (Edward Thondike) melakukan
percobaan tentang ide Stimulus-Respon (pengkondisian
klasik). Di Harvard, Thorndike melakukan percobaanya
dengan binatang dan menghasilkan hubungan
yang komplek dari perilaku binatang tersebut. Ia
mendefinisikan belajar sebagai pembentukan kebiasaan
dan mengajar sebagai pengatur kelas untuk
meningkatkan hubungan yang diharapkan sebagai
ikatan. Thorndike mengembangkan tiga hukum belajar
yang utama yaitu hukum kesiapan, ketika satuan kondisi
siap bertindak, maka bertindak akan menyenangkan dan
tidak bertindak menjadi menyebalkan. Maksudnya,
sebelum belajar harus
siap mengingat antara materi sebelumnya dengan
materi sekarang; hukum Latihan, diperkuat sebanding
dengan banyak kalinya perulangan, sebanding dengan
intensitas dan durasinya. Maksudnya, peserta didik
belajar melalui latihan dan mendapat hasil belajar
melalui latihan; hukum pengaruh dan respon, yang
disertai kepuasan untuk memperkuat hubungan
sebaliknya respon yang disertai ketidaksenangan akan
melemahkan koneksi. Maksudnya, hsil belajar akan
mendapatkan reward (penghargaan) atau punishment
(hukuman).
Hukum Kesiapan menyatakan bahwa bila susunan
syaraf sudah siap untuk bertindak, maka ia akan
mengarah pada keadaan menyenangkan, ini disalah
artikan oleh sebagian pendidik sebagai kesiapan
mengikuti pendidikan. Hukum Latihan memberikan
pembenaran pada latihan, pengulangan, tinjauan dan
sekarang diterapkan pada pendekatan pembelajaran
keterampilan dasar dan modifikasi prilaku. Hukum
effect dari Thorndike, membenarkan teori penghargaan
dan hukuman yang telah diterapkan di sekolah berabad-
abad sebelumnya. Model prilaku operant (instrumen)
menurut B.F. Skinner adalah pembelajaran terprogram,
dan ide-ide baru yang didasarkan pada pengalaman
yang menyenangkan serta penguatan dalam bentuk
umpan balik. Thorndike meyakini bahwa prilaku lebih
dipengaruhi oleh kondisi belajar; sikap dan kemampuan
pelajar bisa berubah (meningkat) seiring waktu melalui
stimulus (ransangan) yang tepat; pengalaman belajar
dapat dirancang dan dikontrol; dan perlu memilih
stimulus yang tepat atau pengalaman belajar yang
terintegrasi dan konsisten serta
saling menguatkan. Menurut Thorndike kemampuan
meningkatkan pikiran sama bagi semua orang, dan
belajar adalah perkara menghubungkan yang baru
dengan yang lama. Jadi, psikologi disiplin mental
mendapat tantangan dari teori ini dan tidak ada lagi
hirarki mata pelajaran.
Walaupun teori koneksi tidak lagi sepopuler dulu,
praktik- praktik yang terkait dengannya tetap berlanjut
dengan label baru. Model belajar Thorndike memiliki
pengaruh langsung sampai saat ini, dan banyak
asumsinya yang terkait dengan belajar masih terbukti
benar.

2) Pengaruh Thorndike terhadap Tyler, Taba, dan Bruner


Bertepatan dengan teori-teori Thorndike, Tyler dan
Taba menyatakan bahwa belajar memiliki aplikasi dan
karenanya dapat ditransfer ke situasi lain. Ini berarti
bahwa belajar yang dihapal tanpa berfikir tidak perlu.
Menurut Thorndike, cara belajar terbaik adalah dengan
metode langsung, yang bertepatan dengan pendekatan
logis dan behavioris yang diusulkan Tyler dan Taba.
Tetapi, baik Taba maupun Tyler tidak sependapat
dengan pendapat Thorndike tentang hubungan stimulus
dan respon. Mereka malah memberikan pandangan
umum tentang belajar, yang terkait dengan pendekatan
kognitif. Sementara Bobbit dan Charters sependapat
dengan Thorndike, Tyler dan Taba lebih cenderung pada
pendekatan Dewey dan Judd bahwa belajar didasarkan
atas generalisasi dan pengajaran merupakan prinsip
penting untuk menjelaskan fenomena konkrit.
Meskipun begitu Tyler dan Taba memberikan
pengakuan pada Thorndike di dalam teks-teks klasik
mereka. Tyler
membahas prinsip belajar terorganisir dan
koneksionisme yang sejalan dengan teori transfer
Torndike. Taba malah membahas ‘transfer belajar” serta
pengaruh Thorndike dan ahli lain terhadap teori belajar
ini. Seperti Thorndike, Taba berpendapat bahwa praktik
saja tidak memperkuat ingatan atau transfer belajar.
“Karena tidak ada satu program yang dapat mengajar
segala sesuatu, maka tugas semua pendidik adalah
mentransfer yang maksimal dengan cara
mengembangkan metode atau muatan yang mengarah
pada generalisasi dan yang memiliki nilai transfer luas,
ini mengarah pada pendapat Taba yang mendukung
teknik pemecahan masalah dan penemuan.
Walaupun dipopulerkan oleh Bruner (1960), gagasan
“belajar bagaimana belajar” dan “penemuan” berakar
pada ide Thorndike. Thorndike, dan kemudian Bruner
(1960), menganggap bahwa belajar yang melibatkan
susunan pengalaman yang bermakna dapat
ditransferkan lebih baik daripada penghapalan. Semakin
abstrak suatu generalisasi dan prinsip, semakin mudah
ditransfer. Ini sejalan dengan ide Dewey tentang
pemikiran reflektif (pemikiran yang mencerminkan) dan
langkah-langkah yang dia susun untuk pemecahan
masalah.
Bagi Bruner (1960), mempelajari struktur disiplin ilmu
memberikan dasar untuk transfer belajar yang spesifik.
Perbedaan Thorndike dengan Bruner adalah bahwa bagi
Thorndike semua pelajaran sama pentingnya,
sedangkan menurut Bruner (1960) Sains dan
Matematika lebih penting untuk mengajarkan struktur.
Intinya bagaimana pengajar mau mengajak peserta didik
untuk belajar.
3) Pengkondisian Klasik
Teori pengkondisian klasik menekankan bahwa belajar
dapat memancing respon dibandingkan dengan keadaan
sebelumnya yang netral dan kurang ransangan.
Eksperimen pengkondisian klasik dilakukan oleh Ivan
Pavlov terhadap seekor anjing yang dibunyikan bel setiap
akan diberi makan sehingga pada akhirnya, anjing
tersebut mengasosiasikan bel dengan makanan.
Eksperimen ini memberikan banyak implikasi pada
pembelajaran manusia. James Watson menggunakan
penelitian Pavlov ini sebagai pondasi untuk membangun
ilmu psikologi baru berdasarkan behaviorisme. Ilmu baru
tersebut menekankan bahwa belajar didasarkan atas ilmu
prilaku yang bisa diukur atau diobseravasi, bukan atas
proses kognitif. Bagi Watson dan yang lainnya yang
menjadi kunci belajar adalah mengkondisikan anak seawal
mungkin.

4) Pengkondisian Operant (Instrumental)


B.F. Skinner telah berusaha lebih banyak dari pada
behavioris lain untuk menerapkan teorinya pada situasi
di kelas. Atas dasar percobaannya dengan seekor
merpati, Skinner membedakan dua jenis respon, respon
yang diidentifikaskan dengan suatu stimulus yang jelas
(elicited) dan respon yang kelihatannya tidak terkait
dengan stimulus yang jelas (emitted). Bila responnya
dipancing, maka prilaku disebut respondent, bila tidak
dipancing, prilaku itu disebut operant, artinya tidak ada
stimulus yang menjelaskan respon tersebut. Penguatan
dapat dikelompokkan atas penguatan primer, sekunder,
atau umum. Penguatan primer berlaku pada stimulus
yang membantu memuaskan kebutuhan dasar seperti
makanan, air dan seks. Penguatan sekunder tidak
memenuhi kebutuhan pokok tetapi tetap penting,
seperti mendapat pengakuan dari pendidik dan teman,
mendapat hadiah juara sekolah, dan memperoleh uang,
dan bisa dikonversikan menjadi penguatan primer.
Penguatan umum adalah penguatan penyamarataan.
Prilaku operant akan terhenti bila tidak diikuti oleh
penguatan. Skinner membedakan penguatan atas
penguatan positif dan negatif. Penguatan positif adalah
munculnya stimulus yang menguatkan, dan penguatan
negatif adalah penarikan atau penghilangan stimulus.
Walaupun Skinner percaya pada kedua penguatan, dia
menolak adanya hukuman karena akan merusak
pembelajaran.

a) Mendapatkan Operant Baru: Perubahan Prilaku


Pendekatan Skinner tentang penguatan selektif
memiliki daya tarik yang luas bagi para pendidik
karena mendemonstrasikan pada proses
pembelajaran. Suatu prinsip penting dalam
penguatan belajar adalah variabilitas tingkah laku
yang memungkinkan perubahan. Individu dapat
memperoleh operant baru, maksudnya prilaku bisa
dibentuk atau diubah, kemudian konsep-konsep
yang rumit bisa diajarkan kepada peserta didik
dengan mudah. Perilaku baru dapat dibentuk
melalui kombinasi penguatan respon, dan ini
disebut sebagian orang dengan modifikasi prilaku.
Pendekatan modifikasi prilaku ini digunakan
bersamaan dengan teknik pembelajaran individual
dan teknik pengelolaan kelas. Dengan pendekatan
ini, kurikulum dapat didefinisikan dengan definisi
Popham dan Baker, yaitu “semua hasil yang
direncanakan
merupakan tanggung jawab sekolah” dan
“konsekuensi dari pembelajaran yang diharapkan”.

b) Program Pembelajaran
Belajar terprogram memberikan pendekatan langkah
demi langkah terhadap belajar dengan penguatan
langsung, sering, dan teratur, yang mendorong
stimulus-respon berkelanjutan secara efektif.
b. Behaviorisme dan Kurikulum
Behaviorisme memiliki dampak besar pada pendidikan.
Pendidik yang menganut paham behaviorisme dan terkait
dengan kurikulum menggunakan prinsip-prinsip prilaku
untuk membimbing penciptaan program baru, seperti
membangun pengalaman positif yang dimiliki peserta didik
ketika memperkenalkan topik atau kegiatan baru. Para
behavioris percaya bahwa kurikulum harus disusun
sehingga peserta didik mengalami kesuksesan dalam
menguasai mata pelajaran dan ini sangat preskriptif
(menentukan) dan diagnostik (mempunyai dasar) dalam
pendekatan serta percaya pada metode belajar terstruktur
tahap demi tahap. Untuk peserta didik yang mengalami
kesulitan belajar, kurikulum dan pembelajaran dipecah-
pecah menjadi satuan- satuan kecil dengan tugas yang sesuai
dengan perilaku yang diharapkan. Teori perilaku ini terus
hidup dan berhubungan dengan banyak bagian dari praktik
bidang pendidikan dan berdampak pada kelas dan sekolah.
Sebagian besar aplikasi teori psikologi sekarang ini yang
berlangsung di sekolah menggunakan pendekatan behavior.
Konsep dari sasaran tingkah laku dan perubahan berada
pada semua tingkat pendidikan.
Behaviorisme terus hidup dan berkembang sehingga sekarang
terbukti dalam teori, prinsip, atau kecendrungan yang terkait
dengan 1) tujuan prilaku dalam menulis, menilai, belajar, dan
evaluasi; 2) program latihan ketrampilan dasar dalam bahasa
dan membaca; 3) pendidikan individual; 4) rancangan
pembelajaran atau model rancangan sistem; 5) program
pelatihan pendidik; 6) teknologi pendidikan, dan 7) program
perencanaan dan evaluasi. Pendekatan prilaku dan program-
program behaviorisme adalah
1) mengatasi permasalahan pembelajaran dan meningkatkan
kemajuan pembelajaran; 2) sasaran pengajaran untuk jangka
panjang maupun jangka menengah dirumuskan dengan baik; 3)
menyesuaikan materi pengajaran dan media pengajaran yang
singkron dengan peserta didik; 4) penentuan tugas, aktivitas
langkah demi langkah dan pemberian penguatan positif; dan
5) mendiagnosa kembali kebutuhan pelajar, sasaran, aktifitas,
tugas dan perintah. Empat prinsip prilaku antara laian 1) waktu
untuk mengerjakan tugas tergantung pada kemampuan
pembelajar untuk menguasai belajar; 2) pengulangan adalah
praktik dan latihan dihubungkan dengan pemancingan respon
yang benar; 3) penguatan adalah belajar diperkuat bila
didasarkan pada pelajaran sebelumnya; dan 4) pembentukan
yaitu prilaku tentang belajar lebih mudah diperoleh melalui
aproksimasi suksesif (serangkaian respon yang makin
mendekati prilaku yang diharapkan).
c. Perkembangan Pengetahuan (Kognitif)
Sekarang kebanyakan ahli psikologi mengelompokkan
pertumbuhan dan perkembangan manusia menjadi
pengetahuan, sosial, psikologis, dan fisik dan mereka
percaya bahwa belajar di sekolah merupakan bentuk dari
pengetahuan. Pertumbuhan dan perkembangannya mengacu
pada perubahan dalam struktur dan fungsi karakteristik
manusia. Perubahan adalah hasil interaksi antara potensi
bawaan dengan lingkungan.

1) Tahap-tahap Perkembangan Pengetahuan


Teori kognitif adalah pertumbuhan dan perkembangan
pengetahuan terjadi dalam tahapan yang progresif.
Pandangan yang paling komprehensif tentang teori ini
dikemukakan oleh Jean Piaget, menjelaskan
perkembangan kognitif dalam tahap-tahap dari lahir
sampai dewasa antara lain a) tahap tindakan rangsangan
(dari lahir sampai usia 2 tahun), anak melangkah maju
dari suatu lingkungan kepada pola tindakan yang
komplek lingkungannya; b) tahap pra tindakan (usia 2 –
7 tahun), objek dan kejadian mulai dipahami sebagai
sebuah simbol; c) tahap tindakan nyata (usia 7 – 11
tahun), anak mulai mengorganisir data kedalam
hubungan yang logis dan menggunakan data tersebut
untuk memecahkan masalah; dan d) tahap tindakan
formal (usia 11 tahun ke atas), ditandai dengan
pengenbangan langkah formal dan abstrak.
Pengalaman lingkungan adalah kunci dari teori Piaget
dan Dewey. Bagi Piaget, assimilasi (perpaduan)
merupakan pengalaman baru ke dalam pengalaman
yang ada, penyesuaian struktur kognitif anak sebagai
respon terhadap lingkungannya, dan equilibrium
(keseimbangan) adalah proses mencapai keseimbangan
antara hal-hal yang sudah dipahami dengan yang akan
dipahami. Ini bertepatan dengan konsepsi situasi dan
interaksi Dewey. Bagi Dewey, situasi mewakili
pengalaman dari lingkungan, sama dengan asimiliasi dan
interaksi berkaitan dengan pengalaman yang terjadi
antara anak dan lingkungannya,
termasuk kapasitasnya untuk membentuk makna dan
pemahaman. Kontinuitas mengacu pada belajar situasi
dan interaksi yang mengikuti, sama dengan ekuilibrasi.

2) Pengaruh Piaget pada Tyler, Taba, dan Bruner


Teori lingkungan Piaget (dan teori pengalaman
pendidikan Dewey) membentuk dasar lima prinsip
belajar Tyler a) peserta didik harus memiliki
pengalaman belajar yang memberikan kesempatan
untuk praktik; b) kepuasan; c) pengalaman belajar harus
cocok dengan kemampuan peserta didik saat itu; d)
Banyak pengalaman dapat digunakan untuk mencapai
tujuan pendidikan yang sama; dan e) Pengalaman
belajar yang sama biasanya akan memberi banyak
luaran.
Tiga proses kognitif Piaget (dan tiga pengalaman
pendidikan Dewey) juga menjadi dasar tiga metode
mengatur pengalaman belajar yang dikemukakan oleh
Tyler a) kurikulum harus memiliki interaksi vertikal
artinya, keterampilan dan konsep harus terjadi
berulang- ulang dan harus ada kesempatan yang
berkelanjutan untuk mempraktikkan ketrampilan
tersebut; b) kurikulum harus mencakup perkembangan
pemahaman yang progresif dan bahwa setiap
pengalaman berikutnya dibangun atas pengalaman
sebelumnya; c) integrasi yang mengacu pada hubungan
horizontal, pengalaman- pengalaman kurikulum dan
susunan pengalaman harus “disatukan” dalam kaitannya
dengan unsur lain dalam kurikulum yang sedang
diajarkan dan mata pelajaran tidak boleh dipisahkan
dari mata pelajaran lain dalam pengajaran.
Taba tidak hanya mereview empat tahap perkembangan
kognitif yang dikemukakan Piaget dan implikasinya
pada perkembangan mental dan intelegensi, tetapi
juga menyimpulkan bahwa pengalaman belajar harus
dirancang agar sesuai dengan penilaian tingkat usia
kapan proses berpikir tertentu muncul. Idenya adalah
mentransformasikan konsep dan mata pelajaran
yang rumit ke dalam operasi mental yang cocok bagi
pembelajar dan mengembangkan kurikulum yang
menyediakan tingkat berpikir yang lebih formal dan
lebih mendalam. Membangun kurikulum yang seperti itu
akan melibatkan pemahaman yang lebih baik tentang
hirarki (tahap-tahap) pembentukan konsep dan operasi
mental yang dikemukakan Piaget dan tentang urutan
dalam pengembangan pikiran.
Begitu juga, Taba mencatat proses kognitif Piaget,
asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi dalam diskusinya
tentang generalisasi dan pemikiran abstrak. Taba peduli
dengan penyusunan kurikulum dan pengajaran
pengalaman baru sehingga dapat dibandingkan dengan
pengalaman lama (asimilasi), beralih dari pengalaman
kongkrit ke konsep dan prinsip (akomodasi), dan
mengelompokkan serta memahami hubungan yang baru
(ekuilibrasi). Dasar dari apa yang Taba sebut “strategi
kurikulum untuk belajar produktif” berakar dari sintesis
pengalaman ke dalam bentuk dan tingkat yang lebih
kompleks yang disampaikan Piaget.
Bagi Bruner, belajar adalah segala sesuatu berhubungan
dengan struktur pengetahuan. Belajar yang demikian
didasarkan atas ide Piaget tentang perpaduan
pengetahuan dan peralatan. Struktur pengetahuan
tersebut memberikan dasar untuk transfer belajar.
Equilibrasi Piaget membentuk dasar gagasan Bruner
tentang “kurikulum spiral”. Belajar sekarang merupakan
dasar untuk belajar selanjutnya, belajar harus berlanjut,
mata pelajaran harus saling berhubungan dan dibangun
atas suatu pondasi. Bruner juga dipengaruhi oleh Dewey
yang menggunakan istilah kontinuitas dalam belajar
untuk menjelaskan bahwa pelajar menjadi instrumen
pemahaman situasi berikutnya.
Bruner menganggap bahwa tindakan belajar terdiri atas
tiga proses yang berkaitan, sama dengan proses kognitif
Piaget a) akuisisi adalah memahami informasi baru, ini
biasanya berhubungan dengan asimilasi; b)
transformasi ialah kapasitas individu untuk memproses
informasi baru. Proses ini tumpang tindih dengan
akomodasi; dan c) evaluasi ialah penentuan apakah
informasi telah diproses. Ini berhubungan dengan
equilibrasi.
Yang penting bagi pendidikan ialah bahwa pendidik
(serta ahli psikologi pendidikan dan ahli kurikulum)
harus menentukan penekanan yang tepat yang
diberikan pada tahap pengembangan kognitif dan
proses berpikir ala Piaget. Proses kognitif Piaget
tumpang tindih dengan metode Tyler, strategi Taba, dan
proses Bruner. Kemampuan mencocokkan pengalaman
belajar yang tepat dengan keempat tahapan
pengembangan Piaget dan ketiga proses berpikir sangat
penting bagi pendidik SD karena selama perode SD inilah
anak-anak beralih dari tahap dua ke tahap tiga dan tahap
empat.
d. Tingkatan Berpikir
Berpikir bisa dikelompokkan dalam beberapa cara. Salah
satu caranya ialah dengan tingkat-tingkat yang bersifat
teoritis dan development. Robert Gagne telah menyajikan
tujuh jenis pembelajaran yang telah diatur dan mampu
menjadi suatu model yang klasik, yaitu 1) belajar isyarat
(pengkondisian klasik,respon terhadap sinyal yang
diberikan); 2) stimulus (rangsangan) respon (tanggapan),
(pengkondisian operant, respon terhadap stimulus); 3)
rantai motor (menghubungkan dua atau lebih satuan verbal
stimulus-respon untuk membentuk keterampilan yang
kompleks); 4) perbedaan ganda (merespon dengan cara
berbeda ke butir yang berbeda dalam satu set tertentu); 5)
konsep-konsep (bereakasi terhadap stimulus dengan cara
yang abstrak); 6) aturan (menghubungkan dua atau lebih
konsep); dan 7) pemecahan masalah (menghubungkan
aturan atau prinsip yang diketahui ke dalam unsur-unsur
baru untuk memecahkan masalah).
J. P. Guilford mengembangkan model faktor-faktor kognitif
ganda dengan tiga dimensi 1) operasi mental yang
berhubungan dengan pemrosesan muatan tertentu (terdiri
atas evaluasi, berpikir konvergen, berpikir divergen, dan
kognisi); 2) produk yaitu operasi mental yang berhubungan
dengan aplikasi operasi terhadap muatan (terdiri atas satuan,
kelas, sistem, transformasi, dan implikasi); dan 3) muatan
yaitu operasi mental yang menyangkut informasi dan
pemahaman (terdiri atas gambar, simbol, semantik., dan
muatan prilaku).
e. Pemecahan Masalah/Berpikir Kreatif
Banyak ahli teori kurikulum telah membaharui penilaian
mereka terhadap berbagai aspek pemecahan masalah dan
berpikir kreatif. Persamaan keduanya ialah sama-sama
mencakup bentuk pengolahan informasi baru. Salah satu
pendapat yang bertentangan ialah bahwa pemecahan masalah
(dulu disebut berpikir reflektif) didasarkan atas berpikir
induktif, prosedur analitik, dan proses konvergen. Berpikir
reflektif didasarkan atas berpikir deduktif, orisinalitas, dan
proses divergen. Dalam pandangan yang kedua ini,
pemecahan masalah kondusif untuk berpikir rasional dan
ilmiah dan merupakan metode untuk sampai pada solusi
sementara kreativitas kondusif untuk berpikir artistik dan
sastra dan merupakan kualitas pikiran. Mungkin hal yang
paling penting untuk dicatat ialah bahwa tugas kognitif yang
kompleks ini harus diajarkan sebagai keterampilan umum
dan prinsip- prinsip yang relevan dengan semua pokok
permasalahan. Idenya adalah untuk mengembangkan
strategi metakognitif yang dapat ditransfer peserta didik ke
banyak wilayah kurikulum.
f. Berpikir Reflektif
Pemecahan masalah memainkan peran utama dalam konsep
pendidikan Dewey. Ia tidak hanya percaya bahwa
pemecahan masalah di sekolah dapat mengembangkan
intelegensi dan pertumbuhan sosial, tetapi juga bahwa
keterampilan yang dikembangkan dalam pemecahan
masalah dapat ditransferkan ke pemecahan masalah sehari-
hari dalam masyarakat. Konsep pemecahan masalah Dewey
berakar dari idenya tentang metode ilmiah dan telah
menjadi model klasik antara lain 1) menyadari adanya
kesulitan; 2) mengidentifikasi masalah; 3) mengelompokkan
data dan membentuk hipotesis;
4) menerima atau menolak hipotesis sementara; dan 5)
membentuk kesimpulan dan mengevaluasi.
Metode pemecahan masalah ini bertepatan dengan
kepercayaan Dewey pada ilmu pendidikan. Karena Dewey
menganggap bahwa fungsi sekolah adalah meningkatkan
proses pemikiran, ia merekomendasikan adaptasi metode
pemecahan masalah ini ke pelajaran lain. Banyak juga yang
mengkritik metode pemecahan masalah Dewey ini karena
menghasilkan miskonsepsi bahwa ilmuwan selalu punya
formula untuk menemukan jawaban masalah praktis. James
Conant, misalnya, mendefinisikan pemecahan masalah
sebagai rangkaian 6 tahap yang bisa digunakan di labor atau
oleh orang biasa untuk memecahkan masalah sehari-hari 1)
mengenali masalah dan membentuk tujuan; 2)
mengumpulkan informasi yang relevan; 3) membentuk
hipotesis; 4) menyimpulkan hipotesis; 5) mengggunakan tes
dengan percobaan yang aktual; dan 6) tergantung pada
lingkungan, menerima, memodifikasi, atau menolak
hipotesis. Kedua model ini dan turunannya dianggap banyak
peneliti tidak lengkap. Pertama, karena analisis muncul
setelah orang memecahkan masalah. Kedua, model tersebut
mengabaikan intuisi, pandangan, dan ide. Teori proses
kognitif saat ini menyatakan bahwa langkah- langkah yang
logis dan bisa diobservasi tidak selalu digunakan dalam
pemecahan masalah, dan tahap-tahap terebut tidak selalu
berkaitan.
g. Berpikir Kritis
Berpikir kritis dan keterampilan berpikir adalah istilah yang
digunakan sekarang untuk mengartikan pemecahan
masalah. Walaupun banyak prosedur mengajar, program
pelatihan pendidik, dan taksonomi berpikir kritis telah
muncul pada tahun-tahun terakhir, pendapat terakhir
menyebutkan bahwa berpikir kritis adalah suatu bentuk
inteligensi
yang bisa diajarkan. Pendukung aliran ini ialah Matthew
Lipman dan Robert Sternberg. Lipman berusaha membantu
perkembangan 30 keterampilan kritis, yang umumnya
dirancang untuk tingkat SD. peserta didik didorong untuk
mengembangkan, misalnya konsep, generalisasi, hubungan
sebab-akibat, inferensi alogistik, konsistensi dan kontradiksi,
analogi, hubungan bagian-keseluruhan dan keseluruhan-
bagian, formulasi masalah, membalikkan pernyataan logis,
dan aplikasi prinsip ke situasi kehidupan nyata.
Sternberg menjelaskan tiga proses mental yang
meningkatkan kemampuan berpikir kritis 1) komponen-
komponen meta proses mental tingkat tinggi yang
digunakan untuk merencanakan apa yang akan kita lakukan,
memonitor apa yang sedang kita lakukan, dan mengevaluasi
apa yang sedang kita lakukan; 2) komponen performansi
langkah aktual atau strategi yang kita ambil; dan 3)
komponen pemerolehan pengetahuan, proses yang
digunakan untuk menghubungkan materi lama dengan
materi baru dan untuk mengaplikasikan dan menggunakan
materi baru.
Beberapa pendidik membantah pendapat Lipman dan
Sternberg karena menurut mereka keterampilan berpikir
kritis itu sangat kompleks dan tidak bisa dipecah-pecah
menjadi proses-proses kecil. Penganut teori humanistik dan
fenomenologi percaya bahwa mengajar orang berpikir sama
dengan mengajar orang mengayun tongkat golf, melibatkan
pendekatan yang menyeluruh bukan usaha sebagian-
sebagian.
Kritikan utama muncul dari pendukung metode itu sendiri.
Sternberg memperingatkan bahwa jenis berpikir kritis yang
kita tekankan di sekolah dan cara kita mengajarkannya
“tidak mempersiapkan peserta didik dengan cukup untuk
menghadapi jenis masalah yang akan mereka temui dalam
kehidupan nyata”. Kita percaya bahwa karena program
keterampilan kritis kita menekankan jawaban “benar” dan
butir-butir ujian yang “bisa diskor secara objektif”, peserta
didik dialihkan dari relevansi dunia nyata. Kebanyakan
masalah dalam kehidupan nyata memiliki implikasi sosial,
ekonomi, dan psikologis yang melibatkan hubungan
antarpribadi dan penilaian tentang orang, stress dan krisis
pribadi, dilema yang melibatkan pilihan, tanggung jawab,
dan keberlangsungan hidup. Bagaimana menangani semua
itu tidak ada hubungannya dengan cara kita berpikir di
dalam kelas atau dengan cara menjawab soal-soal tentang
berpikir kritis. Dengan menekankan keterampilan kognitif di
dalam kelas, berarti kita mengabaikan realitas dan
lingkungan pergaulan kehidupan.
h. Berpikir Kreatif
Tes baku tidak selalu mengukur kreativitas dengan akurat,
kenyataannya kita memiliki kesulitan dalam menentukan
apa sebenarnya kreatif itu dan siapa yang kreatif. Ada
banyak jenis kreativitas (artistik, musik, sains, kerajinan
tangan, dan lain-lain). peserta didik kreatif sering tidak
mendapat perhatian penuh dari pendidik dan ahli kurikulum
karena sulit dikontrol. Biasanya mereka digabungkan saja
dengan peserta didik berinteligensi tinggi, padahal
intelegensi tinggi dan kreativitas tinggi tidak selalu
berkaitan. Terkadang pendidik malah mematikan kreatifitas
siswa dan spesialis kurikulum cenderung mengabaikan
mereka dalam perencanaan kurikulum, karena mereka
hanyalah sebagian kecil saja dari seluruh peserta didik.
Kesepakatan tentang definisi kreativitas sangat sedikit,
antara lain kreativitas mewakili kualitas pikiran. Ia terdiri
atas komponen kognitif dan humanistik dalam belajar.
Menurut Carl Rogers, esensi kreativitas adalah kebaruannya.
Eric Fromm mendefinisikan sikap kreatif sebagai 1) kemauan
untuk berpikir untuk mengorientasikan dirinya pada sesuatu
yang baru tanpa merasa frustasi; 2) kemampuan
berkonsentrasi; 3) kemampuan mengalami sendiri sebagai
pemula tulen dalam tindakannya; dan 4) kemauan menerima
konflik dan tekanan yang disebabkan oleh iklim opini atau
kurangnya toleransi terhadap ide-ide kreatif.
Bagi pendidik, definisi kreativitas adalah bagaimana
memunculkan ide-ide baru. Kreativitas berkaitan dengan
proses logis, dapat diobservasi dan proses tak sadar dan
tidak dapat dikenali.
i. Berpikir Intuitif
Berpikir intuitif bukanlah hal baru, tetapi proses berpikir
ini tidak didukung karena praktik pedagogik tradisional
mengandalkan fakta dan hapalan, berpikir intuitif diabaikan
karena susah mendefinisikan dan mengukurnya. Bruner
mempopulerkan ide ini dalam bukunya Process of Education.
Pemikir yang baik tidak hanya memiliki pengetahuan tetapi
juga pemahaman intuitif tentang pokok persoalan. Berpikir
intuitif adalah bagian dari proses penemuan. Ia tidak ada
hubungannya dengan pendekatan tahap demi tahap atau
konvergen tetapi dengan penemuan yang dipasangkan
dengan kemampuan menempatkan pengetahuan yang akan
digunakan dan menemukan cara-cara baru untuk membuat
kecocokan. Menurut interpretasi ini, pemecahan masalah
dan penemuan bebas datang bersama, pengetahuan bersifat
dinamis, dibangun di seputar proses penemuan, tanpa
langkah atau aturan pasti yang akan diikuti.
j. Belajar melalui Penemuan
Metode penemuan (inquiry-discovery) berhubungan dengan
kurikulum yang berpusat pada disiplin ilmu sebagai penyatu
yang berkaitan dengan pengetahuan dan metodologi ranah
kajian. Taba, Bruner, Phenix, dan Inlow adalah produk dari
zaman ini. Taba dipengaruhi oleh Bruner, Phenix
dipengaruhi oleh keduanya, dan Inlow dipengaruhi oleh
ketiganya. Keempat pendidik ini lebih peduli dengan
bagaimana kita berpikir bukan dengan apa yang kita
pikirkan atau pengetahuan apa yang kita miliki.
Walaupun Bruner menggabungkan metode inquiry discovery
dalam Sains dan Matematik. Phenix, Taba, dan Inlow
mengklaim bahwa discovery terpisah dari inquiry dan kedua
metode berpikir tersebut melintasi semua mata pelajaran
(bukan hanya Sains dan Matematika) (Ornstein & Hunkins,
1988). Phenix, misalnya mengusulkan bahwa discovery
adalah bentuk inquiry yang berhubungan dengan
pengetahuan, hipotesis, dan dugaan-dugaan baru dan
inquiry adalah metode membuat, mengatur, menganalisis,
dan mengevaluasi pengetahuan (seperti pemecahan
masalah). Inquiry dianggap menyatukan semua aspek
pengetahuan yang terpisah ke dalam disiplin ilmu yang
koheren, ia dianggap lebih penting daripada discovery. Taba
dan Inlow membedakan belajar melalui discovery dengan
belajar kongkrit dan verbal. Kebanyakan belajar tradisional
dijelaskan sebagai suatu proses mentransmisikan informasi
kongkrit dan verbal kepada pembelajar, berpusat pada
otoritas, berpusat pada mata pelajaran, sangat terstruktur,
sangat terorganisir, juga
fleksibel dan terbuka. Sebaliknya, discovery melibatkan
eksplorasi ekstensif hal-hal yang kongkrit pada level dasar.
Bruner yang terkenal telah mengelaborasi ide discovery
dengan mendefinisikannya sebagai belajar yang terjadi
ketika peserta didik tidak disuguhi dengan mata pelajaran
dalam bentuk finalnya, ketika mata pelajaran tidak
diorganisir oleh pendidik tetapi oleh peserta didik sendiri.
Discovery adalah pembentukan sistem pengkodean yang
dengannya peserta didik menemukan hubungan yang ada di
antara data yang disajikan.
Karakteristik paling nyata dari discovery sebagai teknik
mengajar adalah bahwa sesudah tahap awal ia
membutuhkan input atau bimbingan pendidik. Discovery
kurang terpusat pada pendidik, dan peserta didik memiliki
tanggung jawab atas belajarnya sendiri. Agar menjadi bagian
discovery, belajar harus bisa ditransfer. Transfer yang
meningkat dibuktikan oleh apa yang disebut Bruner “potensi
intelektual”.
k. Kognisi dan Kurikulum
Kebanyakan ahli kurikulum, dan ahli teori belajar dan pendidik,
cenderung berorientasi kognitif karena 1) pendekatan
kognitif memiliki metode yang logis untuk mengorganisir dan
menginterpretasi belajar; 2) pendekatan ini berakar dari tradisi
mata pelajaran; 3) pendidik telah dilatih dalam pendekatan
kognitif dan memahaminya lebih baik. Pendidik yang
memiliki gaya mengajar terstruktur akan lebih menyukai
metode pemecahan masalah, berdasarkan berpikir reflektif dan
metode ilmiah.
Lebih dari 1000 SD dan sekolah menengah yeng menerapkan
pembelajaran berpusat pada pendidik dan peserta didik,
tetapi tidak menerapkan pemecahan masalah. Pembelajaran
yang sesuai dengan dunia nyata dan bermakna jarang terjadi
di sekolah. Ahli kurikulum harus memahami bahwa sekolah
harus menjadi suatu tempat di mana peserta didik tidak
merasa takut mengajukan pertanyaan, tidak takut salah,
tidak takut tidak menyenangkan hati pendidik, dan tidak
takut mengambil resiko kognitif dan bermain dengan ide.
Dengan semua teori kognitif kita, kita mengharapkan peserta
didik mau belajar dan tahu bagaimana belajar, tetapi kita
mengobservasi bahwa setelah beberapa tahun sekolah
kebanyakan peserta didik telah belajar untuk tidak belajar.
l. Psikologi Kemanusiaan/Fenomenologi
Ahli psikologi tradisional tidak mengenal psikologi
humanistik atau fenomenologi sebagai suatu aliran psikologi.
Menurut mereka, ahli psikologi itu sudah humanis karena
selalu peduli dengan orang dan dengan meningkatkan
kualitas masyarakat. Lagi pula, mereka mengklaim bahwa
label humanisme seharusnya tidak digunakan sebagai topeng
untuk generalisasi berdasarkan sedikit pengetahuan dan
penelitian. Sejumlah observer telah memandang
fenomenologi (kadang-kadang disebut psikologi
humanistik), sebagai teori belajar “kekuatan ketiga” setelah
behaviorisme dan pengembangan kognitif. Fenomenologi
kadang-kadang dianggap sebagai teori kognitif karena ia
menekankan organisme total.
Beda yang paling nyata dengan pandangan behaviorisme
mekanistik dan deterministik adalah versi belajar
fenomenologis, yang digambarkan dengan kepedulian
individu bahwa ia adalah seseorang yang memiliki perasaan
dan sikap, yang mengalami stimulus, dan yang bertindak
terhadap lingkungan. Ahli fenomenologi mengemukakan
bahwa cara kita memandang diri kita sendiri adalah dasar
untuk memahami prilaku kita. Apa yang kita lakukan,
bahkan
seberapa banyak kita belajar, ditentukan oleh konsep kita
tentang diri kita sendiri.

