Anda di halaman 1dari 23

1

MODUL PERKULIAHAN 5

W042100027 –
Cyber Culture
Sejarah, Definisi, Karakteristik
Postmodernisme, dan Teori-Teori
Postmodernisme

Abstrak Sub-CPMK

Modul ini membahas Cyber Sub-CPMK 2


Culture dari aspek Mampu memahami konsep Cyber
Postmodernisme meliputi Culture dari aspek Postmodernisme
sejarah,definisi, karakteristik meliputi sejarah, definisi, karakteristik
postmodernisme, dan teori-
teori postmodernisme postmodernisme, dan teori-teori
postmodernisme

Fakultas Program Studi Tatap Muka Disusun Oleh

05
Tim Dosen Pengampu Mata Kuliah
Fakultas Ilmu Komunikasi Ilmu Komunikasi
Pendahuluan
Sejarah Posmodernisme

Postmodernisme muncul didasarkan atas kritikannya terhadap modernisme.


Postmodernisme muncul karena adanya keinginan untuk berpaling dari paham
modernisme yang dianggapnya berlebihan dalam mendefinisikan kehidupan. Secara
faktual, postmodernisme baru muncul pada tahun 1950an sebagai sebuah aliran.
Selanjutnya, aliran ini baru mulai dikenal secara luas pada tahun 1970-an (Wijayati, 2019)

Jean-Fracois Lyotard adalah orang yang memperkenalkan postmodernisme dalam


bidang filsafat dan ilmu pengetahuan di tahun 1970an dalam bukunya yang berjudul “The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge”. Dia mengartikan postmodernisme
sebagai segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme
maupun atas modernisme. Lyotard menekankan bahwa prinsip-prinsip kesatuan ontologis
yang berbicara mengenai keterkaitan makna, sudah tidak lagi relevan dengan realitas
kontemporer. Untuk itu, Lyotard menawarkan ide parologi atau pluralitas. Ide tersebut
diuraikan Lyotard dalam suatu kondisi, di mana manusia harus membuka kesadarannya
dan menerima realitas yang sifatnya plural. Lyotard yang sebetulnya meletakkan
pemikirannya pada persepsi bahwa kebenaran adalah selalu interpretatif. Karena sifat
interpretatifnya inilah, maka 'kebenaran jadi sulit untuk dipastikan (Lyotard, 1984)

Dalam memunculkan istilah postmodernisme ini, Lyotard banyak berbicara


mengenai modernitas. Sebab, apa yang menjadi dasar dari sejarah awal postmodernisme
ini memang merupakan bentuk kritikan rerhadap modernisme. Aliran modernism
dianggap terlalu bergantung dan terpaku pada grand narrative (cerita-cerita besar) saja,
ketimbang dari kemapanan filsafat yang hanya mengandalkan akal, dialektika roh,
emansipasi subjek yang rasional, dan sebagainya (Arifin, 1994).

Gerakan postmodern kemudian banyak bermunculan sebagai kritik atas


kegagalan manusia modern dalam menciptakan situasi sosial yang lebih baik, kondusif,
dan berkeadilan sosial. Pada dasarnya gerakan postmodern ini muncul sebagai kritik atas
kegagalan manusia modern dalam menciptakan situasi sosial yang lebih baik, kondusif,
dan berkeadilan sosial. Kehidupan modernitas dinilai tidak mampu mencegah
kemunculan perang, gejolak sosial, dan revolusi yang menimbulkan anarki dan
relativisme total.

2021 Cyber Culture


2 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Pertama, postmodernitas yang berkaitan dengan era postmodern. Post-
modernitas dalam hal ini merujuk pada suatu kondisi atau keadaan. Perhatian utama
istilah ini ditujukan kepada perubahan pada lembaga-lembaga dan kondisi-kondisi
tertentu seperti ekonomi, politik, dan kultural (Giddens 1990; Jenkins, 1995). Satu
pendapat menyatakan bahwa postmodernitas merupakan kondisi di mana masyarakat
tidak lagi diatur oleh prinsip produksi barang, melainkan produksi dan reproduksi
informasi dengan sektor jasa sebagai faktor yang paling menentukan. Pada pengertian
ini, konsep masyarakat merupakan bentuk masyarakat konsumen yang tidak lagi bekerja
demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup.

Kedua, postmodernisme yang berkaitan dengan ekspresi kultural era postmodern.


Istilah ini merujuk pada pemikiran postmodern atau wacana, yang berkaitan dengan
refleksi filosofis dari era dan budaya postmodern. Dalam hal ini, postmodernisme
diasumsikan sebagai perubahan-perubahan intelektual ekspresif pada level teori, pada
estetika, sastra, filsafat politik, atau sosial yang secara sadar menjawab kondisi-kondisi
postmodernitas atau yang mencoba melampaui modernitas melalui kritikannya.

Meski istilah postmodernisme banyak dikatakan rumit, namun satu hal yang dapat
dipahami secara pasti adalah bahwa pemikiran postmodernisme memberikan dampak
yang cukup dahsyat bagi kehidupan manusia. Pemikiran tersebut antara lain,
postmodernisme menolak cara berpikir ataupun hukum alam dan sosial yang berjalan
secara mekanistik, homogen, deterministik, dan linear (Deny, 2006).

Di perguruan tinggi dan lingkungan akademisi, awalnya kelahiran postmodern itu


sering dianggap sebagai mode yang akan lenyap dalam waktu singkat. Namun,
kenyataannya berbeda, teori postmodern berkembang luar biasa dan telah menjadi
pembahasan umum. Hampir semua teoritikus sosial-budaya sekarang sependapat bahwa
teori sosial-budaya modern dianggap tidak dapat dan tidak tepat lagi digunakan untuk
memahami dan menjelaskan fenomena sosial-budaya sekarang yang telah bergerak dan
berbeda jauh dari fenomena yang digambarkan oleh: Marx, Durkheim, Parson, Freud, dan
para ilmuwan modern lainnya yang membahas tentang permasalahan modernitas seperti:
perlunya rasionalisasi, perlunya metode yang dianggap dapat meraih ilmu pengetahuan
yang objektif-universal, permasalahan buruh dan pemilik modal atau permasalahan
sekulerisasi.

Ilmuwan sosial-budaya sekarang dihadapkan pada problem baru dengan


munculnya gerakan dan teori sosial baru seperti cultural studies, feminisme, teori

2021 Cyber Culture


3 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
postkolonial, multikulturalisme, queer theory, kajian etnis dan ras, kajian tentang realitas
virtual, ekonomi virtual, dan politik virtual (yang lahir sebagai pengaruh teori kritis dan
postmodern dan teknologi informasi). Kondisi masyarakat postmodern yang berbeda
dengan modern juga melahirkan berbagai istilah dan konsep baru sebagaimana
dikemukakan ilmuwan seperti: masyarakat informasi, era post-industri, masyarakat
konsumer, masyarakat ekonomi libidinal, era Globalisasi, global paradoks, akhir sejarah,
kematian subjek esensial (antiesensialisme), masyarakat berisiko, masyarakat jejaring,
masyarakat tontonan, dan lain-lain.

