Anda di halaman 1dari 31

TINJAUAN TERHADAP PASAL 470 AYAT (1) DALAM RUU KUHP

DENGAN PENDEKATAN TEORI HUKUM


(DALAM PERSPEKTIF KORBAN PEMERKOSAAN)

TUGAS TEORI HUKUM


Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., LL.M.

Program Studi Magister Ilmu Hukum


Konsentrasi Hukum Bisnis

Diajukan oleh
Latifah Nur aini, S.H.
NPM :

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS GAJAH MADA
JAKARTA
2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................... i
ABSTRAK........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang............................................................................................. 1
B. Tujuan dari hukum...................................................................................... 4
C. Identifikasi Masalah…................................................................................. 7
D. Metode Penelitian........................................................................................ 8
BAB II TINJAUAN KEADILAN TERHADAP PASAL 470
9
RANCANGAN UNDANG-UNDANG KUHP
A. Teori keadilan menurut John Rawls........................................................... 9
B. Substansi Hukum......................................................................................... 10
C. Struktur......................................................................................................... 16
D. Budaya Hukum............................................................................................. 22
BAB III TINJAUAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PASAL 470
RANCANGAN UNDANG-UNDANG 26
KUHP................................................................................
A. Teori Kepastian Hukum menurut Fence M. Wantu...................................... 26
B. Substansi Pasal 470 RUU KUHP................................................ 27
C. Tinjauan Struktur Terhadap Kepastian Hukum.............................................. 28
D. Tinjauan Budaya Hukum Terhadap Kepastian Hukum................................. 29
BAB IV TINJAUAN KEMANFAATAN DALAM PASAL 470 RUU
31
KUHP…………………………………………………………………….........
A. Teori Kemanfaatan Hukum............................................................................ 31
B. Analisis Substansi Terhadap Teori Kemanfaatan......................................... 32
C. Analisis Struktur Terhadap Teori
32
Kemanfaatan..............................................
C. Analisis Budaya Hukum Dalam Teori Kemanfaatan...................................... 33
BAB V
35
PENUTUP..............................................................................................
A. Kesimpulan.................................................................................................... 35
B. Saran................................................................................................................ 35
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 36

PRAKATA

  Dengan memanjatkan Puji dan Syukur Kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat
dan Karunianya pada penulis, akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tugas Paper
dalam matakuliah Teori Hukum yang berjudul “Tinjauan Terhadap Pasal 470 Ayat
(1) dalam RUU KUHP dengan Pendekatan Teori Hukum ” dengan baik dan
lancar.

Penulis bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak selama
menyelesaikan tesis ini, tesis ini tidak akan mungkin dapat penulis selesaikan dengan
baik. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih sedalamdalamnya
kepada para pihak a:
1. Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., LL.M. selaku dosen yang telah
memberikan ilmu kepada saya;
2. Orang tua tercinta yang selalu mendukung terselesaikanya segala tugas
perkuliahan;
3. Para teman dan sahabat yang telah memberikan semangat dan dorongan
kepada penulis.
Tugas ini ditulis berdasarkan pengamatan dan hasil studi pustaka mengenai
Pasal 470 Ayat (1) dalam RUU KUHP. Berbagai upaya telah dilakukan penulis
untuk Oleh karena itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun
dari pembaca guna kesempurnaannya. Penulis berharap semoga Paper dapat
bermanfaat serta menambah pengetahuan bagi pembaca.

                                                                                 Jakarta, 10 Desember 2019


Latifah Nur’aini
ABSTRAK

KRITIK PASAL 470 AYAT (1) DALAM RUU KUHP DENGAN


PENDEKATAN TEORI HUKUM
(DALAM PERSPEKTIF KORBAN PEMERKOSAAN)

LATIFAH NUR AINI


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pembuatan aturan tersebut penulis ingin menganalisis terkait substansi
aturan yang akan mengganggu keseimbangan psikologis dari korban
pemerkosaan. Hukum sebagai tool of social engineering, diharapkan mampu
mencakup setiap bidang kehidupan masyarakat bahkan dapat berelaborasi
dengan disiplin ilmu lainnya. Salah pendekatan keilmuan non hukum untuk
mengkaji ilmu hukum disebut dengan ilmu metayurudis. Salah satu keilmuannya
adalah Psikologi hukum, yakni suatu disiplin ilmu tentang perilaku manusia yang
berusaha untuk memberikan kontribusi dalam usaha penegakan hukum dengan
memberikan intervensi psikologis. Farrington dan Hawkins berpendapat bahwa
peran psikologi dalam hukum dapat dibagi dalam 3 jenis. Pertama dapat
digunakan untuk menguji kebenaran pra anggapan yang digunakan dalam hukum
itu sendiri, kedua digunakan untuk proses hukum, dan ketiga digunakan untuk
sistem hukum sendiri1.

B. Tujuan Hukum
Hukum dituntut untuk memenuhi berbagai tujuan, berdasarkan pendapat
Radbruch nilai-nilai dasar yang menjadi tujuan hukum adalah Keadilan,
Kegunaan/ Kemanfaatan (Zweekmaszigkeit) dan Kepastian Hukum2. Namun
demikian, dalam banyak literatur yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah
cita hukum yang tak lain adalah keadilan. Menurutcuique Ulpianus Justitia es
perpetua et constans voluntas jus suum tribuendi apabila diartikan menyatakan
bahwa keadilan adalah suatu keinginan yang terus menerus dan tetap untuk
memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya3.
Keadilan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat

1
Abintoro Prakoso, “ Hukum dan Psikologi Hukum” , ( Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2018) hlm. 75
2
Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum” (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006) hlm. 19
3
Peter Mahmud, “Pengantar Ilmu Hukum” (Jakarta:Kencana,2008) hlm.139
(perbuatan, perlakuan, dan sebagainya untuk menghasilkan masyarakat yang
bersatu secara organis sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan
yang sama dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup pada kemampuan aslinya.4
Lebih spesifik dan mengerucut lagi, Satjipto Raharjo menyatakan bahwa
keadilan merupakan ukuran yang dipakai untuk memperlakukan objek diluar diri
kita, sehingga ukuran tersebut tidak dapat dilepaskan dari arti yang kita berikan
atas kemanusiaan. Bagaimana anggapan kita tentang manusia lah yang akan
menciptakan ukuran tentang bagaimana memperlakukan orang lain.5
Gagasan tentang hukum memang tidak hanya berkutat tentang keadilan,
sebagaimana disampaikan pada penjelasan sebelumnya bahwa Gustav Radbruch
telah mengemukakan pendapatnya tentang The Idea Triad, di beberapa
kesempatan Radbruch menyebutnya sebagai ‘three principles’ bukan three
elements or three sides.6 Dalam banyak literatur klasik dikemukakan bahwa
banyak antimoni antara kepastian hukum dengan keadilan. Kedua hal ini tidak
dapat diwujudkan secara sekaligus. Sedangkan dalam literatur hukum yang
bersifat kompromi, dinyatakan bahwa dengan mengorbankan keadilan untuk
mencapai kepastian hukum.7 Atas pendapat tentang antinomi dalam hukum
tentang keadilan dan kepastian hukum dalam tulisannya, Radbruch menyatakan
pendapat tentang three principles sebagai berikut :
"the demands of legal certainty," on one hand, and the demands of justice
and expediency," on the other. While he adds that the three aspects of the
idea of law are of equal value, and in case of conflict there is no decision
between them but by the individual conscience. it is the professional duty of
the judge to validate the law's claim to validity, to sacrifice his own sense of
the right to the authoritative command of the law, to ask only what is legal
and not if it is also just.”8

