Garuda 1709840
Garuda 1709840
Ririn Fauziah
Institut Agama Islam Sunan Giri Bojonegoro
shonafauziyah@gmail.com
Abstract
“Sunnah as one of the sources of Islamic law that occupies the second position after al-
Qur'an, it is still a matter of disputed. The dispute stems from differences of opinion about the
legal force contained in the sunnah, which includes binding and has the power to emulate or
not. These differences of opinion have different legal consequences. The position and urgency
of sunnah in the formation of Islamic law also did not escape from the dispute. Some scholars
believe that the sunnah as the second source of law is capable of independently establishing
the law, but some others assume that the sunnah is not a source of law-settlers but rather the
explanation and detailing, so that anything born from sunnah has actually been covered in
al-Qur'an 'an. Sunnah serves to explain and strengthen the laws that already exist in al-
Qur'an. Sunnah also provides the details and interpretations of the verses of al-Qur'an that
are still mujmal or global, providing limits on the things that have not been limited, giving
specificity (takhsis) on the verses that are general, and provide explanations of things which
is still complicated in al-Qur'an. Sunnah also serves as the forming of a new law that does
not exist in al-Qur'an.”
Pendahuluan
Sunah sebagai salah satu sumber hukum Islam yang menduduki posisi kedua setelah
al-Qur’an, ternyata masih menjadi hal yang diperselisihkan. Perselisihan tersebut bersumber
dari perbedaan pendapat mengenai kekuatan hukum yang dikandung sunah tersebut, yakni
termasuk yang mengikat dan mempunyai kekuatan untuk diteladani atau tidak. Perbedaan
pendapat ini menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula.
Adakalanya kapasitas Rasul SAW sebagai utusan Allah yang mendapat perlakuan
khusus tidak difahami oleh umatnya sehingga umatnya mengikuti segala perbuatan yang
dilakukan Rasul SAW yang sebenarnya hal tersebut hanya dikhususkan bagi Rasul SAW dan
Sunah menurut bahasa adalah: jalan (cara) yang biasa dilakukan, baik berupa cara
yang baik atau buruk. Menurut istilah ulama ushul, Sunah adalah: segala suatu yang
bersumber dari Rasulullah SAW berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan, dari segi
kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum Islam.1 Syi’ah memandang sunah sebagai
segala sesuatu yang disandarkan pada orang yang ma’sum (terjaga dari segala perbuatan hina,
dosa, dan maksiat) baik berupa perkataan, perbuatan, atau penetapan. Mereka beranggapan
bahwa yang ma’sum bukan hanya Rasul SAW, tetapi keturunan dari Fatimah dan Ali (ahl al-
bait) juga merupakan orang-orang yang ma’sum dan dapat dijadikan sebagai sumber .2
Sunah dari segi dzatnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu: sunah qauliyah, sunah
fi’liyah, dan sunah taqri>riyah.
a. Sunah qauliyah adalah: segala yang diucapkan Rasul SAW baik dalam bentuk
pernyataan, anjuran, perintah, cegahan, maupun larangan3. Seperti hadis di bawah ini:
صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته:قوله صلى هللا عليه و سلم
Rasul SAW bersabda: “berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (tidak puasa)
karena melihat hilal”.
من نام عن الصلة او نسيها فليصلها اذاذكرها:قوله صلى هللا عليه و سلم
Rasul SAW bersabda: barang siapa yang tidak shalat karena tertidur atau karena lupa
maka hendaklah ia mengerjakan shalat itu ketika ia telah ingat.4
1
Musthafa Ibrahim. Asba>bu ikhtilafi al-fuqaha> fi al-ahka>m al-syar’iyyah (Bagdad: Darul Arabiyyah, 1987),
255.
2
Amir Syarifuddin. Us}u>l al-Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 75.
3
Tim Penyusun Studi Islam IAIN Ampel. Pengantar Studi Islam (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2010), 52.
b. Sunah fi’liyah (‘amaliyah): segala perbuatan Rasul SAW yang dilihat oleh para
sahabat mengenai masalah ibadah, muamalah, dan sebagainya. Seperti cara Rasul
SAW melaksanakan shalat, puasa, haji, dan lain-lain.5 Para ulama membagi sunah
fi’liyah dari segi kekuatan untuk diteladani dan mengikat ke dalam tiga bagian, yaitu:
1. Perbuatan Rasul SAW sebagai manusia biasa atau berupa adat kebiasaan, seperti:
cara makan, minum, duduk, berdiri, berpakaian, memelihara jenggot, dan
sebagainya.
