Penanganan Kasus Hipofungsi Ovarium Pada Sapi Friesian Holstein Di Kabupaten Enrekang
Penanganan Kasus Hipofungsi Ovarium Pada Sapi Friesian Holstein Di Kabupaten Enrekang
TUGAS AKHIR
i
PENANGANAN KASUS HIPOFUNGSI OVARIUM PADA SAPI FRIESIAN
HOLSTEIN DI KABUPATEN ENREKANG
Tugas Akhir Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Dokter Hewan
TTD
ii
iii
PRAKATA
Dalam penyusunan tugas Akhir ini tidak terlepas dukungan dari berbagai
pihak. Penulis secara khusus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu. Penulis banyak menerima bimbingan,
petunjuk dan bantuan serta dorongan dari berbagai pihak baik yang bersifat moral
maupun material. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
iv
8. Sahabat-sahabat, Ikhsan Aziz, Ilham Darwis, Zulhayyiah, Asmaul Husnah,
Diat, Uga, Cimma, Fuad, Try hartono, Suyono, Ucha, Azwar Masud, fandi,
Sardika, Dwiki, Ucup, Amri lale,Yudha, WP terimaksih telah menjadi sahabat
terbaik bagi penulis yang selalu memberikan dukungan, semangat, motivasi,
serta doa hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
Serta masih banyak lagi pihak-pihak yang sangat berpengaruh dalam proses
penyelesaian skripsi yang yang tidak bisa penelti sebutkan satupersatu Semoga
Allah SWT senantiasa membalas semua kebaikan yang telah diberikan yang telah
diberikan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti umumnya kepada
para pembaca.
Penulis
v
PERNYATAAN KEASLIAN
vi
ABSTRAK
ANDI BANGSAWAN MAGGALATUNG O12116043.
Penanganan Kasus Hipofungsi Ovarium pada sapi Friesean Holsten
di kabupaten Enrekang.“Di bimbing oleh”Dwi Kesuma Sari
vii
ABSTRAK
ANDI BANGSAWAN MAGGALATUNG O12116043. Penanganan Kasus
Hipofungsi Ovarium pada sapi Friesean Holsten di kabupaten Enrekang.
“Di bimbing oleh” Dwi Kesuma Sari
viii
DAFTAR ISI
PRAKATA ..................................................................................................... v
ix
2.8.Deferensial diagnose .......................................................................... 11
2.9.Terapi ................................................................................................. 12
4.1.Hasil ................................................................................................... 15
4.2.Pembahasan ....................................................................................... 17
5.1.Kesimpulan ........................................................................................ 20
5.2.Saran .................................................................................................. 20
LAMPIRAN ................................................................................................... 23
x
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 2.Inspeksikondisitubuhsapi............................................................. 23
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Bibit sapi perah Holstein Indonesia merupakan salah satu aspek penting
dalam peningkatan proses produktivitas dan populasi Holstein di Indonesia.
Untuk mencapai hal tersebut diatas dibutuhkan ketersediaan bibit sapi perah
jenis Holstein di Indonesia yang berkualitas dan jumlah yang cukup (BSN 2014).
Menurut BSN (2014), bibit sapi perah Holstein Indonesia merupakan
bibit sapi tipe perah jenis Holstein yang lahir dan beradaptasi di Indonesia dan
mempunyai ciri serta kemampuan produksi sesuai persyaratan tertentu
sebagai bibit yang bertujuan untuk menghasilkan anak (pedet) dan produksi
susu. Persyaratan mutu produk mencakup persyaratan kualitatif dan persyaratan
kuantitatif. Persyaratan kualitatif bibit sapi perah mempunyai silsilah (pedigree)
sampai dengan 2 (dua) generasi di atasnya untuk bibit dasar dan bibit induk,
bebas dari penyakit menular, tidak memiliki cacat fisik, memiliki alat
reproduksi normal, bentuk ideal (tipe sapi perah) serta struktur kaki dan kuku
yang kuat. Adapun persyaratan kuantitatif sapi perah betina dan jantan
mencakup umur, tinggi pundak minimum, berat badan minimum, lingkar dada
minimum, dan lingkar scrotum.
