OLEH :
DOSEN PENGAMPU :
FAKULTAS SYARIAH
2021
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji. semoga tetap senantiasa dipanjatkan kepada kehadirat Allah
swt yang membimbing umat manusia dengan petunjuk-petunjuknya yang terkandung dalam
al- Qur’anul karim dan Sunnah Rasulullah, yang senantiasa menjadi pedoman bagi umat
muslim menuju jalan yang lurus dan diridhoi oleh Allah swt. Shalawat serta salam semoga
senantiasa dihaturkan kepada baginda Rasulullah saw, para sahabat dan keluarga serta para
pengikutnya sampai di hari kiamat, terutama bagi para Mujtahid yang senantiasa
menuangkan hasil pemikiran mereka untuk kemaslahatan umat Islam.
Makalah ini berisi tentang PINJAM MEMINJAM dalam islam maupun hal-hal yang
lain yang berkaitan dengan judul makalah ini. Makalah ini dibuat sebagai syarat dan juga
tuntutan akademik dan diharapkan memberikan pengetahuan baru bagi kita untuk lebih
mengetahui pemikiran hukum Islam yang ada di tengah masyarakat. Dan tentunya, dalam
penyusunan makalah ini tidak terlepas dari segala kekurangan, penulis telah mengusahakan
meminimalisir sesuatu yang menjadi kekurangan dalam makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
D. Pembayaran pinjaman................................................................................................7
F. Tangungjawab peminjam...........................................................................................9
G. Tatakrama berhutang.................................................................................................11
A. Kesimpulan ...............................................................................................................14
B. Saran .........................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Harta adalah komponen pokok dalam kehidupan manusia, yamng mana harta
merupakan unsur dharuri yang memang tidak bisa ditinggalkan dengan begitu saja.
Dengan harta manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan sekunder
ataupun primer dalam hidupnya. Dalam rantai untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidup, terjadilah suatu hubungan yang horizontal antar manusia yakni Muamalah,
karena pada dasarnya manusia tidak ada yang sempurna, dan saling membutuhkan,
karena menusia juga memiliki hasrat untuk mencukupi kebutuhan, yang tidak ada
habisnya, kecuali dengan tumbuhnya rasa syukur dan ikhlas yang luar biasa kepada
Tuhan, secara pasti hal ini pula perlu mengenalkan adanya Tuhan yang memberi
nikmat dan rizki kepada manusia sehingga dapat merasakan kebahagiaan dalam
dirinya.
B. Rumusan Masalah
1
7. Bagaimana Tatakrama berhutang
C. Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Akad dalam ariyah berbeda dengan hibah, karena dalam Ariyah hanya untuk
diambil manfaatnya tanpa mengambil zatnya. Tetapi dalam Hibah dapat diambil
keduanya, baik dari zat dan juga manfaatnya.
1
Sri Soedewi Masychoen Sofwan, HukumPerdata : Hukum Kebendaan,(Yogyakarta: Liberty,2004)
3
Dalam ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 dijumpai
ketentuan yang berbunyi sebagai berikut : “ pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah
tertentu barang-barang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak
yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan
keadaan yang sama pula.
1) Al Qur’an
Dasar hukum ariyah adalah anjuran agama supaya manusia hidup tolong-
menolong serta saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan.
Yang Artinya : “Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan
ketaqwaan dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
Sebab perbuatan yang seperti itu, bertentangan dengan ajaran Allah yang
mewajibkan seseorang yang menunaikan amanah seta dilarang berbuat khianat.
2
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia,2001)
4
2) Al-Hadits
ِ قَا َل َما ِمن ُمسلِ ٍم يُ ْق ِرضُ ُمسلِ ًما قَرضًا َم َّرت: عَن اَبِي َمسعُو ٍد اَنَ النَّبِي ص ل
َ َين اِاَّل َكانَ َك
ًص َدقَتِهَا َم َّرة
Artinya : ”dari sahabat ibnu mas’ud bahwa nabi Muhammad SAW bersabda:
tidak ada seorang muslim yang meminjami muslim lainnya dua kali kecuali yang
satunya seperti shodaqoh.”
