Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FIQIH MUAMALAH

“PINJAM MEMINJAM (ARIAH)”

OLEH :

AMIRAH MARDHIYYAH 2030201005

BENI JASRA 2030201014

FEBRYANINDA WAHYUNI 2030201028

DOSEN PENGAMPU :

YUSTILOVIANI, S.Ag., M.Ag

JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR

2021
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji. semoga tetap senantiasa dipanjatkan kepada kehadirat Allah
swt yang membimbing umat manusia dengan petunjuk-petunjuknya yang terkandung dalam
al- Qur’anul karim dan Sunnah Rasulullah, yang senantiasa menjadi pedoman bagi umat
muslim menuju jalan yang lurus dan diridhoi oleh Allah swt. Shalawat serta salam semoga
senantiasa dihaturkan kepada baginda Rasulullah saw, para sahabat dan keluarga serta para
pengikutnya sampai di hari kiamat, terutama bagi para Mujtahid yang senantiasa
menuangkan hasil pemikiran mereka untuk kemaslahatan umat Islam.

Makalah ini berisi tentang PINJAM MEMINJAM dalam islam maupun hal-hal yang
lain yang berkaitan dengan judul makalah ini. Makalah ini dibuat sebagai syarat dan juga
tuntutan akademik dan diharapkan memberikan pengetahuan baru bagi kita untuk lebih
mengetahui pemikiran hukum Islam yang ada di tengah masyarakat. Dan tentunya, dalam
penyusunan makalah ini tidak terlepas dari segala kekurangan, penulis telah mengusahakan
meminimalisir sesuatu yang menjadi kekurangan dalam makalah ini.

Oleh karenanya, para pembaca sangat diharapkan untuk meluangkan waktunya


dalam memberikan kritik maupun saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan khususnya bagi penyusun tulisan ini.

Batusangkar,11 Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................................1

B. Rumusan Masalah .....................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan .......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian pinjam meminjam (ariah)........................................................................3

B. Dasar hukum pinjam meminjam (ariah)....................................................................4

C. Rukun dan syarat pinjam meminjam (ariah)..............................................................5

D. Pembayaran pinjaman................................................................................................7

E. Meminjampinjaman dan meyewakannya...................................................................8

F. Tangungjawab peminjam...........................................................................................9

G. Tatakrama berhutang.................................................................................................11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................................................14

B. Saran .........................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Harta adalah komponen pokok dalam kehidupan manusia, yamng mana harta
merupakan unsur dharuri yang memang tidak bisa ditinggalkan dengan begitu saja.
Dengan harta manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan sekunder
ataupun primer dalam hidupnya. Dalam rantai untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidup, terjadilah suatu hubungan yang horizontal antar manusia yakni Muamalah,
karena pada dasarnya manusia tidak ada yang sempurna, dan saling membutuhkan,
karena menusia juga memiliki hasrat untuk mencukupi kebutuhan, yang tidak ada
habisnya, kecuali dengan tumbuhnya rasa syukur dan ikhlas yang luar biasa kepada
Tuhan, secara pasti hal ini pula perlu mengenalkan adanya Tuhan yang memberi
nikmat dan rizki kepada manusia sehingga dapat merasakan kebahagiaan dalam
dirinya.

Manusia merupakan makhluk social yang tidak dapat memenuhi


kebutuhannya sendiri, dengan dibutuhkannya orang lain untuk mencukupinya maka
dalam dunia bisnis Islam biasa dikenal dengan kegiatan Muamalah, salah satunya
yakni yang membahas tentang harta dalam konteksnya harta hadir sebagai obyek
transaksi , sehingga harta pun dapat dijadikan sebagai obyek transaksi jual beli, sewa-
menyewa, pinjam-meminjam (ariyah),dan sebagainya. Jika diihat pula dalam
katakteristik dasarnya harta juga dijadikan sebagai obyek kepemilikan, kecuali
terdapat factor yang menghalanginya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian pinjam meminjam (ariah)