Cara pengukuran sapi perah dilakukan dengan pengamatan langsung
dilakukan pada posisi sapi berdiri sempurna di atas keempat kaki pada lantai
atau permukaan yang rata, berdasarkan catatan kelahiran, pengukuran tinggi
pundak, pengukuran lingkar dada dan pengukuran lingkar scrotum [RSNI3
2745:2014] (BSN 2014)
1
Menurut Hafez (2000) bahwa anestrus akibat hipofungsi ovari sering
berhubungan dengan gagalnya sel-sel folikel menanggapai rangsangan hormonal,
adanya perubahan kuantitas maupun kualitas sekresi hormonal, menurunnya
rangsangan yang berhubungan dengan fungsi hipotalamus-pituitariaovarium yang
akan menyebabkan menurunnya sekresi gonadotropin, sehingga tidak ada
aktivitas ovarium setelah melahirkan. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi
fungsi hipofise anterior sehingga produksi dan sekresi hormon Follicle
Stimulating Hormon (FSH) dan Luteinizing Hormon (LH) rendah, yang
menyebabkan ovarium tidak berkembang ataupun mengalami hipofungsi
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak
terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80--90 % dari seluruh sapi perah yang berada
di sana. Sapi ini berasal dari Belanda yaitu di Provinsi North Holand dan West
Friesland yang memiliki padang rumput yang sangat luas. Sapi FH mempunyai
beberapa keunggulan, salah satunya yaitu jinak, tidak tahan panas tetapi sapi ini
mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan. Ciri-ciri sapi FH yang
baik adalah memiliki tubuh luas ke belakang, sistem dan bentuk perambingan
baik, puting simetris, dan efisiensi pakan tinggi yang dialihkan menjadi produksi
susu (Sudono dkk., 2003).
3
Sapi FH di Amerika Serikat disebut Holstein Friesian atau disingkat
Holstein. Sedangkan di Europa disebut Friesian. Sapi FH adalah sapi perah yang
produksi susunya tertinggi, dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainya,
dengan kadar lemak susu yang rendah rata-rata 3,7%. Sapi Holstein berukuran
besar dengan totol-totol warna hitam dan putih di sekujur tubuhnya. Dalam arti
sempit, sapi Holstein memiliki telinga hitam, kaki putih, dan ujung ekor yang
putih. Di Indonesia sapi jenis FH ini dapat menghasilkan susu 20 liter/hari, tetapi
rata-rata produksi 10 liter/hari atau 3.050 kg susu 1 kali masa laktasi. Sapi jantan
jenis FH ini dapat mencapai berat badan 1.000 kg, dan berat badan ideal betina
adalah 635 kg. Di Amerika sapi FH ini dapat memproduksi lebih dari 7.000 kg
susu dalam 1 kali masa laktasi (Sudono dkk., 2003).
Menurut Aksi Agraris Kanisius (1995), sapi FH memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. warna bulu hitam dengan bercak putih;
2. terdapat warna putih berbentuk segitiga di daerah dahi;
3. tanduk pendek dan menjurus ke depan;
4. dada, perut bagian bawah, dan ekor berwarna putih;
5. ambing besar;
6. tenang dan jinak sehingga mudah dikuasai;
7. tidak tahan panas;
8. kepala besar dan sempit.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kejadian anestrus
pada sapi. Faktor tersebut dapat ditemukan pada hewan berusia muda atau hewan
dewasa, dari sisi waktu terjadinya dapat berjalan lama dan dapat berjalan singkat.
Beberapa faktor yang mempengaruhi anestrus adalah umur hewan, dalam periode
kebuntingan dan laktasi, kekurangan pakan, musim, lingkungan yang kurang
mendukung, adanya kondisi patologis pada ovarium dan uterus serta penyakit
kronis (Budiyanto, 2012).
