Anda di halaman 1dari 9

Ringkasan Materi Kuliah (RMK)

Saat Timbulnya Utang Pajak, Cara Pengenaan Utang Pajak, Hapusnya


Utang Pajak dan Tarif Pajak

Oleh :

Kelompok 3

I Made Wahyu Pradipta (2007531075)


Ni Putu Putri Sriartini (2007531079)
Ni Putu Danis Amara Santi (2007531104)

Dosen Pengampu :

Ni Luh Supadmi, S.E., M.Si., Ak. CA..

Program Studi Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Udayana
2021
A. Penyebab Timbulnya Utang Pajak
Menurut pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa , pengertian utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk
sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat
ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Terdapat dua ajaran mengenai timbulnya utang pajak, yakni :

1. Ajaran Materiil
Ajaran materiil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya
undang undang perpajakan. Artinya, apabila suatu UU Pajak diundangkan oleh
pemerintah, maka pada saat itulah timbul utang pajak sepanjang apa yang diatur
dalam UU tersebut menimbulkan suatu kewajiban bagi seseorang yang terutang pajak.
Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan atau perbuatan yang dapat
menimbulkan utang pajak.

2. Ajaran Formil
Ajaran formil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena dikeluarkannya
surat ketetapan pajak oleh fiskus (pemerintah). Hal ini berarti bahwa seseorang
diketahui memiliki utang pajak saat fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atas
namanya beserta pajak yang terutang.

B. Cara Pengenaan Pajak


Menurut teori, ada tiga cara pengenaan pajak yang dapat dilakukan, yaitu cara pengenaan di
depan ( stelsel fiksi), cara pengenaan di belakang (stelsel riil), dan cara pengenaan campuran
(kombinasi antara stelsel fiksi dan stelsel riil)

1. Pengenaan di Depan (Stelsel Fiksi)


Pengenaan di depan adalah suatu cara pengenaan pajak berdasarkan suatu
anggapan (fiksi) dan anggapan tersebut bergantung pada ketentuan bunyi UU.
Misalnya, penghasilan seorang Wajib Pajak pada tahun berjalan dianggap sama
dengan penghasilan pada tahun sebelumnya, tanpa memperhatikan kondisi yang
sesungguhnya atas besarnya utang pajak pada tahun berjalan. Dengan demikian, maka
fiskus dapat dengan mudah menetapkan besar utang pajak untuk tahun yang akan
datang.

Pasal 25 UU PPh merupakan contoh cara pemajakan di depan yang dilakukan


dengan suatu perhitungan tertentu. Dalam Pasal 25 UU PPh disebutkan besarnya
angsuran pembayaran pajak yang harus dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak dalam
tahun berjalan. Angsuran pembayarannya dilakukan setiap bulan, yakni sebesar
seperduabelas dari besar PPh tahun pajak lalu. Misalnya Pak Ali mempunyai PPh
tahun pajak 2010 sebsar 120 juta, maka angsuran pajak yang harus dibayar Pak Ali
setiap bulan pada tahun pajak 2011 adalah 10 juta.
2. Pengenaan di Belakang (Stelsel Riil)
Pengenaan di belakang adalah cara pengenaan pajak berdasarkan keadaan
yang sesungguhnya (riil) atau nyata yang diperoleh dalam suatu tahun pajak.
Pengenaan pajak baru dilakukan setelah berakhirnya suatu tahun pajak karena
besarnya penghasilan yang diperoleh wajib pajak baru diketahui pada akhir tahun.
Dalam UU PPh, pengenaan pajak cara di belakang diketahui dari ketentuan yang
diatur dalam Pasal 29. Pengenaan pajak di belakang seperti diatur pada Pasal 29
merupakan cara perhitungan pajak setelah memperhitungkan jumlah pembayaran
pajak yang dilakukan di depan.