4
Admin, Pengertian Adil, https://kbbi.web.id/adil, diakses tanggal 08 Desember 2019, pukul 20:46
5
Satjipto Rahardjo , Op.Cit. hlm 165
6
Robert Alexy, “ Gustav Radbruch’s Concept of Law”
https://www.upjs.sk/public/media/16913/Gustav%20Radbruch's%20Concept%20of%20Law.pdf ,
diakses tanggal 08 Desember 2019 pukul : 21.02
7
Peter Mahmud, Op.Cit.hlm.161
8
Brian Bix, “Radbruch's Formula and Conceptual Analysis”, The American Journal Of
Jurisprudence. Vol 56. 2011
Apabila diartikan secara bebas dinyatakan bahwa three principles milik
Radbruch yakni kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan memiliki nilai yang
sama, apabila terdapat benturan diantara ketiga hal tersebut harus dilihat secara
individual. Menjadi tanggung jawab seorang hakim untuk memvalidasi dan
memutuskan perintah hukum dan keadilan.
Telah beredarnya Rancangan Undang-undang KUHP di kalangan
masyarakat, menimbulkan banyak kritik, salah satunya Pasal 470 ayat (1) terkait
dengan aborsi. Meskipun belum diundangkan, pasal tersebut dianggap tidak
melindungi kepentingan perempuan yang menjadi korban pemerkosaan. Apabila
pasal dimaksud diundangkan akan menciderai rasa keadilan bagi korban
pemerkosaan dan tidak adanya kepastian hukum apabila dikaitkan dengan
>>>>>>>UU KESEHATAN.
Dikarenakan pasal tersebut, ---------------
Keberadaan pasal ini semakin mengkhawatirkan bagi korban pemerkoasaan,
dimana nantinya apabila terjadi kejadian kehamilan dari hasil pemerkosaan harus
dipertahankan walaupun dalam perspektik kesehatan dan kejiwaan kehamilan
tersebut tidak diinginkan sebagai kondisi memaksa.
C. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pendahuluan di atas maka dapat diidentifikasikan beberapa
permasalahan berkenaan dengan keberadaan Pasal 470 Ayat (1) RUU KUHP,
yaitu :
1. Apakah keberadaan Pasal 470 ayat (1) RUU KUHP sudah sesuai dengan
unsur-unsur tujuan hukum?
2. Tindakan apa yang harus dilakukan masyarakat terhadap Pasal 470 ayat (1)
RUU KUHP tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bila Pasal tersebut
tidak sesuai dengan unsur-unsur tujuan hukum?
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis, yaitu dengan
cara memberi gambaran secara menyeluruh dan sistematis mengenai fakta-fakta
disertai dengan analisis yang akurat tentang peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dihubungkan dengan teori-teori hukum dan pelaksanaan hukum positif
yang menyangkut permasalahan.
BAB II
TINJAUAN KEADILAN TERHADAP PASAL PASAL 470 AYAT (1)
DALAM RUU KUHP

A. Teori keadilan menurut Jhon Stuart Mill


Keadilan berasal dari kata adil. Dalam Bahasa Inggris, disebut dengan
“jusctice” dalam Bahasa belanda disebut dengan “rechtvaardig”. John Stuart Mill
menjelaskan pengertian keadilan menurut pemikirannya yaitu keadilan merupakan
konsepesi dimana diperolehnya hak kepada individu, mengimplikasikan dan
memberikan kesaksian yang lebih mengikat. Terdapat dua fokus keadilan yang
diungkapkan oleh Jhon Stuart Mill yaitu : (1) Eksistensi keadilan merupakan
aturan moral (berbicara tentang baik dan buruk). dan (2) esensi keadilan
merupakan hak yang diberika kepada individu untuk melaksanakannya.9
Penulis menggunakan teori keadilan milik John Stuart Mill karena berbagai
tulisannya yang menyuarakan hak-hak perempuan dan akses sama tentang
perempuan. Salah satu tulisannya yang berkaitan dengan perempuan adalah
Subjection of Women (1869) yang menjelaskan tentang kesetaraan gender.10
Jhon Stuart Mill mengemukakan bahwa tidak ada teori keadilan yang bisa
dipisahkan dari tuntutan kemanfaatan. Keadilan adalah istilah yang diberikan
kepada aturan-aturan yang melindungi klaim-klaim yang dianggap essensial,
dimana klaim tersebut memegang janji untuk diperlakukan setara. 11 Tujuan dari
klaim itu adalah meningkatkan kesejahteraan untuk memegang janji kesetaraan.
Secara setara diartikan bahwa kedudukan orang adalah sejajar (sama tingginya).
Apabila dibandingkan dengam teori keadilan yang dikemukakan oleh Jhon
Stuart Mill yang berpendapat bahwa keadilan melindungi klaim-klaim kepada

9
H Salim dan Erlies Septiana Nurbani, “Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Disertasi dan
Tesis”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2014), hlm. 26
10
Fred Wilson,”john Stuart Mill”, Standford Encyclopedia of Philosophy, Spring, 2008,
https://stanford.library.sydney.edu.au/archives/spr2008/entries/mill/#StaWom, diakses tanggal 8
Desember 2019 pukul 12 ;20
11
H Salim dan Erlies Septiana Nurbani , Op.Cit. hlm. 29
aturan agar semua subjek hukum merasa disetarakan dari sisi keadilan.. 12
Rancangan Undang-Undang KUHP pada pasal 470 tersebut harus memerhatikan
klaim-klaim dari masyarakat khususnya perempuan dan dari sudut padang
korban pemerkosaan. Dimana terdapat perasaan keadilan yang terlanggar apabila
ketntuan terkait aborsi menjadi larangan bagi korban pemerkosaan, dimana
keadaan diperkosa dan mengalami kehamilan bukan merupakan keadaan yang
dikendaki oleh korban. Keadilan seharusnya juga harus didapat bagi korban
pemerkosaan, dan tidak seharusnya menjerat subjek yang menjadi korban
perbuatan pidana lainnya. Keadaan ini sesuai dengan konsep keadilan yang
digagas menurut hukum alam yakni suatu himpunan kaidah-kaidah yang tidak
berubah menurut zaman dan tempat berlaku abadi dimanapun dan dimanapun
diterapkan. Hukum alam berusaha memberikan keadilan yang sebanyak-
banyaknya bagi sebanyak-banyaknya manusia, guna membantu menyelesaikan
persoalan konkret13.