Untuk melengkapi gambaran tentang kondisi masyarakat postmodern itu berikut


dikemukakan beberapa cirinya (Lubis, 2016):

1) Globalisasi: bangsa-bangsa dan wilayah semakin terhubung satu sama lain


sehingga mengaburkan perbedaan antara wilayah maju (dunia pertama) dengan
bangsa dan wilayah terbelakang (dunia ketiga). Dengan era Informasi tidak ada
satu negara atauu wilayah pun di dunia yang dapat mengurung diri dalam batas
geografisnya. Perkembangan baru ini berdampak besar pada konsep negara,
batas dan kewenangan negara dan kewarganegaraan seperti dikemukakan teori
sosial-politik modern.
2) Lokalitas: kecenderungan global berdampak langsung pada lingkungan lokal,
sehingga memungkinkan kita untuk memahami dinamika global dengan
mempelajari manifestasi lokal. Dalam pemikiran postmodernisme, dimensi lokal
dan global merupakan dua hal yang berjalan beriringan, karena itu sering juga
disebut global paradoks. Dari satu sisi, era Informasi cenderung menghilangkan
hal-hal yang bersifat lokal, akan tetapi di sisi lain memungkinkan hal-hal yang
bersifat lokal itu memasuki wilayah nasional dan global. Contoh jelas paradoks ini
dapat kita lihat bagaimana TV selama dua puluh empat jam menyuguhkan
masalah global, akan tetapi TV lokal juga menyiarkan masalah dan budaya lokal
ke dunia internasional.
3) "Akhir dari sejarah": Postmodernitas adalah keterputusan (diskontinuitas)
sejarah yang halus. Akhir sejarah diartikan berakhirnya pertentangan ideologi
kapitalis dengan sosialis, dan semakin merajalelanya kapitalisme global (neo-
kapitalisme)
4) "Kematian individu": konsep borjuis tentang subjektivitas tunggal dan tetap
dibedakan dengan dunia luar tidak dianggap masuk akal lagi oleh pemikir
postmodernisme. Kini, diri atau self (individualitas) menjadi arena pertarungan
tanpa batas antara "diri" dan yang di "luar diri" atau pertarungan antara "diri"

2021 Cyber Culture


4 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
dengan "lingkungan sosial-budaya". Bourdieu. misalnya mengemukakan konsep
habitus sebagai sifat dan nilai individu yang terkonstruksi oleh lingkungan sosial-
budaya.
5) “Mode informasi": cara produksi, dalam terminologi Marxis, kini tidak lagi
relevan. Era sekarang adalah "era Informasi"/"era Post-industri" yakni era di mana
masyarakat postmodern mengorganisasi dan menyebarkan informasi dan hiburan.
6) Era "simulasi" dan "hiperreality": Jean Baudrillard (1983) menyatakan bahwa
apa yang disebut dengan realitas sekarang tidaklah stabil dan tidak dapat dilacak
dengan konsep ilmiah tradisional (maksudnya positivisme). Masyarakat semakin
"tersimulasi", tertipu dalam "dunia citraan" dan "wacana" yang secara cepat
menggantikan pengalaman manusia atas realitas. Goldman dan Parson (1995)
misalnya mengemukakan bahwa iklan (tayangan TV) merupakan wahana utama
dunia simulasi itu.
7) Perbedaan dan penundaan dalam bahasa: bahasa, menurut salah seorang
tokoh postmodernisme, Jacques Derrida misalya, tidak lagi berada dalam
hubungan representasional pasti atas "realitas". Bahasa tidak lagi dapat
menggambarkan realitas dunia secara jernih dan transparan. Bahasa dianggap
bersifat licin, media ambigu yang bisa mengaburkan pemahaman yang jelas
menjadi tak pasti. Postmodern mengkritisi pandangan objektivisme-universalisme
dalam wacana ilmiah. Dekonstruksi atau pembacaan kreatif atas teks dari Derrida,
misalnya, membuka penafsir untuk menyingkapkan kekayaan makna teks.
8) Polivokalitas: segala hal atau objek dapat dikemukakan dengan perspektif atau
paradigma yang berbeda, yang kedudukannya satu sama lain memiliki
kesejajaran. Karena itu, ilmu pengetahuan dihadapkan pada "multi-narasi" yang
satu sama lain saling melengkapi dan saling bersaing, di mana satu perspektif
atau paradigma tidak memiliki keunggulan epistemologis dari yang lain. Ketika
Amerika menginvasi Irak, misalnya, Presiden Bush menyatakan bahwa ia
memerdekakan rakyat Irak dari penguasaan Saddam. Berbagai TV seperti CNN,
Aljazira, Al-Arabiya, Metro TV, dan yang lain menyiarkan kejadian yang sama
berdasarkan sudut pandang dan kepentingannya masing-masing, sehingga fakta
(kejadian yang sama) ditafsirkan secara beragam.
9) Kematian analisis oposisi biner: model berpikir yang didasarkan atas analisis
polaritas (oposisi biner): laki-laki versus perempuan, benar versus salah, negara
maju versus negara terbelakang, model berpikir ini ruang bagi dianggap tidak lagi
relevan karena munculnya keanekaragaman/pluralitas posisi subjek atau manusia.

2021 Cyber Culture


5 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
10) Lahirnya gerakan sosial baru: akhir-akhir ini bermunculan berbagai gerakan
akar rumput yang mendorong berbagai perubahan sosial progresif seperti gerakan
perempuan, gerakan perempuan kulit hitam, gerakan etnis dan budaya lokal,
gerakan anti kolonialisme, gerakan lingkungan hidup, gerakan kaum lesbian dan
gay, dan lain-lain. Gerakan ini tidak selalu tepat dengan analisis oposisi biner atau
analisis hitam- putih, namun yang jelas gerakan ini menuntut perubahan sosial
baru, menuntut penghargaan pada perbedaan etnis, budaya, agama, seks dan
lain-lain. Gerakan sosial baru ini sangat berkembang dalam kajian
multikulturalisme.
11) Kritik terhadap narasi besar: Lyotard, salah satu tokoh postmodernisme
terkemuka, mengemukakan bahwa pada era Postmodern kepercayaan pada
penjelasan makro atau cerita besar/cerita agung sejarah seperri diungkapkan oleh
Marx atau Hegel, atau kemajuan yang dipercayai oleh modernitas sudah tidak
relevan lagi. Postmodernitas lebih memercayai polivokalitas dan keanekaragaman
daripada keseragaman dan menghargai perbedaan dan interpersonal ketimbang
bentuk pemikiran yang monodimensional yang otoritarian. Postmodern menurut
Lyotard lebih menekankan dan memercayai narasi kecil tentang masalah sosial,
masalah kehidupan dan perjuangan pada tingkat budaya, etnis, dan bahasa yang
bersifat lokal.
12) Otherness (ke-liyan-an): pemikir postmodernisme memberikan ruang dan
penghargaan pada kelompok yang selama ini terpinggirkan (termarjinalkan).
Penghargaan pada kelompok atau suara yang terpinggirkan selama ini berkaitan
erat dengan munculnya gerakan dan perjuangan hak-hak sipil serta penghargaan
pada multikutural (isme) yang banyak menyita perhatian ilmuwan akhir-akhir ini
(Lubis, 2016).