Mengenai kekuatan mengikat untuk diteladani atau tidak, para ulama
berbeda pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa perbuatan Rasul SAW
semacam ini merupakan sunah yang memiliki kekuatan hukum untuk diikuti
meskipun hanya dihukumi sunah (mandub). Sedang ulama yang lain menganggap
perbuatan Rasul SAW hanya sebagai adat kebiasaan sehingga tidak memiliki
kekuatan hukum untuk diteladani.6
Namun, segala suatu yang dilakukan oleh Rasulullah SAW sebagai
manusia, bukan sebagai Rasul, ada kemungkinan boleh dilakukan baginya dan
bagi umatnya, dan umatnya disunahkan untuk mengikutinya.
2. Perbuatan Rasul SAW yang dikhususkan hanya untuk Rasul SAW, seperti:
wajibnya s}alat d}uha, witir, tahajjud tengah malam, dan berkurban. Perbuatan ini
hanya diwajibkan bagi Rasul SAW dan disunahkan bagi umatnya. Sedang
mengenai masuk Makkah tanpa ihram dan nikah lebih dari empat istri, hanya
dikhususkan bagi Rasul SAW dan merupakan hal yang haram dilakukan bagi
umat.
Jadi segala suatu yang sudah pasti merupakan kekhususan bagi Rasul
SAW, tidak perlu diikuti oleh umatnya kecuali ada dalil yang mengharuskan atau
membolehkan kita untuk mengikutinya.
3. Perbuatan Rasul SAW yang berisi penjelasan hukum, seperti: tata cara s}alat,
puasa, cara melakukan jual-beli, utang-piutang, dan sebagainya.7 Perbuatan Rasul
SAW yang berupa penjelasan ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
a) Merupakan penjelas terhadap apa-apa yang terdapat dalam al-Qur’an yang
masih memerlukan penjelasan. Hukum yang timbul dari penjelasan Rasul
4
Muhammad Abu Zahrah. Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t. th), 82.
5
Zufran Rahman. Kajian Sunah Nabi SAW Sebagai Sumber Islam: Jawaban Terhadap Aliran Inkar Sunah
(Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995), 11.
6
Amir syarifuddin. Us}u>l Fiqh…………….., 78-79.
7
Musthafa Ibrahim. Asba>b al-ikhtila>fi al-fuqaha> fi al-ahkam al-syar’iyyah………… 257-259.
8
Amir syarifuddin. Ushul Fiqh…………….., 79-80.
ashar kecuali di Bani Quraidhah”, para sahabat berbeda pendapat dalam memahami
perkataan tersebut. Sebagain sahabat memahami ucapan itu secara harfiah sehingga
mereka mengakhirkan shalat Ashar sampai tiba di Bani Quraidhah, sedang sebagian yang
lain memahami bahwa ucapan itu merupakan perintah agar bergegas supaya tidak
terlambat untuk meyerang musuh sehingga mereka tetap melaksanakan s}alat ashar saat
itu (sebelum sampai Bani Quraidhah). Ketika berita itu sampai pada Rasul SAW, beliau
membenarkan kedua kelompok tersebut.
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.10
9
Ibrahim, Asbab al-ikhtilafi al-fuqaha fi al-ahkam al-syar’iyyah…………, 261-262.
10
QS. Ali Imran (3): 31.
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan
barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka”.11
Selain kedua ayat di atas, terdapat beberapa ayat lain yang menjelaskan tentang
kewajiban menaati Rasul SAW, diantaranya: surat al-Nisa’ (64), al-Nahl (4), al-Ahzab (36)
dan sebagainya. Ini menunjukan bahwa sunah Nabi merupakan hujjah dan sumber hukum
islam.12
2. Sunah
Sebagaimana hadis dari Aisyah dan Abdullah bin Umar berikut:
قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم من احدث في امرنا هذا ما ليس منه فهو رد:عن عائسة قالت
Rasul SAW bersabda: barang siapa yang membuat hal baru, yang tidak termasuk
bagian dari ajaranku maka ditolak.
قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ليؤمن احدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به:عن عبدهللا ابن عمر قال
Rasul SAW bersabda: Tidak beriman salah seorang di antara kamu sampai hawa
nafsunya tunduk pada apa yang aku bawa.
Dan beberapa hadis lain yang menegaskan bahwa sunah merupakan sumber hukum
islam setelah al-Qur’an.13
3. Ijma’
Para sahabat sepakat untuk mengikuti sunah Rasul SAW dan kembali ke
Sunah bila tidak menemukan hukum suatu masalah di dalam Al-Qur’an.
4. Dalil Aqli
Setiap orang yang berakal mengetahui bahwa orang yang dipercaya sebagai
Nabi pasti bisa dipercaya segala apa yang keluar darinya dan wajib diikuti. Disamping
itu al-Qur’an sebagai sumber primer hukum Islam tidak menjelaskan secara rinci
mengenai tata cara maupun syarat dari beberapa perintah yang dibebankan kepada
umat sehingga melalui Rasul SAW semuanya akan menjadi lebih jelas. Jika sunah
11
Q.S. al-Nisa (4): 80.
12
Ibrahim, Asbab al-ikhtilafi al-fuqaha fi al-ahkam al-syar’iyyah…………, 263. Lihat pula Achmad el
Ghandur. Perspektif Islam. Terj Ma’mun Muhammad Murai. (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2006), 125-126.
13
Ibrahim, Asba>b al-ikhtila>fi al-fuqaha> fi al-ahkam al-syar’iyyah………….., 263-264.
14
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya (Jakarta: Sinar Grafika, 1995),
26-27.
15
QS. al-Hajj (22): 30.
sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: “awas berkata palsu”
(HR. Bukhari Muslim).16
b) Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal atau
global (bayan al-mujmal), memberikan batasan terhadap hal-hal yang belum terbatas
(taqyid al-mutlaq), memberikan kekhususan (takhsis) ayat-ayat yang bersifat umum
(takhshish al-amm), dan memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang masih rumit di
dalam al-Qur’an.17
Contoh bayan al-mujmal:
“Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku'” .18
S{alat di dalam al-Qur’an hanya disebutkan secara global mengenai wajibnya shalat
tanpa dijelaskan kaifiyah (cara-cara) menjalankannya, jumlah rakaatnya, dan sebagainya
secara terperinci. Hal ini dijelaskan dalam Hadis berikut ini:
صلواكما رأيتموني أصلى
“S}alatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan s}alat” (HR.
Bukhari Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasul SAW memberikan contoh praktis tentang cara-
cara menjalankan ibadah shalat.
Contoh taqyid al-muthlaq:
Di dalam al-Qur’an disebutkan tentang ketentuan anak dapat mewarisi harta orang tua
dan keluarganya sebagai berikut:
16
Muhaimin, et al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Jakarta: Kencana, 2005), 134-135.
17
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 41.
18
QS. al-Baqarah (2): 43.
19
QS. al-Nisa’ (4): 11.
…….
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah……." 20.
أحلت لكم ميتتان ودمان فأما الميتتان فالحوت والجراد واما الدمان فالكبد والطحال
“Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua
macam bangkai itu adalah bangkai ikan dan bangkai belalang, sedang dua macam
darah itu ialah hati dan limpa”. (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)21
Al-Qur’an mengharamkan bangkai dan darah secara umum, namun Hadis di atas
mengecualikan dua bangkai dan dua macam darah yang halal.
c) Sunah sebagai pembentuk hukum baru yang belum ada dalam al-Qur’an, sehingga
sumber yang digunakan adalah Sunah. Seperti masalah sanksi terhadap pezina yang
sudah bersuami. Dalam al-Qur’an ia dihukum dengan 100 kali cambukan, kemudian
sunah menambahkannya dengan hukum rajam.
Para ulama telah sepakat mengenai fungsi sunah sebagai penguat dan penjelas
terhadap al-Qur’an, namun mengenai fungsi sunah sebagai pembentuk hukum baru yang
belum ada dalam al-Qur’an masih menjadi perselisihan di antara ulama. Sebagian ulama
berpendapat bahwa sunah tidak mandiri dalam menetapkan hukum, tetapi bersandar pada
nash umum al-Qur’an sehingga sunah bertugas menjelaskan dan mencabangkannya.
Sedangkan sebagian yang lain beranggapan bahwa sunah memang membentuk hukum secara
mandiri. Sebagaimana diharamkannya mengumpulkan antara seorang wanita dengan bibinya,
20
QS. al-Maidah (5): 3.
21
Muhaimin, et al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam…………, 136-137.
haramnya hewan yang berkuku tajam dan hewan buas yang bertaring, dan beberapa hukum
lain yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an. Sunah dengan kemandiriannya menetapkan
keharamannya.22
Dalam hal ini Imam Syafi’i mencoba memberikan alasan terhadap pendapat yang
menerima fungsi sunah sebagai pembentuk hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an,
yaitu:
1) Rasul SAW memiliki otoritas untuk menetapkan sesuatu yang tidak terdapat di dalam
al-Qur’an dengan catatan selama Rasul diyakini ma’sum, maka tidak ada halangan
untuk menetapkan syari’at sendiri. Sehingga Rasul berhak untuk menetapkan hukum
yang tidak di atur dalam al-Qur’an.
2) Banyak ayat al-Qur’an yang menunjukkan wajib taat kepada Rasul SAW, termasuk
apa yang ditetapkan.
3) Banyak Hadis yang menunjukkan bahwa sunah dan al-Qur’an merupakan rujukan
utama.
Sedang pendapat yang kedua menganggap bahwa apapun yang ditetapkan oleh sunah
sebenarnya telah ditetapkan di dalam al-Qur’an. Al-Qur’an hanya berfungsi sebagai penjelas
dan semua yang diucapkan, dilakukan, dan ditetapkan Rasul adalah kembali kepada al-
Qur’an.23 Sesungguhnya tidak ada perbedaan antara kedua pendapat di atas karena pada
hakikatnya mereka sepakat adanya ketetapan baru dari sunah, hanya saja pendapat yang
pertama menyatakan bahwa ketetapan itu berdiri sendiri sedang pendapat yang kedua
menyatakan bahwa ketetapan tersebut tidak terlepas dari al-Qur’an.
Penutup
Sunah menurut bahasa adalah: cara yang biasa dilakukan, baik berupa cara yang baik
atau buruk. Sedangkan menurut istilah Sunah adalah: segala suatu yang bersumber dari
Rasulullah SAW berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan.
Macam-macam Sunah dari segi dzatnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu: sunah
qauliyah, sunah fi’liyah, dan sunah taqri>riyah. Sunah qauliyah adalah: segala yang diucapkan
Rasul SAW baik dalam bentuk pernyataan, anjuran, perintah, cegahan, maupun larangan.
Sedang Sunah fi’liyah (‘amaliyah) adalah segala perbuatan Rasul SAW yang disaksikan oleh
22
Salim Ali al-Bahanasawi, Rekayasa as-Sunah. Terj. Abdul Basith Junaidy. (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001),
21-22.
23
Fathurrahman Djamil. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 98-100.
Daftar Pustaka
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Jakarta:
Sinar Grafika, 1995.
Abu Zahrah, Muhammad. Us}ul> al-Fiqh Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t. th.
Ali al-Bahanasawi, Salim. Rekayasa as-Sunah. Terj. Abdul Basith Junaidy. Yogyakarta:
Ittaqa Press, 2001.
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Ghandur, (el) Achmad. Perspektif Islam. Terj Ma’mun Muhammad Murai. Yogyakarta:
Pustaka Fahima, 2006.
Rahman, Zufran. Kajian Sunah Nabi SAW Sebagai Sumber Hukum Islam: Jawaban
Terhadap Aliran Inkar Sunah Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995.
Syarifuddin, Amir. Us}ul> al-Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Tim Penyusun Studi Islam IAIN Ampel. Pengantar Studi Islam. Surabaya: Sunan Ampel
Press, 2010.