Anda di halaman 1dari 12

RMK PERILAKU KEORGANISASIAN

Studi Kasus Lapindo Brantas Inc.


Topik Pertemuan RPS-15
Dosen Pengampu : Dr. I Made Artha Wibawa SE., MM.

Kode Mata Kuliah : EMA 224M C4

Disusun Oleh :
Kelompok 6

06 I Gusti Ayu Swari Pradnyani 1907521050 (85)


12 Ahmad Aghnadin 1907521077 (85)
18 Luh Danisha Aulia 1907521100 (85)
24 Putu Adi Saputra 1907521236 (85)
30 Fienneke Angel Glorya Mumu 1907521281 (85)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2020/2021
Pendahuluan
Penolakan terhadap aktivitas pertambangan merupakan hal yang sering terjadi di
Indonesia. Hal itu terjadi karena aktivitas tersebut memiliki dampak negatif yang
mengganggu warga sekitar kawasan pertambangan. Terutama pada masyarakat
Tulangan yang terus menolak aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT
Lapindo Brantas. Pada 29 Mei 2006 terjadi peristiwa semburan lumpur di beberapa
desa dan kecamatan di kabupaten Sidoarjo. Besarnya semburan lumpur tersebut
mengakibatkan sebagian kawasan Porong tenggelam oleh lumpur. Berdasarkan
BPLS (2013) diperoleh data 12 desa yang terletak di 3 kecamatan yaitu Porong,
Tanggulangin, dan Jabon telah digenangi oleh lumpur. Semburan lumpur tersebut
telah menggenangi kawasan seluas 601 ha, dimana 10.641 KK (kurang lebih 39.700
jiwa) harus kehilangan tempat tinggal, 11.241 bangunan dan 362 ha sawah
tenggelam. Ruas jalan tol Porong-Gempol, yang merupakan jalur utama transportasi
yang menghubungkan Surabaya dengan kota Sidoarjo, Malang, dan Pasuruan juga
terputus karena semburan lumpur. Kemacetan yang luar biasa timbul di jalan raya
Porong sebagai akibat dari ditutupnya jalan tol Porong-Gempol selama beberapa
tahun. Sebelum munculnya semburan lumpur, Surabaya-Malang dapat ditempuh
dalam waktu 90 menit, namun setelah semburan lumpur tersebut waktu yang
dibutuhkan menjadi meningkat selama lebih dari 2 jam, bahkan mencapai 6 jam pada
situasi tertentu. Kondisi tersebut tentu mengganggu mobilitas orang-orang ataupun
barang yang hendak melintasi daerah tersebut. Faktor yang menyebabkan semburan
lumpur masih diperdebatkan (Davieset al., 2007, 2008; Manga, 2007; Mazzini et al.,
2007; Tingay et al., 2008). Ada dua hipotesis mengenai penyebab semburan lumpur
panas yang dirilis oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo 2013 (BPLS), yaitu
hipotesis underground blow out dari sumur eksplorasi Banjarpanji 1 dan hipotesis
remobilisasi zona bertekanan tinggi (overpressured zone) melalui bidang sesar
Watukosek berarah timur laut-barat daya yang tereaktifikasi oleh kenaikan aktivitas
tektonik dan gempa. Jadi pendapat yang pertama, pemicunya akibat kecelakaan
teknologi yang dilakukan oleh perusahaan pengeboran minyak Lapindo Brantas
(Davies, 2007 2008). Kedua, bencana ini dipicu oleh peristiwa alam di tempat lain,
yaitu adanya gempa di Yogyakarta (Mazzini, et al., 2007).
Terlepas dari kontroversi pemicu terjadinya semburan lumpur, warga yang
menjadi korban lumpur merupakan pihak yang paling menanggung derita dan secara
langsung merasakan dampak negatifnya. Lingkungan tempat tinggal serta tempat
kerja mereka menjadi rusak, sedangkan dari aspek psikologis, mereka juga harus
terlibat konflik dengan pihak PT Lapindo Brantas, pemerintah, anggota keluarga,
tetangga antar RT/RW, warga desa yang lain, bahkan dengan mereka yang bukan
korban lumpur Lapindo. Situasi konflik yang berlapis-lapis, bertumpuk dengan
masalah pemenuhan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, menyebabkan banyak
warga korban lumpur Lapindo mengalami tekanan psikologis karena ketidaksiapan
mental yang berujung pada penurunan kualitas kesehatan, bahkan hingga berujung
pada kematian. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, studi ini bertujuan untuk
membuat pemetaan konflik yang terjadi pada kasus lumpur Lapindo serta dinamika
yang berkembang dalam proses penyelesaiannya.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana penggunaan kekuasaan dan politik pada kasus Lapindo tersebut ?
2. Apabila kami selaku pemilik perusahaan Lapindo ini, tindakan apa yang kami
lakukan untuk menyelesaikan kasus tersebut ?
3. Apa saja kondisi ketidak-etisan dalam kasus Lapindo tersebut, serta bagaimana
solusi optimalnya ?