2. Apa Dasar hukum pinjam meminjam (ariah)

3. Apa Rukun dan syarat pinjam meminjam (ariah)

4. Bagaimaan Pembayaran pinjaman

5. Bagaimana Meminjam pinjaman dan meyewakannya

6. Apa Tangungjawab peminjam

1
7. Bagaimana Tatakrama berhutang

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Pengertian pinjam meminjam (ariah)

2. Untuk Mengetahui Dasar hukum pinjam meminjam (ariah)

3. Untuk Mengetahui Rukun dan syarat menjelaskan pinjam meminjam (ariah)

4. Untuk Mengetahui Bagaimaan Pembayaran pinjaman

5. Untuk Mengetahui Bagaimana Meminjam pinjaman dan meyewakannya

6. Untuk Mengetahui Apa Tangungjawab peminjam

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian pinjam meminjam (ariah)


ِ ‫ ) ْال َع‬diambil dari
Ariyah menurut bahasa, yang berasal dari bahasa Arab ( ُ‫اريَة‬
kata (‫ )عار‬yang berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat ariyah berasal
dari kata (‫اور‬KK‫ )التع‬yang artinya sama dengan (‫اوب‬KK‫اول او التن‬KK‫ )التن‬artinya saling tukar
menukar,yakni dalam tradisi pinjam-meminjam. Sedangkan menurut istilah dapat
dikatakan suatu kegiatan muamalah yang memberikan manfaat sesuatu yang halal
kepada orang lain untuk diambil manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya agar
zatnyatetap bisa dikembalikan kepada pemiliknya, sedangkan dalam definisi oleh para
Ulama’ sebagai berikut :1

1) Menurut Syarkhasy dan ulama Malikiyah

“pemilikan atas manfaat suatu benda tanpa pengganti”

2) Menurut ulama syafi’iyah dan Hanbaliah

“pembolehan untuk mengambil manfaat tanpa mengganti”

Perbedaan pengertian tersebut menimbulkan adanya perbedaan dalam akibat


hukum selanjutnya,pendapat pertama memberikan makna kepemilikan kepada
peminjam,sehingga membolehkan untuk meminjamkan lagi terhadap orang lain atau
pihak ketiga tanpa melalui pemilik benda,sedangkan pengertian yang kedua
menunjukkan arti kebolehan dalam mengambil manfaat saja,sehingga peminjam
dilarang meminjamkan terhadap orang lain.

Akad dalam ariyah berbeda dengan hibah, karena dalam Ariyah hanya untuk
diambil manfaatnya tanpa mengambil zatnya. Tetapi dalam Hibah dapat diambil
keduanya, baik dari zat dan juga manfaatnya.

Dalam undang-undang Perdata dikatakan hak kebendaan (zekelijkrect) adalah


hak mutlak atas suatu benda tersebut, yang mana hak tersebut memberikan kekuasaan
langsung pada pemiliknya.

1
Sri Soedewi Masychoen Sofwan, HukumPerdata : Hukum Kebendaan,(Yogyakarta: Liberty,2004)
3
Dalam ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 dijumpai
ketentuan yang berbunyi sebagai berikut : “ pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah
tertentu barang-barang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak
yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan
keadaan yang sama pula.

B. Dasar hukum pinjam meminjam (ariah)

Dalam kegiatan Pinjam-meminjam atau ariyah dianjurkan atau boleh


(mandub). Dalam praktik Ariyah pun mendapatkan pengakuan dari syariah.2

1) Al Qur’an

Dasar hukum ariyah adalah anjuran agama supaya manusia hidup tolong-
menolong serta saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan.

 Pada surat al-maidah ayat kedua allah berfirman :

Yang Artinya : “Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan
ketaqwaan dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”

 Dalam surat al-Nisa’ ayat 58 Allah berfirman :

Yang Artinya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menunaikan


amanah kepada yang berhak menerimannya.”

