Anda di halaman 1dari 6

KONTEKS ARAB PRA ISLAM

MUHAMMAD PRA KENABIAN


Kelompok 1
1. Agustin Putri Anjar Sari : 1831030108
2. Lanjar Nur Hidayati : 1831030142
3. Rahmat Prasetyo : 1831030201

A. Pendahuluan

Arab pra Islam dikenal sebagai zaman jahiliyyah. Suatu masyarakat tercipta karena
adanya kontruksi sosial yang mengitarinya. Situasi ini tentunya bukan lahir dari tirani Arab
pra Islam, melainkan ada faktor lain yang mempengaruhinya. Akibat dorongan akan situasi,
kondisi, iklim bahkan sumber daya alam yang tersedia. Seringkali banyak stigma negatif di
kalangan muslim sendiri, yang melekat pada “Arab Pra Islam” dengan menyebutnya zaman
kegelapan, zaman kebodohan, zaman kekerasan, zaman rusaknya moral, dan sebagainnya.
Padahal, kajian sejarah harus memberikan informasi secara komprehensif, adil dan berimbang
mengenai kondisi Arab Pra Islam. Sehingga nantinya kita bisa mengambil nilai-nilai positif
dari masyarakat Arab Pra Islam.

Sejak Tuhan “berbicara” maka Islam lahir sebagai agama. Ia bukan hanya sebagai
fakta historis, melainkan sebuah kehadiran Tuhan dalam bentuk “kalam”. Seluruh kebudayaan
Islam memulai langkahnya dengan fakta sejarah bahwa manusia disapa Tuhan dengan bahasa
yang Dia ucapkan sendiri. Ia diwahyukan Tuhan untuk menyapa dan mengajak manusia ke
jalan keselamatan.

Tercatat dalam sejarah bahwa al-Qur’an diturunkan secara evolusi dan


berkesinambungan (tadrij) selama lebih kurang 23 tahun. Hal ini memberikan kesan bahwa al-
Qur’an benar-benar berdialog, sekaligus mengoreksi kehidupan umat manusia. Dengan kata
lain, al-Qur’an yang turun berangsur-angsur mengenal konteks sosial dan konteks psikologis
masyarakat Arab. Sebab itu, dalam studi ‘Ulum al-Qur’an dikenal konsep asbab al-nuzul dan
nasikh mansukh di mana isi dan pesan al-Qur’an menjalin dialektika dan selalu
memperhatikan kemaslahatan hidup manusia.

B. Pembahasan

Konteks Sosio-Kultural Arabia Pra-Islam


Secara garis besar Jazirah Arabia terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian tengah dan
bagian pesisir. Daerah bagian tengah berupa padang pasir (shahra‘) yang sebagian besar
penduduknya adalah suku Badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan (nomadik), yaitu
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan bagian pesisir penduduknya
hidup menetap dengan mata pencaharian bertani dan berniaga (penduduk kota). Karena itu
mereka sempat membina berbagai macam budaya, bahkan kerajaan.1 Adanya dua macam

