Anda di halaman 1dari 9

UNIVERSITAS INDONESIA

WAYANG KLITHIK

Makalah Ilmiah Diajukan Sebagai Pengganti UTS


Mata Kuliah MPKS Wayang Semester Genap 2018-2019
Dosen:
Dr. Darmoko, S.S., M.Hum.
Dwi Rachmawanto, S.Hum, M.Hum.

AAAA
MPKS WAYANG

FAKULTAS
PROGRAM STUDI
DEPOK
MARET 2019

WAYANG KLITIK
1. Pendahuluan

Wayang adalah salah satu seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol.
Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara (musik), seni tutur, seni sastra, seni
lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang dari zaman ke zaman juga merupakan media
penerang, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Wayang sebagai
salah satu seni pertunjukan sering diartikan sebagai bayangan yang tidak jelas hanya
samar-samar bergerak ke sana ke mari. Dengan bayangan yang samar-samar tersebut
tidak diartikan sebagai gambaran perwatakan manusia, lebih dari itu sering pula
dimaksudkan sebagai penggambaran kehidupan manusia di masa lampau. Wayang
memberikan gambaran lakon perikehidupan manusia dengan segala masalahnya yang
menyimpan nilai-nilai pandangan hidup dalam mengatasi segala tantangan dan
kesulitannya. Dalam wayang selain tersimpan nilai moral dan estetika, juga nilai-nilai
pandangan hidup masyarakat Jawa. Melalui wayang, orang memperoleh cakrawala baru
pandangan dan sikap hidup umat manusia dalam menentukan kebijakan mengatasi
tantangan hidup.

Salah satu contoh wayang adalah wayang klitik. Wayang ini mirip dengan wayang
kulit, namun terbuat dari kayu, bukan kulit. Mereka juga menggunakan bayangan dalam
pertunjukannya. Kata “klitik” berasal dari suara kayu yang bersentuhan di saat wayang
digerakkan atau saat adegan perkelahian, misalnya. Kisah-kisah yang digunakan dalam
drama wayang ini berasal dari kerajaan-kerajaan Jawa Timur, seperti Kerajaan Jenggala
, Kediri, dan Majapahit. Cerita yang paling populer adalah tentang Damarwulan. Cerita
ini dipenuhi dengan kisah perseturan asmara dan sangat digemari oleh publik.

2. Pembahasan
Berdasarkan informasi yang diambil dari sejarah yang ada, asal usul mengenai
wayang sendiri dianggap telah ada semenjak 1500 tahun sebelum Masehi. Wayang
sendiri lahir dari para cendikia nenek moyang suku Jawa yang ada pada masa silam.
Pada masa itu, wayang diperkirakan hanya terbuat dari rerumputan yang diikat
sehingga bentuknya masih sangat sederhana sekali. Wayang dimainkan dalam ritual
pemujaan roh nenek moyang dan juga digunakan dalam upacara-upacara adat Jawa.
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli sudah ada bahkan sebelum
kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia dan mulai berkembang pada zaman Hindu-
Jawa. Pertunjukan kesenian wayang merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang
Jawa, yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dinamisme pada masa itu.
Menurut isi yang ada dari Kitab Centini, mengenai asal-usul wayang purwa
disebutkan bahwa kesenian wayang mula-mula sekali diciptakan oleh seorang Raja
Jayabaya dari Kerajaan Mamenang/Kediri. Pada masa sekitar abad ke-10 Raja
Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di
atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita
Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat menarik
perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan
oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu.