I. Definisi Postmodernisme

Postmodernisme sering disebut sebagai sebuah istilah rumit. Bila tidak bisa
dikatakan mustahil, maka untuk menjelaskan postmodernisme ini bisa dikatakan sebagai
sesuatu yang sukar. Mengapa demikian? Sebab postmodernisme bisa dijelaskan dalam
berbagai hal, mulai dari hal seni, arsitektur, studi literatur, dan ilmu sosial. Tak hanya itu,
postmodernisme dalam berbagai hal tersebut juga dimengerti dan dijelaskan dengan
berbagai cara yang berbeda. Jika berbicara mengenai pengertian postmodernisme, maka
kita akan mendapati definisi yang beragam. Kvale (2006) berpendapat bahwa
keberagaman definisi dari istilah postmodernisme ini bisa sangat luas, ambigu, bahkan
kontroversial.

2021 Cyber Culture


6 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Bagaimana ilmuwan dari berbagai komunitas ilmiah memberikan pengertian
tentang postmodern itu? Apakah mereka memiliki keseragaman tentang apa yang
dimaksud dengan postmodern itu sehingga istilah itu bisa dengan mudah didefinisikan
dan dipahami? Ataukah justru, ada banyak perbedaan sehingga istilah postmodern itu
tidak mungkin didefinisikan dalan satu definisi ketat?

Postmodernisme menolak persepsi mekanistik karena menganggap bahwa alam


dan manusia bukanlah mesin seperti yang diungkapkan dalam hukum mekanisme.
Mereka pada hakikatnya terus mengalami perubahan, berkembang, dan hidup. Bukan
hanya alam dan manusia saja, melainkan ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh
manusia. Semua itu tidak dapat berjalan secara linear. Hal ini didasarkan pada idea of
progress.

Tulisan para postmodernis secara umum memiliki perbedaan satu dengan yang
lain. Seperti dikemukakan Richard Appignanesi dan Chris Garratt, postmodern diartikan
dalam pengertian berbeda: "sebagai hasil dari modernisme", "akibat dari modernisme",
"anak dari modernisme", "perkembangan dari modernisme", atau juga "penyangkalan
tentang modernisme" atau "penolakan atas modernisme" (Appignanesi & Chris Garrat,
1998: 4). Meskipun terdapat perbedaan, tentu ada persamaan juga di antara pemikiran
mereka. Persamaannya adalah pada ciri-ciri paradigma postmodern atau karakteristik
yang mereka sebut dengan postmodern itu.

Salah satu ciri postmodern adalah "cultural turn". Maksudnya, dalam postmodern
peran dominan budaya menggantikan peran ekonomi yang begitu kuat dalam pandangan
modern yang berwujud dalam dua kubu besar yang cenderung bertentangan antara
pendukung: sosialisme dan kapitalisme. Dengan kata lain, postmodern lebih menekankan
peran budaya (termasuk ilmu pengetahuan) daripada ekonomi (seperti dikemukakan
pemikir Marxis). Jika pemikir Marxis cenderung menggunakan kapital ekonomi saja, maka
Pierre Bourdieu, salah seorang postmodernis, menggeser peran kapitail ekonomi menjadi
kapital budaya sebagai kapital yang lebih penting pada era sekarang ini,

Para postmodernis sendiri umumnya tidak suka dengan penyeragaman dan tidak
suka pula pada definisi atau pembatasan, akan tetapi lebih senang dan menerima
perbedaan. Karena itu, konsep perbedaan (difference) menjadi salah satu konsep kunci
(konsep penting) dalam pemikiran postmodern di samping konsep-konsep lainnya.
Penekanan pada perbedaan, keberagaman, anti-esensialitas ini sebagai cara berpikir

2021 Cyber Culture


7 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
yang berbeda dari cara berpikir yang mengutamakan universalitas, kesatuan dan
esensialitas yang sangat dominan pada paradigma sebelumnya (paradigma modern).

Meskipun para postmodernis secara umum sama-sama menerima adanya


perubahan paradigma modern ke postmodern, namun untuk melukiskan postmodern itu
mereka mengemukakan istilah yang berbeda/beragam seperti era Masyarakat Post-
industri pada Daniel Bell, era Modernisme Radikal pada Anthony Giddens, atau era Post-
pencerahan atau "lanjutan dari pencerahan" pada Jürgen Habermas. Pemikir-pemikir
yang mengemukakan istilah ini dimasukkan sebagai pemikir postmodernisme moderat
yang melihat bahwa postmodern sebagai lanjutan saja dari modern.

Di sisi lain, ada beberapa ilmuwan (filsuf) yang menyatakan bahwa peralihan dari
era Modern ke postmodern tersebut adalah perubahan paradigma yang radikal dan bukan
sekadar lanjutan saja. Ada diskontinuitas (paradigma berpikir) dari kedua era itu. Pemikir
yang masuk dalam kelompok ini terlihat dari pengertian yang mereka kemukakan tentang
postmodern itu seperti Francois Lyotard yang menyebut era Postmodern dengan "era
ketidakpercayaan pada narasi-besar" atau metanarasi dan digantikan dengan narasi-
narasi kecil, "era berakhirnya filsafat" seperti Martin Heidegger, "era berakhirnya sejarah"
sebagaimana dikatakan Francis Fukuyama, "era masyarakat konsumer" pada Fredrich
Jameson, Jean Baudrillard dan Fearhersstone, "matinya rasionalitas atau logos" dari
Jacques Derrida, "era ekonomi libidinal" dari Lyotard dan Jean Baudrillard dan lain
sebagainya (Yasraf, 2001: 243).

Lalu apa yang dimaksud dengan postmodern itu? Apa ciri-ciri, nilai dan
gagasannya? Apa yang dimaksud dengan istilah "postmodern", "postmodernisme", dan
"postmodernitas"?

Dalam filsafat Barat, modernisme diacukan pada permikiran yang berkembang


setelah Renaisans dan Pencerahan (Rene Descartes dan Immanuel Kant). Modernisme
adalah peningkatan kesadaran tentang aspirasi kemajuan, dan rasionalitas yang
dipahami dalam konteks modern itu adalah sebagai salah satu wujud penerapan
rasionalitas tersebut. Descartes dijuluki sebagai Bapak Filsafat Modern karena posisinya
yang penting dengan pandangan dunianya yang mekanis serta menempatkan "rasio" atau
"subjek" sebagai dasar bagi ilmu pengetahuan dan kebenaran. Kant adalah tokoh penting
era Pencerahan dan filsuf terkemuka di era Modern yang membahas masalah: etika,
metafisika, epistemologi, yang pemikirannya memengaruhi berbagai bidang ilmu
pengetahuan modern. Meskipun Kant disebut sebagai pemikir besar era Modern,

2021 Cyber Culture


8 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
beberapa gagasannya cukup mewarnai pemikiran postmodern seperti ia dianggap orang
pertama yang membicarakan masalah persaudaraan global umat manusia yang sekarang
menjadi pembicaraan dalam ilmu pengetahuan dengan munculnya era Informasi dan
globalisasi yang menyertainya.

Sementara itu, tokoh eksistensialis dan fenomenologi seperti Husserl memperkuat


dukungannya pada peran rasio (aspek rasionalitas) manusia dan cenderung
mengabaikan yang lain. Pemikir modern sepertinya sangat yakin bahwa teori (ilmu
pengetahuan) yang ditemukan merupakan gambaran objektif-universal dari objek yang
diteliti. Dalam perspektif ini, teori dianggap sebagai copy realitas atau penggambaran
esensi realitas (esensialisme). Rasionalitas dan subjek (kesadaran) dalam pemikiran
modern dilihat sebagai substansi transendental-ahistoris sehingga dianggap sama di
mana saja.

