PEMBAHASAN
Uraian Jumlah
Perusahaan yang terdaftar di BEI per 31 Desember 2017 567
Perusahaan yang terdaftar di BEI setelah 1 Januari 2012 (81)
Perusahaan sektor keuangan (88)
Perusahaan sektor properti, real estate, dan konstruksi bangunan (64)
Perusahaan sektor pelayaran (15)
Perusahaan yang tidak mengungkapkan beban CSR (221)
Perusahaan dengan penghasilan neto fiskal negatif (56)
Total sampel penelitian 49
Tahun 6
Observasi perusahaan dengan laba neto fiskal positif 294
Sumber: Data diolah penulis
35
36
B. Analisis Deskriptif
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh aktivitas CSR yang diproksikan
dengan beban pengeluaran CSR dan agresivitas pajak yang diproksikan dengan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan oleh DJP. Variabel kontrol yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi ukuran perusahaan (size), profitabilitas,
leverage, dan intensitas modal. Sebelum melakukan pengujian model, terlebih dahulu
dilakukan analisis statistik deskriptif.
Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui distribusi data dari
setiap variabel yang digunakan. Dalam penelitian ini terdapat empat variabel
independen dan satu variabel dependen. Variabel independen berupa binary outcome
37
yang terdiri dari angka 0 dan 1 sehingga tidak perlu dimasukkan dalam analisis statistik
deskriptif. Ukuran statistik yang digunakan dalam analisis deksriptif ini adalah nilai
rata-rata (mean), nilai maksimum (maximum), nilai minimum (minimum), dan standar
deviasi (std deviation) dari seluruh variabel penelitian.
Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan yang mengungkapkan beban
tanggung jawab sosial pada laporan tahunan maupun laporan keuangan perusahaan.
Perusahaan terindikasi melakukan agesivitas pajak jika setelah pemeriksaan oleh DJP,
perusahaan mendapatkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang
dilaporkan dalam SPT tahunan WP. SKPKB yang diidentifikasi merupakan SKPKB
untuk tahun pajak sesuai biaya pengeluaran CSR dilakukan yaitu SKPKB atas
pelaporan dan pembayaran pajak tahun 2012 2017. Untuk mengetahui variabel-
variabel independen yang signifikan membedakan kedua kelompok tersebut, berikut ini
disajikan statistik deskriptif dari kedua kelompok sampel.
Std.
Variabel Obs Mean Deviasi Min Max Median
CSR 77 0.003723 0.0040906 0.00001 0.02323 0.0024
SIZE 77 29.90982 1.507401 27.18331 32.15098 30.1749
LEV 77 0.152267 0.1205446 0.00757 0.57587 0.12421
CAPINT 77 0.381156 0.188541 0.01308 0.85801 0.38268
ROA 77 0.132963 0.099474 -0.02362 0.48337 0.10637
Sumber: Data sekunder diolah penulis
Tabel IV.4 Statistik Deskriptif Perusahaan Non Agresif Pajak
(Tidak Mendapat SKPKB)
Variabel Obs Mean Std. Deviasi Min Max Median
CSR 217 0.0014 0.0019 0.00001 0.0148 0.0009
SIZE 217 28.8243 1.4995 25.5796 32.1561 28.7945
LEV 217 0.1639 0.1456 0.0063 0.6018 0.1080
CAPINT 217 0.3286 0.1824 0.0165 0.9174 0.3020
ROA 217 0.1026 0.1152 -0.4493 0.5772 0.0830
Sumber: Data sekunder diolah penulis
38
Dari Tabel IV.3 dan IV.4 diketahui jumlah observasi yang mendapat SKP
adalah 77 sedangkan observasi yang tidak mendapat SKP adalah 217. Hal ini berarti,
dalam rentang enam tahun penelitian lebih banyak jumlah observasi yang tidak
berperilaku pajak agresif dibandingkan dengan observasi yang terindikasi berperilaku
pajak agresif.
Selanjutnya dapat dilihat bahwa rata-rata beban CSR, SIZE, CAPINT, dan ROA
pada observasi yang melakukan agresivitas pajak bernilai lebih besar daripada
observasi yang tidak melakukan agresivitas pajak. Hal ini mencerminkan bahwa
perusahaan yang melakukan agresivitas pajak cenderung memiliki nilai beban CSR,
ukuran perusahaan, nilai aset tetap, dan nilai profitabiltas yang lebih tinggi
dibandingkan perusahaan yang tidak agresif. Sementara untuk nilai rata-rata LEV
(tingkat hutang), perusahaan yang agresif pajak memiliki nilai lebih rendah daripada
perusahaan yang tidak agresif pajak. Dengan demikian perusahaan yang agresif pajak
memiliki tingkat hutang yang lebih rendah dibanding perusahaan yang tidak agresif.