Pada tahun 1731 Sultan Amangkurat I menciptakan wayang dalam bentuk lain,
yaitu wayang wong. Wayang wong adalah wayang yang terdiri dari manusia dengan
mempergunakan perangkat atau pakaian yang dibuat mirip dengan pakaian yang ada
pada wayang kulit. Perbedaan wayang wong dengan wayang topeng adalah: pada
waktu main, pelaku dari wayang wong aktif berdialog; sedangkan pada wayang
topeng dialog para pelakunya dilakukan oleh dalang. Wayang kini kian semakin
dikenal luas. Beberapa jenis wayang juga sudah dikembangkan untuk memperkaya
khasanah dunia perwayangan. Beberapa contoh wayang tersebut misalnya wayang
golek, wayang orang, Wayang Kulit, Wayang Kayu, Wayang Orang, Wayang Klitik
dan Wayang Madya.

2
Budaya Jawa memang kental dengan produk keseniannya. Dan itulah yang
paling menonjol dari tujuh unsur kebudayaan universal di dalamnya. Dan satu dari
sekian wujud kesenian yang bisa ditemui di tanah leluhur ini adalah kesenian
wayang. Namun seiring bergulirnya waktu, beberapa jenis wayang ini ada yang tak
mampu menahan gempuran modernisasi zaman. Jika wayang purwa dengan cerita
Mahabharata dan Ramayana masih dapat dijumpai hingga kini, beda cerita dengan
wayang beber, wayang jemblung, dan yang akan dibahas kali ini adalah Wayang
Klithik.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/8/8d/Wayang_klitik.JPG

Wayang Klitik memang kalah populer dibandingkan dengan wayang kulit


ataupun wayang golek. Apalagi wayang ini, satu-satunya di Jawa Tengah, hanya ada
di Desa Wonosoco, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. Kesenian ini menjadi
andalan di desa itu, dan menjadi daya tarik wisata. Perkembangan kesenian ini
memang tak semassif wayang lain. Bahkan hanya berkutat hanya di daerah Kudus
saja. Padahal keinginan banyak pihak, wayang klitik bisa dikenal ke seluruh
Indonesia.

Wayang Klithik adalah Wayang yang terbuat dari kayu dan pertama kali
diciptakan oleh Pangeran Pekik Adipati Surabaya. Dalam riwayat lain juga
disebutkan jika wayang klithik diciptakan oleh Sunan Kudus pada kurun abad 16-17
dan dipergunakan sebagai sarana dakwah Islam. Riwayat kedua ini juga bisa
dipertanggungjawabkan sebab sampai hari ini, wayang klithik yang masih bertahan
berasal dari Desa Wonosoco, Undaan, Kudus. Selain disebut wayang klithik wayang
ini disebut juga dengan wayang Krucil karena wayang ini bentuknya kecil. Cerita
yang dipakai dalam wayang klithik, pada umumnya mengambil dari zaman Panji
Kudalaleyan di Pajajaran hingga zaman Prabu Brawijaya di Majapahit. Jadi bisa
dibilang pagelaran wayang klithik mengambil cerita Panji dan Damarwulan.
Sementara bunyi “klithik, klithik” yang ditimbulkan setiap pementasan diyakini
sebagai asal mula istilah penyebutan wayang klithik.

Di Jawa Tengah wayang klithik memiliki bentuk yang mirip dengan wayang
gedog. Tokoh-tokohnya memakai dodot rapekan, berkeris, dan menggunakan tutup
kepala tekes (kipas). Sementara di Jawa Timur tokoh-tokohnya banyak yang
menyerupai wayang purwa, raja-rajanya bermahkota dan memakai praba. Di Jawa
Tengah, tokoh-tokoh rajanya bergelung Keling atau Garuda Mungkur saja. Adapun
gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang ini amat
sederhana, berlaras slendro dan berirama playon bangomati (srepegan). Ada kalanya
wayang klithik menggunakan gending-gending besar.

Saat ini, wayang klithik masih secara rutin dipergelarkan setahun sekali di Desa
Wonosoco tepatnya di Sendang Dewot. Ritual yang mengikutsertakan wayang
klithik ini dipercaya untuk memperlancar sumber pada mata air tersebut. Saking
sakralnya, sampai-sampai penduduk desa setempat tak pernah alpa menggelarnya.
Pernah suatu ketika penduduk desa tidak melaksanakan upacara yang digelar untuk
memperlancar sumber mata air tersebut. Akibatnya, penduduk di sekitar pun sempat
mengalami musibah. Bahkan dalang-nya pun bukan sembarang dalang. Dalang yang
berhak ndhalang dalam ritual tersebut adalah keturunan Ki Sumarlan, sang dalang
wayang klithik pertama di Wonosoco.