4
II.2 Sistem Reproduksi
5
Sekresi sejumlah besar estrogen pada masa pubertas, dengan konsentrasi
tinggi dari ovarium menyebabkan kelainan dari umpan balik negatif untuk umpan
balik positif terhadap hipotalamus menghasilkan GnRH dalam jumlah yang
tinggi sehingga bertanggung jawab untuk memicu sekresi LH Hasil dari sekresi
LH adalah; a) memunculkan tanda - tanda estrus dan, b) ovulasi. Hormon-hormon
yang terlibat dalam ovulasi menghasilkan serangkaian peristiwa fisiologis yang
mengarah ke pengembangan lebih lanjut dari saluran reproduksi dan
pembentukan siklus estrus (Achjadi, 2013).
6
Brahi atau anestrus pada ternak sapi merupakan gejala utama dari banyak
faktor lain yang mempengaruhi siklus birahi. Anestrus sering merupakan
penyebab infertilitas pada induk sapi. Gangguan reproduksi ini umumnya terjadi
pada sapi induk sesudah partus atau inseminasi/perkawinan secara berulang tanpa
terjadi konsepsi. Kegagalan reproduksi merupakan salah satu faktor utama yang
dapat menghambat laju perkembangan populasi ternak. Ditinjau dari kondisi
pakan yang buruk, maka hipofungsi ovarium mungkin adalah penyebab utama
kegagalan reproduksi sapi potong, khususnya yang terjadi pada sistem
pemeliharaan penggembalaan atau ekstensif yang kekurangan pakan (Pemayun,
2009).
Hipofungsi ovarium pada sapi periode postpartum disebabkan oleh
kekurangan dan ketidakseimbangan hormonal sehingga terjadi anestrus atau
birahi tenang (silent heat) dan estrus yang tidak disertai ovulasi. Pada keadaan
hipofungsi, ovarium berukuran normal namun permukaannya licin sewaktu
dipalpasi per rektal yang artinya tidak ada folikel dominant yang siap untuk
ovulasi. Kondisi semacam ini menandakan bahwa pada ovarium tidak ada
aktivitas pertumbuhan folikel apalagi corpus luteum. Untuk mengatasi kondisi
ovarium seperti ini maka dapat dilakukan melalui penyuntikan hormon GnRH
(Pemayun, 2009).
Namun penggunaan preparat ini tidak ekonomis untuk ternak yang
digembalakan karena memerlukan biaya yang relatif mahal sehingga sebagai
penggantinya dapat dipakai hormon progesteron. Dasar fisiologik dari
penggunaan progesteron adalah melalui reaksi umpan balik negatifnya terhadap
hipothalamus yang bersifat sementara dan setelah efek hambatan hilang,maka
akan terjadi sekresi FSH dan LH dalam jumlah yang lebih banyakdari biasanya
disebut dengan LH surge. Dengandemikian akan terjadi proses pertumbuhan
danpematangan folikel menjadi follikel de graaf sehingga terjadi ovulasi (Herry,
2015).
7
II. 4. ETIOLOGI HIPOFUNGSI OVARIUM
8
Kekurangan energi merupakan hal yang penting, terutama jika menyebabkan
penurunan berat badan yang drastis, hal ini biasanya terjadi pada sapi dara yang
baru pertama kali melahirkan dimana fisiknya masih dalam keadaan bertumbuh.
Terlebih jika sapi setiap harinya hanya menkonsumsi jerami padi, sebagai limbah
pertanian dari sawah peternak, tanpa selingan pakan tinggi protein seperti
konsentrat, penurunan bobot badan drastis setelah melahirkan rawan terjadi,
bahkan saat kebuntingan trakhir pun hewan dalam kondisi berat badan kurang
dari standar, sedang kebutuhan energi sangat besar untuk penopang kehidupan
janin dan sapi itu sendirii (Arthur, 1998).
Defisiensi mineral seperti pospor, copper, cobalt, magnesium, serta asupan
fitoesterogen (tanaman yang memiliki kandungan kimia mirip hormon
reproduksi) dapat menginisiasi terjadinya hipofungsi ovarium. Disamping itu
gangguan metabolism yang parah seperti ketosis juga menyebabkan gejala serupa
(Arthur, 1998).