Selain dari rata-rata setiap variabel, kita dapat melihat kecondongan data dari
selisih antara rata-rata dan median. Dari kedua kelompok perusahaan, diketahui bahwa
nilai rata-rata variabel CSR lebih besar dari nilai tengah. Hal ini menggambarkan bahwa
hampir separuh sampel memiliki beban tanggung jawab sosial dengan luas
pengungkapan di atas rata-rata. Hal yang sama berlaku bagi variabel LEV dan ROA,
pada kedua kelompok perusahaan serta SIZE dan CAPINT pada kelompok perusahaan
yang tidak agresif pajak. Sementara untuk variabel SIZE dan CAPINT pada kelompok
perusahaan yang agresif, nilai rata-rata lebih kecil dari nilai tengah. Hal ini
mengindikasikan bahwa sebagian besar data bernilai di bawah nilai tengah. Berikut
penjabaran lebih rinci dari statistik deskriptif dari masing-masing variabel.
1. Agresivitas Pajak
Tabel IV.5 menunjukkan perbandingan antara jumlah perusahaan yang agresif
dan tidak agresif secara pajak selama kurun 2012 sampai 2017. Secara keseluruhan
jumlah observasi dimana perusahaan menerima SKPKB sebesar 78 observasi atau 26%
dari total observasi, sedangkan observasi dimana perusahaan tidak menerima SKPKB
berjumlah 217 atau 74% dari total observasi. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian
39
deviasi yang lebih besar dari rata-rata menunjukkan bahwa besarnya beban CSR yang
dikeluarkan memiliki perbedaan yang relatif besar antar perusahaan sampel.
Sektor Std.
N Rata-rata Minimum Maximum Median
Perusahaan Deviasi
Primer 78 0.003561 0.004137 0.000020 0.023235 0.002111
Industri dan
156 0.001630 0.002114 0.000012 0.012280 0.000862
Manufaktur
Jasa 60 0.000940 0.000841 0.000008 0.003269 0.000684
Total 294 0.002002 0.002820 0.000008 0.023235 0.001073
Sumber: Data sekunder diolah penulis
Total rata-rata rasio beban pengeluaran CSR sektor primer sebesar 0,003561,
sektor industri manufaktur sebesar 0,001630, serta sektor jasa sebesar 0,000940. Nilai
tengah beban pengeluaran CSR sektor primer sebesar 0,002111, sektor industri
manufaktur sebesar 0.000862, serta sektor jasa sebesar 0,000940. Hal ini
mengindikasikan pada ketiga sektor, hampir separuh sampel yang diteliti memiliki luas
pengungkapan di atas rata-rata.
Sama halnya dengan nilai total CSR, pada sektor primer dan industri
manufaktur, standar deviasi bernilai lebih besar dari rata-rata, hal ini menunjukkan
bahwa besarnya beban CSR yang dikeluarkan memiliki perbedaan yang relatif besar
antar perusahaan sampel. Sedangkan pada sektor jasa, besarnya standar deviasi lebih
kecil dari nilai rata-rata yang berarti beban CSR antar perusahaan di sektor jasa
mempunyai karakteristik yang lebih homogen dibanding dua sektor lainya. Cenderung
beragamnya besaran CSR yang dikeluarkan oleh perusahaan dikarenakan tidak adanya
aturan atau standar baku yang mengatur besaran nilai CSR. Sehingga besaran biaya
CSR tergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan. Untuk mengetahui
gambaran trend beban CSR, berikut disajikan grafik mengenai Rata-rata Beban CSR
per Sektor Industri Tahun 2012 sampai 2017.
Melalui Gambar IV.1 dapat diketahui bahwa pengeluaran CSR setiap tahun dari
ketiga sektor cukup berfluktuasi. Pada kurun waktu 2012 hingga 2017, sektor industri
manufaktur dan jasa mengalami peningkatan rata-rata pengeluaran untuk beban CSR.
41
Pada tahun 2012 sektor industri manufaktur mengeluarkan Rp27,9 triliun dan
meningkat pada 2017 sebesar Rp32, triliun. Sedangkan untuk sektor jasa mengeluarkan
beban CSR sebesar Rp9,2 triliun pada 2012 dan meningkat menjadi Rp20,8 triliun pada
2017. Sementara sektor primer justru mengalami penurunan dari senilai Rp57,7 triliun
pada 2012 menjadi Rp52,1 triliun pada 2017. Walaupun begitu, rata-rata beban CSR
tahun 2012 hingga 2017 sektor primer lebih tinggi dibandingkan sektor industri
manufaktur dan jasa yaitu Rp 44,4 miliar. Sedangkan untuk sektor industri dan
maufaktur memiliki rata-rata beban CSR sebesar 32,2 miliar sedangkan sektor jasa
sebesar 16,6 miliar.