3. Pengenaan Cara Campuran


Pengenaan cara campuran merupakan suatu cara pengenaan pajak yang
mendasarkan pada kedua cara pengenaan pajak (fiksi dan riil). Pada awal tahun pajak,
fiskus akan mengenakan pajak berdasarkan anggapan yang ditentukan dalam UU,
yang selanjutnya setelah berakhirnya tahun pajak dilakukan pengenaan pajak
dilakukan pengenaan pajak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya (riil).

Kombinasi Pasal 25 dan Pasal 29 UU PPh merupakan kombinasi cara


pengenaan di depan dan pengenaan di belakang. Pengenaan cara campuran
merupakan pengenaan pajak yang meringankan Wajib Pajak. Hal ini disebabkan
wajib pajak diberikan kesempatan untuk mencicil beban pajak dengan cara membayar
pajak di depan yang dilakukan setiap bulan. Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib
Pajak akan menghitung sendiri kekurangan pajak yang sebenarnya terutang sehingga
Wajib Pajak hanya tinggal membayar kekurangannya setelah berakhirnya tahun pajak.
Cara ini merupakan yang efektif dalam proses pemungutan pajak guna tercapainya
penerimaan pajak yang diharapkan pemerintah.

4. Hapusnya Utang Pajak


Empat hal yang menyebabkan hapusnya utang pajak, yaitu

1. Pembayaran
Utang pajak akan hapus apabila wajib pajak melakukan pembayaran atas utang
pajaknya ke kas negara atau tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri keuangan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau dokumen lain yang dipersamakan,
pembayaran dilakukan dengan uang.

2. Kompensasi
Suatu cara menghapus utang pajak yang dilakukan melalui cara pemindahan
kelebihan pajak pada suatu jenis pajak dengan menutup kekurangan utang pajak atas
jenis pajak yang sama atau jenis lainnya dalam tahun yang sama atau berbeda. Untuk
jenis pajak yang berbeda dalam tahun pajak yang sama misalnya antara kelebihan
pembayaran PPh dengan kekurangan pembayaran PPN atau antara jenis pajak yang
sama dalam tahun yang berbeda misalnya kelebihan pembayaran PPh tahun lalu
dengan kekurangan pembayaran PPh tahun berjalan.
3. Kadaluwarsa
Kadaluwarsa utang pajak adalah cara menghapus utang pajak karena
lampaunya waktu proses penagihan pajak atau penetapan pajak. Kadaluwarsa pajak
bertujuan agar adanya suatu kepastian hukum bagi wajib pajak pada masa tertentu
yang disesuaikan UU tidak lagi mempunyai utang pajak. Pasal 13 dan 22 UU No.16
Tahun 2000 menyatakan kadaluwarsa penetapan dan penagihan pajak akan lampau
waktu setelah 10 tahun, setelah waktu tersebut wajib pajak tidak mempunyai
kewajiban untuk melunasi utang.

4. Penghapusan
Hapusnya utang pajak karena adanya proses penghapusan piutang pajak yang
disebabkan oleh dilakukan karena kondisi dari Wajib Pajak yang bersangkutan
dengan beberapa alasan seperti
 Wajib pajak meningeal dan tidak meninggalkan warisan dan ahli waris atau
ahli waris tidak ditemukan
 Wajib pajak tidak mempunyai harta lagi yang dibuktikan dari surat keterangan
pemerintah daerah setempat
 Wajib pajak atau dokumen tidak dapat ditemukan karena keadaan yang tidk
dapat dihindari, seperti bencana alam, kebakaran, dll. Dokumen utang pajak
yang tidak bisa ditemukan atau hancur dapat dibuatkan berita acara sesuai
keadaan sebenarnya

Dalam beberapa kasus diketahui pembayaran utang pajak tidak dilakukan sesuai
ketentuan yang diatur, dimana seharusnya pembayaran dilakukan melalui bank persepsi atau
kantor pos, tetapi terkadang wajib pajak malah mempercayai oknum konsultan pajak atau
pegawai pajak untuk menitipkan pembayaran utang pajak. Terkadang, hal itu mengakibatka
utang pajak belum masuk ke rekening kas negara dan dianggap tidak lunas. Maka, disarankan
untuk membayar melalui bank dan kantor pos yang diberikan kepercayaan oleh pemerintah.