1) Teori Gestalt
Ide-ide ahli fenomenologi berakar dari teori-teori
lapangan yang memandang organisme total dalam
hubungan dengan lingkungan, atau apa yang disebut
“lapangan”, dan persepsi peserta didik tentang
lingkungan. Teori lapangan diturunkan dari psikologi
Gestalt tahun 1930-an dan 1940-an. Kata Gestalt (bahasa
Jerman) berkonotasi dengan rupa, bentuk, dan
konfigurasi. Dalam konteks ini stimulus dipahami
hubungan dengan yang lain dalam satu lapangan. Apa
yang dipahami seseorang akan menentukan makna yang
dia berikan pada lapangan, begitu juga solusi seseorang
terhadap satu masalah tergantung pada pengenalannya
terhadap hubungan antara stimulus dan
keseluruhannya. Inilah yang dianggap sebagai hubungan
berdasarkan lapangan (field-ground relationship). Jadi,
faktor yang penting dalam belajar adalah
menstrukturisasi dan merestrukturisasi hubungan-
hubungan lapangan untuk membentuk pola-pola yang
selalu berubah. Atas dasar ini, belajar menjadi
kompleks dan abstrak. Ahli kurikulum harus memahami
bahwa pembelajar memahami sesuatu dalam
hubungannya dengan yang lain-lain dalam suatu
keseluruhan, dan apa yang mereka pahami terkait
dengan pengalaman mereka sebelumnya (Ornstein &
Hunkins, 1988).

2) Maslow: Orang-orang yang Mengaktualisasikan Diri


Abraham Maslow, ahli fenomenologi terkenal, telah
menyusun teori klasik tentang kebutuhan manusia.
Menurutnya, berdasarkan hirarki kepentingannya,
kebutuhan terdiri atas a) kebutuhan fisik; b) kebutuhan
akan keselamatan; c) kebutuhan akan cinta dan rasa
memiliki; d) kebutuhan akan harga diri; e) kebutuhan
mengaktualisasikan diri, dan f) kebutuhan mengetahui
dan memahami. Semua kebutuhan ini memiliki implikasi
pada belajar dan mengajar. Anak yang kebutuhan
pokoknya tidak terpenuhi tidak akan tertarik
memperoleh pengetahuan. Ide Maslow tentang aplikasi
di kelas ini sebagian didasarkan atas ide Pestalozzi dan
Froebel yang percaya akan pentingnya emosi manusia
dan metodologi yang berdasarkan kepercayaan dan
cinta.
Maslow menciptakan istilah Psikologi Humanistik yang
menekankan tiga prinsip pokok a) memusatkan
perhatian pada orang yang mengalami dan kemudian
memfokuskan pengalaman sebagai fenomena pokok
dalam belajar; b) menekankan kualitas manusia seperti
pilihan, reativitas, dan realisasi diri, sebagai lawan dari
memikirkan orang dalam istilah mekanistik dan belajar
dalam istilah kognitif;
c) menunjukkan perhatian penuh pada martabat dan
nilai orang dan minat terhadap perkembangan psikologis
serta potensi manusia sebagai individu. Peran pendidik
dan pembuat kurikulum dalam skema ini adalah
memandang peserta didik sebagai orang yang utuh. Bagi
Maslow, tujuan pendidikan adalah menghasilkan
pembelajar yang sehat dan bahagia yang bisa
menyempurnakan tugasnya; tumbuh, dan
mengaktualisasikan dirinya sendiri. Orang yang
mengaktualiasikan diri tersebut matang dan sehat
secara psikologis, serta memiliki ciri-ciri a) memiliki
persepsi yang efisien tentang realitas; b) merasa
nyaman
dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain; c) tidak
dibebani rasa bersalah, malu, dan cemas; d) spontan dan
alamiah; dan e) berpusat pada masalah bukan pada diri.

3) Rogers: Belajar Nondirektif dan Terapetik


Carl Rogers, ahli fenomenologi telah menciptakan
prosedur konseling dan metode untuk memfasilitasi
belajar. Idenya didasarkan atas teori lapangan dan teori
yang berdasarkan lapangan yang mengatakan bahwa
realitas adalah apa yang dipahami peserta didik. Konsep
realitas ini harus membuat pendidik sadar bahwa level
dan jenis respon terhadap suatu pengalaman akan
berbeda di antara anak-anak. Rogers menganggap terapi
sebagai metode belajar yang harus digunakan oleh
pendidik dan perumus kurikulum. Ia percaya bahwa
hubungan manusia yang positif memungkinkan orang
bertumbuh, karena itu hubungan antarpribadi di antara
pembelajar sama pentingnya dengan skor kognitif.
Kurikulum berkaitan dengan proses, bukan produk;
kebutuhan pribadi, bukan mata pelajaran; makna
psikologis, bukan skor kognitif; dan situasi lingkungan
yang berubah (dalam hal ruang dan waktu), bukan
lingkungan yang tetap.

4) Klarifikasi Nilai
Klarifikasi nilai kadang-kadang disebut juga membangun
nilai, adalah bagian dari proses belajar pendidik. Ahli
klarifikasi nilai sangat menghargai kreativitas, kebebasan,
dan realisasi diri. Mereka lebih menyukai peserta didik
yang mengekplorasi sendiri keinginan-keinginan
mereka dan membuat pilihan-pilihan mereka. Nilai yang
dianut seseorang tergantung pada banyak faktor,
termasuk
lingkungan, pendidikan, dan kepribadian. Klarifikasi
nilai dirancang untuk membantu orang mengatasi
kebingungan nilai (dengan gejala apatis, tidak yakin,
tidak konsisten) sehingga menjadi lebih positif,
bertujuan, dan produktif, serta memiliki hubungan
antarpribadi yang makin baik.
Louis Raths dan kawan-kawannya menguraikan
proses memberi nilai, memilih dengan bebas, memilih
dari berbagai alternatif, memilih dengan bijaksana,
menghargai, meyakini, bertindak atas pilihan, dan
mengulang sebagai pola hidup. Ada banyak cara
mengajarkan nilai, yang pertama adalah menanamkan
(inculcation), yaitu mengajarkan nilai-nilai yang
diterima dengan dukungan hukum adat; kedua adalah
membangun moral, yaitu memperjelas prinsip-prinsip
moral dan etika serta aplikasinya; ketiga ialah analisis
isu dan situasi yang melibatkan nilai; keempat adalah
klarifikasi, metode yang ditekankan Raths; dan yang
kelima adalah belajar bertindak, yaitu mencobakan dan
menguji nilai-nilai dalam situasi kehidupan nyata.
Pendekatan yang digunakan oleh Abraham Maslow dan
Carl Rogers ini bisa diuraikan sebagai evokasi, yaitu
membangkitkan nilai-nilai pribadi pembelajar dan
kemampuan membuat pilihan dan menjadi aktualisasi
diri. Walaupun penekanannya pada sikap dan perasaan
serta proses manusiawi, komponen kognitif tetap ada
dalam klarifkasi nilai.

5) Fenomenologi dalam Kurikulum


Ahli fenomenologi memandang individu dalam
hubungan dengan lapangan di mana ia beroperasi,
tetapi yang
menentukan prilaku dan belajar justru aspek psikologis.
Para ahli fenomenologi mencoba memahami apa yang
terjadi di dalam diri kita, kebutuhan, keinginan, harapan,
perasaan, nilai, dan cara kita memahami. Ide tentang
kebebasan pribadi merupakan isu penting dalam
fenomenologi/ psikologi humansitik. Ide kebebasan ini
merupakan intisari dari tesis Rogers tentang belajar.
Semakin sadar atau peduli anak-anak dengan kebebasan
mereka, semakin banyak kesempatan mereka untuk
menemukan dirinya sendiri dan berkembang sebagai
manusia seutuhnya. Pembuat kurikulum harus
memberikan kesempatan dan pilihan bagi peserta didik
untuk belajar tanpa mengurangi otoritas pendidik. Idenya
adalah merancang kurikulum yang membantu
pembelajar menyadari potensi maksimal mereka dalam
lingkungan belajar humanisik yang memperhatikan
prilaku dan kognitif.
Karena setiap individu memiliki kebutuhan dan minat
khusus terkait dengan pemenuhan dirinya dan realisasi
dirinya, maka tidak ada kurikulum humanistik yang
baku. Peserta didik bisa belajar melalui pengalaman,
pokok permasalahan, dan keterampilan intelektual yang
diperlukan untuk mencapai potensi penuh. Ilmu Sastra
dan Seni, khususnya Filsafat, Psikologi dan Estetika
merupakan muatan yang tepat karena meningkatkan
introspeksi, refleksi, dan kreativitas. Kurikulum yang
menekankan sikap dan perasaan juga bisa diterima.
Matematika dan Sains dianggap tidak perlu. Yang lebih
penting ialah hubungan peserta didik dengan pendidik
harus didasarkan atas kepercayaan dan kejujuran. Peserta
didik boleh memilih apa yang akan dikerjakan dan
bagaimana mengerjakan tetapi harus bertanggung
jawab atas ide dan pekerjaannya.
Dapat disimpulkan bahwa psikologi memiliki dampak
berarti pada belajar, yang merupakan komponen utama
kurikulum. Ada tiga teori psikologi yang telah dibahas
pada bab ini yaitu behaviorisme, pengembangan
kognitif, dan fenomenologi. Behaviorisme adalah teori
belajar tertua dan sekarang direpresentasikan dalam
bentuk pengajaran mikro, model latihan pembelajaran,
pembelajaran langsung, belajar penguasaan, dan lain
sebagainy. Terkait behaviorisme ada pengkondisian
klasik dan pengkondisian operant. Teori belajar
pengembangan kognitif adalah aliran kedua yang
berkembang pesat dalam 20 sampai 30 tahun terakhir.
Ini berkaitan dengan meningkatnya pengaruh Piaget di
antara ahli-ahli psikologi Amerika dan meningkatnya
penerimaan terhadap lingkungan sebagai penjelasan
atas pertumbuhan dan perkembangan kognitif. Teori
belajar kognitif kondusif untuk menjelaskan berbagai
tingkatan berpikir manusia, termasuk berpikir konsep,
pemecahan masalah, dan kreativitas. Kebanyakan teori
belajar sekarang berorientasi ada kognisi. Fenomenologi
atau psikologi humanistik dapat dianggap teori belajar
ketiga dan paling baru. Penekanannya ada pada sikap
dan perasaan, aktualisasi diri, kebebasan untuk belajar,
dan klarifikasi nilai, sehingga tumpang tindih dengan
filsafat eksistensialisme. Masing-masing teori belajar ini
tidak lengkap, tetapi gabungan ketiganya akan
bekontribusi besar dalam menjelaskan berbagai aspek
prilaku dan proses belajar di dalam kelas dan di luar
sekolah.
6) Konsep Enkapsulasi
Berbicara masalah psikologis berarti juga berbicara
masalah enkapsulasi (keterkungkungan). Enkapsulasi
merupakan Masyarakat terkungkung yang terbagi
menjadi tiga hal a) fisik (misalnya, panca indra) mata
tidak bisa melihat fatamorgana); b) psikologis (ingatan);
dan c) adat budaya. Enkapsulasi dapat terjadi oleh dua
fakta yaitu keterbatasan fisiologis dan keterbatasan
psikologis. Kedua keterbatasan ini dikemukakan secara
rinci oleh Zais (1976).

a) Keterbatasan Fisiologis
Secara genetika dan fisiologis, manusia dibatasi
kemampuan untuk melihat dunia sekelilingnya.
Umpama, manusia hanya mampu mendengar suara
antara 20 – 20.000 saikel per detik, di luar skala ini
dia tidak mendengar apa-apa. Kemampuan melihat
hanya 1/70 dari keseluruhan panjang gelombang
cahaya. Kemampuan mencium dan mencicipi
manusia sangat jelek. Oleh karena itu manusia
memandang dunia ini seperti seperangkat indera
fisiologisnya yang diyakininya sangat akurat,
padahal sebenarnya hanya benar menurut
pandangan manusia itu saja.

b) Keterbatasan Psikologis
Banyak sekali fakta-fakta psikologis yang membuat
manusia terkurung dalam kapsulnya, dalam kajian
kurikulum, kita hanya mengambil beberapa hal yang
sangat penting saja dari Zais (1976) (1) kemampuan
manusia untuk belajar dan berpikir sangat terbatas.
Umpamanya, daya ingat manusia sangat terbatas
sehingga lupa sangat cepat dari pada mengingat.
Sebagian besar orang tidak dapat mengulang 10
angka yang telah didiktekan kepada mereka; (2)
kemampuan manusia mengkonsepsikan ide-ide
yang abstrak dan mengaitkan ide-ide tersebut
sangat terbatas, seperti banyaknya orang yang
lemah memahami konsep-konsep abstrak seperti
terdapat dalam mata pelajaran Matematika, dan
kesulitan banyak orang untuk memahami metafor
yang terdapat dalam karya-karya susastera; dan (3)
banyak orang yang berpikir irasional, walau
berpikir rasional merupakan “merek”nya manusia
saja, dan tidak dimiliki oleh makluk lain.
Di samping itu peneliti, terutama Abraham Maslow
menemukan adanya motivasi yang mendorong manusia
bertingkah laku tertentu (Zais, 1976). Menurut Maslow,
fisiologis manusia membutuhkan gizi dasar seperti
protein, vitamin C, kalsium dan seterusnya. Demikian
juga memerlukan kepuasan psikologis utama untuk
dapat hidup normal. Kalau kepuasan itu tidak terpenuhi
akan menimbulkan kejiwaan atau neorosis. Kebutuhan
psikologis utama tersebut, menurut urutan potensinya,
adalah (1) rasa aman; (2) cinta & rasa memiliki; dan (3)
rasa hormat dan harga diri. Ketiga kebutuhan ini pada
dasarnya tidak disadari dan kalau tidak dipenuhi
tingkah laku manusia didominasi oleh usaha untuk
memenuhinya. Maslow menamakan tingkah laku ini
tingkah laku kurang motivasi, deficiency-motivated.
Orang yang normal merasa puas sebab terpenuhinya
kebutuhan akan rasa aman, rasa dicintai dan rasa
dihargai.
Keadaan ini membuatnya optimis dan bermotivasi untuk
berkembang (growth motivated). Orang ini yang
cenderung melihat lingkungan secara lebih objektif
daripada orang yang kebutuhan psikologisnya tidak
terpenuhi.
Antara rentangan kedua kutub yang berlainan ini
(neurosis dan puas diri), terbentang spektrum tingkat-
tingkat kesehatan psikologis. Jumlah penderita
gangguan jiwa tidak begitu banyak di masyarakat.
Jumlah orang yang benar-benar sehat, yaitu yang puas
diri, jauh lebih sedikit. Artinya, sebagian besar manusia,
menurut teori Maslow, dengan variasi yang berbeda-
beda adalah penderita dorongan tidak disadari itu.
Persepsi mereka kurang akurat, dan kalau mereka
mengambil keputusan cenderung berdasarkan kata-kata
yang kurang lengkap atau yang tidak benar. Dengan
perkataan lain, sebagian besar manusia berada dalam
enkapsulasi, disebabkan terutama oleh kebutuhan
pokok yang tidak dipenuhi, walau kita mengakui bahwa
kita baik-baik saja.
Untuk lebih memahami dinamika tingkah laku orang
menderita kekurangan motivasi dengan orang yang
tingkah laku bermotivasi, Maslow membandingkan ciri-
ciri tingkah laku manusia itu dalam 13 butir. Dalam
kaitannya dengan enkapsulasi yang di bicarakan diatas,
kita mengutip 4 butir saja dari lima butir yang dikutip
Zais (1976), sebagai berikut.

(1) Yang Tergantung Vs Yang Tidak Tergantung


Pada Lingkungan
Menurut Maslow, orang-orang yang kebutuhan
utamanya untuk memperoleh rasa aman, rasa cinta,
dan lain-lain hanya dapat dipuaskan oleh orang lain.
Artinya, dia tergantung pada lingkungannya. Dia
berada di bawah belas kasihan orang lain, yang
tangannya berada di bawah, dan oleh karena hal
yang demikian, dia selalu sensitif pada keinginan,
persetujuan, dan maksud orang lain. Keadaan ini
membuat takut pada lingkungan karena lingkungan
itu dianggap mengancam keinginannya. Keadaan
seperti itu meletakkan dirinya dalam keadaan yang
tidak bebas.
Sebaliknya orang yang puas diri, atau yang kurang
enkapsulasi (less encapsulated) adalah orang yang
agak bebas dan lebih mandiri, karena dia bukan
tergantung pada orang lain, dia merasa lebih aman,
lebih tenang, kurang memerlukan pikiran dan
uluran tangan atau belas kasihan orang lain, dan
tidak mengharapkan pujian orang lain. Selain itu, dia
tidak perlu merasa dihargai, dia tidak
mengharapkan pujian orang lain, keadaan ini
membuatnya lebih bebas, berlainan dengan tingkah
laku orang yang mempengaruhi oleh kekuatan-
kekuatan yang tidak disadarinya. Dengan
perkataan lain, tingkah laku orang yang kekurangan
motivasi dipengaruhi kekuatan yang tidak
disadarinya, sedangkan tingkah laku orang yang
percaya diri atau kurang enkapsulasi cenderung
berdasarkan realita.

(2) Orang Yang Percaya Diri Vs Yang Kurang Percaya


Diri Persepsi orang yang kurang motivasi,
deficiency- motivated person, diwarnai serta dibatasi
oleh ketergantungannya pada lingkungan. Orang
dilihatnya bukan secara global kemanusiaan, tetapi
sebagai sumber untuk memenuhi keinginannya.
Umpamanya, dia melihat pelayan restoran sebagai
pembawa makanan, dia melihat tukang pos sebagai
pengantar surat, dia melihat administrator sebagai
pemerintah, dan memandang pendidik sebagai
pemberi nilai rapor dan nilai ujian dan bukan
sebagai pendidik. Dan dia menceritakan anaknya
yang pintar sebagai kebanggaannya, dan melihat
bapaknya sebagai penyuplai belanja dan keperluan
lainnya. Yang demikian, orang yang terlibat tidak
sadar akan realita dirinya yang memanipulasi
tingkah lakunya.
Berlainan dengan itu, orang yang puas diri tidak
melihat orang lain sebagai sumber pemenuhan
kebutuhan dirinya karena dia tidak membutuhkan
apa-apa dari orang lain. Hubungan dengan orang
lain berupa hubungan objektif yaitu hubungan yang
biasa antara orang dengan orang lainnya,
berdasarkan kedudukan yang sederajat. Seorang
dihargainya karena menurutnya orang pantas
dihargai, bukan karena orang itu memberikan
sesuatu yang dibutuhkannya atau dapat mengisi
kekosongan cinta yang ada. Persepsi orang yang
kurang percaya diri makin sukar jika defisit
kebutuhan makin besar.

(3) Belajar Instrumental Vs Pembentukan


Personalitas Maslow menyatakan bahwa teori
belajar merupakan ilmu pengetahuan yang terbatas
dan bermanfaat hanya untuk suatu aspek kecil
kehidupan, karena belajar didasarkan pada
kekurangan motivasi yang tujuan belajarnya berada
di luar dirinya. Umpamanya, dia belajar karena
ingin memperoleh keterampilan
atau pengetahuan tertentu. Tetapi motivasi belajar
pada orang yang bermotivasi untuk berkembang
dan untuk memperdalam pengetahuan dan
pemahaman tentang diri sendiri hanya bagi
perkembangan kepribadiannya (Zais, 1976).
Bentuk belajar yang disebut terakhir dapat juga
disebut belajar untuk memperoleh kemauan tentang
makna keberadaan diri sendiri agar berwawasan
hidup yang lebih luas. Sedangkan belajar yang
bertujuan sebagai alat atau instrumen lebih sesuai
untuk memperoleh suatu keterampilan atau latihan
professional bagi kepentingan suatu pekerjaan. Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum
yang lebih diinginkan adalah kurikulum yang
mendorong perkembangan potensi manusia
daripada belajar sebagai alat (Zais, 1976).

(4) Persepsi orang yang kurang motivasi vs orang


yang bermotivasi untuk berkembang.
Orang yang kurang motivasi, deficiency-motivated
person, sebagai orang yang tertarik pada usaha
pemenuhan kebutuhannya, cenderung berpikir
dikotomi hitam putih, buruk jelek, dan lain-lain.
Kebutuhan yang tidak dipenuhi memaksanya untuk
mengabaikan atau menolak data yang tidak
berkaitan dengan usaha pemenuhan kebutuhan
yang tidak berhasil itu. Sebaliknya, orang
bermotivasi untuk tumbuh, growth-motivated, yang
juga tidak terlalu berusaha untuk mencapai
kebutuhannya, dapat melihat dunia secara objektif
dan lebih akurat, baik itu berupa orang atau benda.
Orang ini, menurut
Maslow, ingin dilihat sebagai individu yang utuh. Dia
tidak suka dianggap sebagai benda yang berguna
bagi suatu keperluan atau sebagai alat, karena itu,
dia tidak suka diperalat orang (Zais, 1976). Teori
Maslow dianggap memberikan kontribusi yang
cukup besar pada pemahaman kita tentang hakikat
manusia. Lebih-lebih bagi teori ini menjelaskan
beberapa hal tentang penyebab enkapsulasi.
Teori Freud yang menyangkut mekanisme kekuatan
yang tidak disadari manusia dalam mempengaruhi
pikiran dan perbuatan manusia untuk membuatnya
berada dalam enkapsulasi, adalah (Zais, 1976)
(a) rasionalisasi berarti pembenaran (justifikasi)
kepercayaan atau tingkah laku dengan alasan yang
bagus, bukan alasan yang sesungguhnya. Sikap ini
dipakai untuk mempertahankan diri. Orang secara
tidak sadar berusaha merubah tingkah lakunya
dengan alasan yang sebenarnya; (b) proyeksi adalah
usaha untuk melindungi suatu perasaaan atau untuk
menghindarkan kegagalan yang tidak menyenangkan
dengan jalan memindahkan kesalahan atau
kelemahan sendiri pada orang lain. Dia pada
dasarnya menipu diri sendiri, dan karena itu,
mengabaikan kemungkinan untuk perbaikan diri,
proses ini tidak lebih dari sekadar elaborasi
pelarian psikologis akibat yang tidak
menyenangkan; (c) Displacement merupakan
mekanisme bela diri untuk menyalurkan perasaan
tidak enak yang diarahkan pada orang lain sebagai
substansi. Umpama, seorang yang kesal, pada
dasarnya, mengalihkan kekesalannya pada istri atau
anaknya sendiri; dan (d) represi merupakan cara
untuk menghindari konflik yang menyulitkan diri,
penolakan terhadap pengalaman yang tidak enak
atau usaha untuk melupakan kejadian yang sedih
atau menyakitkan hati di masa lampau.
Itulah beberapa mekanisme yang tidak disadari
manusia. Secara sepintas diharapkan dapat
memberikan gambaran begaimana mekanisme
tersebut mempengaruhi persepsi manusia,
memberikan kontribusi yang cukup berarti pada
konsep enkapsulasi.

(5) Hakikat Manusia


Setelah dipahami bahwa manusia pada dasarnya
berada dalam kapsulnya (enkapsulasi) baik yang
bersifat budaya, fisiologis, maupun psikologis
sekarang dapat kita melihat secara lebih umum
hakekat manusia itu sendiri. Zais (1976) melihat
manusia sebagai hewan yang menciptakan makna,
dan manusia sebagai organisme yang netral.

D. Bagaimana Landasan Sosiologis Kurikulum?


Landasan sosiologis terkait dengan kenyataan bahwa perta
didik dikembangkan potensinya melalui proses pembelajaran di
sekolah yang berguna bagi kehidupannya bersama orang lain di
masyarakat. Landasan sosoilogis menyangkut kekuatan-
kekuatan sosial di masyarakat. Kekuatan-kekuatan itu
berkembang dan selalu beruabah-ubah sesuai dengan
perkembangan zaman dapat berupa kekuatan nyata maupun
yang potensial yang berpengaruh dalam perkembangan
kebudayaan seirama dengan
dinamika masyarakat. Sekolah didirikan untuk mengembangkan
kebudayaan masyarakat. Bentuk pendidikan yang perlu
diberikan pada peserta didik menentukan masyarakat sekarang
dan masa depan. Penerusan kebudayaan pada anak-anak
sebagai generasi penerus merupakan tujuan utama pendidikan.
Kurikulum harus mereflesikan kebudayaan masyarakat dan ikut
mengembangkan individu peserta didik, sehingga peserta didik
akan memajukan masyarakat. Kurikulum bukan berisi berbagai
nilai suatu masyarakat akan tetapi bermuatan segala sesuatu
yang dibutuhkan masyarakatnya. Kurikulum sebagai pedoman
dalam proses pendidikan harus relevan dengan kebutuhan dan
tuntutan masyarakat.
Yang perlu dikembangkan pada struktur masyarakat itu ada
3 yaitu 1) universal (umum); 2) spesial; 3) alternative. Fungsi
sekolah adalah bagaimana membuka keterkungkungan itu
supaya bisa membuka cakrawala untuk berkembang. Sumber
perubahan itu antara lain 1) masyarakatnya; 2) sekolah; dan 3)
IPTEK. Sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik agar
mereka dapat berperan aktif di masyarakat. Oleh karena itu,
kurikulum sebagai alat dan pedoman dalam proses pendidikan di
sekolah harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan
masyarakat.

