Anda di halaman 1dari 8

Bab 2.

Metode Kimia Komputasi dan Himpunan Basis

Untuk metode perhitungan pada kimia komputasi, secara umum dapat dibagi menjadi dua
yaitu mekanika molekuler (MM) dan metode struktur elektronik yang berdasarkan pada
mekanika kuantum (QM) (Pranowo, 2011). Metode MM lazimnya digunakan untuk sistem
dengan atom banyak (> 100 atom). Pada metode ini, waktu yang digunakan relatif singkat tetapi
kurang akurat. Contoh metode perhitungan MM yaitu MM2 (Jensen, 2007), MM4, AMBER,
CHARMM dan OPLS. Berbeda dengan metode MM, pada metode QM jumlah atom umumnya
sedikit, memiliki akurasi yang tinggi dan dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk
menyelesaikan perhitungan. Berdasarkan kualitas hasil perhitungan dapat disimpulkan bahwa
metode QM lebih baik dibandingkan dengan metode MM. Metode kimia komputasi berdasarkan
konsep QM sendiri terdiri dari metode semiempiris, ab initio dan Density Functional Theory
(DFT). Bagan singkat pembagian metode komputasi dapat dilihat pada Gambar 2.1
Metode Kimia Komputasi

Mekanika
Molekuler (MM)
Struktur Elektronik
berdasarkan
Memodelkan molekul Mekanika Kuantum
secara sederhana (QM)
berdasarkan hukum
fisika klasik dan tidak
melibatkan fungsi
gelombang atau
korelasi antar elektron.

Semiempiris Ab Initio DFT

Lebih banyak Menggunakan Berdasarkan


menggunakan hukum mekanika persamaan
approksimasi untuk kuantum untuk Schrödinger,
penyelesaian approksimasi menurunkan
persamaan persamaan distribusi elektron
Schördinger. Schrödinger dan secara langsung
Menggunakan tidak melibatkan dalam bentuk
parameter data parameter densitas elektron
eksperimental untuk eksperimental sama bukan fungsi
menyederhanakan sekali. gelombangnya.
perhitungan.

Gambar 2.1 Metode perhitungan kimia komputasi.


Metode semiempiris melibatkan perhitungan terutama pada tingkatan elektron valensi
serta masih mengacu pada data eksperimen sebagai parameter penting dalam proses
perhitungannya. Contoh beberapa metode perhitungan semiempiris diantaranya adalah CNDO,
MNDO, ZDO, ZINDO, AM1 dan PM3. Metode ab inito melibatkan seluruh elektron yang ada
pada sistem molekul (McQuarrie, 1983). Contoh metode ab inito adalah pendekatan Hatree Fock
(HF). Metode DFT menggunakan fungsi kerapatan elektron pada proses perhitungannya.
Beberapa fungsi perhitungan DFT diantaranya adalah LSDA, BPV86, B3LYP, MPW1PW91,
PBEPBE, PBE1PBE, B3PWE9, HCTH dan THCTH.

2.2 Metode Struktur Elektronik.

Metode perhitungan kimia komputasi struktur elektronik menggunakan konsep mekanika


kuantum yang didasarkan pada persamaan Schrödinger (2.1), mengabungkan energi (E), fungsi
gelombang (ψ) dan operator Hamiltonian (Ĥ) menjadi satu.
Ĥ ψ =E ψ 2.1
Fungsi gelombang (ψ) adalah fungsi posisi elektron dan inti atom, menggambarkan elektron
dalam sistem sebagai gelombang. Simbol Ĥ adalah operator yang terdiri dari bagian energi
kinetik dan energi potensial. Dalam satuan atom, Hamiltonian suatu sistem dinyatakan dengan
rumus:

Ĥ ∑ ∑ ∑∑ ∑∑ ∑∑

2.2
dimana MA adalah rasio masa inti A terhadap masa elektron, Z menyatakan muatan inti, riA
menyatakan jarak antara elektron i dengan inti A,rij menyatakan jarak antara elektron i dengan j,
dan RAB merupakan jarak antara inti A dengan inti B.
Secara praktis, persamaan Schrödinger ini hanya dapat dipecahkan secara eksak hanya
untuk sistem berelektron tunggal, tetapi untuk sistem berelektron lebih dari satu misalnya pada
sistem molekul hidrogen (H2), persamaan Schrödinger hanya dapat diselesaikan menggunakan
pendekatan (aproksimasi). Oleh sebab itu, metode perhitungan komputasi mencoba
mengembangkan pendekatan matematis untuk memecahkan persamaan Schrödinger untuk
sistem berelektron banyak.