Permikir postmodernis (seperti Derrida) justru mengkritik pemikiran modern itu


sebagai satu bentuk nostalgia. Bagi para pemikir postmodernis tidak ada rasio murni,
tidak ada subjek universal dan transendental, karena rasio dan subjek sendiri dikonstruksi
oleh faktor sosial-budaya. Karena itu, tidak mengherankan, jika Derrida menyatakan
bahwa pemikir modern menerima logosentrisme dan metafisika kehadiran dan Derrida
tidak memercayainya đan mendekonstruksi cara berpikir logosentris itu. Atau dengan
menggunakan istilah Francois Lyotard, filsuf dan ilmuwan modern itu memercayai
metanarasi untuk menjelaskan berbagai permasalahan tanpa membedakan perbedaan
ruang dan waktu.

II. Karakteristik Posmodernisme

Ciri-ciri pemikiran postmodernisme seperti dikutip dari buku berjudul Falsafah


Kalam di Era Postmodernisme, karya Amin Abdullah adalah: a) dekonstruktif, b) relativis,
dan c) pluralisme.

a) Dekonstruktif

Hampir semua bangunan atau konstruksi dasar keilmuan yang telah mapan dalam
era modern, baik dalam bidang sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah, bahkan juga
ilmu-ilmu kealaman yang selama ini baku ternyata dipertanyakan ulang oleh
postmodernisme. Hal ini terjadi karena teori tersebut dianggap menutup munculnya teori-
teori lain yang barangkali jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan pemecahan

2021 Cyber Culture


9 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
masalah. Jadi klaim adanya teori-teori yang baku, standar, yang tidak dapat diganggu
gugat, itulah yang ditentang oleh pemikir postmodernisme.

Standar yang dilihatnya kaku dan terlalu skematis sehingga tidak cocok untuk
melihat realitas yang jauh lebih rumit. Maka menurutnya harus diubah, diperbaiki, dan
disempurnakan oleh para pemikir postmodernisme. Dalam istilah Amin Abdullah dikenal
dengan deconstructionism yakni upaya mempertanyakan ulang teori-teori yang sudah
mapan yang telah dibangun oleh pola pikir modernisme, untuk kemudian dicari dan
disusun teori yang lebih tepat dalam memahami kenyataan masyarakat saat ini, meliputi
keberagaman, dan juga realitas alam (Abdullah, 2004).

b) Relativisme

Artinya pemikiran postmodernisme dalam hal realitas budaya (nilai- nilai,


kepercayaan, dan lainnya) tergambar dalam teori-teori yang dikembangkan oleh disiplin
ilmu antropologi. Dalam pandangan antropologi, tidak ada budaya yang sama dan
sebangun antara satu dengan yang lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda dengan
Indonesia. Maka nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan latar
belakang sejarah, geografis, dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan di atas, nampak bahwa nilai-nilai budaya bersifat relatif,


dan hal ini sesuai dengan alur pemikiran postmodernisme yaitu bahwa wilayah, budaya,
bahasa, agama sangat ditentukan oleh tata nilai dan adat istiadat masing-masing. Dari
sinilah, tampak jelas bahwa para pemikir postmodernisme menganggap bahwa segala
sesuatu itu relatif dan tidak boleh absolut, karena harus mempertimbangkan situasi dan
kondisi yang ada.

Dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan bagi postmodernisme bersifat relatif,


tidak ada ilmu pengetahuan yang kebenarannya absolut. Dan melihat suatu peristiwa
tertentu juga ketika ingin menilainya harus dilihat dari segala sisi, tidak hanya terfokus
pada satu sisi tertentu.

c) Pluralisme

Hasil teknologi modern dalam bidang transportasi dan komunikasi menjadikan era
pluralisme budaya dan agama telah semakin dihayati dan dipahami oleh banyak orang di
manapun mereka berada. Adanya pluralisme budaya, agama, keluarga, ras, ekonomi,
sosial, suku pendidikan, ilmu pengetahuan, politik merupakan sebuah realitas. Artinya
bahwa mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama dan budaya
(Abdullah, 2004: 104). Sehingga menciptakan suatu adanya heterogen, bermacam-

2021 Cyber Culture


10 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
macam bukan homogen. Keanekaragaman ini harus ditoleransi antara satu dengan yang
lainnya bukan saling menjatuhkan apalagi sampai terjadinya suatu konflik tertentu.

Menurut Utomo dan Hutapea (Wijayati, 2019), ciri-ciri postmodernisme juga dapat
dilihat berdasarkan pada karakter sosiologisnya. Ada delapan karakter sosiologis yang
menonjol dari postmodernisme, yakni:

1. Munculnya pemberontakan secara kritis terhadap modernitas. Kemudian, diterimanya


pandangan pluralisme relativisme akan kebenaran dan mulai memudarnya
kepercayaan pada agama yang bersifat transenden;
2. Kemunculan radikalisme etnis dan keagamaan. Ini merupakan reaksi terhadap orang-
orang yang mulai meragukan kebenaran dari sains, teknologi, dan filsafat yang dinilai
telah gagal untuk memenuhi janjinya. Janji tersebut berupa pembebasan manusia.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya, yaitu penindasan;
3. Industri media massa semakin marak. Kondisi ini mengakibatkan dunia terasa
semakin mengecil. Bahkan, media massa seolah-olah memiliki kekuatan untuk
mengubah perilaku seseorang tanpa disadari, seperti melalui program televisi yang
dipertontonkan. Misalkan saja, perilaku anak-anak motor dengan menggunakan
sepeda motor sporty seperti dalam film tertentu. Hal ini memengaruhi anak-anak
sekolah menjadi berlomba-lomba untuk mengganti sepeda motornya seperti yang ada
dalam film tersebut untuk digunakan dalam balapan. Tujuannya adalah mereka ingin
nampak gagah;
4. Terbukanya peluang bagi kelompok sosial tertentu untuk mengemukakan pendapat
secara lebih bebas. Ini dimaknai sebagai berkembangnya proses demokrasi dalam
masa postmodernisme;
5. Wilayah perkotaan menjadi pusat kebudayaan. Kondisi ini berbeda dengan wilayah
pedesaan yang menjadi daerah pinggiran;
6. Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi, Selain itu,
keterikatan akan rasionalisme dengan masa lalu juga semakin berkembang;
7. Bahasa dalam konsep postmodernisme yang sering kali mencerminkan akan
ketidakjelasan dari makna. Selain itu, bahasa menjadi inkonsisten, sehingga
mengandung beberapa paradoks;
8. Kemunculan eklektisisme, mencampuradukkan wacana serta serpihan realitas.
Eklektisisme sendiri diartikan sebagai yakni sikap berfilsafat dengan mengambil teori
yang telah ada, lalu memilah mana yang disetujui dan mana yang tidak sehingga
dapat selaras dengan semua ada. Akibatnya, seseorang sulit ditempatkan pada
kelompok budaya tertentu secara eksklusif.

2021 Cyber Culture


11 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
III. Teori-Teori Postmodernisme (Ritzer, 2011)

Teori postmodern diasosiasikan dengan kritik terhadap perspektif humanistik


liberal dan pergeseran dari perhatian pada subjek manusia. Namun, Ferry dan Renaut
(1985/1990) berusaha menyelamatkan humanisme dan subjektivitas, dan Lilla (1994:20)
menawarkan pembelaan terhadap hak asasi manusia. Manent (1994/1998) dengan sadar
menganalisis modernitas dan subjek manusia. Lipovetsky (1987/1994) menyerang
kecenderungan para ahli teori postmodern untuk menjadi hiperkritis terhadap dunia
kontemporer dengan membela pentingnya mode.

