Anda di halaman 1dari 13

MASALAH PUTUSAN ULTRA PETITA

DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

Haposan Siallagan*

Abstract Abstrak
Albeit the absence of standing for ultra Walaupun tidak ada payung hukum untuk
petita verdicts, our Constitutional Court menaungi pengeluaran putusan ultra petita,
has in several rulings issued such verdict. beberapa kali Mahkamah Konstitusi memu-
Consequently, citizens’ constitutional rights tus secara ultra petita. Sebagai akibatnya,
that initially should be protected by the Court hak-hak konstitusional warganegara yang
are being deprived of instead. Therefore, seyogyanya dilindungi oleh Mahkamah
the Court shall stop producing ultra petita malah dilanggar. Dengan demikian, sudah
verdicts until it acquires decent standing. selayaknya Mahkamah tidak lagi menge-
luarkan putusan ultra petita selama dasar
hukumnya belum ada.

Kata Kunci: ultra petita, judicial review, mahkamah konstitusi.

A. Pendahuluan Tahun 1945 (selanjutnya: UUD 1945) me­


Lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK) rupakan sebuah lembaga negara yang bagi
da­lam sistem ketatanegaraan Negara Repu­ sebagian orang masih dianggap baru, yang
blik Indonesia adalah sebagai salah satu upa- walaupun sesungguhnya telah banyak yang
ya penguatan prinsip checks and ba­lances paham dan tahu betul akan fungsi serta tugas
demi mewujudkan pemerintahan yang dan tanggung jawab lembaga negara yang
benar-benar terkontrol dan terkendali antara satu ini.
lembaga negara yang satu dengan lembaga Bersama Mahkamah Agung, Mah­
negara lainnya. Mahkamah Konstitusi seba­ kamah Konstitusi adalah pemegang ke­
gai pengawal sekaligus penafsir Undang- kuasaan kehakiman di Indonesia. Sebagai
Undang Dasar Negara Republik Indonesia pemegang kekuasaan kehakiman, Mahka-

*
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan (e-mail: h.siallagan@
yahoo.com).
72 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 1, Februari 2010, Halaman 1 - 200

mah Konstitusi diharapkan dapat menjadi Sebagai makhluk individual, warga­


ujung tombak penegakan keadilan. Hak-hak negara Indonesia dan siapapun yang bertem-
konstitusional warganegara diharapkan akan pat tinggal di Indonesia memiliki hak asasi
semakin terlindungi dengan kehadiran Mah- sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 dan
kamah Konstitusi. 28A - 28J, dan kewajibannya sudah diatur di
Tentu harapan yang demikian sangat- dalam Pasal 27, 30 dan 31 UUD 1945. Pener­
lah beralasan, pengalaman masa lalu menun- jemahan terhadap hak asasi warganegara ti-
jukkan bahwa hak-hak dasar warganegara dak lagi hanya sebatas hak-hak yang diatur
selalu diabaikan oleh penguasa. Hal itu bisa dalam pasal tersebut, melainkan menyang-
dilihat pada masa Orde Baru. Hampir tidak kut pengujian UU terhadap UUD 1945 juga
ada jaminan akan perlindungan terhadap telah menjadi bagian dari hak asasi setiap
hak-hak konstitusional warganegara. Pemer- warganegara yang telah dijamin oleh kon-
intah ketika itu justru hanya berupaya untuk stitusi.1
memperkuat posisi dan mempertahankan Gagasan pembentukan Mahkamah
kekuasaan yang berada dalam genggaman- Konstitusi diawali oleh pembaruan pemi­
nya. Masyarakat pada masa itu sering men- kiran dalam bidang ketatanegaraan pada
jadi korban kebijakan pemerintah yang se- abad ke-20. Mahkamah Konstitusi meru-
lalu mengabaikan hak masyarakat. pakan lembaga negara yang berasal dari
Mengingat persoalan hukum yang sistem hukum Eropa Kontinental. Indonesia
demikianlah, maka keberadaan Mahkamah sebagai sebuah negara hukum (Rechstaat)
Konstitusi dapat menjadi wadah bagi ma­ banyak dipengaruhi oleh pemikiran ket-
syarakat untuk mendapatkan perlindungan atanegaraan di Eropa, terutama negara den-
akan hak-haknya yang telah diatur dalam gan sistem hukum Eropa Kontinental yang
konstitusi, dalam hal ini adalah UUD 1945. menganut supremasi konstitusi. Pada negara
Mahkamah Konstitusi sendiri meru- yang menganut Eropa Kontinental, Mahka-
pakan salah satu buah amandemen UUD mah Konstitusi merupakan lembaga yang
1945 dan pembentukannya tentu akan men- merupakan bentuk perlindungan terhadap
jadikan sebuah konstitusi menuju ke arah hak konstitusional warganegara.
yang lebih demokratis. UUD hasil amande- Pembentukan Mahkamah Konstitusi
men telah mempertegas bahwa eksistensi terwujud ketika dilakukan amandemen
warganegara Indonesia diakui sebagai ma- ketiga terhadap UUD 1945. Lahirnya
nusia merdeka yang mempunyai hak asasi, Mahkamah Konstitusi pascaamandemen
selain kewajiban asasi. Itu berarti UUD hasil merupakan respon terhadap tuntutan
amandemen memandang warganegara se- penguatan mekanisme check and balances
bagai makhluk individual sekaligus sebagai dalam sistem penyelenggaraan negara.2
makhluk sosial.