Bila Seseorang tidak mengembalikan waktu peminjamannya atau menunda


waktu pengembaliannya, berarti ia berbuat khianat. Serta berbuat maksiat kepada
pihak yang sudah menolongnya. Perbuatan seperti ini jelas bukan merupakan suatu
tindakan terpuji, sebab selain ia tidak berterima kasih kepada orang yang
menolongnya, pihak peminjam itu sudah menzalimi pihak yang sudah membantunya.
Ini berarti bahwa ia telah melanggar amanah dan melakukan suatu yang dilarang
agama.

Sebab perbuatan yang seperti itu, bertentangan dengan ajaran Allah yang
mewajibkan seseorang yang menunaikan amanah seta dilarang berbuat khianat.

2
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia,2001)
4
2) Al-Hadits

 Keterangan hadits Rasulullah SAW mengenai pinjam meminjam antara


lain :

ِ ‫ قَا َل َما ِمن ُمسلِ ٍم يُ ْق ِرضُ ُمسلِ ًما قَرضًا َم َّرت‬: ‫عَن اَبِي َمسعُو ٍد اَنَ النَّبِي ص ل‬
َ ‫َين اِاَّل َكانَ َك‬
ً‫ص َدقَتِهَا َم َّرة‬

Artinya : ”dari sahabat ibnu mas’ud bahwa nabi Muhammad SAW bersabda:
tidak ada seorang muslim yang meminjami muslim lainnya dua kali kecuali yang
satunya seperti shodaqoh.”

 Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:

ِ ‫َار ٌم َوالدَّينُ َم‬


‫قض ٌي‬ ِ ‫اَ ْل َع‬
ِ ‫اريَةُ ُم َؤ َّداةٌ َوال َّز ِعي ُم غ‬

Artinya: “Pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu


harus membayar dan hutang itu wajib dibayar.”

 Dalam hadist Rasulullah:

“Dari Sofwan bin Ummayah berkata, sesungguhnya Nabi SAW. Telah


meminjam beberapa baju perang pada Sofwan pada waktu perang di Hunain. Sofwan
bertanya kepada Rasulullah, Sofwan bertanya, “paksaankah ya Muhammad?”, jawab
Rasulullah, “ bukan tapi pinjaman yang dijamin”. Kemudian baju itu hilang sebagian ,
maka Rasulullah mengemukakan akan digantinya, Sofwan berkata, “saya sekarang
telah mendapat kepuasan dalam Islam”. (HR. Ahmad dan An Nasai).

C. Rukun dan syarat pinjam meminjam (ariah)

1. Rukun Ariyah

Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang
meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah. Menurut
Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafadz shigot akad, yakni ucapan ijab dan
qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab
memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.3

Secara umum, jumhur ulama’ fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada
empat, yaitu mu’ir (peminjam), musta’ir(yang meminjamkan), mu’ar(yang
3
Sulaiman Rashd, Fiqh Islam,(Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1994)
5
dipinjamkan), sighot, yakni sesuatu yang menunjukan kebolehan untuk mengambil
manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

2. Syarat Ariyah

Ulama Fuqoha mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:

a) Mu’ir berakal sehat

Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat
meminjamkan barang. Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan
ulama’ lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang
dapat berbuat kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang
bodoh dan juga bangkrut.4

b) Pemegang barang oleh peminjam

Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah


memegang barang adalah peminjam, digunakan sesuai manfaatnya, tetapi tidak
dimiliki zatnya, hukumnya pun dalam syara’ seperti halnya dalam hibah.

c) Barang (musta’ar) dapat dimanfaatlan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak
dapat dimanfaatkan akad tidak sah.

Para Ulama telah menetapkan ariyah diperbolehkan terhadap setiap barang


yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjam
sebidang lahan tanah, pakaian, hewan ternak. Dalam musta’ar tidak diperbolehkan
meminjamkan barang yang satu kali guna atau mudah habis zatnya, misalnya
makanan.

Diharamkan meminjam senjata dan kuda kepada musuh, juga diharamkan


meminjamkan Al Qur’an dan yang berkaitan dengan Al Qur’an kepada orang kafir.
Serta dilarang pula untuk meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang
ihram.

d) Shighat

4
Ibid
6
Menyangkut lafal, hendaklah ada pernyataan tentang pinjam meminjam
tersebut. Namun demikan, sebagian ahli berpendapat bahwa perjanjian pinjam
meminjam tersebut sah walaupun tidak dengan lafal. Tetapi untuk kekuatan dan
kejelasan akad haruslah menggunakan lafal yang jelas dalm pinjam meminjam.

D. Pembayaran Pinjaman

Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjaman
memiliki utang kepada yang berpiutang (muiir). Setiap utang wajib dibayar sehingga
berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran
utang juga termasuk aniaya perbuatan aniaya merupakan ssalah satu perbuatan dosa
Rasulullah SAW bersabda:

)‫َم ْط ُل ال َغنِ َّي ظُ ْل ُم (رواه البجارى ومسلم‬

Artinya; “Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar hutang adalah


aniaya”(Riwayat Bukhari dan muslim)5.

Dari hadits di atas dapat penulis pahami bahwa orang yang mempunyai
kemampuan untuk membayar hutang harusnya mengembalikan pinjaman hutang
dengan segera, karena apabila ditunda, itu termasuk menganiaya atau mendzolimi
orang yang telah meminjamkan, karena bisa saja si pemberi hutang membutuhkan
dana dari pinjaman yang ia berikan. Selain itu, Melebihkan bayaran dari sejumlah
pinjaman diperbolehkan, asalkan kelebihan itu merupakan kemauan dari orang yang
berhutang.Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.

Jika penambahan tersebut dikehedaki oleh orang yang berhutang atau telah
menjadi perjanjiaan dalam akad perutangan, maka tambahan itu tidak halal bagi yang
piutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda :6

)‫ض َج ْر َم ْنفَ َع ٍة فَ ُه َو َو ْجهُ ِمنْ ُو ُج ْو ِه ال ِّربَا (اخرجه البيهقى‬


ٍ ‫ُك ُّل قَ ْر‬

Artinya; “Tiap-tap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah
satu cara dari sekian cara riba ” (dikeluarkan oleh Baihaqi).

5
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah……, h. 96

6
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah……, h. 97
7
Rasulullah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu
dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian
Rasul bersabda:

َ َ‫ِخيَا ُر ُك ْم ق‬
)‫ضا ُء (رواه أحمد‬

“orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar
utangnya dengan yang lebih baik” (Riwayat Ahmad)

E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya

Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam dibolehkan untuk
meminjamkan barang yang dipinjamnya itu kepada orang lain, walaupun pemiliknya
belum mengizinkannya, selama penggunaanya tidak menyalahi tujuan pemakaian
barang tersebut.

Sementara ulama‟ Mazhab Hanbali berpendapat bahwa apabila akad „ariyah


telah diberlakukan, maka peminjam boleh memanfaatkan barang tersebut untuk
dirinya atau siapapun yang menggantikan statusnya. Berbeda halnya jika barang
tersebut adalah sewaan; ia tidak boleh meminjamkan barang itu kepada pihak ketiga
secara sewaan tanpa izin dari pemilik.

Jika ia meminjamkan barang tersebut tanpa mendapat izin dari pemilik, dan
barang tersebut menjadi rusak di tangan peminjam kedua, maka pemilik berhak
meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan semacam
itu, jaminan berada dalam tanggungjawab peminjam kedua, karena dia yang
memegang barang tersebut atas dasar bahwa dialah yang berkewajiban menggunakan
resiko dan barang tersebut rusak di tangannya. Karena itu, kewajiban tanggungan
berada padanya, seperti halnya orang yang merampas bertanggung jawab kepada
orang yang barangnya dirampas.7

F. Tanggung Jawab Peminjam

Peminjam wajib mengembalikan barang yang ia pinjam jika masih utuh. Jika
barang itu rusak, dalam keadaan yang di sengaja ataupun tidak maka diberitahukan
kepada pihak pemberi pinjaman dan tetap diganti. Selain itu, karena peminjam
mengambil barang milik orang lain untuk diambil manfaatnya saja, bukan untuk
7
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Cet.I, (Jakarta: Pena Pundi Aksra, 2006), hal. 243
8
dirusakkan sehingga ia harus menggantinya jika terjadi kerusakan. Ketentuan
kewajiban peminjam ini juga terdapat dalam Undang-Undang.8

1. Pasal 1744

Barang siapa menerima suatu barang yang dipinjam wajib memelihara


barang itu sebagai seorang kepala keluarga yang baik, ia tidak boleh
menggunakan barang itu selain untuk maksud pemakaian yang sesuai dengan
sifatnya, atau untuk kepentingan yang telah ditentukan dalam perjanjian. Bila
menyimpang dan larangan ini, peminjam dapat dihukum mengganti biaya,
kerugian dan bunga, kalau ada alas an untuk itu. Jika peminjam memakai barang
itu untuk suatu tujuan lama atau lebih lama dan yang semestinya, maka wajiblah
ia bertanggung jawab atas musnahnya barang itu sekalipun musnahnya barang itu
disebabkan oleh suatu peristiwa yang tidak disengaja.

2. Pasal 1745

Jika barang pinjaman itu musnah karena suatu peristiwa yang tidak
disengaja, sedang hal itu dapat dihindarkan oleh peminjam dengan jalan memakai
barang kepunyaan sendiri atau jika peminjam tidak mempedulikan barang
pinjaman sewaktu terjadinya peristiwa tersebut, sedangkan barang kepunyaanya
sendiri diselamatkannya, maka peminjam bertanggungjawab atas musnahnya
barang itu.

3. Pasal 1746

Jika barang itu telah ditaksir harganya pada waktu dipinjamkan maka
musnahnya barang itu meskipun hal ini terjadi karena peristiwa yang tak disengaja
adalah tanggungan peminjam, kecuali kalau telah dijanjikan sebaliknya.

4. Pasal 1747

Jika barang itu jadi berkurang harganya semata-mata karena pemakaian


yang sesuai dengan maksud peminjaman barang itu, dan bukan karena kesalahan
peminjam maka ia tidak bertanggung jawab atas berkurangnya harga itu.

5. Pasal 1748
8
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Undang-Undang RI NO. 18 Tahun 2003
tentang advokat, Cet. V, (Bandung: Citra Umbara, 2011), hal. 460
9
Pemakai telah mengeluarkan biaya untuk dapat memakai barang yang
dipinjamnya itu, maka ia tidak dapat menuntut biaya tersebut diganti.

6. Pasal 1749

Jika beberapa orang bersama-sama meminjam suatu barang, maka mereka


masing-masing wajib bertanggungjawab atas keseluruhannya kepada pemberi
pinjaman.

Dari penjelasan pasal yang ada di atas, maka setiap peminjam berkewajiban
menanggung segala resiko barang yang dipinjam tersebut, apabila barang pinjaman
tersebut rusak dalam waktu pemakaian dari pihak peminjam, maka wajib
menggantikan kerusakan barang tersebut, jika kerusakan tersebut akibat kesalahan
fatal yang disengaja oleh pihak peminjam. Apabila kerusakan tersebut akibat tidak
disengaja oleh pihak peminjam, maka peminjam tidak berkewajiban menanggung
kerusakan atas barang yang digunakannya. Pendapat yang rajah (valid) adalah wajib
mengganti barang pinjaman jika rusak, baik karena kesenggajaan atau tidak. Adanya
kewajiban menggantikan barang membuat peminjam menjaga barang pinjaman
dengan baik. Disamping itu, agar orang termotivasi untuk memberikan manfaat
kepada orang lain karena ia percaya bahwa barangnya akan selamat, baik dengan
dikembalikan atau diganti. Adapun jika tidak ada kewajiban wajib mengganti, tidak
ada motivasi bagi seseorang untuk meminjamkan barangnya kepada orang lain.9

Setiap manusia memiliki tanggung jawab atas apa yang dilakukan. Di dalam
‘ariyahbila peminjam telah memegang barangbarang pinjaman, kemudian barang
tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan
maupun karena yang lainnya.Demikian menurut Ibn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah,
Syafi‟i, dan Ishaq dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah Saw.
Bersabda:
َ ُ‫ه‬n َ‫ َذ تْ َحتَّى تُ َؤ ِّدي‬n‫اأخ‬
ُ‫(ر َواه‬ َ ‫َلى ا ْليَ ِد َم‬
َ ‫لَّ َم ع‬n ‫س‬
َ ‫ ِه َو‬n ‫لَّى هّللا ُ َعلَ ْي‬n ‫ص‬ ُ ‫ا َل َر‬nnَ‫هُ ق‬n ‫ َي هّللا ُ َع ْن‬n ‫ض‬
َ ِ ‫ ْو ُل هّللا‬n ‫س‬ ِ ‫ب َر‬ ٍ ‫ َد‬n ‫ ُم َرةَ ْب ِن ُج ْن‬n ‫س‬
َ ْ‫عَن‬
)‫الحا ِك ُم‬
َ ُ‫ص َّح َحه‬ َ ‫أَ ْح َم ُد َواألَ ْربَ َعةُ َو‬
Artinya: “Dari Samurah bin Jundab berkata, “Rasulullah Saw bersabda,”tangan
bertanggung jawab atas apa yang ia ambil hingga mengembalikannya.” Riwayat
Ahmad, empat imam dan dianggap sahih oleh Al-Hakim.10

9
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Cet.I, (Jakarta: Pena Pundi Aksra, 2006), hal. 243
10
Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa, peminjam
tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakannya yang
berlebihan, karena Rasulullah Saw. Bersabda:
َ ِّ‫ع َغ ْي ِرا ْل ُم ِغل‬
)‫ض َمانُ (أخرجه الدارقطنى‬ ْ ‫ض َمانُ َوالَا ْل ُم‬
ِ ‫ست َْو ِد‬ َ ‫س َعلَى ا ْل ُمستَ ِع ْي ِرا ْل ُم ِغ ِّل‬
َ ‫لَ ْي‬

“peminjam yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan


orang yang dititipi yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan.”
(dikeluarkan al Daruquthni)

Dari bermacam pendapat yang disampaikan di atas bahwa sesuatu yang


dipinjam harus dikembalikan sesuai dengan kesepakatan peminjam dan orang
yangmemberi pinjaman, serta bertanggung jawab atas apa yang dipinjam.

G. Tatakrama Berhutang

Tindakan hutang piutang perlu adanya tata karma dalam pelaksanaannya.


Menurut Hendi Suhendi, nilai sopan santun dalam praktik hutang piutang ialah:
Pertama: adanya tulisan dari pihak yang memberikan hutang dengan dua laki-laki
sebagai saksi atau seorang laki-laki sebagai saksi dan dua perempuan sebagai saksi
kemudian tulisan itu harus ditulis di kertas yang bermaterai.Kedua: meminjam hutang
hendakya ketika dalam keadaan yang sangat mendesak dan ada suatu kebutuhan yang
harus terpenuhi secepatnya, saat meminjam harus disertai niat dalam hati untuk
berusaha melunasinya.Ketiga:pihak yang menghutangkan sebaiknya berniat
membantu meringankan beban kepada orang yang berhutang.Selain itu, bagi pihak
yang berhutang apabila telah memiliki uang untuk mengembalikannya maka segera
melunasi hutangnya, karena menunda atau sengaja lupa dengan pembayaran hutang
termasuk perbuatan yang zalim11
Adapun solusi islam bagi seseorang yang belum mampu melunasi hutang ialah
hendaknya hanya utang poko yang diambil, hal ini tidak akan menimbulkan perbuatan
zalim dengan mengambil keuntungan dari hasil hutang pokok. Jika orang berhutang
sangat keberatan untuk mengembalikan hutangnyadalam jangka waktu yang
disepakati maka perlu mempertimbangkan jangka waktu tambahan untuk
melunasinya. Selain itu dengan memperhatikan kehidupan ekonomi pihak yang