Gambar IV.1 Rata-rata Beban CSR per Sektor Industri Tahun 2012 sampai 2017
Sektor primer memiliki pengeluaran CSR yang lebih tinggi karena adanya
kewajiban bagi industri yang usahanya berkaitan dengan sumber daya alam untuk
mengeluarkan biaya terkait CSR sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012
tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan. Selain itu, dari penjabaran di atas
diketahui bahwa sektor industri dan manufaktur serta sektor jasa juga telah
42
mengeluarkan beban CSR walaupun tidak ada aturan yang mewajibkan sektor ini untuk
mengeluarkan beban tersebut.
Gambar IV.2 menjelaskan mengenai perbandingan biaya CSR dengan total
aset perusahaan. Perbandingan nilai rata-rata dari ketiga sektor mempunyai kesamaan
dengan Gambar IV.1 yaitu sektor primer memiliki rata-rata tertinggi dan sektor jasa
memiliki rata-rata terendah. Pebedaan cukup signifikan nampak pada kurva sektor
primer bahwa terjadi penurunan nilai dari tahun 2012 hingga 2017. Penurunan ini
mencerminkan bahwa peningkatan nilai total aset perusahaan lebih besar dibandingkan
peningkatan jumlah biaya CSR perusahaan. Pada dua sektor lainnya, peningkatan dari
nilai biaya CSR dengan total aset cenderung lebih tetap.
Gambar IV.2 Rata-Rata Perbandingan CSR dengan Total Aset
Tahun 2012 sampai 2017
3.Variabel Kontrol
Variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini meliputi SIZE, leverage
(LEV), ROA, dan capital intencity (PPE). Masing-masing variabel dihitung
berdasarkan proksi yang disebutkan dalam Bab III. Berikut ini disajikan hasil
pengolahan statistik deskriptif dari Stata 14 atas variabel kontrol tersebut dengan
penjabaran untuk setiap sektor perusahaan.
43
Ukuran perusahaan (SIZE) diproksikan dengan logaritma natural dari total aset.
Nilai rata-rata ukuran perusahaan dari keseluruhan sektor adalah 29,1068 atau setara
dengan Rp 13,3 triliun. Ukuran perusahaan terbesar berada pada sektor primer yaitu PT
Adaro senilai 32,1561 atau 128,5 triliun. Sedangkan ukuran perusahaan terkecil berada
pada sektor industri manufaktur yaitu PT Lionmesh Prima senilai 25,5796 atau 92,3
triliun. Walaupun ukuran perusahaan tertinggi pada sektor primer, namun rata-rata
tertinggi berada pada sektor jasa.
Nilai leverage mencerminkan tingkat hutang jangka panjang perusahaan
terhadap total aset yang dimilikinya. Secara keseluruhan, nilai rata-rata variabel ini
adalah 0,1609 atau 16,09%. Hal ini menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2012
hingga 2017, rata-rata perusahaan sampel menggunakan utang sebagai pendanaan tidak
besar. Nilai minimum tingkat utang berasal dari sektor industri dan manufaktur yaitu
PT Supreme Cable Manufacturing dan Commerce (SCCO) sebesar 0,0063 dan nilai
maksimum berasal dari sektor primer yaitu PT Surya Esa Perkasa ESSA sebesar
0,6018. Sedangkan sektor jasa memiliki nilai rata-rata sebesar 0,1682946. Rata-rata
tingkat hutang tertinggi berasal dari sektor primer yaitu 0,1232.
Nilai ROA merupakan ukuran tingkat profitabilitas suatu perusahaan. Secara
keseluruhan nilai rata-rata ROA perusahaan sampel selama rentang waktu penelitian
adalah 0,1105 atau sebesar 11,05%. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode 2012
hingga 2017, rata-rata perusahaan sampel belum maksimal dalam mendayagunakan
asetnya untuk menghasilkan laba. Nilai sampel dengan profitabilitas terendah berasal
dari sektor primer sebesar -0,4493 atau -44,93% yaitu PT Gozco Plantations. Sampel
dengan profitabilitas tertinggi berasal dari sektor jasa yaitu PT Matahari Department
Store sebesar 0,57718 atau 57,71%. Nilai minimum ROA dari setiap sektor bernilai
negatif karena perusahaan mengalami kerugian komersil atau memiliki nilai laba
sebelum pajak negatif. Jika ketiga sektor dibandingkan, maka rata-rata profitabilitas
sektor primer bernilai paling rendah. Rata-rata profitabilitas sampel dari sektor primer
berada di bawah rata-rata total dari ketiga sektor.