1
Janpatar Simamora, “Menyempurnakan Sistem Ketatanegaraan Melalui Amandemen UUD 1945”, Harian
Analisa, 5 Maret 2007.
2
Wongbanyumas, “Ultra Petita Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia” http://fatahilla.blogspot.
com/2008/06/ultra-petita-mahkamah-konstitusi.html, diakses pada 26 November 2009.
Siallagan, Masalah Putusan Ultra Petita 73

Peranan Mahkamah Konstitusi sendiri untuk membuat putusan yang sifatnya ultra
sangat penting, mengingat Mahkamah petita sangatlah tidak mendapat ruang yang
Konstitusi telah menyatakan dirinya cukup. Oleh karenanya, maka sesungguhnya
sebagai penjaga konstitusi melalui proses MK tidaklah berwenang untuk membuat
constitutional review pada Pasal 50 UU putusan di luar dari apa yang dimintakan
Mahkamah Konstitusi. Pernyataan ini oleh pemohon.
tentunya membawa angin baru, karena Inilah yang kemudian menjadi pro­
berdasarkan UU MK, proses constitutional blem menyangkut kehadiran Mahkamah
review hanya dapat dilakukan setelah Konstitusi dalam ruang ketatanegaraan kita.
adanya Perubahan III UUD 1945. Berbagai MK seolah menjadi lembaga yang superbody
putusan MK telah memengaruhi norma dan karena kewenangannya yang tunggal untuk
sistem hukum di Indonesia. Meski tidak menerjemahkan konstitusi.
secara tegas memiliki kewenangan legislasi, Kalau kemudian ternyata Mahkamah
akan tetapi sesungguhnya MK memiliki Konstitusi terus berkecimpung dalam
kewenangan legislasi, terbukti dengan putusan ultra petita, maka dikhawatirkan
munculnya berbagai norma hukum baru di bahwa perlindungan terhadap hak-hak
Indonesia dari berbagai putusan MK melalui konstitusional warganegara akan semakin
penafsiran MK terhadap konstitusi. tercederai, bukan malah mendapat per­
Selain itu, MK juga sedang dalam lindungan yang memadai. Dengan sejumlah
perjalanan sebagai penafsir tunggal kewenangan yang dimiliki, MK telah
konstitusi. Hal ini terjadi bukan merupakan memberikan penafsiran yang beragam dan
keanehan, karena salah satu wewenang yang terkadang tidak jarang mengganggu rasa
diberikan oleh UUD 1945 adalah mengadili keadilan warganegara dengan membuat
pengujian undang-undang terhadap undang- putusan ultra petita. Kalau memang
undang dasar. Kewenangan dasar MK ini landasan yuridis putusan ultra petita tidak
yang kemudian menjadi titik permasalahan ada sama sekali dalam pengujian undang-
oleh banyak ahli hukum di Indonesia dan undang terhadap UUD 1945, lalu mengapa
juga DPR.3 MK masih berani mengeluarkan putusan
Mahkamah Konstitusi dianggap oleh yang bersifat ultra petita tersebut?
beberapa kalangan telah melakukan apa Dengan berdasarkan persoalan inilah,
yang di dalam hukum dinamakan ultra maka kemudian penulis merasa tertarik
petita. Ultra petita adalah penjatuhan untuk mengupas persoalan menyangkut
putusan oleh hakim atas perkara yang tidak kewenangan MK dalam membuat putusan
dituntut atau memutus melebihi apa yang ultra petita. Oleh sebab itu, maka penulis
diminta. Sementara dalam undang-undang mengangkat judul “Masalah Putusan Ultra
yang mengatur tentang keberadaan MK Petita dalam Pengujian Undang-Undang”
maupun dalam UUD 1945, kewenangan

3
Aliansi Nasional Reformasi Hukum, “Putusan Mahkamah Konstitusi Ultra Petita?”, http://reformasikuhp.org/
opini/?p=11, diakses pada 29 November 2009.
74 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 1, Februari 2010, Halaman 1 - 200