B. Substansi Hukum
1. Pengertian Substansi Hukum
Substansi hukum terkait dengan aturan norma dan pola perilaku nyata
manusia yang berada dalam sistem hukum tersebut. Substansi hukum juga
dapat terkait dengan produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam
sistem tersebut, mencakup keputusan yang mereka keluarkan dan aturan baru
14
yang sedang disusun. Substansi hukum adalah produk dari struktur hukum,
baik peraturan yang dibuat melalui mekanisme struktur formal atau peraturan
yang lahir dari kebiasaan.

12

13
Endang Sutrisno, “Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi”, (Yogyakarta: Genta Press, 2007) hlm.
32
14
Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum dan Keadilan Masyarakat ( Perspektif Kajian Sosiologo)”,
(Malang : Setara Press,2011) hlm.13
Subtansi hukum dalam penulisan ini adalah aturan hukum yang berkitan
dengan pasal 470 ayat (1) Rancangan Undang-Undang KUHP yang berbunyi
sebagai berikut :
“Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau
mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun”

2. Identifikasi Pasal 470 ayat (1) Rancangan Undang-Undang KUHP


Dari isi Pasal tersebut, dapat dianalisis masing-masing kata dan
kalimatnya yaitu :
a. Setiap Perempuan;
Pengertian Perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki,
dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; dapat disebut
juga dengan wanita.15 Jadi pengertian wanita dalam konteks RUU tersebut
adalah orang yang memiliki ciri dan kemampuan biologis untuk
menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
b. Menggugurkan atau mematikan kandungan :
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menggugurkan diartikan
sebagai tindakan yang menyebabkan gugur atau kodisi dengan sengaja
mengeluarkan janin sebelum waktunya;
Dengan kesengajaan dalam peraturan ini dalam hukum pidana terdiri
dari :
1) Kesengajaan yang bersifat tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti. Apabila
kesengajaan tersebut terdapat dalam suatu tindak pidana, si pelaku
pantas dikenakan hukuman pidana. Adanya kesengajaan yang
bersifat tujuan, pelaku dianggap menghendaki munculnya suatu
akibat yang menjadi pokok alasan ancaman hukuman.
2) Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kondisi dimana pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk
15
Admin, Pengertian Perempuan, https://kbbi.web.id/perempuan, diakses tanggal 08 Desember 2019
pukul 13 :37
mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar
bahwa akibat tersebut akan mengikuti perbuatan.
3) Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan
Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu
kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya
dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya
mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang
menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan
seseorang yang dilakukannya16.

3. Analisis Substansi terhadap keadilan


Keadilan dirasa belum menyentuh pengaturan pasal 470 ayat (1) RUU KUHP
mengingat subjek dari perbuatan menggugurkan kandungan belum
dikerucutkan lagi dengan memberikan pengecualian. Bagi korban pemerkosaan,
menggugurkan kandungan merupakan kesengajaan yang bersifat menimbulkan
tujuan yakni gugurnya janin dalam kandungan. Apabila pasal tersebut tidak
diatur pengecualiannya terhadap subjek tertentu, maka dapat dikatakan belum
memenuhi rasa keadilan.Bahwa korban pemerkosaan tidak berharap memiliki
beban ganda yakni selaku korban yang mengandung anak tak diingankan dari
pemerkosaan dan harus menanggung hukuman badan apabila digugurkan. Bila
adil menjadi unsur konsititutif hukum sebagaimana diidealkan oleh paham
hukum kodrat, maka suatu peraturan yang tidak adil tidak hanya dipandang
sebagai hukum yang buruk tetapi sudah dianggap bukan hukum. Oleh karena
itu orang tidak terikat atau merasa wajib untuk menaati peraturan tersebut 17.
Keadilan harus dilihat juga dari nilainya, Justice as a value , Ronald Dworkin
membedakan anatara justice and law, justice merupakan nilai dan hukum
merupakan norma. Manusia umumnya mewarisi konsep-konsep dan budaya
dari orang tua secara turun menurun. Ajaran tentang kejujuran, kemurahatian,
kebaikan, keberanian, ksatria, dan lain-lain. Diperlukan lebih banyak opini

16
Moeljatno, “Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana” ( Jakarta: Bina
Aksara,1993) hlm. 46
17
Nobertus Jegalus, “Hukum Kata Kerja (Diskursus Filsafat tentang Hukum Progresif)”, (Jakarta :
OBOR, 2011) hlm. 19
moral ketika hendak melakukan konfrontasi dengan kehidupan berbangsa18.
Sehingga dalam pembuatan aturan dan substansi dalam pembuatan RUU KUHP
khusunya kritik terhadap pasal 470 ayat (1) haruslah memerhatikan opini moral
khusunya implikasi aturan tersebut bagi korban pemerkosaan.