5. Tarif Pajak
Tarif pajak merupakan salah satu unsur yang menentukan rasa keadilandalam pemungutan
pajak bagi wajib pajak yang besarnya dicantumkan dalam UU pajak. Tarif pajak dalam UU
tidak selalu ditentukan dengan persen, tetapi nilai nominal seperti juga dapat menentukan,
diantaranya

1. Tarif Progresif
Tarif progresif adalah tarif pemungutan pajak yang presentasenya makin besar jika
jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga makin besar. Tarif proresif diatur
dalam pasal 17 UU PPh, dengan contoh
Untuk WP orang pribadi
Lapisan Penghasilan Kena pajak Tarif pajak
Sampai dengan Rp25.000.000 5%
Di atas Rp25.000.000-Rp50.000.000 10%
Di atas Rp50.000.000-Rp100.000.000 15%
Di atas Rp100.000.000-Rp200.000.000 25%
Di atas Rp200.000.000 30%

Untuk WP BUT
Lapisan Penghasilan kena pajak Tarif pajak
<= Rp50.000.000 10%
Rp50.000.000-Rp100.000.000 15%
>Rp100.000.000 30%

Tarif progresif membuat jumlah pajak yang terutang semakin besar sesuai dengan
kenaikan tarif dan besarnya jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak.
Contoh perhitungan
Adi mempunyai penghasilan sejumlah Rp100.000.000, maka besarnya pajak yang
terutang
5% x Rp25.000.000 = Rp1.250.000
10% x Rp25.000.000 = Rp2.500.000
15% x Rp 50.000.000 = Rp7.500.000
Jumlah pajak terutang = Rp11.250.000

2. Tarif Degresif (Menurun)


Tarif degresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya makin kecil bila
jumlah jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak makin besar. Sekalipun
persentasenya makin kecil, tidak berarti jumlah pajak yang terutang menjadi kecil, tetapi
bias menjadi besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga makin
besar. Tarif ini tidak pernah digunakan dalam praktik perundang-undangan perpajakan.
Contoh pemakaian tarif degresif.

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

≤ Rp10.000.000 30%
Rp10.000.000-Rp50.000.000 25%
> Rp50.000.000 15%

Jika Tuan Ali punya penghasilan sebesar Rp100.000.000, maka besarnya pajak yang
terutang adalah:
30% × Rp10.000.000 = Rp3.000.000
25% × Rp40.000.000 = Rp10.000.000
15% × Rp50.000.000 = Rp7.500.000
Jumlah pajak terutang = Rp20.500.000
3. Tarif Proporsional (Sebanding)
Tarif proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase tetap
tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian,
makin besar jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak, akan makin besar jumlah
pajak terutang (yang harus dibayar). Tarif ini diterapkan dalam UU No. 18 Tahun 2000
(UU PPN) yang menggunakan tarif proporsional sebesar 10%. Misalnya, Tuan Alex
melakukan suatu transaksi (penjualan) suatu Barang Kena Pajak (BKP), sebagai berikut:
Jumlah Penjualan Tarif Besarnya Pajak

Rp500.000 10% Rp50.000


Rp1.000.000 10% Rp100.000
Rp5.000.000 10% Rp500.000
Rp10.000.000 10% Rp1.000.000

Demikian pula dengan UU No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
menggunakan tarif proporsional sebesar 0,5% serta UU No. 21 Tahun 2000 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (UU BPHTB) menggunakan tarif proporsional
sebesar 5% (lima persen). Karena tarif proporsional ini hanya menggunakan satu tarif
yang persentasenya tetap, maka sering disebut juga dengan tarif tunggal.

4. Tarif Tetap
Tarif tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa
memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif ini diterapkan dalam
UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM). Dalam UU Bea Meterai, tarif yang
digunakan adalah Bea Meterai dengan nilai nominal sebesar Rp500 dan Rp1.000. Nilai
nominal dalam perkembangannya selalu berubah-ubah. Berdasarkan PP No. 7 Tahun
1995, tarif Bea Meterai tersebut dinaikkan menjadi Rp1.000 dan Rp2.000 yang
selanjutnya dengan PP No. 24 Tahun 2000 tarifnya dinaikkan lagi menjadi Rp3.000 dan
Rp6.000. Kemudian, mulai tanggal 1 Januari 2021 melalui Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2020 hanya berlaku satu tarif yaitu Rp10.000,00 dengan batasan nilai dokumen
yang memuat jumlah uang di atas Rp5.000.000,00.

5. Tarif Advalorem
Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang
dikenakan/ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang.
Misalnya, PT ABC mengimpor barang jenis ‘X’ sebanyak 1.000 unit dengan harga per
unit Rp100.000. Jika tarif Bea Masuk atas Impor Barang tersebut 10%, maka besarnya
Bea Masuk yang harus dibayar adalah:

Nilai Barang Impor = 1.000 × Rp100.000


= Rp100.000.000
Tarif Bea Masuk 10%, maka Bea Masuk yang harus dibayar = 10% × Rp100.000.000
= Rp10.000.000
6. Tarif Spesifik
Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu
atau suatu satuan jenis barang tertentu.
Misalnya, PT BCD mengimpor barang jenis ‘X’ sebanyak 1.000 unit dengan harga
Rp100.000. Jika tarif Bea Masuk atas impor barang Rp100.000 per unit, maka besarnya
Bea Masuk yang harus dibayar adalah:

Jumlah Barang Impor = 1.000 unit


Tarif Rp100.000, maka
Bea Masuk yang harus dibayar = Rp100.000 × 1.000
= Rp100.000.000

Kesimpulan

Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa
bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat
sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Terdapat dua ajaran
mengenai timbulnya utang pajak, yakni ajaran materiil dan ajaran formil. Secara umum cara
pengenaan utang pajak terbagi menjadi tiga, yaitu cara pengenaan di depan ( stelsel fiksi),
cara pengenaan di belakang (stelsel riil) dan cara pengenaan campuran. Selain terdapat cara
pengenaan utang pajak, terdapat juga empat hal yang menyebabkan hapusnya utang pajak,
yaitu pembayaran, kompensasi, kadaluarsa dan penghapusan. Berbicara mengenai jenis-jenis
tarif pajak, terdapat enam jenis tarif pajak, yaitu tarif progresif, tarif degresif, tarif
proporsional, tarif tetap, tarif advalorem, dan tarif spesifik.
Daftar Pustaka

Kementerian Keuangan. (2020). Tarif Tunggal Bea Meterai Rp10.000 Dikenakan Mulai
Tahun 2021 dengan Masa Transisi. Dikutip dari
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/tarif-tunggal-bea-meterai-rp10000-
dikenakan-mulai-tahun-2021-dengan-masa-transisi/. Diakses dan diunduh pada 18
Februari 2021.

Rafinska, K. (2019, September 24). Utang Pajak dan Piutang Pajak, Kenali 2 Istilah Pajak

Ini! Retrieved February 20, 2021, from OnlinePajak website: https://www.online-

pajak.com/tentang-pajak/utang-pajak-dan-piutang-pajak#:~:text=Utang%20pajak

%20merupakan%20pajak%20yang,ketentuan%20peraturan%20perundang

%2Dundangan%20perpajakan.

‌Tax Center Unair. (2020). UTANG PAJAK – Tax Center. Retrieved February 20, 2021, from

Unair.ac.id website: https://taxcenter.vokasi.unair.ac.id/2020/12/08/utang-pajak/

Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton. (2013). Hukum pajak (teori, analisis, dan perkembangannya)
edisi 6. Jakarta: Saleman Empat

Anda mungkin juga menyukai