Beberapa teori sosial postmodernisme antara lain:

1. Teori Konsumsi

Menjadi dewasa selama Revolusi Industri, dan dijiwai oleh masalah dan
prospeknya, teori sosiologi telah lama memiliki “bias produktif”. Artinya, teori cenderung
berfokus pada industri, organisasi industri, pekerjaan, dan pekerja. Bias ini paling jelas
dalam teori Marxian dan neo-Marxian, tetapi ditemukan dalam banyak teori lain, seperti
pemikiran Durkheim tentang pembagian kerja, karya Weber tentang kebangkitan
kapitalisme di Barat dan kegagalan untuk mengembangkanny di bagian lain dunia.

Analisis Simmel tentang tragedi budaya yang dihasilkan oleh proliferasi produk
manusia, minat sekolah Chicago dalam pekerjaan, dan kekhawatiran dalam teori konflik
dengan hubungan antara pengusaha dan karyawan, pemimpin dan pengikut, dan
sebagainya. pada. Jauh lebih sedikit perhatian yang dicurahkan pada konsumsi dan
konsumen. Ada pengecualian seperti karya terkenal Thorstein Veblen (1899/1994)
tentang "konsumsi yang mencolok" dan pemikiran Simmel tentang uang dan mode, tetapi
sebagian besar, para ahli teori sosial tidak banyak bicara tentang konsumsi daripada
tentang produksi.

Teori sosial postmodern cenderung mendefinisikan masyarakat postmodern


sebagai masyarakat konsumen, sehingga konsumsi memainkan peran sentral dalam teori
tersebut (Venkatesh, 2007). Yang paling menonjol adalah The Consumer Society
(1970/1998) karya Jean Baudrillard.

Untuk mengambil satu contoh, kita sedang menyaksikan sesuatu dari curahan
kerja teoritis berdasarkan pengaturan di mana kita mengkonsumsi, seperti Tempat

2021 Cyber Culture


12 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Konsumsi (Urry, 1995), Enchanting a Disenchanted World: Revolutionizing the Means of
Consumption (Ritzer, 2005a), dan Shelf Life: Supermarket dan Perubahan Budaya
Konsumsi (Humphery, 1998). Kita cenderung melihat lebih banyak pekerjaan pada
pengaturan seperti itu, serta pada konsumen, barang konsumsi, dan proses konsumsi.
Arah yang sangat baru dalam domain ini adalah Lork on Prosumers, mereka yang secara
bersamaan memproduksi dan mengkonsumsi, terutama di Internet dan Web 2.0
(misalnya, blog, Facebook).

2. Teori Globalisasi

Meskipun ada perkembangan penting lainnya dalam teori di awal abad kedua
puluh satu (lihat di bawah), tampak jelas bahwa perkembangan terpenting ada dalam teori
globalisasi (W. Robinson, 2007). Berteori tentang globalisasi bukanlah hal baru. Bahkan,
dapat dikatakan bahwa meskipun ahli teori klasik seperti Marx dan Weber tidak memiliki
istilah tersebut, mereka mencurahkan banyak perhatian pada teori globalisasi. Demikian
pula, banyak teori (misalnya, modernisasi, ketergantungan, dan teori sistem dunia) dan
ahli teori (misalnya, Alex Inkeles, Andre Gunder Frank, dan Immanuel Wallerstein)
berteori tentang globalisasi dalam istilah yang berbeda dan di bawah rubrik teoretis
lainnya.

Teori globalisasi dapat dikategorikan dalam tiga judul utama—teori ekonomi,


politik, dan budaya. Teori ekonomi, tidak diragukan lagi yang paling terkenal, dapat
secara luas dibagi menjadi dua kategori: teori yang merayakan pasar ekonomi global
neoliberal (misalnya, T. Friedman, 2000, 2005; lihat Antonio, 2007a, untuk kritik terhadap
perayaan Friedman terhadap pasar neoliberal ) dan teori, seringkali dari perspektif
Marxian (Hardt dan Negri, 2000, 2004; W. Robinson, 2004; Sklair, 1992), yang kritis
terhadapnya.

Teori politik, isu sentral dalam teori politik adalah kelangsungan hidup negara-
bangsa. Di satu sisi adalah mereka yang melihat negara-bangsa mati atau sekarat di era
globalisasi. Di sisi lain dari masalah ini adalah pembela akan pentingnya negara-bangsa
yang berkelanjutan. Setidaknya salah satu dari mereka (J. Rosenberg, 2005) telah
melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa teori globalisasi telah datang dan pergi
sebagai akibat dari keberadaan yang berkelanjutan, bahkan penegasan kembali, dari
negara-bangsa (misalnya, Prancis dan Belanda) memveto konstitusi Uni Eropa pada
tahun 2005).

2021 Cyber Culture


13 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Teori budaya. Kita dapat membagi teori budaya menjadi tiga pendekatan yang
luas (Pieterse, 2004). Yang pertama adalah perbedaan budaya, di mana argumen dibuat
bahwa di antara budaya ada perbedaan yang dalam dan sebagian besar tidak dapat
ditembus yang tidak terpengaruh atau hanya terpengaruh secara dangkal oleh globalisasi
(Huntington, 1996). Kedua, para pendukung konvergensi budaya berpendapat bahwa
meskipun perbedaan penting tetap ada di antara budaya, ada juga konvergensi,
meningkatkan homogenitas, lintas budaya (Boli dan Lechner, 2005; DiMaggio dan Powell,
1983; Meyer et al., 1997; Ritzer, 2004, 2007c, 2008b). Ketiga, ada hibridisasi budaya, di
mana dikatakan bahwa global dan lokal saling menembus untuk menciptakan realitas asli
yang unik yang dapat dilihat sebagai “glokalisasi” (Robertson, 1992, 2001), “hibridisasi”
(Canclini, 1995), dan "kreolisasi" (Hannerz, 1987). Sebagian besar pemikiran sosiologis
tentang globalisasi telah memperhatikan masalah, yang tersirat di atas, sejauh mana
globalisasi mengarah pada homogenisasi atau heterogenisasi.

Tampak jelas bahwa berbagai teori globalisasi, serta varian-varian selanjutnya


yang akan mengemuka di tahun-tahun mendatang, akan terus mendominasi
perkembangan-perkembangan baru dalam teori sosiologi. Namun, perkembangan lain
patut diperhatikan.

3. Teori Jaringan Aktor

Teori Aktor-Jaringan tampaknya tumbuh semakin penting dan memperluas


pengaruhnya ke dalam berbagai domain khusus dalam sosiologi (misalnya, dalam studi
konsumsi; lihat Warde, 2005). Di satu sisi itu adalah bagian dari minat yang luas dan
meningkat dalam jaringan dari berbagai jenis (misalnya, Castells, 1996; Mizruchi, 2005).
Tetapi di sisi lain ia memiliki berbagai orientasi yang unik (Latour, 2007), tidak terkecuali
gagasannya tentang aktan, yang melibatkan sejumlah inklusi yang jelas seperti agen
manusia tetapi juga mencakup berbagai aktor nonmanusia. seperti Internet, ATM, dan
mesin penjawab telepon. Hal ini sejalan dengan pergerakan di dunia sosial menuju, dan
meningkatnya minat ilmiah, posthuman (Franklin, 2007) dan postsocial (Knorr-Cetina,
2001, 2005, 2007; Mayall, 2007). Artinya, kita semakin terlibat dalam jaringan yang
mencakup komponen manusia dan nonmanusia, dan dalam hubungan mereka dengan
yang terakhir, manusia jelas berada di dunia pascamanusia dan pascasosial.

4. Teori Praktik

2021 Cyber Culture


14 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Karya beberapa kontributor utama teori ini (seperti Garfinkel, Bourdieu, Giddens,
dan Foucault). Fokusnya adalah pada praktik, perilaku manusia, terutama dampak asumsi
yang diterima begitu saja. Asumsi-asumsi ini adalah "pra-teoritis" dalam arti bahwa para
aktor tidak sepenuhnya memahami sifat asumsi-asumsi ini dan tingkat dampaknya
terhadap praktik mereka (Biernacki, 2007). Latihan adalah cara rutin bertindak di mana
asumsi yang diterima begitu saja mempengaruhi cara kita bertindak, terutama bagaimana
kita mengatur tubuh kita, menangani objek, memperlakukan subjek, menggambarkan
sesuatu, dan memahami dunia.

Metodologi Foucault yang ia sebut dengan archeology, genealogy, dan discourse


adalah analisis ketat tentang perkembangan pemikiran, perkembangan makna, dan istilah
atau konsep yang digunakan dalam bidang tertentu. Foucault menelusuri bagaimana
tentang sejarah kegilaan, tentang normal dan tidak normal, tentang penjara dan
seksualitas, tentang tubuh dan pendisiplinan dimaknai oleh wacana dalam rentang waktu
yang cukup panjang.

Pemikiran Foucault tentang metode arkeologi, genealogi, dan analisis wacana


sebenarnya juga dekonstruksi, akan tetapi mengambil strategi yang berbeda dengan
Derrida. Jika Derrida dengan metode dekonstruksinya menjungkirbalikkan gagasan
strukturalisme dan asumsi ilmu pengetahuan modern, maka Foucault memilih jalan
penelusuran arkeologis yang kemudian setelah tahun 1970-an istilah arkeologi tersebut
berubah menjadi genealogi.

Genealogi adalah metode yang ia gunakan untuk menjelaskan sejarah ilmu


pengetahuan dan bagaimana konstruksi ilmu atau wacana ilmiah (konsep dan teori) yang
berbeda setiap era bisa terjadi. Foucault menyebut ada "episteme" yang berbeda yang
mengkonstruksi wacana ilmiah secara berbeda pada setiap era atau setiap zaman.

Episteme adalah aparatus diskursif yang mengkonstruksi wacana, baik wacana


ilmiah maupun non-ilmiah. Foucault juga melakukan banyak penelitian dan pembahasan
Foucault tentang "seksualitas", "diri", "panoptikon", "kuasa", "kebenaran", "normal dan
tidak normal" telah memengaruhi banyak bidang kajian: kedokteran, psikiater, psikologi,
sosiologi, kajian feminis, kajian hukum dan kajian budaya kontemporer.

Yang menarik dari penelitian dan pembahasan Foucoult adalah dia mengangkat
masalah yang sebelumnya dianggap tabu atau kurang menjadi perhatian pada dunia
akademis seperti: tentang seksualitas, tentang sejarah kegilaan, tentang abnormalitas,
tentang penjara dan lain-lain. Masalah- masalah itu umumnya disebut dengan masalah

2021 Cyber Culture


15 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
"kelompok yang dipinggirkan" dan Foucault berjasa menjadikan masalah yang
dipinggirkan atau terabaikan itu menjadi bagian kajian ilmiah yang menarik.

Foucault misalnya melakukan penelitian terkait tubuh. Dalam hal ini, Foucault
mengaitkan munculnya biomedis dengan kebutuhan bentuk karakteristik dari produksi
kapitalis. Sekarang kita bisa melihat bagaimana tubuh ditempatkan pada proses produksi,
bagaimana tubuh dan sehat dimanfaatkan menjadi produksi dan komoditas industri
efektif. yang cantik Bagaimana bagian-bagian tubuh: bibir, pinggul, mata, perut, rambut,
hingga buah dada dalam bentuk tertentu dicitrakan dan diberi makna sebagai tubuh ideal
melalui simbol-simbol kultural (Synnott, 1993:11).

Perkembangan biomedis, pengetahuan tentang tubuh dan tentang kecantikan


digunakan pemilik modal untuk menghasilkan produk yang berorientasi untuk kecantikan
dan kebugaran tubuh hingga membanjiri pasar global. Pada era Modern tubuh menjadi
orientasi sentral melebihi perhatian pada dimensi spiritual dan ilmu pengetahuan.
Kemudian fetisisme tubuh berkembang tak terkendali dengan dorongan berbagai industri
kecantikan, pakaian, industri makanan dan obat-obatan (Lubis, 2016).

5. Teori Simulacra & Hipereality (Utoyo, 2001)

Teori yang dikembangkan oleh seorang sosiolog, Jean Baudrillard ini menawarkan
banyak gagasan dan wawasan yang inspiratif. Pemikirannya menjadi penting karena
Baudrillard mengembangkan teori yang berusaha memahami sifat dan pengaruh
komunikasi massa. Baudrillard mengatakan media massa menyimbolkan zaman baru di
mana bentuk produksi dan konsumsi lama telah memberikan jalan bagi semesta
komunikasi yang baru.

Sebagai pemikir aliran postmodern yang perhatian utamanya adalah hakikat dan
pengaruh komunikasi dalam masyarakat pascamodern, Baudrillard sering mengeluarkan
ide-ide cukup kontroversial dan melawan kemapanan pemikiran yang ada selama ini.
Misalnya dalam wacana mengenai kreativitas dalam budaya media massa atau budaya
cyber ia menganggapnya sebagai sesuatu yang absurd dan contradictio in terminis. Bagi
Baudrillard, televisi merupakan medan di mana orang ditarik ke dalam sebuah
kebudayaan sebagai black hole.

Baudrillard mengembangkan teori yang berusaha memahami sifat dan pengaruh


komunikasi massa. Ia mengatakan :

2021 Cyber Culture


16 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
1. Media massa menyimbolkan zaman baru, bentuk produksi dan konsumsi lama telah
memberikan jalan bagi semesta komunikasi yang baru, dunia yang dikonstruksi dari
model atau simulacra.
Sejak jaman Renaissance hingga kini telah terjadi tiga kali revolusi simulacra, yaitu
counterfeit, production dan simulation, yang merupakan nama yang berbeda untuk
arti yang sama yaitu, imitasi atau reproduksi dari image atau obyek.
a) image merupakan representasi dari realitas.
b) image menutupi realitas.
c) image menggantikan realitas yang telah sirna, menjadi simulacrum murni.

Pada sign as sign, simbolika muncul dalam bentuk irruption. Baudrillard kemudian
menambahkan tahapan keempat yang disebut fractal atau viral. Kini kita pada
tahapan fractal, suatu tahapan transeverything yang mengubah secara radikal cara
pandang kita terhadap dunia.

2. Masyarakat konsumen adalah masyarakat dalam pertanyaan.


3. Sirnanya realitas “Not into nothingness, but into the more real than real (the triumph of
simulacra)?
4. Perkembangan yang pesat dari teknologi diakhir abad 20 dan awal millennium ketiga
ini telah melampaui batas-batasnya dan menjalar keseluruh sendi-sendi kehidupan
manusia dan mengubah secara radikal cara pandang manusia terhadap dunia.
Dipertanyakan kemampuan teori untuk menjawabnya.

Simulacra

Konsep Baudrillard mengenai simulasi adalah tentang penciptaan kenyataan


melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos” yang tidak
dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Model ini menjadi faktor penentu
pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia – seperti
seni, rumah, kebutuhan rumah tangga dan lainnya – ditayangkan melalui berbagai media
dengan model-model yang ideal, disinilah batas antara simulasi dan kenyataan menjadi
tercampur aduk sehingga menciptakan hyperreality dimana yang nyata dan yang tidak
nyata menjadi tidak jelas.

Kebudayaan industri menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara


informasi dan entertainment, antara entertainment dan ekses-ekses politik. Masyarakat
tidak sadar akan pengaruh simulasi dan tanda (signs/simulacra), hal ini membuat mereka

2021 Cyber Culture


17 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
kerap kali berani dan ingin – mencoba hal yang baru yang ditawarkan oleh keadaan
simulasi – membeli, memilih, bekerja dan macam sebagainya.

Di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dasyat realitas telah
hilang dan manguap. Kini kita hidup di zaman simulasi, di mana realitas tidak hanya
diceritakan, direpresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi kini dapat direkayasa, dibuat
dan disimulasi. Realitas buatan ini bercampur-baur, silang sengkarut menandakan
datangnya era kebudayaan postmodern. Simulasi mengaburkan dan mengikis perbedaan
antara yang nyata dengan yang imajiner, yang benar dengan yang palsu.

Proses simulasi inilah yang mendorong lahirnya term ‘hiperrealitas’, di mana tidak
ada lagi yang lebih realistis sebab yang nyata tidak lagi menjadi rujukan. Baudrillard
memandang era simulasi dan hiperrealitas sebagai bagian dari rangkaian fase citraan
yang berturut-turut:

1. Merefleksikan kenyataan

2. Menutupi atau menyesatkan kenyataan

3. Menutupi ketiadaan dalam kenyataan

4. Menunjukkan tidak adanya hubungan diantara kenyataan manapun dan murni


hanya sebagai simulacrum. (Ritzer, 2003).

Jean Baudrillard menggambarkan dalam tulisannya Simulacra and Simulation


bahwa Disneyland adalah contoh tepat yang menggambarkan kondisi hyperreality.
Baudrillard juga mengatakan bahwa tempat yang paling hyperreality adalah di gurun pasir
dan Amerika. Di kedua tempat itu banyak ditemukan khayalan dan fatamorgana, yang
artinya ketika kita berada di gurun pasir kita akan melihat khayalan tentang air dan tempat
untuk berteduh yang merupakan fatamorgana. Begitu juga ketika seseorang bermain
games, menonton acara televisi, menonton film yang memiliki cerita menarik dan lain
sebagainya. Mereka kemudian melibatkan emosi dan perasaannya akibat alur cerita dan
penokohan yang dibawakan oleh karakter film dan kemudian terbawa dalam kehidupan
nyata sehingga dia tidak lagi bisa membedakan antara realitas nyata dan realitas yang
dikonstruksikan.

Pemikiran Baudrillard mengenai konsep Simulacra, Simulations dan Hyperreality


sesungguhnya bukanlah sebuah konsep yang terpisah satu dengan yang lainnya
melainkan sebuah proses metamorphosis. Sekali lagi, simulation menurut pandangan

2021 Cyber Culture


18 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Baudrillard merupakan tiruan dari sesuatu objek atau keadaan yang masih dapat
dibedakan mana yang asli dan palsu atau realitas yang sebenarnya dan realitas buatan.

Dalam mengkonstruksi sebuah citra terdapat empat fase, yaitu ketika suatu tanda
dijadikan refleksi dari suatu realitas, ketika suatu tanda sudah menutupi dan menyesatkan
realitas itu sendiri, ketika suatu tanda menutupi ketiadaan dalam kenyataan, dan akhirnya
tanda tersebut menjadi sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan
realitas. Fase terakhir inilah yang dikatakan sebagai suatu simulacra.

Simulacra menurut pandangan Jean Baudrillard menjadi sebuah duplikasi, yang


aslinya tidak pernah ada atau bisa dikatakan merupakan sebuah realitas tiruan yang tidak
lagi mengacu pada realitas sesungguhnya, sehingga perbedaan antara duplikasi dan asli
menjadi kabur. Simulacra bisa juga dikatakan sebagai representasi, misalnya dilakukan
oleh pencitraan. Hyperreality merupakan proses terakhir dalam konsep yang
diperkenalkan oleh Jean Badrillard. Hyperreality dijelaskan sebagai sebuah dekonstruksi
dari realitas real yang sebelumnya, karena realitas ini akan berbeda dari realitas yang
sebelumnya.

Terbentuknya Hyperreallity

Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur


dengan keaslian; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa;
tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori
kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam
dunia seperti itu.

Dramatisasi yang dilakukan melalui alur yang penuh aksi dramatis, secara umum
dikendalikan oleh rumah produksi yang membuatnya bukan lagi oleh pelaku utama yang
mempunyai cerita. Akhirnya menjadi mustahil membedakan yang nyata dari yang sekedar
tontonan. Dalam kehidupan nyata masyarakat pemirsa reality show, kejadian-kejadian
nyata semakin mengambil ciri hiper-riil (hyperreal). Tidak ada lagi realitas yang ada
hanyalah hiper-realitas. Dampak yang dihasilkan dari hiperreality adalah adanya
kepercayaan masyarakat terhadap kenyataan yang sebenarnya bukan kenyataan.
Pembodohan atas realitas ini dapat menghasilkan pola budaya yang mudah meniru
(imitasi) apa yang dilihatnya sebagai sebuah kenyataan di media televisi direalisasikan
dalam kehidupan keseharian. Serta terbentuknya pola pikir yang serba instan,
membentuk manusia yang segala sesuatunya ingin cepat saji.

2021 Cyber Culture


19 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
6. Teori Feminis

Feminisme dapat diartikulasikan secara beragam dalam konteks ruang dan waktu
serta secara sosio-kultural yang indigenous, dengan catatan bahwa sepanjang suatu aksi
atau gerakan ini berangkat dari kesadaran tentang terjadinya penindasan baik fisik
maupun mental terhadap perempuan dalam masyarakat. Selanjutnya, kesadaran ini
memicu, memotivasi adanya suatu aksi dari perempuan atau laki-laki untuk dengan
sengaja merubah keadaan tersebut (Dzuhayatin, 2000, p. 234).

Ben Agger (Agger, 1998) menyatakan bahwa prestasi besar dari teori feminis
adalah bahwa bukan hanya tentang pemahaman, namun juga tentang tindakan. Feminis
itu sendiri, membentuk kesadaran yang dibangun oleh pengalaman perempuan yang
khas tentang kebenaran, pengetahuan dan kekuasaan. Seperti hal-nya yang terjadi
dalam masyarakat, perkembangan berikutnya, feminisme juga mendapat respon yang lain
dari isme-isme Barat, seperti kapitalisme, sosialisme, modernisme, industrialisme dan
bahkan post-modernisme.