1. Kekuatan Sosial yang Dapat Mempengaruhi


Kurikulum
Masyarakat tidak bersifat statis. Seiring dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat selalu mengalami
perubahan, bergerak menuju perkembangan yang semakin
kompleks. Dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks
tersebut, maka muncul pula berbagai kekuatan kelompok yang
dapat memberikan tekanan terhadap penyelenggaraan dan
praktik pendidikan termasuk di dalamnya tekanan-tekanan
dalam
proses pengembangan isi kurikulum sebagai alat dan pedoman
penyelenggaraan pendidikan.

2. Kemajuan IPTEK sebagai Bahan Pertimbangan


Penyusunan Kurikulum
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil
kemampuan berpikir manusia telah membawa umat manusia
pada masa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Terciptanya produk-produk teknologi semacam teknologi
transportasi, misalnya bukan menyebabkan manusia bisa
menjelajahi seluruh pelosok dunia, akan tetapi manusia mampu
menjelajahi ruang angkasa sebuah tempat yang dahulu
dibayangkan sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Namun
demikian, segala kemajuan yang telah mampu diraih oleh umat
manusia itu, bukan tanpa masalah. Pada kenyataannya terdapat
berbagai efek negative yang justru sangat mencemaskan manusia
itu sendiri. Diproduksinya alat-alat transportasi, menyebabkan
permasalahan kemacetan dan kecelakaan lalu lintas, yang setiap
hari merenggut jiwa manusia.
Munculnya permasalahan-permasalahan baru ini
menyebabkan kompleksitas tugas-tugas pendidikan yang diemban
sekolah. Tugas sekolah menjadi semakin berat, dan kadang-
kadang tidak mampu lagi melaksanakan semua tuntutan
masyarakat. Sekolah bukan hanya bertugas menanamkan dan
mewariskan ilmu pengetahuan, akan tetapi juga harus memberi
keterampilan tertentu serta menanamkan budi pekerti dan nilai-
nilai.
Pentingnya kebudayaan di dalam mempelajari kurikulum
harus dilanjutkan dengan konsistensi dalam penyusunan
kurikulum tersebut. Pertanyaan yang paling sering dikemukakan
tentang kurikulum adalah "apakah kurikulum itu dirancang
terutama untuk mentransfer kebudayaan kepada generasi muda
ataukah untuk mendorong perkembangan individu mereka?"
Jadi sangat jelas ada hubungan kurikulum dengan kebudayaan
sehingga dapat dikatakan bahwa "kajian tentang kurikulum pada
dasamya adalah kajian tentang masyarakat dan kebudayaan".

3. Perbedaaan Masyarakat Dan Kebudayaan


Masyarakat merupakan kumpulan individu yang mengatur
dirinya sendiri ke dalam satu kelompok yang berbeda-beda
(distinct group). Untuk menjadi sebuah masyarakat,
bagaimanapun sebuah kelompok yang saling berbeda yang tidak
hanya terdiri dari kumpulan individu, tetapi semua anggotanya
harus menyesuaikan dirinya sebagai “kelompok yang
mempunyai persamaan- persamaan (having things in common)
yang memungkinkan mereka untuk merasa saling memiliki, dan
"Kesamaan-kesamaan" inilah yang pada akhirnya membentuk
kebudayaan.
Kebudayaan adalah sejenis perekat sosial (social cement)
yang terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang khas seperti prinsip,
cita-cita, tingkah laku, kepercayaan dan cara berfikir. Jadi, jelas
perbedaan antara masyarakat dan kebudayaan. "Tanpa budaya
tidak ada masyarakat, tanpa masyarakat tidak mungkin ada
budaya".

4. Kompleksitas dalam "Konsep Kebudayaan"


Konsep kebudayaan sangat komplek seperti halnya konsep
demokrasi, moral dan cinta yang mempunyai beragam makna.
Walaupun begitu secara umum kebudayaan dapat didefinisikan
sebagai tata cara hidup yang diterima dan diakui pada suatu
masyarakat, yang mencakup berbagai aspek-aspek kehidupan
yang mudah terlihat seperti barang-barang produksi, organisasi
politik dan organisasi sosial, mata pencaharian, bentuk-bentuk
pakaian, makanan, permainan, musik, tradisi pemeliharaan anak,
upacara keagamaan dan acara kenegaraan lainnya.
Namun faktor-faktor yang kelihatan seperti di atas, hanyalah
merupakan puncak kecil dari sebuah gunung es kebudayaan.
Bahagian yang sangat menentukan dari aspek -aspek
kebudayaan yang tidak kelihatan tersebut terdiri dari jalinan ide-
ide, prinsip, kepercayaan, nilai, asumsi, dan cara berfikir yang
dianut oleh masyarakat tersebut. Aspek kebudayaan yang
tersembunyi inilah yang disebut Psychology of society (Psikologi
masyarakat). Aspek- aspek yang tidak disadari ini sangat
mempunyai bias pengaruh (Unconscious Culturally Induced Bias)
yang dominan terhadap tingkah laku dan perangai suatu
masyarakat serta pandangan hidup mereka. Pengaruh bias ini
sebenarnya bukan baru dikenal, dan akhir-akhir ini makin
terbukti mempunyai pengaruh yang dominan terhadap tingkah
laku individu.
Kebudayaan bukan hanya sekedar merupakan kumpulan
institusi adat dan kepercayaan. Dalam makna yang lebih nyata
ia terdiri dari bagian-bagian penting dari lingkungan individu
yang membatasi perilakunya. Sementara, perbedaan-perbedaan
terhadap kepercayaan dan adanya pertentangan-pertentangan
cenderung menghasilkan multi sub kelompok di dalam suatu
masyarakat budaya yang dominan berfungsi untuk memelihara
tatanan sosial dengan membuka kemungkinan bagi
pengembangan perilaku individu.
Dapat dikatakan kebudayaan mempunyai kekuatan kontrol
yang tidak kelihatan dan jelas lebih dari sekadar merupakan
kumpulan lembaga, adat, dan kepercayaan. Di dalam arti yang
nyata, budaya merupakan bagian lingkungan individual yang
mempengaruhi dan membatasi perilaku masyarakat. Budaya
yang dominan berfungsi untuk memelihara tatanan sosial
dengan memperluas kemungkinan bagi perkembangan perilaku
individual. Oleh karena itu rancangan kurikulum yang paling
baik adalah yang paling mengerti kekomplekan pemikiran-
pemikiran dalam suatu kebudayaan.

5. Struktur Budaya
Linton mengklasilikasikan elemen budaya menjadi 3
katagori utama yaitu yang bersifat universal, khusus, dan
alternatif. Struktur kebudayaan universal adalah semua nilai-
nilai kepercayaan dan adat istiadat yang dianut oleh semua
anggota masyarakat dewasa. Misalnya beberapa macam
kebiasaan pada daerah tertentu, tentang penggunaan bahasa,
jenis makanan, kepercayaan dan system ekonomi yang dipakai.
Tentu saja beberapa variasi akan timbul dan pada hal-hal
tertentu mungkin dapat menimbulkan sanksi bagi hal-hal yang
dianggap tabu. Kadang-kadang sanksi ini bisa menjadi brutal
atas penyimpangan yang dilakukan pada elemen universal.
Struktur kebudayaan khusus mencakup aspek-aspek
kebudayaan yang ditemukan hanya pada subkelompok dari
sebuah masyarakat. Subkelompok masyarakat ini berkaitan
dengan lingkungan kerja anggota masyarakat, nilai-nilai yang
dianutnya, adat istiadat, agama atau kepercayaan tertentu yang
berbeda dengan tingkah laku, nilai, makanan, agama dari orang-
orang dari kelompok etnik yang berbeda. Klasifikasi aspek
kebudayaan khusus ini dapat juga berkaitan dengan tingkat kelas
sosial (tinggi, menengah, rendah) atau jenis kelamin (pria dan
wanita) atau umur (anak, pemuda dewasa dan lainnya). Tentu
saja bisa terjadi cara berpikir, tingkah laku, nilai-nilai tertentu
overlap dengan cara berpikir, tingkah laku atau nilai dari
subgroup lainnya.
Struktur kebudayaan alternatif adalah aspek kepercayaan
dan tingkah laku masyarakat tertentu yang berlainan atau
bahkan bertentangan dengan norma-norma umum yang berlaku
di masyarakat yaitu yang universal dan khusus. Hal ini timbul
dalam usaha mencoba mengisi kebutuhan, memecahkan masalah
atau penyesuaian dari kenyataan yang ada. Jadi, elemen
alternatif ini adalah bahwa ia berbeda dari universal dan khusus,
karena elemen alternatif ini menawarkan pada anggotanya suatu
pilihan baru (New Morality). Elemen kebudayaan ini mempunyai
persamaan dengan elemen khusus karena elemen-elemen itu
berbeda dengan universal. Misalnya ditemukan bahasa-bahasa
khusus diantara anak muda.
Pada dasarnya kurikulum disusun dan dikembangkan untuk
mengintervensi kehidupan anak sedemikian rupa agar mereka
menjadi "seseorang" yang tanpa kurikulum tidak menjadi orang
yang diinginkan. Demi maksud tersebut terasa penting bagi
perancang kurikulum untuk memahami benar kebudayaan
universal dan khusus dan membandingkannya dengan segala
bentuk kebudayaan alternatif.
Sering ditemui saat ini adalah kurikulum disusun serta
diimplementasikan untuk mentrasfer nilai-nilai kebudayaan
yang ada seefisien mungkin kepada anak didik tanpa
mengevaluasi apakah nilai tersebut relevan dengan masa kini
dan masa depan yang berubah cepat. Praktik seperti ini pada
hakikatnya tidak berbeda dengan indoktrinasi. Sedangkan untuk
mendidik diperlukan kurikulum yang membuka lebar-lebar
kesempatan untuk mengkaji, serta mengevaluasi aspek-aspek
kebudayaan yang universal dan yang khusus dalam kaitannya
dengan aspek- aspek kebudayaan alternatif yang diinginkan bagi
pertumbuhan anak didik itu sendiri.
6. Kebudayaan dan Nilai
Seperti kita ketahui bahwa kebudayaan menentukan
pandangan, tata cara hidup dan tingkah laku masyarakat, yang
merupakan tata cara hidup yang lebih dapat diterima dan lebih
baik dari tata cara hidup lain. Oleh karena itu, kita dapat melihat
kebudayaan sebagai sesuatu yang penuh muatan nilai. la
membuat masyarakat dapat menentukan perbuatan yang baik
dan yang buruk, yang indah dan yang jelek, yang boleh dilakukan
dan yang tidak boleh dilakukan.
Seperti juga konsep kebudayaan maka nilai adalah konsep
yang juga rumit. Kesulitan terbesar terletak pada area penafsiran
yang akurat terhadap nilai yang dianut oleh individu maupun
masyarakat sebagaimana yang dipertanyakan oleh Van Cleve
Morris, bagaimana menentukan nilai-nilai yang dianut oleh
seseorang dengan kenyataan nilai-nilai yang dilaksanakannya.
Salah satu jawaban yang ditawarkan oleh Charles Morris dengan
membedakan antara conceived values (nilai yang dipikir orang,
yang mereka percayai) dengan operative values (nilai-nilai yang
tersirat dari perilaku mereka). Umumnya pada masyarakat akan
ditemui discrepancy antara apa yang dinilaikan dengan apa yang
dilaksanakan (action speaks louder than words).
Beberapa keputusan perihal kurikulum harus
mempertimbangkan setting sosial, khususnya hubungan antar
sekolah dan masyarakat serta pengaruhnya terhadap keputusan-
keputusan kurikulum tersebut. Kecerdasan sosial perlu bagi
perancang dan pengembang kurikulum dewasa ini.
Sesungguhnya para pembuat kurikulum perlu
mempertimbangkan dan menggunakan pondasi sosial guna
merencanakan dan mengembangkan kurikulum. Dalam banyak
teks kurikulum, pertimbangan terhadap dasar sosial sering
mengarah pada
diskusi antara sekolah dan masyarakat, dan diskusi antar
individu, implikasi-implikasi sosial dari ilmu dan perubahan,
serta tujuan pendidikan, sebagai contoh hal-hal seperti isu yang
berkaitan dengan pendidikan kompensasi, pendidikan bilingual
dan multilingual, pendidikan sex, pendidikan orang cacat,
pendidikan global dan pemahamannya terhadap masa depan.

7. Masyarakat, Pendidikan, dan Sekolah


Pendidikan sifatnya netral. Bisa digunakan untuk tujuan
yang konstruktif atau dekonstruktif, untuk promosi suatu
gagasan, institusi politik, aliran atau yang lainnya. Jenis
pendidikan yang diterima generasi muda (millenial) menentukan
kualitas masyarakat. Transmisi budaya adalah tugas utama dari
sistem pendidikan suatu masyarakat. Nilai, kepercayaan dan
norma- norma dari sebuah masyarakat dipelihara dan
dilanjutkan pada generasi berikutnya bukan hanya dengan
mengajarkannya, tetapi juga dengan mengutarakannya dalam
suatu operasi sistem pendidikan.
Menurut Dewey (1962), pendidikan adalah alat
mengekalkan dan meningkatkan masyarakat dengan
pengalaman-pengalaman peserta didik. Hal ini menjadi tanggung
jawab yang mendasar dari para pendidik guna menyadari
prinsip umum, mempertajam pengalaman-pengalaman aktual,
dan untuk memahami lingkungan- lingkungan kondusif agar bisa
mendapatkan pengalaman- pengalaman menuju pertumbuhan.
Menurut Dewey (1962), pengalaman mestilah diprogramkan
dengan tepat, karena ia akan mempengaruhi formasi tingkah
laku atau sikap yang diharapkan. Ini juga berlaku bagi pendidik,
khususnya mereka yang memegang mata kuliah, untuk mengisi
kegiatan (atau apa yang disebut Dewey dengan pengalaman-
pengalaman) yang membantu pertumbuhan
sosial dan pribadi seseorang dan peningkatan kualitas
masyarakat, atau sebaliknya (atau apa yang Dewey sebut dengan
kesalahan pendidikan).
Kebanyakan kita menganggap pendidikan sama dengan
sekolah. Sesungguhnya, walaupun sebuah masyarakat tidak
punya sekolah-sekolah formal, sebenarnya mereka masih
mendidik generasi mudanya melalui keluarga atau ritual khusus
dan latihan-latihan. Sekolah memainkan peranan yang besar
dalam pendidikan pada industri modern (masyarakat). Sekolah
menjadi lebih penting dan menentukan masyarakatnya mau jadi
apa, menjadi lebih komplek dan menjadi gambaran
perkembangan ilmu pengetahuan.
Sederhananya, pada masyarakat non-teknologi, hampir
setiap orang menjadi ahli, melebihi gugusan dari ilmu
pengetahuan yang diperlukan agar bertahan hidup. Dalam
masyarakat teknologi (Revolusi Industri 4.0) orang memperoleh
keahlian dan kemampuan yang berbeda. Tidak seorangpun bisa
mencapai semua kemampuan dari segenap ilmu pengetahuan
atau berharap menjadi ahli pada semua bidang. Dalam
masyarakat tradisional yang buta huruf, pendidikan berlangsung
lewat upacara- upacara, ritual-ritual, cerita-cerita, pengamatan
dan usaha-usaha meningkatkan kapabilitas anak yang terdahulu
atau yang lebih tua, dengan pemaksaan kehendak lewat aturan
tingkah laku atau tindak tanduk.
Pada masyarakat modern dan teknologi era Revolusi
Industri 4.0, proses pendidikan mulai dari rumah tetapi sekolah
memegang peranan yang lebih besar dalam memdidik anak-anak
menjadi lebih dewasa dengan skill complex problem solving.
Sekolah adalah institusi yang vital untuk membantu generasi
muda memperoleh ilmu pengetahuan yang sistematis,
mempersiapkan mereka
dengan tingkah laku dan nilai-nilai yang benar, meneruskannya
dari generasi ke generasi. Dalam masyarakat kontemporer media
masa juga memainkan peranan yang penting dalam proses ilmu
pengetahuan dan dalam mendefenisikan kembali nilai-nilai dan
ide-ide. Akan tetapi fungsi sekolah adalah melayani masyarakat
melalui pendidikan anak-anak dan generasi mudanya. Pembuat
kurikulum, yang membantu menentukan isi, aktifitas dan
lingkungan pendidikan, memainkan peranan yang besar dalam
mengasah dan mensosialisasikan peserta didik secara tidak
langsung.

8. Masyarakat dan Pembentukan Kepribadian


Ketika para ahli ilmu sosial berbicara tentang pembentukan
kepribadian, mereka tidak bermaksud bahwa semua anggota
dari suatu masyarakat tertentu persis seperti apa yang terlihat.
Seperti yang ditulis oleh Ruth Benedict, tidak ada kebudayaan
yang diamatinya mampu membasmi perbedaan atau
mengubahnya. Bagaimanapun, angota-anggota masyarakat
punya banyak kelakuan yang hampir sama, mereka dijejali
jadwal-jadwal, dilatih dengan cara tertentu, dididik dengan gaya
yang sama, menikahi satu atau beberapa orang, berpenghidupan
sebagai buruh, dihadapkan pada tuntutan perekonomian,
umumnya percaya pada satu Tuhan atau pada banyak dewa.
Mereka berbagi pengalaman menghadapi tabiat individu-
individu, sehingga akhirnya individu-individu itu bertingkah laku
dengan cara-cara yang sama. Menurut Benedict, norma-norma
masyarakat mengatur hubungan interpersonal dan
menghasilkan suatu pembentukan kepribadian yaitu, tingkah
laku-tingkah laku, perasaan-perasaan, dan pola-pola kelakuan
kebanyakan anggota masyarakat. Kebanyakan orang-orang lain di
dunia ini menyalahkan
kemiskinan, nasib, atau pemerintah terhadap kegagalan. Namun,
orang-orang cendrung untuk tidak menyalahkan diri mereka
sendiri.
Para orang tua biasanya menyuruh anak-anak mereka untuk
meneruskan tradisi-tradisi keluarga, meneruskan perusahaan,
perkebunan, peternakan atau semacamnya. Generasi pertama
dan kedua para orang tua menginginkan anak-anak mereka
untuk meninggalkan rumah demi kehidupan yang lebih baik.
Orang-orang cenderung untuk mengevaluasi diri mereka sendiri
seberapa tinggi yang mereka peroleh dibanding bapak mereka
dan bagaimana mereka membandingkan dengan teman-teman
dan tetangga mereka. Orang-orang merasa mereka tidak meraih
yang sesungguhnya, pendakian belum berakhir.
Bab III
KOMPONEN KURIKULUM

A. Apa Saja Komponen Kurikulum?


Kurikulum sebagai suatu rancangan dalam pendidikan
memiliki posisi yang strategis, karena seluruh kegiatan
pendidikan bermuara kepada kurikulum. Begitu penting
kurikulum sebagaimana sentra kegiatan pendidikan, maka di
dalam penyusunannya memerlukan komponen. Dalam
komponen kurikulum ada hal yang perlu diperhatikan dan
dipertimbangkan, yaitu 1) tujuan yang ingin dicapai; 2)
pengalaman belajar yang disiapkan untuk mencapai tujuan; 3)
organisasi pembelajaran; dan
4) evaluasi apakah tujuan yang ditetapkan tercapai (Tyler, 1949).

B. Apa Tujuan Kurikulum dan Konten?


Tujuan itu penting ditetapkan, ada yang ingin dicapai dan
tidak diinginkan. Tujuan kurikulum pada hakikatnya adalah
tujuan dari setiap program pendidikan yang akan diberikan pada
anak didik dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan
pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003. Tujuan pendidikan nasional yang
merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya
dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan
yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau
satuan pendidikan
tertentu. Tiga komponen dalam tujuan pendidikan antara lain
sebagai berikut.
1. Aims: Tujuan pendidikan (tujuan pendidikan nasional/filsafat)
2. Goal: Tujuan Institutional (kelembaga atau kemata pelajaran)
3. Objective: Tujuan Instruksional (Pembelajaran, silabus dan RPP)

Tujuan pendidikan nasional seperti yang termuat dalam UU


RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pendidikan merupakan usaha mewujudkan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya.
Tujuan Institusional (Kompetensi Lulusan) adalah tujuan yang
yang harus dicapai oleh suatu lembaga pendidikan, contohnya
SD, SMP, SMA, Pendidikan Tinggi. Tujuan pendidikan
institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan
kurikuler. Tujuan kurikuler (Standar Kompetensi) adalah tujuan
bidang studi atau mata pelajaran sehingga mencapai hakikat
keilmuan yang ada di dalamnya atau tujuan pendidikan yang
ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di
setiap sekolah atau satuan pendidikan.
Tujuan instruksional (Kompetensi Dasar) dirumuskan
sebagai kemampuan-kemampuan yang diharapkan dimiliki anak
didik setelah mereka menyelesaikan proses belajar mengajar. Ada
tujuan instruksional umum yaitu kemampuan yang sifatnya lebih
luas dan mendalam dan tujuan instruksional khusus yaitu
kemampuan lebih terbatas dan harus dapat diukur pada saat
berlangsunganya proses belajar mengajar. Tiga hal tujuan
pendidikan yang harus dikandungnya 1) autonomy yaitu
memberikan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan kepada
individu atau kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama
dalam kehidupan masyarakat; 2) equity yaitu memberikan

86 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan


Pembelajaran
kesempatan untuk

Komponen Kurikulum 87
berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi; dan 3) survival
yaitu memberikan pemahaman akan saling ketergantungan
antara manusia.
Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan
bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan
menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum
pendidikan yaitu 1) tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan
dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut; 2) tujuan pendidikan menengah adalah
meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak
mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut; dan 3) tujuan pendidikan menengah
kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan
kejuruannya.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh tujuan kurikuler
yang berkaitan dengan pembelajaran ekonomi, sebagaimana
diisyaratkan dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2007 tentang
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar 1) tujuan Mata
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP/MTS yaitu mengenal
konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dan lingkungannya, memiliki kemampuan dasar untuk berpikir
logis dan kritis, rasa ingin tahu, inquiry, memecahkan masalah,
dan keterampilan dalam kehidupan social, memiliki komitmen
dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, dan
memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan
berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal,
nasional, dan global; 2) tujuan Mata Pelajaran Ekonomi di SMA
yaitu memahami sejumlah konsep ekonomi untuk mengkaitkan
peristiwa dan masalah
ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi
dilingkungan individu, rumah tangga, masyarakat, dan Negara,
menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep
ekonomi yang diperlukan untuk mendalami ilmu ekonomi,
membentuk sikap bijak, rasional dan bertanggungjawab dengan
memiliki pengetahuan dan keterampilan ilmu ekonomi,
manajemen, dan akuntansi yang bermanfaat bagi diri sendiri,
rumah tangga, masyarakat, dan Negara, dan membuat keputusan
yang bertanggungjawab mengenai nilai- nilai sosial ekonomi
dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam skala nasional
maupun internasional; 3) tujuan Mata Pelajaran Kewirausahaan
pada SMK/MAK yaitu memahami dunia usaha dalam kehidupan
sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan masyarakat,
berwirausaha dalam bidangnya, menerapkan perilaku kerja
prestatif dalam kehidupannya, dan mengaktualisasikan sikap
dan perilaku wirausaha; dan 4) tujuan Mata Pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial di SMK/MAK yaitu memahami konsep-konsep
yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya, berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial,
berkomitmen terhadap nilai- nilai sosial dan kemanusiaan, dan
berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam
masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional, dan global.
Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional
sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak
dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan
dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran.
Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang
lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran dari setiap mata pelajaran. Pada tingkat
operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat
spesifik dan
lebih menggambarkan tentang “what will the student be able
to do as result of the teaching that he was unable to do before”
(Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan
tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan
perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui
proses pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka
perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam aspek
kognitif, afektif dan psikomotor. Lebih jauh lagi, Sukmadinata
(1997) memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin
dicapai pada tujuan pembelajaran, yaitu 1) menggambarkan apa
yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan a)
menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang
dapat diamati;
b) menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta
didik; dan c) memberikan pengkhususan tentang sumber-
sumber yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang
yang dapat diajak bekerja sama; 2) menunjukkan perilaku yang
diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk a)
ketepatan atau ketelitian respons; b) kecepatan, panjangnya dan
frekuensi respons; dan 3) menggambarkan kondisi-kondisi atau
lingkungan yang menunjang perilaku peserta didik berupa a)
kondisi atau lingkungan fisik; dan b) kondisi atau lingkungan
psikologis.
Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti
yang sangat penting. Keberhasilan pencapaian tujuan
pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan
tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya. Terlepas dari
rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum
sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika
kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat
klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai
pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak
diarahkan pada pencapaian penguasaan
materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan
aspek intelektual atau aspek kognitif.
Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan
filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan
pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan
aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya
pengembangan aspek afektif. Pengembangan kurikulum dengan
menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar
utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada
upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan
bekerja sama. Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan
menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori
pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan
pada pencapaian kompetensi.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan
pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh
dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-
tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat,
teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara
konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir
tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks
sering digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal
yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang
ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih
diusahakan secara berimbang. Zais (1976) menyebutkan anak
itu didik bukan jadi ilmuan tetapi menjadi warga yang baik.

C. Apa Permasalahan Ends dan Means?


Means merupakan bagaimana caranya kita sampai pada
sasaran yang hendak dituju, contoh tujuan instruksionalnya
adalah peserta didik dapat menulis secara masuk akal dan dapat
mengorganisir paragraf dengan baik, maka (means) dalam
kurikulum harus mengandung unsur materi cara menulis yang
baik dan aktivitas belajar yang dipakai untuk mencapai cara
menulis yang baik tersebut, sehingga semua sasaran akhir dapat
diperoleh peserta didik.
Menurut Dewey (1962) bahwa ends bukanlah akhir dari
segala kegiatan yang dituju tetapi berhenti pada sasaran tertentu
untuk sampai pada tujuan yang lebih besar yang hendak dicapai.
Konsep Dewey ini (ends dan means) pada mulanya adalah dari
asumsi filsafat Aristotles dan budaya Eropa Barat, di mana ends
merupakan kegiatan yang dilakukan manusia sampai pada batas
tertentu untuk mengambil suatu kesimpulan yang idealis
sehingga harus terlihat konsep bahagia, percaya diri, jujur dan
berperilaku baik. Inilah konsep ends yang baik untuk dituju
sebagai sasaran pendidikan yang akan dilakukan oleh peserta
didik.
Menurut Dewey (1962) ends merupakan tindakan yang
memiliki konsekuensi yang timbal balik dari kegiatan pendidikan
yang dilakukan, sehingga dapat meramalkan atau memberikan
makna untuk masa yang akan datang. Dapat kita lihat bahwa
Dewey menganggap bahwa ends dan means merupakan
dikotomi palsu yang mengarah kepada realita yang merupakan
kejadian yang terus menerus mengarah kepada tindakan sebab
akibat. Ends dan Means merupakan dua cara untuk mencapai
sasaran yang hendak dituju kepada aktualisasi. Pandangan
Dewey ini memberikan sedikit analisis dan dia menjelskan juga
bahwa manusia merespon semua kegiatan yang mengarah
kepada ralita.
Pemberian makna dan mengarah kepada aktivitas manusia
merupakan jawaban sementara dari manusia yang konsekuensi
sesuai dengan tindakan yang dilakukannya konsekuensi
sementara
inilah yang disebut dengan ends. Jika ends dan mean merupakan
dua cara yang mudah mengarah dan menghubungi kepada
kejadian-kejadian yang sama dikaitkan dengan sebab akibat,
maka ends dan means memungkinkan keluar dari pembicaraan
tentang logika, yang pada dasarnya memerlukan pertimbangan
yang lain.
Pendidikan penuh makna merupakan pendidikan yang
difokuskan pada outcame yang biasanya diekspresikan dalam
beberapa level yang berbeda. Level yang paling umum dapat
direfleksikan dalam pernyataan tujuan, yang paling spesifik
dimuat dalam pernyataan sasaran. Tetapi, bagaimanapun
spesifiknya, pendidik menggunakan pernyataan ini untuk
meningkatkan perkembangan, impelementasi, pemeliharaan
dan evaluasi program pendidikan. Pernyataan seperti aim, goals
dan objective tidaklah diciptakan dalam sebuah kehampaan.
Formulasinya menggambarkan bagaimana pekerjaan pendidik
dalam melaksanakan tugas-tugas yang banyak dipengaruhi oleh
filosifi yang mereka yakini.

D. Apa itu Konten?


Konten merupakan bagian terpenting dari sebuah kurikulum
setelah tujuan kurikulum, karena di dalam konten ini mencakup
materi apa yang akan diajarkan kepada anak didik. Dalam
menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas
dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah
dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang
didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme,
eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal
yang utama.
Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan
sistematis, dalam bentuk 1) teori yaitu seperangkat konstruk
atau
konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang
menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan spesifikasi
hubungan-hubungan antara variabel-variabel dengan maksud
menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut; 2) konsep yaitu
suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-
kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau
gejala; 3) generalisasi yaitu kesimpulan umum berdasarkan hal-
hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau
pembuktian dalam penelitian; 4) prinsip yaitu ide utama, pola
skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan
antara beberapa konsep; 5) prosedur yaitu seri langkah-langkah
yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan
peserta didik; 6) fakta yaitu sejumlah informasi khusus dalam
materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan
tempat serta kejadian;
7) istilah yaitu kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus
yang diperkenalkan dalam materi; 8) contoh/ilustrasi yaitu hal
atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas
suatu uraian atau pendapat; 9) definisi yaitu penjelasan tentang
makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis
besarnya; dan 10 preposisi yaitu cara yang digunakan untuk
menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan
kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat
progresivisme lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat,
dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi
pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh
peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan
pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas
sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang
diangkat dari masalah-masalah sosial yang krusial, misalnya
tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi
pembelajaran yang
berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari
disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil
hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan
suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang
lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi
yang lebih kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat
dari filsafat yang melandasi pengembangam kurikulum terdapat
perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran. Namun
dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi
pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu.
Maka dalam praktiknya cenderung digunakan secara eklektik
dan fleksibel. Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki
wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai
dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak
dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam praktiknya
untuk menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan 1)
Sahih dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran
benar- benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di
samping itu, juga materi yang diberikan merupakan materi yang
aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi
untuk pemahaman ke depan; 2) tingkat kepentingan, materi yang
dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh
mana materi tersebut penting untuk dipelajari; 3) kebermaknaan
yaitu materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis
maupun non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan
dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan
dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut.
Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan
kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam
kehidupansehari-hari;4)layakdipelajariyaitumaterimemungkinkan
untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak
terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya
terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat; 5) menarik
minat yaitu materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan
dapat memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut,
menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan
untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi,
Sukamadinata (1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan
materi pembelajaran, yaitu 1) sekuens kronologis, susunan
materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu; 2)
sekuens kausal yaitu susunan materi pembelajaran yang
mengandung hubungan sebab-akibat; 3) sekuens structural yaitu
susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur
materi; 4) sekuens logis dan psikologis, sekuensi logis
merupakan susunan materi pembelajaran dimulai dari bagian
menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada
yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari
keseluruhan menuju bagian-bagian, dan dari yang kompleks
menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis materi
pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori,
dari fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke masalah
mengapa; 5) sekuens spiral yaitu susunan materi pembelajaran
yang dipusatkan pada topik atau bahan tertentu yang populer
dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan
diperluas dengan bahan yang lebih kompleks; 6) Sekuens
rangkaian ke belakang, dalam sekuens ini mengajar dimulai
dengan langkah akhir dan mundur kebelakang. Contoh
pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah
sebagai berikut (a) pembatasan masalah; (b) penyusunan
hipotesis; (c) pengumpulan data;
(d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes; dalam
mengajarnya, pendidik memulai dengan langkah (a) sampai (d),
dan peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya
(e). Pada kasempatan lain pendidik menyajikan data tentang
masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik
diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan
seterusnya; 7) Sekuens berdasarkan hierarki belajar yaitu
prosedur pembelajaran dimulai menganalisis tujuan-tujuan yang
ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi
pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi tersebut.
Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang
mula-mula harus dikuasai peserta didik, berturut-berturut
sampai dengan perilaku terakhir.
Konsep Konten menurut Zais (1976) mencakup tiga
komponen utama, yaitu ilmu pengetahuan, proses, dan nilai-nilai.
Proses konten mengajarkan proses apa yang belum diketahui.
Nilai-nilai adalah mengandung bidang studi yang akan dipelajari.
Terdapat enam kriteria yang biasa dipakai dalam penetapan
konten 1) signifikansi dipakai untuk menetapkan bagian apa dari
suatu bidang ilmu yang perlu dimasukkan atau ditekankan,
misalnya konsep-konsep dan prinsip-prinsip dasar dalam setiap
disiplin ilmu perlu diutamakan;
2) kebutuhan social, sekolah didirikan antara lain untuk
memenuhi kebutuhan sosial anak-anak agar mereka memiliki
kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosial dan
meningkatkan nilai- nilai masyarakat; 3) kegunaan, diharapkan
materi kurikulum yang dipilih dapat bermanfaat bagi pelajar
atau peserta didik itu sendiri, sekolah dan masyarakat; 4) minat,
materi yang didasarkan pemilihannya pada minat peserta didik
merupakan salah satu usaha untuk membuat kurikulum lebih
relevan dengan peserta didik; 5) perkembangan manusia, yaitu
perkembangan setiap individu anak dan juga perkembangan anak
secara keseluruhan dalam kehidupan
bermasyarakat; dan 6) struktur disiplin ilmu, sasaran utama
materi berorientasi disiplin ilmu adalah agar tamatan sekolah
dapat menjadi ilmuwan, peneliti, produsen ilmu pengetahuan,
bukan sebagai konsumen ilmu pengetahuan saja.
Implikasi konten terhadapan kurikulum antara lain materi
kurikulum dapat mencakup tiga hal pokok, yaitu ilmu
pengetahuan, proses, dan nilai-nilai. Masing-masing kajian dari
ketiga pokok tersebut masih dapat diperinci lagi sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai sekolah, yang lulusannya juga akan
terdiri dari tiga kelompok pula, yaitu yang akan meneruskan ke
pendidikan tinggi, yang akan masuk angkatan kerja dan
meneruskan sekolah kejuruan tingkat atas. Selanjutnya terdapat
tiga orientasi materi kurikulum yaitu materi dengan tekanan
lebih besar pada mata pelajaran, kegiatan belajar, dan
pengalaman belajar. Yang sering didapati dalam implementasi
kurikulum adalah pilihan materi ditetapkan kuarang mengacu
kepada tujuan pendidikan atau tujuan instruksional yang ingin
dicapai kurikulum tersebut. Kemudian kriteria penetapan
kurikulum apapun yang akan dipakai memerlukan kajian
empiris di lapangan. Maksudnya ialah perlu terlebih dahulu
dikaji kualitas lulusan yang bagaimana yang diharapkan sekolah.
Kalau ini sudah ditetapkan, kajian empiris tentang materi
kurikulum dapat pula dilakukan. Implikasi lebih jauh dari
kriteria-kriteria pengembangan manusia tersebut saat ini adalah
perlunya sekolah mengenal dan memahami anak didik sebanyak
mungkin sebelum konten kurikulum ditetapkan.

E. Bagaimana Merancang Kegiatan Belajar?


Kegiatan belajar adalah memberi kesempatan belajar kepada
peserta didik untuk mempelajarinya, peserta didik belajar
banyak dan pendidik belajar sedikit (what student does, no what
teacher does). Kegiatan belajar merupakan jantungnya
kurikulum. Kurikulum akan baik mana kala isi dan kegiatan
belajarnya baik. Kalau salah satu tidak baik, maka kurikulumnya
menjadi disfunctioned. Contoh kegiatan belajar yang baik adalah
sebagai berikut.
Kegiatan Belajar Ilmu Kegiatan Belajar Pengalaman

Profesional Kegiatan belajar Kompetensi Kegiatan belajar

Menurut Zais (1976) seorang anak atau orang dewasa tidak


hanya berbuat tetapi menerima konsekuensi dari apa yang dia
lakukan dalam hubungannya dengan apa yang boleh atau tidak
boleh dikerjakannya pada masa yang akan datang. Dalam melihat
bagaimana dia melakukan perubahan di dunianya, maka dia
harus belajar dengan kekuatannya sendiri dan dalam usaha
mencapai tujuan yang harus djalaninya. Dengan pengalaman
tersebut, mengakibatkan dia berkembang, karena pada dasarnya
setiap orang belajar dari pengalamannya itu.
Pada dasarnya aktivitas belajar merupakan inti dari
pelaksanaan suatu kurikulum, karena dia begitu berpengaruh
dalam membentuk pengalaman belajar dan pendidikannya.
Pengalaman belajar, dan bukan materi yang ada di dalamnya,
merupakan cara untuk mencapai seluruh sasaran di samping
pengetahuan dan pemahaman (Taba 1962). Perhatian yang tajam,
target yang jelas, isi yang baik, demikian juga prosedur evaluasi
yang sistematis, semua tidak ada gunanya, jika aktivitas belajar
tersebut tidak memberikan mereka pengalaman yang sifat
mendidik.
Aktivitas belajar di beberapa sekolah merupakan hal yang
biasa, seperti membaca, mendengarkan dan menjawab beberapa
pertanyaan pendidik. Pada dasarnya, kegiatan yang dilakukan
tersebut begitu lazim sehingga kondisi tersebut dipercayai
bahwa mereka tidak akan belajar sesuatu jika seseorang tidak
memberi mereka informasi. Sebaliknya, sebagai sebuah alternatif,
eksplorasi aktif dari ide suatu aktivitas pembahasan di mana
melalui ini peserta didik didorong untuk menemukan arti
personal. Penyerapan atau penguasaan informasi biasanya
memiliki efek kecil terhadap perilaku; kecuali arti personal dari
informasi tersebut membentuk pengalaman individual dan
menentukan watak dan tingkah laku.

F. Bagaimana Menyusun Strategi/ Organisasi


Pembelajaran?
Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan
teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum
terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi
pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula
terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak
dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam
pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual,
sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan
pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya
ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang
dikembangkan akan lebih berpusat kepada pendidik. Pendidik
merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran
dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan.
Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek pasif
menerima sejumlah informasi dari pendidik. Metode dan teknik
pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian
(ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar.
Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada pendidik
tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut
kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu
proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta
didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya
sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan
bagaimana cara- cara yang paling sesuai untuk memperoleh
materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan
rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses
pembelajaran melalui dinamika kelompok. Pembelajaran
cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran
yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari pendidik
tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan
proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti pembelajaran
moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan
sejenisnya. Dalam hal ini, pendidik tidak banyak melakukan
intervensi. Peran pendidik hanya sebagai facilitator, motivator
dan guider. Sebagai fasilitator, pendidik berusaha menciptakan
dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta
didiknya. Sebagai motivator, pendidik berupaya untuk
mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat
melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider,
pendidik melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal
para peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis
teknologi (Computer Based Instruction) yang menekankan
pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi
tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih
bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam
pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologi masih
dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual.
Dalam pembelajaran teknologi dimungkinkan peserta didik
untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan pendidik
(Blended Learning), seperti melalui internet atau media
elektronik lainnya. Peran pendidik dalam pembelajaran
teknologi lebih cenderung sebagai director of learning, yang
berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk
melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang
telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan
untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi
pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya
tersendiri. Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
dan Kurikulum 2013, mulai muncul konsep pembelajaran
dengan isitilah aktif, kreatif, efektif, menyenangkan dan berbasis
kompetensi. Oleh karena itu, dalam praktiknya seorang pendidik
seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara
variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan
peserta didik untuk dapat melaksanakan proses belajarnya
secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang
tinggi.
Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan
kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam
mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam
pengorganisasian kurikulum, yaitu 1) mata pelajaran terpisah
(isolated subject) kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran
yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada
hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing
diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan
minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi
diberikan sama; 2) mata pelajaran berkorelasi, korelasi diadakan
sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai
akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh
adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi
guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu;
3) bidang studi (broad field) yaitu organisasi kurikulum yang
berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis
serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan dalam satu
bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan
“core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan
core tersebut; 4) program yang berpusat pada anak (child
centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada
kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran; 5)
inti masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa
unit- unit masalah, di mana masalah-masalah diambil dari suatu
mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan
melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan
masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau
analisisnya diberikan secara terintegrasi; dan 6) Ecletic Program,
yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara
organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan
peserta didik.
Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian
yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok
mata pelajaran, yaitu 1) kelompok mata pelajaran agama dan
akhlak mulia; 2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian; 3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi; 4) kelompok mata pelajaran estetika; dan 5) kelompok
mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan. Kelompok-
kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi
ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan
dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk
memenuhi
kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta
untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik
disediakan kegiatan pengembangan diri.

G. Bagaimana Mengevaluasi Pembelajaran/


Kurikulum?
Evaluasi merupakan proses pengumpulan data untuk
mengambil keputusan yang mengarah kepada tindak lanjut,
Evaluasi merupakan suatu proses pemberian makna, Evaluasi
menyangkut mencari informasi dan bukti untuk mengetahui
apakah semua materi yang direncanakan dan yang telah
diajarkan dapat mencapai tujuan atau tidak. Evaluasi akan
memberikan informasi dan indikasi tentang keberhasilan atau
kegagalan proses pembelajaran dalam mencapai tujuan yang
direncanakan, maka evaluasi memegang peranan penting dalam
Pengembangan kurikulum. Hasil evaluasi digunakan sebagai
masukan bagi perbaikan kurikulum dan perbaikan pelaksanaan
pembelajaran. Menurut Oliva (1982), evaluasi itu bermanfaat
untuk
1) mengetahui keberhasilan belajar peserta didik; 2)
memperbaiki program pembelajaran atau proses belajar-
mengajar; 3) mengukur tingkat pencapaian tujuan pendidikan.
Ini berarti evaluasi dapat digunakan sebagai alat untuk
menentukan perbaikan program. Sedangkan menurut Brady &
Kennedy (2007) Evaluasi Kurikulum digunakan untuk 1) mengukur
sejauh mana kinerja peserta didik dalam memenuhi tujuan; 2)
membandingkan kinerja peserta didik dengan standar tertentu;
3) menggambarkan dan menilai kurikulum; 4) mengidentifikasi
daerah-daerah untuk pengambilan keputusan kurikulum, memilih,
dan menganalisa informasi yang relevan dengan wilayah
keputusan; dan 5) menggunakan pengetahuan profesional untuk
menilai proses
yang sedang berlangsung yang terlibat dalam pelaksanaan kurikulum.
Di samping itu, evaluasi juga bermanfaat untuk mengetahui
apakah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sudah benar atau perlu
direvisi. Penilaian dapat dilakukan untuk mengetahui kesesuaian
kurikulum dengan tingkat kecerdasan peserta didik dan
kesesuaian antara metode mengajar dengan tujuan, serta
kesuaian antara materi dengan tujuan itu sendiri (Saylor dan
Alexander, 1966).
Beberapa Pendekatan dalam evaluasi yaitu traditional
evaluation dan new-wave evaluation. Traditional evaluation 1)
dilakukan ketika kurikulum sudah diterapkan secara luas; 2)
sulit untuk pengendalian atas semua variabel-variabel; 3) tidak
peka terhadap kondisi lokal atau effek yang khas; 4) bukan untuk
obyek secara terukur, dengan demikian melalaikan informasi
subjektif yang berharga; 5) menggunakan metode ilmiah, yang
memisahkan dari situasi-situasi kehidupan nyata; dan 6) mahal
dalam hal waktu dan pelaksanaan. Kemudian new-wave
evaluation 1) impresionistik dan lebih subjektif; 2) sulit
menyamaratakan hasil- hasil yang berlaku pada situasi lainnya;
3) jarang membenarkan temuan-temuan; 4) menekankan pada
ke khususan; dan 5) tidak jelas seluruhnya hanya tentang apa
yang dinilai.

1. Evaluasi Kurikulum Menyeluruh


Evaluasi Kurikulum menyeluruh adalah suatu karya yang
kompleks, tidak hanya melibatkan penilaian suatu dokumen
tertulis (rencana kurikulum) tetapi lebih kepada implementasi
pembelajaran terkait interaksi antara para peserta didik,
pendidik, material, dan Iingkungan.

2. Tujuan dan Peranan Evaluasi


Kejelasan tentang fungsi evaluasi di dalam kurikulum sangat
penting jika evaluasi dilakukan untuk mengukur implementasi
kurikulum. Scriven (1967) menggambarkan pembedaan antara
tujuan dan peran evaluasi. Tujuan evaluasi adalah penentuan
seberapa baik suatu kurikulum dilaksanakan ketika diukur
dengan ukuran-ukuran tertentu atau ketika dibandingkan
dengan kurikulum lain. Peran evaluasi tergantung bagaimana
evaluasi dirancang dan dapat dilaksanakan secara diferensial di
dalam proses pengembangan kurikulum, implementasi
kurikulum, atau bahkan di area ekonomi politik. Peran tertentu
yang dimainkan oleh evaluasi berdampak penting pada hasil
akhir kurikulum.

3. Evaluasi Formatif dan Summatif


Perbedaan yang prinsip antara evaluasi formatif dan sumatif
harus lakukan dengan mempertimbangkan 1) tujuan; 2) waktu;
dan 3) tingkatan penyamarataan (Bonks, 2002). Karakteristik
ini lebih relatif bukan absolut. Definisi evaluasi summatif dan
formatif mungkin dijelaskan dalam pengertian relatif. Evaluasi
sumatif diselenggarakan dalam rangka memperoleh suatu
penilaian menyeluruh mutu suatu kurikulum yang komplit.
Karena itu evaluasi sumatif yang biasanya berlangsung dalam
penyelesaian proses pengembangan kurikulum, menyediakan
suatu pertimbangan pada produk yang diselesaikan.
Evaluasi formatif, sebagai pembanding menyediakan
penilaian mutu kurikulum, yang diselenggarakan sepanjang
proses pengembangan kurikulum untuk tujuan tambahan yang
menyediakan dana yang dapat digunakan untuk "format" suatu
produk menjadi lebih baik. Evaluasi formatif ini berlangsung
sepanjang pengembangan kurikulum dan berhubungan dengan
aspek yang relatif lebih spesifik. Mungkin bisa dikatakan evaluasi
formatif dan sumatif keduanya berperan dalam pengembangan
kurikulum. Nampak dengan jelas untuk tujuan pengembangan
kurikulum, evaluasi formatif adalah suatu alat lebih jauh
bermanfaat dibanding evaluasi sumatif, walaupun kedua-duanya
sangat diperlukan. Singkatnya, evaluasi formatif sebagai umpan
balik untuk mengontrol proses pengembangan kurikulum.

4. Mengevaluasi Koherensi Kurikulum


Masalah yang perlu untuk dipertimbangkan dalam bagian
ini adalah seperti yang disinggung pada bagian "hubungan antar
Aim, Goal, dan Objective”. Di sana, ada catatan bahwa
perencanaan kurikulum mempunyai sasaran khusus yaitu
adanya konsistensi dengan tujuan yang dinyatakan, dan bahwa
tujuan ini pada gilirannya kongruen dengan tujuan kurikulum yang
terakhir yang akan dicapai para peserta didik. Pada hakikatnya
evaluasi adalah proses yang dilakukan untuk mengumpulkan
data, dengan data yang terkumpul dapat dianalisa untuk
menetapkan suatu keputusan, antara menerima, menolak atau
merevisi. Jadi tujuan evaluasi adalah untuk menyaring informasi-
informasi melalui data yang tujuannya untuk mengetahui letak
keberhasilan atau kegagalan dari suatu rencana yang telah
ditetapkan (Howel dan Nolet, 2000).

5. Kegunaan Evaluasi Kurikulum


Ada beberapa kegunaan manfaat daripada evaluasi
kurikulum, yaitu 1) untuk mengetahui sejauh mana keuntungan
dan kelemahan dari tujuan yang telah dicapai; 2) untuk
mengambil keputusan antara menerima, merevisi atau menolak
program yang sudah dibuat; 3) untuk menyaring data guna
mendukung keputusan yang diambil; 4) untuk mengetahui
keberhasilan belajar anak didik; 5) untuk memperbaiki program
belajar atau proses belajar mengajar; dan 6) untuk mengukur
tingkat pencapaian tujuan pendidikan, yang selanjutnya dapat
dipakai sebagai dasar revisi program
pengajaran. Evaluasi terkait dengan beberapa hal yaitu 1) tujuan
pendidikan; 2) tujuan efektifitas; 3) kebijakan; dan 4) perbaikan.

6. Model-Model Evaluasi
a. Evaluasi Intrinsik dan Evaluasi Hasil
FDMichael Scriven sebagai pelopor dari teori evaluasi ini
menyatakan bahwa kriterianya tidak diformulasikan dalam
operasionalnya, kriteria evaluasi merujuk pada kurikulum itu
sendiri. Mengevaluasi kurikulum dengan pendekatan intrinsik
ini perlu diperhatikan; tujuan pendidikan dan tipe-tipe materi
yang akan dipergunakan. Jika rencana kurikulum mempunyai isi
yang kuat dan akurat dari organisasi tertentu maka
kurikulum itu akan efektif membangkitkan peserta didik dalam
belajar. Nilai dasar kurikulum yang telah dievaluasi perlu diuji
terlebih dahulu sebelum disampaikan. Dalam melakukan
evaluasi hasil harus memperhatikan dampaknya terhadap
peserta didik, pendidik, orang tua, dan tenaga administrator
sekolah.

b. Evaluasi Formatif dan Sumatif


Evaluasi formatif adalah evaluasi yang berasarkan
pertumbuhan mencakup aktivitas-aktivitas untuk
meningkatkan kualitas program yang ada. Keputusan diambil
berdasarkan bukti-bukti yang dikumpul, kemudian
dikembangkan untuk diimplementasikan. Dalam
pertumbuhan evaluasi formatif, tenaga edukatif mempunyai
cara yang berbeda. Jika evaluasi menyangkut suatu unit
kerja, maka prosedurnya akan melibatkan semua unsur
terkait atau bersifat formal dan sistematik serta fleksibel.
Evaluasi formatif sebagai pemandu menciptakan yang
baru untuk memperbaiki kurikulum dan perlu disesuaikan
dengan program yang ada. Menurut Gronlund (1981),
pendidik dan pihak lain yang terkait dalam evaluasi bukan
hanya menentukan akibat-akibat yang diharapkan, tetapi
mencari dan menguji munculnya akibat-akibat yang tidak
diinginkan. Kemudian evaluasi sumatif bertujuan untuk
mendapatkan gambaran keseluruhan kualitas kurikulum
yang dihasilkan, hal ini bisa dilihat setelah proyek
dikembangkan dengan sempurna dan telah
diimplementasikan di sekolah. Evaluasi difokuskan pada
efektivitas pembelajaran.

c. Model Evaluasi “Studi Delapan Tahun”


Ralp Tyler 1933-1941 dalam studi delapan tahun
menyebutkan evaluasi Dalam proses evaluasi ini yang penting
adalah studi menggunakan variasi tes, skala, intervensi, check
list, daftar pertanyaan dan alat-alat lain untuk mendapatkan
data. Tyler menyarankan dalam penelitiannya agar 1)
membangun tujuan secara luas; 2) mengklasifikasi objek; 3)
menjelaskan objek dalam tahap tingkah laku; 4) menemukan
situasi di mana prestasi objek dapat ditunjukkan; 5)
mengembangkan dan menyeleksi teknik; 6) mengumpulkan
data penampilan peserta didik; 7) membandingkan data
dengan tingkah laku secara objektif. Tyler (1949) berpendapat
bahwa evaluasi proses yang berulang- ulang dan feed-
backnya digunakan untuk menformulasikan dan menjelaskan
kembali tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan untuk
memodifikasi tujuan-tujuan secara optimal.

d. Model evaluasi Merfessel dan Michel


Pada akhir tahun 1960-an kelompok akademik
mempresantisakan dengan variasi model Tyler. Model ini
mempunyai delapan langkah utama dalam evaluasi, yaitu 1)
melibatkan anggota langsung atau tidak langsung yang
terdiri
dari masyarakat pendidikan, anggota organisasi professional,
para pelajar dan anggota masyarakat; 2) mengembangkan pola
yang terpadu secara luas dan objek yang spesifik dan
menyusun dengan cara hirarki dari hasil yang umum ke yang
khusus; 3) menterjemahkan sasaran-sasaran khusus yang
dihasilkan oleh langkah kedua, kedalam bentuk yang dapat
berkomunikasi dan dapat pula diaplikasikan kedalam perbuatan
program kurikulum;
4) menciptakan instrument yang penting untuk mengumpulkan
ukuran kriteria, karena dengan ini akan dapat ditarik kesimpulan
kegiatan program tersebut berhasil atau tidak; 5) membuat
observasi periodik sepanjang implementasi dan melaksanakan
program dengan mengumpulkan tes; 6) menganalisis data yang
terkumpul dengan menggunakan prosedur statistik yang
sesuai;
7) mengimplementasikan data mengenai standar penilaian
khusus dan nilai yang menggambarkan oreantasi filosofis
kurikulum; dan 8) dengan dasar informasi yang terkumpul
memberikan rekomendasi untuk diterapkan lebih jauh, atau
untuk memodifikasi elemen-elemen, tujuan, isi, pengalaman dan

Terjemahkan Tujuan dan Sasaran


Libatkan Peserta Formulsikan Tujuan-tujuan

Rencana Instrumen Lakukan Observasi Analisis Data

Instrumentasi Data Buatlah Rekomendasi Ulangi Putaran

materi.

a. Model Evaluasi Discrepancy


Model ini dikembangkan oleh Malcom provous yang
menggabungkan evaluasi dengan teori system manajemen yang
terdiri dari empat komponen, yaitu 1) menentukan standar
program; 2) menentukan unjuk kerja; 3) membandingkan
hasil kerja dengan standar; dan 4) menentukan
ketidaksesuaian antara hasil kerja dengan standar. Informasi
yang tidak cocok selanjutnya dilaporkan kepada penentu
kebijaksanaan yang selanjutnya harus mengambil keputusan
atau tindakan pada setiap tingkatan dalam model proses ini, hal
ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2. Model Evaluasi Discrepancy
Level Performance Standar
1 Desain Criteria desain
2 Pemasangan Kebenaran pemasangan
3 Proses Penyesuaian proses
4 Produk Perkiraan produk
5 Biaya Perbandingan biaya

1) Desain
Desain meliputi desain program dengan standar desain.
Program diuji untuk menentukan apakah benar sesuai
dengan jangka waktu, sumber, materi dan lainnya.
Semua ketidaksesuaian yang ada dalam desain program
dan standar dilaporkan kepada pengambil keputusan
dan harus memutuskan antara memutuskan dan
membatalkan, merevisi atau menerima.

2) Pemasangan
Pelaksanaan program seharusnya dibandingkan
dengan pemasangan standar atau kriteria yang benar.
Karakteristik program dievaluasi, termasuk fasilitas,
media, metode, kemampuan peserta didik dan
kualifikasi staf, ketidaksesuaian antara program dan
kriteria dicatat dan dilaporkan kepada pengambil
keputusan untuk mengambil langkah-langkah yang
tepat.
3) Proses
Proses program harus dievaluasi termasuk peserta
didik dan aktivitas staf, fungsi dan komunikasinya,
jika prosesnya kurang tepat, maka dilaporkan kepada
pengambil keputusan yang bertanggung jawab.

4) Produk
Implikasi secara keseluruhan program dievaluasi dalam
kaitannya dengan tujuan. Peserta didik dan staff produk,
seperti halnya produk berhubungan dengan masyarakat
dan sekolah itu. Informasi yang diperoleh akan
membantu pembuat keputusan tentang program harus
dilanjutkan, diakhiri, atau dimodifikasi.

5) Biaya
Produk-produk program harus dievaluasi dari segi
biaya, keuntungan, bahkan bukan saja dari segi uang
tetapi juga medan dan waktu yang tersirat jawabannya
dan mempunyai implikasi ekonomi, social dan politik.
Provous mengatakan bahwa rencana evaluasi ini dapat
digunakan membuat evaluasi program terus menerus
dalam semua tindakan. Dari perencanaan sampai
kepada implementasinya. Hal ini dapat dilaksanakan
pada tingkat wilayah, regional, dan bahkan nasional.

b. Model Evaluasi Congruance-Contingensi Stake


Robert Stake membedakan pembahasan evaluasi
secara prosedur formal dan prosedur informal. Formal lebih
bersifat objektif, yang dalam pengumpulan data bermaksud
untuk dapat mendiskripsikan dan mempertimbangkan
dilakukan berdasarkan program yang sedang dievaluasi.
Stake
menunjukkan bahwa spesialisasi evaluasi lebih menekankan
pada penyajian yang bersifat deskriptif dengan tujuan secara
penuh, mengumpulkan dan melaporkan data untuk selanjutnya
diproses. Stake berpendapat bahwa data yang terkumpul
dapat diorganisir ke dalam tiga badan informasi, kejadian
sebelumnya, transaksi dan hasil. Stake menggaris bawahi
bahwa transaksi terjadi antara peserta didik, dan pendidik,
peserta didik dengan masyarakat. Transakasi adalah interaksi
yang dimiliki peserta didik dengan materi kurikulum dan
lingkungan.
Dalam pendekatan evaluasi kita harus melihat metode
out come khususnya prestasi, demikian juga tingkah laku
dan keterampilan. Model Stake ini dalam perencanaan
merupakan sebuah studi evaluasi yang menyediakan
rangka kerja organisasi yang menunjukkan data yang akan
dipertimbangkan dan bahkan mungkin berlawanan dengan
apa yang direncanakan dan yang telah terjadi. Model ini
menyusun tiga tipe data kedalam suatu matrik.

c. Model Evaluasi Stufflebeaam’s, Context, Input,


Process, Product (CIPP)

evaluasi yang dirennakan/ contektual Product


Input/ cara Process

Gambar 2. Model Evaluasi CIPP

Selain model-model evaluasi kurikulum di atas, ada


evaluasi kurikulum Model CIPP (Context, Input, Process
dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa
keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti karakteristik peserta didik dan lingkungan,
tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan
mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model
ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari
berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria
tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan
judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang
dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (2003)
yang menggolongkan program pendidikan atas empat
dimensi, yaitu Context, Input, Process dan Product. Menurut
model ini keempat dimensi program tersebut perlu
dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program
pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat
dimensi tersebut adalah, sebagai berikut.
1) Context yaitu situasi atau latar belakang yang
mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi
pendidikan yang akan dikembangkan dalam program
yang bersangkutan, seperti kebijakan departemen atau
unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai
oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah
ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang
bersangkutan, dan sebagainya.
2) Input, bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk
keperluan pendidikan, seperti dokumen kurikulum, dan
materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar,
sarana dan prasarana, media pendidikan yang
digunakan dan sebagainya.
3) Process, pelaksanaan nyata dari program pendidikan
tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar
mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh
para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
4) Product, keseluruhan hasil yang dicapai oleh program
pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih
panjang.
Evaluasi konteks melibatkan studi lingkungan di mana
program itu dilaksanakan. Evaluasi kontek adalah tipe yang
paling besar, dengan demikian analisis situasi sangat penting
dalam evaluasi ini. Evaluasi konteks ini merupakan aktivitas
satu waktu saja, dan harus berlanjut mengumpulkan
informasi sesuai dengan operasionalnya. Evaluasi input
merupakan evaluasi tingkat kedua, dan evaluasi ini
dirancang untuk menyediakan informasi guna menentukan
mabagaimana menentukan sumber-sumber untuk mencapai
sasaran. Evaluasi proses berkaitan dengan keputusan
pelaksanaan kurikulum dengan mengendalikan dan
mengatur rencana program. Program ini digunakan untuk
mengatur kesesuaian antara kegiatan yang direncanakan
dengan kegiatan yang sesungguhnya. Stufflebeam
memberikan tiga strategi utama dalam penilaian proses,
yaitu 1) meramalkan kelemahan- kelemahan dalam
merancang prosedur atau pelaksanaan selama tahap
penyebaran; 2) menyediakan informasi untuk penilaian
terprogram; dan 3) memelihara catatan setelah prosedur
terjadi.
Evaluasi hasil, para penilai hasil mengumpulkan data
untuk menentukan apakah hasil dari pelaksanaan itu sesuai
dengan apa yang telah direncanakan dan sejauh mana
sasaran yang diharapkan tercapai. Penilaian ini memberikan
petunjuk apakah akan dilanjutkan atau diubah. Menurut Zais
(1976) untuk menentukan kriteria kesuksesan dari peserta
didik, ada empat standar yang dapat digunakan yaitu 1)
standar maksimum absolute, adalah pencapaian yang
diputuskan oleh sedikit peserta didik artinya secara teoritis
peserta didik dianggap normal; 2) standar minimum
absolute, adalah poin yang ditetapkan untuk menjamin
kesuksesan semua peserta
didik, ini sangat berguna dalam situasi ketika kemampuan
dasar diajarkan; 3) standar relative yaitu membandingkan
kemampuan masing-masing peserta didik dengan
kemampuan anggota group lainnya; 4) standar ganda, yaitu
menilai perkembangan masing-masing peserta didik selama
program berlangsung. Berikut ini adalah konsep dasar
evaluasi yang dikutip dari bahan ajar Prof. Dr. Imam
OBJEK PENGUKURAN DATA ANALISIS

KEPUTUSAN
INSTRUMEN

TINDAK LANJUT

TES NON TES


Lisan Kuesioner
Individu Observasi
Kelompok Wawancara
Tulis Checklist
Uraian (Terbuka & Terstruktur) Sosiometri
Pilihan Ganda (B – S & Pilihan Ganda serta Menjodohkan) Alat Ukur Terstandar
Keterampilan
Individu
Kelompok

Sodikun, M.Pd.
Gambar 3. Konsep Dasar Evaluasi

d. Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan


Patokan (PAP)
Pendekatan penilaian yang membandingkan hasil
pengukuran seseorang dengan hasil pengukuran yang
diperoleh orang-orang lain dalam kelompoknya, dinamakan
Penilaian Acuan Norma (Norm Refeereced Evaluation), dan
pendekatan penilaian yang menbandingkan hasil
pengukuran seseorang dengan patokan “batas lulus” yang
telah ditetapkan, dinamakan penilaian Acuan Patokan
(Criterian refenced Evaluation).

