Ikhlas adalah sikap sidik dan jernih yang tidak ternoda oleh apapun, serta jauh dari riya. Ikhlas
juga adalah menghindari segala hal yang dapat mengotori hati dan menjalani hidup di dalam
kejernihan hati, keistiqamahan pikiran, serta jauh dari tendensi duniawiah dalam hubungan
dengan Allah, sembari menunaikan penghambaan kepada Allah dengan baik.
Pengertian ikhlas dalam ibadah dan ketaatan individu adalah: menghindari segala hal yang
berada di luar perintah, keinginan, dan kebaikan Allah –subhanahu wa ta’ala-, demi menjaga
berbagai rahasia yang ada di antara hamba (al-'abd) dan Dzat yang disembahnya (al-ma'bûd);
serta melakukan berbagai amal perbuatan yang semata-mata ditujukan kepada Allah yang
Mahamelihat. Dengan kalimat lain, ikhlas adalah: pelaksanaan berbagai kewajiban dan
tanggung jawab oleh si hamba, karena Allah memerintahkannya, dan demi meraih ridha-Nya
melalui pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut.
Ketulusan yang benar adalah akar/sumber ikhlas dan merupakan sifat pertama yang dimiliki
para nabi 'Alahim al-Salâm, sementara ikhlas adalah salah satu elemennya yang paling
bercahaya. Sejak dilahirkan, para nabi telah dianugerahi keikhlasan yang selalu ingin diraih
oleh semua orang di sepanjang hidup mereka. Al-Qur`an selalu mengingatkan kita mengenai
hal ini ketika salah satu ayatnya menyebutkan tentang keikhlasan yang dimiliki salah seorang
nabi: "Sesungguhnya ia adalah seorang yang mukhlas..." (QS. Maryam [19]: 51).
Sebagaimana halnya ketulusan yang benar dan keikhlasan menjadi sifat para nabi 'Alahim al-
Salâm, maka masing-masing dari kedua sifat ini juga menjadi sifat penting seperti layaknya
air dan udara bagi siapapun yang melanjutkan dakwah para nabi. Kemampuan untuk memiliki
kedua sifat ini dan terbang menggunakan kedua sayap ini merupakan sumber kekuatan
terpenting bagi mereka. Karena sebagian dari para pewaris nabi itu meyakini bahwa mereka
tidak akan sanggup mengayunkan langkah mereka tanpa keikhlasan, sementara sebagian
yang lain meyakini bahwa mereka tidak sanggup melakukan itu.
Sungguh, ketulusan yang benar dan keikhlasan begitu mendalam hingga mencapai derajat
bahwa salah satu ujung kedua sifat ini berada di hati manusia sementara ujung yang lainnya
melekat pada pertolongan Allah –subhanahu wa ta’ala. Itulah sebabnya tidak pernah
ditemukan ada seorang hamba yang akan tersia-sia jika ia membentangkan layar bahtera
1
keikhlasan, menyelami kedalaman keikhlasan, dan terbang menggunakan sayap keikhlasan.
Itu dapat terjadi karena orang yang ikhlas selalu berada dalam tanggungan Allah. Bagi seorang
mukhlis, mengejar ridha Allah –subhanahu wa ta’ala- lebih afdal/baik daripada amal
perbuatan dan pahala yang banyak, "karena sebutir benih dari sebuah amal yang ikhlas, lebih
afdal bagi Allah daripada berton-ton benih dari amal yang tidak ikhlas."
Ikhlas adalah perbuatan hati. Sesungguhnya Allah menakar kadar amal perbuatan sesuai
dengan kecenderungan hati, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, dan tidak melihat ke penampilan
kalian, tetapi Dia melihat ke hati kalian."
Ikhlas adalah sebuah sifat andalan yang Allah anugerahkan kepada hati-hati yang suci. Ia
adalah sebuah entitas ajaib yang akan membuat sesuatu yang sedikit menjadi banyak, sesuatu
yang dangkal menjadi dalam, dan membuat ibadah serta ketaatan yang terbatas menjadi tak
terbatas. Sehingga dengan keikhlasan, manusia dapat meminta kepada Allah –subhanahu wa
ta’ala- sesuatu yang paling mahal yang ada di "pasar" dunia dan akhirat, dengan tetap dirinya
akan mendapatkan kehormatan meski apa yang dimintanya itu juga banyak diminta oleh
manusia lain.
Disebabkan kekuatan rahasia yang terkandung di dalam keikhlasan itulah maka Rasulullah –
shallallahu alaihi wa sallam- bersabda: "Ikhlaslah dalam agamamu, niscaya akan cukup
bagimu amal perbuatan yang sedikit." Beliau juga mengingatkan agar setiap amal perbuatan
yang dilakukan haruslah ikhlas demi Allah –subhanahu wa ta’ala-: "Ikhlaslah dalam semua
amal perbuatan kalian, sesungguhnya Allah tidak menerima amal, kecuali amal yang ikhlas."
Jadi, jika amal diumpamakan sebagai tubuh, maka ikhlas adalah rohnya. Jika amal
diumpamakan sebagai sebuah sayap, maka ikhlas menjadi sayap pasangannya. Tidak ada
jasad tanpa roh, dan tidak ada yang bisa terbang hanya dengan satu sayap.
Bagi sebagian orang, ikhlas adalah: Berhati-hati dari perhatian Allah dalam ibadah dan
ketaatan. Sementara sebagian yang lain berkata bahwa ikhlas adalah: Melupakan pandangan
terhadap makhluk secara keseluruhan. Sementara sebagian yang lain berkata bahwa ikhlas
adalah: Tidak memikirkan keikhlasan itu sendiri.
2
Ya, bagi orang-orang itu, ikhlas adalah: Menjauhkan amal perbuatan dari segala kotoran dan
melupakan semua tendensi baik material maupun non-material, dengan muraqabah (upaya
mendekatkan diri kepada Allah –subhanahu wa ta’ala-) yang berkesinambungan.
Tapi definisi ikhlas yang paling tepat adalah: "Rahasia antara hamba dengan Tuhan yang Allah
anugerahkan kepada hati hamba-Nya yang Dia cintai."
Dalam pandangan orang yang ikhlas, adalah sama saja baginya pujian atau celaan,
penghormatan atau penghinaan, perbuatannya diketahui orang lain atau tidak, bahkan sama
saja baginya apakah amalnya akan diganjar pahala atau tidak, karena semua itu tidak penting
baginya. Sebagaimana perkataan seorang bijak tentang keihkalasa: Dipuji tidak terbang, dicaci
tidak tumbang. Itulah sebabnya kondisi orang-orang seperti itu baik yang tampak maupun
yang tidak, selalu sama saja.
Wahai Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang mukhlish dan mukhlash, dan
limpahkanlah selawat dan salam kepada sang teladan kaum mukhlashin, Sayyidina
Muhammad, dan seluruh keluarga serta sahabat beliau yang ikhlas.
Sumber: https://fgulen.com/id/fgulen-com-indonesian/1886-fgulen-com-indonesia/karya-
karya/ta–shallallahu alaihi wa sallam-uf/49403-ikhlas
*******
3
Mengikuti Jejak Ikhlas Para Nabi Allah
Pernahkan Anda mengalami situasi dimana seorang da’i yang berceramah di depan puluhan
atau ratusan orang, akan tetapi ada beberapa hadirin yang lebih serius menatap layar
handphone dibanding memperhatikan materi ceramah? Atau keadaan dimana seorang anak
terlihat bersungut-sungut dan bermuka masam ketika orang tuanya sedang berpanjang lebar
memberikannya nasehat?
Jika kisah di atas pernah dialami atau yang semisalnya, lalu apa yang dirasakan saat itu? Kesal,
jenuh, kecewa dan merasa tidak dihargai. Mungkin itulah kondisi hati yang menggambarkan
kekecewaan tersebut.
Dalam Islam, mengajak kepada kebaikan dan menyampaikan kebenaran bukan cuma tugas
para juru dakwah atau seorang pendidik. Sebab hal itu adalah kewajiban setiap Muslim dalam
perannya sebagai khalifah. Tentunya hal itu bukan perkara mudah. Ia harus dijalani dengan
profesional. Salah satunya dengan menyandarkan pekerjaan itu kepada Allah –subhanahu wa
ta’ala-.
Dengan mendengar nasihat, diharapkan sang obyek dakwah tergerak hatinya untuk berbuat
kebaikan dan mengerjakan amal shaleh. Sebaliknya, seorang Muslim yang menasihati dan
melakukannya berulang-ulang dengan keikhlasan sepenuh hati, menjadikan nasihat itu
mudah menyentuh hati dan dipahami oleh yang mendengarkan.
Ikhlas adalah lawan dari riya’. Jika ikhlas itu beramal untuk mengharap ridha Allah sebagai
puncak tujuan. Sedang riya’ melakukan perbuatan dengan tujuan untuk mendapatkan pujian
dari orang lain. Inilah modal utama seorang Muslim dalam menjalani kehidupan di dunia.
Fudhail ibn Iyadh berkata, meninggalkan suatu amal karena orang lain adalah riya’. Sedangkan
beramal karena orang lain adalah syirik. Adapun ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu
dari keduanya.
Senada, Ibnul Jauzi dalam Mukhtashar Shaid al-Khatir mengungkap, manakala orang yang
beramal menginginkan hati orang agar tertuju padanya, maka ia telah ikut menyekutukan-
4
Nya, karena seharusnya ia hanya puas dengan pandangan Zat yang seharusnya ia beramal
untuk-Nya. Adapun orang yang sengaja mencari perhatian orang dengan amalnya, maka
amalnya akan hilang sia-sia dan tidak diterima di sisi-Nya. Sedang ilmunya telah hilang, dan
umurpun hilang sia-sia.
Di dalam al-Qur’an, Allah menyebutkan figur-figur yang patut diteladani seorang Muslim
karena keikhlasannya. Mereka adalah nabi-nabi Allah, orang-orang pilihan yang membawa
risalah dari Allah untuk disampaikan kepada kaumnya. Ajakan dan dakwah yang dilakukan
para anbiya tentu bukan hal yang ringan. Meski menjadi orang pilihan Allah, tak jarang
mereka menemukan banyak rintangan dalam berdakwah.
Dalam QS. Asy-Syu’ara Allah menceritakan lika-liku dakwah para Nabi beserta keteladanan
mereka ikhlas dalam berdakwah. Misalnya, Nabi Nuh yang mengerahkan segenap
kemampuannya untuk berdakwah. Ia juga menghabiskan umurnya, mengajak umat bertakwa
kepada Allah. Ajakan tersebut murni dari hati Nabi Nuh, bukan semata karena kepentingan
pribadi. Namun apalah daya, hidayah adalah kuasa Allah sepenuhnya. Dakwah yang
digencarkan selama 950 tahun tersebut berujung kepada kekufuran umat Nabi Nuh dan banjir
bandang yang melanda mereka.
Demikian yang terjadi dengan kaum ‘Ad. Berbagai cara ditempuh oleh Nabi Hud mengajak
kaumnya untuk bertakwa kepada Allah. Nabi Hud berkata, “Dan aku tidak meminta imbalan
kepadamu atas ajakan itu, imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam.” (QS. Asy-Syu’ara
[26]:127).
Kalimat serupa juga dilontar oleh Nabi Shaleh kepada kaum Tsamud (QS. Asy-Syu’ara
[26]:145). Kesombongan kaumnya menjadikan mereka berpaling dari ajakan tauhid. Kaum
Tsamud justru membunuh unta betina Nabi Shaleh hingga Allah pun menurunkan azab-Nya.
“Sungguh aku ini seorang Rasul kepercayaan (yang diutus kepadamu). Maka
bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepada ku. Dan aku tidak meminta imbalan
kepadamu atas ajakan itu, imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam.” (QS. Asy-
Syu’ara [26]: 162-164).
Ucapan di atas terucap dari lisan Nabi Luth ketika mendakwahi kaumnya. Tapi mereka justru
mengusir Nabi Luth. Hingga Allah membinasakan kaum homoseksual tersebut dan
menyelamatkan Nabi Luth.
5
Keteguhan yang sama dilakoni oleh Nabi Syu’aib dalam menghadapi kaum Madyan. Karena
dakwahnya, Nabi Syu’aib terpaksa menyandang gelar penyihir yang disemat oleh kaumnya.
Senada dengan kaum-kaum terdahulu, karena membantah dakwah nabi Syu’aib, Allah juga
tak segan menurunkan azab kepada kaum Madyan pada hari yang gelap.
Kisah Nabi-nabi Allah di atas menyisakan jejak yang sama berupa keikhlasan dalam
berdakwah dan menegakkan agama Allah. Kalimat ikhlas ini “Imbalanku hanyalah dari Tuhan
seluruh alam,” sebagai bukti eksistensi jiwa-jiwa ikhlas dalam menyerukan kebaikan dan
kebenaran. Keihkhlasan menjadi penyangga utama dalam menjalankan perintah Allah untuk
berdakwah siang malam, dalam kondisi lapang ataupun sempit.
Bagi seorang Muslim, kisah para Nabi di atas adalah cermin utuh dalam menakar kualitas jiwa
dan kesucian hati. Status sebagai Nabi dan Rasul Allah tak lantas membuat mereka tinggi hati
kepada sesama manusia. Oleh karena itu, sebagai manusia biasa dengan segala kelemahan
yang melekat, sejatinya tak ada alasan untuk bersikap sombong dan tak sabar dalam
mengajak manusia kepada kebaikan?
Apalagi jika menyandarkan sepenuhnya kepada imbalan orang lain sedang orang tersebut
tidak akan mendapatkan rezeki selain karena pemberian Allah Yang Maha Pemurah.
Ikhlas bagi orang beriman tak hanya berlaku saat mengeluarkan sedekah atau berinfak, yang
terkait materi. Tapi ikhlas berlaku dalam segala amal perbuatan, termasuk dalam
menyampaikan nasihat kebaikan dan kebenaran. Bahwa ia semata dikerjakan karena
mengharap ridha Allah, bukan sekedar imbalan dari manusia.
Meski terlihat sulit tapi bukan berarti ia tidak bisa diusahakan secara ikhtiar manusiawi.
Setidaknya hal itu bisa ditempuh dengan melakukan beberapa hal berikut ini.
Pertama, menghadirkan Allah dalam setiap amal perbuatan. Kedua, percaya kepada janji-janji
Allah bagi hamba-Nya yang senantiasa ikhlas dalam beramal. Ketiga, membersihkan hati dari
sikap sombong dan penyakit hati lainnya.
Dengan modal ikhlas, seorang Muslim niscaya mendapat petunjuk dan bimbingan Allah saat
mengalami kesulitan dalam suatu urusan. Sehingga tak ada lagi sikap kecewa yang berlebihan
sebagai pelampiasan atas kondisi buruk yang tak diinginkan.
6
Bermodal ikhlas, seorang Muslim tak lagi dipusingkan dengan hal-hal kecil. Ia tak perlu
menghabiskan energi dengan menumpahkan rasa kesal, marah, atau kecewa berlebihan
dalam setiap urusan.
Sumber: https://www.hidayatullah.com/kajian/oase-
iman/read/2016/02/29/90344/mengikuti-jejak-ikhlas-para-nabi-allah.html
*******
7
Belajar Ikhlas Dari Kisah Ubi Dan Kambing
Di suatu pondok yang sederhana, hiduplah seorang guru tua dengan istrinya. Sang guru sudah
puluhan tahun mengajar di sebuah sekolah yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Guru ini
sangat baik hati dan dihormati oleh murid-muridnya.
Suatu hari, seorang mantan muridnya datang ke rumahnya. Ia membawa seikat ubi yang
diamanahkan oleh ayahnya sebagai oleh-oleh pada sang guru. "Pak guru, saya membawa ubi.
Hanya ini yang saya dan keluarga punya untuk membalas kebaikan bapak," ujarnya. Melihat
muridnya yang lugu dan tulus, sang guru tersentuh. "Kok repot-repot, Nak? Duduk di sini dulu
ya. Kamu pasti capek jauh-jauh dari desa bawa ubi. Bapak ke belakang dulu," ujar sang guru.
Pria paruh baya itu pun berjalan ke belakang dan menemui istrinya. "Bu, kita punya apa? Ini
muridku bawa ubi," kata pria itu. Sang istri melihat ke dapurnya. Tidak ada apa-apa selain alat
masak, bumbu dapur dan air minum. "Punya apa kita, Pak? Wong kita cuma punya kambing
peliharaan bapak itu di belakang," jawab istrinya. Guru itu pun mengangguk-angguk, "Oo.. Ya
sudah ini ubinya disimpan. Buatkan muridku minum ya, Bu. Kita kasih kambing saja," kata pria
itu. Istrinya mengangguk dan membuatkan teh hangat untuk muridnya. Sementara pria itu
mengambil kambing peliharaannya. "Ini, Nak. Bawa pulang, ya? Bilang terima kasih pada
bapakmu," kata pria itu. Muridnya terkejut, tapi ia sangat berterima kasih pada gurunya yang
memang baik hati itu. Tak lama, ia pun pulang dari pondok gurunya.
Di jalan, murid ini bertemu dengan temannya. Teman tersebut bertanya dari mana ia
mendapat kambing. Murid yang lugu itupun menceritakan bagaimana ia membawa ubi
hingga dapat kambing. Mendengar cerita itu, murid yang satu ini tergiur mendapat pemberian
yang sama dari gurunya. Ia pun segera pulang dan menceritakan kejadian itu pada ayahnya.
Sang ayah yang juga tergiur berkata, "Wah, mungkin kalau kamu bawa kambing, nanti kamu
akan diberi sapi, Nak." Begitu pikir ayah dan anak ini. Kalau mereka memberi yang besar, maka
mereka akan menerima yang lebih besar lagi. Maka, sore itu pergilah murid yang satu ini
membawa kambing ke rumah gurunya. Sang guru kaget, baru saja ia memberi kambing pada
muridnya, sekarang ia menerima kambing lain yang menggantikan kambingnya. Maka buru-
buru ia menemui istrinya, "Istriku, kita dapat kambing lagi. Alhamdulillah. Kita cuma punya
8
ubi, ya? Ya sudah berikan saja ubinya untuk muridku," ujarnya. Maka sang guru keluar
membawa 3 ikat ubi yang diberikan murid pertamanya tadi. Melihat apa yang diberikan
gurunya, murid kedua ini terkejut. Antara agak kecewa dan harus tetap senyum di depan
gurunya. Maka ia pun pulang dengan membawa 3 ikat ubi, bukan sapi seperti yang dia
harapkan.
Sumber: https://www.fimela.com/lifestyle-relationship/read/3738046/belajar-ikhlas-dari-
kisah-ubi-dan-kambing
*******
9
Kerendahan Hati
Orang yang rendah hati, di mata Allah dan di mata manusia akan sampai pada derajat yang
tidak ada batasnya. Sebaliknya, bagi mereka yang sombong dan memandang rendah serta
meremehkan semua orang, ia akan selalu mendapatkan penghinaan dari manusia, dan juga
akan mendapatkan azab dari Allah –subhanahu wa ta’ala-.
Manusia yang menyukai dirinya dan memandang besar dirinya menunjukkan kekurangan akal
dan ketidakmatangan jiwanya. Manusia yang akal dan jiwanya sudah matang akan tahu
bahwa segala sesuatu yang terjadi berasal dari Allah Yang Maha Tinggi dan ia selalu merasa
kecil di hadapan Tuhannya dengan penuh rasa syukur.
Menjadi rendah hati, akan memberikan kepuasan tersendiri pada hati manusia terhadap
penghargaan dari Sang Pencipta dan penghinaan serta cacian dari manusia. Ya, seseorang
yang telah mengetahui batasan dirinya, lalu ia menurunkan sayap-sayap kerendahan hatinya
hingga ke atas tanah. Maka ia telah memakai zirah terbaik dan telah mengambil langkah yang
teraman dan terkuat terhadap segala macam cemoohan yang akan mungkin datang dari
orang lain.
Orang-orang yang berada dalam sebuah masyarakat namun nilai dan reputasinya tidak
terlihat, mereka cepat atau lambat akan naik dan mencapai tingkatan kemuliaan berkat
kerendahan hati yang telah menjadi watak dan tabiat dirinya. Sementara manusia yang telah
terjangkit penyakit kronis kesombongan, seiring berjalannya waktu ia dan penyakitnya akan
diketahui oleh masyarakat dan menjadi elemen asing di lingkungan ia berada.
10
Apabila ada seorang yang berubah dalam pemikiran dan perilakunya disebabkan salah satu
hal tersebut, maka dari itu, ia tak akan mampu mencapai derajat ketawadhuan dan nilai
kemanusiaannya pun tidak akan dapat meningkat.
Hampir semua karakter yang baik kuncinya adalah kerendahan hati. Orang yang memiliki
kerendahan hati, juga akan dapat memiliki karakter baik lainnya. Sementara mereka yang
tidak memiliki kerendahan hati, kemungkinan dia tidak akan memiliki karakter baik lainnya
juga. Nabi Adam AS. dengan ketawadhuannya mampu mendapatkan kembali segala
kenikmatan yang telah hilang yang nilainya lebih berharga dari alam materi. Sementara setan
yang telah tersungkur ke dalam jurang dosa, malah menjadi korban kesombongan dan
kebanggaan.
Di pondok tempat berkembangnya tarekat pun, hanya orang-orang yang rendah hati dan
menundukkan wajahnya ke bawah sajalah yang derajatnya semakin tinggi. Di madrasah dan
sekolah agama pun, orang-orang yang selalu rendah hati tahu cara memperoleh manfaat dan
kemudian bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Sementara orang yang sombong dan
tidak taat pada adab atau etika sebuah madrasah, serta tidak mau duduk menunduk di depan
meja belajar karena khawatir harga dirinya jatuh, mereka adalah manusia tak beruntung yang
akan selalu hancur dan musnah.
Karena kesombongan merupakan salah satu dari sifat-sifat Zat Yang Maha Agung, maka
manusia yang sombong pasti akan tertangkap dan tak akan lepas dari tangan "Qahhar"Nya
lalu dibinasakan. Sementara orang yang tahu diri dan rendah hati, derajat mereka akan
semakin tinggi dan mendapatkan kebahagiaan dengan kedekatan İlahi.
Sumber: https://fgulen.com/id/karya-karya/kriteria-atau-cahaya-di-jalan-kebenaran/52970-
kerendahan-hati
*******
11
Mereka yang Rendah Hati
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak mudah kita bersikap tawadhu atau rendah hati. Dalam
kenyataan, lebih mudah kita mengunggulkan kehebatan, prestasi, dan nilai-nilai lebih yang
kita miliki. Susah kita bersikap seakan-akan kita bukan siapa-siapa. Sedikit berperan, memiliki
kedudukan atau jabatan, langsung saja kita merasa tinggi hati. Tidak ada kesulitan sedikit pun
kita tidak tidak tinggi hati, saat orang lain memuji, sekalipun palsu atau cari muka. Sangat
mudah kita membanggakan hal-hal sepele yang kita miliki. Sifat seperti inilah yang
menghalangi shalat kita diterima oleh Allah –subhanahu wa ta’ala-.
Mari kita camkan sabda Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam-: “Tiada berkurang harta
karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seseorang yang memaafkan melainkan
kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadhu kepada Allah, melainkan dimuliakan oleh
Allah.” (HR. Muslim).
Hadits lain diriwayatkan dari Iyadh bin Himar, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah –
subhanahu wa ta’ala- telah mewahyukan kepadaku: ‘Bertawadhulah hingga seseorang tidak
menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap lainnya.”
(HR. Muslim).
Beberapa kisah berikut sangat berkesan untuk kita teladani. Rasul yang mulia ini sungguh
merupakan makhluk yang rendah hati. Tidakkah sunnah ini yang utama untuk kita tiru dan
gugu?
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Nabi memiliki seekor unta yang diberi nama al-
‘adhba’ yang berarti unta yang tidak terkalahkan larinya. Suatu hari datang seorang Arab
dusun (a’rabiy) dengan untanya dan mampu mengalahkan. Hati kaum muslimin terpukul
menyaksikan hal tersebut, sampai hal itu diketahui oleh Nabi.
Beliau bersabda: “Menjadi haq Allah jika ada sesuatu yang meninggikan diri di dunia pasti
akan direndahkan-Nya” (HR. Bukhari). Allah mengajari utusan-Nya untuk rendah hati dan
tidak menyombongkan diri meski sekadar memberi julukan pada hewan kesayangannya.
Anas juga meriwayatkan kebiasaan indah Nabi bila bertemu anak-anak. Beliau sangat
menyayangi mereka. Beliaulah yang mengucapkan salam lebih dahulu. Bahkan, sebagaimana
12
kita ketahui, beliau menyarankan kita menyapa siapa pun lebih awal baik kepada orang yang
sudah ataupun belum dikenal.
Muhammad Rasulullah makhluk termulia. Dunia dan seluruhnya diciptakan karena dirinya.
Setiap do’anya mustajab dan dikabulkan. Namun beliau memilih tetap rendah hati dan sangat
santun. Riwayat Abu Said al-Khudarii berikut sangat menyentuh hati.
Bila bajunya sobek, tangan mulia Rasulullah menjahitnya sendiri. Padahal, semua sahabat
dan istri-istrinya selalu siap membantunya. Beliau teladan paripurna sepanjang zaman.
Seperti tradisi masyarakat padang pasir umumnya, beliau memiliki unta sebagai
tunggangan utama. Meski beliau ada pembantu di rumahnya, tidak segan-segan beliau
memberi makan sendiri tunggangannya.
Bila rumahnya bocor, beliau memperbaikinya. Rasulullah juga tidak segan-segan
memerah susu kambing untuk kebutuhan hidupnya. Bila sandalnya rusak beliau
menambalnya sendiri.
Bila makanan disajikan, beliau ajak para pembantunya untuk bersama-sama menikmati
rezeki dan karunia itu. Kalau kebutuhan dapur keluarganya habis, segera beliau menuju
pasar Madinah. Barang belanjaan itu dijinjingnya sendiri. Rasulullah mudah iba hati bila
melihat penderitaan orang lain.
Bila ada kabar seseorang sakit beliau menjenguknya. Beliau tidak memilih dan memilah
siapa yang sakit. Kaya, miskin, tua ataupun muda selalu dihibur dan dibahagiakannya.
Bersama sahabat-sahabat yang lain beliau mengantarkan jenazah. Mereka yang sakit
terhibur dengan motivasi dan kabar adanya pahala dan dosa yang terhapus karena cobaan
itu. Mereka yang ditinggal mati oleh keluarganya, akan dihiburnya.
Jarang beliau menginapkan makanan atau minuman di rumahnya. Beliau contoh agung
seorang dermawan. Sorban dan baju yang melekat di tubuhnya bila diminta sekalipun oleh
Arab dusun dilepaskannya. Tiada bandingannya dalam hal kedermawanan.
Wajahnya selalu ceria dan tersenyum. Diriwayatkan, wajahnya indah dipandang, menyerupai
bulan purnama. Senyum dan cerah menghias wajahnya yang memang rupawan.
Sumber: https://www.hidayatullah.com/kajian/oase-
iman/read/2015/07/28/74701/mereka-yang-rendah-hati-1.html
*******
13
Sifat Shiddiq Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam-
Sebelum diangkat menjadi rasul, Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam- tidak pernah
dipanggil oleh penduduk Mekah dengan nama asli beliau, melainkan menggunakan julukan
“al-Amîn”. Ya. Pada saat itu Muhammad memang lebih terkenal dengan julukannya itu. Jadi
sungguh menyenangkan jika sekarang kita mengulang-ulang bacaan wirid “Lâ ilâha illallâh al-
malik al-haqq al-mubîn, Muhammad rasûlullâh shâdiq al-wa’d al-amîn…” (Tiada Tuhan selain
Allah Maharaja Mahabenar Maha Menjelaskan, Muhammad Utusan Allah yang selalu
menepati janji yang terpercaya).
Ketika penduduk Mekah merenovasi Baitullah setelah sebagian dindingnya rusak akibat
banjir, muncullah persoalan pelik ihwal siapa yang paling pantas untuk meletakkan kembali
Hajar Aswad di tempatnya semula. Pada saat itu para utusan kabilah telah menghunuskan
pedang mereka masing-masing. Rupanya masing-masing mereka menganggap bahwa kabilah
mereka lah yang paling pantas mendapatkan kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad
hingga nyaris saja pecah pertempuran disebabkan hal itu. Untung saja di tengah perselisihan
itu muncul kesepakatan untuk menunjuk siapapun yang pertama kali masuk ke Masjidil
Haram sebagai hakim. Seketika itu juga para utusan kabilah memasang mata ke arah gerbang
Masjidil Haram menanti siapakah gerangan yang akan muncul.
Sesaat kemudian, tiba-tiba masuklah Rasulullah dengan wajahnya yang cerah bagai
purrnama. Sontak para utusan kabilah yang tengah berselisih itu sama berseru: “Itu dia
sang al-Amîn… kami rela jika dia yang memutuskan perkara ini… Itu Muhammad!” Padahal
saat itu Rasulullah sama sekali tidak tahu apa yang tengah terjadi.
Sikap yang ditunjukkan para utusan itu muncul disebabkan kepercayaan mereka yang penuh
kepada Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam-. Walau pun belum diangkat menjadi nabi,
namun Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam- telah mendapat kepercayaan dari semua
orang, sebab beliau memang memiliki semua sifat yang wajib dimiliki seorang nabi.
14
Ya. Kelebihan yang sesungguhnya adalah kelebihan yang diakui oleh musuh. Itulah yang
terjadi pada Abu Sufyan yang saat itu masih menjadi salah seorang musuh besar Rasululah –
shallallahu alaihi wa sallam- tapi mengakui kejujuran beliau.
Dalam sebuah riwayat yang berasal dari Abdullah ibn Abbas ra. yang dinukil dari Abu Sufyan,
dia berkata:
Pada suatu ketika Heraklius mengirim utusan kepadaku saat aku ikut bersama kafilah Quraisy
yang sedang berniaga di Syam. Kebetulan pada saat itu tengah berlangsung kesepakatan
genjatan senjata antara Rasulullah dan kaum musyrik Quraisy. Setibanya di Baitul Muqaddas,
Heraklius memanggilku dan rombongan ke istana dengan dihadiri oleh para pembesar
Romawi. Setelah menghadirkan seorang penerjemah, Heraklius bertanya: “Siapakah di antara
kalian yang paling dekat nasabnya dengan lelaki yang mengaku nabi itu?”
“Suruhlah ia mendekat,” ujar Heraklius sambil menunjuk ke arahku, “Dan mintalah semua
teman-temannya berdiri di belakangnya.”
Heraklius lalu berkata kepada penerjemahnya: “Katakan kepada mereka bahwa aku akan
bertanya kepada lelaki ini. Jika ternyata dia berbohong padaku, maka mereka harus
mengatakan bahwa dia berbohong.”
Demi Allah, sungguh kalau bukan karena malu untuk berbohong, saat itu aku pasti berbohong.
Lalu Heraklius mengajukan pertanyaan pertama kepadaku: “Bagaimana nasab lelaki itu di
antara kalian semua?”
Heraklius bertanya: “Apakah ada di antara kalian yang pernah menyampaikan apa yang
disampaikannya itu sebelumnya?”
“Tidak,” jawabku.
“Tidak,” jawabku.
15
“Apakah yang menjadi pengikutnya itu orang-orang terpandang, ataukah orang-orang
lemah?” tanya Heraklius lagi.
“Apakah ada di antara mereka yang murtad setelah memeluk agama barunya?” tanyanya.
“Tidak,” jawabku, “Saat ini kami sedang berada pada masa di mana kami tidak mengetahui
apa yang dia lakukan.” Sungguh aku tidak menemukan kata-kata lain selain yang kuucapkan
itu.
“Ya,” jawabku.
“Peperangan antara kami dan dia naik turun,” jawabku, “Terkadang dia menang, terkadang
kami menang.”
Aku menjawab: “Dia memerintahkan kami untuk beribadah kepada Allah semata, tidak
menyekutukan-Nya, dan meninggalkan apa yang dikatakan oleh nenek moyang kami. Dia juga
memerintahkan kami untuk melaksanakan shalat, bersikap jujur, menjaga kehormatan, dan
berbuat baik kepada kerabat.”
16
Lalu Heraklius berkata kepada penerjemahnya: “Katakan kepadanya: ‘Aku bertanya
kepadamu tentang nasabnya, ternyata kau mengatakan bahwa dia memiliki nasab yang
istimewa. Memang demikianlah seorang rasul diutus di tengah kaumnya. Aku bertanya
kepadamu apakah ada orang selain dia yang menyampaikan apa yang disampaikannya,
ternyata kau mengatakan tidak. Menurutku, kalau memang ada orang lain yang
menyampaikan apa yang dikatakannya itu sebelumnya, maka aku dapat berkata bahwa dia
hanyalah orang yang mengikuti omongan orang sebelum dia. Aku bertanya kepadamu apakah
ada di antara nenek moyangnya yang menjadi raja, ternyata kau menjawab tidak. Menurutku,
kalau memang ada di antara nenek moyangnya yang menjadi raja, maka dapat kukatakan
bahwa dia hanyalah orang yang menuntut kekuasaan leluhurnya. Aku bertanya kepadamu
apakah kalian pernah mendapatinya berdusta sebelum dia mengaku sebagai nabi, ternyata
kau menjawab tidak. Dari situ aku tahu bahwa dia tidak mungkin menyebarkan dusta kepada
orang banyak dan berdusta atas nama Allah…”
Sebetulnya hadits di atas masih panjang, tapi tampaknya cukuplah kita kutip sampai di sini.
Hal penting yang harus kita perhatikan di sini adalah adanya dua bukti kebenaran Rasulullah
–shallallahu alaihi wa sallam-, yaitu: pertama, ucapan Heraklius sang Kaisar Romawi
sebagaimana yang telah dikutip di atas; kedua, jawaban Abu Sufyan yang mengakui
kebenaran Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- meski saat itu dia belum memeluk agama
Islam. Hanya saja sayangnya, ternyata Heraklius menyia-nyiakan kesempatan emas yang
menghampirinya itu, sebab kecintaannya kepada kekuasaan telah membuatnya kehilangan
peluang untuk mencapai kekuasaan hakiki yang kekal. Setelah mengetahui kebenaran
Rasulullah, Heraklius menolak masuk Islam dan bergabung dengan kaum muslimin. Tapi
meski begitu, Heraklius tetap menunjukkan penghormatan ketika surat yang dikirimkan
Rasulullah sampai ke tangannya. Jadi setidaknya, pengakuan Heraklius atas kebenaran
Rasulullah cukup menyenangkan kita.