2.2.1 Pendekatan Hartree Fock (HF) dan Möller-Plesset 2 (MP2)

Metode HF adalah tipe paling sederhana dari metode ab initio dan merupakan metode
yang mendasari pengembangan metode ab inito yang lain. Salah satu keuntungan dari metode
HF adalah penggantian interaksi elektron-elektron dengan interaksi rata-rata elektron untuk
memecahkan persamaan Schrödinger atau persamaan Schrödinger yang melibatkan banyak
elektron disederhanakan menjadi banyak persamaan untuk elektron tunggal sehingga
perhitungan menjadi relatif lebih cepat. Salah satu keterbatasan metode HF adalah tidak
melibatkan korelasi elektron. Dalam pendekatan HF, kebolehjadian menemukan elektron pada
posisi tertentu dari suatu molekul tergantung pada jarak elektron dengan inti atom bukan jarak
antar elektron. Tentu secara fisik pendekatan ini tidak pernah ada pada kondisi nyata (Cramer,
2004).
Seperti metode semiempiris, metode HF juga telah digunakan untuk menentukan
selektivitas eter mahkota terhadap kation logam (Feller dkk., 1997; Yahmin dkk., 2010 dan
2012). Metode HF banyak digunakan pada sistem komplek kation-eter mahkota dari golongan
alkali (Li+, Na+, K+, Rb+, Cs+) dan alkali tanah (Mg2+, Ca2+, Sr2+, Ba2+ dan Ra2+) terutama karena
konfigurasi elektronnya yang penuh atau berpasangan. Untuk unsur golongan transisi, lantanida
dan aktinida yang memiliki lebih banyak elektron dan sebagian besar memiliki elektron tidak
berpasangan pada konfigurasi elektronnya, metode HF memiliki keterbatasan disebabkan oleh
kontaminasi spin yang cukup besar saat proses perhitungan sehingga minimum global sulit
tercapai terutama untuk perhitungan unrestricted HF. Faktor korelasi antar elektron yang tidak
terdapat pada metode HF juga menyebabkan metode ini tidak dipergunakan untuk atom dengan
elektron banyak seperti uranium.
Pada 1934 Möller dan Plesset mendeskripsikan cara melakukan koreksi korelasi antar
elektron pada metode HF. Metode yang diperkenalkan oleh Möller dan Plesset ini kemudian
dikenal secara luas sebagai salah satu metode ab initio yang melibatkan korelasi antar elektron,
Möller-Plesset Perturbation Theory disingkat MPn, dimana n adalah orde korelasi. Jadi metode
MP2 adalah metode MP dengan orde korelasi 2 dimana semakin tinggi tingkat orde korelasi
semakin rumit tingkatan perhitungan sehingga semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan perhitungan komputasi.
Metode MP2 juga digunakan dalam perhitungan kompleks kation-eter mahkota tetapi
masih sebagai kombinasi metode HF dan DFT serta sangat terbatas terutama hanya untuk
perbandingan penentuan akurasi perhitungan energi interaksi kompleks kation-etermahkota.
Feller dkk. (1996) dan Diao dkk. (2011) mengkaji kompleks kation alkali dan alkali tanah eter
mahkota menggunakan masing-masing kombinasi metode HF dan MP2 serta DFT dan MP2.
Secara energi interaksi terdapat sedikit perbedaan akurasi perhitungan dari perbandingan metode
di atas. Meskipun metode MP2 telah melibatkan korelasi elektron tetapi karena dikembangkan
berdasarkan fungsi gelombang dari persamaan Schrödinger maka semakin besar sistem
kompleks (semakin banyak elektron) semakin lama waktu perhitungan yang dibutuhkan. Hal ini
menjadi salah satu pertimbangan mengapa metode MP2 jarang digunakan dan belum digunakan
untuk kompleks unsur lantanida dan aktinida.
Pada penelitian ini metode HF dan MP2 akan digunakan pada tahapan awal penelitian
yaitu pada penentuan himpunan basis disertai dengan pemilihan metode yang cocok. Kedua
metode ab initio tersebut akan diujikan pada sistem kompleks eter mahkota target dan digunakan
sebagai pembanding terhadap metode DFT yang merupakan metode yang diusulkan pada
penelitian ini. Jika terbukti metode DFT dapat memberikan akurasi yang baik dengan waktu
relatif lebih singkat untuk mencapai minimum global dibandingkan dengan metode HF dan MP2
maka metode DFT akan terus digunakan dalam penelitian ini.
2.2.2 Teori Fungsional Kerapatan

