PENDAHULUAN
Memasuki millenium ke-3 (abad ke-21) ini, berbagai jenis organisasi (organisasi niaga,
organisasi di lingkungan pemerintahan, organisasi yang bersifat nirlaba) akan menghadapi
perubahan dengan variasi, intensitas, dan cakupan yang belum pernah dialami sebelumnya.
Dengan demikian, organisasi tersebut hanya akan berkembang dan maju apabila cepat tanggap
terhadap perubahan yang pasti akan terjadi. Pemimpin masa kini dan masa depan dituntut untuk
tidak sekedar bersikap luwes dan beradaptasi dengan lingkungan yang bergerak sangat dinamis,
akan tetapi juga mampu mengantisipasi berbagai bentuk perubahan daan secara proaktif
menyusun berbagai program perubahan yang diperlukan.
Memang benar bahwa organisasi tidak pernah statik dan tidak pula bergerak pada kondisi
kekosongan. Tuntutan mewujudkan perubahan dapat timbul dari dua sumber, yaitu dari dalam
organisasi sendiri dan dari lingkungannya (Siagian, 1995:1). Keadaan itu menunjukkan bahwa
setiap organisasi harus selalu peka terhadap aspirasi, keinginan, tuntutan dan kebutuhan berbagai
kelompok dengan siapa organisasi berinteraksi. Berbagai kelompok itu dikenal dengan istilah
pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders), yaitu para pemimpin (manajer), para karyawan,
para pemegang saham, pemasok, pelanggan, serikat pekerja, dan pemerintah.
Para pemimpin sebagai salah satu pihak yang berkepentingan berada pada garis terdepan
dalam mewujudkan perubahan karena dituntut dan diberi tanggung jawab oleh berbagai pihak
yang berkepentingan lainnya untuk mampu menjalankan roda organisasi sedemikian rupa.
Keberhasilan para pemimpin menanggapi perubahan yang terjadi memerlukan gaya
kepemimpinan yang sesuai dengan tuntutan perubahan tersebut. Dalam hal ini, faktor budaya
organisasi (culture organization) menjadi penting artinya bagi seorang pemimpin. Budaya
organisasi merupakan salah satu faktor penting yang sangat menentukan terhadap berhasil
tidaknya organisasi tersebut. Untuk itu, peranan pemimpin dalam upaya membentuk dan
membangun budaya organisasi yang kondusif bagi pencapaian tujuan organisasi sangatlah
menentukan. Di sini pulalah peran pemimpin menjadi penting dalam proses pemberdayaan
(empowerment) karyawan. Mengikuti konsep pemberdayaan yang
dikemukakan Pranarka dan Moelijarto (dalam Prijono dan Pranarka, 1996:56-57), maka
dituntut kesiapan dan kerelaan pemimpin untuk memberikan atau mengalihkan sebagian
kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada karyawan agar mereka menjadi lebih berdaya.
Keadaan tersebut sangat ditentukan oleh budaya organisasi yang ada dalam organisasi tersebut.
Bertambah besarnya minat atas fenomena yang dinamakan budaya organisasi (culture
organization) boleh dikatakan merupakan hasil dari usaha pencarian faktor sukses apa saja yang
menyebabkan perusahaan Jepang jauh lebih berhasil di berbagai bidang usaha dibanding dengan
negara-negara lain, termasuk negara-negara maju lainnya seperti Eropa dan Amerika Serikat
(Ouchi, 1981; Pascale dan Athos, 1981).
II. PEMBAHASAN
2.1 Beberapa Pandangan mengenai Organisasi
Dalam merumuskan berbagai pandangan, suatu organisasi sangat tergantung pada
konteks dan perspektif tertentu dari seseorang yang merumuskannya. Seperti yang dikemukakan
oleh Thompson (dalam Thoha, 1992:123) bahwa pengertian organisasi adalah:
Organisasi merupakan tata hubungan sosial. Dalam hal ini seorang individu melakukan
proses interaksi dengan sesamanya di dalam organisasi, baik antara pimpinan dan anggota
maupun antar anggota sendiri.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa orang-orang terlibat dalam organisasi harus
tunduk pada suatu aturan untuk mengadakan kerjasama dan interaksi guna mencapai suatu tujuan
bersama. Gagasan Weber tentang organisasi dalam bentuk birokrasi tersebut telah mampu
bertahan dan mendominasi sampai pada zaman teori kontemporer.
Bila dikaitkan dengan paradigma organisasi dengan konsepsi klasik, lebih banyak
mempertimbangkan hal-hal yang berhubungan dengan struktur seperti hirarkhi, wewenang,
tanggungjawab, kesatuan komando, dan jenjang pengawasan.
Dari berbagai pendapat tersebut memberikan gambaran bahwa kepemimpinan dilihat dari
sudut pendekatan apapun mempunyai sifat universal dan merupakan gejala sosial.