Pertunjukan Wayang Klithik tidaklah membutuhkan kelir atau layar untuk


bayangan. Sebagai penempatan wayang digunakan bambu yang telah dilubangi.
Meskipun begitu desain lantainya tetap berupa garis lurus. Seperti halnya wayang
kulit, Wayang Klithik juga mengenal wanda atau bentuk wajah dan perawakan
kepala untuk melukiskan watak temperamen tokoh. Wanda disini didasarkan atas
warna-warna yang khas. Wayang Klithik juga mengenal ciri-ciri menurut gaya
Yogyakarta dan Surakarta. gaya Yogya kurang anatomis dan lebih cenderung
primitif namun lebih mengarah pada bentuk wayang golek. Terkesan gagah namun
penuh kesederhanaan. Sementara itu, gaya Surakarta lebih menampilkan kehalusan
dan ketenangan dengan bentuk mendekati wayang kulit.

Lakon Wayang Klithik

Wayang Klithik memiliki repertoar yang berbeda dengan wayang kulit yang
biasanya mengambil cerita dari waracarita Ramayana dan Mahabharata. Dalam
wayang ini cerita diambil dari siklus cerita panji dan damarwulan yang umumnya
mengambil dari zaman Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga zaman Prabu
Brawijaya di Majapahit. Namun, tidak menutup kemungkinan Wayang Klithik juga
memakai cerita wayang purwa dan wayang menak, bahkan dari babad tanah jawi
sekalipun. Adapun jumlah Wayang Klitik untuk tokoh-tokoh pokoknya tidak lebih
dari dua puluh buah. Dengan tambahan sekitar 10 buah yang diambilkan dari tokoh-
tokoh wayang bratasena, anoman, gunungan, rampogan dan wayang ricikan jenis
binatang gajah, kuda dan sebagainya.

Iringan Wayang Klithi

Dalam pertunjukannya, Wayang Klithik diiringi seperangkat gamelan berlaras


slendro berjumlah lima macam, yakni kendang, saron, ketuk, kenong, kempul
(barang) dan gong suwukan. Jumlah lagu/gending yang dipergunakan untuk
mengiringi tidak banyak dan kurang variasinya sehingga sangat senada.
Gamelannya boleh dikatakan sama dengan irama jatilan atau kuda lumping. Apalagi
bila terjadi adegan perang, sangat monoton dengan iringan gending srepegan.

Pada setiap adegan yang dinamakan jejeran, Ki dalang mengiringinya dengan


tembang macapat seperti Dandanggula, Sinom, pangkur, Asmaradana dsb. Tembang
ini berperan sebagai suluk dalam wayang kulit dengan penambahan candra wayang
untuk setiap tokoh-tokoh wayang yang sedang dilakonkannya.