Seperti dijelaskan di atas, tujuan dari kimia kuantum adalah memecahkan persamaan
Schrödinger untuk sistem berelektron banyak terutama untuk sistem molekul besar. Perlu diingat
bahwa semakin besar sistem molekul maka semakin banyak jumlah elektron dan inti, sehingga
semakin panjang dan rumit persamaan Schrödinger yang harus diselesaikan. Akibatnya adalah
waktu yang diperlukan untuk perhitungan menjadi semakin lama. Ini adalah permasalahan yang
dihadapi oleh semua metode ab initio terutama metode yang melibatkan posisi elektron dan inti
atom seperti MP2 sehingga muncullah Teori Fungsional Kerapatan atau Density Functional
Theory (DFT) yang mendasarkan perhitungannya pada kerapatan elektron bukan pada fungsi
gelombang.
Pada aplikasi kimia komputasi, DFT adalah bentuk implementasi dari teori yang
dikembangkan Kohn-Sham (KS). Teori yang dibangun oleh KS didasarkan pada dua teorema
yang diusulkan sebelumnya oleh Hohenberg dan Kohn pada 1964. Teorema pertama
melegitimasi penggunaan kerapatan elektron ρ(r) sebagai variabel dasar. Dalam bahasa DFT,
kerapatan elektron ρ(r) memiliki hubungan interaksi dengan potensial eksternal υ(r) yang
nantinya mengubah bentuk operator Hamiltoniannya.
ρ(r) υ(r) 2.3
Teorema kedua dari Hohenberg dan Kohn menentukan prinsip fungsi energi dimana
energi pada operator Hamiltonian dapat diekspresikan dalam bentuk fungsi universal dari
kerapatan elektron, untuk kondisi energi pada keadaan dasar dapat dituliskan sebagai kerapatan
elektron pada keadaan dasar.

[ ( )] [ ( ( ))] 2.4

Dimana p(r) dan Egs masing-masing adalah kerapatan elektron pada keadaan dasar dan energi
pada keadaan dasar.
Model Kohn-Sham (KS) memiliki kemiripan dengan pendekatan Hartree Fock (HF)
dengan formula yang identik untuk energi kinetik, energi elektron-inti, dan energi antar elektron.
KS membagi energi kinetik menjadi dua bagian: pertama, energi kinetik dapat dihitung secara
eksak dan merupakan bagian yang paling besar serta ekuivalen dengan energi kinetik HF,
sedangkan yang kedua adalah energi kinetik dalam bentuk pertukaran-korelasi (exchange
correlation). Secara sederhana, KS menghitung energi kinetik pertama dengan asumsi elektron
tidak berinteraksi dengan elektron yang lain (identik dengan HF). Namun secara riil, elektron
tentu berinteraksi dengan elektron lain sehingga diperlukan tambahan pertukaran-korelasi
sehingga bentukan pertukaran-korelasi kemudian dimasukkan dalam formula energi DFT.
Perbedaan antara metode DFT adalah keberadaan berbagai pilihan bentuk fungsi untuk
energi pertukaran-korelasi. Hal ini dapat dibuktikan bahwa potensial dari pertukaran-korelasi
adalah fungsi yang unik, berlaku untuk semua sistem, tetapi bentuk eksplisit dari fungsi potensial
ini rumit dan sulit diperoleh, kecuali untuk kasus khusus seperti pada kerapatan awan elektron
yang seragam. Metode penentuan pertukaran-korelasi di DFT cukup rumit dan beragam, tetapi
secara kasar dapat dibagi menjadi tiga kelas:

 Local Density Approximation (LDA)

Asumsi penting dari pendekatan ini adalah bahwa untuk sebuah molekul dengan elektron
banyak, kerapatannya seragam di seluruh molekul. Pada kondisi nyata, ini tidak berlaku bagi
molekul, dimana kepadatan elektron jelas tidak seragam. Pendekatan ini, bekerja dengan
baik dengan struktur pita elektronik padatan, yang menggambarkan berbagai energi
elektron. Di luar aplikasi ini, pendekatan LDA sangat tidak memuaskan.

 Generalized Gradient Approximations (GGA)


GGA mengacu pada fungsi pertukaran-korelasi yang menggabungkan tidak hanya
informasi tentang kepadatan elektron itu sendiri tetapi juga gradien lokal mereka.
Penggabungan dua strategi yang sukses untuk merancang perkiraan fungsi ƒGGA yang telah
berkembang dengan baik. Di satu sisi, Becke (1988) telah mengunakan pendekatan empiris
pragmatik, sementara Perdew telah menggunakan pendekatan non-empirik. Fungsi energi
pertukaran-korelasi yang dihasilkan merupakan fungsi awal yang sangat popular dalam
bidang kimia kuantum dan dikenal dengan singkatan BLYP. Fungsi ini merupakan
gabungan pendekatan empiris pargmatis Becke dan hasil kerja Lee, Yang dan Par (1988).
Fungsi kedua, PW91 juga merupakan energi pertukaran-korelasi secara luas digunakan
dalam kimia kuantum modern.
 Fungsi Hibrid

Metode yang merupakan kombinasi dari pendekatan HF dan pendekatan DFT untuk
energi pertukaran, semua digabungkan dengan fungsi yang mencakup korelasi elektron.
Metode ini dikenal sebagai metode hibrid dan saat ini merupakan metode DFT paling umum
dan populer digunakan dalam praktek. Salah satu fungsi hibrid yang akan digunakan pada
penelitian ini adalah B3LYP. Fungsi hibrid ini merupakan fungsi energi pertukaran korelasi
yang paling banyak digunakan dalam kimia komputasi serta menjadi salah satu alasan untuk
semakin populernya DFT dalam perhitungan molekul. B3LYP telah dibuktikan memberikan
hasil yang akurasinya cukup menjanjikan dalam banyak contoh pemodelan kation-eter
mahkota seperti Boda dkk. (2011), Diao dkk. (2011), Shamov dkk. (2008), Varadwaj dkk.
(2011), maupun Choi dkk. (2012) sehingga metode DFT dengan fungsi hibrida B3LYP akan
digunakan dalam penelitian ini.
Alasan lain penggunaan metode DFT dalam penelitian ini adalah: 1) metode DFT
mengakomodasi korelasi antar elektron dalam perhitungan sehingga cocok untuk sistem
kompleks yang melibatkan unsur berelektron banyak seperti lantanida dan aktinida, 2) metode
DFT mampu mengatasi kontaminasi spin dengan lebih baik dibandingkan metode HF dan MP2
(Young, 2001), 3) dalam penggunaannya DFT juga memberikan ruang bagi fleksibilitas
penggunaan himpunan basis selain himpunan basis contracted GTO, DFT juga dapat
menggunakan himpunan basis tipe STO mulai unsur dengan nomor atom 1 hingga 118 seperti
pada paket program ADF (Cramer, 2004), 4) metode DFT mempunyai faktor kompleksitas
waktu perhitungan N3 dimana N adalah jumlah fungsi basis yang mewakili orbital KS. Faktor
kompleksitas waktu perhitungan ini menunjukkan hubungan waktu perhitungan dengan besarnya
sistem yang dihitung. Secara sederhana kompleksitas waktu perhitungan menunjukkan semakin
besar jumlah fungsi basis N maka semakin lama waktu perhitungan. Faktor kompleksitas waktu
perhitungan metode DFT masih lebih rendah dibandingkan HF dengan N4 dan MP2 dengan N5
sehingga DFT memiliki biaya komputasi yang relatif murah dibandingkan metode MP2 yang
sama-sama melibatkan korelasi antar elektron (Young, 2001; Cramer, 2004).