B. Pengertian Ultra Petita menerapkan atau melanggar hukum yang


Ultra petita adalah penjatuhan putusan berlaku” dapat mengupayakan kasasi (Pasal
oleh hakim atas suatu perkara yang tidak 30 UU MA), dan dasar upaya peninjauan
dituntut atau memutus melebihi apa yang kembali (Pasal 67 dan 74 (1) UU MA). Di
diminta oleh pemohon. Ultra petita dalam dalam hukum perdata berlaku asas hakim
hukum formil mengandung pengertian bersifat “pasif” hakim “tidak berbuat apa-
penjatuhan putusan atas perkara yang apa”, dalam artian ruang lingkup atau luas
tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pokok sengketa yang diajukan kepada hakim
pada yang diminta. Ultra petita menurut untuk diperiksa pada asasnya ditentukan
I.P.M.Ranuhandoko adalah melebihi yang para pihak yang beperkara.5
diminta.4 Ultra petita sendiri banyak Dalam hal menghadapi suatu persoalan
dipelajari di bidang hukum perdata dengan hukum yang diajukan ke pengadilan, hakim
keberadaan peradilan perdata yang lebih hanya menimbang hal-hal yang diajukan
tua berdiri sejak ditetapkan kekuasaan para pihak dan tuntutan hukum yang
kehakiman di Indonesia. didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita
Pijakan hukum ultra petita sendiri atau ultra petita non cognoscitur). Hakim
diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het hanya menentukan, adakah hal-hal yang
Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta diajukan dan dibuktikan para pihak itu dapat
padanannya dalam Pasal 189 (2) dan (3) membenarkan tuntutan hukum mereka. Ia
Reglement tot Regeling van het Rechtswezen tidak boleh menambah sendiri hal-hal yang
in de Gewesten Buiten Java en Madura (RBg) lain, dan tidak boleh memberikan lebih dari
yang melarang seseorang hakim memutus yang diminta.
melebihi apa yang dituntut (petitum). Jadi dalam peradilan perdata, jelas
Ketentuan HIR merupakan hukum bahwa ultra petita tidaklah diperkenankan
acara yang berlaku di pengadilan perdata oleh undang-undang dan manakala ternyata
di Indonesia. Namun demikian, dalam terjadi pelanggaran oleh hakim, maka
perkembangannya, ultra petita bukan lagi putusan dimaksud bisa dibawa ke dalam
hanya terjadi di pengadilan perdata, tetapi upaya hukum lebih lanjut, seperti kasasi dan
juga telah merambah ke pengadilan lain, peninjauan kembali.
termasuk pengadilan Mahkamah Konstitusi Namun hal yang amat berbeda justru
sebagai lembaga yang berwenang untuk kita temukan dalam hukum acara Mahkamah
mengawal konstitusi. Konstitusi. Masalah ultra petita tidak diatur
Pada prinsipnya, penerapan ultra petita sama sekali. Objek perkara atau objectum
tidaklah diperkenankan, sehingga judex litis di MK berbeda dengan peradilan perdata
factie yang melanggar dengan alasan “salah yang melindungi orang perorangan. Objek

4
I.P.M. Ranuhandoko, 2000, Terminologi Hukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 522.
5
“Ultra Petita dan Mahkamah Konstitusi”, http://arfanhy.blogspot.com/2009/05/ultra-petita-dan-makkamah-
konstitusi.html, diakses pada 25 November 2009.
Siallagan, Masalah Putusan Ultra Petita 75

MK lebih bersifat hukum publik, tidak kekuasaan yang ada dan menghindarkan tin-
hanya melindungi kepentingan pihak-pihak dakan-tindakan hegemoni, tirani, dan sen-
yang berperkara, akan tetapi tidak kalah tralisasi kekuasaan, untuk menjaga agar ti-
penting di luar para pihak, yaitu seluruh dak terjadi tumpang tindih antar kewe­nangan
rakyat Indonesia. MK adalah penjaga dan yang ada. Dengan mendasarkan pada prinsip
penafsir konstitusi, serta penjaga demokrasi negara hukum, maka sistem kontrol yang
dan pelindung hak-hak konstitusional warga relevan adalah sistem kontrol yudisial.
negara, sehingga karakter dan asas-asas yang
berlaku berbeda dengan peradilan lain. 3. Penyelenggaraan Negara yang
Bersih
C. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Sistem pemerintahan yang baik menis-
Sebelum melihat lebih jauh mengenai cayakan adanya penyelenggaraan negara
kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah yang bersih, transparan dan partisipatif.
Konstitusi, maka perlu kiranya dipahami
hal-hal yang melatarbelakangi pembentukan 4. Perlindungan Terhadap Hak Asasi
Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Menurut Manusia
Afiuka Hadjar, dkk, ada 4 (empat) hal yang Kekuasaan yang tidak terkontrol
melatarbelakangi pembentukan Mahkamah se­ringkali melakukan tindakan semena-
Konstitusi, yaitu: mena dalam penyelenggaraan negara dan
tidak segan-segan melakukan pelanggaran
1. Paham Konstitusionalisme terhadap HAM.
Paham Konstitusionalisme adalah Selain itu, berdirinya lembaga kons­
suatu paham yang menganut adanya pem­ titusi merupakan konsekuensi dianutnya
batasan kekuasaan. Paham ini memiliki dua Rechstaat dalam ketatanegaraan di Indone-
esensi yaitu pertama sebagai konsep negara sia. Otomatis akan terjadi pemisahan kekua-
hukum, bahwa hukum mengatasi kekuasaan saan dan mekanisme check and balances
negara, hukum akan melakukan kontrol antarlembaga. Mahkamah Konstitusilah
terhadap politik, bukan sebaliknya, kedua yang akan melakukannya terhadap peraturan
adalah konsep hak-hak sipil warga negara perundang-undangan yang dibuat oleh le-
menyatakan, bahwa kebebasan warga gislatif.
negara dan kekuasaan negara dibatasi oleh Dalam melakukan tugasnya yang
konstitusi. telah diamanatkan UUD 1945, Mahkamah
2. Sebagai Mekanisme Check and Konstitusi terdiri dari sembilan orang hakim
Balances konstitusi. Presiden, DPR, dan Mahkamah
Sebuah sistem pemerintahan yang Agung mengajukan masing-masing 3
baik, antara lain ditandai adanya mekanisme orang sebagai hakim konstitusi. Sementara
check and balances dalam penyelenggaraan menyangkut tugas dan kewenangannya
kekuasaan. Check and balances memung- sebagaimana diatur dalam UU 24/2003
kinkan adanya saling kontrol antar cabang tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah
76 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 1, Februari 2010, Halaman 1 - 200

