Anda di halaman 1dari 2

Kenalan Sama Kesehatan Mental

Apakah kamu pernah dengar tentang Kesehatan mental? Atau mungkin kamu pernah dengar tentang
seseorang yang memiliki gangguan mental? Dadi kui ki panganan opo to? Nah kali ini yuk kita kenalan!

Sehat mental tidak sama dengan tidak sakit jiwa

Apa yang kepikiran Ketika mendengar hal-hal yang berkaitan dengan Kesehatan mental? Apakah kamu
langsung kepikiran rumah sakit Grhasia di Pakem, Sleman? Nah, kalau pengetahuan kita belum luas
memang biasanya langsung kepikiran sampel-sampel kasus yang berat ya, dan ini bukan hal yang bagus
lho sebetulnya. Kenapa? Karena kita jadi rawan memiliki asumsi yang apriori terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan Kesehatan mental ini. Misalnya, kita langsung menganggap orang yang pergi ke
psikolog atau psikiater itu sebagai orang yang “gila” atau “kurang waras,” bahkan dalam bahasa yang
lebih sarkas “kurang sak ons.”

Prasangka semacam ini bisa menghasilkan masyarakat yang abai dengan Kesehatan mental: mudah
menjudge orang yang sedang memiliki tantangan dalam Kesehatan mentalnya sebagai orang “Lemah,”
“Kurang Iman,” atau “Gila.” Akibatnya, orang yang sebetulnya butuh bantuan untuk mengatasi problem
mentalnya merasa takut dan malu untuk mencari bantuan, dan harus menahan kepedihannya diam-
diam, sampai pada satu titik akan mewujud dalam perilaku yang tidak normal bagi dirinya. Yang paling
parah ya kasus-kasus bunuh diri yang ternyata cukup banyak terjadi. Semoga Allah melindungi kita dan
orang-orang sekitar kita dari hal semacam ini.

Lalu, kita bertanya mengapa harus kenal dengan Kesehatan mental, toh saya tidak sakit jiwa? Para pakar
dalam hal ini mendefinisikan sehat mental tidak hanya sebagai kondisi tidak sakit jiwa, akan tetapi
Ketika kondisi mental kita sejahtera, sehingga mampu mengaktualisasikan potensi, menghadapi
tantangan hidup sehari-hari, dapat beraktivitas dengan produktif dan berkontribusi terhadap
masyarakat sekitar. Artinya, Ketika membicarakan Kesehatan mental, kita sedang melihatnya sebagai
satu subjek yang luas. Mencakup orang yang memiliki gangguan mental atau juga orang pada umumnya
yang berupaya agar bisa hidup produktif.

Sehebat apapun orang, senyaman apapun hidupnya, pasti mengalami stress dengan berbagai macam
tingkatan. Mulai dari hal-hal kecil seperti kemacetan di jalan, hingga kejadian yang mengubah hidup
seperti kehilangan orang yang amat disayangi. Oleh karena itu, kita mesti memiliki kepekaan terhadap
kondisi mental kita, agar bisa menjaganya tetap sehat. Karena kesempatannya singkat, hanya satu
halaman yuk kita bahas satu hal kecil: Stress.

Apa itu Stress?

Stress itu sebetulnya sesuatu yang kita perlukan lho. Tidak percaya? Coba direnungkan, apa yang
membuat kita bisa belajar Ketika akan menghadapi ujian? Atau Apa yang membuat kita tergerak untuk
mencari nafkah, dan tidak hanya menghabiskan waktu menikmati hidup? Pasti ada stress di sana, pada
dosisnya masing-masing. Kekhawatiran kita, bisa jadi adalah hal yang membantu tubuh kita
meneguhkan tekad untuk berusaha. Akan tetapi, Ketika stress ini melebihi batas yang dapat kita hadapi
dengan nyaman, dan Ketika ia berkepanjangan, dapat memunculkan problem lain yang lebih besar.

Stress dialami Ketika kita bertemu dengan stressor (penyebab Stress), yaitu sesuatu yang membuat kita
merasa terancam, dan terganggu. Beratnya stressor ini sangat tergantung dengan pemaknaan kita
terhadapnya. Satu contoh misal, suatu berita kecelakaan mungkin akan membuat kita sedikit sedih, tapi
akan segera kita lupakan Ketika korbannya bukan orang yang kita kenal. Akan tetapi misalkan pada
kasus tertentu korbannya adalah orang yang kita sayangi, tentu stressor ini menjadi jauh lebih kuat.
Bahkan bisa jadi kita langsung menangis sesenggukan setelah mendengar kabar itu. Ingat poinnya:
Stressor sangat berkaitan dengan pemaknaan kita.

Karena stressor bergantung pada pemaknaan, dan pemaknaan orang bisa sangat berbeda-beda, maka
toleransi orang terhadap stressor sangat bervariasi. Mungkin bagimu berbicara di depan umum itu
mudah. Tapi bisa jadi bagi orang lain ini cukup membuatnya mual bahkan muntah. Setiap kita memiliki
kelemahan dan kekuatan masing-masing. Kita juga tak pernah benar-benar tahu apa yang pernah
dialami orang lain. Maka, jangan pernah menghakimi orang dengan stressnya sendiri, ini tidak akan
membantu apapun, selain hanya memberi makan kesombongan kita sendiri. Contohnya, ada teman
yang curhat bahwa dirinya sedih karena suatu peristiwa, dan kita mengatakan “Halah mung ngono ae,
aku wis tau le luwih parah.” Jika kita tulus ingin membantunya bangkit, tentu caranya bukan dengan
menghakimi perasaannya.

Stress yang terus dirasakan dan tidak pernah menemukan penyelesaiannya, dapat berkembang menjadi
gangguan yang lebih parah. Misalnya sakit lambung, migrain, dan depresi. Oleh karenanya, mengabaikan
kondisi mental sendiri itu bukan hal yang bijak, sebab lama-lama, tubuh dan jiwa kita dapat terganggu
kesehatannya.

Sebagai penutup, mari kita ingat bahwa bagi seorang muslim, hidup ini ialah ujian. Lihat, surat al Mulk di
bagian depan. Allah menciptakan hidup dan mati untuk menguji, mana di antara kita yang dapat
beramal lebih baik. Dan lebih baik di sini, yang paling penting untuk diperhatikan adalah, lebih baik dari
diri kita sendiri yang kemarin. Sebagaimanapun buruknya masa lalu kita, kita punya harapan untuk
menjadi lebih baik lagi.

Sebab hidup adalah ujian, maka letakkanlah sesuai tempatnya. Jangan jadikan dia hal yang saking
berharganya membuat kita kehilangan akal. Entah itu berupa keinginan kita menjadi kaya, menikahi
seseorang, atau menjadi terkenal. Kaya itu juga ujian, sebagaimana kemiskinan. Menikahi orang yang
dicintai sejak lama itu juga ujian, sebagaimana menikahi orang yang belum lama dikenal. Terkenal juga
ujian yang amat dikhawatiri para ulama. Jadi, mari menjaga Kesehatan mental kita dengan baik. Jangan
diabaikan, dan jangan menghakimi orang lain maupun diri sendiri.

Bacaan:
Machdy, R. Loving The Wounded Soul. 2019. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Website WHO (World Health Organization)

Anda mungkin juga menyukai