2.3 Himpunan Basis

Salah satu konsekuensi penting dalam semua metode perhitungan struktur elektronik (Ab
initio, DFT dan MP2) adalah digunakannya himpunan basis. Himpunan basis ini adalah satu set
fungsi matematik yang kombinasi liniernya dapat digunakan untuk menyusun orbital molekuler.
Orbital molekul diperluas sebagai kombinasi linear orbital atom, yang merupakan fungsi-fungsi
dasar. Pemilihan metode perhitungan dan himpunan basis terbaik untuk suatu sistem merupakan
faktor paling penting yang mempengaruhi keakuratan hasil. Ada dua tipe orbital paling sering
digunakan:
 Orbital Tipe Slater (STO). Secara konseptual, fungsi basis STO merupakan tiruan
langsung dari penyelesaian eksak untuk atom dengan elektron tunggal. Orbital pada STO
mirip dalam bentuk dengan orbital tipe hidrogen misalnya orbital eksak untuk atom
karbon bukan merupakan orbital atom hidrogen tapi tetap mirip dengan orbital atom
hidrogen. Pemakaian fungsi basis STO memiliki kelemahan yaitu banyak integral yang
perlu untuk dievaluasi terutama karena hanya dapat diselesaikan dengan memakai deret
tak hingga. Apabila dilakukan pemotongan terhadap deret ini dapat mengakibatkan
kesalahan yang sangat berarti (Leach, 2001).
 Orbital Tipe Gaussian (GTO). GTO memberikan alternatif untuk mengatasi kelemahan
yang dimiliki fungsi basis STO (Boys dalam Bachrach, 2007). Kelebihan dari fungsi
basis Gaussians adalah integral yang diperlukan dapat diselesaikan secara eksak. GTO
lebih banyak digunakan untuk mencapai akurasi dibandingkan dengan STO dan GTO
lebih disukai karena kemudahan dan memiliki efisiensi dalam hal komputasi.

Bentuk umum orbital tipe Slater:

( ) ( ) ( ) 2.5

Simbol N adalah tetapan normalisasi, dan ζ adalah eksponen orbital. Yl,m adalah fungsi harmonik
sferis, l dan m adalah bilangan kuantum momentum angular. Keunggulan utama fungsi
basis Slater adalah kemampuannya menerangkan kelakuan orbital pada jarak pendek dan
panjang. Bentuk kurva tipe Slater (Gambar 2.2) yang tajam dapat dijelaskan melalui bentuk
persamaannya yang merupakan eksponen berpangkat r (persamaan 2.5). Tipe Gaussian
berbentuk parabola, karena eksponennya berpangkat r2 (persamaan 2.6).