Nilai CAPINT merupakan nilai total property, plant, and equipment perusahaan
terhadap total aset. Selama kurun waktu enam tahun, nilai rata-rata CAPINT adalah
0,3297683 atau 32,9%. Nilai minimum CAPINT berasal dari sektor jasa yaitu PT Jasa
44
Marga (JSMR) sebesar 0,0131 sedangkan nilai maksimumnya berasal dari sektor
pertanian yaitu Providen Agro (PALM) 0,9174. Nilai standar deviasi sektor jasa adalah
yang terbesar diantara ketiga sektor lainnya, hal ini mengindikasikan bahwa nilai
variabel CAPINT dalam sektor jasa memiliki keragaman paling besar. Secara
keseluruhan nilai rata-rata variabel SIZE, LEV, ROA, dan CAPINT lebih besar dari
nilai tengah. Hal ini menggambarkan bahwa hampir separuh sampel memiliki luas
pengungkapan di atas rata-rata.
Tabel IV.7. Nilai Statistik Deskriptif Variabel Kontrol
(Jakobsen, 2017). Nilai VIF dari variabel independen berada pada rentang 9,06 sampai
1,59 dengan nilai rata-rata 4,24. Dari uji tersebut diketahui bahwa semua nilai VIF dari
variabel independen lebih kecil dari 10 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi
gejala multikolinearitas.
Tabel IV.8 Hasil Uji Multikolinearitas
nilai Prob > Chi2 menunjukkan angka 0,0000. Nilai ini lebih kecil dari tingkat
signifikansi uji sebesar 5%, dengan demikian maka H0 ditolak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95%,
model penelitian yang terdiri atas variabel independen (CSR, SIZE, LEV, CAPINT,
dan ROA) dapat menjelaskan pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen secara signifikan atau minimal terdapat satu variabel dependen yang
berpengaruh signifikan terhadap variabel independent.
Tabel IV.10 Hasil Uji Signifikansi Simultan dan Parsial Pooled Logit
Logistic Regression
Number of obs 294
LR chi2 (5) 60.86
Prob > chi2 0.0000
Pseudo R2 0.1800
Log likelihood -138.63174
Var Coef Std. Eror z P>z
CSR 257.6902 61.22878 4.21 0.000***
SIZE 0.4257514 0.1087431 3.92 0.000***
LEV -2.548933 1.366724 -1.86 0.062*
CAPINT 1.620096 0.8481959 1.91 0.056*
ROA -0.0223481 1.531254 -0.01 0.988
Const -14.27709 3.069613 -4.65 Mean VIF
**) signifikan
***) signifikan pada
Sumber: Data diolah dari Stata 14
**
Sumber: Data diolah dari Stata 14
tidak adanya perbedaan antara prediksi model logistik dengan data hasil observasi
sehingga hipotesis nol diterima, yang artinya model logit sudah sesuai dengan data.
Hasil Uji Hosmer and Lemeshow Test menunjukkan hasil dimana nilai number
of covariate patterns sama dengan number of observation yaitu 294. Sedangkan nilai
dari Prob>Chi2 menunjukkan angka sebesar 0,2923 yang berarti lebih besar dari
(0,05) sehingga hipotesis H0 (H0: tidak tolak model) diterima. Hal ini berarti model
logit menunjukkan kecukupan data dan tidak terdapat perbedaan signifikan antara
model dengan nilai observasi sehingga model dapat memprediksi nilai observasinya.
50
Dari Tabel IV.13, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan model mampu
memprediksi probabilitas variabel dependen pada penelitian ini sebesar 80,27%.
Tabel IV.13 Hasil Uji Correctly Classified
Nilai Prob>Chi2 pada regresi panel logit lebih rendah dibandingkan dengan pooled
logistik yaitu 0,0002.
Tabel IV.14 Hasil Uji Signifikansi Simultan dan Parsial Logit Panel
Logistic Regression
Number of obs 294
Wald chi2 (5) 24.28
Prob > chi2 0.0002
Log likelihood -131.01644
Var Coef Std. Eror z P>z
CSR 297.5717 89.79688 3.31 0.001***
SIZE 0.4458108 0.1846166 2.41 0.016**
LEV -2.442459 2.031738 -1.20 0.229
CAPINT 2.270271 1.356348 1.67 0.094*
ROA 2.078504 2.483442 0.84 0.403
Const -15.78357 5.235758 -3.01 0.003
**) signifikan
4. Output p-value untuk variabel CAPINT (intensitas modal) yaitu 0,094. Hal ini
diartikan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% H0 diterima, yang berarti nilai aset
tetap perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemungkinan
perusahaan melakukan agresivitas pajak.
5. Output p-value untuk variabel ROA (ukuran perusahaan) yaitu 0,403. Hal ini
diartikan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% H0 diterima, yang berarti besarnya
return on asset perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
kemungkinan perusahaan melakukan agresivitas pajak.
Dari hasil pengujian parsial panel logit, slope koefisien menunjukkan hasil yang
sama dengan model pooled logit. Sementara untuk nilai p-value, variabel CSR pada
hasil pengujian pooled logit mempunyai tingkat signifikansi yang sama dengan hasil
pengujian panel logit. Sementara variabel SIZE bernilai 0,016 mengalami penurunan
level signifikan dibanding pada pengujian pooled logit sebesar 0,000. Uji parsial pada
variabel CAPINT, ROA, dan LEV memberikan hasil yang sama dengan uji pada pooled
logit yaitu ketiga variabel tidak berpengaruh signifikan terhadap TAG. Perbedaan
dengan uji pooled logit terletak pada nilai p-valuenya. Nilai signifikansi p-value
variabel LEV berubah dari 0,062 menjadi 0,229. Sementara nilai signifikansi p-value
CAPINT berubah dari 0,056 menjadi 0,094. Nilai signifikansi p-value ROA berubah
dari 0,988 menjadi 0,403. Perbedaan hasil tersebut dikarenakan pada model panel logit
mempertimbangkan unsur waktu sementara pada model pooled logit, data diperlakukan
seperti data cross section tanpa mempertimbangkan unsur waktu. Untuk Analisa
pembahasan, penulis menggunakan model conditional effect atau pooled logit.
perusahaan melakukan agresivitas pajak sebesar 1,7x10129 kali. Jika variabel lain
dianggap konstan, setiap kenaikan satu unit SIZE akan meningkatkan kemungkinan
perusahaan melakukan agresivitas pajak sebesar 0,28 kali.
Tabel IV.15 Hasil Uji Odd Ratio dan Marginal Effect Logit Panel
Var P>z Pred.Sign Odd Ratio dy/dx Coef.Sign
CSR 0.001*** + 1.7e+129 297.5717 +
SIZE 0.016** + 0.288326 0.445810 +
LEV 0.229 - 0.176653 -2.442459 -
CAPINT 0.094* + 13.13219 2.270271 +
ROA 0.403 + 19.84891 2.078504 -
**) si
***
Sumber: Data diolah dari Stata 14
Sedangkan model penelitian dengan pendekatan panel logit adalah sebagai berikut.
berjalan lancar. Sumbangan ini diberikan kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas
dan memegang kebijakan di daerah setempat seperti aparat dan pejabat pemerintah atau
tokoh setempat.
Sesuai peraturan dalam PMK 76/PMK.03/2011 dan Kontrak Karya yang berlaku
secara khusus pada perusahaan pertambangan, biaya-biaya ini tidak dapat
diatasnamakan sebagai sumbangan serta tidak dapat dibebankan sebagai pengurang
penghasilan neto fiskal, tetapi dalam praktiknya perusahaan memasukkannya sebagai
pengurang penghasilan fiskal bruto. Ketidaktepatan dalam pengklasifikasian biaya
pengeluaran sebagai biaya sumbangan maupun pembebanan yang terlalu tinggi atas
biaya sumbangan atau CSR merupakan beberapa hal yang menyebabkan pemeriksa
melakukan koreksi fiskal pada akun beban sumbangan yang dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) Wajib Pajak. Item-item yang dikoreksi oleh pemeriksa
mengacu pada syarat-syarat pembebanan CSR dalam Peraturan Pemerintah Nomor 93
Tahun 2010 dan PMK 76/PMK.03/2011.
Indikasi awal yang biasa digunakan untuk mendeteksi adanya pembebanan yang
kurang tepat dilakukan adalah dengan melihat trend pengeluaran biaya CSR. Pada
beberapa kasus, terdapat peningkatan biaya CSR yang cukup drastis, sementara total
laba cenderung stagnan. Hal ini mendorong pemeriksa untuk mengidentifiaksi lebih
lanjut mengenai ketetapatan pembebanan biaya CSR. Berdasarkan konfirmasi terhadap
pemeriksa, terdapat beberapa koreksi fiskal yang sering ditemui terkait pembebanan
biaya CSR. Pertama, koreksi fiskal atas pembebanan biaya CSR yang melebihi
ketentuan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 yaitu maksimal
sebesar 5% dari penghasilan neto fiskal tahun sebelumnya. Kasus demikian banyak
dijumpai pada awal-awal pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010.
Menurut Wajib Pajak hal ini disebabkan karena unsur ketidaktahuan.
Kedua, koreksi fiskal atas beban-beban yang diklasifikasikan menjadi
sumbangan tetapi tidak didukung oleh bukti yang sah. Hal ini tidak memenuhi
persyaratan dalam Pasal 2 (b) Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010. Kasus
sejenis ini ditemukan pada pengajuan banding dengan nomor PUT-
62915/PP/M.VIIIA/15/2015. Pengadilan menolak permohonan banding perusahaan
sebagai pemohon banding atas koreksi fiskal positif biaya CSR atau sumbangan sebesar
58
Rp 675.659.523,00. Nilai yang diklaim sebagai biaya sumbangan ini tidak disertai bukti-
bukti kuat. Pada kasus ini, perusahaan tidak dapat menunjukkan bukti tanda terima
sumbangan, selain itu atas bukti yang ada hanya berupa dokumen fotokopi sehingga
tidak dapat diakui sebagai biaya sumbangan yang dapat dibebankan sebagai pengurang
penghasilan bruto.