Wayang Klitik Terancam Punah

Sebagai sarana hiburan dan penerangan terhadap masyarakat,Wayang Klitik


terancam punah. Wayang ini mulai dikenal masyarakat pada masa berkembangnya
agama Islam di Jawa sekitar abad 16 – 17. Pencipta Wayang Klitik ini tak lain
adalah Sunan Kudus. Dalam pertunjukannya,Wayang Klitik sering mengambil
cerita dari kisah/cerita Mahabarata – Ramayana atau juga cerita/kisah Damarwulan
– Minak Jinggo. Wayang Klitik ini sendiri diperkirakan sudah ada sejak tahun 1648
M. Sedangkan dalam pementasannya,Wayang Klitik diiringi gamelan dan
pesinden,tetapi tanpa menggunakan kelir/layar sehingga penonton dapat melihat
secara langsung bentuk Wayang Klitik,yang mirip dengan pertunjukan wayang
Golek dari daerah Jawa barat. Selama ini,Wayang Klitik banyak ditemukan di
daerah – daerah di Jawa Tengah seperti di Kudus. Disini Wayang Klitik masih
berkembang dan biasa ditampilkan saat hajatan perkawinan,upacara bersih desa,dan
berbagai upacara desa lainnya. Wayang Klitik sendiri oleh sebagian kalangan
disakralkan. Di Kudus kini hanya tinggal satu daerah yang melestarikan kesenian
Wayang Klitik tersebut,yaitu di Desa Wonosoco. Seluruh peralatan serta 52 buah
tokoh wayang yang ada merupakan warisan turun temurun dari para pendahulunya.
Tak banyak yang tahu siapa siapa yang membawa Wayang Klitik hingga ke Desa
Wonosoco. Konon kesenian Wayang Klitik tumbuh seiring masuknya agama Islam
di tanah Jawa,khususnya daerah Kudus. Wayang Klitik lebih sering menampilkan
cerita atau kisah tentang Damarwulan,sehingga ada kemiripan dengan pementasan
kesenian Ketoprak yang di visualkan dalam bentuk Wayang. Adapun yang
membedakan Wayang Klitik dengan Wayang Purwo adalah pada suluk – suluk yang
dibawakan oleh sang dalang.

3. Kesimpulan
Menurut saya, wayang adalah suatu hasil seni budaya manusia yang
menggambarkan tentang tingkah laku kehidupan manusia dalam menempuh
kesejahteraan dan beribadah kepada Tuhan. Karena wayang merupakan lambang
manusia yang disesuaikan dengan tingkah lakunya, sebab wayang itu sendiri apabila
dipraktekkan akan membawa peran yang mencakup ajaran ke-Tuhanan, filsafat,
moral, dan mistik. Wayang bermacam-macam seperti wayang golek, wayang beber,
wayang klitil, dll. Wayang klitik merupakan salah satu kesenian unik khas Kudus.
Sebagai sarana hiburan terhadap masyarakat, wayang klithik muncul pada masa
berkembangnya agama Islam di Jawa sekitar abad 16 - 17 Masehi. Sepintas orang
akan mengira, bentuk dan cerita wayang klitik mirip dengan kesenian wayang kulit
yang lebih dulu popular di tanah Jawa. Namun nyatanya berbeda. Isi cerita Wayang
klithik berkisar pada babad tanah Jawa atau cerita rakyat mengenai legenda tanah
Jawa, semisal Panji Semirang, tentang kerajaankerajaan di Jawa, seperti Malwapati,
Blambangan dan lainnya. Cerita yang disampaikan mirip dengan cerita yang
dibawakan dalam Ketoprak Pati. Sementara pada kesenian Wayang Kulit yang
diangkat adalah cerita Ramayana dan Mahabharata. tentang nilai estetis wayang
klithik, maka warna sangat penting peranannya dalam menciptakan suatu karya.
Pemahaman tentang warna sangat dibutuhkan bagi pencipta karya desain, agar
tercermin lambang atau karakter dari karya yang dihasilkan.

4. Referensi
• https://belindomag.nl/id/seni-budaya/5-macam-wayang-indonesia
• https://www.referensimakalah.com/2013/06/seni-wayang-referensi-
pengantar.html
• https://blogkulo.com/wayang-klithik/
• http://seni-wayang.blogspot.com/2014/05/pemahaman-nilai-filosofi-etika-
dan.html
• http://sastradududewo.blogspot.com/2013/01/wayang-klitik-terancam-
punah.html
• https://www.suaramerdeka.com/gayahidup/baca/712/wayang-klithik-riwayatmu-
kini
• http://www.schoolpouringrights.com/history/pembahasan-mengenai-wayang-
seni-budaya-pertunjukan-asli-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai