Anda di halaman 1dari 2

Bentuk Otoritas Moral Dan Amoral

Pandangan Ibn Khaldun tentang hubungan antara Kekhalifahan dan kedaulatan (mulk),Yakni
Antara otoritas Islam dan otoritas politik-alami serta fungsi-fungsinya. Pandangan-pandangan itu
mengantarkan kita pada dialektika antara ilmu budaya dan wahyu; antara kekuatan-kekuatan alami
kedaulatan yang muncul dari ‘shobiyyah dan keadilan tuhan.

Ada tiga macam rezim (kedaulatan yang dapat muncul ditengah komunitas manusia, yang
pertama adalah “kedaulatan alami” yang muncul dari sentimen kelompok. Disini, “rakyat selaras
dengan ambisi pribadi dan hasrat-hasrat pemimpin yang tak terkendali”. Kedua, manusia mungkin
mempunyai pemerintahan yang sesuai dengan hukum yang dirancang oleh orang-orang yang pandai
dan bijak, namun hanya didasarkan berdasarkan rasional, sehingga hanya mementingkan
kepentingan duniawi, dan karenanya patut disalahkan. Ketiga, negara yang digambarkan oleh para
filsuf sebagai “negara ideal”, yang penduduknya memerintah sendiri tanpa perlu penguasa tunggal,
akan tetapi negara seperti ini tidak akan terwujud, sehingga membahasnya hanya sekedar hipotesis.

Mungkin manusia memiliki pemerintahan yang sesuai dengan hukum yang “ditetapkan oleh
Tuhan dan diajarkan oleh seorang pembuat hukum yang menerima wahyu”. Negara semacam ini
adalah “negara yang berlandaskan agama”. Yang dibentuk demi kebaikan sejati di dunia dan di
akhirat. Ini adalah rezim para nabi dan para pengganti mereka khalifah.

Akan tetapi peran ganda para nabi dan khalifah ini menimbulkan masalah bagi ibn khaldun,
karena pertama, ia telah mendeskripsikan masyarakat politik sebagai kelompok yang muncul dari
dorongan spontan sifat dasar manusia, dengan kata lain , negara sekuler boleh jadi sangat baik,
tetapi tetap tidak sebaik negara islam.

Problem kedua muncul karena pandangan bahwa jabatan khalifah tak lagi ada setelah empat
khalifah rasyidin yang adil. Sebuah proses yang dianalisis oleh oleh ibn khaldun dengan cara yang
sangat bagus. Pertama pemerintah kekhalifahan yang adil dipadukan dengan sentimen kelompok
dan kerajaan. Sebenarnya muhammad SAW mencela ashobiyyah dan kerajaan, tetapi hanya aspek-
aspeknya yang membahayakan; Muhammad SAW mengutuk ashobiyyah dengan alsan ashobiyyah
sangat mungkin menyelewengkan keadilan.

Maka dari itu pemimpin muslim sejak awal abbasiyah sejak sekarang , memerintah dengan
perpaduan antara syari’at dan hukum sekuler. Hukum sekuler meliputi sebagian norma-norma
filosof untuk kesejahteraan publik, yang didasarkan atas nalar, namun juga mencakup kaidah-
kaidahyang dirancang untuk meningkatkan kekuasaan pemimpin dan kepentingan dekat mereka.

Hal ini mengindikasikan bahwa ia membedakaan dengan tegas, walaupun tidak secara
eksplisit, antara masa gemilang kekhalifahan disatu sisi dan syari’at disisi lain; satu sisi secara
perlahan menghilang sisi lain bertahan.

Ada beberapa permasalahan dan ibn khaldun tidak saja jujur namun juga ironis ketika
mengatakan bahwa ulama dewasa ini adalah “kaum urban yang lemah”. Yang dicirikan oleh
kebudayaan menetap, kebiasaan hidup mewah, ketenangan, dan tidak mampu menjaga
[kehormatan] dirinya.
ibn khaldun mungkin saja tidak religius tetapi rupanya bertekad untuk meletakkan baik
kebangkitan islam maupun kesulitan-kesulitannya yang sedang dihadapi dalam konteks sosialnya
yang tepat, tidak membiarkan keyakinan agama mengaburkan observasi terhadap fakta-fakta, salah
satu tujuan sosiologi ibn khaldun adalah menetapkan syarat-syarat yang memungkinkan munculnya
kembali kesalehan primordial dan semangat keagamaan apa yang disampingkan dalam teori
sosialnya adalah kemungkinan kekhalifahan tradisional tetap ada sebagai sebuah institusi permanen
(kecuali kalau ada intervensi tuhan).

Anda mungkin juga menyukai