Gambar 2.2 Perbedaan orbital tipe STO dan GTO


Adapun bentuk umum orbital tipe Gaussian adalah:

( ) ( )
( ) ( ) 2.6
Penyelesaian eksak persamaan Schrödinger untuk atom hidrogen adalah STO, tapi
fungsi Slater tidak dapat memberikan hasil yang baik jika diterapkan pada perhitungan
orbital molekul. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa integral yang rumit (Leach, 2001).
Penyelesaian masalah ini dilakukan dengan menggunakan GTO sebagai pengganti STO.
Himpunan basis memiliki pengaruh yang nyata terhadap proses perhitungan dengan metode ab
initio dan DFT baik untuk Fungsi GTO maupun fungsi STO molekul tunggal maupun kompleks
yang dalamnya terdapat interaksi antara 2 molekul atau lebih. Himpunan basis dengan jumlah
baris fungsi basis yang banyak atau dikenal dengan himpunan basis berukuran besar, mampu
menggambarkan perilaku elektron pada orbital atom atau molekul lebih baik dibandingkan
dengan himpunan basis yang berukuran kecil. Masalah yang ditemui pada penggunaan himpunan
basis berukuran besar adalah waktu perhitungan yang lama sehingga biaya komputasi menjadi
mahal.
Motede struktur elektronik sangat dipengaruhi oleh jenis himpunan basis yang dipilih
untuk menggambarkan interaksi dua molekul. Ada beberapa syarat pemilihan himpunan basis
yang sesuai dengan sistem yang dikaji, diantaranya dengan melihat nilai BSSE (Basis Set
Superposition Error) yang terkecil (Pranowo, 2011) atau kesesuaian dengan data spektroskopi
atau teknik eksperimen lainnya (Pergolese, 2006). Penelitian ini melakukan pemilihan
himpunan basis menggunakan dua cara di atas yaitu memilih himpunan basis terkecil dan dengan
melihat kesesuaiannya dengan data eksperimen.
Pada penelitian ini nilai BSSE akan ditentukan dengan cara koreksi counterpoise yang
dikenalkan oleh Boys dan Bernardi (1970). Energi interaksi kemudian dikoreksi oleh besarnya
BSSE sesuai persamaan berikut:

∆Eint=Ekompleks – Eion – Eeter mahkota + (CPn) 2.7

(CPn) adalah koreksi counterpoise untuk penurunan energi interaksi akibat adanya BSSE.
Koreksi counterpoise dihitung sebagai berikut:
( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( ) 2.8

adalah energi masing-masing monomer yang diperoleh dengan menggunakan himpunan


basis dimer lengkap pada geometri AB yang sesuai. Pada penelitian yang telah dilakukan, A
adalah monomer kation logam (Ca2+, Sr2+, Ba2+, UO22+, La3+ dan Eu3+) dan B adalah monomer
eter mahkota dengan berbagai variasi substituen dan heteroatom sdengkan energi total kompleks
kation eter mahkota menggunakan himpunan basis dimer lengkap pada kompleks kation eter
mahkota.
Pada penelitian ini juga terdiri dari variasi kation logam berat sehingga untuk pemodelan
sistem yang mengadung logam dengan jumlah elektron yang banyak, maka melibatkan efek
relativitas dalam perhitungan menjadi penting. Hal ini disebabkan karena dekat dengan inti atom,
elektron bergerak mendekati kecepatan cahaya, sehingga efek relativitas memiliki peranan
penting dalam mekanika kuantum untuk mendeskripsikan logam berat atau berelektron banyak
(Straka, 2001). Salah satu cara untuk melibatkan efek relativitas adalah dengan menggunakan
potensial bayangan (pseudopotensial) atau disebut juga sebagai ECP (effective core potential).
ECP didasarkan pada elektron bagian dalam tidak berubah selama reaksi kimia berlangsung dan
hanya elektron bagian luar yang bertanggungjawab pada sifat-sifat dan pola interaksi molekul.
Elektron bagian dalam diwakili oleh potensial-potensialnya. Dengan ini kita akan memperoleh
sistem dengan elektron bagian dalam bersifat tetap. Semula, ECP didesain untuk interaksi satu
inti dengan satu elektron tetapi kemudian dikembangkan menjadi beberapa bentuk potensial
yang memberikan hasil yang lebih akurat. ECP modern juga memasukkan pengaruh orbital spin
atau memperlakukan spin dengan menggunakan potensial orbital spin. ECP biasanya dihasilkan
dari hasil perhitungan ab initio yang sangat akurat (Pyykko dan Stoll, 1999).

Anda mungkin juga menyukai