C. Struktur
1. Pengertian Struktur dalam kerangka sistem hukum
Setiap negara memiliki sistem hukum. Kebutuhan akan kebersisteman
hukum menurut Paul Scholten adalah “ suatu perintah yang bertentangan
menghapus dirinya sendiri adalah kekacauan setiap ketentuan undang-undang
harus selalu ditafsirkan dalam hubungannya dengan ketentuan undang-undang
lainnya”.19 Menurut Friedman (1975, 1998) sebagaimana dikemukakan
Ahmad Ali terdapat unsur sistem hukum dalam yaitu (1) Struktur hukum, (2)
substansi hukum, (3) kultur hukum. Menurut Friedman struktur hukum adalah
kerangka atau rangkanya. Bagian yang stabil dan tetap bertahan, bagian yang
memberikan bentuk dan batasan.20
Setiap negara memiliki sistem untuk menjalankan pemerintahannya. Sistem
dimaksud merupakan sistem pemerintahan dimana dikenal sistem
pemerintahan presidensial dan parlementer. Sejak dilakukan perubahan UUD
1945, Indonesia mengalami beberapa kali perubahan sistem pemerintahan.
Berdasarkan UUD 1945 Indonesia menganut sistem pemerintahan
presidensial. Sistem Hukum Indonesia tidak dapat dilepaskan dari latar
belakang sejarahnya sebagai negara jajahan Belanda. Hal tersebut
menyebabkan diberlakukannya asas konkordansi. Berikut adalah urutan-
urutannya :

Corpus Juris Code Napoleon Belanda/ Belanda/


Civilies Prancis
18 Netherland
Ronald Dworkin “ Law Empire” dalam Diah Imaningrum, “Penafsiran Netherland
Hukum (teori dan metode)”,
(Jakarta; Sinar Grafika, 2019), hlm.43
19
Titon Slamet Kurnia, ”Sistem Hukum Indonesia”, (Bandung : CV Mandar Maju, 2016) hlm.
20
Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum dan Keadilan Masyarakat (Perspektif Kajian Sosiologo)”,
(Malang : Setara Press,2011) hlm.13
Code Civil Burgelijk Wetboek KUHPerdata

Code Penal Wetboek Van KUHPidana


Strafrect

Code Commerce Wetboek Van KUHDagang


Koophandel

Gambar.1 Sistem Konkordansi Indonesia


Dengan demikian maka berdasarkan gambar tersebut diatas, Indonesia
menganut sistem hukum eropa Kontinental atau Civil Law atau Rechtaat.
Sistem hukum positif Indonesia terdiri atas subsistem hukum perdata,
subsistem hukum pidana, dan subsistem hukum tata negara dan lain-lain
21
dimana subsistem-subsistem tersebut membentuk satu kesatuan . Hal ini
sesuai dengan yang disampaikan oleh Lawrence M. Friedman bahwa “Legal
System, there are subsystems, most of them by common consent part the legal
system….they operate with norms or rules22.
Komponen dalam sistem hukum terbagi menjadi dua yaitu substansi atau
isu hukum yang bersangkutan sedangkan yang kedua adalah komponen
struktur. Dalam sub bab ini penulis akan membahas pada komponen struktur
dalam sistem hukum. Struktur dalam sistem hukum adalah Lembaga yang
memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum. Suatu hukum sebaik
apapun substansinya tidak akan mampu berjalan dengan baik apabila tidak
ada Lembaga yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan hukum
dimaksud23. Sistem ketatanegaraan Indonesia tidak dapat terlepas dari ajaran
Montesquieu tentang Trias Politica. Ajaran ini memisahkan kekuasaan negara
menjadi Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.24. Berdasarkan pemisahan
kekuasaan dalam sistem hukum Indonesia, terbentuk struktur ketatanegaraan
21
Handri Raharjo, “Sistem Hukum Indonesia”, ( Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2016), hlm 36-37.
22
Lawrence M. Friedman, “The Legal System” (New York : Russell Sage Foundation, 1975), hlm. 8
23
Mahmud Syukri Albani, dkk, “ Hukum dalam Pendekatamn Filsafat” (Jakarta : Kencana, 2015)
hlm. 49
dimana atas pembagian kekuasaan tersebut diserahkan kepada lembaga negara
yang dibentuk sesuai fungsinya.

2. Identifikasi Struktur Hukum Indonesia


Berdasarkan penjelasan tersebut, maka struktur dalam sistem hukum
Indonesia terdiri atas lembaga-lembaha tinggi negara yang berpengaruh
menjalankan fungsi eksekutif, yudikatif dan legislative. Pengertian lembaga-
lembaga tinggi Negara tersebut menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
diartikan sebagai lembaga Negara dalam arti sempit yakni lembaga-lembaga
tinggi Negara menurut UUD 1945 ada tujuh instiusi yaitu : (i) Presiden dan
Wakil Presiden; (ii) DPR; (iii) DPD; (iv) MPR; (v) Mahmkamah Konstitusi;
(vi) Mahkamah Agung; dan (vii) Badan Pemeriksa Keuangan25.
Dalam pendekatan penegakkan hukum dan pembuatan hukum positif,
termasuk pengujian dan penegakannya dapat dilakukan lembaga tinggi
tersebut kecuali Badan Pemeriksa keuangan. Maka uraian terkait tugas dan
fungsi lembaga tinggi Negara dalam pembuatan aturan dan/penegakannya
adalah sebagai berikut :
a. Presiden dan wakil presiden
Presiden berdasarkan kewenangan yang dimiliki dalam hierarki
peraturan perundangan Indonesia adalah Perpu dan Peraturan Presiden.
Dalam pembentukan Perpu dapat dilihat dari dua sudut pandang yakni
berdasarkan teori hukum tata negara darurat dan dari teori pemisahan
kekuasaan. Dalam hukum tata negara darurat ada yang disebut dengan
“the sovereign power”. Bahasan terkait Kegentingan yang Memaksa dari
Perpu diartikan bahwa merupakan sutau produk hukum tata negara
darurat. Kewenangan untuk menanggulangi, mengatasi, dan mengelola

24
Sri Hajati, dkk, “ Pengantar Hukum Indonesia”, (Jakarta : Airlangga University Press, 2017)
hlm.145-146
25
Jimly Asshiddiqie, “Organisasi dan Lembaga-Lembaga Negara”, ( Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) Hlm. 43
keadaan darurat terletak di tangan kepala negara26. Selain produk hukum
dimaksud, presiden memiliki peran ganda, yakni Presiden dapat turut
andil dalam pembuatan undang-undang. Peran presiden sebagai kepala
pemerintahan mengajukan dan membahas rancangan undang-undang
bersama DPR. Peran presiden sebagai kepala Negara, adalah dengan
mengesahkan rancangan tersebut. Sebagai kepala negara sesungguhnya,
presiden harus mengesahkan rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama DPR 27.
b. Mahkamah Konstitusi :
Berdasarkan penjelasan pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tugas dari
mahkamah konstitusi : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang ter-hadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Dalam pasal
tersebut mengandung pengertian bahwa Mahkamah konstitusi
mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted
powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation).
Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 28