Konstitusi memiliki beberapa kewenangan, 3. Memutus pembubaran partai politik.


di antaranya: Pembubaran terhadap partai politik
1. Menguji undang-undang terhadap terjadi apabila ideologi, asas, tujuan,
UUD 1945. Sebagai pelindung hak program, dan kegiatan partai politik
konstitusional warganegara, Mahkamah yang bersangkutan, dianggap ber­
Konstitusi mempunyai wewenang tentangan dengan UUD 1945. Di sini
untuk melakukan pengujian undang- dibutuhkan peran serta MK dalam
undang terhadap UUD 1945. Melalui menyelesaikan persoalan partai politik.
proses pengujian (uji materil) terhadap 4. Memutus perselisihan tentang hasil
undang-undang maka Mahkamah pemilihan umum. Pemilihan umum
Konstitusi dapat menilai apakah suatu adalah sarana untuk melakukan
pasal atau keseluruhan undang-undang pergantian pemimpin bangsa secara
dikatakan tidak sesuai dengan undang- aman dan tertib. Dengan pemilu, maka
undang dasar. Sehingga Mahkamah proses perpindahan jabatan penguasa
Konstitusi dapat menyatakan bahwa akan dapat berjalan secara demokratis.
suatu undang-undang tidak dapat Pemilihan umum sangat penting dalam
berlaku karena bertentangan dengan menentukan arah bangsa ke depan oleh
UUD 1945. karena itulah jika terjadi sengketa para
2. Memutus sengketa kewenangan lem- pihak akan berusaha untuk menang.
baga negara yang kewenangannya di- Sebelum amandemen terhadap UUD
berikan oleh UUD 1945. Dalam hal 1945 penyelesaian sengketa pemilu
terjadi sengketa kewenangan antar lem- dilakukan oleh pemerintah. Sengketa
baga negara maka Mahkamah Konsti- pemilu akan dilaporkan kepada Panitia
tusi akan memutuskan apakah lembaga Pengawas Pemilu yang kemudian akan
negara tersebut memiliki wewenang diteruskan pada Menteri Dalam Negeri.
terhadap apa yang diajukan pemohon. Pada ahirnya, Presiden jugalah yang
Sebelumnya, lembaga negara yang memutuskan sengketa hasil pemilu,
bersengketa harus mengajukan permo- yang pada masa Orde Baru selalu
honan secara tertulis kepada Mahka- dimenangkan oleh Golkar. Saat ini hasil
mah Konstitusi. Sebelum terbentuknya pemilu, termasuk pilkada ditangani oleh
Mahkamah Konstitusi, sengketa an- Mahkamah Konstitusi agar netralitas
tar lembaga negara diselesaikan oleh tetap terjaga.
Majelis Permusyawaratan Rakyat 5. Mahkamah Konstitusi wajib memberi­
(MPR). Akan tetapi, karena pada saat kan putusan atas pendapat DPR bahwa
itu MPR adalah lembaga politik, maka Presiden dan/atau Wakil Presiden
keputusannya sering beraroma politik. diduga telah melakukan pelanggaran
Oleh sebab itulah, maka dibutuhkan hukum berupa pengkhianatan terhadap
satu lembaga negara yang terlepas dari negara, korupsi, penyuapan, tindak
segala kepentingan politik dan dapat pidana berat lainnya, atau perbuatan
bekerja secara independen. tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi
Siallagan, Masalah Putusan Ultra Petita 77

syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil ki norma hukum UUD 1945 sebagai
Presiden sebagaimana dimaksud dalam hukum tertinggi. UU dapat diganggu gugat
UUD 1945. karena bukan merupakan produk lembaga
pemegang kedaulatan rakyat, dan hanya
D. Kewenangan Menguji Undang- produk pemegang kedaulatan hukum (legal
Undang (Judicial Review) sovereignty) kedua sehingga harus tunduk
Dari sekian banyak kewenangan dengan produk pemegang kedaulatan hukum
yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, pertama yakni UUD 1945 dan Tap MPR.
kewenangan yang paling banyak mendapat Sejak kemerdekan Indonesia UU di-
perhatian dari kalangan publik adalah perlakukan “sakral”, termasuk UUD 1945
kewenangan untuk mengadili pada tingkat dan Tap MPR. Secara tegas, UU dapat diuji
pertama dan terakhir yang putusannya berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/2000
bersifat final UU terhadap UUD 1945 atau tentang Sumber Hukum dan Tata Urut­
yang sering disebut dengan istilah judicial an Peraturan Perundang-undangan. MPR
review. satu­-­satunya yang berhak menguji dengan
Pengujian UU sendiri sebelumnya ang­gapan sesuai struktur ketatanegaraan.
oleh sebagian ahli hukum tata negara masih Sehingga MPR menguji konstitusionalitas
ditentang, karena UU merupakan produk dapat dengan pembatalan (invalidation)
badan legislatif tertinggi, setidaknya produk abstrak-formal dan kekuasaan Mahkamah
2 (dua) lembaga tinggi negara. Kalaupun Agung (MA) mengadili perkara dengan
bisa diuji yang berhak satu-satunya adalah pembatalan praktikal.7
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Pasal 11 ayat (3) UU 4/2004 tentang
sebagai lembaga tertinggi negara. Di samping Kekuasaan Kehakiman menambah wewe­
itu, penolakan mereka selalu dikaitkan ajaran nang MA dengan menyatakan tidak berlaku
trias politika dengan pemisahan kekuasaan peraturan di bawah UU melalui pembatalan
(separation of power) yang tidak dianut, abstrak-formal dengan permohonan lang­
bentuk negara Indonesia kesatuan, dan sung.8
anggapan produk DPR dan Presiden sangat Kekuasaan MPR menguji UU mes­
mustahil inkonstitusional.6 kipun dibenarkan, akan tetapi memiliki
Sebaliknya yang berpandangan pro­ banyak kelemahan yaitu: MPR sebagai
gresif memandang UU, termasuk Ketetapan lembaga politik, alat-alat kelengkapan dan
MPR (Tap MPR) jika bertentangan dengan sidang-sidang MPR tidak mendukung,
UUD harus dikalahkan berdasarkan hierar­ soal konflik norma hukum tidak layak

6
Miftakhul Huda, “Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi, Volume 4 No. 3, Sep-
tember 2007.
7
Philipus Mandiri Hadjon, “Wewenang Mahkamah Agung Menguji (In)Konstitusionalitas Undang-Undang
(Suatu Analisis atas Memorandum IKAHI tanggal 23 Oktober 1966)”, Jurnal Yuridika, No. 5 dan 6 Tahun XI,
Sept-Des 1996, hlm. 32.
8
Pasal ini menjadi Pasal 20 ayat (3) dalam UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan
bahwa UU 4/2004 dicabut dan tidak berlaku lagi.
78 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 1, Februari 2010, Halaman 1 - 200

ditetapkan konstitusionalitasnya dengan khususnya masalah ultra petita. Bagi sebagian


voting, masalah hukum berubah menjadi kalangan, dengan tugas menguji UU, dapat
masalah politik serta MPR menguji UU pada disimpulkan bahwa MK telah memasuki
dasarnya menguji produknya sendiri karena ranah legislatif. Sementara menyangkut
DPR sebagai unsur utama MPR9. masalah putusan ultra petita dalam MK
MPR hampir tidak pernah menguji jelas tidak sesuai asas hukum perdata yang
produk DPR dan presiden, baik semenjak melarang ultra petita serta ketentuan ultra
MPR terbentuk, maupun setelah tahun 2000 petita sendiri tidak diatur dalam UUD 1945
sejak ditegaskan hak mengujinya. MPR maupun dengan UU 24/2003.
pernah melakukan pengujian berdasarkan
Tap MPRS No. XIX/MPRS/1966 jo. No. E. Putusan Ultra Petita Mahkamah
XXXIX/MPRS/1968 tentang peninjauan Konstitusi
kembali produk-produk legislatif di luar Selama dalam menjalankan tugas dan
MPRS yang tidak sesuai UUD 1945, akan tanggungjawabnya, MK sudah beberapa
tetapi pelaksanaan pengujian dilakukan kali membuat putusan ultra petita. Putusan-
sendiri oleh pembentuk UU, bukan oleh putusan dimaksud adalah sebagai berikut:
MPRS10. Pertama, pengujian Pasal 20 UU 20/2002
Ditetapkannya lembaga tersendiri tentang Ketenagalistrikan oleh APHI, PBHI,
di luar MA, berdasarkan pemikiran Yayasan 324 dkk (Pemohon I), pengujian
mengatasi kelemahan-kelemahan di atas Pasal 16, Pasal 17 ayat (3) serta Pasal 68
dan konse­kuensi dianutnya dalam UUD UU 20/2002 tentang Ketenagalistrikan oleh
1945 pascaamandemen dengan paham Ir. Ahmad Daryoko, dan M. Yunan Lubis,
pemisahan kekuasaan dengan prinsip checks S.H., (Pemohon II) dan Pengujian Undang-
and balances antarlembaga negara. Paham Undang 20/2002 tentang Ketenagalistrikan,
pemisahan kekuasaan ini berpengaruh atau setidak-tidaknya Pasal 8 ayat (2) huruf f,
terhadap mekanisme kelembagaan dan Pasal 16 Pasal 22, dan Pasal 68 oleh Ir. Januar
hubungan antarlembaga negara, termasuk Muin dan Ir. David Tombeng (Pemohon
penegasan sistem pemerintahan presidensial III) dalam Perkara No. 001-021-022/PUU-
dengan penataan sistem parlemen dua I/2003 tanggal 15 Desember 2004.
kamar (bicameralism), pemilihan presiden Kedua, pengujian Pasal 2 ayat
langsung termasuk soal judicial review. (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3,
Dalam menjalankan kewenangan Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang
meng­­uji konstitusionalitas UU, MK sangat mengenai kata “percobaan”) UU 31/1999
banyak mendapat kritik mengenai substansi tentang Pemberantasan Tindak Pidana
perkaranya dan bagaimana hukum formilnya Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

9
Lihat UU 6/1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai UU dan Perpu.
10
Lihat UU 7/1969 tentang Penetapan Berbagai Perpu Menjadi UU, Kansil, 1976, Kedudukan dan Ketetapan
MPR Lembaga Tertinggi Negara, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 58-59; Lihat juga buku Mas Subagio, 1983,
Lembaran Negara Republik Indonesia Sebagai Tempat Pengundangan dalam Kenyataan, Penerbit Alumni,
Bandung, hlm. 157-161.
Siallagan, Masalah Putusan Ultra Petita 79

UU 20/2001 tentang Perubahan Atas UU Yudisial tidak dapat mengawasi Hakim


31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Konstitusi, sesuatu hal yang sebenarnya
Pidana Korupsi (UU PTPK) oleh Ir. Dawud tidak diminta oleh pemohon. Padahal
Djatmiko dalam perkara No. 003/PUU- para pemohon tidak memohonkan pada
IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Mahkamah Konstitusi untuk menilai hakim
Ketiga, pengujian Pasal 1 angka 5, mana yang harus diawasi oleh Komisi
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 (1) huruf e dan Yudisial.
ayat (5), Pasal 23 ayat (2), ayat (3) dan ayat Dari putusan tersebut justru mengindi-
(5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan kasikan bahwa ada ketakutan yang berlebih­
ayat (4) UU 22/2004 tentang Komisi Yudisial an dari para hakim konstitusi bahwa bila
(UU KY), serta Pasal 34 ayat (3) UU 4/2004 suatu saat kelak, ada pihak yang mencoba
tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) melakukan pengawasan terhadap kinerja
sepanjang menyangkut Hakim Agung dan mereka. MK seolah ingin membebaskan diri
Hakim Mahkamah Konstitusi oleh Prof. dari berbagai bentuk pengawasan kinerja,
Paulus Efendi Lotulung dkk., dalam perkara termasuk oleh Komisi Yudisial.
No. 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus Dari putusan ini juga sudah timbul
2006. persoalan baru, bahwa layakkah MK me­
Keempat, pengujian Pasal 27, Pasal 44, mutuskan suatu perkara yang menyangkut
Pasal 1 ayat (9) UU 27/2004 tentang Komisi dirinya sendiri. MK memutuskan bahwa
Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) oleh mereka tidak termasuk dalam kategori
ELSAM dkk., dalam perkara No. 006/PUU- pengawasan Komisi Yudisial, tentu hal ini
IV/2006 tanggal 7 Desember 2006. mengindikasikan bahwa penafsiran yang
Kelima, pengujian Pasal 6 dan 12 UU diberikan MK justru hendak memperkokoh
30/2002 tentang Komisi Pemberantasan posisi mereka dari berbagai bentuk meka­
Korupsi (UU KPK) (Pemohon I), pengujian nisme pengawasan.
Pasal 1 ayat (3), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 11
huruf b, Pasal 12 ayat (1) huruf a, Pasal 20 F. Ultra Petita dan Lembaga Superior
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 40 dan Pasal 53 Seyogyanya putusan hakim tidak
UU KPK (Pemohon II) dan pengujian Pasal boleh bersifat ultra petita (melebihi tuntutan
72 UU KPK (Pemohon III) dalam perkara penggugat) tetapi dimungkinkan adanya
No. 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 reformatio in peius (membawa penggugat
Desember 2006. dalam keadaan yang lebih buruk) sepanjang
Dari sekian banyak putusan ultra petita diatur dalam UU. Hal inilah yang menjadi
yang dikeluarkan oleh MK, yang paling dasar untuk mengeluarkan putusan yang
banyak menyedot perhatian publik adalah melebihi petitum. Ultra petita merupakan
putusan yang mengabulkan permohonan pelanggaran serius terhadap UU MK terjadi
uji materiil terhadap UU 22/2004 Tentang karena tidak ada peraturan atau ketentuan
Komisi Yudisial. Dalam putusan tersebut, dalam UU MK yang membolehkan MK
Mahkamah Konstitusi menyatakan Komisi memutuskan melebihi apa yang dimohonkan.
80 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 1, Februari 2010, Halaman 1 - 200