Kajian Konsep
Setiap konflik mempunyai dimensi hubungan kuasa diantara berbagai individu
yang terlibat di dalamnya yang dibentuk oleh variabel kekuatan (power) baik secara
ekonomi, politik, dan budaya. Hubungan kuasa tersebut menentukan bagaimana
dinamika konflik dimanifestasikan ke dalam dominasi, kekerasan kolektif, pemogokan,
dan atau negosiasi setara. Hubungan dominasi tersebut diciptakan oleh jaringan
sekelompok kecil orang yang menguasai bidang ekonomi dan politik, yang biasa
disebut dengan elit kekuasaan. Mereka adalah orang-orang yang menempati posisi
strategis dalam struktur sosial dan pembuat keputusan yang memiliki konsekuensi
besar. John French & Bertram Raven (1965) dalam Tyson dan Jackson (2000),
mengatakan terdapat lima basis dari kekuasaan, diantaranya :kekuasaan Legitimasi
(legitimate power), yaitu kekuasaan yang berasal dari suatu jabatan atau posisi atau
kedudukan yang dimiliki oleh seorang pemimpin, kekuasaan imbalan/ganjaran
/penghargaan (reward power), yaitu kekuasaan yang bersumber dari kemampuan
untuk menyediakan atau memberikan suatu penghargaan bagi orang lain, misalnya
seperti pemberian bonus, promosi, maupun berupa penghargaan jasa lainnya,
kekuasaan paksaan (coersoice power), yaitu kekuasaan yang didapat dengan
membuat para bawahan mempunyai rasa takut, kekuasaan ahli (expert power),
kekuasaan ini bersumber atau dapat diperoleh karena memiliki suatu pengetahuan
maupun keahlian, yang dimana pengetahuan maupun keahlian tersebut tidak dimiliki
oleh orang lain, dan kekuasaan acuan/referensi (referent power), yaitu kekuasaan
yang diperoleh/bersumber karena suatu kepribadian atau sifat-sifat yang disenangi,
disegani, maupun dikagumi.

Pembahasan
1. Penggunaan Kekuasaan dan Politik dalam Kasus Lapindo
Konsep tentang dominasi dapat dipahami dari pandangan beberapa tokoh teori
kritis, seperti Karl Marx, Max Weber, Herbert Marcuse, dan Jurgen Habermas. Karl
Marx mengembangkan teori dominasi kelas, Max Weber mengembangkan teori
dominasi birokrasi, Herbet Marcuse mengembangkan teori dominasi teknokratis, dan
Jurgen Habermas mengembangkan teori dominasi budaya (Suka 2012:43- 49). Marx
mengembangkan teorinya tentang dominasi kelas. Menurut Marx negara merupakan
ekspresi politik dari struktur kelas yang melekat dalam produksi. Dalam masyarakat
ber-kelas seperti masyarakat kapitalis, negara didominasi oleh kaum borjuis, dan oleh
sebab itu negara merupakan ekspresi politik dari kelas dominan ini (Patria & Arief
1999:17-18). Dalam rumusan Marx yang terkenal “negara adalah panitia
penyelenggara kepentingan kelas borjuis”. Negara juga mengontrol perjuangan sosial
dari kepentingan ekonomi yang berbeda, dimana kontrol tersebut dipegang oleh kelas
yang kuat secara ekonomi dalam masyarakat. Dengan demikian, negara juga menjadi
alat represif dari kelas yang berkuasa (Patria & Arief 1999:177). Dalam konteks
kontemporer akhir-akhir ini, Perkins mengembangkan istilah Korporatokrasi (Perkins
2007: x). Istilah Korporatokrasi belum digunakan secara meluas dan merupakan
konsep yang relatif baru. Istilah Korporatokrasi digunakan oleh Perkins untuk
menunjukkan bahwa dalam rangka membangun imperium global, maka berbagai
Korporasi besar, Bank, dan pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan finansial
dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka. Tiga
pilar kekuasaan yang mengatur kehidupan masyarakat demokratis adalah kekuatan
negara (negara), perusahaan (perusahaan) dan masyarakat sipil. Negara memiliki
kekuatan politik, perusahaan/pasar memiliki kekuatan perusahaan/pasar, dan
masyarakat sipil memiliki kekuatan sosial. Hubungan antara ketiga pilar kekuasaan
tersebut harus harmonis dan seimbang (Damsar 2010: 129). Dalam beberapa kasus,
hubungan ketiganya tidak seimbang, sehingga yang sering terjadi bukanlah sinergi
antara ketiganya, tetapi ada beberapa unsur yang sangat kuat, dan ada pula yang
sangat lemah (Febriasih 2009: 17).
Dalam kasus bencana Lumpur Lapindo, hubungan antara negara (pemerintah)
dan perusahaan (PT LBI) sangat kuat, sehingga kebijakan negara (pemerintah) terkait
bencana Lumpur Lapindo lebih menguntungkan bagi perusahaan (PT LBI). Lebih
penting dari pada orang (masyarakat). Bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa
Timur merupakan akibat dari dominasi negara (pemerintah). Negara telah
mengeluarkan kebijakan pemberian izin kepada perusahaan (PT LBI) untuk kegiatan
eksplorasi migas di kawasan blok Bratas yang berlokasi di Kabupaten Sidoarjo,
wilayah Kecamatan Porong. Kegiatan eksplorasi migas yang dilakukan oleh PT LBI
terbukti mengandung beberapa unsur ilegal, seperti pelanggaran Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Kabupaten
Cidoarjo. Negara lebih mengutamakan kepentingan perusahaan (PT LBI) daripada
kepentingan rakyat. Dalam hal ini terlihat bagaimana negara dan perusahaan
melakukan kecurangan yang pada akhirnya menimbulkan akibat yang mematikan
yaitu longsor lumpur Lapindo. Pemerintah (negara bagian) dan PT. LBI (perusahaan)
memimpin pengelolaan sumber daya migas di Kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur yang menimbulkan penderitaan bagi korban bencana
(masyarakat). Bentuk tata kelola pemerintah (negara) dan perusahaan (PT LBI) pada
arena bencana Lumpur Lapindo adalah sebagai berikut:
(1) Kebijakan pemerintah pemberian izin eksplorasi minyak dan gas bumi di wilayah
Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo melanggar penggunaan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW).
(2) Komnas HAM menyatakan bahwa bencana puing Lapindo yang terjadi di
Kabupaten Sidoaru, Jawa Timur, melanggar HAM.
(3) Masyarakat sekitar Polong, khususnya masyarakat di Desa Renault Konongo,
melihat adanya proses Proyek eksplorasi migas yang dilakukan PT LBI tidak
transparan;
(4) Bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo menjadi tahapan kemiskinan dan
ketidakberdayaan bagi warga Kabupaten Porong dan sekitarnya (korban
bencana Lumpur Lapindo); dan
(5) Dominasi pemerintah terhadap korban bencana Lumpur Lapindo juga tercermin
dalam kebijakan pemerintah berupa Peraturan Presiden (Perpres) yang
menyangkut penyelesaian masalah bencana Lumpur Lapindo yang berdampak
pada korban bencana.
Dalam konteks bencana longsor lumpur Lapindo, para korban merasakan sedikit
ketidakadilan. Bentuk ketidakadilan yang dirasakan para korban bencana Lumpur
Lapindo tidak hanya terkait dengan masalah ganti rugi aset tanah dan bangunan,
tetapi juga terkait dengan berbagai aspek. Korban bencana Lumpur Lapindo merasa
tidak adil berupa:
(1) Ketidakadilan korban Lumpur Lapindo terkait sengketa izin pengeboran
(2) Ketidakadilan terkait inkonsistensi pelaksanaan kebijakan penataan ruang
(3) Bentuk ketidakadilan yang dialami korban longsor Lapindo terkait dengan faktor-
faktor penyebab terjadinya longsor
(4) Bentuk ketidakadilan yang dirasakan para korban bencana Lumpur Lapindo
terkait dengan penyebutan istilah. Masyarakat menyebutnya bencana Lumpur
Lapindo (Lula), sedangkan pemerintah dan PT LBI menyebutnya bencana
Lumpur Sidoarjo (Lucy)
(5) Korban bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, khususnya yang berada di sekitar
Pusat Semburan Lumpur Lapindo, merasa tidak adil, Wilayah korban tersebut
masuk dalam PAT, yaitu terkait pembagian tanggung jawab dalam proses
pembayaran ganti rugi
(6) Bentuk ketidakadilan keenam yang dirasakan oleh warga korban bencana
Lumpur Lapindo yang terkait dengan perlakuan terhadap warga yang terkena
dampak semburan lumpur, yakni bahwa mereka menjadi masyarakat korban
bencana alam
(7) Bentuk ketidakadilan yang dirasakan oleh warga korban lumpur lapindo yang
terkait peran pemerintah yang lebih pro-kapitalis (pro-pengusaha) daripada pro-
rakyat (warga korban)
(8) Bentuk ketidakadilan yang dirasakan oleh warga korban bencana Lumpur
Lapindo yang terkait dengan peran pihak PT. LBI dalam proses penyelesaian
masalah dampak semburan lumpur, dimana pihak PT LBI menyatakan bahwa
mereka tidak mempunyai kewajiban hukum untuk mengatasi dampak bencana
Lumpur Lapindo. Melalui berbagai aksi kolektif, seperti aksi demonstrasi dan
negosiasi, korban bencana Lumpur Lapindo menyampaikan beberapa tuntutan.
Dengan ini dapat kita ketahui bagaimana politik dan kekuasaan merusak segalanya
dengan negara memberikan kekuasaan pada PT LBI untuk melakukan eksplorasi
dalam hal ini teori yang di katakan Karl Max terbukti karna negara menginjinkan PT
LBI dan dengan melakukan relasi.

2. Tindakan yang kami lakukan untuk menyelesaikan kasus ini, jika seandainya
kami selaku pemilik perusahaan Lapindo
Upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan kasus tersebut yakni melakukan
CSR (Corporate Social Responsibility) atau yang biasa dikenal dengan “Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan”. Ini adalah pendekatan bisnis untuk berkontribusi pada
pembangunan berkelanjutan dengan memberikan manfaat ekonomi, sosial dan
lingkungan kepada semua pemangku kepentingan. Dengan adanya bansos ini
diharapkan dapat mengurangi dampak sosial yang diakibatkan oleh dampak retakan
tanah dan penurunan permukaan tanah, dan diharapkan dapat dilakukan tindakan
pencegahan sebagai antisipasi jika terjadi bencana. Kegiatan terkait bantuan sosial
meliputi:
1. Mengawasi pemberian bantuan sosial. Bantuan ini diberikan dengan memberikan
asuransi pribadi untuk setiap orang pada waktu tertentu, biaya evakuasi setiap
rumah tangga, dan biaya kontrak untuk setiap rumah tangga.
2. Bantuan air bersih. Bantuan ini diberikan kepada warga desa / kelurahan yang
sumber airnya tercemar.
3. Bantuan Pemberdayaan. Bantuan ini diberikan dalam bentuk peralatan parutan
kelapa kepada warga di desa-desa yang terdampak.

Rencana tanggung jawab sosial (CSR) utama PT. Lapindo Brantas, termasuk:
• Pemberdayaan ekonomi. Seperti menyediakan bengkel bordir, pekerjaan
produksi kerajinan tangan, dan memberikan bantuan untuk pengembangan
koperasi pedesaan (KUD).
• Perbaikan infrastruktur. Hal ini dilakukan pada jalan pedesaan, pembangunan
kembali limbah pedesaan dan fasilitas drainase, dan peningkatan sistem
penerangan jalan pedesaan.
• Pendidikan dan Kesehatan. Dalam hal ini seperti renovasi sekolah, beasiswa
untuk siswa berprestasi, pendidikan kesehatan, dll.