c. Dewan Perwakilan Rakyat


Pada prinsipnya, fungsi parlemen di zaman modern sekarang ini
26
Andi Yuliani, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dari Masa Ke Masa”
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/3000-peraturan-pemerintah-pengganti-undang-
undang-dari-masa-ke-masa.html, diakses tanggal 12 Desember 2019 pukul 16.01 WIB
27
Lestantya R. Baskoro, “Presiden dan Pengesahan Undang-Undang”
https://hukum.tempo.co/read/1069108/presiden-dan-pengesahan-undang-undang, diakses tanggal 12
Desember 2019 pukul 16.50 WIB
28
Admin, “Peran dan Fungsi Mahkamah Konstitusi”, https://mkri.id/index.php?
page=web.Berita&id=10958, diakses tanggal 12 Desember 2019, pukul 15 :51
berkaitan dengan (i) fungsi perwakilan, yaitu pertama-tama untuk
mewakili kepentingan rakyat yang berdaulat dengan cara duduk di
lembaga perwakilan rakyat; (ii) fungsi permusyawaratan bersama dan
deliberasi untuk pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan
dan untuk mencapai tujuan bersama dalam masyarakat. Kedua fungsi
pokok tersebut dijabarkan dalam tiga kegiatan pokok yang selama ini
lebih dikenal dan biasa disebut sebagai fungsi parlemen, yaitu (a) fungsi
legislasi, (b) fungsi pengawasan, dan (c) fungsi anggaran29. Terkait
dengan fungsi legislasi, DPR memiliki tugas dan wewenang30:
i. Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
ii. Menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU)
iii. Menerima RUU yang diajukan oleh DPD (terkait otonomi daerah;
hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah; pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah)
iv. Membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden ataupun DPD
v. Menetapkan UU bersama dengan Presiden
vi. Menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti
UU (yang diajukan Presiden) untuk ditetapkan menjadi UU
DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Rancangan
undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. Rancangan
undang-undang dari DPR sebagaimana dimaksud. Apabila rancangan
undang-undang yang berasal dari Presiden sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diajukan oleh Presiden. Rancangan undang-undang dari DPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh DPD, dalam hal
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

29
Jimly Asshiddiqie, “Fungsi Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat”
http://www.jimly.com/makalah/namafile/139/FUNGSI_ANGGARAN_DPR.pdf, diakses tanggal 12
Desember 2019, pukul 17.07 WIB
30
Admin, “ Tugas dan Wewenang” http://www.dpr.go.id/tentang/tugas-wewenang, diakses tanggal 12
Desember 2019 pukul : 17.02 WIB
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
d. Mahkamah Agung
Mahkamah agung merupakan lembaga tinggi Negara yang memiliki
fungsi sebagaimana diatur dalam TAP MPR No. III/1978 dan UU No. 14
Tahun 1985, yaitu; (1) fungsi mengadili; (2) fungsi menguji peraturan
perundang-undangan (judicial review), (3) fungsi pengaturan, yaitu untuk
mengisi kekosongan hukum; (4) fungsi memberi nasehat dan
pertimbangan hukum; (5) fungsi membina dan mengawasi,; (6) fungsi
administrasi31. Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji
materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan
perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan
ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari
tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung
Nomor 14 Tahun 1985)32.
4. Analisis struktur terhadap keadilan
Di Indonesia hak warga Negara untuk diperlakukan secara adil
terdapat dalam konstitusi/peraturan tertinggi yakni Undang-undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa konsep keadilan dirumuskan dalam
pasal 28D ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Terhadap bunyi pasal dimaksud,
segala peraturan yang berada di bawah UUD 1945 dapat diajukan Judicial
Review apabila dirasa melanggar rasa keadilan. Mahkamah Konstitusi yang

31
Admin, “Cetak Biru Mahkamah Agung”
http://www.pembaruanperadilan.net/v2/content/2011/01/Cetak-Biru-Mahkamah-Agung-Bab-1-6.pdf,
diakses tanggal 12 Desember 2019, pukul 17.19 WIB
32
Admin, “ Tugas Pokok dan Fungsi”, https://www.mahkamahagung.go.id/id/tugas-pokok-dan-fungsi,
diakses tanggal 12 Desember 2019, pukul 17.21 WIB
menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar33.
Berdasarkan bunyi pasal 470 ayat (1) RUU KUHP dirasa belum
melindungi kepentingan korban pemerkosaan, dimana berdasarkan . Menurut
Amin Mudzakir dalam tulisannya “Ketika Hukum Mencari Keadilan”
mengatakan bahwa keadilan adalah sebuah ide kebijakan yang luhur
pendekatan keadilan dekat dengan etis dan moral. Sementara pembicaraan
hukum lebih dekat dengan diskursus politik dan kekuasaan yang didalamnya
terkandung unsur-unsur diri dan posisi diri dalam lingkungan sosial. 34 Apabila
dirasa bahwa kebijakan atas RUU KUHP khususnya pasal 470 ayat (1) yang
dibuat belum memenuhi nilai etis maka upaya perubahan dari pembuat
peraturan. Berdasarkan struktur dalam sistem hukum Indonesia fungsi
pemebentukan Undang-undang DPR dan Presiden yakni dalam pembahasan
maupun usulannya. Kritik terhadap Pasal 470 ayat (1) RUU KUHP yang telah
dilakukan masyarakat harusnya menjadi perhatian dan masukan bagi pembuat
kebijakan untuk mengakomodir klaim tersebut demi rasa keadilan masyarakat.
Hal tersebut erat hubungannya dengan fungsi bersama antara fungsi legislatif
dan eksekutif sebagai pembuat dan pelaksana dari aturan. Hampir tidak dapat
dilakukan Pemisahan pembuatan undang-undang (hukum) dari fungsi negara
yang lain dalam arti bahwa organ legislatif tidak dapat meniadakan organ
eksekutif dan yudikatif secara terpisah/sendirian35.
Berhukum dengan hati Nurani, padangan Satjipto Raharjo tentang
hukum dengan cara mengoreksi kekeliruan dan kekurangan paradigma
positivistik dalam ilmu hukum yang membuatnya mempelajari cara berhukum
yang bertujuan menghadirkan sebenarnya keadilan yakni berhukum dengan

