Anda di halaman 1dari 13

1.

Ruang lingkup analisis pengujian batubara

2. Pengertian batubara

The International Handbook of Coal Petrography (1963) menyebutkan bahwa batubara

adalah batuan sedimen yang mudah terbakar, terbentuk dari sisa tanaman dalam variasi

tingkat pengawetan, diikat proses kompaksi dan terkubur dalam cekungan-cekungan pada

kedalaman yang bervariasi. 

Sedangkan Prijono (Dalam Sunarijanto, dkk, 2008) berpendapat bahwa batubara

adalah bahan bakar hidrokarbon tertambat yang terbentuk dari sisa tumbuh-tumbuhan yang

terendapkan dalam lingkungan bebas oksigen serta terkena pengaruh temperatur dan tekanan

yang berlangsung sangat lama. Sedang menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dijelaskan bahwa ”batubara adalah endapan

senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa batubara adalah mineral

organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap di dalam

tanah selama jutaan tahun. Endapan tersebut telah mengalami berbagai perubahan

bentuk/komposisi sebagai akibat dari adanya proses fisika dan kimia yang berlangsung

selama waktu pengendapannya. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam katagori bahan

bakar fosil.

3. Ganesa batubara

Terdapat dua model formasi pembentuk batubara (coal bearing formation), yakni

model formasi insitu dan model formasi endapan material tertransportasi (teori drift).

Berikut akan dijelaskan masing-masing model formasi pembentuk batubara tersebut.


1). Model Formasi Insitu

Menurut teori ini, batubara terbentuk pada lokasi dimana pohon-pohon atau tumbuhan kuno

pembentukya tumbuh. Lingkungan tempat tumbuhnya pohon-pohon kayu pembentuk

batubara itu adalah pada daerah rawa atau hutan basah. Kejadian pembentukannya diawali

dengan tumbangnya pohon-pohon kuno tersebut, disebabkan oleh berbagai faktor, seperti

angin (badai), dan peristiwa alam lainnya. Pohon-pohon yang tumbang tersebut langsung

tenggelam ke dasar rawa. Air hujan yang masuk ke rawa dengan membawa tanah atau

batuan yang tererosi pada daerah sekitar rawa akan menjadikan pohon-pohon tersebut tetap

tenggelam dan tertimbun.

Demikianlah seterusnya, bahwa semakin lama semakin teballah tanah penutup pohon-

pohonan tersebut. Dalam hal ini pohon-pohon tersebut tidak menjadi busuk atau tidak

berubah menjadi humus, tetapi sebaliknya mengalami pengawetan alami. Dengan adanya
rentang waktu yang lama, puluhan atau bahkan ratusan juta tahun, ditambah dengan

pengaruh tekanan dan panas, pohon-pohonan kuno tersebut mengalami perubahan secara

bertahap, yakni mulai dari fase penggambutan sampai ke fase pembatubaraan.

2) Model Formasi Transportasi Material (Teori Drift)

Berdasarkan teori drift ini, batubara terbentuk dari timbunan pohon-pohon kuno atau sisa-

sisa tumbuhan yang tertransportasikan oleh air dari tempat tumbuhnya. Dengan kata lain

pohon-pohon pembentuk batubara itu tumbang pada lokasi tumbuhnya dan dihanyutkan oleh

air sampai berkumpul pada suatu cekungan dan selanjutnya mengalami proses pembenaman

ke dasar cekungan, lalu ditimbun oleh tanah yang terbawa oleh air dari lokasi sekitar

cekungan.

Seterusnya dengan perjalanan waktu yang panjang dan dipengaruhi oleh tekanan dan panas,

maka terjadi perubahan terhadap pohon-pohon atau sisa tumbuhan itu mulai dari fase

penggambutan sampai pada fase pembatubaraan.

Terdapat perbedaan tipe endapan batubara dari kedua formasi pembentukan tersebut.

Batubara insitu biasanya lebih tebal, endapannya menerus, terdiri dari sedikit lapisan, dan

relatif tidak memiliki pengotor. Sedangkan batubara yang terbentuk atau berasal dari

transportasi material (berdasarkan teori drift) ini biasanya terjadi pada delta-delta kuno
dengan ciri-ciri: lapisannya tipis, endapannya terputus-putus (splitting), banyak lapisan

(multiple seam), banyak pengotor, dan kandungan abunya biasanya tinggi. 

