Anda di halaman 1dari 2

Analisis Pendekatan mengenai Gerakan Anti

UU Cipta Kerja atau UU Omnibus Law


Nama : Nur Dini Kholis
NIM : 6661200095
Dosen : Leo Agustino, S.Sos, M.Si, Ph.D

Menggunakan Pendekatan Tradisional atau Pendekatan Institusional

Pendahuluan

Seperti yang kita ketahui, pada hari senin tanggal 5 oktober 2020, DPR dengan resmi
mengesahkan Rancangan Undang-undang Cipta kerja atau Omnibus Law pada sidang Paripurna.
Yang dimana pengesahannya dilakukan dengan terburu buru karena tidak sesuai jadwal yang
dipublikasikan serta secara diam-diam. Karena minimnya tranparansi dan legitimasi , tidak heran
masyarakat dari berbagai elemen kontra terhadap RUU ciptaker dan menuai kecurigaan terhadap
kaum elit atau pemerintah.
Isinya yang dianggap tidak pro rakyat khusunya Buruh serta dianggap pro pengusaha,
pemodal dan Tenaga kerja asing. Selain itu pengesahan UU Cipta kerja di tengah pandemic COVID-19
membuat masyarakat kecewa, yang seharusnya pemerintah terfokus mengatasi kondisi saat ini. Hal
itu membuat rakyat melakukan demonstrasi daerah hingga nasional, baik turun aksi maupun melalui
teknologi infromasi. Mosi tidak percaya dan pernyataan bahwa pemerintah adalah penghianat
rakyat terus disuarakan dari seluruh penjuru oleh Buruh dan mahasiswa yang mewakili rakyat.

Kajian Teori

Dari pendahuluan yang telah dipaparkan di atas, maka penulis menggunakan pendekatan
tradisional atau pendekatan intitusional. Bahwa pendekatan ini melihat dari salah satu bukti
cacatnya prosedur pengesahan UU Cipta kerja adalah terkaget kagetnya DPR komisi 10 tentang isi
dari draft tersebut, dari sini sudah bisa dibuktikan bahwa RUU ini minim sekali transparansi apalagi
publikasi yang seharusnya penyusunan UU itu diketahui oleh setiap elemen minimal oleh
anggotanya sendiri serta adanya ruang bagi pasrtisipasi masyarakat sipil.
Kesewenang-wenangan Lembaga konstitusi mulai dari perumusan hingga disahkannya. Serta
telah menyalahi UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang merupakan
sarana pengawasan public terhadap penyelenggaraan negara dan badan public dalam memberikan
pelayanan umu kepada masyarakat.

Pembahasan

Rancangan Undang-undang Cipta Kerja atau masyarakat menyebutnya Omnibus Law.


Undang-undang yang sangat kontroversi di era Presiden Jokowi. Undang-undang yang kehadirannya
sangat di tantang oleh masyarakat banyak dari berbagai lapisan. Sejak tahun 2019, mahasiswa dan
buruh meminta untuk membatalkan RUU tersebut, namun hingga saat ini, Oktober 2020 aspirasi
tersebut tidak juga didengarkan, bahkan telah resmi di sahkan oleh DPR-RI pada siding Paripurna,
dini hari tanggal 5 oktober 2020. Dengan catatan, Tujuh fraksi menyetujui dan Dua fraksi menolak,
yaitu fraksi Demokrat dan fraksi PKS. Lalu, apa yang membuat adanya Gerakan anti UU Ciptaker ini.
Prosedur yang cacat juga memunculkan kecurigaan dari masyarakat, pertama tidak adanya
keterbukaan serta publikasi ,padahal hal itu jelas tercantum pada Undang-Undang No.14 Tahun
2008 tenntang keterbukaan informasi publik, yang dimana keterbukaan merupakan salah satu ciri
penting negara Demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Lembaga ini, Dewan
Perwakilan Rakyat, sayangnya melupakan hal terebut.
Jangankan rakyat, bahkan banyak anggota internal yang kaget mengenai dari isi draft RUU
Ciptaker, bukankah hal ini juga bukti bahwa tidak adanya keterbukaan. Salah satunya Ledia Hanifa
Anggota Badan Legislasi DPR F-PKS, Beliau juga menyatakan bahwa seharusnya di dalam UU No.12
Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan menyatakan bahwa perlibatan
masyarakat sebagai yang mengalami pengaturan ini seharusya lebih banyak. Kedua, tidak menerima
penolakan, anggotanya saja dibungkam tidak dapat berbicara saat memberi pernyataan penolakan,
bagaimana rakyatnya yang tidak memiliki kekuasaan walaupun kekuasaan tertinggi ada pada rakyat,
sepertinya mereka para elit juga lupa dengan hal ini.
Isinya yang dinilai tidak memperdulikan buruh dan berpotensi bisa membuat pengusaha
melakukan hal yang merugikan bagi buruh dan menguntungkan baginya. Membuat buruh dan kaum
pelajar turun untuk menuntut pembatalan, meski dipikir bahwa mustahil membatalkan ini, ingin
menuntut ke MK, mengingat MK banyak yang berasal dari DPR. Meminta kepada Presiden pun,
nyatanya RUU ini disahkan atas perintahnya.
Bukan hanya para buruh dan pelajar saja yang menolak RUU ini, para pengusaha, mereka
menilai bahwa UU ini bisa merusak lingkungan. Sebanyak 35 pengusaha kritisi UU Cipta Kerja dan
mengirim surat terbuka kepada Presiden, dan Pemuka agama yang telah mengantongi 1 juta lebih
tanda tangan petisi penolakan terhadap RUU Cipta Kerja.
Kesalahan juga terhadap Aparat Polisi di lapangan pada saat terjadi demonstrasi, memang
kadangkala diperlukan adanya upaya paksa. Namun, ditentukan dalam Pasal 24 Perkalpori 9/2008
bahwa dalam menerapkan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif,
seperti melempar, menangkap dengan kasar, menganiaya atau memukul, kekerasan dan hal yang
melanggar HAM. Namun, pada nyatanya dilapangan mereka justru melakukan semua itu hingga
pengroyokan bahkan penculikan. Banyak korban pelajar yang luka luka, hingga kritis.
Maka dari itu, seharusnya sebagai wakil rakyat dan Lembaga institusi haruslah berperan
selayaknya wakil rakyat, serta menjalani peraturan sebaik baiknya, dan juga temui demonstrasi yang
ingin memberi aspirasi bukan justru mengadu aparat dengan rakyat wahai wakil rakyat.

Anda mungkin juga menyukai