2.3 Budaya Organisasi
Setiap organisasi sebenarnya memiliki budaya. Memang pada umumnya orang-orang
dalam sebuah organisasi mudah menyetujui bahwa organisasi mereka memiliki budaya dan
budaya itu sangat penting. Tetapi biasanya mereka akan menghadapi kesulitan kalau diminta
untuk memberikan definisi budaya organisasi itu.
Beberapa ahli mengatakan bahwa budaya sebenarnya merupakan konsep yang dipinjam
oleh para pakar teori organisasi dari disiplin ilmu antropologi (Luthans, 1988; Gordon, 1991).
Sebaliknya Schein (1985) mengajukan konsep budaya yang menurutnya lebih berakar pada teori
dinamika kelompok dan pertumbuhan kelompok daripada sekedar pada teori antropologi.
Berdasarkan pengamatan orang lain dan pengamatannya sendiri, Schein (1985)
mengemukakan bahwa ada beberapa pengertian yang sama yang berkaitan dengan budaya antara
lain:
Secara umum, setiap individu dilatarbelakangi oleh budaya yang mempengaruhi perilaku
mereka. Budaya menuntut individu untuk berperilaku dan memberi petunjuk mengenai apa saja
yang harus diikuti dan dipelajari. Kondisi tersebut juga berlaku dalam organisasi tentang
bagaimana pegawai berperilaku dan apa seharusnya yang harus dilakukan. Harvey (1996:333-
334) mengemukakan, budaya organisasi mencakup: nilai-nilai, kepercayaan, bentuk perilaku dari
anggotanya pada suatu organisasi tertentu. Budaya organisasi mengarah pada suatu sistem nilai
bersama yang dipegang oleh anggotanya yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi
yang lainnya. Karakteristik yang menggambarkan suatu budaya organisasi adalah: – otonomi
individu: persetujuan akan tanggung jawab, kebebasan, dan kesempatan untuk berinisiatif bagi
anggota organisasi; – struktur: persetujuan akan aturan, perubahan peraturan, kuantitas
penggunaan langsung suvervisi untuk mengontrol perilaku anggota; – pemberian insentif:
persetujuan dalam pemberian insentif (misalnya kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas prestasi
anggota; – perilaku yang merugikan: persetujuan untuk anggota didorong untuk agresif, inovatif
dan pencarian yang penuh resiko. Kombinasi dari setiap karakteristik tersebut merupakan
gambaran dari budaya organisasi yang dibentuk oleh organisasi tersebut.
Sedangkan Luthans (1989:50) mengutif definisi mengenai budaya organisasi yang
dikemukakan oleh Schein, yaitu:
Yang dimaksudkan dengan “tindakan-tindakan budaya” adalah upacara ritual (ritual and
ceremonies) yang diselengarakan dan diikuti oleh mereka, misalnya upacara bendera, rapan
rutin harian, expose dan bentuk penyajian lain, pemberian persetujuan rapat pimpinan secara
berkala, rapat kerja pimpinan cabang, rapat direksi, upacara pemberian penghargaan, malam
silaturahmi, perayaan hari besar, karyawan, dan sebagainya.
“objek budaya” di sini termasuk busana yang dikenakan para anggota organisasi, meubel
yang digunakan dalam kantor, karya seni yang dipilih dan digunakan oleh para warga
organisasi.
– Dimensi Kedua: Perspectives.
Perspektif, berada satu lapisan di bawah permukaan yang kelihatan (artifak-artifak), tetapi
masih mudah untuk melihatnya. Yang termasuk ke dalam perspektif adalah berbagai norma
sosial dan peraturan yang mengatur bagaimana para warga organisasi harus berperilaku
dalam situasi khusus. Dengan adanya bergagai peraturan dan norma tersebut, para anggota
organisasi tidak perlu memecahkan permasalahan sosial organisasi secara baru setiap timbul
permasalahan.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa budaya organisasi merupakan sesuatu yang
sungguh kompleks. Akan tetapi, kita harus memiliki kemampuan mengalisis budaya organisasi
secara akurat apabila kita sungguh-sungguh mau mengerti mengapa organisasi melakukan hal-
hal tertentu dan mengapa para pemimpin organisasi itu dapat menghadapi kesulitan dalam
menjalankan fungsi kepemimpinannya.
III. KESIMPULAN
3.1 Organisasi sebagai kesatuan sosial, yaitu terdiri dari orang atau kelompok orang yang
berinteraksi satu sama lain. Setiap organisasi dituntut selalu peka terhadap aspirasi,
keinginan, tuntutan dan kebutuhan berbagai kelompok dengan siapa organisasi berinteraksi.
3.2 Kepemimpinan sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan
dengan tugas dari para anggota kelompok juga merupakan sarana pencapaian tujuan.
3.3 Pemimpin dalam kehidupan organisasi mempunyai kedudukan yang strategis dan merupakan
gejala sosial yang selalu diperlukan dalam kehidupan kelompok.
3.4 Budaya organisasi dapat tumbuh karena diciptakan dan dikembangkan oleh individu yang
bekerja dalam suatu organisasi, dan diterima sebagai nilai-nilai yang harus dipertahankan dan
diturunkan kepada setiap anggota baru.