Dari kedua teori tentang formasi pembentukan batubara tersebut di atas dapat diketahui

bahwa kondisi lingkungan geologi yang dipersyaratkan untuk dapat terjadinya batubara

adalah: berbentuk cekungan berawa, berdekatan dengan laut atau pada daerah yang

mengalami penurunan (subsidence), karena hanya pada lingkungan seperti itulah

memungkinkan akumulasi tumbuhan kuno yang tumbang itu dapat mengalami

penenggelaman dan penimbunan oleh sedimentasi. Tanpa adanya penenggelaman dan

penimbunan oleh sedimentasi, maka proses perubahan dari kayu menjadi gambut dan

seterusnya menjadi batubara tidak akan terjadi, malahan kayu itu akan menjadi lapuk dan

berubah menjadi humus.

Terdapat dua tahapan proses pembentukan batubara, yakni proses penggambutan

(peatification) dan proses pembatubaraan (coalification). Pada proses penggambutan terjadi

perubahan yang disebabkan oleh makhluk hidup, atau disebut dengan proses biokimia,

sedangkan pada proses pembatubaraan prosesnya adalah bersifat geokimia.

Pada proses biokimia, sisa-sisa tumbuhan atau pohon-pohonan kuno yang tumbang itu

terakumulasi dan tersimpan dalam lingkungan bebas oksigen (anaerobik) di daerah rawa

dengan sistem drainase (drainage system) yang jelek, dimana material tersebut selalu

terendam beberapa inchi di bawah muka air rawa. Pada proses ini material tumbuhan akan

mengalami pembusukan, tetapi tidak terlapukan. Material yang terbusukkan akan

melepaskan unsur-unsur hidrogen (H), Nitrogen (N), Oksigen (O), dan Karbon (C) dalam

bentuk senyawa-senyawa: CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya bakteri-
bakteri anaerobik serta fungi merubah material tadi menjadi gambut (peat). (Susilawati,

1992 dalam Sunarijanto, 2008: 5).

Sedangkan pada proses pembatubaraan (coalification), terjadi proses diagenesis dari

komponen-komponen organik yang terdapat pada gambut. Peristiwa diagenesis ini

menyebabkan naiknya temperatur dalam gambut itu. Dengan semakin tebalnya timbunan

tanah yang terbawa air, yang menimbun material gambut tersebut, terjadi pula peningkatan

tekanan. Kombinasi dari adanya proses biokimia, proses kimia, dan proses fisika, yakni

berupa tekanan oleh material penutup gambut itu, dalam jangka waktu geologi yang

panjang, gambut akan berubah menjadi batubara. Akibat dari proses ini terjadi peningkatan

persentase kandungan Karbon (C), sedangkan kandungan Hidrogen (H) dan Oksigen (O)

akan menjadi menurun, sehingga dihasilkan batubara dalam berbagai tingkat mutu

(Susilawati, 1992 dalam Sunarijanto, 2008: 5).

Secara berurutan, proses yang dilalui oleh endapan sisa-sisa tumbuhan sampai menjadi

batubara yang tertinggi kualitasnya adalah sebagai berikut:


1. Sisa-sisa tumbuhan mengalami proses biokimia berubah menjadi gambut (peat);

2. Gambut mengalami proses diagenesis berubah menjadi batubara muda (lignite) atau

disebut juga batubara coklat (brown coal);

3. Batubara muda (lignite atau brown coal) menerima tekanan dari tanah yang menutupinya

dan mengalami peningkatan suhu secara terus menerus dalam waktu jutaan tahun, akan

berubah menjadi batubara subbituminus (sub-bituminous coal);

4. Batubara subbituminus tetap mengalami peristiwa kimia dan fisika sebagai akibat dari

semakin tingginya tekanan dan temperatur dan dalam waktu yang semakin panjang,

berubah menjadi batubara bituminus (bitumninous coal);

5. Batubara bitumninus ini juga mengalami proses kimia dan fisika, sehingga batubara itu

semakin padat, kandungan karbon semakin tinggi, menyebabkan warna semakin hitam

mengkilat. Dalam fase ini terbentuk antrasit (anthracite);

6. Antrasit, juga mengalami peningkatan tekanan dan temperatur, berubah menjadi meta

antrasit (meta anthrasite);

7. Meta antrasit selanjutnya akan berubah menjadi grafit (graphite). Peristiwa perubahan

atrasit menjadi grafit disebut dengan penggrafitan (graphitization).