10
Imam Al-Hafidz ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Five in One..., h. 529.

11
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Pers,2014), hlm.98
11
berhutang, orang yang menghutangkan memiliki kehendak untuk membebaskan ia
dari hutang.12

Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau


utang-piutang tentang nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai
berikut :

1. Pinjam meminjam supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak yang meminjam
dengan menghadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki atau seorang saksi laki-laki
dan 2 (dua) orang saksi perempuan. Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Baqarah
ayat 282 yang artinya :

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa”. (Q.S. Al-
Baqarah : 282)

2. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak disertai niat
dalam hati akan membayar/mengembalikannya.

3. Pihak yang memberi pinjaman hendaknya berniat memberikan pertolongan


kepada pihak yang meminjam. Bila yang meminjam tidak mampu
mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya membalaskannya.

4. Pihak yang meminjam bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya


dipercepat pembayaran pinjamannya karena lalai dalam pembayaran pinjaman
berarti berbuat zalim.13

12
Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2010), hlm.98

13
Dalam Pandangan 4 Madzab, Cet. 1, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009), hal. 346-348

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pinjaman (‘ariyah) berasal dari kata at-ta’wur yaitu ganti mengganti
pemanfaatan sesuatu kepada orang lain. Adapun ‘ariyah secara terminologis berarti
pembolehan pemanfaatan suatu barang (oleh pemilikkepada orang lain) dengan tetap
menjaga keutuhan barang itu. Dalam melakukan ‘ariyah ada rukun dan syarat-syarat
yang harus dilakukan dan dipenuhi. Mengenai meminjam pinjaman dan
menyewakannya terdapat beberapa pendapat diantara Imam Abu Hanifah dan Malik
berpendapat bahwa peminjam dibolehkan untuk meminjamkan barang yang
dipinjamnya itu kepada orang lain, walaupun pemiliknya belum mengizinkannya,
selama penggunaanya tidak menyalahi tujuan pemakaian barang tersebut.
Sementara ulama‟ Mazhab Hanbali berpendapat bahwa apabila akad „ariyah
telah diberlakukan, maka peminjam boleh memanfaatkan barang tersebut untuk
dirinya atau siapapun yang menggantikan statusnya. Berbeda halnya jika barang
tersebut adalah sewaan; ia tidak boleh meminjamkan barang itu kepada pihak ketiga
secara sewaan tanpa izin dari pemilik. Sesuatu yang dipinjam harus dikembalikan
sesuai dengan kesepakatan peminjam dan orang yang memberi pinjaman, serta
bertanggung jawab atas apa yang dipinjam.Dalam melakukan tindakan hutang piutang
perlu adanya tata karma dalam pelaksanaannya dan itu harus diperhatikan.

13
B. Saran
Semoga pembaca dapat memahami uraian yang diberikan di dalam
makalah,dan sebaiknya pebaca mencari data-data yang lebih banyak lagi atau sumber-
sumber yang banyak lagi mengenai materi ini, karena kami menyadari bahwa uraian
dalam makalah ini masih banyak kekurangan nya, oleh karena itu kami meminta
kritik dan saran dari pembaca.

DAFTAR ISI

Hendi Suhendi. 2014. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.

Moh. Rifa’i. 2009. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra.

Murtadha Mutahhari. 1995. Pandangan Islam Tentang Asuransi dan Riba. Bandung: Pustaka
Hidayah.

Rashd.Sulaiman,(1994), Fiqh Islam,Bandung:Sinar Baru Algesindo

Sayyid Sabiq. 2006. Fiqih Sunnah. Jakarta : Pena Pundi Aksara

Soedewi Masychoen Sofwan. Sri. 1924. Hukum Perdata : Hukum Kebendaan, Yogyakarta :
Liberty Yogya

Sulaiman Rasjid. 2009. Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap). Bandung: Sinar Baru
Algesindo.

Syafei Rahmat. 2001. Fiqih Muamalah, Bandung : Pustaka Setia

14

Anda mungkin juga menyukai