3. Ketidak-etisan yang terdapat dalam kasus ini serta solusi yang optimal
Masalah ketidak-etisan:
1. sebelum dilakukan pengeboran telah terjadi semburan lumpur cair ke daratan
2. kurangnya analisa lebih dalam mengenai lokasi yang mereka pakai untuk
melakukan pengeboran
3. kelalaian pekerja dan perusahaan terhadap akibat yang ditimbulkan
4. sudah dilaporkan oleh salah satu pekerja bahwa akan ada kebocoran apabila
pengeboran tetap dipaksa, namun hal itu terabaikan
5. timbul kerugian dan kerusakan besar yang diderita masyarakat setempat dan
juga di sekitar lokasi akibat semburan lumpur yang dilakukan PT. Lapindo
6. hingga jatuh tempo pada Juli 2019 lalu, PT. Lapindo belum berhasil melunasi
hutang pembayaran ke pemerintah dengan total hutang sebanyak Rp773,382
miliar sebagai ganti rugi terhadap warga Sidoarjo yang terdampak semburan
lumpur.
Solusi:
Dalam menghadapi kasus ini, tentunya diperlukan berbagai macam cara seefektif
mungkin yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Walaupun seluruh kerusakan telah
terjadi dan bahkan masih berkelanjutan hingga saat ini, bencana ini tidak dapat
dibiarkan begitu saja dan terabaikan. Kasus Lapindo yang berkepanjangan ini
membuat sebagian besar korban lumpur menderita. Jumlah penduduk miskin terus
bertambah dari hari ke hari, bahkan banyak dari antara mereka tidak lagi bisa
mengembangkan kemanusiaannya secara optimal. Tidak ada penanggulangan yang
rampung dari pemerintah khususnya dari perusahaan yang menjadi dalang kasus ini,
yang dimana apabila mereka mempertimbangkan keetisan dari proyek mereka dari
awal, maka bencana mungkin dapat teratasi. Berbagai upaya yang telah dibuat namun
hasilnya tak kunjung mereda. Dibutuhkan langkah-langkah yang tegas dalam
menghadapi kondisi ketidak-etisan yang ditemui dalam kasus Lapindo yang telah
eksis sejak 27 Mei 2006 ini. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menghadapi
kasus ini yaitu:
• Mengembangkan perencanaan berkelanjutan.
Sebelum proyek konstruksi dimulai, manajer konstruksi harus merangkai
perencanaan terlebih dahulu dan selalu merevisi serta mengembangkan
perencanaan tersebut hingga proyek berakhir. Tahap desain, pra-konstruksi, dan
pengadaan proyek konstruksi masing-masing membutuhkan perencanaan yang
luas dan masing-masing mungkin perlu direvisi ketika tahap berikutnya dimulai.
Sehingga bisa dianalisa lebih lanjut lokasi yang dipakai proyek agar tidak
menimbulkan bencana serupa.
• Menganalisis risiko dan membangun hubungan pemangku kepentingan.
Ini adalah waktu yang tepat untuk mengidentifikasi dan mencoba menangani apa
pun yang mungkin mengancam keberhasilan penyelesaian proyek. Ini disebut
manajemen risiko. Dalam manajemen risiko, masalah potensial “ancaman tinggi”
diidentifikasi. Tindakan diambil pada setiap potensi masalah besar, baik untuk
mengurangi probabilitas bahwa masalah akan terjadi atau untuk mengurangi
dampak pada proyek jika memang terjadi.
• Penggunaan teknologi infrastruktur ramah lingkungan.
Dengan pemilihan teknologi ramah lingkungan bagi sektor infrastruktur
diharapkan dapat meminimalisir dampak sosial terhadap kondisi di sekitar lokasi
proyek, meminimalisir terjadinya kecelakaan kerja konstruksi, durasi proyek lebih
singkat, sehingga biaya konstruksinya lebih murah dan menjamin pencapaian
kualitas konstruksi Salah satu teknologi konstruksi yang diharapkan mampu
memberikan kontribusi pada percepatan pembangunan infrastruktur adalah
Trenchless. Teknologi ini mengintegrasikan teknologi digital jasa konstruksi yang
dipergunakan untuk memasang infrastruktur bawah tanah tanpa mengganggu
bangunan atau bentang alam yang ada di atasnya. Teknologi ini dikenalkan dari
Pameran teknologi konstruksi ramah lingkungan atau Trenchless Asia 2019 di
JIExpo Kemayoran, Jakarta.