Ketiga, koreksi atas beban yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan neto
fiskal karena tidak dicantumkanya identitas penerima sumbangan berupa Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) dalam lampiran daftar nominatif di SPT Tahunan. Hal ini sesuai
dengan persyaratan pada Pasal 2 (d) Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010.
Seperti pada kasus banding dengan nomor putusan PUT-107864.15/PP/M.IIA Tahun
2018. Atas total nilai Rp 13.531.714.354 yang diperkarakan, nilai yang tetap
dipertahankan sebagai koreksi fiskal positif sebesar Rp 2.147.714.354. Sementara dari
total koreksi fiskal yang tetap dipertahankan, terdapat transaksi biaya CSR sebesar Rp
920.645.000 yang pada tanda bukti penerimaan sumbangan tidak dicantumkan NPWP
penerimanya serta tidak ada penjelasan bahwa penerimanya dikecualikan sebagai
subjek pajak.
Perkara banding ini mengindikasikan adanya perbedaan pendapat dalam
mengidentifikasi biaya CSR yang dapat dibebankan oleh Wajib Pajak. Kasus demikian
sering dijumpai untuk pengeluaran CSR atau sumbangan yang nominalnya bernilai
kecil dan ditujukan pada masyarakat setempat baik perseorangan maupun perkumpulan
yang belum berbadan hukum. Walaupun nilai sumbangan kecil, namun intensitas
pemberiannya sangat sering sehingga jika diakumulasikan akan bernilai besar. Ketika
Wajib Pajak tidak mencantumkan identitas penerima sumbangan berupa NPWP, maka
sulit untuk memastikan bahwa sumbangan diberikan kepada pihak yang tepat.
Keempat, koreksi fiskal yang disebabkan karena pemberian bantuan berupa
sarana infrastruktur yang diberikan dalam bentuk uang kas. Salah satu contoh kasus
adalah pemberian sumbangan pembangunan gedung untuk institusi pendidikan dalam
bentuk tunai. Atas pemberian sumbangan dalam bentuk uang tunai ini tidak dapat
dijadikan pengurang atas penghitungan penghasilan neto fiskal sebab dalam Pasal 5 (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 disebutkan bahwa sumbangan
infrastruktur hanya dapat dikurangkan jika diberikan dalam bentuk sarana dan
59
berdampak negatif pada reputasi perusahaan, memunculkan tekanan publik, atau denda
dan sanksi dari otoritas pajak. Oleh karena itu, pelaksanaan program CSR ditujukan
untuk membangun reputasi baik bagi perusahaan. Reputasi baik yang sudah terbangun
dapat mengurangi risiko perusahaan dalam menghadapi masalah sosial seperti tuntutan
masyarakat terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas perusahaan,
pemogokan buruh, kewajiban pembayaran denda kepada pemerintah dan sebagainya.
Reputasi baik ini akan meminimalkan efek negatif yang muncul dan menghambat
proses bisnis perusahaan seperti penghindaran pajak/agresivitas pajak (Godfrey, 2005).
Besarnya kontribusi CSR yang berasosiasi positif dengan praktik perilaku pajak agresif
dapat terjadi jika perusahaan menggunakan kegiatan CSR sebagai aktifitas yang
mendukung strategi manajemen risiko perusahaan (Godfrey, 2005; Godfrey et al., 2009
dalam Mao, 2019). Pada kasus-kasus seperti ini, pengeluaran CSR dan pembayaran
pajak memiliki fungsi substitusi satu sama lain, dengan demikian CSR menimbulkan
pengaruh positif bagi perilaku pajak agresif (Mao, 2019).
Menurut beberapa penelitian, penyebab utama dari perilaku agresivitas pajak
adalah tujuan yang berpusat pada maksimalisasi keuntungan finansial perusahaan.
Pemerintah dapat menekan perusahaan untuk melaksanakan CSR yang tepat sasaran
dengan memperketat undang-undang yang mengatur masalah ini, baik undang-undang
perseroan maupun undang-undang perpajakan. Aturan yang dijalankan saat ini belum
ketat mengatur masalah sosial dan lingkungan sebab pemerintah tidak ingin
mempersulit negosiasi bisnis dengan para investor. Hal ini karena bagi negara
berkembang, keberadaan investor, munculnya pasar dan konsumen baru, serta
penciptaan lapangan kerja akan memberikan banyak keuntungan terutama dalam
ekonomi (Bird et al., 2007; Chatterji dan Listokon, 2007 dalam Chindra, 2016).