1
Pendekatan antropologis empirik historis, di samping dinamika dan jasanya yang sedemikian besar
dalam memajukan studi agama, tetapi karena sifat keilmuannya yang empiris historis, acapkali telah jauh
melewati batas kewenangannya. Teori-teori tentang agama yang muncul dari pendekatan sosiologis dan
psikologis misalnya, mengarah pada perspektif yang bersifat projeksionis, yakni suatu cara telaah yang melihat
kondisi geografis yang berbeda ini pada akhirnya mengakibatkan terjadinya dualisme karakter
penduduk, yakni antara kaum Badui dan penduduk kota.2 Kerasnya situasi gurun pasir
membuat masyarakat Arab sering menghadapi rasa putus asa dan ketakutan. Maka untuk
meneguhkan hatinya, mereka mempercayai takhayyul yang dianggap dapat memberikan
keteguhan, kekuatan, dan kemakmuran. Selain itu, ada juga kepercayaan yang bersumber dari
cerita rekaan berupa legenda yang tertuang dalam syair-syair atau cerita mengenai
kepercayaan dan peribadatan yang mereka percayai sebagai suatu agama. Dalam kajian
antropologis, mungkin ini salah satu alasan mengapa manusia beragama? Agama menambah
kemampuan manusia untuk menghadapi kelemahan hidupnya. Agama dapat memberi
dukungan psikologis waktu terjadi tragedi, kecemasan, dan krisis. Agama juga memberi
kepastian dan arti bagi manusia, karena secara naturalistis tampaknya di dunia ini penuh
dengan hal-hal yang probabilistis.3
Bagi masyarakat Arab dunia yang fana ini merupakan satu-satunya dunia yang eksis.
Eksistensi di luar batas dunia merupakan hal yang nonsen. Konsepsi tentang eksistensi yang
mencirikan pandangan dunia pagan Arab ini direkam dalam berbagai bagian al-Qur’an.
“Mereka berkata, kehidupan kita hanyalah di dunia ini, kita mati dan kita hidup serta tidak ada
yang membinasakan kita kecuali masa” (QS:45;24). Kemungkinan akan dibangkitkannya
manusia dalam kehidupan mendatang sama sekali merupakan konsepsi yang asing dan berada
di luar benak mereka.4

agama hanya sebagai fenomena sosial belaka sehingga kehilangan nuansa kesakralan dan sisi-sisi
normativistiknya dan tercerabut dari nuansa keilahiannya. Seyyed Hossein Nasr, merupakan salah seorang
pemikir Muslim yang dengan vokal menolak pendekatan empirik historis terhadap realitas keberagamaan
manusia. Periksa Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Lahore: Suhall Academy, 1988), 75-95.
Periksa juga Nasr, “Filsafat Perennial: Perspektif Alternatif untuk Studi Agama”, Ulumul Qur’an Vol. II No. 3
(1992), 86-95.
2
Aplikasi Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama, dapat dilacak dalam karya Max Scheler
(1874-1928), On the Eternal in Man dan Formalism in Ethics and Non Formal Ethics of Values, yang
membahas tentang metode fenomenologi; W. Brede Kristensen (1867-1953) yang memaparkan gambaran
tentang pendekatan deskriptif dan komparatif dalam fenomenologi sekaligus pernyataannya bahwa
fenomenologi bukan disiplin ilmu yang normatif; Rudolf Otto (1869-1937), yang memberikan kontribusi tentang
dua metodologi yang saling bergantung dalam fenomenologi yakni pendekatan pengalaman (exsperiential
approach) dan pendekatan anti reduksionism. Juga dapat dilihat karya Gerardus van der Leeuw (1890-1950),
Phenomenologie der Religion, yang berisi tentang hermeneutika dan verstehen; C. Jouco Bleeker (1898-1983),
yang menyatakan bahwa fenomenologi agama merupakan kombinasi sikap kritis dan deskripsi yang akurat dari
suatu fenomena religius yang terdiri dari tiga dimensi yakni theoria (esensi keberagamaan), logos (aturan
obyektif kitab suci) dan entelecheia (kehidupan keagamaan aktual yang dinamis); Mircea Eliade (1907-1986),
yang sedemikian kental menggaris bawahi dalam agama mesti terdapat dimensi sacred-transcend dan profane
historical relative serta pada pemikiran Ninian Smart (1927-2001) yang berkonsentrasi pada dua pendekatan
dominan dalam fenomenologi agama yakni etnosentris-normatif dan normatif filosofis. Periksa Douglas Allen,
“Phenomenology of Religion”, dalam The Routledge Companion to The Study of Religion, ed. John. R. Hinnells
(London and New York: Routledge, 2005), 191-196.
3
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomenon yang berarti menunjukkan (makna)
dirinya sendiri atau apa yang tampak. Jadi fenomenologi berarti ilmu yang mempelajari apa yang tampak atau
apa yang menampakkan diri. Pendekatan fenomenologi ini, diilhami oleh cara pendekatan filosofis yang
dikembangkan oleh Edmund Husserl, seorang keturunan Yahudi yang lahir di Prosznits, Moravia pada tahun
1859. Bahasan lebih lanjut periksa K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris Jerman (Jakarta: Gramedia,
2002), 104-115. Namun demikian, istilah fenomenologi agama digunakan sebelumnya oleh PD. Chantaphie de la
Saussaye (1848-1920) ahli studi agama kebangsaan Belanda. Bahkan ia dianggap sebagai pendiri fenomenologi
agama. Periksa Allen, “Phenomenology of Religion”, 191. Bandingkan Ahmad Norma Permata, “Pendahuluan
Editor”, dalam Metodologi Studi Agama, ed. Ahmad Norma Permata (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000), 20
4
Richard C. Martin, “Islam dan Studi Agama”, dalam Richard C. Martin (ed.), Pendekatan Kajian Islam
dalam Studi Agama, ter. Zakiyuddin Bhaidawy (Surakarta: Muhammadiyah University Press UMS, 2002), 8.
Kebiasaan mengembara membuat orang-orang Arab senang hidup bebas, tanpa aturan
yang mengikat sehingga mereka menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Pada musim
paceklik dan musim panas, mereka terbiasa melakukan perampasan sebagai sarana hidup.
Namun di balik watak dan prilaku keras mereka memiliki jiwa seni yang sangat halus dalam
bidang sastra, khususnya genre syair. Kepandaian dalam mengubah syair merupakan
kebanggaan, dan setiap kabilah akan memposisikan pada tempat yang terhormat. Maka tidak
heran kalau pada masa itu muncul para penyair ternama, semisal Umru’ al-Qais, al-Nabighah
al-Dubyani, A’sha, Harith bin Hillizah al-Yashkari, Antarah al-Absi, Zuhayr bin Abi Sulma,
Lubayd bin Rabi‘ah dan lainnya. Mereka mengekspresikan syairnya di pasar Ukkaz yang
terletak di antara Ta’if dan Nakhlak. Syair-syair yang berkualitas tinggi kemudian digantung
di sekitar Ka’bah dan dianggap sebagai hasil karya sasrta yang bermutu (muallaqat).5

Meskipun Madinah memiliki peran sentral dalam evolusi eksternal misi kenabian
Muhammad, namun komersial Makkah lah yang tampaknya paling mendominasi ungkapan-
ungkapan dalam al-Qur’an. Kafilah-kafilah dagang yang biasanya pergi ke selatan di musim
dingin, dan ke utara di musim panas dirujuk dalam al-Qur’an (106: 2). Term tijarah
(perniagaan) disebutkan sebanyak 9 kali merupakan tema sentral yang tercermin dalam
perbendaharaan kata yang digunakan dalam kitab suci tersebut. W. Montgomery Watt 6
mengutip C. Torry, menyimpulkan bahwa istilah-istilah perniagaan digunakan dalam kitab
suci tersebut untuk mengungkapkan butir-butir doktrin yang paling mendasar, bukan sekedar
kiasan illustratif.

Ungkapan-ungkapan di dunia perniagaan memang menghiasi lembaran-lembaran al-


Qur’an dan digunakan untuk mengungkapkan ajaran Islam yang asasi. Hisab, suatu istilah
yang lazim digunakan untuk perhitungan untung-rugi dalam dunia perniagaan muncul di
beberapa tempat dalam al-Qur’an sebagai salah satu nama hari kiamat ( yawm al-hisab ),
ketika perhitungan terhadap segala perbuatan manusia dilakukan dengan cepat (sari al-hisab).
Sementara kata hasib (pembuat perhitungan) dinisbatkan kepada Tuhan dalam kaitannya
dengan perbuatan manusia. Setiap orang akan bertanggungjawab atas segala perbuatan yang