33
Jimly Asshiddiqie, “Organisasi dan Lembaga-Lembaga Negara”, ( Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) Hlm. 48
34
Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum dan Keadilan Masyarakat ( Perspektif Kajian Sosiologo)”,
(Malang : Setara Press,2011) hlm.43
35
Hans Kelsen, “Teori Umum tentang Hukum dan Negara” (Diterjemahkan dari buku Hans Kelsen
General Theory of Law and State (New York : Russel and Russel, 1971) ( Bandung : Nusa Media,
2018). Hl.387
hati Nurani.36 James C.N dan Clareme J. Dias mengatakan bahwa nilai yang
terkandung dalam hukum nasional dengan nilai yang terdapat dalam
masyarakat sering terjadi benturan yang berujung pada kesulitan pemahaman
makna dan tujuan hukum dimakasud. Harusnya nilai dasar penyusunan
hukum yang dibuat oleh legislator sama dengan nilai yang dianut oleh
masayarakat yang menjadi subjek atas peraturan dimaksud. Pembuat
kebijakan seharusnya melakukan survey dan uji public terlebih dahulu
terhadap nilai-nilai local, kebutuhan local terutama masyarakat yang secara
geografis masih sulit memperoleh akses37. Apabila upaya kritik terhadap pasal
dalam RUU KUHP dimaksud diabaikan oleh eksekutif dan legislative, maka
masyarakat dapat mengupayakan dengan mengajukan judicial review melalui
mahkamah konstitusi. Upaya lain yang harus dilakukan apabila pasal tersebut
diundangkan bertumpu pada putusan hakim yang dianggap sebagai pembuat
hukum, dimana dapat digunakan keyakinan hakim dalam memutus. Harapan
perasaan keadilan terhadap tindakan aborsi yang dilakukab oleh korban
pemerkosaan diharapkan dapat tercermin dalam putusan hakim.

D. Budaya Hukum
1. Pengertian Budaya Hukum
Budaya hukum dalam penjelasan Lawrence M. Friedman berkaitan dengan
sikap manusia terhadap hukum menurut hukum kepercayaan, nilai pemikiran,
serta harapannya. Secara sederhana Budaya Hukum adalah suasana pemikiran
sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan,
dihindari, atau disalahgunakan. Tanpa adanya budaya hukum, sistem hukum
tidak berdaya.38
Suatu hukum yang ideal adalah hukum yang merupakan produk langsung
dari budaya masyarakat yang bersangkutan, sehingga sistem nilai yang diusung
36
Suteki, “Rekam Jejak pemikiran Hukum Progresif Satjipto Rahardjo (dalam buku Satjipto Rahardjo
dan Hukum Progresif Urgensi dan Kritik), (Jakarta :Epistema Institute, 2011) hlm. 31”
37
Muhammad Syukri dkk, “Hukum dalam Pendekatan Filsafat”, (Jakarta: Kencana, 2016) hlm. 341.
38
Soetandyo Wignjosoebroto,Op.Cit. hlm.14
oleh produk hukum tersebut akan sesuai dengan kesadaran nilai (value
conscioucness) yang dimiliki masyarakat. Suatu produk hukum walaupun telah
dibuat koheren secara substansi dengan sistem aturan lainnya, dan walaupun
dilakukan penegakan oleh struktur hukum lainnya tidak akan mampu berjalan
maksimal dan cenderung terjadi resistensi apabila hukum dimaksud
bertentangan dengan budaya masyarakat yang menjadi subjek penerapan
hukum tersebut39.
Friedman memberikan penjelasan lebih rinci terkait peran legal culture
dalam sistem hukum sebagai berikut :
“In its role in explanations, legal culture can serve to capture an essential
intervening variable in influencing the type of legal changes which follow on
large social transformations such as those following technological
breakthroughs. More generally, legal culture determines when, why and
where people turn for help to law, or to other institutions, or just decide to
'lump it'. It would be a finding about legal culture, he says, if French but not
Italian women were reluctant to call the police to complain about sexual
harassment. 33 The issue of legal delay, as we shall see also lends itself to
analysis for this purpose. Friedman is also the author of the classic
distinction between 'internal' and 'external' legal culture. On the one hand,
'internal legal culture' refers to the ideas and practices of legal
professionals; 'external legal culture', on the other hand, is the name given
to the opinions, interests, and pressures brought to bear on law by wider
social groups. Friedman has increasingly argued that the importance of
'internal legal culture' as a factor in explaining socio-legal change tends to
be exaggerated, usually by legal scholars who have an investment in doing
so. He has preferred to concentrate on the importance of external legal
culture and has given especial attention to the increasing public demand for
legal remedies - what he calls the drive to 'Total Justice' producing legal
and social change.”40

2. Identifikasi Budaya Hukum


Upaya membangun tata sistem hukum Indonesia merupakan sebuah upaya
39
Muhammad Syukri dkk, Op.Cit.hlm. 48
40
David Nelken, “Using The Concept of Legal Culture”, HeinOnline 29 Austl. J. Leg. Phil. 1 2004,
https://www.law.berkeley.edu/files/Nelken_-_Using_the_Concept_of_Legal_Culture.pdf, diakses
tanggal 12 Desember 2019 pukul 23.00
untuk politik yang secara sadar dilaksanakan untuk menerapkan kebijakan yang
berakar pada transformasi kultural budaya Indonesia asli dan dikombinasikan
dengan budaya hukum asing yang berasal dari luar baik dengan kegagalan
maupun keberhasilannya. Transformasi kultural tersebut menyiratkan
transplatasi hukum (subsistem politik dan budaya) yang berasal dari proses
sejarah bangsa Indonesia41. Transplantasi hukum dimulai dari pengamatan
terhadap jenis budaya yang dianut oleh masyarakat. Dari hal tersebut akan
mudah dibuat kerangka aturan yang dekat dengan subjek dan akan dipatuhi
karena dianggap menjadi bagian masyarakat.
Membicarakan budaya hukum tidak terlepas dari keadaan masyarakat,
sistem dan susunan masyarakat yang mengandung budaya hukum tersebut.
Budaya hukum dapat berupa penerimaan-penerimaan atau penolakan terhadap
suatu peristiwa hukum.. Tipe budaya hukum dapat dikelompokkan dalam tiga
wujud perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat yaitu: 1)Budaya parokial
(parochial culture), 2)Budaya subjek (subject culture), 3)Budaya partisipant
(participant culture). Dalam kaitannya dengan budaya hukum di Indonesia
lebih condong pada budaya participant dimana pada masyarakat budaya
partisipan (berperan serta), cara berpikir dan berperilaku takluk, dan sebagian
42
lainnya merasa memiliki hak dan kewajiban. Masayarakat Indonesia sudah
merasa mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum
dan pemerintahan. Budaya hukum merupakan proses yang menentukan
bagaimana hukum mencapai tujuan-tujuan sosial seperti apa tujuan hukum
itu diciptakan. Proses ini meliputi awal mula dibentuknya hukum, hingga
hukum itu diterapkan oleh penegak hukum. Sebagai suatu sistem, budaya
hukum prosedural akan mempengaruhi budaya hukum substansial. Oleh
karena itu pembangunan hukum nasional yang salah satu komponennya
adalah budaya hukum, menghendaki transformasi nilai-nilai, tidak hanya the
41
Saidin, “ Mencari dan Menjadi Hukum Indonesia ( Refleksi Pemikiran Prof Mahadi)”, (Jakarta :
Rajagrafindo Persada, 2016) hlm.9
42
Muh. Sudirman Sesse “Budaya Hukum dan Implikasinya terhadap Pembangunan Hukum Nasional”
Jurnal Hukum Diktum, Volume 11, Nomor 2, Juli 2013, hlm 171 - 179
rule of law, tapi juga role of moral, rasa malu, dan nilai- nilai agama, yakni
ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian supremasi hukum
dikedepankan bersama supremasi moral dan keadilan43. Dengan budaya hukum
partisipan, dan haknya dilindungi oleh konstitusi untuk diperlakukan sama
dimata hukum, maka klaim aktivis perempuan atas Rancangan Undang-Undang
KUHP khususnya pasal 470 ayat (1) terkait pemidaan bagi pelaku aborsi harus
mempertimbangkan adanya korban pemerkosaan, sehingga diperlukan pasal
pengecualian dalam RUU dimaksud. Hal tersebut senada dengan pendapat
Friedman bahwa : “the "heart of the new legal culture," he added, gives
primacy to the concept of individual choice .... Each person deserves the right
to choose whether to live or die.., the thoughts to hold or express, the jobs,
ideas, and religions to pursue..,44. Bahwa setiap orang memiliki pilihan untuk
hidup atau mati, untuk diam atau berpendapat, pekerjaan, ide dan pilihan atas
kepercayaan. Sehingga dengan adanya pasal 470 ayat (1) tersebut dinilai tidak
memberikan ruang bagi korban pemerkosaan (yang mengalami kehamilan)
untuk memilih jalan yang diingini, untuk memperthankan kehamilan hasil
pemerkosaan atau tidak.