Feminisme tidak lebih hanya diterima sebagai entitas yang secara substansial
tercela dan tidak perlu diberi ruang (Dzuhayatin, 2000, p. 235). Namun, hal ini tidak
menyurutkan dan memusnahkan munculnya gerakan feminis sendiri. Kesadaran akan
ketertindasan muncul di belahan dunia manapun. Diakui atau tidak, feminisme menjadi
suatu fenomena yang mendesak kemapanan patriakal yang cenderung mendiskriditkan
martabat kemanusiaan perempuan. Yang kemudian, kesadaran tersebut telah
menciptakan paradigma baru yang lebih harmonis untuk laki-laki dan perempuan, serta
merumuskan identitas gender yang tidak terlalu tajam terpolarisasi dalam sudut-sudut
yang superioritas dan inferior.

Teori feminisme selama ini digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan


penelitian yang berfokus pada peran dan posisi perempuan dalam semua aspek
kehidupan. Teori ini juga digunakan sebagai pisau bedah terhadap ketimpangan yang
terjadi antara perempuan dan laki-laki. Setelah berabad-abad diabaikan, disingkirkan dan
diremehkan oleh disiplin ilmu patriarkhi, perempuan berusaha masuk menjadi bahan
objek penyelidikan. Teori-teori tradisional sering dimodifikasi oleh kaum feminis untuk
menerangkan penindasan perempuan. Dengan memusatkan pada pencantuman
persamaan perempuan ke dalam kerangka teoritik masa lalu, kesamaan-kesamaan
perempuan dan laki-laki ditekankan (Gross, 1986, p. 194).

2021 Cyber Culture


20 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Pokok-Pokok Teori Feminisme:

1. Feminisme Menjelaskan Kesetaraan Dan Ketimpangan Gender

Teori ini bertujuan memahami dan menjelaskan hakikat ketimpangan gender


dengan menyaksikan peran sosial perempuan dan pengalaman hidupnya (Astuti,
2011:8). Bentuk awal feminisme telah mengalami kritikan, karena hanya
mempertimbangkan kaum putih, kelas menengah, dan yang terdidik. Lalu hal ini
menimbulkan bentuk feminisme yang multi kulturalis. Teori feminis juga telah
merambah ke berbagai bidang studi, seperti sosiologi, ekonomi, antropologi, psikologi,
sastra, hukum, dan sebagainya. Teori-teori feminis berfokus pada ketimpangan
gender, relasi kuasa, dan seksualitas.

2. Teori Feminisme Mendorong Gerakan Untuk Mencari Keseimbangan Gender

Teori feminisme diakui merupakan teori yang lahir karena kondisi yang mendorong
munculnya gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari rasisme,
stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme. Menurut
Thompson, feminism merupakan gerakan konstruksi sosial dan bukannya gerakan
persamaan gender karena permasalahan yang diusung oleh feminism mengacu pada
penataan sosial dan bukan biologis.

3. Teori Feminisme Anti Diskriminasi, Penindasan Dan Patriarkhi

Tema besar yang dieksplor oleh teori-teori feminis ialah masalah diskriminasi,
stereotype, objektifikasi, penindasan, dan patriarkhi. Apa yang menjadi pokok masalah
dalam feminisme antara lain: kepemilikan, keadilan, integritas tubuh, otonomi,
produksi-reproduksi, hak-hak. Perjuangan panjang kalangan feminis telah
membuahkan hasil, misalnya hak bersuara (memilih dan dipilih), upah yang sama
(dalam pekerjaan), netralitas gender, hak reproduktif (aborsi dan kontrasepsi), kontrak
dan kepemilikan pribadi. Di samping itu, upaya perlindungan terhadap perempuan dan
anak perempuan dari kekerasan dan lainnya. Feminisme berpusat pada “isu-isu
perempuan” dan kesetaraan gender, maka pembebasan laki-laki dari seksisme dan
penindasan peran juga menjadi masalah feminism pula.

2021 Cyber Culture


21 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
4. Feminisme Berjuang Untuk Peran Perempuan Dalam Politik

Perspektif feminis dalam ilmu politik cenderung terfokus pada isu seperti
diferensial gender dalam representasi dan partisipasi politik. Kaum feminis
berpendapat bahwa yang bersifat politis meliputi kehidupan pribadi dan kehidupan
privat (domestik), yang didasarkan atas hubungan kekuasaan yang tidak seimbang
dimana kaum perempuan dan juga mempunyai kekuasaan daripada perempuan dan
juga mempunyai kekuasaan atas perempuan (Lovenduski, 2008: 33).

Simpulan :

Postmodern adalah perubahan budaya mulai dari life style sampai dengan
paradigma berpikir yang muncul karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
informasi.Akibat perubahan yang dashyat maka paradigma modern dinilai tidak cukup
signifikan untuk menerangkan kebudayaan yang berkembang. Oleh karena itu kritik
terhadap perspektif kebudayaan dan paradigma modern bermunculan dan memakai
pemikiran baru yang disebut postmodern.

Postmodernisme menuntut perubahan dalam aktivitas keilmuan, dengan


mempertimbangkan aspek subjektivitas, objektivitas, aspek sosial historis (budaya),
aspek bahasa, paradigma dan kerangka konseptual (yang semuanya berperan dalam
mengembangan ilmu pengetahuan). Salah satu ciri penting dari postmodernisme adalah
penolakan terhadap fundasionalisme. Pandangan fundasionalisme misalnya pandangan
kaum positive logis dengan unified science-nya (ilmu terpadu).

Postmodernisme menolak ilmu pengetahuan yang dianggap bebas nilai, ilmu


pengetahuan yang tidak mengakui keterlibatan subjek dalam penemuan dan
pengembangannya, dan anggapan bahwa bahasa adalah cermin realitas. Postmodern
mengakui keterlibatan dalam objek dan subjek dalam penemuan dan pengembangan ilmu
pengetahuan (partisipatif). Postmodern menerima keanekaragaman paradigma bahwa
kebenaran ilmu pengetahuan tidak tunggal, tidak tetap, akan tetapi plural, dan berubah
serta berkembang sejalan dengan perkembangan budaya manusia (Lubis, 2016).

2021 Cyber Culture


22 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Daftar Pustaka
References
Abdullah, A. (2004). Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Agger, B. (1998). Teori Sosial Kritis, kritik, penerapan dan implikasinya. Jakarta: Kreasi
Wacana.
Deny, J. (2006). Membaca Isu Politik. Yogyakarta: LKIS.
Dzuhayatin, F. M. (2000). Membincang Feminisme: Diskursus Gender Prespektif Islam.
Surabaya: Risalah Gusti.
Gross, E. a. (1986). Feminis Challenge: Social and Political Theory. Oston: Northeastern
University Press.
Lubis, D. A. (2016). Postmodernime Teori & Metode. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Lyotard, J.-F. (1984). The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, English
translation . Minneapolis: University of Minnesota Press.
Ritzer, G. (2011). Sociological Theory , Eight Edition. New York: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Utoyo, B. (2001). Perkembangan pemikiran Jean Baudrillard: Dari Realitas Ke
Simulakrum. Jakarta: Universitas Indonesia.
Wijayati, H. (2019). Postmodernisme Sebuah Pemikiran Filsuf Abad 20. Yogyakarta:
Sociality.

2021 Cyber Culture


23 Ervan Ismail & Tim Dosen
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai