2. Pengertian batubara
adalah batuan sedimen yang mudah terbakar, terbentuk dari sisa tanaman dalam variasi
tingkat pengawetan, diikat proses kompaksi dan terkubur dalam cekungan-cekungan pada
adalah bahan bakar hidrokarbon tertambat yang terbentuk dari sisa tumbuh-tumbuhan yang
terendapkan dalam lingkungan bebas oksigen serta terkena pengaruh temperatur dan tekanan
yang berlangsung sangat lama. Sedang menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dijelaskan bahwa ”batubara adalah endapan
senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa batubara adalah mineral
organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap di dalam
tanah selama jutaan tahun. Endapan tersebut telah mengalami berbagai perubahan
bentuk/komposisi sebagai akibat dari adanya proses fisika dan kimia yang berlangsung
selama waktu pengendapannya. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam katagori bahan
bakar fosil.
3. Ganesa batubara
Terdapat dua model formasi pembentuk batubara (coal bearing formation), yakni
model formasi insitu dan model formasi endapan material tertransportasi (teori drift).
Menurut teori ini, batubara terbentuk pada lokasi dimana pohon-pohon atau tumbuhan kuno
batubara itu adalah pada daerah rawa atau hutan basah. Kejadian pembentukannya diawali
dengan tumbangnya pohon-pohon kuno tersebut, disebabkan oleh berbagai faktor, seperti
angin (badai), dan peristiwa alam lainnya. Pohon-pohon yang tumbang tersebut langsung
tenggelam ke dasar rawa. Air hujan yang masuk ke rawa dengan membawa tanah atau
batuan yang tererosi pada daerah sekitar rawa akan menjadikan pohon-pohon tersebut tetap
Demikianlah seterusnya, bahwa semakin lama semakin teballah tanah penutup pohon-
pohonan tersebut. Dalam hal ini pohon-pohon tersebut tidak menjadi busuk atau tidak
berubah menjadi humus, tetapi sebaliknya mengalami pengawetan alami. Dengan adanya
rentang waktu yang lama, puluhan atau bahkan ratusan juta tahun, ditambah dengan
pengaruh tekanan dan panas, pohon-pohonan kuno tersebut mengalami perubahan secara
Berdasarkan teori drift ini, batubara terbentuk dari timbunan pohon-pohon kuno atau sisa-
sisa tumbuhan yang tertransportasikan oleh air dari tempat tumbuhnya. Dengan kata lain
pohon-pohon pembentuk batubara itu tumbang pada lokasi tumbuhnya dan dihanyutkan oleh
air sampai berkumpul pada suatu cekungan dan selanjutnya mengalami proses pembenaman
ke dasar cekungan, lalu ditimbun oleh tanah yang terbawa oleh air dari lokasi sekitar
cekungan.
Seterusnya dengan perjalanan waktu yang panjang dan dipengaruhi oleh tekanan dan panas,
maka terjadi perubahan terhadap pohon-pohon atau sisa tumbuhan itu mulai dari fase
Terdapat perbedaan tipe endapan batubara dari kedua formasi pembentukan tersebut.
Batubara insitu biasanya lebih tebal, endapannya menerus, terdiri dari sedikit lapisan, dan
relatif tidak memiliki pengotor. Sedangkan batubara yang terbentuk atau berasal dari
transportasi material (berdasarkan teori drift) ini biasanya terjadi pada delta-delta kuno
dengan ciri-ciri: lapisannya tipis, endapannya terputus-putus (splitting), banyak lapisan
Dari kedua teori tentang formasi pembentukan batubara tersebut di atas dapat diketahui
bahwa kondisi lingkungan geologi yang dipersyaratkan untuk dapat terjadinya batubara
adalah: berbentuk cekungan berawa, berdekatan dengan laut atau pada daerah yang
penimbunan oleh sedimentasi, maka proses perubahan dari kayu menjadi gambut dan
seterusnya menjadi batubara tidak akan terjadi, malahan kayu itu akan menjadi lapuk dan
perubahan yang disebabkan oleh makhluk hidup, atau disebut dengan proses biokimia,
Pada proses biokimia, sisa-sisa tumbuhan atau pohon-pohonan kuno yang tumbang itu
terakumulasi dan tersimpan dalam lingkungan bebas oksigen (anaerobik) di daerah rawa
dengan sistem drainase (drainage system) yang jelek, dimana material tersebut selalu
terendam beberapa inchi di bawah muka air rawa. Pada proses ini material tumbuhan akan
melepaskan unsur-unsur hidrogen (H), Nitrogen (N), Oksigen (O), dan Karbon (C) dalam
bentuk senyawa-senyawa: CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya bakteri-
bakteri anaerobik serta fungi merubah material tadi menjadi gambut (peat). (Susilawati,
menyebabkan naiknya temperatur dalam gambut itu. Dengan semakin tebalnya timbunan
tanah yang terbawa air, yang menimbun material gambut tersebut, terjadi pula peningkatan
tekanan. Kombinasi dari adanya proses biokimia, proses kimia, dan proses fisika, yakni
berupa tekanan oleh material penutup gambut itu, dalam jangka waktu geologi yang
panjang, gambut akan berubah menjadi batubara. Akibat dari proses ini terjadi peningkatan
persentase kandungan Karbon (C), sedangkan kandungan Hidrogen (H) dan Oksigen (O)
akan menjadi menurun, sehingga dihasilkan batubara dalam berbagai tingkat mutu
Secara berurutan, proses yang dilalui oleh endapan sisa-sisa tumbuhan sampai menjadi
2. Gambut mengalami proses diagenesis berubah menjadi batubara muda (lignite) atau
3. Batubara muda (lignite atau brown coal) menerima tekanan dari tanah yang menutupinya
dan mengalami peningkatan suhu secara terus menerus dalam waktu jutaan tahun, akan
4. Batubara subbituminus tetap mengalami peristiwa kimia dan fisika sebagai akibat dari
semakin tingginya tekanan dan temperatur dan dalam waktu yang semakin panjang,
5. Batubara bitumninus ini juga mengalami proses kimia dan fisika, sehingga batubara itu
semakin padat, kandungan karbon semakin tinggi, menyebabkan warna semakin hitam
6. Antrasit, juga mengalami peningkatan tekanan dan temperatur, berubah menjadi meta
7. Meta antrasit selanjutnya akan berubah menjadi grafit (graphite). Peristiwa perubahan
Dalam semua tingkatan pembentukan batubara itu terdapat berbagai unsur yang sangat
Kandungan air total (total moisture), yakni jumlah kandungan air yang ada pada fisik
batubara, yang terdiri dari air dalam batubara itu sendiri dan air yang terbawa waktu
melakukan penambangan.
Kandungan air bawaan (inheren moisture), yakni air yang ada dalam batubara itu mulai
saat awal pembentukannya. Kadar air itu pada dasarnya akan mempengaruhi nilai
batubara, artinya semakin tinggi kandungan air, maka semakin rendahlah mutu batubara
tersebut.
Kandungan zat terbang (volatile matter), adalah semua unsur yang akan menguap
(terbang) waktu batubara itu mengalami pemanasan. Volatile matter yang tinggi akan
menyebabkan mutu batubara jadi rendah, karena pada intinya volatile matter tidak
memberikan nilai kalor. Batubara dengan volatile matter tinggi, yang tertumpuk pada
stockpile, akan mudah mengalami swabakar, terutama pada udara lembab dan adanya
Total sulphur (belerang), adalah salah satu unsur yang dapat menurunkan mutu batubara,
karena unsur belerang yang banyak akan menyebabkan rendahnya nilai kalor dan dapat
menyebabkan kerusakan pada dapur pembakaran, serta juga menyebabkan adanya gas
beracun.
Kandungan abu (ash content), adalah sejumlah material yang didapat dari sisa
pembakaran batubara. Semakin tinggi kadar abu batubara, maka semakin rendahlah mutu
batubara tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, abu ini berasal dari material yang
Kandungan karbon tertambat (fixed carbon), adalah persentase karbon yang ada pada
suatu satuan volume batubara. Semakin tinggi kadar karbon, maka semakin baguslah
kualitas batubara tersebut, karena yang paling berguna dari batubara itu adalah karbon ini,
karena karbonlah yang menghasilkan nilai kalori pada waktu dilakukan pembakaran
batubara.
Nilai kalori (CV), adalah jumlah kalori yang dihasilkan per kg batubara yang dibakar.