Padahal menurut Pasal 5 ayat 1 huruf b tusan inkonstitusionalnya pasal yang dimo-
Peraturan MK No.06/PMK/2005 dan Pasal honkan, maka putusan inkonstitusionalitas
51 ayat (3) UU MK, setiap permohonan harus dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan un-
disertai uraian petita yang jelas: “kedudukan dang-undang tersebut”. Mahkamah Konsti-
hukum (legal standing) Pemohon yang tusi melakukan ultra petita dengan alasan
berisi uraian yang jelas mengenai anggapan bahwa dalil yang dinyatakan Mahkamah
Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan Konstitusi untuk membatalkan keseluruhan
konstitusional Pemohon yang dirugikan UU di luar permohonan pemohon, karena
dengan berlakunya UU yang dimohonkan menyangkut kepentingan masyarakat luas,
untuk diuji”. 11 serta menimbulkan akibat hukum yang lebih
Kekosongan hukum dalam hukum luas dari pada sekadar mengenai kepenting-
acara Mahkamah Konstitusi memang me- an Pemohon sebagai perorangan.
nyulitkan bagi para hakim dalam menjalan­ Menurut mantan Ketua MK, Jimly
kan praktek beracara Mahkamah Konstitusi. Asshiddiqie, boleh saja putusan MK
Sumber hukum yang menjadi acuan selama memuat ultra petita jika masalah pokok
ini adalah Peraturan Mahkamah Konstitusi yang dimintakan review terkait pasal-pasal
Nomor 06/2005 tentang pedoman beracara lain dan menjadi jantung dari UU yang harus
dalam perkara pengujian undang-undang. diuji itu. Menurut Jimly, larangan ultra
Namun dalam peraturan ini tidak mengatur petita hanya ada dalam peradilan perdata.
batasan apakah Mahkamah Konstitusi boleh Sedangkan mantan Ketua Mahkamah Agung
melakukan ultra petita. Oleh karena itulah (MA) Bagir Manan, mengatakan bahwa ultra
Mahkamah Konstitusi mengadopsi berbagai petita dalam putusan MK dapat dibenarkan
aturan dalam hukum acara terutama hukum asal dalam permohonan judicial review
acara peradilan tata usaha negara. atas isi UU itu pemohon mencantumkan
Mahkamah Konstitusi juga mengadop- permohonan ex aequo et bono (memutus
si peraturan yang berasal dari negara lain demi keadilan).
yang memiliki lembaga constitutional court. Yang menjadi permasalahan utama
Ultra petita yang dilakukan oleh Mahkamah dalam putusan yang bersifat ultra petita
Konstitusi mendasarkan pada pasal 45 UU adalah ketiadaan dasar hukum. Seandainya
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan yang ultra petita diperbolehkan dan diatur secara
berbunyi: “Mahkamah Konstitusi memutus jelas dalam undang-undang maka akan jelas
konstitusionalitas tidaknya satu undang-un- mekanismenya. Yang dikhawatirkan bahwa
dang atau suatu ketentuan dari undang-un- Mahkamah Konstitusi melakukan tindakan
dang hanya yang dimohonkan pengujian. yang tidak diatur dalam undang-undang.
Dalam hal seluruh ketentuan dalam undang- Sehingga terkesan bahwa Mahkamah Kons­
undang yang dimohonkan pengujian dinilai titusi adalah lembaga superior.
tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat pu-

11
Lihat Pasal 5 ayat (1) huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi No.06/PMK/2005 dan Pasal 51 ayat (3) UU
24/2003.
Siallagan, Masalah Putusan Ultra Petita 81

Untuk menguji salah satu putusan tangani, sehingga dengan demikian, maka
Mahkamah Konstitusi, pada 22–23 Agus- putusan yang dikeluarkan tidak terkesan ca-
tus 2006, satu forum expert meeting untuk cat hukum dan tanpa landasan yuridis.
melakukan eksaminasi (pengujian akade-
mis) atas putusan MK No 03/PUU-IV/2006 G. Kesimpulan
telah dilakukan di UGM Yogyakarta. Pe- Berdasarkan latar belakang dan uraian
nyelenggara eksaminasi adalah Pusat Ka- dalam pembahasan mengenai putusan ultra
jian Anti Korupsi (Pukat Korupsi) Fakultas petita dalam pengujian Undang-Undang
Hukum UGM, Partnership Kemitraan, dan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ter­
Indonesian Court Monitoring (ICM). Perde- sebut di atas, maka dapat disimpulkan
batan tentang apakah MK telah benar-benar bahwa secara yuridis, putusan ultra petita
melakukan ultra petita atau tidak berlang- tidak mendapat payung dan landasan hukum
sung sampai dua hari. Semula pendapat para yang memadai. Oleh sebab itu, maka tidak
eksaminator masih terpecah. Tapi setelah ada alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk
diperdebatkan lagi dengan lebih seru, ke- mengulangi putusan yang sifatnya ultra
simpulannya tegas “MK telah dengan fatal petita. Justru dengan putusan yang demikian,
membuat putusan yang ultra petita”.12 maka tujuan pembentukan MK yang se­
Dalam pandangannya, Mahfud MD yogianya untuk melindungi dan menjamin
yang kini telah menjabat Ketua Mahkamah hak-hak konstitusional warganegara, hanya
Konstitusi juga pernah mengatakan bahwa akan menorehkan problem hukum baru di
ultra petita bukan hanya dilarang di peradilan tengah-tengah masyarakat.
perdata, tetapi juga di Mahkamah Konstitusi. Hak-hak konstitusional warga Negara
Sebab kalau ultra petita diperbolehkan, maka akan semakin terancam ketika MK dengan
MK bisa mempersoalkan seluruh isi dalam penuh multitafsir memberikan putusan yang
UU yang tidak dipersoalkan oleh siapapun bertentangan dengan hukum. Sementara
dengan alasan bahwa sangat penting dan menyangkut alasan pembenar sebagaimana
diperlukan untuk kebaikan.13 yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie,
Sementara kelahiran MK sendiri di- bahwa sepanjang menyangkut pokok per­
maksudkan untuk memberikan perlindungan kara, maka putusan ultra petita mendapat
terhadap hak-hak konstitusional warga Nega­ pembenaran, tentu tidaklah dapat diamini
ra. Bukannya malah membuat ketidakpas- begitu saja. Apalagi definisi menyangkut
tian terhadap proses perlindungan terhadap pokok perkara tidak tertuang secara jelas
hak-hak konstitusional setiap warganegara. dalam berbagai aturan yang ada.
MK seyogianya harus tetap berpedoman Oleh karenanya, walaupun MK
pada ketentuan yang ada dalam mengambil sudah mendapat mandat sebagai penafsir
setiap putusan atas perkara yang sedang di- tunggal konstitusi, namun bukan berarti