1. Rukun Ariyah
Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang
meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah. Menurut
Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafadz shigot akad, yakni ucapan ijab dan
qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab
memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.3
Secara umum, jumhur ulama’ fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada
empat, yaitu mu’ir (peminjam), musta’ir(yang meminjamkan), mu’ar(yang
3
Sulaiman Rashd, Fiqh Islam,(Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1994)
5
dipinjamkan), sighot, yakni sesuatu yang menunjukan kebolehan untuk mengambil
manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
2. Syarat Ariyah
Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat
meminjamkan barang. Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan
ulama’ lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang
dapat berbuat kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang
bodoh dan juga bangkrut.4
c) Barang (musta’ar) dapat dimanfaatlan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak
dapat dimanfaatkan akad tidak sah.
d) Shighat
4
Ibid
6
Menyangkut lafal, hendaklah ada pernyataan tentang pinjam meminjam
tersebut. Namun demikan, sebagian ahli berpendapat bahwa perjanjian pinjam
meminjam tersebut sah walaupun tidak dengan lafal. Tetapi untuk kekuatan dan
kejelasan akad haruslah menggunakan lafal yang jelas dalm pinjam meminjam.
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjaman
memiliki utang kepada yang berpiutang (muiir). Setiap utang wajib dibayar sehingga
berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran
utang juga termasuk aniaya perbuatan aniaya merupakan ssalah satu perbuatan dosa
Rasulullah SAW bersabda:
Dari hadits di atas dapat penulis pahami bahwa orang yang mempunyai
kemampuan untuk membayar hutang harusnya mengembalikan pinjaman hutang
dengan segera, karena apabila ditunda, itu termasuk menganiaya atau mendzolimi
orang yang telah meminjamkan, karena bisa saja si pemberi hutang membutuhkan
dana dari pinjaman yang ia berikan. Selain itu, Melebihkan bayaran dari sejumlah
pinjaman diperbolehkan, asalkan kelebihan itu merupakan kemauan dari orang yang
berhutang.Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Jika penambahan tersebut dikehedaki oleh orang yang berhutang atau telah
menjadi perjanjiaan dalam akad perutangan, maka tambahan itu tidak halal bagi yang
piutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda :6
Artinya; “Tiap-tap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah
satu cara dari sekian cara riba ” (dikeluarkan oleh Baihaqi).
5
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah……, h. 96
6
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah……, h. 97
7
Rasulullah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu
dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian
Rasul bersabda:
َ َِخيَا ُر ُك ْم ق
)ضا ُء (رواه أحمد
“orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar
utangnya dengan yang lebih baik” (Riwayat Ahmad)
Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam dibolehkan untuk
meminjamkan barang yang dipinjamnya itu kepada orang lain, walaupun pemiliknya
belum mengizinkannya, selama penggunaanya tidak menyalahi tujuan pemakaian
barang tersebut.