9
Gambar 5. Pakan ternak sapi ( Hafez., 2013).
Faktor yang mempengaruhi terjadinya hipofungsi ovarium diantaranya
dapat terjadi akibat lamanya pedet menyusui sehingga menyebabkan kekurusan
terhadap induk sehingga kondisi tubuh yang harusnya mencukupi untuk
melakukan aktifitas hormonal di alihkan ke sistem perbaikan kondisi tubuh
sehingga kejadian hipofungsi ovarium sangat rentan terjadi terhadap hewan yang
kurang nutrisinya (Gitonga, 2010).
Manifestasi klinis pada sapi yang mengalami hipofungsi ovarium adalah
anestrus. Menyusui pedet dalam jangka waktu lama akan menunda ovulasi dan
memberikan kontribusi terhadap panjang periode anestrus setelah postpartum,
sehingga efisiensi reproduksi hormonal menurun (Gitonga, 2010).
Anestrus setelah postpartum adalah periode setelah kelahiran di mana sapi
tidak menunjukkan gejala atau perilaku estrus. Anestrus pada sapi postpartum
adalah periode anestrus normal. Anestrus postpartum dianggap sebagai abnormal
bila melampaui rata-rata 90 hari (Gitonga, 2010).
10
Ovulasi pada ternak tersebut bisa jadi tertunda (Ruiqing dan Xinli 2009)
karena gangguan hormon FSH dan LH sehingga tidak terdapat folikel yang cukup
matang untuk diovulasikan. Ovarium yang mengalami hipofungsi berukuran
normal, tetapi permukaannya teraba licin ketika dilakukan palpasi perektal
(Herry 2015). Penyataan Herry (2015) dapat didukung oleh Lo´pez-Gatius et al
(2001) yang menyatakan bahwa ovari yang mengalami hipofungsi berukuran
minimal 8-15 mm ketika dilakukan dua kali pemeriksaan dalam jedah waktu 7
hari, dan tidak ditemukan CL atau kista serta tanda estrus Menurut Herry (2015).
II. 7. DIAGNOSIS
Hewan tidak menunjukkan gejala birahi baik itu dara maupun indukan
(dapat terjadi selama beberapa siklus). Pada pemeriksaan palpasi rektal yang
dilakukan dokter hewan atau petugas kesehatan hewan, ovarium teraba kecil, rata
dan halus, khususnya pada dara, folikel masih premature sebesar 1.5cm; tidak
teraba adanya CL baik yang sedang berkembang maupun regresi; pada sapi
indukkan, terkadang ovarium teraba dengan bentuk yang tidak beraturan karena
adanya sisa CL dan korpus albican yang telah lama teregresi sehingga terkadang
rancu untuk membedakannya dengan folikel yang baru berkembang (Deden,
2000).
11
Untuk meneguhkan diagnosis, pemeriksaan kedua dapat dilakukan pada
hari ke 10 setelah pemeriksaan pertama, jika ovarium tersebut hipofungsi maka
tidak akan ada perubahan yang terjadi dari pemeriksaan pertama, namun jika
ovarium tersebut normal, maka akan terbentuk CL (Deden 2000).
II.9. TERAPI
Perbaikan pakan dan nutrisi harus dilakukan, khususnya peningkatan
asupan energi, untuk rekondisi berat badan ternak dan menjaga kestabilan
metabolism tubuhnya.Stimulasi aktivitas ovarium dapat dilakukan dengan
menginduksi pertumbahan folikel dan siklus birahi normal menggunakan obat-
obatan hormonal berdasarkan dari pemeriksaan dokter hewan sebelumnya.
Pengobatan ini juga akan mengakibatkan terjadinya superovulasi, karena itu pada
birahi pertama yang terjadi setelah pengobatan tidak disarankan untuk
mengawinkan ternak tersebut (Suartini et al 2013).