HHV sangat berpengaruh terhadap pengoperasian aspek pulverizer, wind box, burner dan
pipa batubara. Semakin tinggi HHV maka aliran batubara setiap jamnya semakin rendah,
sehingga keperluan coal feeder harus disesuaikan, untuk batubara dengan moisture
content dan HGI yang sama, dengan HHV yang tinggi maka miil akan beroperasi di
bawah kapasitas nominalnya (menurut desain) atau dengan kata lain operating ratio-nya
menjadi lebih rendah. Berdasarkan persyaratan PLTU Suralaya rata-rata HHV adalah
5,242 kgcal/kg.
Moisture Content
dengan kandungan mouisture yang tinggi akan membutuhkan udara primer lebih banyak
guna mengeringkan batubara tersebut pada suhu ke luar miil tetap. Rata- rata kandungan
Volatile Matter
Menurut Waterhouse (1995), komposisi volatile matter yang dapat ditoleransi sebagai
bahan bakar dengan batas minimum 40% bila tanpa bantuan minyak bumi, tetapi bila
dengan memakai sedikit minyak bumi umumnya batas 35 % juga dapat ditoleransikan.
Sebagai contoh, dalam satu perusahaan pembangkit listrik memakai standar minimum 25
% volatile matter maka dinyatakan bahwa 23 % volatile coal tidak terbakar karena hanya
masalah pada lower boiler loads (beban ketel uap terendah) menurun hingga 40 %.
Semakin tinggi fuel ratio maka karbon yang tidak terbakar semakin banyak
Fixedcarbon
Fuelratio=
volatilmatter
Ash Content
Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar dan daerah
konversi dalam bentuk abu terbang dan abu bakar. Semakin tinggi kandungannya abu
tergantung komposisinya, maka akan semakin tingkat pengotor (fouling) keausan dan
Sulphur Content
Kandungan sulfur berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin yang terjadi pada
elemen pemanas udara, terutama apabila suhu kerja lebih rendah dari titik embun sulfur,
Coal Size
Ukuran butir batubara tidak boleh halus minimal dibatasi< 3 mm karena bila tidak
Kapasitas mill (Pulverizer) dirancang pada HGI tertentu. Untuk HGI lebih rendah
kapasitasnya harus lebih rendah dari nilai patokannya agar menghasilkan finenees yang
sama. Menurut Waterhouse (1995) banyak batubara yang mempunyai harga HGI 45-55
yang diinginkan oleh konsumen dan harga tersebut juga tergantung dari kepentingannya
yang biasanya memakai standar harga tertentu. Harga HGI bermacam-macam tergantung
dari kandungan moisture-nya. HGI tidak bisa dipakai standar untuk menentukan tingkat
kekerasan batubara. Sebagi contoh, antrasit dan beberapa lignit mungkin salah satu kasus
yang unik, dimana harga HGI-nya hampir sama dan keduanya juga sama-sama sulit
untuk digerus, padahal secara umum antrasit merupakan batubara yang keras sedangkan
lignit cenderung batubara yang lunak. Ketika konsumen ingin batubara tersebut
mudah batubaranya untuk digerus maka batubara tersebut harus memiliki harga HGI
yang semakin tinggi karena itu pencampuran akan sukses bila batubara yang dicampur
tersebut memiliki harga HGI yang hampir sama keduanya. Suatu PLTU biasanya
disiapkan menggunakan kapasitas penggerusan untuk suatu jenis batubara dengan harga
HGI tertentu. Berdasarkan persyaratan PLTU Suralaya maka rata-rata harga HGI adalah
61,8
Ash Fushion Temperature akan mempengaruhi tingkat fouling, slagging, corrosion dan
operasi soot blower. Ash Fushion Temperature ini didesain untuk memberikan indikasi
kecenderungan abu untuk membentuk endapan di atas permukaan ketel uap tersebut.
Untuk menghindari kerusakan peralatan pada PLTU maka penggantian pemasokan bahan
bakar batubara dari daerah penambangan satu dengan penambangan di daerah lain harus
geokimianya.
a. ultimate,
b. kadar karbon,
c. hidrogen
d. nitrogen,
e. oksigen
b. As Received(AR),
a. ASTM,
b. internasional,
13. Analisis komposisi abu batubara :SiO2, AL2O3, TiO2, Mn3O4, CaO, MgO, Na2O, K2O,
a. TGS(true Sp Gravity),