Seperti telah disebutkan di atas, untuk meminimalkan kesempatan perusahaan
melakukan agresivitas pajak pemerintah perlu memberikan batasan yang lebih detail
baik terkait peraturan mengenai CSR maupun tata pelaporan yang mensyaratkan
informasi yang lebih lengkap mengenai penerima CSR. Selain pendekatan berupa
coercive power melalui penegakan hukum, pemerintah juga perlu menggunakan
pendekatan normatif (normative power) untuk menciptakan keterlibatan yang didasari
atas keterlibatan moral (moral involvement). Hal ini akan mendorong yang terciptanya
63
kepatuhan sukarela Wajib Pajak atau perusahaan yang akan menumbuhkan kesadaran
perpajakan (tax awareness) bagi kesejahteraan bangsa.
Selain melihat pengaruh hubungan antara CSR dengan agresivitas pajak
perusahaan, penulis juga menganalisa seberapa kuat variabel dependen mempengaruhi
variabel dependen yang dapat dilihat dari nilai Pseudo R2. Hasil pengolahan data
menunjukkan bahwa nilai Pseudo R2 dari penelitian ini sebesar 18%. Hal ini
mencerminkan bahwa biaya CSR mempengaruhi kecenderungan perusahaan
melakukan agresivitas pajak atau kecenderungan perusahaan menerima SKP dari DJP
sebesar 18%, sedangkan 82% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain di luar biaya CSR.
Rendahnya nilai Pseudo R2 dikarenakan koreksi fiskal yang menyebabkan
perusahaan dikenai SKPKB dari DJP dapat berasal dari berbagai item akun baik berasal
perbedaan temporer maupun permanen. Sementara itu, proporsi beban CSR
dibandingkan beban lain seperti beban penjualan maupun beban lain yang termasuk
dalam beban umum dan administrasi tergolong bernilai kecil. Pada penelitian ini, biaya
CSR diproksikan dengan perbandingan antara beban CSR dengan total aset. Nilai
tertinggi untuk rata-rata proporsi beban CSR adalah 0,023235 sedangkan nilai
terendahnya adalah 0,000008. Hal ini mencerminkan bahwa jumlah CSR tergolong
relatif kecil sehingga kemungkinan pengenaan SKPKB atas biaya ini pun rendah.
Faktor lain yang menyebabkan rendahnya nilai Pseudo R2 adalah jenis sampel
perusahaan yang digunakan oleh penulis. Pada penelitian ini penulis tidak
menspesifikkan sampel hanya berupa perusahaan yang diwajibkan melakukan CSR
yaitu sektor primer. Namun peneliti juga memasukkan sektor-sektor lain yang
pengeluaran atas biaya CSR-nya cenderung kecil seperti pada sektor jasa dimana sektor
ini tidak secara khusus diwajibkan untuk mengeluarkan biaya CSR. Perusahaan pada
sektor primer ini cenderung memiliki nilai CSR yang besar dan secara nilai berjumlah
material. Sehingga akan lebih menarik bagi perusahaan untuk melakukan agresivitas
pajak melalui biaya CSR. Perbedaan karakter antara kedua sektor ini menyebabkan
perbedaan perlakuan pada biaya CSR. Penulis tidak menspesifikkan pada satu sektor
saja yang memiliki karakter sejenis karena keterbatasan jumlah perusahaan yang secara
konsisten mengungkapkan biaya CSR pada kurun waktu 2012 hingga 2017.
64
Keterbatasan ini menyebabkan jumlah sampel tidak mencukupi untuk diolah secara
statistik jika penulis hanya menspesifikkan pada perusahaan di sektor pertanian saja.
Walaupun secara keseluruhan pengaruh beban CSR terhadap agresivitas pajak
menunjukkan angka yang rendah, ketika dilihat per kasus, jumlah kerugian negara atas
pajak yang tidak dibayarkan yang berasal dari pembebanan biaya CSR yang tidak sesua
undang-undang bernilai cukup besar. Menurut para pemeriksa, dari kasus CSR yang
pernah ditangani, nilai kerugian negara dapat mencapai ratusan juta hingga miliaran
rupiah. Hal ini karena perusahaan besar terutama pada sektor primer melakukan
pembebanan biaya CSR secara maksimal yaitu 5% dari penghasilan neto fiskal tahun
sebelumnya. Persentase satu hingga lima persen dari total penghasilan neto fiskal
merupakan angka yang cukup material untuk perusahaan-perusahaan sekala besar.