Terapi yang diberikan pada saat penanganan kasus tersebut Pemberian
GnRH seperti lutrelin, fertirelin, deslorelin, leuprolide, dan buserelin untuk
menginduksi estrus. Hormon2 tersebut berfungsi merangsang pelepasan
gonadotropin FSH dan LH dari hipofisa anterior sehingga terjadi pertumbuhan
dan perkembangan folikel. Pertumbuhan dan perkembangan folikel
menghasilkan estrogen sehingga sapi menunjukkan tanda - tanda birahi (Suartini
et al 2013).
12
Gambar 7. GNRH Analogue (networkunion, 2015).
13
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
14
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 HASIL
15
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Fisik
Signalement Anamnesa Pemeriksaan Klinis Diagnosa Keterangan
Nama hewan : Sapi tidak Suhu tubuh : Hipofungsi Pemberian
sapi pernah 39,3°C Ovarium Vitamin ADE
Jenis hewan: menunjukan Pulsus : 125 secara IM dengan
Sapi adanya gejala Respirasi : 24/ Dosis 5 Ml.
Breed : FH birahi menit
Warna : Hitam Owner cuman Denyut jantung :
Putih memelihara 4 112/menit
Jenis kelamin: ekor sapi (Normal)
Betina Pada saat
Umur : 6 pemerahan sapi
tahun susu di perah
Berat badan : sebanyak 10
700 kg liter.
Tidak pernah
dilepas dan
diberikamakan
hijauan dan
ampas tahu.
Susu diperah
selanjutnya di
olah menjadi
dangke
16
palpasi perktal mulai dari ukuran ovarium sudah mengecil, tidak ada terabah
folikel, dan permukaan ovarium terabah sangat halus.
Pada keadaan hipofungsi, ovarium berukuran normal namun
permukaannya licin sewaktu dipalpasi per rektal yang artinya tidak ada folikel
dominant yang siap untuk ovulasi. Kondisi semacam ini menandakan bahwa pada
ovarium tidak ada aktivitas pertumbuhan folikel apalagi CL. Untuk mengatasi
kondisi ovarium seperti ini maka dapat dilakukan melalui penyuntikan hormon
GnRH (Pemayun, 2009).
Terapi yang diberikan pada saat penanganan kasus tersebut Pemberian
GnRH seperti lutrelin, fertirelin, deslorelin, leuprolide, dan buserelin untuk
menginduksi estrus. Hormon2 tersebut berfungsi merangsang pelepasan
gonadotropin FSH dan LH dari hipofisa anterior sehingga terjadi pertumbuhan
dan perkembangan folikel. Pertumbuhan dan perkembangan folikel
menghasilkan estrogen sehingga sapi menunjukkan tanda - tanda birahi (Suartini
et al 2013).
IV.2 PEMBAHASAN
Pada tanggal 13 juli 2017 telah dilakukan penanganan kasus hipofungsi
dimana penanganan yang diberikan seperti pemberian vitamin yang ditujukan
untuk memberi energy tambahan terhadap sapi dan selanjutnya di injekkan
hormone GnRH dengan tujuan menginduksi gejala birahi sapi.
Hipofungsi ovari sering berhubungan dengan gagalnya sel-sel folikel
menanggapai rangsangan hormonal, adanya perubahan kuantitas maupun kualitas
sekresi hormonal, menurunnya rangsangan yang berhubungan dengan fungsi
hipotalamus-pituitaria ovarium yang akan menyebabkan menurunnya sekresi
GnRH, sehingga tidak ada aktivitas ovarium setelah melahirkan. Kekurangan
nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofise anterior sehingga produksi dan sekresi
FSH dan LH rendah, yang menyebabkan ovarium tidak berkembang ataupun
mengalami hipofungsi (Suartini et al. 2013).
Hipofungsi ovarium dapat diakibatkan oleh manajemen pakan yang buruk,
stres lingkungan dan defisiensi hormon (Herry 2015) sehingga terjadi gangguan
17
hormonal. Manajemen pakan yang buruk dimana pemberian pakan dalam jumlah
yang tidak sesuai mengakibatkan nutrisi yang diabsorpsi ke dalam tubuh ternak
tidak memadai dengan nutrisi yang dibutuhkan oleh penggunaan energi harian.
Hal ini menyebabkan kondisi tubuh ternak memburuk sehingga mengganggu
fungsi tubuh secara keseluruhan maka dalam pemberian pakan sehari-hari,
dibutuhkan nutrisi yang menunjang saluran reproduksi seperti protein, vitamin A,
dan mineral seperti fosfor, yodium, dan tembaga (Lukman et al. 2007).
Selain itu, lingkungan yang tidak mendukung memicu timbulnya stres
pada ternak sehingga fisiologis tubuh berubah. Sebagai contoh, ternak yang
diletakkan pada kandang sempit, dengan ventilasi udara yang tidak baik dan
sanitasi yang buruk akan lebih mudah mengalami stres dibandingkan ternak yang
ditempatkan di lingkungan yang nyaman. Tingkat stres yang tinggi dapat
menyebabkan terjadinya gangguan siklus hormonal. Defisiensi hormon dapat
terjadi ketika kelenjar endokrin tidak dapat mensekresikan hormon dalam jumlah
yang cukup sehingga fungsi-fungsi normal organ tubuh tidak dapat bekerja
dengan optimal. Dalam hal ini, hormon yang disekresi di hipotalamus, hipofisa
anterior, dan ovarium sehingga terjadinya hipofungsi ovarium. Akibat dari faktor-
faktor tersebut, efisiensi reproduksi terganggu sehingga produktivitas menurun.
Kejadian ini menyebabkan calving interval yang lebih panjang (Deden 2000).
Proses reproduksi berkaitan dengan mekanisme sistem hormonal, yaitu
hubungan antara hormon-hormon hipotalamus hipofisa yakni GnRH, FSH dan
LH, hormon-hormon ovarium (estrogen dan progesteron) dan hormon uterus
(prostaglandin) (Hafez, 2000).
18
GnRH adalah hormon peptida yang dihasilkan oleh hipotalamus, yang
menstimulasi sel-sel gonadotrop pada hipofisa anterior. Di hipotalamus sendiri
pengeluaran GnRH diatur oleh nukleus arkuata. Neuron pada nukleus arkuata
memiliki kemampuan untuk memproduksi dan melepas gelombang GnRH ke
hipofisa. GnRH meliputi FSH dan LH yang disekresikan oleh kelenjar hipofisa
anterior (Hafez dan Hafez 2000). Kelenjar adenohipofisa mensekresikan hormon
gonadotropin FSH dan LH.
Hormon-hormon ini sangat penting dalam pengaturan ovarium dan testis
untuk produksi ovum dan spermatozoa dan pelepasan hormon-hormon gonad
yaitu testosteron, estradiol, dan progesteron. Fungsi utama FSH adalah stimulasi
pertumbuhan dan pematangan folikel de graaf di dalam ovarium. FSH
menstimulir pertumbuhan folikel pada hewan betina yang dihipofise tetapi tidak
menyebabkan ovulasi, luteinisasi, atau stimulasi terhadap jaringan
interstistial ovarium (Bearden 2004).
LH bekerja sama dengan FSH untuk menstimulir pematangan folikel dan
pelepasan estrogen. Sesudah pematangan folikel, LH menyebabkan ovulasi
dengan menggertak pemecahan dinding sel dan pelepasan ovum. LH
mungkin juga ikut berpengaruh terhadap pembentukan CL yang berasal dari
folikel yang sudah pecah. Sekresi LH yang terus menerus mungkin penting untuk
mempertahankan CL dan sekresi progesteron untuk kelanjutan kebuntingan pada
sapi (Bearden 2004).
FSH dan LH bekerjasama dalam pengaruhnya terhadap gonad. Keduanya
terdapat dalam berbagai perbandingan yang berimbang sesuai dengan berbagai
kondisi atau tahap siklus kelamin dari berbagai jenis hewan. Potensi relatif FSH
dan LH pada berbagai ternak mungkin bertanggug jawab atas perbedaan-
perbedaan spesies dalam lamanya estrus, waktu ovulasi, dan kejadian silent heat
(Bearden 2004).
Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa
dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto 1995). Fungsi
utama hormon estrogen adalah untuk merangsang berahi, merangsang timbulnya
sifat- sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem saluran ambing betina dan
19
pertumbuhan ambing. Hormon estrogen disekresikan oleh sel-sel theca interna
dan folikel de graaf. Jaringan ini kaya akan estrogen dan memperlihatkan
aktivitas yang maksimum selama fase estrogenik dan siklus berahi (Wodzicka-
Tomaszewska et al. 1991).
Progesteron salah satu hormon penting yang berhubungan dengan
reproduksi yang disekresikan oleh sel-sel CL. Progesteron berfungsi
menghambat FSH, LH dan menjaga kebuntingan (Hafez dan Hafez 2000).
Protaglandin (PGF2α) merupakan hormon yang diproduksi didalam uterus.
Hormon ini merupakan hormon luteolitik uterus utama pada jenis-jenis hewan.
Selama masa kebuntingan, fetus mungkin menghambat sekresi PGF2α oleh uterus
sehingga CL tetap dipertahankan. (Toelihere 1997).
Siklus estrus adalah interval waktu, mulai dari permulaan periode estrus
yang pertama sampai ke periode estrus berikutnya. Siklus estrus pada setiap
hewan berbeda antara satu sama lain tergantung dari bangsa, umur, dan spesies
(Partodiharjo 1992). Siklus estrus pada dasarnya dibagi menjadi 4 fase atau
periode yaitu ; proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Marawali et al. 2001).
Proestrus adalah fase sebelum estrus yaitu periode pada saat folikel
de graaf tumbuh di bawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estradiol
yang semakin bertambah (Marawali et al. 2001). Fase yang pertama kali dari
siklus estrus ini dianggap sebagai fase penumpukan atau pemantapan dimana
folikel ovarium yang berisi ovum membesar terutama karena meningkatnya
cairan folikel yang berisi cairan estrogenik. Estrogen yang diserap dari folikel ke
dalam aliran darah merangsang peningkatam vaskularisasi dan pertumbuhan sel
genital dalam persiapan untuk berahi dan kebuntingan yang terjadi (Frandson
1996).
Estrus adalah periode penerimaan seksual pada hewan betina, yang
terutama ditentukan oleh tingkat sirkulasi estrogen. Selama atau segera setelah
periode itu terjadilah ovulasi. Ini terjadi dengan penurunan tingkat FSH dalam
darah dan penaikan tingkat LH. Estrus berakhir kira-kira pada pecahnya folikel
ovari atau terjadinya ovulasi (Frandson 1996). Pemecahan folikel terjadi
secara spontan pada kebanyakan spesies hewan. Akan tetapi pada kucing, kelinci,
mink, ferret dan beberapa hewan lainnya, pemecahan itu hanya dapat terjadi
20
apabila berlangsung koitus. Karena disebabkan oleh tertundanya refleks
neuroendokrin yang melibatkan pelepasan hormon dari pituitari, yang disebabkan
oleh stimulasi karena koitus. Maka hal ini disebut juga ovulator refleks
(Frandson 1996).
Metestrus adalah fase pasca ovulasi dimana korpus luteum berfungsi.
Panjangnya metestrus dapat tergantung pada panjangnya waktu LTH (luteotropik
hormon) disekresi oleh adenohipofise. Selama ini terjadi penurunan estrogen dan
penaikan progesteron yang dibentuk oleh ovari (Frandson, 1996).
Diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus estrus, korpus luteum
menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi
nyata (Marawali et al. 2001).