43
Jawardi, “Strategi Pengembangan Budaya Hukum”, De Jure Jurnal Penelitian Hukum, Volume 16,
Nomor 1, Maret 2016.
44
Michael E. Parrish, “ Friedman 's Law”, Yale Law Journal Issue 4, Volume 112.2013
BAB III
TINJAUAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PASAL 470 AYAT (1)
DALAM RUU KUHP

A. Teori Kepastian Hukum


Kepastian hukum hanya terjamin kalua peraturan yang dipergunakan adalah
peraturan hukum positif. Kritik Satjipto Rahardjo terhadapn kaum positivis terkait
pendapat bahwa lebih baik kalua hukum yang ada kurang sempurna dan kurang
adil, daripada kita hidup tanpa hukum sama sekali. Baginya apabila aturan hukum
sudah melanggar kewajaran hidup manusia maka aturan hukum tersebut telah
dilangkahi dan hakim harus melakukan penemuan hukum baru untuk menetapkan
keadilan bagi suatu kasus45.
Rochmat Soemitro memandang kepastian hukum dengan pendekatan yang
menyatakan bahwa undang-undang tidak boleh memberikan keragu-raguan dan
harus diterapkan secara konsekuen untuk keadaan yang sama secara terus menerus
serta tidak memberikan kepada siapapun untuk memberikan intepretasi yang lain
dari yang dikehendaki oleh undang-undang. Berdasarkan hal tersebut maka dalam
memberikan kepastian hukum perlu diperhatikan beberapa faktor, yaitu : Materi
objek yang tersangkut tempat, waktu, pendefinisian, penyempitan atau perluasan,
ruang lingkup, penggunaan Bahasa baku, penggunaan istilah baku dan syarat-
syarat lainnya46. Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian,
yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan

45
Nobertus Jegalus, “Hukum Kata Kerja (Diskursus Filsafat tentang Hukum Progresif)”, (Jakarta :
OBOR, 2011) hlm. 115
46
Handri Raharjo, Op.Cit. hlm. 12
hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan
yang bersifat umum itu individu dapat mengetahu apa saja yang boleh dibebankan
atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum ini berasal dari
ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran Positivisme di
dunia hukum yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom yang
mandiri, karena bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain sekedar
menjamin terwujudnya oleh hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-
aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan
keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian47.
Kepastian hukum merupakan ciri khas tidak dapat dipisahkan dengan aliran
positivisme hukum yang mempengaruhi perkembangan hukum di Eropa Barat
termasuk negara jajahannya. Indonesia pasca menganut asas konkordansi, yakni
saat masih disebut sebagai De Nederlands ost Indie, dengan diundangkannya
Reglement Op Het beleid der regering Van Nederlands-Indie tahun 1854, berikut
posivitisasi asas nullum delictum …….(nulla poena sine praevia lege poenali)
sebagaimana tertulis dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Pasal tersebut menunjukkan Ciri
alam pemikiran positivisme yakni kepastian hukum (rechtszekerhid). Identifikasi
hukum dengan undang-undang yang menjamin bahwa seseorang dapat dengan
jelas mana yang merupakan hukum dan mana yang bukan merupakan hukum48.

B. Substansi Pasal 470 ayat (1) RUU KUHP

1. Identifikasi Substansi Pasal 470 ayat (1) RUU KUHP dengan kepastian hukum
Pasal Pasal 470 ayat (1) RUU KUHP berisi :
“Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan
tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun ”
Kelanjutan dari pasal dimaksud dikaitkan dengan bantuan orang lain untuk
mengugurkan kandungan terdapat pada pasal Pasal 472 ayat (1) yang berbunyi.

47
Riduan Syahrani, “Rangkuman Intisari Ilmu Hukum”, (Bandung :Citra Aditya, Bandung, 1999) hlm.
23
48
Endang Sutrisno, Op.cit. hlm.38
“Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang membantu melakukan Tindak
Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 470 dan Pasal 471, pidana dapat
ditambah 1/3 (satu per tiga).”
Pasal 75 ayat (1) dan (2) Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan yang berbunyi :
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan :
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan,
baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita
penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak
dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar
kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan.

2. Analisis Substansi Pasal 470 ayat (1) RUU KUHP terhadap kepastian hukum
Pasal 470 ayat (1) dan kemudian diteruskan dengan pasal 472 ayat (2)
RUU KUHP tersebut dinilai berbenturan dengan pasal 75 ayat (1) dan (2) UU
Kesehatan. Berdasarkan pengaturan dalam UU Kesehatan, dokter yang
melakukan aborsi larangan aborsi berdasarkan kedaruratan medis dan akibat
perkosaan dapat menyebabkan trauma prsikologis tidak akan dipidana.49
Kondisi mental korban perkosaan seharusnya menjadi perhatian bagi negara
untuk memberikan perlindungan hukum seadil-adilnya, bukan malah
melakukan kriminalisasi50.
Berdasarkan pemaparan tersebut, aturan tentang aborsi telah ditulis
dalam pertauraan perundang-undangan. Senada dengan pandangan Kelsen
bahwa Hukum adalah norma regular yang menggariskan sanksi. Tidak ada
hukum yang melarang pembunuhan, yang ada hanyalah hukum yang

49
Dimas Ryandi, “ https://www.jawapos.com/nasional/politik/19/09/2019/pasal-aborsi-di-kuhp-baru-
bertentangan-dengan-uu-kesehatan-dan-mui/ diakses tanggal 13 Desember 2019 pukul 03 :09 WIB
50
Abdul Aziz "Isi RKUHP Kontroversial yang Rugikan Perempuan & Didemo
Mahasiswa", https://tirto.id/eiRW", diakses tanggal 13 Desember 2019, pukul 2;44 WIB
memerintahkan para petugas untuk menerapkan sanksi-sanksi tertentu dalam
keadaan tertentu. Hukum merupakan perintah bersyarat (kondisional) bagi
petugas penegak hukum untuk menerapkan sanksi51. Apabila pandangan
tentang hukum hanya bagian dari sanksi namun tidak memerhatikan peraturan
lain yang bertentangan, maka penerpan sanksi pidana aborsi dalam pasal 470
ayat (1) RUU KUHP dinilai tidak memiliki kepastian hukum. Hal tersebut
dikarenakan adanya benturan dengan aturan lain yakni sebagaimana diatur
dalam pasal 75 UU Kesehatan. Aturan yang saling bertentangan tersebut
dapat menimbulkan bias, dan tidak pasti terkait penerapan sanksinya. Hal
tersebut tentu bertentangan dengan prinsip legalitas yang disampaikan Fuller
bahwa dalam perbuatan hukum Fuller mengajukan delapan prinsip legalitas
dalam pembuatan hukum yang salah satunya adalah peraturan tidak boleh
terdapat pertentangan satu sama lain52;

C. Tinjauan Struktur Terhadap Kepastian Hukum


1. Identifikasi Struktur terhadap kepastian hukum
Berdasarkan pasal 1 ayat 3 yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum.
Sehingga segala perbuatan dan peraturan yang dibuat harus memiliki kekuatan
mengikat dan tidak saling berbenturan. Apabila terdapat peraturan yang
berbenturan maka dapat diajukan pengujian peraturan tersesbut kepada
Mahkamah Agung apabila
Mahkamah Konstitusi berwenang menyatakan satu pasal, ayat atau bagian
undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila menurut
pendapatnya pasal, ayat atau bagian undang-undang tersebut bertentangan
dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Dan bila pasal, ayat atau bagian
tersebut bertentangan dengan UUD 1945, maka pasal, ayat atau bagian tertentu

H.L.A Hart, “Konsep Hukum”, ( Bandung : Nusa Media, 2018) hlm. 56


51

52
Arief Sidharta, Ethika Hukum, (Bandung :Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas
Katolik Parahyangan,2008) hlm. 8
dapat dikesampingkan dan digantikan oleh kebijakan hukum yang baru, yang
dirumuskan oleh MK.

2. Analisis Struktur terhadap kepastian hukum


Pemerintah dan Parlemen diharapkan memperhatikan pembangunan materi
hukum dalam rangka mewujudkan hukum sebagai alat merekayasa masyarakat
(law is a tool of social engineering) yang dikembangkan oleh Mochtar
Kusumaatmadjaja di Indonesia dengan Teori Hukum Pembangunan, yang pada
gilirannya melahirkan berbagai produk hukum dengan memperhatikan nilai-
nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (living law, volk geist),
sehingga hukum yang dilahirkan akan dapat berjalan secara efektif sesuai
dengan yang dicita-citakan53. Apabila aturan yang dibuat baik yang diajukan
oleh Legislatif, maka eksekutif selaku pelaksana dapat membahas bersama dan
menyampaikan aspirasi masyarakat, fungsi ini disebut dengan fungsi check and
balances. Apabila upaya penyampaian klaim Dengan adanya judicial review ini
maka hak-hak masyarakat yang hilang dapat dikembalikan melalui sebuah
proses peradilan fair, sehingga benturan-benturan kepentingan bisa diselesaikan
dengan seadil-adil berdasarkan amanah konstitusi, sehingga penyelesaian secara
jalur hukum mendapatkan tempat dihati masyarakat54.

D. Tinjauan Budaya Hukum Terhadap Kepastian Hukum


1. Identifikasi Budaya Hukum terhadap kepastian hukum
2. Analisa Budaya Hukum terhadap kepastian hukum

53

54
Andi Yuliani , “Hak Konstitusional Warga Negara” http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-
puu/2971-hak-konstitusional-warga-negara.html, diakses tanggal 13 Desember 2019 pukul 03:38
BAB IV
TINJAUAN KEMANFAATAN DALAM PASAL 27 UU ITE

A. Teori Kemanfaatan Hukum


Definisi manfaat menurut Jeremy Bentam adalah Hukum bertujuan untuk
mewujudkan yang berfaedah atau berguna (doelmatiq) bagi orang yakni
mewujudkan kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi sebanyak mungkin
orang. 55
By the principle of utility is meant that principle which approves or disapproves of every action
whatsoever, according to the tendency which it appears to have to augment or diminish the
happiness of the party whose interest is in question... (Bentham 1789, ch.i, par.2) 56
1) Substansi Pasal 27 UU ITE Terhadap Teori Kemanfaatan
1. Identifikasi Tinjauan Kemanfaatan terhadap Substansi Pasal 27 ayat 3 UU
ITE menyatakan bahwa:

2. Analisis Kemanfaatan terhadap Substansi Pasal 27 ayat 3 UU ITE

B. Analisis Struktur Terhadap Teori Kemanfaatan


1. Identifikasi Struktur terhadap teori kemanfaatan
2. Analisis Struktur terhadap teori kemanfaatan

C. Analisis Budaya Hukum Dalam Teori Kemanfaatan

55
Handri Raharjo, Op.Cit. hlm. 11
56
Yusuke Kaneko, “Three Utilitarians: Hume, Bentham, and Mill”,  IAFOR on April 21, 2017
1. Identifikasi Budaya Hukum dalam teori kemanfaatan
2. Analisis Budaya Hukum dalam teori kemanfaatan

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

B. Undang-Undang

Undang-Undang Dasar 1945


Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana

C. Sumber Lain

D. Internet

Anda mungkin juga menyukai