1) Penilaian Acuan Norma (PAN)


PAN ialah penilaian yang membandingkan hasil belajar
peserta didik tertinggi terhadap hasil dalam
kelompoknya. Pendekatan penilaian ini dapat dikatakan
sebagai pendekatan “apa adanya” dalam arti, bahwa
patokan
pembanding semata-mata diambil dari kenyataan-
kenyataan yang diperoleh pada saat pengukuran/
penilaian itu berlangsung, yaitu hasil belajar peserta
didik tertinggi yang diukur itu beserta pengolahannya,
penilaian ataupun patokan yang terletak di luar hasil-
hasil pengukuran kelompok manusia.
PAN pada dasarnya mempergunakan kurva normal dan
hasil-hasil perhitungannya sebagai dasar penilaiannya.
Kurva ini dibentuk dengan mengikut sertakan semua
angka hasil pengukuran yang diperoleh. Dua kenyataan
yang ada di dalam “kurva normal” yang dipakai untuk
membandingkan atau menafsirkan angka yang diperoleh
masing-masing peserta didik tertinggi ialah angka rata-
rata (mean) dan angka simpanan baku (standard
deviation), patokan ini bersifat relatif dapat bergeser ke
atas atau ke bawah sesuai dengan besarnya dua
kenyataan yang diperoleh didalam kurva itu. Dengan
kata lain, patokan itu dapat berubah-ubah dari “kurva
normal” yang satu ke “kurva normal” yang lain. Jika hasil
ujian peserta didik tertinggi dalam satu kelompok pada
umumnya lebih baik dan menghasilkan angka rata- rata
yang lebih tinggi, maka patokan menjadi bergeser ke
atas (dinaikkan). Sebaliknya jika hasil ujian kelompok itu
pada umumnya merosot, patokannya bergeser ke bawah
maka diturunkan. Dengan demikian, angka yang sama
pada dua kurva yang berbeda akan mempunyai arti
berbeda. Demikian juga, nilai yang sama dihasilkan
melalui bangunan dua kurva yang berbeda akan
mempunyai arti berbeda. Demikian juga, nilai yang sama
dihasilkan melalui bangunan dua kurva yang berbeda
akan mempunyai arti umum yang berbeda pula.
2) Penilaian Acuan Patokan (PAP)
PAP pada dasarnya berarti penilain yang
membandingkan hasil belajar peserta didik terhadap
suatu patokan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pengertian ini menunjukkan bahwa sebelum usaha
penilaian dilakukan terlebih dahulu harus ditetapkan
patokan yang akan dipakai untuk membandingkan
angka-angka hasil pengukuran agar hasil itu mempunyai
arti tertentu. Dengan demikian patokan ini tidak dicari-
cari di tempat lain dan pula tidak dicari di dalam
sekelompok hasil pengukuran sebagaimana dilakukan
pada PAN.
Patokan yang telah disepakati terlebih dahulu itu
biasanya disebut “Tingkat Penguasaan Minimum”.
Peserta didik yang dapat mencapai atau bahkan
melampaui batas nilai “lulus” dan belum pernah
memperoleh nilai “tidak lulus” mereka yang lulus ini
diperkenankan menempuh pelajaran yang lebih tinggi,
sedangkan yang belum lulus diminta memantapkan lagi
kegiatan belajarnya sehingga mencapai “batas lulus” itu.
Patokan yang dipakai untuk kelompok peserta didik
dengan patokan yang sama untuk hasil pengukuran yang
diperoleh dari waktu ke waktu oleh kelompok yang
sama ataupun berbeda-beda dapat dipertahankan. Yang
menjadi hambatan dalam penggunaan PAP adalah
sukarnya menetapkan patokan yang benar-benar tuntas.

3) Penggunaan PAN dan PAP


Pendekatan PAN dapat dipakai untuk semua mata
kuliah, dari mata kuliah yang paling teoritis (penuh
dengan materi kognitif) sampai ke mata kuliah yang
praktis
(penuh dengan materi keterampilan). Angka-angka hasil
pengukuran yang menyatakan penguasaan kompetensi-
kompetensi kognitif, keterampilan, dan bahkan sikap
yang dimiliki atau dicapai oleh sekelompok peserta didik
sebagai hasil dari suatu pengajaran, dapat di kurvakan.
Dalam pelaksanaannya dapat ditempuh prosedur
yang sederhana. Setelah pengajaran diselenggarakan,
kelompok peserta didik yang menerima pengajaran
tersebut menjawab soal-soal atau melaksanakan tugas-
tugas tertentu yang dimaksudkan sebagai ujian. Hasil
ujian ini diperiksa dan angka tersebut disusun dalam
bentuk kurva. Kurva dan segala hasil perhitungan yang
menyertai (terutama angka rata-rata dan simpangan
bakul) dapat segera dipakai dalam PAN.
Pendekatan PAP tidak berorientasi pada “apa adanya”
pendekatan ini tidak semata-mata mempergunakan
angka rata-rata yang dihasilkan oleh kelompok yang
diuji, melainkan telah terlebih dahulu menetapkan
kriteria keberhasilan, yaitu “batas lulus” penguasaan
bahan pelajaran, dan dalam proses pengajaran. Tenaga
pengajar tidak begitu saja membiarkan peserta didik
menjalani sendiri proses belajarnya, melainkan terus
menerus secara langsung ataupun tidak langsung
merangsang dan memeriksa kemajuan belajar peserta
didik serta membantunya melewati tahap-tahap secara
optimal. Proses pengajaran yang menjadi kegiatan PAP
dikenal adanya ujian pembinaan (formative test) dan
ujian akhir (summative test). Ujian pembinaan
dilaksanakan pada tahap tersebut. Usaha ini akan
mencegah peserta didik dari keadaan terlanjur tidak
menguasai dengan baik bahan
kompetensi dari tahap yang satu ke tahap berikutnya.
Hasil ujian pembinaan ini dipakai sebagai petunjuk
(indikator) apakah peserta didik tertentu memerlukan
bantuan dalam menjalankan proses belajarnya atau
tidak.
Ujian akhir dilaksanakan pada akhir proses pengajaran.
Ujian ini meliputi semua bahan yang diajarkan dalam
keseluruhan proses pengajaran dengan tujuan menguji
apakah peserta didik telah menguasai seluruh bahan
yang diajarkan itu dengan baik. Jika ujian pembinaan
benar- benar diselenggarakan dan hasil-hasilnya dipakai
untuk membantu peserta didik yang memerlukan, maka
PAP menekankan bukan hanya pada segi mutu hasil
belajar peserta didik tetapi juga pada segi mutu hasil
belajar peserta didik dan juga pada segi banyaknya
peserta didik yang berhasil. Sebanyak mungkin peserta
didik dirangsang dan dibantu untuk mencapai
penguasaan kompetensi yang tinggi.
Implikasi pendekatan penilaian yang dipakai
menimbulkan berbagai implikasi antara lain a) program
pengajaran dan penilaian dalam pendekatan kompetensi
menuntut pelaksanaan pengajaran yang terencana,
terarah, dinamis dan membimbing; b) pengajar perlu
memiliki kemantapan keterampilan dalam menyusun
program pengajaran dan sekaligus program
penilaiannya yang berorientasikan pada kompetensi; c)
baik pengajar maupun peserta didik memerlukan
sumber-sumber dan sarana belajar-mengajar yang
cukup; d) dalam program penilaian terbuka peserta didik
perlu mengetahui program penilaian, kriteria
keberhasilan dan hasil-hasil penilaian;
e) kegiatan mengajar tidak semata-mata di muka kelas,
sesuai dengan ketentuan sistem kredit semester,
kegiatan kuliah dengan harga 1 sks mencakup beban
pengajaran untuk penyelenggaraaan tiga jenis kegiatan
setiap Minggu yaitu a) 60 menit untuk pengembangan
bahan pelajaran; b) 50 menit untuk kegiatan tatap muka
dengan maha peserta didik; c) 60 menit untuk usaha
penilaian dan kegiatan perencanaan lanjutan; d) dalam
60 menit terakhir itu pengajar dituntut untuk
menyediakan diri untuk pertemuan dengan peserta
didik baik secara perseorangan maupun dalam
kelompok, untuk membahas hal-hal khusus berkenaan
dengan kemajuan dan masalah- masalah pelajaran yang
dihadapi.
Peserta didik dituntut untuk belajar secara dinamis;
program penilaian yang terarah dan terencana
menuntut sistem palporan yang lengkap dan rapi, baik
untuk keperluan peserta didik sendiri dan keperluan
pengajar, maupun untuk keperluan fakultas dan
perpendidikan tinggi; pengajar memerlukan berbagai
sarana administrasi untuk penyusunan dan pelaksanaan
program pengajaran dan penilaian; pengajaran dan
penilaian perlu dicatat dan hasil-hasilnya disimpan
secara baik; karena program pengajaran dan penilaian
ini bersifat menyeluruh dan relatif menuntut lebih
banyak waktu dan keterlibatan pengajar, perlu
dipikirkan variasi jenis mata kuliah yang dipegang oleh
setiap tenaga pengajar beserta konsekuensinya.

Melakukan evaluasi pada kurikulum, proses dan hasil


pembelajaran berarti menentukan arah masa depan
kurikulum karena sesuai dengan tujuan dan kegunaan
dilakukan evaluasi. Arah masa depan kurikulum bertujuan
supaya anak
didik mendapatkan ilmu, keterampilan, kompetensi, sikap,
kepercayaan, dan nilai yang memungkinkan mereka hidup
produktif baik bagi dirinya ataupun lingkungannya. Hal di
atas dapat dicapai jika kurikulum pendidikan berorientasi
kemasa depan, disusun dengan mempertimbangkan
beberapa pendapat futurulog yang dapat mengidentifikasi
kejadian- kejadian potensial di masa datang. Disamping itu
juga dipengaruhi oleh visi masa depan sipenyusun
kurikulum tersebut. Bila visi dan bayangan masa depan
salah tentu akan berimplikasi juga terhadap aktifitas
pendidikan yang mereka lakukan. Visi pendidik akan masa
depan dipengaruhi oleh pengetahuan mereka dimasa lalu
dan bacaan mereka sekarang.
Ornstein & Hunkins (1988) berpendapat bahwa
seseorang tak dapat sepenuhnya membayangkan masa
depan sebagai prediksi dari apa yang mereka lihat dan
mereka dapati sekarang. Namun kenyataannya sebahagian
orang masih mengidentifikasi masa depan yang didambakan
terbatas oleh alat-alat ada mereka punyai.

i. Masa Datang dan Aliran Masa Datang (Future and


Futurism)
Orang harus membiasakan diri dengan paradigma baru
untuk mengatur pekerjaan dan pergaulan sosial mereka.
Banyak yang tidak mengerti mengenai aturan yang telah
berlaku, sehingga mereka merasa telah kehilangan rasa
aman bekerja pada masa lalu dan merasa harus memulai
kembali.
Pergantian dari suatu industri ke masyarakat informasi
hanya dalam dua sampai tiga dekade. Pergantian yang begitu
cepat ini tidak memberi kita waktu untuk merefleksikan
secara alami perubahan yang terjadi, bagaikan sempitnya
ruang bernafas. Tofler menyebutnya sebagai future shock
berupa disorientasi individu akibat pengalaman masa
lalunya yang tidak efektif untuk memahami ataupun
mengambil keputusan masa hari ini atau masa depan. Syok
masa depan sebagai karakter perubahan waktu yang cepat
sekali.
Kajian future meliputi pengetahuan ramalan dan seni
dari imajinasi keduanya. Disiplin ini memandang kejadian
sosial dan teknologi tidak terpisah tapi saling terkait dalam
suatu sistem ataupun proses yang menyeluruh. Suatu
peristiwa akan mempengaruhi peristiwa lainnya dan
akhirnya berefek pada kejadian berikutnya. Dengan
mengetahui interaksi demikian maka kita sering dapat
membayangkan apa yang akan terjadi dimasa datang.
Futurism adalah suatu usaha sistematis dalam
menggabungkan antara ramalan kreatif dengan rencana
dan kegiatan yang akan dilakukan. Sehubungan dengan
bidang futurism ini maka kurikulum seyogianya disusun
dengan berorientasi masa depan dan menentukan program
pendidikan jenis apa yang mempunyai kemungkinan
tertinggi dapat memahami kondisi demikian. Dengan
melihat masa depan, para pendidik seharusnya proaktif dan
menghindari cara reaktif. Di masa lalu, para pendidik selalu
memakai cara reaktif terhadap kejadian-kejadian yang
berdampak pada program sekolah. Untuk masa depan,
pendidik harus dapat mengantisipasi dan mengelola masa
depan sekolah agar program sekolah dapat merespon
kebutuhan anak didik. Hal tersebut tidak mudah karena
selama ini sekolah telah terbiasa berperan sebagai alat untuk
mempertahankan kebudayaan secara konservatif. Dalam
mendesain sistem pendidikan hari esok harus melibatkan
segala pihak termasuk keinginan
anak didik tentang masa depan yang dihadapinya yang jauh
lebih complicated. Pembuat kurikulum harus menciptakan
program agar seluruh pelajar dapat berfungsi optimal dalam
masyarakat masa depan.
Bab IV
DESAIN KURIKULUM

A. Bagaimana Mendesain Kurikulum?


Dalam mendisain kurikulum perlu memperhatikan beberapa
hal yang menjadi landasan kurikulum, sehingga komponen-
komponen kurikulum saling berintegrasi untuk menghasilkan
pendidikan yang bermutu dan memiliki kompetensi sesuai yang
diharapkan. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
dalam menata dan mengembangkan desain kurikulum dalam
pembelajaran yaitu tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
metode pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.
Untuk merealisasikan suatu kurikulum formal dalam
mendisain program pendidikan perlu memahami beberapa hal
yaitu 1) sasaran akhir suatu kurikulum adalah timbulnya
perkembangan pribadi peserta didik melalui pengalaman belajar
yang diperoleh melalui kegiatan belajar, jadi materi pelajaran
merupakan "mean" bukan "end"; dan 2) untuk
mengimplementasikan kurikulum diperlukan program
pendidikan yang terdiri dari a) program studi yang memuat
"cultural heritage" dan "store of knowledge"; b) kegiatan belajar
yang terdiri dari kegiatan peserta didik supaya yang mereka
pelajari menjadi "milik" atau pengalaman mereka sendiri; dan c)
program bimbingan yang memberikan layanan kepada peserta
didik agar tercapai kelancaran proses belajar mengajar.
Desain kurikulum yang dikembangkan kedepan hendaknya
untukmenjawabpersoalanpendidikanantaralain1)relevandengan
kebutuhan kehidupan; 2) menyeluruh dan berkesinambungan;
3) belajar sepanjang hayat; 4) beragam dan terpadu; 5) berpusat
pada potensi, perkembangan, kebutuhan, kepentingan peserta
didik dan lingkungannya; dan 6) tanggap terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Desain kurikulum menyangkut pola pengorganisasian
unsur-unsur atau komponen kurikulum. Penyusunan desain
kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi
horizontal dan vertikal. Dimensi horizontal berkenaan dengan
penyusunan dan lingkup isi kurikulum. Susunan lingkup ini
sering dintegrasikan dengan proses belajar dan mengajarnya.
Dimensi vertikal menyangkut penyusunan bahan ajar
berdasarkan urutan tingkat kesukaran. Bahan ajar tersusun
mulai dari yang mudah, kemudian menuju pada yang lebih sulit,
atau mulai dengan yang dasar diteruskan dengan yang lanjutan.
Konstruksi kurikulum haruslah didasarkan pada suatu
pengkajian cermat dan penilaian terhadap empat hal mendasar.
Hampir semua desain kurikulum dapat dikalifikasikan sebagai
modifikasi dan atau kombinasi dari tiga kategori dasar 1) subject
centered design (desain berorientasi materi) yaitu suatu desain
kurikulum yang berpusat pada bahan ajar; 2) leaner centered
design (desain berorientasi pada peserta didik) yaitu desain
kurikulum yang mengutamakan peranan peserta didik; dan 3)
problems centered design (desain berorientasi pada masalah)
yaitu desain kurikulum yang bertitik tolak dari masalah-masalah
yang dihadapi dalam masyarakat.

126 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


B. Bagaimana Konsep Desain Kurikulum?
Dalam buku Basic Principle of Curriculum and Instruction
yang ditulis Tyler (1949) menyatakan bahwa mendisain
kurikulum perlu mengidentifikasi empat pertanyaan mendasar
yaitu 1) what educational purposes should the school seek to
attain? 2) what educational experiences can be provided that are
likely to attain these purposes? 3) how can these experiences be
effectively organized? dan
4) how can we determine whether these purposes are being attained?
Kemudian diskemakan seperti pada gambar berikut ini.
Objective (Tujuan Pembelajaran

Evaluation
Learning Experience

Content
Learning Organization

Tentukan Tujuan Pembelajaran

Pilih Kegiatan Pembelajaran (Sesuai Dengan Materi Ajar)

Susun Kegiatan Pembelajaran (Metode Pengajaran)

Tentukan Tujuan Pembelajaran Sudah Tercapai Atau Belum Dengan Evaluasi

Gambar 4. Desain Kurikulum Tyler


Tabel 3. Desain Kurikulum dan Silabus
Desain Kurikulum Desain Silabus
Tujuan (Goals) Tujuan (Objective)
Standar Kompetensi Lulusan Standar isi
Mata Pelajaran Pengalaman Belajar
1. Content + Activities Apa yang harus dilakukan agar tujuan
2. Sem 1 – Sem 6 tercapai? Pengalaman adalah hasil
3. Mata Pelajaran apa sedangkan content+activity adalah
agar tujuan institusi proses
tercapai
Organisasi / Metode Organsasi Kegiatan ( Content & Activity)
Sem 1: Apa aja 1. Horizontal
Mapelnya 2. Vertikal
Zais (1976) jantung kurikulum
itu activity.
1. Horizontal dalam kelas
parallel scope cakupan materi
supaya tercapai integrasi
menyatukan seluruh pengetahuan,
afektif, psikomotor.
2. Vertical susunannya yang
tidak sistematika
Evaluasi Evaluasi

Desain kurikulum merupakan lebih dari sekedar bagian-


bagian dari suatu kurikulum yang terorganisir secara rapi pada
suatu dokumen. Desain merupakan suatu peristiwa kompleks
sedemikian rupa sehingga kurikulum dipahami sebagai suatu
yang mempunyai jasa dan berhasil dalam mengusahakan para
peserta didik untuk mempelajari konsep, sikap, dan
keterampilan yang penting dan bermanfaat.
Isu Desain menarik perhatian para spesialis dan perancang
kurikulum. Pendesain kurikulum berhadapan dengan suatu visi
yang dimiliki oleh kebanyakan pendidik. Konsep berhubungan
dengan bantuan desain atas visi mereka dan meningkatkan
kemungkinan menjadi kenyataan. Berbagai pilihan desain
muncul dari para pembuat kurikulum, seperti desain yang
terpusat pada materi
pelajaran, terpusat pada peserta didik, dan terpusat pada
masalah. Masing-masing desain ini, mempunyai suatu sejarah
dan filosofi, masing-masing mempunyai semangat. Masing-masing
desain akan memberikan karakter tertentu pada sekolah yang
menerapkannya.
Ornstein & Hunkins (1988) mengemukakan komponen
kurikulum dapat diatur dengan berbagai cara, namun
bagaimanapun bentuk desain kurikulum tersebut, semuanya
merupakan modifikasi atau pengintegrasian tiga desain dasar yaitu
1) desain yang terfokus pada bahan pelajaran; dan 2) desain yang
terfokus pada peserta didik; atau 3) desain yang terfokus pada
masalah”.

1. Desain Yang Berpusat Pada Bahan Pelajaran (Subject-


Centered Design)

a. Desain Subjek (Subject Design)


Desain ini didasarkan pada suatu kepercayaan bahwa
apa yang membuat manusia unik dan berbeda adalah
akal mereka, penelitian dan pencapaian pengetahuan
merupakan pemenuhan alami yang bersangkutan
dengan akal tersebut. Menurut Robert Hutcins subjek
yang merupakan bagian dalam desain kurikulum
hendaknya mencakup 1) bahasa dan penggunaannya
(membaca, menulis, tata bahasa, sastra); 2) Matematika;
3) ilmu pengetahuan; 4) sejarah; dan 5) bahasa
asing. Pengorganisasian isi kurikulum hendaknya
memungkinkan subjek-subjek tersebut diorganisasikan
secara sistematis berdasarkan 1) landasan kronologis;
2) pelajaran prasyarat; 3) penguasaan terhadap
keseluruhan; dan 4) pengajaran deduktif. Pendidik
hendaknya memiliki peran yang aktif, metode
pembelajaran yang digunakan adalah ceramah,
pemberian tugas, dan diskusi kelompok.
b. Desain Disiplin (Discipline Design)
Dalam desain yang berorientasi pada disiplin, peserta
didik dilibatkan untuk mengetahui logika dasar atas
struktur masing-masing disiplin (keterkaitan, konsep-
konsep, dan prinsip-prinsip) dan memahami bentuk-
bentuk disiplin melalui inquiry.

c. Desain Berorientasi pada Lapangan Luas (Broadfield


Design) Desain ini merupakan variasi lain dari desain
yang terpusat pada peserta didik. Desain ini lahir sebagai
upaya memperbaiki terjadinya fragmentasi yang
disebabkan oleh subject design. Intinya desain ini
melahirkan adanya penggabungan dua atau lebih
subjek yang terkait ke dalam satu bidang atau
pemaduan bidang studi. Keseluruhan kurikulum
hendaknya diorganisasikan dalam kategori-kategori 1)
simbol-simbol informasi (Bahasa Inggris, Bahasa asing
dan Matematika); 2) ilmu pengetahuan dasar (ilmu
pengetahuan umum, Biologi, Fisika dan Kimia);
3) telaah pengembangan (evolusi cosmos, evolusi
institusi sosial, dan evolusi kebudayan manusia); 4)
exemplar (bentuk-bentuk seperti estetika, yang
mencakup seni, musik, drama, dan sastra); dan 5)
masalah-masalah molar yang mengacu pada
permasalahan-permasalahan tertentu.

d. Desain Korelasi (Correlation Design)


Desain korelasi merupakan suatu usaha untuk
mengurangi isolasi dan fragmentasi dari subject tanpa
melangkahi apa yang dimaksud dalam subject curriculum.
Sebagai contoh pendidik sains bersedia bekerja sama
dengan pendidik ilmu pengetahuan sosial dalam
membimbing peserta didik menulis makalah tentang
sejarah teori sains tertentu. Dengan
demikian pengajaran cenderung diorganisasikan melalui
penggunaan pendekatan pemecahan masalah, namun
pemisahan antar subjek tetap diperhatikan. Saat ini
banyak pendidik yang menggunakan desain korelasi,
mungkin hal ini disebabkan karena desain korelasi dapat
digunakan untuk mengembangkan pembelajaran yang
koperatif.

2. Desain yang Berpusat pada Peserta Didik (Learner-Centered


Design)

a. Desain Berpusat pada Anak (Child-centered Design)


Desain ini dikembangkan berdasarkan keyakinan bahwa
aktivitas pembelajaran hendaknya berpusat pada minat
dan kebutuhan peserta didik.

b. Desain Berpusat pada Pengalaman (Experience-centered


Design)
Desainberpusatpadapengalamanmemilikikemiripandengan
Desain Berpusat pada Anak, yang mengemukakan bahwa
anak hendaknya dijadikan landasan dan pengorganisasian
persekolahan. Desain berpusat pada pengalaman
didasarkan atas pandangan bahwa minat dan kebutuhanan
tidak dapat diantisipasi, dan kerangka kerja kurikulum
tidak dapat direncanakan untuk memahami seluruh anak,
karena setiap anak memiliki minat yang berbeda dan unik.

c. Desain Berpusat pada Keradikalan/Keromantisan


(Romantic/ Radical Design)
Desain Berpusat pada Keradikalan merupakan
pembelajaran yang berpusat pada anak. Kurikulum tidak
dapat dikembangkan sebelum anak memasuki ruang
kelas dan kebutuhan serta minatnya dipahami.
d. Desain Berpusat pada Humanis (Humanistic Design)
Desain berpusat pada humanis disebut pendidikan
afektif, pendidikan terbuka atau pendidikan eksistensial.
Sama halnya dengan desain yang berpusat pada
peserta didik, desain ini menekankan konsep diri
pada peserta didik. Dalam desain ini, manusia dapat
mengembangkan konsep diri sendiri dalam belajar melalui
pendayagunaan sumber-surnber yang ditemukannya
untuk mengembangkan pemahaman tentang dirinya
sendiri, mempelajari konsep diri dan sikap-sikap dasar,
serta mengarahkan perilakunya secara mandiri. Tugas
para
pendidik adalah mengembangkan seperangkat lingkungan
pendidikan sesuai dengan sumber-sumber yang secara
personal yang dapat diraih.

3. Desain yang Berpusat pada Masalah (Problem-Centered Design)

a. Desain Situasi Kehidupan (Life Situation Design)


Dalam pengembangan desain ini, pendidik berusaha
membantu peserta didik memperluas pemahaman
dan memperdalam kemampuan menjeneralisasikan
sesuai dengan dunia nyata. Pengembangan kurikulum
hendaknya mencakup 1) situasi yang memicu
pertumbuhan kapasitas indivudual meliputi a)
kesehatan;
b) kemampuan intelektual; c) tanggung jawab; dan d)
ekspresi dan apresiasi estetis; 2) situasi yang memicu
pertumbuhan partisifasi sosial meliputi a) hubungan
orang perorang; b) keanggotaan kelompok; dan c)
keterkaitan antar kelompok; 3) situasi yang memicu
pertumbuhan kemampuan yang berkaitan dengan faktor
dan kekuatan lingkungan meliputi a) fenomena alam;
b) fenomena teknologis; dan c) struktur dan kekuatan
sosial-ekonomi-politis.

b. Desain Inti (Core design)


Desain ini berpusat pada pendidikan umum dan
didasarkan atas permasalahan umum aktivitas manusia.
Selain itu ada dua variasi terhadap desain ini yaitu
desain yang berpusat pada inti mata pelajaran
(diklasifikasikan atas desain yang berpusat pada mata
pelajaran) dan desain yang berpusat pada kawasan
kehidupan (diklasifikasikan atas desain yang bertradisi
pendidikan progresif).
Umumnya, desain ini dilakukan dengan langkah-langkah
1) permasalahan dipilih bersama-sama antara pendidik
dan peserta didik; 2) dikembangkan kesepakatan untuk
menentukan permasalahan mana yang menarik untuk
dibicarakan; 3) permasalahan diseleksi berdasarkan
kriteria. penetapan yang terus berkembang; 4)
permasalahan ditetapkan dan didefinisikan; 5) kawasan
penelaahan atas masalah tadi ditetapkan berdasarkan
pelibatan peserta didik baik secara individual maupun
kelompok; 6) informasi dibutuhkan didaftarkan dan
didiskusikan; 7) sumber untuk memperolah informasi
didaftar dan didiskusikan;
8) informasi dicari dan diorganisasikan; 9) informasi
dianalisis dan diinterpretasikan; 10) simpulan sementara
dinyatakan dan di uji; 11) peserta didik baik perindividu
maupun kelompok melaporkan hasil diskusi; 12) simpulan
dievaluasi; dan 13) cara baru yang dieksplorasikan untuk
pemecahan masalah mendatang di uji.
Kelebihan desain ini adalah mampu membuat materi
ajar, menyajikan pokok permasalahan yang relevan
dengan
peserta didik, dan mendorong berkembangnya keaktifan
memproses informasi. Sedangkan kelemahanya adalah
1) sangat sukar menemukan bahan ajar yang memadai;
2) buku teks konvensional tidak mampu mendukung
pelaksanaannya; dan 3) pelaksanaannya cenderung
menyimpang jauh dari kondisi kurikulum.
c. Desain Permasalahan Sosial & Rekonstruksionis (Social
Problem/Recontructionist)
Desain ini didasarkan atas pertentangan atas pandangan
bahwa minat peserta didik merupakan panduan utama
dalam penyusunan kurikulum. Berkaitan dengan
ini dan pengalaman belajar, penganjur desain ini
berpendapat bahwa kurikulum hendaknya mengacu
pada permasalahan sosial yang ada, dan proyek yang
melibatkan aksi sosial (seperti sekolah) hendaknya
ditujukan untuk memperbaiki masyarakat. Dalam
mendesainkan kurikulum juga perlu memperhatikan
pergeseran pembelajaran dan tren pembelajaran masa
kini, seperti dikemukakan pada tabel berikut
Tabel 4. Pergeseran Pandangan tentang Pembelajaran

Berpusat pada
Lingkungan Berpusat pada peserta
pendidi didik
Aktivitas k
Pendidik sebagai peserta didik sebagai
kelas
sentral dan bersifat sentral dan bersifat
didaktis interaktif
Peran
Menyampaikan Kolaboratif, kadang-
pendidik
fakta-fakta, pendidik kadang peserta didik
sebagai ahli sebagai ahli
Penekanan
Mengingat fakta-fakta Hubungan antara
pengajaran
informasi dan temuan
Konsep
Akumulasi fakta Transformasi fakta-fakta
pengetahuan
secara kuantitas
Penampilan
keberhasilan Penilaian acuan Kuantitas pemahaman,
norma penilaian acuan patokan
Penilaian Soal-soal pilihan
Protofolio, pemecahan
ganda
masalah, dan penampilan
Penggunaan
Latihan dan praktik Komunikasi, akses,
teknologi
kolaborasi, ekspresi

Dari instruksi terpusat ke instruksi terpusat


pada pendidik pada peserta didik
Dari single media ke multimedia
Dari kerja terisolasi ke kerja kolaborasi

Dari pengiriman informasi


sepihak ke pertukaran informasi

Dari pembelajaran pasif ke pembelajaran aktif/ inquiry-


based
Dari yang bersifat faktual ke cara berpikir kritis
Dari respon reaktif ke proaktif/tindakan terencana
Dari konteks artificial Ke konteks dunia nyata
Bab V
TEORI KURIKULUM

A. Apa Pengertian Teori?


Teori berasal dari bahasa Yunani yaitu theoria yang berarti
kebangkitan pikiran, pandangan yang murni, tentang kebenaran.
Teori menjelaskan realita yang membuat orang-orang lebih
memperhatikan dunia mereka dan interaksinya. Richard Snow
menegaskan bahwa teori pada dasarnya adalah struktur simbol
yang dirancang untuk membuat kesimpulan dari fakta-fakta atau
hukum agar menjadi suatu hubungan yang sistematis, yang terdiri
dari kumpulan komponen, yang bisa saja terdiri fakta, konsep, atau
beberapa variabel dan mengemukakan hubungan antara
komponen-komponen yang diselidiki.
Para ahli ilmu sosial menawarkan pandangan lain yaitu teori
pada dasarnya adalah sebuah bentuk pendekatan, sebuah cara
melihat dunia. Teori melambangkan cara pandang terhadap dunia
yang tidak mempedulikan benar atau salahnya, tetapi membantu
menjelaskan beberapa fakta atau kekuatan, dan ketika melihat
dunia melalui pendekatan teori kita, hasil yang didapatkan
secara jelas akan dibentuk atau digambarkan oleh teori kita. Dari
keseluruhan pengertian ini maka secara garis besar teori
merupakan kumpulan dari keterkaitan dalil-dalil yang mejelaskan
mengapa suatu kejadian ada dalam aktivitas yang dilakukan, dalil
tersebut mengenali konsep/ pikiran dengan menunjukkan
hubungan di antaranya.
B. Bagaimana Proses Pembentukan Teori?
Proses pengembangan teori terikat pada pemikiran secara
induktif dan deduktif. Induktif berarti membuat teori dengan
menggabungkan dan menyimpulkan variasi penyelidikan.
Pendekatan ini menitikberatkan pada data empiris dan membuat
dalil-dalil sebagai dasar penelitian dimulai dengan hipotesis
sementara yang diuji dan disahkan. Deduktif adalah proses
penarikan kesimpulan yang dibutuhkan dari gabungan dasar
pemikiran yang kebenarannya telah diterima sebagai anggapan
yang benar.
Fungsi teori yaitu 1) deskripsi, fungsi ini menerangkan
pembagian ilmu pengetahuan seara naratif dalam wilayah teoritikal
tertentu. Fungsi ini melengkapi strukur pandangan seseorang
tentang suatu kegiatan yang kompleks agar bisa diuji
kebenarannya;
2) prediksi, fungsi ini memperkirakan timbulnya kejadian yang
belum terobservasi dengan dasar prinsip penjelasan yang
melekat di dalamnya; 3) eksplanasi, fungsi ini tidak hanya
menekankan hubungan antara fenomena, tetapi juga dianjurkan
alasan-alasan hubungan tersebut secara mutlak (implisit) dan
secara tersirat (ekplisit); 4) pedoman, fungsi teori ini membantu
peneliti dalam memilih data untuk dianalisa dan membuat
ringkasan data yang tepat. Teori ini menghasilkan pedoman lebih
lanjut dalam penyelidikan.

C. Apa itu Teori Kurikulum?


Teori kurikulum adalah struktur simbol yang dirancang
untuk membuat kesimpulan dari fakta-fakta atau hukum agar
menjadi suatu hubungan yang sistematis, yang terdiri dari

138 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


kumpulan komponen, yang bisa saja terdiri atas fakta, konsep,
atau beberapa variabel dan mengemukakan hubungan antara
komponen-komponen yang diselidiki. Teori kurikulum secara
garis besar merupakan kumpulan

Teori Kurikulum 139


dari keterkaitan dalil-dalil yang mejelaskan mengapa suatu kejadian
ada dalam aktivitas yang dilakukan, dalil tersebut mengenali
konsep/ pikiran dengan menunjukkan hubungan di antaranya.

D. Bagimana Proses Perkembangan Kurikulum?


Dalam pengertian yang sederhana, perkembangan
diterjemahkan dari development menunjuk pada adanya
perubahan positif, lebih baik, lebih maju. Perkembangan
merupakan serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai
akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Ini berarti,
perkembangan terdiri atas serangkaian perubahan yang bersifat
progresif (maju), baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Perubahan kuantitatif disebut juga ”pertumbuhan” merupakan buah
dari perubahan aspek fisik seperti penambahan tinggi, berat dan
proporsi badan seseorang. Perubahan kualitatif meliputi
perubahan aspek psikofisik, seperti peningkatan kemampuan
berpikir, berbahasa, perubahan emosi dan sikap, dan lain-lain. Jadi,
perkembangan bersifat dinamis dan tidak pernah statis.
Terjadinya dinamika dalam perkembangan disebabkan
adanya ”kematangan dan pengalaman” yang mendorong
seseorang untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri.
Kematangan merupakan faktor internal yang dibawa setiap
individu sejak lahir, seperti ciri khas, sifat, potensi dan bakat.
Pengalaman merupakan intervensi faktor eksternal terutama
lingkungan sosial budaya di sekitar individu. Kedua faktor
(kematangan dan pengalaman) ini secara simultan
mempengaruhi perkembangan seseorang. Seorang anak yang
memiliki bakat musik dan didukung oleh pengalaman dalam
lingkungan keluarga yang mendukung pengembangan bakatnya
seperti menyediakan dan memberi les musik, akan berkembang
menjadi seorang pemusik yang handal.
Perubahan progresif yang berlangsung terus menerus
sepanjang hayat memungkinkan manusia menyesuaikan diri
dengan lingkungan di mana manusia hidup. Sikap manusia
terhadap perubahan berbeda-beda tergantung beberapa faktor,
di antaranya pengalaman pribadi, stereotipe dan nilai-nilai
budaya, perubahan peran, serta penampilan dan perilaku
seseorang. Karena Perkembangan merupakan serangkaian
perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses
kematangan dan pengalaman. Ini berarti, perkembangan terdiri
atas serangkaian perubahan yang bersifat progresif (maju), maka
kurikulum yang dilaksanakan di sekolahpun harus berkembang
sesuai dengan perkembangan peserta didik; kebutuhan
masyarakat mendatang; dan perkembangan zaman (kemajuan
teknologi) disrupsi dan Revolusi Industri 4.0.
Dalam pengembangan kurikulum, perancang kurikulum perlu
kiranya memperhatikan kebutuhan masyarakat di masa
mendatang yang pastinya berbeda dengan masyarakat masa
sekarang. Selain itu peserta didik senantiasa mengalami
pertumbuhan dan berkembang. Pertumbuhan merupakan
perubahan secara fisiologi sebagai hasil dari proses pematangan
fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak
yang sehat. Perkembangan juga merupakan proses perubahan
dalam pertumbuhan pada suatu waktu sebagai fungsi
kematangan dan interaksi dengan lingkungannya. Dengan kata
lain perkembangan merupakan perubahan fungsional yang
dipengaruhi oleh pencapaian tingkat kematangan fisik dan
intelektual. Kurikulum wajib dikembangkan berdasarkan dua hal
yaitu perkembangan peserta didik; kebutuhan masyarakat
mendatang; dan perkembangan zaman (kemajuan teknologi)
disrupsi dan Revolusi Industri
4.0. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan ada sesuatu
yang niscaya, karena dengan pengembangan tersebut adaptasi
dan perkembangan dunia pendidikan dapat sejalan dengan
perkembangan sekitarnya. Contohnya adalah pengembangan KBK
menjjadi KTSP, KTSP menjadi Kurikulum 2013, dan munculnya
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Bab VI
ISU-ISU KURIKULUM

A. Bagaimana Isu Kurikulum Saat Ini?


Berbicara masalah isu berarti berbicara hubungan sekolah
dengan masyarakat karena lembaga sekolah yang baik adalah
lembaga sekolah yang memiliki dan mengikat hubungan yang
baik dengan masyarakat lingkungan di sekitarnya. Sekolah
harus mengenal lingkungan sosialnya. Sekolah harus mampu
menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat
karena sekolah merupakan wadah pembinaan karakter
mayarakat. Sekolah yang mampu menjaga hubungan dengan
masyarakat pada akhirnya akan mendapat perhatian dari
masyarakat.
Dengan adanya hubungan yang baik antara sekolah dan
masyarakat, maka masyarakat dapat menjadikan sekolah
sebagai wadah untuk pengembangkan diri dalam berbagai hal,
terutama dalam hal peningkatan ekonomi masyarakat. Dari
lembaga pendidikan, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan
pemberdayaan ekonomi, cara bertani yang baik, cara berusaha,
cara bagaimana mendapatkan modal usaha dan lain sebagainya.
Agar lembaga pendidikan menjadi lebih baik dan berkembang
sesuai dengan harapan masyarakat maka sekolah itu harus
merencanakan hubungan antara sekolah dengan masyarakat.
Sekolah harus membuka diri untuk menerima unsur-unsur yang
baru dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini bisa
dilakukan sekolah tanpa harus membuang unsur-unsur pokok
yang telah ada pada kurikulum sekolah.
Tiga hal pokok dari proses pembelajaran yang harus diubah
dari model sekolah konvensional ke sekolah masa depan yaitu
materi ajar (konten), proses pendidik mengajar dan proses
belajar peserta didik. Di sini pendidik tidak lagi bertindak
sebagai pusat belajar (teacher centre), tetapi pendidik bertindak
sebagai fasilitator (what student does no what teacher does),
pendidik, pembimbing, pengarah, pemotivasi peserta didik, agar
anak didik dapat belajar secara aktif dalam mengembangkan
potensi dirinya secara penuh.
Melihat keadaan masyarakat saat ini maka dapat
disimpulkan bahwa isu kurikulum adalah menyangkut
pendidikan anak berkebutuhan khusus, pendidikan sex,
pendidikan multi budaya, sekolah seperti apa yang mereka
inginkan, suasana sosial dan politik seperti apa yang mereka
pilih. Hal-hal tersebut mengharuskan perancang kurikulum
membuat kurikulum pengganti, menyensor kurikulum,
mengubah ketidaksesuain kurikulum atau kurikulum yang sudah
tidak relevan dan kurikulum yang diperlukan berdasarkan
kebutuhan masyarakat di era disrupsi dan Revolusi Industri 4.0.

1. Kurikulum Yang di Sensor


Sensor kurikulum selalu ada, ini bukan karena kebijakan
atau aturan tapi lebih pada penyesuaian kebutuhan masyarakat.
Kurikulum itu jangan dibuat atas kepentingan kelompok tetapi
harus melihat kebutuhan pasar, oleh karena itu pemerintah
harus menyeleksi tim perumus kurikulum. Suksesnya kurikulum
itu jika dapat menjawab kebutuhan pasar.

144 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


2. Kurikulum Pengganti/Compensatory Curriculum
Penggantian kurikulum ini dimulai pada tahun 1960-1968.
Tahun 1950 ada kurikulum SD yang disebut “Rencana Pelajaran
Terurai”. Pada tahun 1960 muncul “Kurikulum Kewajiban
Belajar Sekolah Dasar”. Tahun 1968 dikenal “Kurikulum 1968”
pengganti “Kurikulum 1950”. Lalu tahun 1970 muncul
“Kurikulum Berhitung” diganti dengan pelajaran Matematika
modern. Tahun 1975 disebut “Kurikulum 1975” yang fokus pada
pelajaran Matematika dan Pendidikan Moral Pancasila serta
Pendidikan Kewarnegaraan. Pada tahun 1984 menyempurnakan
Kurikulum 1975 dengan “Cara Belajar Siswa Aktif” (CBSA).
Tahun 1991 CBSA dihentikan lalu muncul “Kurikulum 1994”.
Tahun 2004 dikenal “Kurikulum Berbasis Kompetensi” (KBK),
yang dipelesetkan jadi Kurikulum Berbasis Kebingungan. Tahun
2006 muncul “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” (KTSP).
Terakhir datanglah Kurikulum 2013 (Kemendikbud, 2012).
Program pengganti dikategorikan kepada 1) target
population (Taman Kanak-Kanak, peserta didik, pendidik); 2)
ancamannya (remedial, pengayaan, terapi); 3) pelayanan
(kurikulum, pembelajaran, lingkungan sekolah dan kelompok);
4) aturan (masyarakat kota dan pinggir); dan 5) kebijakan (lokal,
kabupaten/ daerah, nasional). Kebanyakan program-program
pengganti menjadi pengalaman sementara, dan tidak dirancang
untuk pembaharuan yang fundamental termasuk juga sistemnya,
mereka operasikan dari teori dasar pemikiran, sosial dan
perkembangan jiwa sebagai konsekuensi pokok dari pengaruh
linkungan yang dapat memutar apapun keberadaan dan
kekurangan pelajaran. Pada kurikulum pengganti lebih condong
kepada menambahkan dan menguji, tidak mengubah secara
dasar. Program antara lain
1) Pendidikan Dasar/Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD); 2)
Pendidikan Awal Anak; 3) program keterampilan dasar; 4)
materi dan media pembelajaran; 5) pendekatan pembelajaran; 6)
program konseling; 7) program tutor; 8) penabahan personal
sekolah; 9) program pengikutsertaan orang tua; 10) organisasi
sekolah; 11) program pemusatan kelompok/masyarakat; 12)
pencegahan drop out dan program kejuruan; 13) program
pendidikan tinggi; dan
14) program pendidikan orang dewasa.
Masalah-masalah dan harapan (problem and prospects),
pada dasarnya ada empat kegagalan yang cenderung terjadi
1) kebanyakan program; 2) program kurang mencapai daerah
sasaran, sehingga hubungan output dengan input tidak terjadi
dengan baik; 3) beberapa program dinyatakan “menghilang”;
dan
4) kebanyakan keberhasilan didasarkan tidak pada data, tetapi
banyak kasus-kasus kecurangan. Bila dievaluasi, kebanyakan
program ini dibuktikan tidak efektif.
Pada umumnya pendidikan pengganti mendapat kritikan
antara lain 1) perencanaan yang gegabah dan sangat lambat; 2)
pengaturan yang salah dan termasuk pengaturan dana juga
salah;
3) ketergantungan, orang-orang yang terhormat bersembunyi di
bawah kepemimpinan mereka; 4) biaya konsultasi yang besar
bila dinilai dari pekerjaan yang sering tidak selesai atau hasil
kerja yang buruk; 5) miskin kegunaan; 6) gaji yang besar untuk
membayar orang-orang yang bekerja pada tingkat administrasi;
7) kurangnya partisipasi pendidik; 8) tujuan yang samar-samar;
9) prosedur penilaian yang tidak jelas; 10) mutu layanan yang
tidak baik; dan 11) banyak program-program yang di danai
tidak berjalan dengan efektif. Pada lain pihak para oposisi telah
mengkritik tingkah laku para pendidik, di mana uang yang
mereka peroleh dari sertifikasi untuk kegunaan lain. Para
pembela dari tuntutan kurikulum pengganti mengharapkan
masalah-masalah
ini dapat diperbaiki walaupun dalam waktu yang panjang,
karena masalah yang sebenarnya adalah berkenaan dengan
anak-anak yang sering dirugikan dan keberhasilan yang tidak
diperhatikan. Munculnya baru-baru perubahan dari program
pengganti 1) tujuan dan pernyataan yang jelas; 2) adanya
penemuan-penemuan baru; 3) iklim yang tinggi, realistik, da nada
harapan-harapan baru untuk peserta didik; 4) pendekatan
belajar yang disusun secara bertahap; 5) memilih pendidikan
sesuai dengan kebutuhan anak;
6) menekankan kepada keterampilan dasar; 7) penggunaan
waktu lebih banyak untuk tugas; 8) peningkatan monitoring
tentang kemajuan peserta didik; 9) keterlibatan orang tua yang
lebih besar; dan 10) perkembangan staf dan pelayanan pendidik.

3. Ketidak Sesuaian Kurikulum/Irrelevant Curriculum


Banyak orang yang ingin mengeritik sekolah, karena
menyatakan kurikulum sekolah tidak sesuai dengan kebutuhan
sosial dan kebutuhan siswanya, oleh karena itu subjek materi
(isi) dari kurikulum itu harus dimodifikasi, orang luar
sekolah/pengamat meminta para pendidik mempertimbangkan
permintaan mereka seperti 1) kurikulum harus disesuaikan/
dicocokkan karena perubahan sosial lebih cepat dari kebutuhan
kurikulum. Maksud dari disesuaikan/fixed kurikulum itu adalah
mensinergikan antara perubahan sosial dengan perubahan
kurikulum, sebagaimana menurut Dewey kurikulum itu
pengalaman masyarakat yang mana kurikulum itu sama
pentingnya untuk memperbaiki masyarakat masa depan lebih
baik daripada masa lalu. Menurut Dewey semua ilmu
pengetahuan dan semua social budaya yang ada di masyarakat
harus ada di kurikulum; 2) kurikulum anti septic, yang mana
materi tidak bisa dipisahkan dari kenyataan peserta didik.
Kurikulum anti septic ini tidak berhubungan dengan peserta
didik dan kenyataan sosial. Isi kurikulum ini hanya bercerita
satu dimensi saja, cerita kurikulum, bentuk, gambaran, materi
bacaannya hanya satu dimensi saja tidak multi budaya (ethnic/
suku, agama, seks, kelas); dan 3) kurikulum yang bernilai sepele
(the trivial curriculum). Kurikulum yang sepele ini menekankan
kepada pembelajaran hafalan dan ketidak sesuaian dengan
fakta/ buktinya. Pendidik memaksa dengan tegas peserta
didiknya untuk belajar. Pendidik meminta peserta didiknya
untuk menghafal. Contohnya menghafal sesuatu yang tidak ada
gunanya/tidak bermakna seperti menghafal nama Presiden, dan
lain-lain.

4. Kurikulum yang Muncul/Emergering Curriculum


Kurikulum yang timbul saat ini adalah kurikulum yang
dibicarakan saat ini yang mengatur area pembelajaran saat ini.
Area pembelajaran harus inovatif, menghancurkan nilai-nilai
tradisional dan cenderung berorentasi pada peserta didik dan
nilai-nilai sesuai dengan kebutuhan pasar saat ini. Kurikulum
saat ini mendiskusikan 3 hal saja 1) pendidikan seks; 2)
pendidikan multi budaya; dan 3) pendidikan rintangan
pendidikan.
Pendidikan seks itu banyak menjadi kontroversi oleh
beberapa kelompok conservatif. Pendidikan seks harus dijadikan
tujuan kurikulum, menurut mereka mempelajari pendidikan
seks bisa memberikan dorongan kepada remaja untuk
mengetahui kehamilan, lesbian dan homo seksual.
Bagi para konselor dan pendidik berpendapat bahwa
sekolah kurang memberikan informasi seks pada remaja,
sementara kebiasaan pembelajaran Biologi, Fisika sudah
ditambah dengan menceritakan pengetahuan tentang pacaran,
married, menjadi orang tua, dan masalah kesehatan. Sementara
topik seks masih tabu di sekolah dan sekarang pendidikan sek
itu berangsur
muncul. Munculnya pendidikan seks melalui berbagai disiplin
ilmu seperti karya ilmiah, sejarah, budaya dan filsafat. Kenapa
harus ada pendidikan seks? Karena kurang lebih dari 1,1 juta
remaja wanita sudah hamil setiap tahun. 4 dari 10 wanita hamil
sebelum usia 20 tahun, 2 dari 20 sudah memiliki anak. Kurang
lebih dari 7 juta remaja putra dan 5 juta remaja putri sudah aktif
dalam seks, dan rata-rata mereka memulai hubungan itu berusia
16,4 tahun, sedangkan di wilayah kota berusia 14 tahun.
Kesimpulannya ternyata kurikulum pendidikan itu timbul sesuai
dengan maslaah yang timbul, sesuai perkembangan zaman.
Pendidikan multi budaya perlu diberi ruang karena Negara
Indonesia memiliki keanekaragaman etnis dan budaya, sekolah
akan memberikan kontribusi sebagai tempat proses pemersatu,
interaksi sosial, akulturasi dan penyesuaian diri. Secara
spesifiknya menawarkan materi tentang 1) keberagaman suku,
etnis, dan jenis kelamin; 2) mengajarkan nilai-nilai tentang
perbedaan budaya dan HAM, diri sendiri; 3) kebersamaan dan
macam-macam budaya, etnis dalam menjalani aktivitas sama-
sama disekolah dan di kelas;
4) mendorong banyak bahasa; dan 5) meminta pendidik
membuat program pendidikan tentang multi budaya.
Rintangan pendidikan terjadi karena anak berbeda antara
satu dengan lainnya. Beberapa ada yang lebih kreatif dari yang
lain, beberapa ada yang emosional. Secara sosial itu sudah
terpenuhi dan kemudian ada yang secra fisik terkenal dan ada
juga yang daya tangkapnya kurang serta ada yang memiliki
masalah sosial, dan lain sebagainya. Ada 4 konsep pada
rintangan pendidikan 1) memberikan kebebasan pendidikan
pada peserta didik; 2) mengesahkan atau menvalidasi tes dan
mengevaluasi peserta didik; 3) memprogram IEP (individual
education plus) baik secara jangka pendek atau panjang untuk
memenuhi kebutuhan
peserta didik; 3) semua peserta didik dalam pendidikan jangan
di batasi lingkungan bagi peserta didik. Gangguan bagi
kurikulum pendidikan seperti pembelajaran bagi peserta didik
yang terganggu oleh lingkungannya, perlu melaksanakan tipe
pembelajaran yang baik terutama strategi pembelajaran bagi
peserta didik dengan pendidikan kebutuhan khusus. Gangguan-
gangguan kurikulum pendidikan bagi peserta didik dengan
pendidikan kebutuhan khusus adalah adanya 1) tekanan
kebutuhan sosial dan emosional peserta didik; 2) kehati-hatian
evaluasi secara regular dilakukan berdasarkan kriteria
penampilan peserta didik yang harus menagarah kepada
kemajuan peserta didik; 3) penempatan kelas berdasarkan pada
pretest dari masing-masing kualitas dan kuantitas anak; 4)
prosedur penilaian yang baik harus dikembangkan dan
prosedurnya sesuai dengan yang digunakan oleh professional
yang memiliki kemampuan dalam menginterpretasi; 5) tim
Pendekatan termasuk pendidik di kelas harus tau apabila anak
membutuhkan pelayanan khusus, pelayanan apa yang harus
disediakan, dan bagaimana melakukan pelayanan itu dengan
sebaik-baiknya; dan
6) ukuran kelas harus dibatasi sesuai dengan jumlah peserta
didik, hal ini akan membuat peserta didik puas.

B. Seperti Apa Isu Krusial Kurikulum?


Bagaimana kurikulum direncanakan dan dilaksanakan pada
tingkat lokal atau daerah? Hampir semua ahli kurikulum
menggunakan pendekatan rational scientific atau sudut pandang
human relation, dan mencari solusi dari konflik berbasiskan
analisis, argumentasi dan prinsip dalam merencanakan dan
melaksanakan kurikulum pada tingkat lokal atau daerah. Bahasa
yang digunakan para ahli untuk menggambarkan proses pada
umumnya adalah decision making,
planning, research and development. Sangat jarang pengembangan
kurilkulum dilihat sebagai suatu aktifitas pembuatan kebijakan,
dan hampir tidak pernah ditempatkan dalam konteks pembuatan
kebijakan politik, walaupun pengaruh politik sangat besar.
Zais (1976) melakukan survei tentang masalah
merencanakan dan melaksanakan kurikulum pada tingkat lokal
atau daerah di Amerika, kemudian menghasilkan analisis yang
jelas dan tepat. Menurutnya ada sejumlah sumber penting yang
menentukan kebijakan kurikulum dan itu dapat dikelompokan
atas tiga kategori, yaitu 1) kelompok yang menghendaki
kurikulum dengan standar minimum; 2) Penggerak-penggerak
kurikulum alternatif; dan 3) kelompok yang menuntut perubahan
kurikulum. Sementara di Indonesia, sumber penting yang
menentukan kebijakan dalam kurikulum adalah 1) Menteri
Pendidikan; 2) Pengusaha; dan 3) Anggota DPR RI dan Politisi.
Kesimpulan yang bisa diambil adalah perlakuan
konvensional terhadap pengembangan kurikulum sebagai
sebuah kegiatan profesional sepertinya tidak tepat. Ini
disebabkan pertama, ini mengabaikan realitas kekuatan politik
yang dimiliki di luar orang-orang profesional. Kedua, di sisi lain
ada pertanyaan politis yaitu siapa yang sebenarnya menentukan
kurikulum dan melalui langkah apa dia bisa mempengaruhi.
Selanjutnya, identifikasi sumber kebijakan kurikulum sangat
bervariasi yang menyebabkan hanya mitos kalau kontrol
kurikulum bisa secara lokal. Yang bisa disarankan adalah jika
kita ingin memulai perubahan kurikulum dengan cara yang
tepat, kita sebaiknya memiliki strategi politik sebagaimana kita
memiliki komite kurikulum (komite sekolah).
Peranan pendidik dalam pengembangan kurikulum tidaklah
seperti yang dikira banyak orang. Banyaknya tugas mengajar
yang harus dilakukan pendidik dan tugas-tugas administratif
lainnya
telah menyebabkan banyak pendidik tidak terlibat aktif dalam
pengembangan kurikulum. Bahkan banyak pendidik yang tidak
bisa berkolaborasi dengan teman sejawat dalam pengembangan
tugasnya sebagai pendidik. Oleh karena itu banyak pendidik
tidak memandang pengembangan kurikulum sebagai bagian dari
tugas profesionalnya, dan beberapa penulis mempertanyakan
tentang kompetensi pendidik dalam mengambil keputusan
terkait pengembangan kurikulum.
Peran pendidik dalam pengembangan kurikulum penting
sekali. Rasanya akan sangat naif apabila apa yang ada dalam
buku teks dan dalam beberapa buku panduan menjadi apa yang
diajarkan, tetapi mereka tidak ikut merencanakan dan
membuatnya, akan tetapi inilah kenyataannya. Karena pendidik
tidak ikut dalam pembuatan dan pengembangan kurikulum,
akhirnya banyak pendidik-pendidik yang mengajarkan bidang
studinya, contoh Biologi, sama sekali tidak seperti apa yang
dituntut oleh kurikulum bidang studi tersebut. Dengan kata lain
di dalam kelas, pendidik punya kurikulum sendiri yang menurut
versinya sendiri.
Alasan tentang perlunya pendidik terlibat dalam proses
pengembangan kurikulum dapat dilihat dari segi prinsip moral
dan keperluan praktis. Konsep demokrasi mengatakan bahwa
siapa yang terlibat dalam suatu keputusan, seharusnya terlibat
pula dalam membuat keputusan tersebut. Sementara para
profesional kurikulum berpendapat, pendidik tidak perlu terlibat
dalam penyusunan kurikulum karena itu ada ahlinya. Jadi
pertanyaan sebenarnya bukanlah apakah pendidik terlibat dalam
penyusunan kurikulum atau tidak, tapi peranan apa yang bisa
mereka mainkan, dan jawaban terhadap pertanyaan inilah yang
sering tidak jelas.
Untuk mengklarifikasi peranan pendidik dalam
pengembangan kurikulum, Zais (1976) menggambarkan proses
pengembangan
kurikulum yang menempatkan peranan pendidik sebagai pusat
perhatian. Mengamati bahwa sebagaian besar pendidik gagal
memahami kurikulum baru, sedangkan ahli kurikulum
kehilangan hubungan dengan pikiran pendidik yang sekarang,
maka Zais beragumentasi kalau pemisahan antara pendidik
dengan pakar kurikulum dalam pengembangan kurikulum
tidaklah tepat. Kemudian dia memperkenalkan prosedur studi
awal implementasi program kurikulum yang berisikan lima
elemen utama yaitu 1) personal dan waktu, penelitian
dilaksanakan sebelum mencobakan kurikulum yang baru di
mana porsi terbesar adalah implementasi oleh pendidik di
sekolah; 2) kegunaan, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendukung integrasi kurikulum yang baru kedalam pemikiran
pendidik terutama dalam hal aplikasi dan kelayakannya;
3) struktur, pendidik dan penyusun kurikulum bertemu untuk
mendiskusikan program baru, terutama menyakut wilayah
filosofi, sosiologi, teknologi, psikologi dan evaluasi; 4) area
kurikulum, setiap area di atas mewakili seperangkat
pengembangan dan implementasi program kurikulum; 5)
pertumbuhan potensial, penelitian praimplementasi ini tidak
hanya dimaksudkan untuk memacu pengembangan dan integrasi
kurikulum baru, tetapi juga untuk pengembangan profesional
pendidik itu sendiri.
Walaupun Zais tidak melaporkan hasil studinya itu, akan
tetapi dua observasi menunjukan arti yaitu pertama,
kelihatannya dia tidak melibatkan pendidik secara intens dalam
pengembangan kurikulum, kecuali untuk pendidik yang memiliki
kompetensi kuat, dan juga aplicability dan feasibility dalam
penerapan kurikulum baru. Kedua, waktu yang digunakan
pendidik untuk terlibat dalam kegiatan kurikulum jauh dari
biasa, dan mereka hanya berpartisipasi secara efektif selama
penelitian berlangsung.
Di sisi lain Zais (1976) menekankan bahwa implementasi efektif
dari kurikulum baru hanya dimungkinkan apabila pendidik sangat
memahami basis teoritis dari kurikulum tersebut. Oleh karena
itu Herron menganggap keterlibatan pendidik yang total dalam
penyusunan kurikulum sangat penting. Hanya dengan keterlibatan
yang total pemahaman yang baiklah, basis teoritis dari kurikulum
baru itu bisa diperoleh pendidik. Dari segi kemanusiaan adalah
manusiawi pula bila pendidik menolak mengimplementasikan
sesuatu yang dia tidak paham atau dipaksa untuk melakukannya,
walaupun itu sesuatu yang sangat berharga. Oleh karena itu
menempatkan pendidik pada posisi yang tepat sebagai pribadi dan
sebagai manusialah yang akan memungkinkan segala sesuatu bisa
dilaksanakannya.
Pendidik seringkali tidak memiliki suatu cara yang
terorganisir dalam menghadapi perubahan kurikulum. Sering
pendidik dihadapkan dengan perkataan "pikirkan dan lakukan".
Pendidik sering berkomentar kurikulum perlu diubah, tetapi
sistem tidak pernah memungkinkan untuk terjadinya perubahan
itu. Dengan mengajar 5 kelas yang masing-masing kelas terdiri
dari 30 orang, siapa yang punya waktu untuk mengembangkan
kurikulum? Apa yang bisa saya lakukan?
Memaksakan perubahan segera dan besar-besaran berarti
penolakan. Sehubungan dengan keinginan untuk melakukan
perubahan ada sebuah pribahasa, 1/2, 1/4 atau 1/8 lebih baik
daripada tidak sama sekali. Artinya perubahan sedikit lebih baik
daripada tidak ada
samasekali.Jawabanterhadapperlunyaperubahan sangat
tergantung pada psikologis si penanya dan situasi saat itu. Secara
psikologis biasanya seseorang tidak mau melakukan perubahan
karena dia takut atau merasa sudah enak dengan hal-hal yang
rutin. Dari segi situasi, perubahan tergantung pada banyak
faktor, seperti peraturan dalam masyarakat, atau beban mengajar.
Bab VII
SEKOLAH YANG EFEKTIF,
MENGELOLA PROSES PERUBAHAN