Jika ia meminjamkan barang tersebut tanpa mendapat izin dari pemilik, dan
barang tersebut menjadi rusak di tangan peminjam kedua, maka pemilik berhak
meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan semacam
itu, jaminan berada dalam tanggungjawab peminjam kedua, karena dia yang
memegang barang tersebut atas dasar bahwa dialah yang berkewajiban menggunakan
resiko dan barang tersebut rusak di tangannya. Karena itu, kewajiban tanggungan
berada padanya, seperti halnya orang yang merampas bertanggung jawab kepada
orang yang barangnya dirampas.7
Peminjam wajib mengembalikan barang yang ia pinjam jika masih utuh. Jika
barang itu rusak, dalam keadaan yang di sengaja ataupun tidak maka diberitahukan
kepada pihak pemberi pinjaman dan tetap diganti. Selain itu, karena peminjam
mengambil barang milik orang lain untuk diambil manfaatnya saja, bukan untuk
7
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Cet.I, (Jakarta: Pena Pundi Aksra, 2006), hal. 243
8
dirusakkan sehingga ia harus menggantinya jika terjadi kerusakan. Ketentuan
kewajiban peminjam ini juga terdapat dalam Undang-Undang.8
1. Pasal 1744
2. Pasal 1745
Jika barang pinjaman itu musnah karena suatu peristiwa yang tidak
disengaja, sedang hal itu dapat dihindarkan oleh peminjam dengan jalan memakai
barang kepunyaan sendiri atau jika peminjam tidak mempedulikan barang
pinjaman sewaktu terjadinya peristiwa tersebut, sedangkan barang kepunyaanya
sendiri diselamatkannya, maka peminjam bertanggungjawab atas musnahnya
barang itu.
3. Pasal 1746
Jika barang itu telah ditaksir harganya pada waktu dipinjamkan maka
musnahnya barang itu meskipun hal ini terjadi karena peristiwa yang tak disengaja
adalah tanggungan peminjam, kecuali kalau telah dijanjikan sebaliknya.
4. Pasal 1747
5. Pasal 1748
8
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Undang-Undang RI NO. 18 Tahun 2003
tentang advokat, Cet. V, (Bandung: Citra Umbara, 2011), hal. 460
9
Pemakai telah mengeluarkan biaya untuk dapat memakai barang yang
dipinjamnya itu, maka ia tidak dapat menuntut biaya tersebut diganti.
6. Pasal 1749
Dari penjelasan pasal yang ada di atas, maka setiap peminjam berkewajiban
menanggung segala resiko barang yang dipinjam tersebut, apabila barang pinjaman
tersebut rusak dalam waktu pemakaian dari pihak peminjam, maka wajib
menggantikan kerusakan barang tersebut, jika kerusakan tersebut akibat kesalahan
fatal yang disengaja oleh pihak peminjam. Apabila kerusakan tersebut akibat tidak
disengaja oleh pihak peminjam, maka peminjam tidak berkewajiban menanggung
kerusakan atas barang yang digunakannya. Pendapat yang rajah (valid) adalah wajib
mengganti barang pinjaman jika rusak, baik karena kesenggajaan atau tidak. Adanya
kewajiban menggantikan barang membuat peminjam menjaga barang pinjaman
dengan baik. Disamping itu, agar orang termotivasi untuk memberikan manfaat
kepada orang lain karena ia percaya bahwa barangnya akan selamat, baik dengan
dikembalikan atau diganti. Adapun jika tidak ada kewajiban wajib mengganti, tidak
ada motivasi bagi seseorang untuk meminjamkan barangnya kepada orang lain.9
Setiap manusia memiliki tanggung jawab atas apa yang dilakukan. Di dalam
‘ariyahbila peminjam telah memegang barangbarang pinjaman, kemudian barang
tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan
maupun karena yang lainnya.Demikian menurut Ibn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah,
Syafi‟i, dan Ishaq dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah Saw.
Bersabda:
َ ُهn َ َذ تْ َحتَّى تُ َؤ ِّديnاأخ
ُ(ر َواه َ َلى ا ْليَ ِد َم
َ لَّ َم عn س
َ ِه َوn لَّى هّللا ُ َعلَ ْيn ص ُ ا َل َرnnَهُ قn َي هّللا ُ َع ْنn ض
َ ِ ْو ُل هّللاn س ِ ب َر ٍ َدn ُم َرةَ ْب ِن ُج ْنn س
َ ْعَن
)الحا ِك ُم
َ ُص َّح َحه َ أَ ْح َم ُد َواألَ ْربَ َعةُ َو
Artinya: “Dari Samurah bin Jundab berkata, “Rasulullah Saw bersabda,”tangan
bertanggung jawab atas apa yang ia ambil hingga mengembalikannya.” Riwayat
Ahmad, empat imam dan dianggap sahih oleh Al-Hakim.10
9
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Cet.I, (Jakarta: Pena Pundi Aksra, 2006), hal. 243
10
Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa, peminjam
tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakannya yang
berlebihan, karena Rasulullah Saw. Bersabda:
َ ِّع َغ ْي ِرا ْل ُم ِغل
)ض َمانُ (أخرجه الدارقطنى ْ ض َمانُ َوالَا ْل ُم
ِ ست َْو ِد َ س َعلَى ا ْل ُمستَ ِع ْي ِرا ْل ُم ِغ ِّل
َ لَ ْي
G. Tatakrama Berhutang
10
Imam Al-Hafidz ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Five in One..., h. 529.
11
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Pers,2014), hlm.98
11
berhutang, orang yang menghutangkan memiliki kehendak untuk membebaskan ia
dari hutang.12
1. Pinjam meminjam supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak yang meminjam
dengan menghadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki atau seorang saksi laki-laki
dan 2 (dua) orang saksi perempuan. Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Baqarah
ayat 282 yang artinya :
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa”. (Q.S. Al-
Baqarah : 282)
2. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak disertai niat
dalam hati akan membayar/mengembalikannya.
12
Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2010), hlm.98
13
Dalam Pandangan 4 Madzab, Cet. 1, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009), hal. 346-348
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pinjaman (‘ariyah) berasal dari kata at-ta’wur yaitu ganti mengganti
pemanfaatan sesuatu kepada orang lain. Adapun ‘ariyah secara terminologis berarti
pembolehan pemanfaatan suatu barang (oleh pemilikkepada orang lain) dengan tetap
menjaga keutuhan barang itu. Dalam melakukan ‘ariyah ada rukun dan syarat-syarat
yang harus dilakukan dan dipenuhi. Mengenai meminjam pinjaman dan
menyewakannya terdapat beberapa pendapat diantara Imam Abu Hanifah dan Malik
berpendapat bahwa peminjam dibolehkan untuk meminjamkan barang yang
dipinjamnya itu kepada orang lain, walaupun pemiliknya belum mengizinkannya,
selama penggunaanya tidak menyalahi tujuan pemakaian barang tersebut.
Sementara ulama‟ Mazhab Hanbali berpendapat bahwa apabila akad „ariyah
telah diberlakukan, maka peminjam boleh memanfaatkan barang tersebut untuk
dirinya atau siapapun yang menggantikan statusnya. Berbeda halnya jika barang
tersebut adalah sewaan; ia tidak boleh meminjamkan barang itu kepada pihak ketiga
secara sewaan tanpa izin dari pemilik. Sesuatu yang dipinjam harus dikembalikan
sesuai dengan kesepakatan peminjam dan orang yang memberi pinjaman, serta
bertanggung jawab atas apa yang dipinjam.Dalam melakukan tindakan hutang piutang
perlu adanya tata karma dalam pelaksanaannya dan itu harus diperhatikan.
13
B. Saran
Semoga pembaca dapat memahami uraian yang diberikan di dalam
makalah,dan sebaiknya pebaca mencari data-data yang lebih banyak lagi atau sumber-
sumber yang banyak lagi mengenai materi ini, karena kami menyadari bahwa uraian
dalam makalah ini masih banyak kekurangan nya, oleh karena itu kami meminta
kritik dan saran dari pembaca.
DAFTAR ISI
Moh. Rifa’i. 2009. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Murtadha Mutahhari. 1995. Pandangan Islam Tentang Asuransi dan Riba. Bandung: Pustaka
Hidayah.
Soedewi Masychoen Sofwan. Sri. 1924. Hukum Perdata : Hukum Kebendaan, Yogyakarta :
Liberty Yogya
Sulaiman Rasjid. 2009. Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap). Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
14