Sebenarnya, apa yang diucapkan Heraklius memiliki makna yang dalam. Ya. Apakah mungkin
seseorang yang tidak pernah sekali pun berdusta kepada orang banyak –meski sekedar
gurauan- sampai usia empat puluh tahun, akan dapat berdusta atas nama Allah padahal dia
semakin dekat dengan ajal?
17
B. Selalu Mengajak Orang Lain untuk Bersikap Jujur
Selain hidup dengan sifat jujur sepanjang hayat, Rasulullah juga selalu mengajak orang lain
untuk bersikap jujur. Ada sebuah nasehat Rasulullah yang layak dikutip di sini: “Jaminlah
enam hal dari diri kalian, maka aku akan menjamin surga untuk kalian: jujurlah ketika
berbicara, tepatilah ketika berjanji, laksanakanlah ketika diberi amanat, jagalah kemaluan
kalian, tundukkanlah pandangan kalian, dan kendalikanlah tangan kalian.”
Sungguh, Rasulullah menjalani kehidupan dengan sangat lurus (istiqâmah). Rasulullah juga
selalu menyeru orang lain untuk menerapkan prinsip ini setelah beliau menerapkannya pada
dirinya sendiri.
Adalah benar jika dikatakan bahwa Rasulullah adalah seorang ‘manusia’. Akan tetapi ternyata
sifat jujur yang beliau miliki telah mengangkatnya ke derajat yang sedemikian tinggi. Beliau
pernah berpesan kepada kita: “Jaminlah diri kalian padaku untuk bersikap jujur dan tidak
berbohong di dalam hidup kalian, maka aku jaminkan surga untuk kalian.”
Di dalam hadits lain dikatakan: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu menuju apa yang tidak
meragukanmu. Sesungguhnya sikap jujur itu menenangkan, sedangkan dusta membuat
gelisah.” Rasulullah juga bersabda: “Jika kalian menganggap bahwa di dalam kejujuran
terkandung kebinasaan, maka sesungguhnya di dalamnya juga terkandung keselamatan.”
Melalui hadits ini Rasulullah meminta kita untuk bersikap jujur. Karena kalau pun kita
menganggap bahwa sikap jujur akan membinasakan kita, maka sesungguhnya kejujuran kelak
pasti akan mendatangkan keselamatan.
Rasulullah juga bersabda: “Hendaklah kalian bersikap jujur, karena ia menuntun ke arah
kebajikan; sementara kebajikan menuntun ke arah surga. Ketika seseorang selalu bersikap
jujur sampai sifat itu menyatu dengan dirinya maka akhirnya dia pun akan ditulis di sisi Allah
sebagai seorang shiddîq. Hendaklah kalian menjauhi dusta, karena ia menuntun ke arah
kejahatan; sementara kejahatan menuntun ke arah neraka. Ketika seseorang selalu berdusta
sampai sifat itu menyatu dengan dirinya maka akhirnya dia pun akan ditulis di sisi Allah
sebagai seorang pendusta.”
18
Jadi jelaslah bahwa keselamatan pasti terkandung di dalam kejujuran. Ka’b ibn Malik ra.
berkata: “Sungguh aku telah selamat disebabkan kejujuranku.” Ketika kita membahas sifat
jujur, kita tentu tidak mungkin melupakan Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam-.
Tersebutlah seorang sahabat bernama Ka’b ibn Malik ra. yang terkenal dengan lidahnya yang
selalu jujur dan pedangnya yang tajam. Selain itu dia adalah seorang penyair yang dengan
syairnya mampu membuat kaum kafir mematung di dalam peristiwa ‘Aqabah. Dia termasuk
kalangan awal Anshar. Tapi sayangnya, Ka’b tidak ikut dalam perang Tabuk yang menjadi salah
satu perang terberat pada masa itu. Dalam perang Tabuk, sepasukan kecil muslimin harus
menghadapi pasukan Kekaisaran Romawi di tengah sahara yang gersang. Mereka bergerak
dengan niat suci. Memikul keberanian yang tak tertandingi. Memetik pahala dari Allah hingga
maut menjemput.
Diriwayatkan dari Ka’b ibn Malik oleh Imam Ahmad, Imam al-Bukhari, dan Imam Muslim,
lewat jalur al-Zuhri:
Tak pernah sekali pun aku tidak ikut dalam perang yang dipimpin Rasulullah, kecuali hanya di
perang Tabuk. Padahal aku juga tidak ikut dalam perang Badar. Tapi beliau tidak pernah
mengecam seorang pun yang tidak ikut dalam perang itu. Kala itu Rasulullah ingin menyerang
kafilah kaum Quraisy sampai akhirnya Allah mempertemukan antara pasukan muslim dan
musuh mereka di tempat yang tidak direncanakan. Aku juga ikut bersama Rasulullah pada
malam ‘Aqabah, ketika kami membuat perjanjian di dalam Islam. Tapi tidak ada yang lebih
kusukai seandainya saja aku ikut dalam perang Badar, karena Badar menjadi peristiwa paling
diingat oleh orang melebihi apa yang terjadi pada diriku: aku tidak pernah merasa sekuat dan
memiliki kesempatan lebih lapang daripada keadaanku ketika aku tidak ikut dalam perang itu.
Demi Allah, tak pernah sebelumnya aku memiliki dua unta tunggangan sekaligus untuk
kemudian aku himpun keduanya dalam perang itu. Tak pernah sekalipun Rasulullah berangkat
berperang, kecuali pada saat itu juga beliau menyiapkan perang berikutnya. Sampai terjadilah
perang itu. Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- melaksanakan pertempuran di bawah
panas yang menyengat, harus melewati perjalanan panjang, serta menghadapi musuh yang
banyak. Kaum muslimin pun mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Rasulullah lalu memberi
tahu pasukan muslim arah yang beliau inginkan. Saat itu sangat banyak kaum muslimin yang
19
ikut bersama Rasulullah, padahal tidak ada satu kitab pun yang menyatukan mereka. Yang
dimaksud dengan ‘kitab’ di sini adalah catatan.
Ka’b melanjutkan…
Saat itu tak ada seorang pun yang ingin tidak ikut serta, kecuali orang itu pasti tahu bahwa hal
itu tidak akan diketahui Rasulullah, jika ternyata tidak ada wahyu Allah yang turun. Pada saat
itu Rasulullah berangkat berperang ketika pepohonan sedang berbuah dan rimbun. Tapi kaum
muslimin bersama Rasulullah mempersiapkan diri untuk berangkat. Maka aku pun bersiap-
siap seperti mereka, tapi kemudian aku pulang tanpa berhasil menyiapkan apa-apa. Saat itu
aku berkata pada diriku bahwa aku mampu melakukan itu. Aku terus berlama-lama
menyiapkan diri sementara pasukan muslim telah mematangkan persiapan. Akhirnya, ketika
Rasulullah siap berangkat bersama pasukan muslim, aku belum menyiapkan apa-apa. Aku pun
berkata pada diriku bahwa aku akan menyiapkan diri dalam satu dua hari, baru setelah itu
aku menyusul mereka. Setelah pasukan berangkat dan pada keeseokan harinya, aku kembali
bergegas menyiapkan diri, tapi sampai aku pulang aku tak berhasil menyiapkan apa-apa.
Demikianlah seterusnya sampai akhirnya pasukan muslim memulai pertempuran. Sungguh
aku ingin menyusul mereka. Duhai seandainya saja aku melakukan itu, tapi rupanya aku tidak
ditakdirkan melakukan itu. Setelah keberangkatan Rasulullah itu, ketika aku keluar ke tengah
khalayak. Sungguh aku sedih karena yang kulihat hanyalah lelaki munafik, atau lelaki lemah
yang mendapat udzur dari Allah. Rupanya, Rasulullah sama sekali tidak ingat padaku kecuali
setelah beliau sampai di Tabuk. Di tengah pasukan di Tabuk beliau bertanya: “Apa yang
dilakukan Ka’b?” Seorang lelaki asal Bani Salimah menjawab: “Wahai Rasulullah, dia tertahan
oleh pakaian dan tubuhnya.” Tiba-tiba saja Mu’adz ibn Jabal menukas sengit: “Sungguh busuk
apa yang kau katakan itu!” Lalu Mu’adz berkata kepada Rasulullah: “Demi Allah wahai
Rasulullah yang kami ketahui darinya hanyalah kebaikan.” Rasulullah hanya diam mendengar
itu.
Ketika aku mendengar bahwa Rasulullah sedang berjalan pulang, aku pun gelisah. Sungguh
aku sempat berpikir untuk berbohong. Aku berpikir keras bagaimana caranya aku dapat
menghindari kemarahan Rasulullah nanti. Bahkan aku menanyakan hal itu kepada keluargaku
yang kuanggap cerdas. Sampai ketika aku mendengar bahwa Rasulullah hampir tiba, aku
20
membulatkan tekad untuk menjauhi kebatilan, karena aku tahu bahwa aku tidak akan
menyampaikan kebohongan apapun kepada Rasulullah. Kuhimpun kejujuranku untuk beliau,
dan Rasulullah pun tiba.
Setiap kali baru tiba dari sebuah perjalanan, Rasulullah selalu langsung menuju masjid,
melakukan shalat dua rakaat lalu duduk bersama umat. Pada saat itulah orang-orang yang
tidak ikut berperang untuk menyampaikan alasan mereka masing-masing kepada Rasulullah
sambil mengangkat sumpah. Jumlah mereka mencapai delapan puluh orang lebih. Rasulullah
menerima semua pernyataan mereka, mengambil sumpah mereka, memohon ampunan
untuk mereka, dan menyerahkan urusan yang selebihnya kepada Allah.
Pada saat itulah aku datang menghadap. Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah,
beliau tersenyum masam seraya berkata: “Kemarilah!” Aku melangkah mendekat dan duduk
di depan beliau. Rasulullah lalu bertanya: “Apa yang membuatmu tidak ikut berperang?
Bukankah kau sudah akan berangkat?”
“Benar,” jawabku, “Demi Allah, seandainya saja saat ini aku sedang berhadapan dengan
siapapun selain engkau, tampaknya aku berani menyampaikan alasan untuk menghindari
kemarahannya. Sungguh sebenarnya aku bisa bersilat lidah, tapi demi Allah aku tahu
seandainya hari ini aku menyampaikan kebohongan agar kau menerimanya, sungguh aku
takut Allah murka padaku. Dan seandainya aku menyampaikan kejujuran padamu, maka kau
akan melihat kejujuranku itu. Sungguh aku memohon ampunan Allah atas itu. Demi Allah, aku
sama sekali tidak punya alasan. Demi Allah, aku tak pernah merasa begitu kuat dan begitu
berkesempatan dibandingkan ketika aku tidak ikut berperang bersamamu.
Rasulullah menyahut: “Aku tahu kau berkata jujur, maka pergilah sampai Allah menetapkan
hukuman untukmu.” Aku pun pergi sehingga membuat beberapa lelaki asal Bani Saimah iba
padaku. Mereka membuntuti langkahku lalu berkata: “Demi Allah kami tak pernah
menemukanmu berbuat dosa sebelum ini. Kau begitu lemah sehingga kau tak berani
menyampaikan alasan kepada Rasulullah sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang
tidak ikut berperang. Kalau pun kau berbohong, maka dosamu pasti akan terampuni dengan
permohonan ampun yang dipanjatkan Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- untukmu.”
21
Demi Allah orang-orang itu terus merayuku sampai aku sempat berpikir untuk kembali dan
membohongi diriku. Tapi aku lalu berkata kepada mereka: “Apakah ada orang yang senasib
denganku?”
“Ada,” jawab mereka, “Ada dua orang yang berkata sepertimu, dan mereka pun mendapat
tanggapan yang sama sepertimu.”
“Murarah ibn Rabi’ al-Amri dan Hilal ibn Umayyah al-Waqifi,” jawab mereka. Kedua nama
yang mereka sebutkan itu adalah dua orang lelaki saleh yang ikut perang Badar. Setelah
kudengar itu, aku pun berlalu.
Sejak saat itu, Rasulullah melarang umat Islam bertegur sapa dengan kami bertiga yang tidak
ikut berperang. Semua orang menjauhi kami dan sikap mereka mendadak berubah sehingga
kurasakan bumi seperti menghimpitku karena semuanya tidak lagi seperti yang kukenal.
Hukuman pengucilan terhadap kami bertiga akan berlaku selama lima puluh hari. Sejak saat
itu, kedua orang sahabat yang senasib denganku hanya diam di rumah mereka, tapi aku tetap
berjalan-jalan seperti biasa dan ikut menghadiri shalat jamaah bersama kaum muslimin yang
lain. Aku mendatangi pasar seperti biasa, tapi tak ada seorang pun yang menyapaku. Aku
bahkan mendatangi Rasulullah dan mengucapkan salam kepada beliau seusai shalat. Tapi
beliau diam seribu bahasa tanpa memedulikan aku yang melihat ke arah bibirnya untuk
mencari tahu apakah beliau berkenan menjawab salamku. Setelah itu aku shalat di dekat
Rasulullah sambil mencuri-curi pandang ke arah beliau. Aku tahu bahwa setiap kali aku
menghadap ke arah kiblat, beliau memandangku. Tapi ketika aku melirik ke arah beliau,
Rasulullah langsung membuang muka.
Sungguh saat itu aku benar-benar tersiksa. Dan ketika aku tak sanggup lagi menanggung
hukuman pengucilan itu, aku mendatangi kediaman Abu Qatadah. Dia adalah sepupuku dan
orang yang paling kucintai. Setibanya aku di rumahnya, kuucapkan salam kepadanya, tapi
demi Allah dia sama sekali tidak menjawab salamku.
Aku lalu berseru: “Wahai Abu Qatadah, dengan nama Allah kutanya kau apakah kau tahu
bahwa aku mencintai Allah dan rasul-Nya?”
22
Abu Qatadah sama sekali tidak menjawab. Aku pun mengulangi pertanyaanku tapi dia tetap
diam. Aku pun mengulangi pertanyaanku, maka terdengarlah jawaban: “Allah dan rasul-Nya
yang lebih tahu!”
Demi mendengar jawaban itu, mendadak air mataku menetes. Aku beranjak meninggalkan
tempat itu dan kembali pulang.
Setelah berlalu empat puluh hari dari lima puluh hari yang direncanakan, tiba-tiba utusan
Rasulullah mendatangiku seraya berkata: “Rasulullah memerintahkan kau untuk menjauhi
istrimu.”
“Tidak,” jawab utusan itu, “Kau hanya dilarang mendekati istrimu saja.” Utusan itu lalu
menemui kedua orang sahabat lain yang senasib denganku untuk menyampaikan pesan
serupa.
Aku pun menemui istriku dan berkata: “Kembalilah kau ke keluargamu dan tinggallah
bersama mereka sampai Allah menetapkan urusan ini.”
Lalu datanglah istri Hilal ibn Umayyah menghadap Rasulullah seraya berkata: “Wahai
Rasulullah, Hilal ibn Umayyah sudah tua renta yang tidak memiliki pelayan. Apakah kau tidak
suka jika aku melayaninya?”
“Demi Allah,” tukas istri Hilal, “Dia tak tergerak untuk melakukan apa-apa. Demi Allah, dia
terus menangis sejak awal pengucilan ini sampai sekarang.”
Setelah itu, keluargaku berkata padaku: “Kenapa kau tidak meminta ijin kepada Rasulullah
untuk istrimu agar Rasulullah memberi ijin seperti kepada istri Hilal ibn Umayyah untuk
melayani suaminya?”
Aku menjawab: “Demi Allah aku tidak akan meminta ijin seperti itu kepada Rasulullah.
Sungguh aku tidak tahu apa yang akan dikatakan Rasulullah jika aku meminta ijin kepada
beliau padahal aku masih muda.”
23
Demikianlah akhirnya lima puluh hari pun berlalu sejak Rasulullah melarang kaum muslimin
berbicara dengan kami. Ketika aku sedang melaksanakan shalat Shubuh pada hari kelima
puluh di belakang rumahku, tepatnya di saat aku sedang duduk berzikir sambil merasakan
sesak di dadaku disebabkan lamanya masa pengucilan itu, tiba-tiba aku mendengar suara
seseorang berteriak dari arah gunung Sal’ dengan suara sangat keras: “Wahai Ka’b ibn Malik
bergembiralah!”
Sontak aku bersujud karena aku tahu bahwa pembebasan itu akhirnya datang. Rasulullah
bahkan lalu mengumumkan bahwa Allah telah menerima taubat kami di saat shalat Shubuh
pagi itu. Orang-orang lalu ramai menyampaikan berita itu. Orang yang berteriak dari gunung
Sal’ itu lalu mendatangi kedua sahabat lain yang senasib denganku untuk menyampaikan
berita gembira itu, sementara seseorang berkuda datang mendekatiku. Rupanya seseorang
asal Bani Aslam-lah yang telah berteriak dari gunung tadi, sebab suara lebih cepat
dibandingkan lari kuda.
Ketika orang yang berteriak dari gunung itu sampai di hadapanku, aku langsung melepaskan
jubahku dan kuhadiahkan kepadanya disebabkan berita gembira yang dibawanya. Demi Allah,
padahal saat itu itulah jubah satu-satunya yang kumiliki. Aku pun kemudian meminjam dua
helai pakaian yang lalu kukenakan untuk menghadap Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam-
. Sesaat kemudian, orang-orang ramai berdatangan untuk mengucapkan selamat kepadaku
atas pengampunan itu. Mereka berkata: “Selamat atas pengampunan Allah bagimu.”
Sesampainya aku di Masjid Nabi, kulihat Rasulullah tengah duduk di tengah para sahabat.
Kulihat Thalhah ibn Ubaidillah ra. bangkit dan berlari ke arahku lalu langsung menjabat
tanganku seraya mengucapkan selamat. Demi Allah, tak ada sahabat Muhajirin yang bangkit
ke arahku selain dia. Itulah sebabnya aku tidak pernah melupakan Thalhah.
Setelah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, beliau lalu berkata dengan wajah berseri-
seri: “Bergembiralah kau dengan hari terbaik yang datang padamu sejak kau dilahirkan
ibumu.”
“Wahai Rasulullah,” sahutku, “Apakah (pengampunan) ini datang darimu, ataukah dari
Allah?”
24
“Bukan dariku,” jawab beliau, “Tapi dari Allah.”
Ketika sedang gembira, wajah Rasulullah memang tampak bersinar laksana rembulan seperti
yang pernah beliau katakan. Setelah aku duduk di hadapan beliau, aku berkata: “Wahai
Rasulullah, dengan datangnya pengampunan ini aku berniat mendermakan sebagian hartaku
sebagai sedekah untuk Allah dan rasul-Nya.”
Tapi Rasulullah menukas: “Kau peganglah sebagian hartamu sebab itu lebih baik bagimu.”
Aku menyahut: “Aku hanya akan memegang harta yang menjadi bagianku di Khaibar.” Lalu
aku berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh Allah telah menyelamatkan aku dengan
kejujuranku. Sungguh salah satu bentuk taubatku adalah bahwa aku tidak akan berbicara
selain dengan jujur sampai aku mati.” Demi Allah, aku tidak pernah menemukan seorang
muslim pun yang diuji oleh Allah dengan kejujuran ucapan –sejak kukatakan itu kepada
Rasulullah- sebaik ujian yang diberikan-Nya padaku. Sejak saat itu sampai hari ini, tak pernah
sekali pun aku berdusta. Sungguh aku berharap semoga Allah menjagaku dari dusta hingga
akhir hayatku.
Hingga menginjak usia empat puluh tahun, Rasulullah adalah sosok yang selalu menepati janji
sampai-sampai tak ada seorang pun yang pernah mendengar beliau berdusta atau mendapati
beliau melanggar janji. Abdullah ibn Abi Hamsa` meriwayatkan: “Sebelum diangkat menjadi
rasul, aku pernah melakukan perjanjian jual-beli dengan Rasulullah. Tapi karena ada barang
yang masih kurang, maka aku berjanji kepada beliau bahwa aku akan datang membawa
kekurangan itu di suatu tempat. Ternyata aku lupa akan janjiku itu. Setelah tiga hari berlalu,
barulah aku teringat dan buru-buru mendatangi tempat tersebut. Setibanya di sana, aku
benar-benar terkejut karena Rasulullah masih ada di tempat itu dan berkata: ‘Hai anak muda,
kau benar-benar menyusahkan aku. Aku telah menunggu di tempat ini selama tiga hari!”
25