12
Mahfud MD, “Kontroversi Vonis Ultra Petita”, http://arfanhy.blogspot.com/2008/09/kontroversi-vonis-ultra-
petita.html, diakses pada 20 November 2009.
13
Mahfud MD, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Cetakan Pertama Mei
2007, LP3S, Jakarta,hlm. 73.
82 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 1, Februari 2010, Halaman 1 - 200

bahwa tafsirannya bisa dilakukan dengan ada, sebab bila tidak maka lembaga ini
tanpa batasan. Dalam menjalankan tugas akan benar-benar menjadi lembaga yang
dan tanggungjawabnya, selayaknya MK superbody.
harus berpedoman pada aturan hukum yang

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku C. Surat Kabar/Internet


Prodjodikoro, Wirjono, 1983, Asas-Asas “Ultra Petita dan Mahkamah Konstitusi”
Hukum Tata Negara di Indonesia, http://arfanhy.blogspot.com/2009/05/
Cetakan Kelima, Penerbit Dian Rakyat, ultra-petita-dan-makkamah-konstitusi.
Jakarta. html, diakses pada 25 November 2009.
Ranawijaya, Usep, 1983, Hukum Tata Aliansi Nasional Reformasi Hukum, “Putusan
Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Mahkamah Konstitusi Ultra Petita?”,
Ghalia Indonesia, Jakarta. http://reformasikuhp.org/opini/?p=11,
I.P.M., Ranuhandoko, 2000, Terminologi diakses pada 29 November 2009.
Hukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, M.D., Mahfud, “Kontroversi Vonis Ultra
Jakarta. Petita”, http://arfanhy.blogspot.com/
M.D., Mahfud, 2007, Perdebatan hukum Tata 2008/09/kontroversi-vonis-ultra-petita.
Negara Pasca Amandemen Konstitusi, html, diakses pada 20 November 2009.
Cetakan Pertama Mei, LP3S, Jakarta. Simamora, Janpatar, “Menyempurnakan
Subagio, 1983, Lembaran Negara Sis­tem Ketatanegaraan Melalui Aman­
Republik Indonesia Sebagai Tempat demen UUD 1945”, Harian Analisa, 5
Pengundangan dalam Kenyataan, Maret 2007.
Penerbit Alumni, Bandung. Wongbanyumas, “Ultra Petita Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia” http://
B. Jurnal fatahilla.blogspot.com/2008/06/ultra-
Huda, Miftakhul, “Ultra Petita Dalam petita-mahkamah-konstitusi.html,
Pengujian Undang-Undang”, Jurnal diakses pada 26 November 2009.
Konstitusi, Volume 4 No. 3, September
2007. D. Peraturan Perundangan
Hadjon, Philipus Mandiri, “Wewenang Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/
Mahkamah Agung Menguji (In)Konsti­ PMK/2005.
tusionalitas Undang-Undang (Suatu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
Analisis atas Memorandum IKAHI tentang Mahkamah Konstitusi.
tanggal 23 Oktober 1966)”, Jurnal Undang-undang Dasar Negara Republik
Yuridika, No. 5 dan 6 Tahun XI, Sept- Indonesia Tahun 1945.
Des 1996.
Siallagan, Masalah Putusan Ultra Petita 83

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003


tentang Pernyataan Tidak Berlakunya tentang Mahkamah Konstitusi.
Berbagai UU dan Perpu. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1969 tentang Kekuasaan Kehakiman.
tentang Penetapan Berbagai Perpu
Menjadi Undang-Undang.

Anda mungkin juga menyukai