Dalam semua tingkatan pembentukan batubara itu terdapat berbagai unsur yang sangat

mempengaruhi peringkat mutu batubaranya dan sebagai dasar pembagian klas

penggunaannya. Secara garis besarnya dalam batubara terdapat unsur-unsur:

 Kandungan air total (total moisture), yakni jumlah kandungan air yang ada pada fisik

batubara, yang terdiri dari air dalam batubara itu sendiri dan air yang terbawa waktu

melakukan penambangan.
 Kandungan air bawaan (inheren moisture), yakni air yang ada dalam batubara itu mulai

saat awal pembentukannya. Kadar air itu pada dasarnya akan mempengaruhi nilai

batubara, artinya semakin tinggi kandungan air, maka semakin rendahlah mutu batubara

tersebut.

 Kandungan zat terbang (volatile matter), adalah semua unsur yang akan menguap

(terbang) waktu batubara itu mengalami pemanasan. Volatile matter yang tinggi akan

menyebabkan mutu batubara jadi rendah, karena pada intinya volatile matter tidak

memberikan nilai kalor. Batubara dengan volatile matter tinggi, yang tertumpuk pada

stockpile, akan mudah mengalami swabakar, terutama pada udara lembab dan adanya

unsur pemicu oksidasi di dalamnya, seperti pirit dan sebagainya.

 Total sulphur (belerang), adalah salah satu unsur yang dapat menurunkan mutu batubara,

karena unsur belerang yang banyak akan menyebabkan rendahnya nilai kalor dan dapat

menyebabkan kerusakan pada dapur pembakaran, serta juga menyebabkan adanya gas

beracun.

 Kandungan abu (ash content), adalah sejumlah material yang didapat dari sisa

pembakaran batubara. Semakin tinggi kadar abu batubara, maka semakin rendahlah mutu

batubara tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, abu ini berasal dari material yang

tidak dapat dioksidasi oleh oksgen.

 Kandungan karbon tertambat (fixed carbon), adalah persentase karbon yang ada pada

suatu satuan volume batubara. Semakin tinggi kadar karbon, maka semakin baguslah

kualitas batubara tersebut, karena yang paling berguna dari batubara itu adalah karbon ini,

karena karbonlah yang menghasilkan nilai kalori pada waktu dilakukan pembakaran

batubara.
 Nilai kalori (CV), adalah jumlah kalori yang dihasilkan per kg batubara yang dibakar.

Semakin tinggi nilai kalorinya, semakin baguslah mutu batubaranya.

4. Sebaran dan produksi batubara di Indonesia

5. Komposisi batubara dan efeknya pada pengujian batubara

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi adalah (Sukandarrumidi, 1995):

 High Healting Value (HHV)

HHV sangat berpengaruh terhadap pengoperasian aspek pulverizer, wind box, burner dan

pipa batubara. Semakin tinggi HHV maka aliran batubara setiap jamnya semakin rendah,

sehingga keperluan coal feeder harus disesuaikan, untuk batubara dengan moisture

content dan HGI yang sama, dengan HHV yang tinggi maka miil akan beroperasi di

bawah kapasitas nominalnya (menurut desain) atau dengan kata lain operating ratio-nya

menjadi lebih rendah. Berdasarkan persyaratan PLTU Suralaya rata-rata HHV adalah

5,242 kgcal/kg.

 Moisture Content

Kandungan moisture mempengaruhi jumlah pemakaian udara primernya. Pada batubara

dengan kandungan mouisture yang tinggi akan membutuhkan udara primer lebih banyak

guna mengeringkan batubara tersebut pada suhu ke luar miil tetap. Rata- rata kandungan

moisture berdasarkan persyaratan PLTU Suralaya adalah 23,6 %.

 Volatile Matter

Kandungan volatil matter mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas api.

Menurut Waterhouse (1995), komposisi volatile matter yang dapat ditoleransi sebagai

bahan bakar dengan batas minimum 40% bila tanpa bantuan minyak bumi, tetapi bila

dengan memakai sedikit minyak bumi umumnya batas 35 % juga dapat ditoleransikan.
Sebagai contoh, dalam satu perusahaan pembangkit listrik memakai standar minimum 25

% volatile matter maka dinyatakan bahwa 23 % volatile coal tidak terbakar karena hanya

masalah pada lower boiler loads (beban ketel uap terendah) menurun hingga 40 %.

Bedasarkan persyaratan PLTU Suralaya rata-rata volatile matter adalah 30,3 %.


 Fixed carbon

Semakin tinggi fuel ratio maka karbon yang tidak terbakar semakin banyak

Fixedcarbon
Fuelratio=
volatilmatter

 Ash Content

Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar dan daerah

konversi dalam bentuk abu terbang dan abu bakar. Semakin tinggi kandungannya abu

tergantung komposisinya, maka akan semakin tingkat pengotor (fouling) keausan dan

korosi peralatan yag dilaluinya. Berdasarkan persyaratan PLTU Suralaya maka

kandungan abu rata-rata adalah 7,8 %.

 Sulphur Content

Kandungan sulfur berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin yang terjadi pada

elemen pemanas udara, terutama apabila suhu kerja lebih rendah dari titik embun sulfur,

di samping berpengaruh terhadap efektifitas penangkapan abu pada peralatan elecrostatic

precipitator. Berdasarkan persyaratan PLTU Suralaya maka rata-rata kandungan sulfur

yang di gunakan adalah 0,4 %.

 Coal Size

Ukuran butir batubara tidak boleh halus minimal dibatasi< 3 mm karena bila tidak

memenuhi syarat tersebut debunya akan mengotori lingkungan sekitarnya.

 Hardgrove Grindability Index (HGI)

Kapasitas mill (Pulverizer) dirancang pada HGI tertentu. Untuk HGI lebih rendah

kapasitasnya harus lebih rendah dari nilai patokannya agar menghasilkan finenees yang

sama. Menurut Waterhouse (1995) banyak batubara yang mempunyai harga HGI 45-55

yang diinginkan oleh konsumen dan harga tersebut juga tergantung dari kepentingannya
yang biasanya memakai standar harga tertentu. Harga HGI bermacam-macam tergantung

dari kandungan moisture-nya. HGI tidak bisa dipakai standar untuk menentukan tingkat

kekerasan batubara. Sebagi contoh, antrasit dan beberapa lignit mungkin salah satu kasus

yang unik, dimana harga HGI-nya hampir sama dan keduanya juga sama-sama sulit

untuk digerus, padahal secara umum antrasit merupakan batubara yang keras sedangkan

lignit cenderung batubara yang lunak. Ketika konsumen ingin batubara tersebut

dicampur, maka proses pencampurannya dilakukan dengan penekanan dan semakin

mudah batubaranya untuk digerus maka batubara tersebut harus memiliki harga HGI

yang semakin tinggi karena itu pencampuran akan sukses bila batubara yang dicampur

tersebut memiliki harga HGI yang hampir sama keduanya. Suatu PLTU biasanya

disiapkan menggunakan kapasitas penggerusan untuk suatu jenis batubara dengan harga

HGI tertentu. Berdasarkan persyaratan PLTU Suralaya maka rata-rata harga HGI adalah

61,8

 Ash Fushion Temperature

Ash Fushion Temperature akan mempengaruhi tingkat fouling, slagging, corrosion dan

operasi soot blower. Ash Fushion Temperature ini didesain untuk memberikan indikasi

kecenderungan abu untuk membentuk endapan di atas permukaan ketel uap tersebut.

Untuk menghindari kerusakan peralatan pada PLTU maka penggantian pemasokan bahan

bakar batubara dari daerah penambangan satu dengan penambangan di daerah lain harus

dilakukan spesifikasi batubara terlebih dahulu agar memiliki persamaan karakteristik

geokimianya.

6. Teknik pengambilan sample

7. Analisis kimia batubara :


a. Analisis proksimat

b. Analisis kadar air

c. Analisis kadar zat terbang (volatile matter)

8. Analisis karbon padat (fixed carbon), perhitungan

a. ultimate,

b. kadar karbon,

c. hidrogen

d. nitrogen,

e. oksigen

9. Nilai kalor : gross & net

10. Pengeringan udara dan memperkecil ukuran butir

11. Dasar pelaporan hasil analisis :

a. Air Dried Basisi (ADB),

b. As Received(AR),

c. Dry Ash Free(DAF),

d. Dry Mineral Matter Free(DMMF)

12. Regulasi analisis pengujian batubara :

a. ASTM,

b. internasional,

c. peraturan pemerintah no. 45 tahun 2003

13. Analisis komposisi abu batubara :SiO2, AL2O3, TiO2, Mn3O4, CaO, MgO, Na2O, K2O,

P2O3, SO3, dan hilang bakar (LOI)

14. Analisis petrografi batubara(maseral)


15. Pengujian batubara:

a. TGS(true Sp Gravity),

b. HGI(Hard Grove Grindability Index),

c. FSI(Free Swelling Index),

d. Gray King Assay (sifat kokas)

Anda mungkin juga menyukai