A. Bagaimana Karakteristik Sekolah yang Efektif?


Untuk menentukan karakteristik kultur sekolah, Slavin
(2005) mengungkapkan istilah yang sudah diberikan oleh
Hopkins (1994) yaitu the moving school, the stuck school, the
wandering school, dan promenading school. Slavin menambahkan
tiga kultur sekolah yang efektif 1) sekolah bibit (seeds school)
kemampuan menerjemahkan visi menjadi realita, staf yang solid,
punya komitmen untuk mengajar, dan memiliki pemimpin yang
selalu melibatkan staf dalam setiap pengambilan keputusan; 2)
sekolah tembok (bricks school) terdiri dari staf yang memiliki
keinginan untuk berubah jika perubahan tersebut memiliki nilai
yang bermanfaat. Tetapi bagi yang tida suka, akan mencari jalan
mereka sendiri untuk mereformasinya, walaupun harus meminta
bantuan dari luar. Tetapi umumnya sekolah ini stabil dan memiliki
hubungan yang baik antar lini; 3) sekolah pasir (sands school)
dianggap gagal dalam mengimplementasikan perobahan yang
terjadi, karena staf merasa puas dan yakin bahwa mereka telah
melakukan pekerjaannya dengan baik. Slavin (2005) mengklaim
bahwa sekolah ini hanya melayani masyarakat yang memiliki
sosio- ekonomi tinggi (Brady & Kennedy, 2007).
Levine dan Lezotte (1990) mengemukakan sembilan faktor
yang mencirikan sekolah yang efektif, yaitu budaya dan suasana
sekolah yang produktif, fokus pada pemerolehan keterampilan
peserta didik sebagai pusat pembelajaran, pengawasan yang
tepat terhadap keberhasilan peserta didik, pengembangan staf
yang berorientasi praktik pada lingkungan sekolah,
kepemimpinan yang baik, pentingnya melibatkan orang tua,
penyusunan dan implementasi instruksional yang efektif,
ekspektasi dan persyaratan operasional yang tinggi terhadap
peserta didik, dan lain yang mungkin berhubungan. Sammons
dkk (1995) membuat sebelas faktor yang hampir mirip dengan
apa yang ditawarkan oleh Levine dan Lezotte (1990), yaitu fokus
pada pengajran dan pembelajaran, kesatuan visi dan manfaat
(outcomes), standard yang tinggi, pembelajaran berdasarkan
konteks, menghargai hak dan tanggung jawab peserta didik,
sekolah sebagai pusat pembelajaran, hubungan timbal balik
antara sekolah dan keluarga, mengevaluasi pencapaian peserta
didik, pengajaran, penguatan yang positif, dan kepemimipinan.
Sebagai bahan perbandingan antara pendapat Levine dan
Lezotte(1990)danSammonsdkk(1995),makaTeddliedanReynolds
(2000) mengekplorasi sembilan faktor yang menunjukkan
sekolah yang efektif 1) kepemimpinan yang efektif yaitu sinonim
dengan sekolah yang efektif. Mengkaji pemimpin sekolah yang
efektif harus dilihat dari sejauh mana pemimpin tersebut fokus
pada visi yang dimilikinya, memiliki tujuan yang jelas, mampu
menyemangati staf untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan, memonitor kinerja staf, dan mempraktikan
kepemimpinan tersebut yang ada kaitannya dengan pengajaran
dan pembelajaran; 2) keefektifan pendidik dan pengajaran,
pembelajaran yang efektif sangat tergantung dari perilaku
pendidik dalam hal perencanaan dan pengorganisasian,
pemilihan strategi yang tepat untuk mencapai outcome yang
diharapkan, kemampuan mengelola kelas,

156 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


kemampuan menciptakan suasana belajar yang baik, secara bijak
menggunakan waktu dan mengadaptasi kurikulum sesuai
dengan kebutuhan pembelajar; 3) fokus terhadap pembelajaran,
sekolah yang efektif harus memiliki fokus akademik yang jelas,
mendorong terjadi peningkatan mutu, mengoptimalkan waktu
belajar; 4) menciptakan budaya sekolah yang positif, faktor
penting yang perlu diperhatikan antara lain, kolaborasi antara
staf, keterlibatan pendidik dalam setiap pengambilan keputusan
untuk menciptakan rasa memiliki, memiliki visi yang dipahami
oleh setiap staf, menciptakan komunitas belajar yang baik,
mempromosikan suasana belajar yang positif untuk setiap
peserta didik; 5) ekspektasi yang tinggi terhadap peningkatan
dan perilaku, ciri sekolah yang efektif adalah adanya ekspektasi
yang tinggi terhadap peserta didik dan harapan tersebut harus
dikomunikasikan kepada mereka. Selain itu, harapan tersebut
juga ditunjukan kepada staf;
6) memberikan tanggung jawab dan hak peserta didik. Peserta
didik harus menyadari tanggung jawabnya untuk belajar
mandiri, dan ikut aktif dalam kegiatan sekolah, seperti kelompok
belajar dan konsul; 7) memantau perkembangan pada semua
tingkatan. Ciri sekolah yang efektif adalah dengan melakukan
pemantauan yang berkelanjutan terhadap sekolah (melalui
proses evaluasi yang telah teruji kemapananya) dan peserta
didik (harapan yang terhadap pencapaian akademik yang tinggi);
8) pengembangan Staf. Sekolah yang efektif harus berperan serta
dalam pengembangan sekolah berbasis kinerja yang profesional
dan pekerjaan yang terkait lainnya; dan 9) keterlibatan orang
tua. Ciri sekolah yang efektif harus melibatkan peran orang tua.
Orang tua memberikan informasi tentang anak-anak mereka
kepada pendidik, dan bahkan orang tua bekerja sama untuk
memenuhi kebutuhan pesrta didik.
Muijs, Chapman, Stoll dan Russ (2004) menambahkan 3
faktor lagi dengan mempertimbangan keluarga yang kurang
mampu. Faktor tersebut, antara lain kemampuan menciptakan
lingkungan yang kaya informasi, memperoleh dukungan dari
pihak luar, dan membangun komunitas belajar. Selain itu,
sekolah dapat juga dikategorikan sekolah gagal (failing school),
jika menurut Nicolaidou dan Ainscow (2005) masalah tersebut
terkait dengan masalah internal sekolah (budaya unik mereka)
yang dapat diidentifikasi menjadi 4 unsur, yaitu 1) sikap negatif
yang terlihat dari budaya yang saling menyalahkan; 2) hubungan
yang tidak harmonis (sering merasa frustasi, konflik, perasaan
tidak berguna, dan teori konspirasi); 3) kualitas kepemimpinan
yang rendah;
4) masa transisi (kepala sekolah baru yang mencoba melakukan
reformasi, dan pembagian kerja antara pendukung dan
penentang).

B. Bagaimana Usaha Peningkatan Mutu Sekolah?


Kemampuan untuk memetakan karakteristik sekolah yang
efektif merupakan langkah awal yang baik untuk menentukan
cara meningkatkan mutu sekolah, tetapi cara tersebut tidaklah
mudah apa lagi untuk membuat keseragaman cetak biru
peningkatan kualitas sekolah. Menurut MacBeath dan Mortimore
(2001) bahwa tidak ada satu-satunya resep yang mujarab untuk
melakukan peningkatan mutu sekolah, selain dari
memperhatikan beberapa unsur, seperti kemampuan memotivasi
staf, fokus terhadap pengajaran dan pembelajaran, peningkatan
lingkungan fisik, dan mengubah budaya sekolah. Tetapi hal
tersebut juga tidak mudah tanpa dukungan dari pihak luar dan
ketersediaan sumber daya yang memadai.
Stoll, MacBeath dan Mortimore (2001) memberikan
beberapa faktor untuk meningkatkan mutu sekolah dalam istilah
yang lebih
luas dari faktor-faktor yang telah dikemukakan sebelumnya,
seperti 1) mengembangkan berbagai keterampilan dan kualitas
sesuai perubahan dunia. perubahan teknologi, hubungan sosial
dan keluarga, dan dunia kerja menghendaki peserta didik agar
mahir dalam mengakses informasi, kemampuan berkolaborasi,
fleksibel, dan mawas diri, dan lebih mahir menggunakan
berbagai macam strategi pembelajaran, terutama penelitian dan
pemecahan masalah. Sekolah perlu mengkaitkan kurikulum yang
terbaru dengan kurikulum yang mampu menyiapkan peserta
didik untuk menghadapi tantangan abad ke 21; 2) penekanan
pada pembelajaran dan peserta didik dan implikasinya terhadap
pengajaran, perkembangan baru dalam mempromosikan
pemahaman terhadap bagaimana peserta didik belajar
(contohnya, kecerdasan ganda konstruktivisme) telah menggeser
pengajaran tradisional yang menekankan pada pengajaran ke
pembelajaran yang berimplikasi pada pengajaran; 3) dengarkan
suara peserta didik, perkembangan pembelajaran terbaru yang
menekankan peserta didik sebagai konstruktor atau co-producer
pengetahuan mereka sendiri perlu didengar pendapat mereka
sebagai masukaan untuk peningkatan sekolah; 4)
profesionalisme pendidik, hanya ada satu cara agar pendidik
dapat melaksanakan perobahan tersebut, yaitu bersikap
profesional. Pendidik yang tidak mampu atau tidak mau belajar,
maka mereka dianggap sudah tidak profesional lagi; 5) lakukan
evaluasi diri; 6) kualitas manajemen dan kepemimpinan,
komunikasi peoplistic (kemampuan untuk menyimak, intuisi,
berempati dan membaca situasi) menjadi semakin diperlukan
pada keterampilan kepemimpinan; 7) perlunya orang lain yang
berpikiran kritis, untuk membantu sekolah menjadi mandiri,
teman-teman yang berpkiran kritis sangat diperlukan untuk
memberikan dukungan yang tepat
pada waktu yang tepat, apakah itu bentuk saran atau untuki
pengumpulan dan analisis data; 8) bangun komunitas, jaringan,
dan kemitraan, sekolah perlu berkolaborasi dengan yang lainnya,
seperti perpendidikan tinggi. Melalui kolaborasi tersebut,
sekolah dapat mengetahui apa yang terjadi di luar sana.
Kebutuhan untuk beranjak dari cara tradisional ke arah
penciptaan kreatifitas dalam berbagai lingkungan; 9) lakukan
pendekatan yang berkaitan dengan peningkatan, pendekatan
untuk meingkatkan kualitas sekolah adalah dengan
mengintegrasikan berbagai aspek yang berbeda-beda dari pada
mengadopsi yang sudah ada. Mujis dkk (2004) menyebutnya
dengan add-on approaches. Pendekatan pengembangan sekolah
harus menjadi baguan dari rencana jangka panjang; 10)
peningkatan yang berkelanjutan, salah satu tantangan yang
berat untuk mereformasi sekolah adalah mempertahankannya.

C. Apa yang Harus Dilakukan oleh Kepala Sekolah?


Peran atau tugas utama dalam peningkatan mutu sekolah
terletak pada kepala sekolah. Tetapi ketergantungan yang
berlebihan pada kepemimpinan kepala sekolah atau pada posisi
kepemimpinan resmi yang telah dibentuk dapat menghambat
perbaikan sekolah. Pemimpin formal terkadang merasa berada
di luar kelompok atau individual, sehingga mengakibatkan
berkurangnya peran pendidik dalam mengambil keputusan.
Berbekal latihan kepemimpinan, seorang kepala sekolah
diharapkan mampu mengembangkan suatu sistem sekolah yang
demokratis. Menurut Moller dkk (2004), sekolah yang
demokratis memiliki keterbukaan ide-ide yang memungkinkan
peserta didik dan pendidik untuk sepenuhnya memperoleh
informasi;
percaya pada kemampuan orang untuk memecahkan masalah
dan menghasilkan berbagai kemungkinan, mementingkan
kesejahteraan umum dan hak-hak individu; kemampuan
untuk menganalisis dan mengevaluasi masalah dan solusi, dan
pemahaman bahwa demokrasi adalah satu set nilai-nilai yang
dapat dilaksanakan. Salah satu peran utama dari kepala sekolah
adalah untuk mengilhami sekolah dengan etos demokrasi
tersebut.
Fullan (1992) membuat 10 pedoman bagi kepala sekolah
untuk meningkatkan kualitas sekolah yang masih relevan sampai
saat ini 1) jangan gunakan kata atau pernyataan “seandainya”;
2) mulailah dari hal yang kecil, namun berpikir besar; 3) fokus
pada sesuatu yang penting, seperti kurikulum atau pengajaran;
4) fokus pada hal yang mendasar, seperti budaya professional;
5) berlatihlah untuk menghilangkan ketakutan yang berlebihan
dengan berani mengambil resiko; 6) memberdayakan bawahan;
7) membagun visi yang relevan terhadap tujuan dan proses
perobahan; 8) mampu memutuskan apa yang tidak dilakukan; 9)
bangun pertemenan; 10) tahu kapan harus bersikap hati-hati.

D. Apa yang Harus Dilakukan oleh Pendidik?


Berbagai literatur tentang kepemimpinan memberikan
informasi tentang peran pendidik dalam meningkatkan kualitas
sekolah. Seorang pemimpin bukanlah mereka yang selalu
menggunakan otoritasnya. Pemimpin diibaratkan sebagai
seorang juara itu yang berwujud pengusaha, pengambil resiko,
visioner dan manajer yang berorientasi hasil. Otoritas mereka
berasal dari visi dan energi.
Terlepas dari peran pendidik sebagai agen perubahan dan
kepemimpinan, peran utama pendidik dalam perbaikan sekolah
adalah membantu peserta didik untuk mencapai hasil
pembelajaran. Pengajaran berkualitas selalu merupakan
karakteristik dari sekolah yang efektif. Jadi, fokus pada
peningkatan kualitas sekolah menjadi target perencanaan
pelajaran yang komprehensif, artikulasi hasil, pemberian
motivasi, seleksi eklektik dari berbagai strategi, penggunaan
strategi pengelolaan yang tepat, pengadopsian dari penilaian
otentik menjadi integral dari pengajaran dan pembelajaran.
Kriteria pendidik yang efektif dapat dilihat dari 1) kualitas
pengajaran termasuk struktur pelajaran, kejelasan dan umpan
balik; 2) penciptaan lingkungan belajar yang kondusif termasuk
manajemen kelas dan mengembangkan harapan untuk setiap
kelompok; 3) kesempatan untuk belajar yang melibatkan peserta
didik untuk melakukan perubahan; 4) autonomi yaitu kebebasan
pendidik dalam meimplementasikan reformasi; 5) pembedaaan
yaitu kemampuan mereformasi kebutuhan tertentu.

E. Apa yang harus Dilakukan oleh Peserta Didik?


Pandangan tradisional menganggap bahwa peserta didik
belum bisa bertanggung jawab untuk membuat keputusan
tentang kualitas kehidupan sekolah mereka. Hal ini merupakan
suatu dilema karena sebenarnya peserta didiklah yang menjadi
konsumen. Bila demikain, siapa yang menjadi kontributor utama
pada kebijakan dan perbaikan sekolah?
Rudduck dkk (1996) dalam bukunya yang berjudul School
Improvement: What Can Pupils Tell Us? menjelaskan tentang
kondisi pembelajaran di sekolah menengah Inggris yang belum
memperhitungkan kematangan peserta didik karena mereka
dianggap masih dalam taraf perkembangan identitas mereka
sebagai peserta didik. Buku ini membahas kontribusi peserta
didik dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, dan kualitas
sekolah. Hal yang sama juga ditemukan di Australia, peserta
didik selalu terbiasa memikul tanggung jawab lebih dan otonomi
dalam kehidupan pribadi mereka.
Rudduck dkk (2007) menyarankan enam prinsip perspektif
bagi seorang peserta didik agar mampu belajar. Hal tersebut
adalah menghargai peserta didik sebagai individu dan sebagai
kelompok yang menempati posisi penting di sekolah; keadilan
untuk semua peserta didik; otonomi sebagai hak dalam
kaitannya dengan kematangan fisik dan sosial; memberdayakan
intelektual sehingga mendorong pengalaman belajar peserta
didik sebagai kegiatan yang menarik; dukungan sosial dalam
kaitannya dengan masalah akademik dan sosial, dan keamanan,
terutama dalam kaitannya keterampilan interpersonal.
Karya dari Rudduck dkk (1996) tersebut menyimpulkan
bahwa apa yang peserta didik katakan tentang pengajaran,
pembelajaran dan sekolah tidak asing lagi dan telah menjadi
perhatian serius. Mereka percaya bahwa selama ini pendapat
peserta didik merupakan unsur yang terabaikan. Untuk itu, kita
juga harus mempertimbangkan pendapat murid gerakan
perbaikan sekolah harus sesuai konteks tersebut.

F. Bagaimana Mengembangkan Profesional?


Sebagaimana dikatakan oleh Fullan (1992) bahwa
pengembangan staf dan kesuksesan inovasi merupakan unsur
yang saling berkaitan. Peningkatan yang efektif tidak hanya
melibatkan perubahan pada sisi praktis, perilaku dan
sumberdaya lainnya, tetapi juga sikap untuk mencapainya.
Peningkatan proses pembelajaran membutuhkan pengembangan
yang profesional.
Pengembangan tersebut melibatkan berbagai aktivitas atau
proses yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman atau
keterampilan.
Pengembangan profesional sering gagal dilakukan karena tidak
dilakukan secara terus menerus. Tugas tersebut harus dihadapi
dan ditindaklanjuti oleh pendidik, dan harus memiliki relevansi
dengan konteks atau situasi saat ini. Yang harus dilakukan dalam
pengembangan profesional jangka panjang dan perbaikan sekolah
1) banyak mendengar pendidik dari pada administrator dan
peneliti; 2) mendukung proses yang memungkinkan sekolah
untuk mendefinisikan kembali diri mereka sebagai lembaga
komunitas keadilan, demokrasi dan social; 3) memfasilitasi, baik
kemutakhiran pada perkembangan, maupun berbagi informasi
terbaru; 4) menunjukkan kayakinan terhadap kemampuan
pendidik untuk memahami konteks yang kompleks terhadap apa
yang mereka kerjakan; 5) mengadopsi praktik baru secara
perlahan-lahan dan hati-hati, setelah diujicobakan; 6)
menganggap pengalaman belajar sebagai pengalaman hidup,
daripada sekedar sebagai preskriptif atau petunjuk; 7) ide-ide
subjektif dan mandat dari sumber birokrasi perlu dikaji secara
menyeluruh oleh pendidik, dengan fokus pada manfaatnya untuk
peserta didik; 8) melibatkan pendidik dalam mengembangkan
dan melaksanakan rencana untuk perubahan; dan
9) melibatkan peserta didik dengan pertanyaan-pertanyaan yang
berkenaan dengan pikiran dan perasaan mereka.

G. Bagaimana Mengelola Proses Perubahan?


Beberapa dekade terakhir telah terjadi perubahan pada tata
kelola sekolah, kurikulum dan pedagogi, dan perubahan sosial.
Kebutuhan perubahan tersebut menjadi beban bagi kepala
sekolah
dan pendidik untuk memahami sifat dan proses perubahan, dan
cara memimpin dan memfasilitasi perubahan tersebut. Sifat
perubahan antara lain 1) perubahan tersebut sangat kompleks
dan melibatkan interaksi berbagai faktor/orang; 2) perubahan
menghendaki klarifikasi berkelanjutan untuk mengatasi
ketidakpastian dan ambiguitas; 3) perubahan biasanya dilakukan
pada skala kecil daripada skala yang lebih luas; 4) perubahan
merupakan budaya lembaga dan bukan hanya inovasi diskrit; 5)
perubahan harus bertahap dan selalu memikirkan
pengembangan; dan 6) perubahan pasti melibatkan konflik,
karena itu harus mampu mengelola staf dengan baik.
Konflik tidak harus berdampak negatif, Brady and Kennedy
(1995) memberikan beberapa keuntungan apabila konflik
tersebut dikelola secara terampil 1) konflik sering menyebabkan
penetapan keputusan akan lebih serius; 2) konflik seringkali
menghasilkan kesadaran terhadap hubungan sesame; 3)
konflik seringkali meningkatkan pengetahuan sendiri (kenapa
merasa marah); 4) konflik seringkali merangsang kreativitas
dengan cara mengekpos berbagai sudut pandang; 5) konflik
seringkali meningkatkan intensitas psikologi, energi fisik,
dan rasa keingintahuan; 6) konflik seringkali memadukan
kelompok; 7) konflik seringkali memperkuat hubungan dengan
memperlihatkan cara mengatasi ketegangan; 8) konflik
seringkali mendorong terjadinya perubahan. Perencana
kurikulum juga perlu memperhatikan perubahan-perubahan
sosial yang lebih luas dan berdampak pada sekolah. Perubahan
tersebut bisa berkaitan dengan keluarga (peningkatan jumlah
perempuan dalam angkatan kerja, berbagai peningkatan struktur
keluarga, sikap orangtua yang kurang otoriter), perubahan peran
perempuan (redefinisi tentang peran perempuan dalam
masyarakat), multikulturalisme
(perkembangan budaya pluralisme), perubahan ekonomi
(pertumbuhan dalam bidang komunikasi dan gerakan
masyarakat ke pasca-industri) dan perubahan teknologi
(telekomunikasi dan teknologi komputer). Berbagai perubahan
sosial tersebut sering muncul di sekolah dalam bentuk area
publik, dan masalah-masalah aktual yang mempercepat
perubahan tersebut.
Di antara dimensi postmodernitas seperti yang dikutip
oleh Fullan dan Hargreaves (1991) memiliki implikasi terhadap
sekolah, seperti ketidakpastian moral dan ilmiah, dan kecemasan
pribadi. Tantangan bagi pendidik adalah lebih berupaya
menciptakan situasi daripada kepastian ilmiah di sekolah
sebagai komunitas kolaboratif (menetapkan parameter yang
realistis dan disepakati untuk perubahan di sekolah) yang
berkaitan erat dengan pengembangan diri pendidik ke realitas
kontekstual tugas pendidik. Untuk itu, menurut Fullan dan
Hargreaves (1991) bahwa tantangan utama yang perlu menjadi
perhatian adalah rekonstruksi kerja pendidik ke arah
pengembangan struktur dan proses yang lebih fleksibel dan
responsif dan secara efektif, dan akselerasi perubahan.
Fullan (1992) menawarkan berbagai pelajaran tentang sifat
perubahan dan cara mengatasinya 1) terinspirasi oleh tujuan
moral perubahan, tetapi jangan naif. Perubahan tersebut
kompleks dan banyak masalah; 2) menilai usaha perubahan
tersebut berdasarkan teori-teori pendidikan, dan menyadari
bahwa tidak akan pernah ada teori definitif dari perubahan; 3)
menghargai konflik dan keragaman. Fullan (1992) mengklaim
bahwa konflik, jika dicermati secara positif akan menciptakan
terobosan kreatif walaupun pada situasi yang kompleks, dan
penuh gejolak; 4) memahami arti dari pelaksanaan pada sisi
kekacauan. Melakukannya dengan menetapkan beberapa
prioritas utama daripada mengelola
perubahan melalui aturan; 5) menerima bahwa perubahan
sebagai pemicu dan menjadi kecemasan. Melibatkan kemampuan
untuk mengatasi kecemasan; 6) memahami bahwa budaya
kolaboratif juga memciptakan kecemasan. Kolaborasi berkaitan
dengan dukungan dan konflik; 7) ancaman ketidaklogisan, dan
mencari keterhubungan penciptaan pengetahuan; 8) mengakui
bahwa tidak ada solusi tunggal.

1. Proses Menuju Perubahan


Fullan (1992) mengklaim bahwa perubahan pendidikan
dalam suatu organisasi terdiri dari tiga fase, yaitu inisiasi,
implementasi, dan institusionalisasi. Berikut ini akan dijelaskan
fase-fase tersebut
1) orientasi/kebutuhan, kebutuhan untuk menerima perubahan,
dan merasa bahwa masalah yang harus diperbaiki; 2) inisiasi,
melibatkan orang atau kelompok menawarkan perubahan, baik
dari eksternal sekolah atau internal sekolah; 3) implementasi,
mengadaptasi perubahan sesuai dengan kondisi saat itu,
meskipun implementasinya dilakukan secara terus menerus.
Efektivitas pelaksanaannya menurut Fullan (1992) ditentukan
oleh karakteristik perubahan (misalnya, ketegasan dan
kompleksitas); strategi yang digunakan (pengembangan
pendidik), perubahan karakteristik dari unit tertentu (yang
disalurkan melalui pengambilan keputusan), dan karakteristik
unit makro-sosial politik (misalnya, kompleksitas politik); dan 4)
institusionalisasi, membangun struktur dan rutinitas pekerjaan
untuk memastikan bahwa pelaksanaan tetap berlanjut dan
diterima oleh berbagai pihak. Tahap ini membutuhkan komitmen
staf dan dukungan/ sistem administrasi. Namun sebaliknya,
perubahan tersebut akan lemah apabila kurangnya komitmen
dari staf, kepemimpinan yang buruk dan lemahnya mobilitas staf.
2. Pendidik dan Perubahan
Perubahan pendidikan sangat tergantung pada cara pikir
dan sikap pendidik. Jadi perubahan tersebut bukanlah mandat
atau dilegislasikan. Menurut Fullan (1992), pendidik dapat
menggunakan empat kriteria utama dalam menilai perubahan
tersebut 1) Apakah perubahan tersebut sesuai dengan
kebutuhan?
2) Apakah perubahan tersebut dapat menyelesaikan apa yang
sebenarnya dihadapi oleh pendidik? 3) Akankah perubahan
mempengaruhi pendidik dalam hal waktu, semangat dan
kompetensi, dan akan hal itu menjadi tantangan untuk prioritas
yang ada? 4) Akankah perubahan menghasilkan penghargaan
tentang interaksi dengan teman sebaya atau orang lain?
Hal ini juga perlu dipahami bahwa emosi seringkali muncul
dalam perubahan. Pendidik yang baik adalah sabar dalam
memberikan pengajaran, namun Fullan dan Hargreaves (1991)
mengklaim bahwa istilah emosi bisa dikatakan tidak ada dalam
literatur dan advokasi perubahan pendidikan. Dukungannya
terhadap perlunya reformasi pendidikan untuk merangkul
dimensi-dimensi emosional mengajar dan belajar konsisten
sesuai dengan pelajaran Fullan (1992), yaitu tentang sifat
perubahan.
Fullan dan Hargreaves (1991) mengidentifikasi dua belas
pedoman yang perlu diperhatikan oleh para pendidik yang
secara kolektif akan menciptakan pola pikir baru. Pedoman ini
adalah suatu metode untuk menciptakan profesionalisme
interaktif untuk mengelola perubahan. Pedoman tersebut adalah
1) temukan, dengarkan dan artikulasikan suara hati anda; 2)
refleksi pada, dalam dan tentang, tindakan; 3) mengembangkan
mentalitas untuk mengambil risiko; 4) percayai proses
sebagaimana percaya pada seseorang; 5) menghargai orang yang
total dalam bekerja dengan orang lain; 6) berkomitmen untuk
bekerja dengan rekan-rekan; 7)
mencari variasi dan menghindari balkanisasi; 8) mendefinisikan
ulang peran anda untuk memasukkan tanggung jawab di luar
kelas; 9) seimbangkan antara bekerja dan kehidupan pribadi;
10) dorong dan dukung kepala sekolah dan staf adiministrasi
lain untuk mengembangkan profesionalisme; 11) berkomitmen
untuk terus melakukan peningkatan dan perpetual learning
(belajar terus menerus); dan 12) memantau dan memperkuat
hubungan antara pembangunan diri dan pengembangan peserta
didik.
Fullan dan Hargreaves (1991) kemudian menambahkan
perlunya 1) mengembangkan norma-norma kolegialitas dan
kepercayaan melalui perencanaan, pengajaran dan berbicara
bersama-sama; 2) membuat rencana mundur dengan berfokus
pada bagaimana peserta didik belajar, dan menyakini bahwa
pengajaran mereka telah sesuai; 3) melihat pekerjaan mereka
sebagai suatu masalah dan perlu dicari solusinya; 4)
menekankan akuntabilitas untuk belajar peserta didik daripada
akuntabilitas untuk pengendalian; 5) mengadopsi peran
desainer, pemimpin bukan pekerja perakitan; dan 6) berawal
dari kekhawatiran individu untuk kepedulian sekolah.

3. Kepala Sekolah dan Perubahan


Semakin meningkatnya berbagai pekerjaan di sekolah, dan
juga semakin besarnya akuntabilitas pada abad baru ini,
tuntutan pada kepala sekolah juga meningkat, apalagi saat ini
Kepala Sekolah dibebas tugaskan dari mengajar. Kepala sekolah
harus menangani masalah kurikulum baru di semua bidang
pembelajaran dan berbagai inisiatif kebijakan. Fullan dan
Hargreaves (1991) melengkapi daftar pedoman untuk kepala
sekolah, yaitu 1) pahami budaya sekolah; 2) hargai pendidik
dengan mendorong pertumbuhan profesional mereka; 3)
memberikan apa yang
mereka butuhkan; 4) mengungkapkan apa yang menjadi visi
sekolah; 5) mendorong kolaborasi, tidak kooptasi dan kompetisi;
6) membuat daftar pekerjaan, bukan mandat; 7) menggunakan
langkah-langkah birokrasi untuk memudahkan, bukan untuk
membatasi; dan 8) membuat hubungan dengan lingkungan yang
lebih luas.