Untuk pembahasan dari pengaruh variabel kontrol terhadap variabel dependen,
penulis menggunakan hasil regresi pooled logit sebagai dasar analisa. Berdasarkan
pengujian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa variabel SIZE menunjukkan
hubungan signifikan positif terhadap TAG. Hal ini mengartikan bahwa semakin besar
perusahaan maka semakin besar probabilitas perusahaan untuk melakukan perilaku
pajak agresif. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wilson (2009) dalam Mao
(2019) serta Lanis and Richardson (2012). Hal ini mungkin terjadi karena perusahaan
yang berukuran lebih besar mempunyai insentif yang lebih tinggi serta memiliki
kekuatan politik dan ekonomi yang lebih besar untuk terlibat dalam agresivitas pajak
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendanaan perusahaan (LEV)
yang diproksikan dengan debt to total assets memiliki hubungan tidak signifikan
dengan variabel TAG dengan koefisien bernilai negative. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat pendanaan berpengaruh negatif terhadap perilaku pajak agresif perusahaan.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Hoi et al. (2013), namun selaras
dengan penelitian Frank (2009). Kondisi ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak
menggunakan hutang sebagai kepentingan dari perencanaan pajaknya, tetapi tujuan dari
penggunaan hutang adalah untuk kepentingan menjalankan aktivitas operasional
perusahaan. Bunga yang didapat dari hutang yang dapat dibiayakan untuk kepentingan
pajak, tidak sebanding dengan cost of debt (Witri, 2013).
65
A. Simpulan
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaruh aktivitas
CSR yang dilakukan perusahaan, dalam hal ini dilihat dari besaran biaya CSR yang
dikeluarkan terhadap tingkat agresivitas pajak perusahaan. Hipotesis yang dibangun
dalam penelitian ini adalah CSR berpengaruh pada kecenderungan perusahaan
melakukan agresivitas pajak.
Hasil penelitian menyatakan bahwa aktivitas CSR perusahaan cenderung
memunculkan perilaku pajak agresif. Semakin besar aktivitas CSR yang diproksikan
dengan semakin besarnya biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan maka
kecenderungan perusahaan untuk berperilaku pajak agresif juga semakin besar, dalam
hal ini perusahaan mempunyai kecenderungan menerima sanksi dari otoritas pajak
berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
Hal ini dipertegas dengan konfirmasi kepada pemeriksa pajak yang menyatakan
bahwa dalam beberapa pemeriksaan terkait biaya CSR, dijumpai pembebanan CSR
yang tidak memenuhi ketentuan undang-undang. Hal ini terutama ditemukan pada
sektor pertanian dan pertambangan yang memiliki nilai CSR yang lebih tinggi daripada
sektor lainnya. Sektor ini juga memiliki rasio biaya CSR dengan penghasilan neto fiskal
yang lebih tinggi dibanding sektor lainnya.
66
67
B. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Adanya ketidakseragaman format dalam pengungkapan biaya-biaya yang
dikeluarkan atas aktivitas CSR perusahaan. Sebagian perusahaan memberikan
rincian setiap aspek kegiatan CSR beserta biaya yang dikeluarkan, akan tetapi
terdapat perusahaan yang hanya menyebutkan biaya CSR secara agregat. Dengan
demikian, penulis melihat biaya CSR secara keseluruhan atas perusahaan yang tidak
mengungkapkan rincian detail atas biaya CSR yang dikeluarkan. Selain itu, atas
perusahaan yang hanya menyebutkan nilai agregat, penulis juga tidak dapat
mengidentifikasi biaya CSR berdasarkan aspek-aspek kegiatan yang dilakukan
apakah termasuk kegiatan 3M atau tidak.
b. Sampel perusahaan hanya berjumlah 49 karena perusahaan yang mengungkapkan
biaya CSR dalam kurun 2012 sampai 2017 masih terbatas.
c. Data untuk biaya CSR, pengenaan SKPKB, serta variabel kontrol lain berasal dari
laporan keuangan konsolidasian, sementara proksi pengenaan surat ketetapan pajak
didasarkan dari dari sisi fiskal, di mana induk dan anak perusahaan diperlakukan
sebagai entitas yang berbeda serta memiliki pelaporan pajak yang terpisah.
d. Penggunaan proksi agresivitas pajak berupa dummy memiliki keterbatasan hanya
mampu melihat kenaikan atau penurunan atas probabilitas perusahaan dalam
melakukan agresivitas pajak.
e. Penelitian ini hanya menggunakan satu proksi pengukuran atas variabel dependen.
C. Saran Penelitian
a. Saran untuk peneliti selanjutnya sebagai berikut.
1. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan proksi yang lebih detail untuk
mengukur agresivitas pajak. Pengelompokkan jenis perusahaan yang agresif dan
non agresif dapat didasarkan dari nominal rupiah atas jumlah kurang bayar
beserta sanksinya.
2. Peneliti selanjutnya dapat memperluas penelitian ini dengan melihat biaya CSR
secara lebih detail berdasarkan masing-masing klasifikasi kegiatan CSR.
3. Penelitian selanjutnya mempertimbangkan klasifikasi sektor industri dalam
model regresi yang digunakan sebab setiap sektor industri mempunyai
karakteristik yang berbeda atas kegiatan atau pengeluaran CSR.
68