5
Makna “yang lebih dalam” tersebut dapat dikatakan membentuk hakikat fenomena. Kata hakikat
fenomena mesti dimengerti dengan benar, yakni hakikat empiris. Fenomenologi agama adalah ilmu empiris,
ilmu manusia yang menggunakan hasil-hasil ilmu manusia lainnya seperti psikologi religius, sosiologi dan
antropologi religius, bahkan dapat dikatakan fenomenologi agama lebih dekat dengan filsafat agama dari pada
ilmu-ilmu manusia lainnya yang mempelajari fenomena religius, karena mempelajari fenomena religius dari
aspeknya yang khas. Periksa Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, ter. Kelompok Studi Agama
Driyarkara (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 43. 7 Beliau adalah guru besar filsafat di universitas Maine at Orono.
Memperoleh Philosophy of Doctor (Ph.D) dari Vanderbilt University, di Yale University dan di Benares Hindu
University. Douglas Allen merupakan ilmuwan yang banyak meneliti pemikiran Mircea Eliade. Beberapa karya
intelektualnya yang telah dipublikasikan adalah Structure and Creativity in Religion: Hermeneutics in Mircea
Eliade’s Phenomenology and New Directions (Mouton: The Hague, 1978); “Eliade and History dalam The
Journal of Religion No. 68 (1988): 545-565; Co-Author bersama Denis Doeing, Mircea Eliade: an Annotated
Bibliography (New York and London: Garland Press, 1980) dan Mircea Eliade on Myth and Religion (New
York and London: Garland Press, 1998). Periksa http://www.westminster. edu/ staff/brennie/eliade/Doug
Alle.htm
6
Beliau adalah guru besar filsafat di universitas Maine at Orono. Memperoleh Philosophy of Doctor
(Ph.D) dari Vanderbilt University, di Yale University dan di Benares Hindu University. Douglas Allen
merupakan ilmuwan yang banyak meneliti pemikiran Mircea Eliade. Beberapa karya intelektualnya yang telah
dipublikasikan adalah Structure and Creativity in Religion: Hermeneutics in Mircea Eliade’s Phenomenology
and New Directions (Mouton: The Hague, 1978); “Eliade and History dalam The Journal of Religion No. 68
(1988): 545-565; Co-Author bersama Denis Doeing, Mircea Eliade: an Annotated Bibliography (New York and
London: Garland Press, 1980) dan Mircea Eliade on Myth and Religion (New York and London: Garland Press,
1998). Periksa http://www.westminster. edu/ staff/brennie/eliade/Doug Alle.htm
telah dilakukannya. Juga ungkapan lainnya yang lazim digunakan dalam masyarakat niaga
Mekkah, seperti menjual (bay‘) dan membeli (ishtara) pada umumnya digunakan al-Qur’an
untuk mengungkapkan gagasan-gagasan keagamaan Islam yang mendasar. Dalam al-Qur’an
(9;111) disebutkan; “Sesungguhnya Tuhan telah membeli orang-orang beriman diri dan
harta mereka dengan memberikan surga kepada mereka ……. maka bergembiralah dengan
transaksi yang telah kamu lakukan dan itulah kemenangan yang besar”. Orang-orang
beriman dinyatakan sebagai orang-orang yang menjual (yashrun) kehidupan dunia ini dengan
kehidupan akhirat (QS:4;74). Sementara orang-orang yang tidak beriman dikatakan telah
membarter (ishtaraw) kesesatan dengan petunjuk (QS:2;16), atau kekafiran dengan keimanan
(QS:3;177). Lebih jauh kata bay‘ di beberapa tempat dalam al-Qur‘an juga dihubungkan
dengan pengadilan akhirat, dan disebutkan bahwa pada hari itu tidak ada lagi transaksi
(QS:2;254 & 14;31).7

Fase Muhammad Pra kenabian

Para ahli sirah mengatakan bahwa Rasulullah sejak kecil sudah hidup sebagai anak
yatim. Ayahnya Abdullah wafat saat Rasulullah masih berada dalam kandungan sang Ibu.
Tidak hanya itu, kebiasaan orang arab menggunakan jasa susuan membuat nabi tidak banyak
mendapatkan asuhan ibu secara langsung. perempuan yang pertama kali menyusui Nabi
adalah Tsuwaibah al-Aslamiyah8, sedangkan yang mengasuhnya Ummu Ayman Barakah.9
Setelah itu Beliau disusui Sayyidah Halimah al-Sa’diyyah10 selama dua tahun.11
Jika melihat kehidupan Nabi dibawah asuhan Saayyidah Halimah yang seorang
penduduk kampung bani Sa’d dan tidak diasuh di Makkah yang merupakan kota metropolitan
saat itu maka Rasulullah sejak kecil hidup di perkampungan. Secara umum perkampungan
merupakan daerah yang secara bahasa lebih asli daripada bahasa di perkotaan yang sudah
terpengaruh oleh bahasa dan tradisi luar. Kelebihan perkampungan selanjutnya adalah tabiat
dan etika orang perkampungan lebih natural dan lebih sopan daripada orang dikota. Dari
sinilah Rasulullah mendapatkan pengalaman yang luar biasa sehingga Rasulullah menjadi
orang paling fasih dalam berbahasa dan etika yang luar biasa.
Ketika menginjak umur enam tahun Ibunda tercintanya mengajak Nabi Muhammad
untuk silaturrahmi ke paman-pamannya dari bani al-Najjar dengan tujuan memperkenalkan
Nabi Muhammad pada paman-pamannya. Selepas silaturrahmi Ibunya membawa Nabi

7
Allen, “Phenomenology of Religion”, 185.
8
Tsuwaibah al-Aslamiyah selain menyusui nabi juga menyusui Abu Salamah. Sehinggaantara nabi dan
Abu salamah terjadi saudara se-persususan. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Suatu saat Ummu salamah
menawarkan perempuan putri Abu Salamah yang bernama Durrah bint Abi Salamah untuk dinikahi oleh
Rasulullah, hal ini menaji kebanggaan ketika anak perempuannya dinikhi oleh Rasul yang agung. Kemudian
Rasulullah menjawabnya bahwa Durrah tersebut adalah keponakan susuan Rasulullah.
9
bnu Katsir, al-Sirah al-Nabawiyyah, ed. Mushtafa Abdul Wahid (Beirut: Daru al-Ma’rifah,1976), hal.
223
10
Pada saat Rasulullah dilahirkan kebetulan Sayyidah Halimah datang ke Makkah bersama rombongan
perempuan dari suku Bani Sa’d lainnya mencari jasa menyusui bayi. Pada saat itu juga onta milik Halimah tidak
mengeluarkan susu dan anak lelaki Halimah susah tidur. Setelah rombongan tersebut tiba di Makkah semuanya
mendapatkan tawaran untuk menyususi Nabi Muhammad dan semuanya tidak mau karena Nabi Muhamad yatim
dan khawatir ibunya tidak mampu membayar jasa susuan. Namun Sayyidah Halimah tidak menemukan bayi
selain Nabi Muhahmad. Dengan keadaan terpaksa Sayyidah Haliman membawa Nabi Muhammad kerumahnya
menyusuinya. Setibanya di rumah seluruh onta dan kambing sayyidah Halimah subur dan mengeluarkan susu
dan semuanya mendapatkan barokah dari Rasulullah. Ali Al-Shollabi, al-Sirah al-Nabawiyyah: ‘Ardh waqa’i wa
Tahlil Ahdats, (Beirut: Daru –al-Ma’rifah, cet-10, 2010), hal. 50
11
Ali al-Shollabi, al-Sirah al-Nabawiyyah, hal.49
Muhammad pulang kembali ke Makkah. namun di tengah perjalanan Sayyidah Aminah
menemui ajalnya di daerah Abwa’. Sayyidah aminah pun dimakamkan di Abwa’. 12 Setelah
ibunya wafat Nabi di asuh oleh kakeknya Abdul Muththalib. Nabi Muhammad mendapatkan
kasih sayang dari sang kakeknya sebagaimana kasih sayang dari seorang ayah pada ananknya.
Dapat dipastikan bahwa ketika diasuh oleh kakeknya maka akan bergaul dengan
paman-pamanya yang lebih tua dan lebih dewasa dari Nabi Muhammad. Ini memberi
kesempatan kepada Nabi belajar karakter orang-orang dewasa. Sehingga meski Nabi
Muhammad masih umur belia, namun telah memahami karakter orang-orang dewasa. Ini
sebuah kelebihan yang tidak dimiliki oleh anak-anak seusianya.
Kemudian setelah kepergian Kakeknya Rasulullah diasuh oleh Pamannya Abu
Muththalib. Bersama Abu Thalib, Muhammad saw. diajak berkelana dari negeri ke negeri
yang lain untuk berdagang. Pada usia 12 tahun, Abu Thalib mengajak Muhammad saw. Ke
Syam, di tengah perjalanan ia dicegat oleh seorang pendeta bernama Buhairo13 dan diserukan
untuk segera pulang. Buhairo menemukan tanda kenabian pada Muhammad saw. dan ia
memberitahukan untuk berbalik arah karena ke syam dianggap akan membahayakan nyawa
Muhammad saw.. Hal ini membuat Abu Thalib berbalik arah dan memilih tidak melanjutkan
perjalanan.
Muhammad saw. Sebagaimana masyarakat pada umumnya juga memiliki aktivitas
dan pencaharian dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Etos kerja beliau terlihat dari
keuletannya dalam kegiatan perniagaan.14 Masa kecil beliau banyak menghabiskan waktunya
untuk menemani sang paman berjualan sampai ke negri Syam dan mengembala domba,
menjumpai berbagai peristiwa dan fenomena yang membentuk pengalaman sosial. Diketahui
bahwa pasar merupakan salah satu ruang publik yang di dalamnya berkumpul berbagai
manusia dari berbagai golongan dengan watak yang beragam dan pasar juga mencerminkan
peradaban suatu daerah pada masa itu.
Nabi Muhammad sebagai calon pemimpin besar selain ditempa dalam lingkungan
sendiri juga ditempa dalam banyak lingkungan dan berhadapan dengan berbagai karakter
manusia dari berbagai bangsa. Rupanya Allah sendiri ingin mendidik Nabi Muhammad agar
kepribadiannya matang sebelum diangkat menjadi Nabi. Semua ini dapat kita lihat dalam
perdagangan yang dilakukan sendiri oleh Nabi Muhammad dengan dana dari Khadijah binti
Khuwailid.
Khadijah merupakan saudagar perempuan kaya yang sangat disegani dan dihormati
oleh kaumya di Makkah. Perempuan janda dua kali ini memiliki banyak harta yang diimbangi
dengan kemulyaah, sehingga, kendati dirinya perempuan, namun keseganan kaumnya
padanya tidak kalah pada keseganan mereka pada para pemuka dari kalangan lelaki. Khadijah
dengan harta yang melimpah banyak mempekerjakan kaum lelaki dari kaumnya untuk
berdagang dengan hartanya, kemudian hasil dari perdagannya dibagi hasil.
Ketika Khadijah mendengar tentang kepribadian Nabi Muhammad yang luar biasa
jujurnya, amanahnya, akhlaknya maka Khadijah tertarik untuk bekerja sama dengan Nabi
Muhammad. Kesepakatan pun terjadi antara Khadijah dan Nabi Muhammad untuk berdagang.
12
Ali al-Shollabi, al-Sirah al-Nabawiyyah, hal.53
13
Dalam beberapa literature nama Buhairo disebut dengan Bahiroh, ia melihat awan yang mengikuti
perjalanan Muhammad dan pepohonan yang menunduk seolah memberikan sapaan hormat. Setelah Bahiro
bertanya beberapa hal pada Muhammad dan melihat tanda kenabian pada punggungnya, ia yakin bahwa anak
kicil bernama Muhammad ini merupakan Nabi yang dijanjikan akan datang. Lihat Syahruddin el-Fikri, Situs-
Situs dalam al-Qur’an (Jakarta: Republika, 2010), h. 103.
14
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h. 138.
Khadijah pun menjanjikan akan memberi Nabi Muhammad imbalan yang lebih baik. Nabi
Muhammad berengkat ke Syam dengan di temani pembantu Khadijah yang bernama
Maisaroh. Maisaroh yang menemani Nabi juga dibuat kaget dan terkagum-kagum akan apa
yang ia saksikan dari akhlak Nabi Muhammad serta kejujuran dan amanah selama berdagang.
Tidak seperti pedagang lainnya. Maisaroh pun bercerita tentang semua yang ia saksikan pada
Khadijah.15
Sebelum Nabi Muhammad berdagang, beliau melihat geliat perdagangan di kota
Makkah yang merupakan kota perlintasan para pedagang asing dan pedagang lokal. Dari
pengalaman latar belakang Hilful Fuzul Nabi mengetahui dengan cermat bagaimana keadaan
dan apa yang harus diketahui dan dilakukan oleh pedagang asing di luar negerinya. Dari
pengalaman inilah Rasulullah mempraktekkan sendiri dengan berdagang ke Syam. Teori dan
praktik impor dan ekspor sudah dikuasai oleh Nabi Muhammad. Maka tak heran jika
perdagangan yang dilakukan Nabi Muhammad mengasilkan keuntungan yang sangat besar.
Jalur perdagangan yang ditempuh Nabi Muhammad dari Makkah ke Syam melewati
Madinah yang nanti akan menjadi pusat dakwahnya. Ini seakan-akan Allah mengajarkan
langsung kepada Nabi Muhammad tentang tempat yang akan digunakan sebagai pusat
Dakwah serta karakter-karakter masyarakat Madinah.
Ketika beliau menikah dengan Khadijah, budaya perbudakan masih mentradisi
dikalangan orang berada. Saat itu, Khadijah menghadiahkan kepada Muhammad saw. seorang
budak bernama Zaid bin Harisah. tidak seperti tuan kebanyakan, sikap lembut Muhammad
saw. sangat dikagumi oleh Zaid dan ketika keluarga Zaid datang untuk menebusnya, Zaid
enggan dan masih ingin tinggal bersama tuannya. Semenjak itu, Zaid diberi kebebasan dan
diadopsi oleh Rasulullah.16

DAFTAR PUSTAKA:

Muzzaki, Akhmad.”Dialektika gaya Bahasa al-Qur’an dan Budaya Arab Pra Islam.”
Islamica, vol2, No. 1, Septemer 2007.

R. H. Tamimi, Budy Sugandi, Ismail Suardi Wekke. MUHAMMAD SAW. DAN


PELETAKAN DASAR PERADABAN ISLAM. JURNAL AQLAM -- Journal of Islam and
Plurality -- Volume 3, Nomor 1, Juni 2018

Tamam, Badrut. NABI MUHAMMAD PRA DAN PASCA KENABIAN: PROSES


PEMBENTUKAN PRIBADI LUHUR DAN KARAKTER AGUNG SANG RASUL. Al-Dhikra |
Vol.2, No.1, 2020

15
Muhammad Said Al-Buthi, Fiqh al-Sirah alNabawiyyah (Mesir, Kairo: Daru al-Salam, cet- 25, 2017)
hal. 53
16
Karen Armstrong, Muhammad, Prophet for Our Time terj. Yuliani Liputo (Bandung: Mizan, 2013),
h. 59.

Anda mungkin juga menyukai