4. Budaya Kolaboratif
Budaya perlunya melakukan kolaborasi merupakan prasyarat
untuk melakukan perubahan. Tujuan utamanya adalah 1)
mendorong kesempatan untuk belajar, kolaborasi menyediakan
pendidik dengan lebih banyak kesempatan untuk belajar dari
satu sama lainnya, baik dengan mengamati mengajar satu sama
lain atau dengan berbagi pengetahuan melalui kerja kolegial
demi perubahan; 2) meningkatkan efektivitas pendidik; 3)
merespon perubahan, kolaborasi memungkinkan respon
tuntutan perubahan, karena melibatkan pengalaman dan
keahlian kolektif dari kelompok besar; 4) mendorong
peningkatan kualitas sekolah yang berkesinambungan,
kolaborasi mempromosikan kesempatan untuk belajar,
meningkatkan efektivitas pendidik, dan meningkatkan daya
tanggap terhadap perubahan, mendorong pandangan bahwa
perbaikan sekolah merupakan proses yang berkesinambungan
bukan peristiwa sesaat; 5) mengurangi beban kerja, kolaborasi
mengurangi beban kerja karena komitmen bersama, bukan
tanggung jawab yang harus dilakukan oleh seorang pendidik
individu; 6) menciptakan keyakinan profesional, karena
kolaborasi mengurangi kecemasan dan ketidakpastian.
Jika kolaborasi tersebut begitu kaya manfaat dan diklaim
sebagai syarat untuk perubahan, apa sebenarnya kolaborasi itu?
Kolaborasi menyiratkan adanya ketergantungan kuat, komitmen
kolektif dan tanggung jawab bersama, dan mungkin saja
melibatkan tim pengajaran, pengamatan pelajaran masing-masing,
perencanaan, tindakan penelitian dan pemantauan bersama.
Walaupun banyak manfaat yang diperoleh dari kolaborasi
tersebut, Fullan dan Hargreaves (1991) mengingatkan bahwa
kolaborasi juga bisa berbahaya karena membuat 1) nyaman dan
puas dapat mengkonsolidasikan bukannya menantang status
quo;
2) konformis penekanan pada pemikiran kelompok, yang dengan
demikian mengurangi individualitas dan kreativitas; 3)
menyusun pengembangan kerjasama menjadi sebuah perangkat
administrasi yang paradoks; dan 4) menggunakan kooptasi
kolaborasi sebagai taktik politik untuk memperoleh dukungan
pendidik dan komitmen untuk inisiatif perubahan.

5. Kemitraan Sekolah dengan Pendidikan Tinggi


Sekolah-sekolah di Australia memandang kemitraan dengan
pendidikan tinggi sebagai suatu cara untuk meningkatkan
pencapaian belajar peserta didik, pengembangan staf yang
profesional dan budaya sekolah. Kemitraan ini mencakup
pengawasan praktikum calon pendidik, kegiatan mengajar
bersama antara peserta didik dan calon pendidik, melakukan
penelitian, pengayaan; perencanaan bersama untuk mengajar di
sekolah, dan berbagai kegiatan pengembangan profesional
lainnya yang melibatkan berbagai stakeholder (Brady dan
Kennedy, 2007).

6. Pengembangan Pendidik dan Perubahan


Fullan dan Hargreaves (1992) mengungkapkan bahwa
pengembangan pendidik harus dipikirkan lebih seksama, karena
perubahan pendidikan tidak hanya pada pelaksanaan inovasi, tetapi
sekaligus mengubah profesi mengajar. Para peneliti semakin
gencar
menyelidiki sifat pengembangan pendidik dan pentingnya untuk
berubah. Di Australia, pengembangan standar pengajaran
memiliki kekuatan untuk meningkatkan kualitas pengembangan
profesional. Agenda untuk berubah memungkinkan pendidik untuk
membangun agenda mereka sendiri untuk pengembangan
profesional.

7. Faktor-Faktor yang Menghambat Perubahan


Hambatan menuju perubahan sangat banyak, baik yang
berkaitan dengan kesalahpahaman dari proses perubahan itu
sendiri, maupun tidak realistisnya dunia kerja pendidik. Fullan
(1992) mengidentifikasi dua kunci utama masalah tersebut,
pertama berkaitan dengan kekurang pengetahuan terhadap
proses perubahan tersebut; dan kedua berkaitan dengan
persepsi umum bahwa perubahan tersebut sangat kompleks
sehingga menolak perubahan tersebut. Di antara faktor
penghambat 1) peningkatan tugas-tugas dan akuntabilitas
pendidik; 2) rasa yang kuat dari isolasi dialami oleh pendidik;
3) organisasi sekolah;
4) kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan pemikiran
kelompok; 5) kesulitan untuk menggunakan keahlian pendidik;
6) sempitnya peran pendidik; 7) para staf sekolah; dan 8)
kesulitan menerapkan perubahan tersebut di sekolah.

8. Faktor-Faktor yang Mendukung Perubahan


Faktor yang mendukung perubahan antara lain 1) ketegasan,
memahami sifat perubahan; 2) menyediakan jaringan umpan
balik antara staf; 3) menghargai mereka yang terlibat dalam
perubahan; 4) proses pembangunan yang melibatkan pengguna
dalam melaksanakan perubahan; 5) dukungan dari lingkungan;
6) dukungan sumber daya, memastikan tersedianya sumber daya
yang memadai, staf dan dukungan administrasi; 7) lingkup
perubahan,
menghendaki untuk melakukan perubahan sesegera mungkin; 8)
evaluasi, menolak tekanan untuk menghasilkan kesuksesan
terlalu cepat; dan 9) memperoleh staf yang memiliki kemampuan
dan komitmen. Perubahan itu bisa terjadi apabila 1) dengan cara
belajar dari informasi, pengetahuan, pengalaman dan kompetensi;
2) adanya pemahaman kebersamaan sehingga ada interaksi,
keterbukaan; 3) sebagai leader harus memperdayakan semua
komponen supaya terjadi kebersamaan; dan 4) terkait dengan
sikap mencapai tujuan bersama untuk mencapai kebersamaan.
Bab VIII
PERJALANAN KURIKULUM
NASIONAL

A. Bagaimana Perjalanan Kurikulum di Indonesia?


Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum
pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada
tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006
dan 2013. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari
terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan
IPTEK dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Salah satu
konsep terpenting untuk maju adalah melakukan perubahan
untuk menuju kebaikan. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat
rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai
dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan
yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada
penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan
dalam merealisasikannya.
B. Bagaimana Perkembangan Kurikulum Pendidikan?
1. Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan
memakai istilah leer plan. dalam bahasa Belanda, artinya rencana
pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris).
Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis dari
orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas
pendidikan ditetapkan Pancasila. Rencana Pelajaran 1947 baru
dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan
menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari
Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok daftar mata
pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar
pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan
pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran
bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan
dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan
pendidikan jasmani.

176 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


2. Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang
disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata
pelajarannya jelas sekali. seorang pendidik mengajar satu mata
pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar
Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun
Djauzak adalah pendidik SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana
Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral
(Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima
kelompok bidang studi, moral, kecerdasan, emosional/ artistik,
keterampilan, dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih
menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

3. Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis mengganti
Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde
Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati.
Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi
pelajaran kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar,
dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9. Djauzak
menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. Hanya
memuat mata pelajaran pokok-pokok saja, katanya. Muatan
materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan
permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa
saja yang tepat diberikan kepada peserta didik di setiap jenjang
pendidikan.
4. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan
lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh
konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by
objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi,
Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi, dan
tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”,
yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan
pelajaran dirinci lagi, petunjuk umum, tujuan instruksional khusus
(TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar,
dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Pendidik dibikin
sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran.

5. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski
mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap
penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang
disempurnakan”. Posisi peserta didik ditempatkan sebagai subjek
belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan,
hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar peserta didik Aktif
(CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh penting dibalik
lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan,
Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga
Rektor IKIP Jakarta-sekarang Universitas Negeri Jakarta periode
1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus
hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak
deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya,
banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat
adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran peserta didik
berdiskusi, di sana-sini
ada tempelan gambar, dan yang menyolok pendidik tak lagi mengajar
model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.

6. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999


Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan
kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin
mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984,
antara pendekatan proses”. Kritik bertebaran, lantaran beban
belajar peserta didik dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional
hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan
daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah, kesenian,
keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan
kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu
tertentu masuk dalam kurikulum. Kurikulum 1994 menjelma
menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada
1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi
perubahannya lebih pada menambah sejumlah materi.

7. Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi)


Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Setiap pelajaran
diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai peserta
didik. KBK bertujuan untuk mengeksplorasi kemampuan peserta
didik secara optimal, mengkonstruk apa yang telah dipelajari
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. KBK berupaya
untuk mengkondisikan setiap peserta didik supaya memiliki
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang
diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sehingga
proses penyamapaian pembelajarannya harus bersifat
kontekstual dengan mempertimbangkan faktor kemampuan,
lingkungan, sumber daya, norma, integrasi dan aplikasi berbagai
kecakapan kinerja, intinya KBK berorientasi pada filosofi
kontruktivisme.
8. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan, muncullah Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Pendidikan nasional harus mampu
menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan
mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan.
Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program
wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan
untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya
melalui olah hati/zikir, olah pikir, olah ukir agar memiliki daya
saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan
relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan
yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber
daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen
pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis
sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam
sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan
Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun
dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan.
Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu,
maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk
mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum
tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum
operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan
pendidikan. Bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun
rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar
yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi, struktur dan
muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga
pengembangan silabusnya.
Secara substansial, pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi
yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah
pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya
paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya
sebuah subject matter), yaitu 1) menekankan pada ketercapaian
kompetensi peserta didik baik secara individual maupun
klasikal;
2) berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan
keberagaman; 3) penyampaian dalam pembelajaran
menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; 4)
sumber belajar bukan hanya pendidik, tetapi juga sumber belajar
lainnya yang memenuhi unsur edukatif; 5) penilaian
menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya
penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

9. Kurikulum 2013
Alasan pentingnya pengembangan ke Kurikulum 2013
adalah karena ada tantangan masa depan yaitu 1) Globalisasi:
WTO, ASEAN Community, APEC, CAFTA; 2) masalah lingkungan
hidup; 3) kemajuan teknologi informasi; 4) konvergensi ilmu
dan teknologi; 5) ekonomi berbasis pengetahuan; 6) kebangkitan
industri kreatif dan budaya; 7) pergeseran kekuatan ekonomi
dunia; 8) PENGARUH dan imbas teknosains; 9) Mutu, investasi
dan transformasi pada sektor pendidikan; dan 10) materi TIMSS
dan
PISA. Alasan lain kenapa harus mengembangkan Kurikulum
2013 adalah karena orientasi kompetensi masa depan 1)
kemampuan berkomunikasi; 2) kemampuan berpikir jernih dan
kritis; 3) kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu
permasalahan;
4) kemampuan menjadi warga negara yang bertanggungjawab;
5) kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap
pandangan yang berbeda; 6) kemampuan hidup dalam
masyarakat yang mengglobal; 7) memiliki minat luas dalam
kehidupan; 8) memiliki kesiapan untuk bekerja; 9) memiliki
kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya; dan 10) memiliki
rasa tanggungjawab terhadap lingkungan.
Kurikulum 2013 penting dirumuskan karena menurut
persepsi masyarakat, kurikulum lama terlalu menitikberatkan
pada aspek kognitif, beban siswa terlalu berat, dan kurang
bermuatan karakter. Kemudian munculnya fenomena negatif yang
mengemuka seperti perkelahian antar pelajar, narkoba, korupsi,
plagiarism, kecurangan dalam ujian, dan gejolak masyarakat.
Terakhir karena adanya perkembangan pengetahuan dan
pedagogi yaitu neorologi, psikologi, dan observation based
discovery learning dan collaborative learning.
Filosofi Kurikulum 2013 adalah dapat menghasilkan insan
indonesia yang Produktif, Kreatif, Inovatif, Afektif melalui
penguatan Sikap, Keterampilan, dan Pengetahuan yang
terintegrasi dengan langkah-langkah pembelajaran pendekatan
ilmiah 1) mengamati; 2) menanya; 3) mencoba; 4) menalar; 5)
mencipta; dan 6) mengkomunikasikan. Empat perubahan dalam
Kurikulum 2013 yaitu 1) konsep kurikulum; 2) buku yang
dipakai; 3) proses pembelajaran; dan 4) proses penilaian. Untuk
konsep kurikulum yaitu seimbang antara hardskill dan softskill,
dimulai dari Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar
Proses, dan Standar
Penilaian. Kemudian untuk buku yang dipakai yaitu berbasis
kegiatan (activity base) dan untuk SD ditulis secara terpadu
(tematik terpadu). Berikut ini tablel paparan Wakil Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan R.I Bidang Pendidikan di Jakarta,
14 Januari 2014 terkait penyempurnaan pola pikir perumusan
Kurikulum 2013.
Table 5. Paparan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I
Bidang Pendidikan
No KBK KTSP Kurikulum 2013
1 Standar Kompetensi Lulusan Standar Kompetensi Lulusan
diturunkan dari Standar Isi diturunkan dari kebutuhan
2 Standar Isi dirumuskan berdasarkan Standar Isi diturunkan dari
Tujuan Mata Pelajaran (Standar Standar Kompetensi Lulusan
Kompetensi Lulusan Mata melalui Kompetensi Inti
Pelajaran) yang dirinci menjadi yang bebas mata pelajaran
Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar Mata Pelajaran
3 Pemisahan antara mata
Semua mata pelajaran harus
pelajaran pembentuk sikap,
berkontribusi terhadap
pembentuk keterampilan, dan
pembentukan sikap,
pembentuk pengetahuan
keterampilan, dan pengetahuan
4 Kompetensi diturunkan dari
Mata pelajaran diturunkan
mata pelajaran
dari kompetensi yang ingin
5 Mata pelajaran lepas satu dengan dicapai
yang lain, seperti sekumpulan
Semua mata pelajaran diikat
mata pelajaran terpisah
oleh kompetensi inti (tiap kelas)

Oliva (1982) mengemukakan bahwa konsep kurikulum


dapat ditinjau dari berbagai dimensi tergantung dari filosofi yang
dianut oleh pengembang kurikulum. Beberapa sudut pandang
konsep kurikulum menurut Oliva (1982) adalah 1) kurikulum
sebagai sesuatu yang diajarkan di dalam sekolah; 2) kurikulum
sebagai suatu tujuan yang akan dicapai; 3) kurikulum sebagai isi,
materi pelajaran; 4) kurikulum sebagai suatu program studi; 5)
kurikulum sebagai kumpulan bahan-bahan pelajaran; 6)
kurikulum sebagai suatu urutan sesuai jenjang pendidikan.
Bagian-bagian kurikulum menurut Oliva (1982) adalah 1)
kurikulum ideal, yang merupakan kumpulan dokumen yang
pada dasarnya berisi tataran ide yang akan dilaksanakan, tujuan
yang diharapkan akan dicapai. Di antaranya konsep kurikulum
sebagai program studi, konsep kurikulum sebagai rencana,
konsep kurikulum sebagai bahan-bahan pelajaran; 2) kurikulum
aktual, yang merupakan implementasi kurikulum dari kurikulum
ideal, konsep kurikulum sebagai hasil pengalaman belajar
peserta didik, konsep kurikulum sebagai bidang studi. Hal ini
merupakan inti dari kurikulum karena terkait langsung dengan
proses pembelajaran;
3) kurikulum yang tersembunyi, merupakan aspek kurikulum
yang tidak tertulis tetapi sangat menunjang terhadap pencapaian
dalam implementasi kurikulum; 4) pembelajaran merupakan
proses komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik antara
peserta didik dan pendidik, peserta didik dengan peserta didik
atau peserta didik dengan sumber belajar lain pada suatu
lingkungan belajar tertentu, untuk mencapai tujuan tertentu,
dalam proses ini terdapat suatu proses transfer ilmu; 6)
kurikulum dan pembelajaran memiliki kaitan yang sangat erat,
kurikulum berkenaan dengan cakupan tujuan, isi dan metode
yang lebih luas dan umum, sedangkan yang lebih sempit, lebih
khusus menjadi tugas pengajaran. Keduanya membentuk satu
kontinum, kurikulum terletak pada ujung tujuan umum dan
tujuan jangka panjang, sedangkan pengajaran yang lebih khusus
atau tujuan dekat.
Kurikulum yang akan diterapkan di Indonesia perlu
dirancang agar sesuai dengan kondisi sosio masyarakat
Indonesia. Untuk dapat mencapai pendidikan yang diidealkan
maka, kita perlu melakukan pembenahan di segala bidang
termasuk merealisasikan Blended Learning sebagai tuntutan
Revolusi Industri 4.0 dan Society
5.0. Bukan hanya menyangkut kurikulum yang ada, tetapi tenaga
pendidik pun menjadi faktor penentu akan berhasilnya tujuan
pendidikan yang ada. Sekolah sebagai lembaga pendidikan bukan
hanya melaksanakan rutinitas pembelajaran di kelas, akan tetapi
fungsi sekolah harus lebih menekankan akan bagaimana peserta
didik mampu mencari problem solving bagi masyarakatnya.
Sehingga, lulusan yang dihasilkan tidak menjadi masalah baru
bagi masyarakat. Di sinilah peran pendidikan akan
dipertanyakan saat pendidikan tidak mampu memberikan jalan
keluar bagi masalah yang berkembang di masyarakat. Apalagi
kalau pendidikan tidak bisa mengantarkan peserta didik kepada
tujuan yang ingin ia capai. Namun, tetap semuanya tidak ada
yang sempurna. Konsep pendidikan yang berlandaskan filasafat
pragmatisme nantinya yang menjadi ukuran keberhasilan adalah
bisa tidaknya sesuatu tersebut digunakan untuk kepentingan
hidup.
Sekolah masa depan berorientasi kepada kemampuan dasar
dan kebutuhan anak didik. Sekolah masa depan, kurikulumnya
dirancang berdasarkan kepada perkembangan; usia dan tingkat
kognisi anak didik. Sekolah yang didirikan oleh John Dewey
tahun 1915 ini ditujukan untuk memenuhi semua fungsi yang
belum lengkap pada sekolah-sekolah yang ada sebelumnya.
Sekolah masa depan merupakan suatu sekolah yang disusun
secara berkesinambungan, berkembang dan berubah sesuai
dengan kebutuhan dan minat peserta didik. Sekolah masa depan
mengemukakan bahwa pendidikan harus bersifat progresif
(maju terus), memperbaiki dan menyusun pelajaran,
membimbing anak didik, bebas dari tekanan serta mengarahkan
peserta didik ke arah pencapaian masa depan mereka. Sekolah
masa depan menginginkan proses pendidikan yang tepat
sasaran, mempunyai aplikasi di bidang sosial, praktik dan
teorinya berlangsung secara terintegrasi dari awal sampai akhir
pendidikan. Sehingga harus
mampu mengubah pola pikir anak didik menjadi kritis,
berorientasi jauh ke depan dan tanggap terhadap lingkungannya.

10. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia


Latar belakang munculnya Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI) adalah karena adanya tantangan dan
persaingan global, dan ratifikasi Indonesia di berbagai konvensi.
Kemudian adanya kesenjangan mutu, relevansi lulusan, beragam
kualifikasi, dan beragam pendidikan. KKNI merupakan
pernyataan dan penjenjangan kualitas SDM Indonesia, agar SDM
Indonesia dapat setara dengan SDM Asing, serta dapat
pengakuan kualifikasi.
Dasar hukum KKNI adalah 1) Perpres Nomor 8 tahun 2018; 2)
Permendikbud Nomor 73 tahun 2013; 3) Permendikbud Nomor
49 tahun 2014; 4) Permenristekdikti Nomor 44 tahun 2015.
Dalam KKNI terdapat 9 level kemampuan kerja minimal dari
tingkat Sekolah Dasar hingga Strata III. Untuk level 1 yaitu
lulusan SD dan SMP dengan kemampuan kerja melaksanakan
tugas sederhana, terbatas, bersifat rutin, dan di bawah
pengawasan langsung. Untuk level 2 yaitu lulusan SMA dengan
kemampuan kerja melaksanakan satu tugas secara spesifik.
Untuk level 3 yaitu lulusan Diploma I (D1) dengan kemampuan
kerja melaksanakan serangkaian tugas secara spesifik. Untuk
level 4 yaitu lulusan Diploma II (D2) dengan kemampuan kerja
menyelesaikan tugas berlingkup luas dan kasus spesifik, memilih
metode baku. Untuk level 5 yaitu lulusan Diploma III (D3) dengan
kemampuan kerja menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas,
memilih berbagai metode. Untuk level 6 yaitu lulusan Diploma IV
(D4) atau Strata I (S1) dengan kemampuan kerja
mengaplikasikan, mengkaji, membuat desain, memanfaatkan
IPTEKS, dan menyelesaikan masalah. Untuk level 7 yaitu lulusan
Program Profesi dengan kemampuan kerja mengelola sumber
daya, menerapkan, minimal setara standar profesi,
mengevaluasi, dan pengembangan strategis organisasi. Untuk
level 8 yaitu lulusan Strata II (S2) dengan kemampuan kerja
mengembangkan IPTEKS melalui riset inter/multi disiplin,
inovasi dan teruji. Untuk level 9 yaitu lulusan Strata III (S3)
dengan kemampuan kerja pendalaman dan perluasan IPTEKS,
riset multi-transdisiplin.
DAFTAR PUSTAKA

Ansyar, M. (1989). Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum.


Jakarta: P2LPTK
Azis, R. (2018). Implementasi Pengembangan Kurikulum. Jurnal
Inspiratif Pendidikan, Volume VII, Nomor 1, Januari-Juni 2018
Bahan Ajar Evaluasi Pendidikan S.3 Universitas Negeri Padang
Prof. Dr. Imam Sodikun, M.Pd.
Beane, J.A. (1990). Effect In The Curriculum: Toward Democracy,
Dignity, and Diversity. New York: Teachers College, Collumbia
University.
Brady, L. & Kennedy, K. (2007). Curriculum Construction. Frenchs
Forest, NSW: Pearson, Prentice Hall.
Bruner, J. (1960). Process of Education, Cambridge, Mass:
Harvard University Press
Bonks. (2002). Assessment and Evaluation Techniques in
Corporate Setting.
Dewey. (1962). School of Tomorrow. Chicago: E.P. Dutton & Co., Inc
Dewey. (1974). The Child and The Curriculum. Chicago: The
University of Chicago Press
Fullan, M. (1992). Successful School Improvement. McGraw-Hill
Education (UK)
Fullan, M. G., & Hargreaves, A. (1991). Working together for your
school: Strategies for developing interactive professionalism
in your school. Melbourne: Australian Council for Educational
Administration.
Gronlund, N. E. (1981). Measurement and Evaluation in Teaching.
New York: Macmillan Publishing Co. Inc
Howel & Nolet. (2000). Curriculum Based Evaluation. (3rd edition),
Belmont CA: Wadsworth/ Thomas Learning
Hyman (ed.). (1973). Approaches in Curriculum. Engleewood Cliffs,
N. J: Prentice Hall, Inc.
Johnson. (1968). Foundations of Curriculum. Colombus, Ohio: A
Bell & Howell Company.
Kemendikbud. (2012). Bahan Uji Publik Kurikulum 2013. Jakarta:
Kemendikbud.
Kristiawan, M. (2016). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Valia Pustaka.
Levine, D. U., & Lezotte, L. W. (1990). Unusually effective
schools: A review and analysis of research and practice.
Madison, WI: The National Center for Effective Schools
Research and Development.
MacBeath, J. E. C. & Mortimore, P. (2001). Improving School
Effectiveness. Open University
Moller, H., F. Berkes, P. O. Lyver, and M. Kislalioglu. (2004).
Combining science and traditional ecological knowledge:
monitoring populations for co-management. Ecology and
Society 9(3)

190 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


Muijs, D., Harris, A., Chapman, C., Stoll, L., & Russ, J. (2004).
Improving School in Socio-Economically Disadvantaged
Areas: An Overview of Research School Effectiveness and
School Improvement., 15(2), 149-176
Mulyasa, E. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep;
Karakteristik dan Implementasi. Bandung: P.T. Remaja
Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2004). Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi;
Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: P.T. Remaja
Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2006). Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung :
P.T. Remaja Rosdakarya
Nicolaidou, M., Ainscow, M.. (2005). Understanding failing
schools: Perspectives from the inside. School Effectiveness and
School Improvement, Vol. 16, No. 3, 09.2005, p. 229-248.
Oliva, F. P. (1982). Developing the Curriculum. Little Brown and
Company Publisher
Ornstein. A. C., dan Hunkins, F. P. (1988). Curriculum:
Foundation, Principles and Issue. Englewood Cliffs; New
Jersey; Prentice Hall.
Paparan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I Bidang
Pendidikan di Jakarta, 14 Januari 2014
Perdana, D. I. (2013). Kurikulum Dan Pendidikan Di Indonesia:
Proses Mencari Arah Pendidikan Yang Ideal Di Indonesia
Atau Hegemoni Kepentingan Penguasa Semata? Jurnal
Pemikiran Sosiologi Volume 2 No.1, Mei 2013.
Permendikbud Nomor 73 tahn 2013
Permendikbud Nomor 49 tahun 2014
Permendiknas No. 19 Tahun 2005
Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2007
Permenristekdikti Nomor 44 tahun 2015.
Perpres Nomor 8 tahun 2018
Ronald S. B. (1988). Content of the curriculum. Alexandria,
Verginia: ASCD Year Book
Rudduck, J. (2007). Innovation and Change. Mass: Harvard
University Press.
Rudduck, J. (1996) School Improvement: What Can Pupils Tell Us.
Mass: Harvard University Press.
Sammons, P., Hillman, J. and Mortimore, P. (1995) Key
Characteristics of Effective Schools: a Review of School
Effectiveness Research. Report by the Institute of Education,
University of London, for the Office for Standards in
Education.
Slavin, R. E. (2005). Cooperative Laerning. London: Allymand Bacon.
Sukmadinata, N .S. (1997). Pengembangan Kurikum; Teori dan
Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Teddlie, C., & Reynolds, D. (2000). International handbook of
school effectiveness. London: Falmer.
Tyler, R. W. (1949). Basic Principles of Curriculum and Instruction.
Chicago; the University of Chicago Press
Taba, H. (1962). Curriculum development Theory and practice.
New York Harcourt, Brace & World.
Sadulloh, U. (1994). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T.
Media Iptek
Saylor, J. G., & William M. Alexander. (1966). Curriculum Planning
for Modern School, New York: Holt Rinehart and Winston Inc
Stufflebeam, D. L. (2003). The CIPP Model for Evaluation. In
T. Kellaghan & D. L. Stufflebeam (Eds.), The international
handbook of educational evaluation (Chapter 3). Boston:
Kluwer.
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003
Worthen, B. R. & Sanders, J. R. (1973). Educational Evaluation:
Theory and Practice. Belmont, California: A Charles A. Jones
Publication. Wadsworth Publishing Company. Inc.
Zais, R. S. (1976). Curriculum: Principles and Foundation, New
York; Harper & Row Publisher
TENTANG PENULIS

Dr. Muhammad Kristiawan, M.Pd., lahir di Desa


Gedungsari, 16 September 1985 biasa dipanggil
Kris atau Wawan. Ia adalah anak ketiga dari
pasangan Ibnu Hajar dan Jumirah. Ia dilahirkan di
sebuah desa yang letaknya cukup jauh dari Kota
tepatnya di kecamatan Anak Ratu Aji, Lampung
Tengah. Tinggal
di sebuah desa dengan segala keterbatasan memang cukup
mempengaruhi pribadinya sedari kecil. Ia dididik di Sekolah
Dasar Gedungsari, Anak Ratu Aji dari Tahun 1991 sampai dengan
1997. Kemudian ia melanjutkan Pendidikan Menengah Pertama
di MTs Pondok Pesantren Darussalam Lampung dari Tahun 1997
sampai dengan 2000. Selanjutnya ia melanjutkan Pendidikan
Menengah Atas di MAPK/MAN 1 Bandar Lampung.
Setelah menamatkan studi di MAN 1 Bandar Lampung,
ia menempuh pendidikan S1 di IAIN Salatiga, Program Studi
Pendidikan Bahasa Inggris dari tahun 2003 sampai tahun
2007. Untuk pendidikan S2 ia menyelesaikannya di Universitas
Muhammadiyah Surakarta dengan program Beasiswa Fresh
Student UMS, pada Program Studi Manajemen/Administrasi
Pendidikan dari Tahun 2007 sampai tahun 2009. Setelah
menyelesaikan studi S2, ia mengabdikan diri menjadi Dosen di
berbagai Perguruan Tinggi di Lampung antara lain Universitas
Bandar Lampung,
IAIN Raden Intan, STAIN Jurai Siwo, Metro, ABA dan STMIK DCC
Lampung, STMIK Pringsewu, dan LP3i Bandar Lampung.
Kemudian pada tahun 2011 direkomendasikan oleh Kopertis
Wilayah II untuk menempuh S3 dengan Beasiswa Dikti (BPPS) di
Universitas Negeri Padang melalui homebase STMIK Pringsewu.
Pendidikan S3 ditempuh selama 2 tahun 11 bulan dari tahun
2011 sampai tahun 2014. Selama menempuh pendidikan, ia juga
dipercaya mengajar di STKIP YDB Lubuk Alung, STKIP PGRI
Sumatera Barat, LP3i Padang, UMSB, dan IAIN Batusangkar. Pada
tahun 2016 dipercaya oleh Universitas PGRI Palembang untuk
mengajar dan menjadi Dosen Tetap Universitas PGRI Palembang,
Program Pascasarjana, Program Studi Magister Manajemen
Pendidikan. Kemudian ia saat ini menjadi dosen Program Doktor
Pendidikan di Universitas Bengkulu. Buku yang telah diterbitkan
antara lain 1) Filsafat Pendidikan; 2) Manajemen Pendidikan; 3)
Inovasi Pendidikan; dan
4) Supervisi Pendidikan. Saat ini menjadi reviewer 1)
International Journal of Learning, Teaching and Educational
Research (Indexed Scopus); 2) The Linguistics Journal (Under
Review Scopus); 3) Noble International Journal of Social Sciences
Research (Indexed Google Scholar); 4) Educational Research and
Review (Indexed ERIC); 5) Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi
Publik, UNM, Sinta 3; 5) Thufula, IAIN Kudus, Sinta 3; 6) At-Ta’dib,
Gontor, Sinta 3; 7) Tadbir, IAIN Curup, Sinta 3; 8) Al-Idarah, UIN
Raden Intan Lampung, Sinta 4; 9) JMKSP, UPGRI Palembang,
Sinta 4; 10) JETLI, IAIN Kudus; dan
11) Fundikdas, UAD.

196 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


View publication stats

Anda mungkin juga menyukai