Selain yang telah dipaparkan diatas, hal lain yang perlu diperhatikan dalam
memulainya sebuah proyek agar terhindar dari kelalaian dan sejenisnya yaitu:
• Perencanaan. Pada tahap perencanaan yang menjadi penyebab dan frekuensi
tertinggi kegagalan proyek konstruksi adalah terjadi kesalahan hasil pengukuran
kuantitas pekerjaan yang tidak sesuai kondisi lapangan.
• Pengawasan. Pada tahap pengawasan yang menjadi penyebab dan
frekuensi terjadinya kegagalan proyek konstruksi adalah tidak melakukan
prosedur pengawasan dengan benar,
• Pelaksanaan. Pada tahap pelaksanaan yang menyebabkan kegagalan proyek
konstruksi adalah salah membuat metode kerja dengan frekuensi tertinggi
adalah tidak menggunakan material yang benar.
Kesimpulan
Hasil diskusi kami mengenai kasus lumpur Lapindo diduga memiliki hubungan
dengan pemerintah dan korporasi. Pada kasus ini , masalah pemerintah yang kurang
tegas dalam memberikan sanksi terhadap korporasi dan memberikan perizinan
kepada pihak korporasi yang selanjutnya merugikan rakyat Sidoarjo dan sekitarnya.
Selain itu, masalah dari korporasi sendiri yang lalai dalam menganalisa lokasi sebelum
pengeboran dan mengabaikan adanya kebocoran di lokasi tersebut dan menimbulkan
kerugian yang sampai sekarang belum berhasil dilunasi oleh PT Lapindo Brantas.
Maka dari itu perlu dilakukan upaya dari pihak pemerintah maupun pihak korporasi
dalam rangka meningkatkan cara yang seefektif mungkin dalam mengembangkan
perencanaan berkelanjutan, menganalisis risiko dan juga penggunaan teknologi
ramah lingkungan. Dengan diadakannya perbaikan tersebut diharapkan tidak ada lagi
kejadian serupa dengan lumpur Lapindo di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ardana, Komang., Mujiati, Ni Wayan., Sriathi, Anak Agung Ayu., Dewi, Anak Agung
Sagung Kartika., (2020). Perilaku Organisasi. Penerbit: CV. Sastra Utama, Bali

Azry Gowarno, Marshellino., Hamongan purba, Wilbert., Mahendra, Seftian., dkk


2020. Studi Kasus Penolakan Warga Terhadap Pengeboran Baru Pt Lapindo Brantas
Kab. Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur
file:///C:/Users/User/Downloads/1078-2717-1-SM.pdf

Farida, Anis. 2013. Jalan Panjang Penyelesaian Konflik Kasus Lumur Lapindo
https://media.neliti.com/media/publications/37786-none-236dbf4e.pdf

Dewantara, Agustinus W. 2013. Merefleksikan Hubungan antara Etika Aristotelian


dan Bisnis dengan Studi Kasus Lumpur Lapindo
https://media.neliti.com/media/publications/232230-merefleksikan-hubungan-
antara-etika-aris-3958c952.pdf

Indraini, Anisa. 2021. Pemerintah Kejar Terus Utang Lapindo


https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5552855/pemerintah-kejar-
terus-utang-lapindo

Hartomo, Giri. 2019. PUPR Cari Teknologi Ramah Lingkungan untuk Proyek
Infrastruktur
https://economy.okezone.com/read/2019/07/17/320/2080033/pupr-cari-
teknologi-ramah-lingkungan-untuk-proyek-infrastruktur

Rana Menggala, Sidi. Menjadi Primadona di Tengah Lumpur


https://www.slideshare.net/Sidiranamenggala/program-csr-lapindo-di-tengah-
lumpur

Anda mungkin juga menyukai