Mekanisme kerja hormon yang dapat digunakan sebgai terapi untuk
menimbulkan gejala birahi diantaranya: mencegah kejadian birahi dan
memperpanjang siklus estrus (Progestins). Mekanisme kerja yang lain adalah
mendukung kejadian estrus atau mempersingkat masa siklus estrus
(Prostaglandins) dan mendorong ovulasi atau mendukung perkembangan folikel
ovarium (GnRH). Kombinasi pemberian GnR) dengan prostaglandin juga dapat
menstimulasi kejadian birahi dan ovulasi (Stevensons et al., 2002).
21
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 KESIMPULAN
Pada tanggal 13 juli 2017 telah dilakukan penanganan kasus hipofungsi
ovarium dimana kejadian tersebut ditemukan di desa Baba kabupaten Enrekang.
Hipofungsi ovarium atau ovarium yang kurang aktif adalah suatu keadaan dimana
tidak terjadinya perkembangan yang dapat menyebabkan terjadinya kasus
anestrus. Perkembangan folikel yang menurun diakibatkan oleh gagalnya kelenjar
hipofise anterior untuk mensekresikan follicle stimulating hormone (FSH) dalam
jumlah yang cukup. Keadaan ini sering terjadi pada sapi dara menjelang pubertas
dan sapi dewasa post partus atau setelah inseminasi tapi tidak terjadi konsepsi.
Ovarium yang mengalami hipofungsi memiliki permukaan yang licin karena
tidak terjadi pertumbuhan folikel dan corpus luteum, meski memiliki ukuran yang
normal.
V.2 SARAN
Setelah dilakukan pengamatan dengan beberap literatur bahwa perlu
adanya pemberian pakan yang dapat mencukupi kebutuhan tubuh hewan sehingga
ketika kebutuhan tubuh dari hewan tersebut terpenuhi maka diharapkan kejadian
hipofungsi ovarium tidak terulang lagi. Serta perlu dilakukan penangan lebih
lanjut terhadap terapi alternative seperti pemasangan alat SIDR agar dapat
mengkontrol system reproduksi pada sapi tersebut. Dan peternak di sarankan agar
kiranya lebih berperan aktif terhadap kondisi lingkungan atau area kandang mulai
dari pentilasi udara hingga kepadatan hewan dalam satu kandang.
22
DAFTAR PUSTAKA
23
Pangan Di Indonesia.Makalah. Dalam: Pidato Guru Besar Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, 25 April.
http://networkunion.en.made-in-china.com/product/gbJnplijJyGI/China.
Https://ridhosofian.wordpress.com/2014/02/26/masalah-reproduksi-sapi-brahman
24
LAMPIRAN KEGIATAN
NO GAMBAR KETERANGAN
1. Pengambilan data
pasien setelah
dilakukan
pemerisaan fisik.
Dan pencatatan
setelah anamnesa
terhadap peternak
2. Sinyalemen dan
inspeksi kondisi
tubuh sapi. Terlihat
kurus dan lesu serta
nafsu makan dan
minum menurun
3 Pembersihan tubuh
sapi untuk melihat
apakah tidak ada
pembengkakan yang
terjadi pada
limponodus sehingga
dapat diketahui ada
tidaknya infeksi.
25
4. Hasil pemeriksaan
fisik dan
pemeriksaan perektal
ditulis dalam bentuk
tabel dan dilaporkan
kepada dokter hewan
setempat.
5. Pemeriksaan perektal
terhadap sapi yang
tidak pernah
menunjukan adanya
gejala birahi, hasil
dari pemeriksaan
perektal tidak
ovarium tdak
simetris antara kanan
dan kiri., ovarium
teraba halus dan
kecil, tidak ada
tumbuh folikel (
folikulogenesis).
6. Pemberian vitamin
atau biodin sebagai
asupan tambahan
agar kondisi tubuh
dan nafsukan
meningkat sehingga
nutrisi tubuh dapat
terpenuhi. Biodin
diinjek IM (intra
muskulus) dengan
dosis 5 ml tiap sapi
yang kurus.
26
7. Palpasi Perektal
dengan hewan yang
tidak
menunjukangejala
yang sama sehingga
dapat dibandingkan
kondisi ovarium sapi
satu dengan sapi
yang lain.
27